HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA OTORITER DENGAN PERILAKU BULLYING SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 ABUNG SELATAN KOTABUMI LAMPUNG UTARA TAHUN PELAJARAN 2013/2014

(1)

ABSTRAK

HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA OTORITER DENGAN PERILAKU BULLYING SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 ABUNG

SELATAN KOTABUMI LAMPUNG UTARA TAHUN PELAJARAN 2013/2014

Oleh Marlinda

Permasalahan dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku bullying siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Abung Selatan Kotabumi Lampung Utara?

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan korelasional. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 1 Abung Selatan Kotabumi Lampung Utara kelas VIII yang berjumlah 30 orang siswa. Teknik pengumpulan data menggunakan angket pola asuh orang tua otoriter dengan perilaku bullying. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh orang tua otoriter dengan perilaku bullying nilai koefisien korelasi sebesar 0,500, dan berada pada interval 0,400-0,599 maka tingkat hubungan sedang. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sedang antar pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku bullying siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Abung Selatan Kotabumi Lampung Utara Tahun Pelajaran 2013/2014.

Saran yang yang dapat dikemukakan dari penelitian yang telah dilakukan di SMP Negeri 1Abung Selatan kotabumi Lampung Utara adalah (1) kepada guru BK Konselor sekolah hendaknya dapat membimbing siswa dalam mengatasi perilaku bullying (2) kepada orangtua Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, yang dapat dijadikan rekomendasi untuk orang tua diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada anak agar mereka dapat mengungkapkan pendapatnya orang tua dapat memperhatikan kegiatan anak baik di sekolah maupun di lingkungan social.(3) kepada peneliti selanjutnya, Untuk peneliti selanjutnya yang berminat untuk mengangkat tema yang sama untuk mempertimbangkan variabel-variabel yang berbeda.


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Marlinda lahir di Kotabumi, Lampung Utara, tanggal 15 Maret 1989, merupakan anak ke 5 dari 7 bersudara dari pasangan Bapak Darminsyah dan Ibu Niarlis (Alm)

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 4 Tanjung Aman Kotabumi tahun 2000, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 2 Kotabumi tahun 2003, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Slamet Riyadi (Genti Aras) Kotabumi tahun 2006.

Tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Program Studi Bimbingan dan Konseling Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2010 penulis melaksanakan Program Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah (PLBK-S) di SMP Negeri 2 Bandar Lampung. Pada tahun 2011 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) di Malang,Yogyakarta dan Jakarta.


(7)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirobbilalamin, ku ucapkankan rasa syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan rahmat-Mu sehingga dapat ku selesaikan kewajiban sebagai mahasiswi dengan terselesaikannya skripsi ini sebagai karya terbesarku saat ini.

Kupersembahkan karyaku ini Kepada:

Papa dan (alm) mama tersayang yang selalu memberikan do’a

dan dukungan yang tak terhingga dengan mengharapkan keberhasilan bagi anaknya.

Aku putri kecilmu yang menghaturkan terima kasih atas pengorbananmu yang dengan ikhlas memberikan kasih sayang dalam membesarkan, mendidik, mendoakan dan memberikan aku semangat dalam hidup ini

Keluarga besarku susi, batin, ses, uni, rajo, ratu, aying, rahmat, mita dan yang tersayang opi, nay, nan, fis, cal yang selalu mendukung dan memberikan semangat yang telah membirukan duniaku hingga aku dapat terbang untuk menggapai semua mimpi dan anganku.

Teman-teman seperjuangan, yang selalu menemaniku saat susah ataupun senang.


(8)

MOTO

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah

dari Allah SWT, dan apa saja bencana yang

menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu

sendiri.

(Qs. An-Nisa : 79)

Belajarlah mengalah sampai tak seorangpun

yang bisa mengalahkanmu.

Belajarlah merendah sampai tak seorangpun

yang bisa merendahkanmu.

(Gobind Vashdev)

Langit tak perlu menjelaskan bahwa diri nya

tinggi

(

people know you’re good if you’re good

)


(9)

SANWACANA

Allhamdulillah, Segala puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Hubungan pola asuh orang tua otoriter dengan perilaku bullying pada siswa kelas VIII di SMP Negeri 1 Abung Selatan Kotabumi Lampung Utara Tahun Pelajaran 2013/2014” ini dapat terselesaikan.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus diselesaikan mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling agar bisa meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Lampung.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak sekali mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Bujang Rahman, M.Si, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung yang telah memberikan izin bagi penulis untuk mengadakan penelitian.

2. Bapak Drs. Baharuddin Risyak, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP Universitas Lampung

3. Bapak Drs. Yusmansyah, M.Si sebagai selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling, FKIP Universitas Lampung.


(10)

4. Bapak Drs. Yusmansyah, M.Si. sebagai selaku pembimbing utama pada penulisan skripsi ini. Terimakasih atas didikannya, masukan, serta saran-saran pada bimbingan skripsi dan dalam perkuliahan.

5. Bapak Dr. Syarifuddin Dahlan, M. Pd. sebagai selaku pembimbing pembantu pada penulisan skripsi ini, terimakasih atas kesediaannya memberikan bimbingan, saran, kritik dan proses penyelesaian skripsi.

6. Ibu Shinta Mayasari, S.Psi., M.Psi, Psi. selaku dosen penguji pada penulisan skripsi ini. Terima kasih atas masukan dan saran-saran pada seminar proposal terdahulu dan seminar hasil sampai menuju ujian akhir.

7. Bapak dan Ibu Dosen Bimbingan dan Konseling, terimakasih atas didikannya selama kurang lebih lima tahun perkuliahan. Semoga apa yang bapak dan ibu berikan dapat bermanfaat bagi kehidupan saya di masa depan.

8. Bapak dan Ibu staf dan karyawan FKIP Unila, terimakasih atas bantuannya selama ini dalam menyelesaikan segala keperluan administrasi kami.

9. Ibu Suci Ningsih, S.pd selaku Kepala SMP Negeri 1 Abung Selatan Kotabumi Lampung Utara, yang telah memberikan izin penelitian.

10.Ibu Agustina Wati, S.Pd, selaku guru BK SMP Negeri 1 Abung Selatan Kotabumi Lampung Utara, Staf TU, Bapak-Ibu Guru serta siswa-siswa SMP Negeri 1 Abung Selatan Kotabumi Lampung Utara.

11.Kedua orang tuaku, Papa, Mama (alm) yang tak henti-hentinya menyayangiku, memberikan doa, dukungan, semangat serta dengan sabar menantikan keberhasilanku.


(11)

12.Ayuk-ayuk ku susi, batin, ses, uni setra adik-adik ku mita dan rahmat, terimakasih atas motivasi dukungan baik moril dan materi serta kasih sayang, dan doa yang tak henti-hentinya

13.Kakak-kakak ipar ku rajo, ratu, aying, serta ponakan tersayang opi,nay,nan,fis,ncal terimakasih atas dukungan dan motivasi serta doa yang tak henti-hentinya tercurah untuk ku

14.Sahabat-sahabat ku, met, mon, pay, emar, irs, mbo terimakasih untuk semuanya.

15. Teman-teman mahasiswa Bimbingan dan Konseling Angkatan 2007 Resti, Bety, Yunis, Nadia, Irfan, Asep, Ardian, Arom, Eka Lis, Lisa, Eka Sus, Wita, Diah, Pede, Alfi, Tuti, Izni, Dian, Wuri, Bowo, Inoy, Tia, Ewin, Wahid, Sulis, Widi, Agus, Boyce, dan Citra terimakasih atas semua kenangan selama kuliah dan kebaikan kalian semua. Semuanya akan jadi cerita indah buat masa depan kita nanti

16.Kakak dan adik tingkat Bimbingan Konseling yang tidak dapat disebutkan satu persatu terimakasih atas bantuannya.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Untuk itu saran dan kritik membangaun dari semua pihak sangat praktikan harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap agar skripsi ini berguna dan bermanfaat untuk menambah wawasan bagi pembaca dan rekan-rekan sejawat.

Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis,


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK DAFTAR ISI

DAFTAR LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LatarBelakangMasalah ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Identifikasi Masalah ... 6

3. Pembatas Masalah ... 6

4. Rumusan Masalah ... 7

B. Tujuan dan KegunaanPenelitian ... 7

1. Tujuan Penelitian ... 7

2. Kegunaan Penelitian ... 7

3. Ruang Lingkup penelitan ... 7

C. Kerangka Pikir ... 8

D. Hipoteis ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Bidang Bimbingan Pribadi-sosial dan perilaku Bullying ... 12

I. Bidang Bimbingan Pribadi-Sosial... 12

1. Bidang Bimbingan Pribadi ... 12

2. Pengertian Bidang Bimbingan Pribadi ... 15

3. Tujuan Bimbingan Pribadi-sosial ... 17

4. Fungsi Bimbingan Pribadi-sosial ... 19

II.Bullying ... 21

a. Pengertian Bullying ... 21

b. Bentuk perilaku yang dikategorikan Bullying ... 22

c. Penyebab Bullying ... 24

d. Akibat Bullying ... 28

e. Mengatasi Bullying... 30

B. Pola Asuh Orang Tua ... 32

1. Pengertian Pola Asuh Otoriter ... 32

2. Keluarga dengan remaja ... 38

3. Perubahan pada remaja ... 39

4. Teknik pengasuhan dan konflik orangtua ... 39

5. Pengasuhan orang tua,keluarga dan sosialisasi tradisonal ... 42


(13)

III.METODOLOGI PENELITIAN ... 50

A. Tempat dan waktu ... 50

B. Metode penelitian ... 50

C. Subyek penelitian ... 51

D. Variabel penelitian dan definisi operasional variabel ... 51

E. Teknik pengumpulan data ... 52

F. Uji persyaratan insrumen ... 54

G. Tenik pengolahan data ... 57

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 59

A. Pelaksanaan Penelitian ... 59

1. Persiapan Penelitia ... 59

2. Pelaksanaan Penelitian ... 59

B. Analisis Data Penelitian ... 60

1. Hasil Penelitian ... 60

2. Deskripsi Data ... 66

C. Analisis Data ... 67

1. Uji Normalitas ... 67

2. Uji Hipotesis ... 70

D. Pembahasan ... 72

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Simpulan ... 79

B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Lampiran 1 Kisi-kisi angket penelitian ... 82

2. Lampiran 2 Angket sebelum uji coba ... 83

3. Lampiran 3 Angket yang tidak memberikan kontribusi ... 90

4. Lampiran 4 Angket setelah uji coba/ angket penelitian ... 92

5. Lampiran 5 Hasil uji coba instrumen ... 98

6. Lampiran 6 Hasil penskoran uji coba angket perilaku bullying reliabilitas ... 100

7. Lampiran 7 Validitas berdasarkan rtabel ... 103

8. Lampiran 8 Hasil penskoran uji coba angket pola asuh dan reliabel ... 104

9. Lampiran 9 Validitas berdasarkan rtabel ... 106

10. Lampiran 10 Hasil penskoran a ngket perilaku bullying ... 107

11. Lampiran 11 Hasil penskoran angket pola asuh ... 110

12. Lampiran 12 Hasil penskoran pola asuh dan perilaku bullying ... 112

13. Lampiran 13 Hasil SPSS 17,0 perilaku bullying dan pola asuh ... 113

14. Lampiran 14 Nilai rhitung... 116


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1. Latar Belakang

Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan dan sangat menentukan bagi perkembangan serta kualitas diri individu dimasa yang akan datang. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal adanya pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal diperoleh dari suatu lembaga yang bertanggung jawab dan berkompetensi yaitu di sekolah yang di mulai dari jenjang, sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA) dan berlanjut perguruan tinggi. Sedangkan pendidikan nonformal bisa di dapatkan di luar pendidikan formal contohnya pendidikan yang di peroleh di lingkungan keluarga

Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama yang di peroleh anak dalam kehidupannya. Di lingkungan keluarga pula seorang anak pertama kalinya mengenal berbagai hal. Selain itu keluarga juga merupakan lembaga pendidikan tinggi yang bersifat nonformal yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan dan prilaku anak. Jadi dari keluargalah perilaku anak tersebut dibentuk.


(16)

Menurut Dewantara (dalam shochib,1998);

„keluarga merupakan „pusat pendidikan „ yang pertama dan terpenting karena sejak timbulnya abab kemanusiaan sampai kini, keluarga selalu mempengaruhi pertumbuhan budi pekerti tiap-tiap manusia di samping itu orangtua dapat menanamkan benih kebatinan yang sesuai dengan kebatinannya sendiri kedalam jiwa anak-anaknya inilah hak orang tua yang utama dan tidak bisa di batalkan oleh orang lain‟.

Permasalahan remaja dalam dunia pendidikan seringkali muncul, baik pihak akademisi maupun orangtua dituntut untuk lebih bekerjasama dalam hal ini. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Keluarga khususnya orangtua memegang peranan penting dalam membentuk sikap dan perilaku anak. Berbagai permasalahan dapat mempengaruhi minat anak untuk mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Sejalan dengan itu, Astuti, (2008) menyebutkan bahwa penekanan dari sekelompok individu yang lebih kuat, lebih senior, lebih besar, terhadap individu atau bisa juga beberapa individu yang lebih lemah, lebih kecil, lebih junior, dapat berujung pada pemerasan (meminta uang atau materi), tetapi dapat juga dalam bentuk lain dengan menyuruh korban melakukan sesuatu yang sama sekali tidak disukai oleh korban, penekanan tersebut tidak terjadi sekali atau dua kali tetapi berkelanjutan bahkan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga menjadi semacam kebiasaan atau bahkan kebudayaan dari kelompok. Perilaku penekanan tersebut diatas biasanya disebut dengan istilah bullying atau penindasan yang dilakukan oleh teman–teman sebayanya (peer group). Perilaku bullying kurang begitu diperhatikan, karena dianggap


(17)

tidak memiliki pengaruh yang besar pada siswa. Penelitian Sejiwa (2007) menyebutkan bahwa sebagian kecil guru menganggap bullying merupakan perilaku normal. Sekitar 27,5% dari guru yang disurvei menganggap bahwa bullying tidak mengganggu keadaan psikologis siswa. Hal tersebut tidak bisa dianggap normal karena siswa tidak dapat belajar apabila siswa berada dalam keadaan tertekan, terancam dan ada yang menindasnya setiap hari sehingga perilaku bullying tidak bisa dianggap normal atau biasa

Keluarga merupakan sumber utama atau lingkungan yang utama penyebab remaja melakukan kekerasan (bullying). Hal ini disebabkan karena anak itu hidup dan berkembang permulaan sekali dalam pergaulan keluarga yaitu hubungan antara orang tua dengan anak, ayah dengan ibu dan hubungan anak dengan anggota keluarga lain yang tinggal bersama-sama. Keadaan keluarga yang besar jumlah anggotanya berbeda dengan keluarga kecil. Bagi keluarga besar pengawasan agak sukar dilaksanakan dengan baik, demikian juga menanamkan disiplin terhadap masing-masing anak. Berlainan dengan keluarga kecil, pengawasan dan disiplin dapat dengan mudah dilaksanakan. Disamping itu perhatian orang tua terhadap masing-masing anak lebih mudah diberikan, baik mengenai akhlak, pendidikan di sekolah, pergaulan dan sebagainya.

Pendidikan dalam keluarga memiliki nilai yang sangat besar dalam pembentukan kepribadian, prilaku serta sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan psikologis anak, sebab di dalam


(18)

keluargalah seorang anak mulai belajar tentang kehidupan melalui keteladanan yang diberikan kedua orangtuannya

Sebelum seorang anak mengenyam pendidikan di sekolah, anak terlebih dahulu akan mendapatkan pendidikan dari orangtuannya. Pendidikan tersebut di peroleh anak dari cara orangtua memberikan pengasuhan. Orangtua memiliki pola asuh yang berbeda-beda , namun pada dasarnya orangtua selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Seperti yang diungkapkan oleh Darma (2001;122) yang menyatakan bahwa : „orangtua pada umumnya akan berusaha sebaik-baiknya memberikan apa yang mereka miliki untuk kebahagiaan anak-anaknya‟. Jadi meskipun pola asuh tiap orangtua berbeda-beda tetapi kesemuannya itu mempunyai tujuan yang sama yaitu memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya‟

Menurut Stewart dan Koch yang dikutip oleh Tarsis orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai sikap sebagai berikut: kaku, tegas, suka menghukum, kurang adanya kasih sayang serta simpatik. Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, dan mencoba membentuk tingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak

Banyak pengaruh terhadap perkembangan kita terjadi dalam hubungan kita dengan orang selain orangtua kita. Saat anak-anak tumbuh melewati masa awal anak-anak, Pola disebabkan oleh perkembangan kognitif. Berbagai kemampuan baru untuk berpikir tentang diri mereka dan orang lain dan


(19)

untuk memahami dunia mereka memungkinkan anak untuk megembangkan hubungan sebaya yang lebih dalam dan bermakna.

Disekolah, sebagian besar waktu dihabiskan oleh anak bersama teman-teman dibandingkan orangtua mereka. Hal tersebut mengungkap bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi siswa untuk melakukan bullying yakni lingkungan sekitar tempat ia berada. Lingkungan dimana individu di dalamnya biasa melakukan kekerasan ataupun perbuatan melanggar norma lainnya dapat mendukung seseorang menjadi pelaku bullying. Hal tersebut membuat siswa mudah meniru perilaku lingkungan tersebut dan merasa tidak bersalah saat melakukannya, sehingga timbullah perilaku bullying. Selain itu, lingkungan di dalam sekolah juga dapat mempengaruhi timbulnya bullying, seperti kedisiplinan yang sangat kaku dan peraturan yang tidak konsisten.

Bullying merupakan tindakan agresif yang bertujuan untuk menyakiti orang lain baik sacara fisik maupun psikis. Pelaku akan menggunakan berbagai cara agar tujuannya itu tercapai. Oleh karena itu ada banyak perilaku yang dapat dikategorikan pada bullying.

Parson (2009:25) mengelompokkan jenis-jenis perilaku bullying dalam tiga kelompok, yaitu “verbal/tertulis, fisik, dan sosial”. Verbal/tertulis meliputi perilaku mengatai, ledekan, menakut-nakuti lewat email, dan sms yang menyakitkan. Fisik meliputi perilaku yang termasuk yaitu memukul, menendang, menginjak, menyerang, mengancam dengan kekerasan dan


(20)

paksaan. Sosial meliputi perilaku yang termasuk yaitu merangkai rumor dan gosip, mengucilkan, mempermalukan, atau mencemooh.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas dan dari latar belakang yang telah dijelaskan maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Hubungan Pola Asuh Orangtua Otoriter Dengan Perilaku Bullying Pada Siswa Kelas VIII Di SMP Negeri 1 Abung Selatan Kotabumi Lampung Utara Tahun Pelajaran 2013/2014

2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka diperoleh identifikasi masalah dari penelitian ini sebagai berikut:

a. ada siswa yang suka menggangu siswa lain di sekolah b. ada siswa yang mencela atau menghina siswa lain di sekolah c. ada siswa yang terlibat perkelahian dengan siswa lain

d. ada siswa yang suka mengancam siswa lain di sekolah

e. ada siswa yang melakukan pelanggaran disiplin atau aturan sekolah

3. Pembatas Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka perlu adanya pembatas masalah. Untuk lebih memperjelas arah dalam penelitian ini terbatas pada hubungan pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku bullying pada siswa kelas VIII di SMP Negeri 1 Abung Selatan Kotabumi Lampung Utara Tahun Pelajaran 2013/2014


(21)

4. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatas masalah diatas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah yaitu “apakah terdapat hubungan antara pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku bullying siswa di SMP Negeri 1 Abung Selatan Kotabumi Lampung Utara?”

B. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku bullying pada siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Abung Selatan Kotabumi Lampung Utara tahun pelajaran 2013/2014.

2. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna antara lain:

a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapakan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para guru di sekolah khususnya guru pembimbing dalam menerapkan sekaligus meningkatkan kualitas layanan bimbingan konseling terhadap siswa di sekolah b. Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan sarana tambahan

informasi dan referensi bagi para orangtua yang ingin mengetahui tentang pentingnya pola asuh orangtua dalam keluarga.

3. Ruang lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah a. Ruang Lingkup Ilmu


(22)

Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah konsep keilmuan bimbingan konseling khususnya dalam mata kuliah bimbingan konseling keluarga dan dasar-dasar pemahaman perilaku

b. Ruang Lingkup Obyek

Obyek dalam penelitian ini adalah pola asuh orangtua dan perilaku bullying

c. Ruang Lingkup Subyek

Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Abung Selatan Kotabumi Lampung Utara tahun pelajaran 2013/2014 yang berperilaku bullying.

d. Ruang Lingkup Wilayah

Penelitian ini mengambil lokasi di SMP Negeri 1 Abung Selatan Kotabumi Lampung utara.

e. Ruang Lingkup Waktu

Ruang lingkup waktu dalam penelitian ini dilaksanakan tahun pelajaran 2013/2014.

C. Kerangka Pikir

Pola asuh orangtua merupakan suatu cara yang diterapkan orangtua dalam dalam mendidik, memberikan pengajaran, mewujudkan rasa cinta dan kasih sayang pada anak-anaknya. Namun pengasuhan yang diterapkan tiap orangtua cenderung berbeda-beda, tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi serta tergantung juga dengan karakteristik anak. Pengasuhan yang diterapkan oleh orangtua tidak lepas dari perilaku anak


(23)

dilingkungannya, sebab keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat, terutama bagi kehidupan sosial anak.

Hubungan remaja dengan orang yang lebih dewasa, khususnya orang tua dan perjuangannya secara bertahap untuk membebaskan diri dari dominasi mereka agar sampai pada tingkatan orang dewasa, menjadi masalah yang serius sepanjang kehidupannya dan membuatnya sulit beradaptasi. Keinginan untuk bebas pada diri remaja ini tidak dibarengi oleh kemampuannya untuk beradaptasi yang baik, sehingga orang tua seringkali mengintervensi dunianya

Menurut Santrock (2002:257) “orangtua yang mendidik anak dengan pola asuh yang otoriter yaitu orangtua yang menerapkan disiplin awal yang terlalu kasar dan terlalu mengekang anak diasosiasikan dengan agresi anak”

Diantara perubahan-perubahan pada remaja, yang dapat mempengaruhi hubungan orangtua remaja adalah pubertas, penalaran logis yang berkembang, pemikiran idealis, yang meningkat harapan yang tidak tercapai, perubahan di sekolah, rekan sebaya, persahabatan, pacaran, dan pergerakan menuju kebebasan.

Banyak orang tua melihat anak-anak mereka berubah dari patuh menjadi seseorang tidak patuh, melawan dan menantang standar-standar orang tua. Orang tua seringkali memaksa dan menekan remaja untuk mengikuti standar orang tua.


(24)

Salah satu cara anak menentang orangtua yaitu dengan melampiaskan segala yang ia inginkan walaupun ditentang oleh orangtua mereka, seperti melakukan kekerasan disekolah atau anak melakukan bullying di sekolah. Bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti, hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi,menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertangung jawab, biasanya berulang-ulang, dan dilakukan dengan perasaan senang. Pada siswa SMP Negeri 1 Abung Selatan Kotabumi peneliti menemukan kasus perilaku bullying seperti: mengejek, berkelahi, mengancam, mengganggu serta melanggar peraturan sekolah. Hal tersebut terjadi karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut antara lain lewat hubungan anak di sekolah, dalam perpeloncoan, internet atau teknologi digital, pola asuh orangtua yang otoriter. Jadi hal-hal tersebut mempunyai andil cukup besar dalam perilaku bullying.

Berdasarkan uraian yang telah di paparkan diatas peneliti tertarik untuk meneliti pola asuh orang tua otoriter karena keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama yang diperoleh anak dalam kehidupannya. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat digambarkan sebagai berikut variabel (x) variabel (y)

Gambar 1. Alur kerangka pikir Pola asuh orangtua

yang otoriter


(25)

D. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban atau dugaan sementara yang harus di uji lagi keberhasilannya melalui penelitian ilmiah atau berdasarkan data yang di peroleh melalui sampel penelitian. (Ridwan, 2005:37). Hipotesis dibangun dari kerangka pemikiran dan rumusan permasalahan penelitian.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

Ha :Terdapat hubungan antara pola asuh orang tua otoriter dengan perilaku bullying siswa kelas VIII di SMP Negeri 1 Abung Selatan Kotabumi Lampung Utara Tahun Pelajaran 2013/2014

Ho : Tidak terdapat hubungan antara pola asuh orang tua otoriter dengan perilaku bullying siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Abung Selatan Kotabumi Lampung Utara Tahun Pelajaran 2013/2014


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bidang Bimbingan Pribadi-Sosial dan Perilaku Bullying 1. Bidang Bimbingan Pribadi

Dalam bidang bimbingan pribadi, membantu siswa menemukan dan mengembangkan pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mantap dan mandiri serta sehat jasmani dan rohani. Dalam bidang bimbingan sosial membantu siswa mengenal dan berhubungan dengan lingkungan social yang dilandasi budi pekerti luhur, tanggung jawab kemasyarakatan dan kenegaraan. Bimbingan pribadi social berarti bimbingan dalam menghadapi keadaan batinnya sendiri dan mengatasi pergumulan-pergumulan dalam hatinya sendiri dalam mengatur dirinya sendiri dibidang kerohanian, perawatan jasmani, pengisian waktu luang, penyaluran nafsu seksual dan sebagainya, serta bimbingan dalam membina hubungan kemanusiaan dengan sesame diberbagai lingkungan (pergaulan social). (Winkel, 1991:127)

Bidang ini dapat dirinci menjadi pokok-pokok berikut

1. Pemantapan sikap dan kebiasaan serta pengembangan wawasan dalam beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa


(27)

2. Pemantapan pemahaman tentang kekuatan diri dan pengembangannya untuk kegiatan-kegiatanyag kreatif dan produktif baik dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk peranannya dimasa depan

3. Pemantapan pemahaman tentang kelemahan diri dan usaha penanggulangannya

4. Pemantapan kemampuan mengambil keputusan

5. Pemantapan kemampuan mengarahkan diri sesuai dengan keputusan yang telah diambil

6. Pemantapan dalam perencanaan dan penyelenggaraan hidup sehat baik secara rohaniah maupun jasmaniah

7. Pemantapan kemampuan berkomunikasi baik melalui ragam lisan maupun tulisan secaraefektif

8. Pemantapan kemampuan menerima dan menyampaikan isi pendapat serta berargumentasi secara dinamis, kreatif dan produktif

9. Pemantapan kemampuan bertingkah laku dan berhubungan social, baik dirumah, disekolah, maupun masyarakat luas dengan menjungjung tinggi tata karma, sopan santun, serta nilai-nilai agama adat, hokum, ilmu, dan kebiasaan yang berlaku

10.Pemantapan hubungan yang dinamis, harmonis, dan produktif dengan teman sebaya, baik disekolah yang sama, disekolah yang lain, diluar sekolah, maupun masyarakat pada umumnya

11.Pemantapan pemahaman kondisi dan peraturan sekolah serta upaya pelaksanaan secara dinamis dan bertanggung jawab


(28)

Dalam bidang bimbingan pribadi, pelayanan bimbingan dan konseling membantu siswa menemukan dan mengembangkan pribadi yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mantap dan madiri serta sehat jasmani dan rohani, bidang ini dapat dirinci menjadi pokok-pokok berikut

a. Pemantapan sikap dan kebiasaan serta pengembangan wawasan dalam beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa

b. Pemantapan pemahaman tentang kekuatan diri dan pengembangannya untuk kegiatan-kegiatan yang kreatif dan produktif baik dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk peranannya dimasa depan

c. Pemantapan pemahaman tentang bakat dan minat pribadi serta penyaluran dan pengembangannya melalui kegiatan-kegiatan yang kreatif dan produktif

d. Pemantapan pemahaman tentang kelemahan diri dan usaha-usaha penanggulangannya

e. Pemantapan kemampuan mengambil keputusan

f. Pemantapan kemampuan mengarahkan diri sesuai dengan keputusan yang telah diambilnya

g. Pemantapan dalam perencanaan dan penyelenggaraan hidup sehat, baik secara rohaniah maupun jasmaniah

Dalam bidang bimbingan sosial, pelayanan bimbingan dan konseling membantu siswa mengenal dan berhubungan dengan lingkungan sosialnya yang dilandasi budi pekerti luhur tanggung jawab kemasyarakatan dan kenegaraan, bidang ini dapat dirinci menjadi pokok-pokok berikut


(29)

1. Pemantapan kemampuan berkomunikasi, baik melalui ragam lisan maupun tulisan secra efektif

2. Pemantapan kemampuan menerima dan menyempaikan pendapat serta berargumentasi secara dinamis, kreatif dan produktif

3. Penempatan kemampuan bertingkah laku dan berhubungan social, baik dirumah, di sekolah, maupun dimasyarakat luas dengan menjunjung tinggi tata karma, sopan santun, serta nilai-nilai agama, adat hukum,ilmu dan kebiasaan yang berlaku

4. Penempatan hubungan yang dinamis, harmonis, dan produktif dengan teman sebaya, baik di sekolah maupun di masayarakat pada umumnya

5. Pemantapan pemahaman kondisi dan peraturan sekolah serta upaya pelaksanaannya secara dinamis dan bertanggung jawab

6. Orientasi tentang kehidupan keluarga. 2. Pengertian Bidang Bimbingan Pribadi

Pengertian Bimbingan Pribadi-Sosial, Bimbingan merupakan upaya untuk membantu individu berkembang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya secara bertahap dalam proses yang matang. Natawidjaja (Yusuf, 2009: 38) mengartikan bimbingan sebagai proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan keluarga serta masyarakat.


(30)

Winkel (1991: 124) mendefinisikan bimbingan sebagai pemberian bantuan kepada seseorang atau kepada sekelompok orang dalam membuat pilihan-pilihan secara bijaksana dan dalam mengadakan penyesuaian diri terhadap tuntutan hidup.

Surya (1988:36) mengemukakan bimbingan ialah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri dan perwujudan diri, dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungannya.

Senada dengan pendapat Surya, (Prayitno 1987:35) mengemukakan: Bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada seseorang (individu) atau sekelompok orang agar mereka itu dapat berkembang menjadi pribadi-pribadi yang mandiri.Kemandirian ini mencakup 5 fungsi pokok yang hendaknya dijalankan oleh pribadi yang mandiri yaitu

1. Mengenal diri sendiri dan lingkungan,

2. Menerima diri sendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis, 3. Mengambil keputusan,

4. Mengarahkan diri, 5. Mewujudkan diri.

Berdasarkan definisi-definisi bimbingan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan yaitu :

1. Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada individu secara kontinyu dan sistematis,

2. Bertujuan untuk membantu proses pengembangan potensi diri melalui pola-pola sosial yang dilakukannya sehari-hari di lingkungan sekolah,


(31)

keluarga dan masyarakat. Pola-pola sosial yang dimaksudkan adalah pola-pola dimana individu tersebut dapat melakukan penyesuaian diri dengan lingkungannya.

Bimbingan pribadi merupakan upaya untuk membantu individu dalam menemukan dan mengembangkan pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mantap dam mandiri serta sehat jasmani dan rohani. Sementara bimbingan sosial merupakan upaya untuk membantu individu dalam mengenal dan berhubungan dengan lingkungan sosial yang dilandasi budi pekerti luhur dan tanggung jawab. Bimbingan pribadi-sosial berarti upaya untuk membantu individu dalam menghadapi keadaan batinnya sendiri dan mengatasi konflik-konflik dalam diri dalam upaya mengatur dirinya sendiri di bidang kerohanian, perawatan jasmani, pengisian waktu luang, penyaluran nafsu seksual dan sebagainya, serta upaya membantu individu dalam membina hubungan sosial di berbagai lingkungan (pergaulan sosial) (Yusuf, 2009: 53-55).

Pada dasarnya bimbingan tidak hanya berfungsi untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi individu (kuratif), melainkan memiliki fungsi lain yaitu sebagai upaya pencegahan (preventif) dan pengembangan (developmental). Bullard (Yusuf, 1998:78) mengungkapkan untuk melakukan reformasi (pembaharuan) program bimbingan dan konseling secara tepat, maka layanan-layanannya harus diintegrasikan ke dalam program-program yang berorientasi pengembangan, yang membantu para siswa mengembangkan dan mempraktekkan kompetensi-kompetensinya.


(32)

3. Tujuan Bimbingan Pribadi-Sosial

Yusuf dan Nurihsan (2005:14), merumuskan beberapa tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial sebagai berikut a. memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan

danketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi,keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, sekolah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya.

b. memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing. c. memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif

antara yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, serta mampu meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. d. memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan, baik fisik maupun psikis.

e. memiliki sifat positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain. f. memiliki kemampuan melakukan pilihan secara sehat.

g. bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya.

h. memiliki rasa tanggung jawab yang diwujudkan dalam bentuk komitmen, terhadap tugas dan kewajibannya.

i. memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang diwujudkan dalam bentuk persahabatan, persaudaraan atau silaturahmi dengan sesama manusia.


(33)

j. memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun orang lain.

k. memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif. Nurihsan (2003;9) menyatakan tujuan bimbingan pada akhirnya membantu individu dalam mencapai:

1. Kebahagiaan hidup pribadi sebagai makhluk Tuhan, 2. Kehidupan yang produktif dan efektif dalam masyarakat, 3. Hidup bersama dengan individu-individu lain, dan

4. Harmoni antara cita-cita mereka dengan kemampuan yang dimilikinya.

Dapat disimpulkan tujuan bimbingan pribadi pribadi sosial yang harus dikembangkan dalam program layanan bimbingan dan konseling adalah memfasilitasi siswa dalam mengarahkan pemantapan kepribadian serta mengembangkan kemampuan dalam mengatasi masalah-masalah pribadi dan sosial siswa.

4. Fungsi Bimbingan Pribadi-Sosial

Fungsi dalam bimbingan pribadi-sosial yang diungkapkan oleh Totok (Puspita, 2007:47-49), yaitu :

1. Berubah menuju pertumbuhan. Pada bimbingan pribadi-sosial, konselor secaraberkesinambungan memfasilitasi individu agar mampu menjadi agen perubahan (agent of change) bagi dirinya dan lingkungannya. Konselor juga berusaha membantu individu sedemikian rupa sehingga individu mampu menggunakan segala sumber daya yang dimilikinya untuk berubah.


(34)

2. Pemahaman diri secara penuh dan utuh. Individu memahami kelemahan dan kekuatan yang ada dalam dirinya, serta kesempatan dan tantangan yang ada diluar dirinya. Pada dasarnya melalui bimbingan pribadi sosial diharapkan individu mampu mencapai tingkat kedewasaan dan kepribadian yang utuh dan penuh seperti yang diharapkan, sehingga individu tidak memiliki kepribadian yang terpecah lagi dan mampu mengintegrasi diri dalam segala aspek kehidupan secara utuh, selaras, serasi dan seimbang.

3. Belajar berkomunikasi yang lebih sehat. Bimbingan pribadi sosial dapat berfungsi sebagai media pelatihan bagi individu untuk berkomunikasi secara lebih sehat dengan lingkungannya.

4. Berlatih tingkah laku baru yang lebih sehat. Bimbingan pribadi-sosial digunakan sebagai media untuk menciptakan dan berlatih perilaku baru yang lebih sehat.

5. Belajar untuk mengungkapkan diri secara penuh dan utuh. Melalui bimbingan pribadi-sosial diharapkan individu dapat dengan spontan, kreatif, dan efektif dalam mengungkapkan perasaan, keinginan, dan inspirasinya.

6. Individu mampu bertahan. Melalui bimbingan pribadi-sosial diharapkan individu dapat bertahan dengan keadaan masa kini, dapat menerima keadaan dengan lapang dada, dan mengatur kembali kehidupannya dengan kondisi yang baru.


(35)

7. Menghilangkan gejala-gejala yang disfungsional. Konselor membantu individu dalam menghilangkan atau menyembuhkan gejala yang menggangu sebagai akibat dari krisis.

2. Bullying

a. Pengertian Bullying

Istilah bullying sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Masyarakat Indonesia sendiri belum begitu akrab dengan istilah bullying. Namun istilah bullying terkadang digunakan untuk bentuk-bentuk perilaku senioritas yang dilakukan oleh siswa senior kepada juniornya seperti menghina, memukul, mengumpat, dan lain-lain. Randal (dalam Parson, 2009:9) merumuskan perilaku bullying sebagai “perilaku agresif yang muncul dari suatu maksud yang disengaja untuk mengakibatkan tekanan kepada orang lain secara fisik dan psikologis”.

Sedangkan Rigby (dalam Astuti, 2008:3) mengemukakan bahwa: “Bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti, hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertangung jawab, biasanya berulang-ulang, dan dilakukan dengan perasaan senang”.

Selain itu, Nusantara (2008:2) mengungkapkan definisi yang tidak jauh berbeda mengenai bullying, “yaitu sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang/sekelompok”.


(36)

Berdasarkan pendapat beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara langsung oleh seorang atau kelompok yang merasa lebih kuat sehingga mengakibatkan tekanan kepada orang lain baik secara fisik maupun psikologis. Pihak yang kuat di sini tidak hanya berarti kuat dalam ukuran fisik, tapi bisa juga kuat secara mental. Korban bullying tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya karena lemah secara fisik atau mental. Selain itu yang sangat penting diperhatikan adalah bukan sekedar tindakan yang dilakukan, tetapi dampak tindakan tersebut bagi korban.

b. Bentuk-bentuk Perilaku yang dikategorikan Bullying

Bullying merupakan tindakan agresif yang bertujuan untuk menyakiti orang lain baik sacara fisik maupun psikis. Pelaku akan menggunakan berbagai cara agar tujuannya itu tercapai. Oleh karena itu ada banyak perilaku yang dapat dikategorikan pada bullying, begitu luasnya hingga para ahli mengelompokkannya dalam beberapa bagian.

Parson (2009:25) mengelompokkan jenis-jenis perilaku bullying dalam tiga kelompok, yaitu “verbal/tertulis, fisik, dan sosial”. Verbal/tertulis meliputi perilaku mengatai, ledekan, menakut-nakuti lewat email, dan sms yang menyakitkan. Fisik meliputi perilaku yang termasuk yaitu memukul, menendang, menginjak, menyerang, mengancam dengan kekerasan dan paksaan. Sosial meliputi perilaku


(37)

yang termasuk yaitu merangkai rumor dan gosip, mengucilkan, mempermalukan, atau mencemooh.

Sedangkan Nusantara (2008:62) mengelompokkan dalam tiga kategori yaitu “bullying fisik, bullying verbal, bullying psikologis”. Bullying fisik meliputi perilaku menonjok, menampar, mendorong, menendang, menggigit, mencubit, mencakar, dan lain-lain. Bullying verbal meliputi perilaku mengejek, menghina, mengolok-olok, menakuti lewat telepon, mencela, menyebarkan rumor, dan lain-lain. Bullying psikologis meliputi perilaku mengucilkan, mengisolir, mendiamkan, memfitnah, memandang dengan hina dan lain-lain. Selain itu, Astuti (2008:22) mengelompokkan bullying dalam dua kategori yaitu “Bullying fisik dan bullying non-fisik”. Bullying fisik, meliputi perilaku menggigit, menarik, memukul, menendang, menonjok, mendorong, dan lain-lain. Sedangkan bullying non-fisik, terbagi dalam bentuk verbal dan non-verbal. Verbal contohnya pemalakan, pemerasan, mengancam, atau mengintimidasi, menghasut, menyebarkan kejelekan korban, dan lain-lain. Nonverbal terbagi menjadi menjadi langsung yang meliputi manipulasi pertemanan, mengasingkan, tidak mengikutsertakan, mengirim pesan menghasut, curang dan sembunyi-sembunyi. Dan tidak langsung yang meliputi gerakan kasar mengancam, menatap, muka mengancam, menggeram, hentakan mengancam, atau menakuti. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka terdapat beberapa bentuk perilaku yang dikategorikan sebagai bentuk dari perilaku


(38)

bullying diantaranya bullying fisik, bullying verbal, dan bullying psikologis. Bullying fisik meliputi perilaku yang menyerang fisik, bullying verbal meliputi perilaku yang berupa perkataan yang merendahkan korban, sedangkan bullying psikologis meliputi semua perilaku yang menyerang korban secara psikologis yang dapat berbentuk nonverbal tidak langsung atau intimidasi dalam kelompok sosial yang berdampak pada psikis korban.

c. Penyebab Bullying

Mellor dan Djuwita (dalam Astuti, 2008:50) mengemukakan bahwa “Bullying terjadi akibat faktor lingkungan, keluarga, sekolah, media, budaya, dan peer group”. Selain itu, Astuti (2008:51) mengungkapkan bahwa penyebab terjadinya bullying antara lain: lingkungan sekolah yang kurang baik, senioritas tidak pernah diselesaikan, guru memberikan contoh kurang baik pada siswa, ketidakharmonisan di rumah, dan karakter anak.

a. Lingkungan sekolah yang kurang baik

Lingkungan sekolah bisa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan bullying. Lingkungan sekolah yang dapat mendukung terjadinya bullying mencakup lingkungan luar sekolah maupun lingkungan sekolah itu sendiri. Lingkungan luar sekolah yakni adanya kebiasaan orang-orang disekitar sekolah seperti sering berkelahi atau bermusuhan, serta berlaku tidak sesuai dengan norma yang ada. Ehan (2010:5) menyatakan bahwa hal yang mempengaruhi terjadinya perilaku bullying:


(39)

“anak hidup pada lingkungan orang yang sering berkelahi atau bermusuhan,berlaku tidak sesuai dengan norma yang ada, maka anak akan mudah meniru perilaku lingkungan itu dan merasa tidak bersalah”.

Hal tersebut mengungkap bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi siswa untuk melakukan bullying yakni lingkungan sekitar tempat ia berada. Lingkungan dimana individu di dalamnya biasa melakukan kekerasan ataupun perbuatan melanggar norma lainnya dapat mendukung seseorang menjadi pelaku bullying. Hal tersebut membuat siswa mudah meniru perilaku lingkungan tersebut dan merasa tidak bersalah saat melakukannya, sehingga timbullah perilaku bullying. Selain itu, lingkungan di dalam sekolah juga dapat mempengaruhi timbulnya bullying, seperti kedisiplinan yang sangat kaku dan peraturan yang tidak konsisten.

b. Senioritas tidak pernah diselesaikan

Senioritas merupakan salah satu penyebab bullying yang cukup dominan. Senioritas yang tidak terselesaikan hanya akan menyuburkan perilaku bullying di sekolah. Hal ini terkait dengan bagaimana sekolah dan para guru menanggapi dan menindaklanjuti masalah senioritas di sekolah.

Astuti (2008:6) mengemukakan bahwa “perilaku bullying

diperparah dengan tidak jelasnya tindakan dari para guru dan pengurus sekolah. Sebagian guru cendrung membiarkan, sementara sebagian guru lain melarangnya”. Guru seharusnya lebih peduli dengan bullying yang terjadi di sekolah, akan


(40)

tetapi tidak semua peduli. Hal tersebut membuat siswa tidak jera dan terus melakukan bullying.

Guru dan pengurus sekolah seharusnya dapat membedakan antara senioritas yang dimaksudkan sebagai upaya pendisiplinan atau senioritas sebagai sebagai bentuk kesewenangan-wenangan senior terhadap juniornya berdasarkan tatacara atau peraturan sekolah. Guru yang membenarkan atau bahkan ikut melakukan bullying dengan alasan perbuatan itu untuk mendisiplinkan siswa, atau memacu murid agar tidak bodoh hanya akan mengakibatkan makin berkembangnya perilaku bullying.

c. Guru memberikan contoh kurang baik pada siswa

Guru sebagai pengajar di sekolah dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya bullying, terutama guru yang memberikan contoh perilaku yang tidak baik. Ehan (2010:5) mengemukakan bahwa salah satu hal yang mempengaruhi perilaku bullying yaitu:

“guru yang berbuat kasar kepada siswa, guru yang kurang memperhatikan kondisi anak baik dalam sosial ekonomi maupun dalam prestasi anak atau perilaku sehari hari anak di kelas atau di luar kelas bagaimana dia bergaul dengan teman-temannya”.

Perbuatan guru yang kurang baik dapat mendukung siswa melakukan bullying yakni guru yang berbuat kasar kepada siswa, guru yang kurang memperhatikan kondisi siswa baik dalam prestasi siswa atau perilaku sehari hari siswa di kelas atau


(41)

di luar kelas serta bagaimana dia bergaul dengan teman-temannya.

d. Ketidakharmonisan di rumah

Keluarga juga berpengaruh terhadap perilaku bullying yang dilakukan oleh siswa. Astuti (2008:53) menyatakan bahwa “kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak merupakan faktor penyebab tindakan bullying”. Selain itu, Schwartz,dkk

(dalam Papalia,dkk, 2008:514) menyatakan bahwa “Anak-anak

yang menjad bullies seringkali berasal dari lingkungan keluarga kasar dan keras yang selanjutnya membiarkan mereka mendapat hukuman dan penolakan”.

Keluarga sebagai tempat tumbuh kembang anak sangat mempengaruhi perilaku individu dalam kesehariannya. Kompleksitas masalah dalam keluarga seperti ketidakhadiran ayah, kurangnya komunikasi antara orang tua, dan ketidakmampuan sosial ekonomi, merupakan faktor penyebab tindakan bullying yang dilakukan siswa.

e. Karakter anak

Karakter anak yang biasa menjadi pelaku bullying pada umumnya adalah anak yang selalu berperilaku agresif, baik secara fisikal maupun verbal. Astuti (2008:53) menyatakan bahwa faktor penyebab bullying yakni “karakter anak sebagai pelaku umumnya agresif, baik secara fisikal maupun verbal dan pendendam”. Anak yang ingin populer, anak yang tiba-tiba


(42)

sering berbuat onar atau selalu mencari kesalahan orang lain dengan memusuhi umumnya termasuk dalam kategori ini. Anak dengan perilaku agresif telah menggunakan kemampuannya untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya pada kondisi tertentu korban, misalnya perbedaan etnis/ras, fisik, golongan/agama, atau jender. Selain itu, karakter siswa yang pendendam atau iri hati juga dapat menyebabkan seorang siswa melakukan bullying.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab bullying lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan, meski tidak dipungkiri bahwa faktor dari dalam diri individupun ikut andil sebagai penyebab bullying. Lingkungan tempat tinggal individu menjadi hal yang sangat berpengaruh termasuk lingkungan sekolah dan keluarga. Lingkungan dapat menyebabkan terbentuknya karakter individu yang rentan terhadap perilaku bullying. Budaya dan kebiasaan tidak baik yang berlaku pada suatu lingkungan juga dapat menyuburkan perilaku bullying.

d. Akibat Bullying

Bullying yang kerap kali terjadi di sekolah seringkali diabaikan, padahal bullying sangat perlu ditanggulangi. Hal tersebut karena bullying dapat menimbulkan akibat yang sangat besar bagi siswa yang terlibat, baik sebagai korban ataupun pelaku. Banyak hal yang


(43)

diakibatkan dari perilaku bullying yang terjadi, seperti Alexander (dalam Nusantara, 2008:9) yang menjelaskan bahwa:

bullying adalah masalah kesehatan publik yang patut menjadi perhatian. Orang-orang yang menjadi korban bullying semasa kecil, kemungkinan besar akan menderita depresi dan kurang percaya diri dalam masa dewasa. Sementara pelaku bullying, kemungkinan akan terlibat dalam tindakan kriminal di kemudian hari.”

Selain itu, Nusantara (2008:12) mengemukakan gejala-gejala akibat bullying yaitu: “mengurung diri, menangis, minta pindah sekolah, konsentrasi siswa berkurang, prestasi belajar menurun, tidak mau bermain/bersosialisasi, penakut, gelisah, berbohong, melakukan perilaku bullying terhadap orang lain, memar/lebam-lebam, tidak bersemangat, menjadi pendiam, menjadi rendah diri, suka menyendiri, menjadi kasar dan pedendam, tidak percaya diri, mudah cemas, cengeng, dan mudah tersinggung”.

Berdasarkan penjelasan mengenai akibat yang ditimbulkan bullying di atas, maka diketahui bahwa bullying dapat menimbulkan banyak akibat negatif baik bagi korban maupun bagi pelaku. Bagi korban akibat negatif dapat berbentuk fisik maupun psikis. Akibat fisik seperti memar, lebam, atau luka. Sedangkan dampak psikis seperti kepercayaan diri siswa menurun, malu, trauma, merasa sendri, serba salah, mengasingkan diri dari sekolah, mengalami ketakutan sosial, bahkan cendrung ingin bunuh diri. Akibat fisik cendrung dapat langsung terlihat, berbeda dengan dampak psikis yang pada


(44)

awalnya akan terlihat wajar akan tetapi semakin memburuk jika didiamkan saja, sehingga menimbulkan dampak dalam jangka waktu yang panjang.

e. Mengatasi Bullying

Bullying yang terjadi tidak dapat didiamkan begitu saja. Setelah mengenali dan menyadari bahwa praktik bullying telah terjadi, maka perlu ada upaya untuk mengatasi bullying tersebut. Penanganan tidak hanya ditujukan kepada korban bullying, akan tetapi pelaku bullying juga perlu penanganan khusus agar tidak mengulangi tindakannya tersebut.

Nusantara (2008:31) menyatakan bahwa “Pelaku bullying harus ditangani dengan sabar dan tidak menyudutkannya dengan pertanyaan yang interogratif”. Karena Itu, jangan pernah menyalahkan pelaku bullying, tapi sebaliknya beri kepercayaan agar dapat memperbaiki dirinya. Tumbuhkan empatinya, agar pelaku dapat merasakan perasaan sang korban saat menerima perlakuan bullying. Angkatlah kelebihan atau bakat sang pelaku bullying di bidang yang positif, usahakan untuk mengalihkan energinya pada bidang yang positif.

Korban bullying juga memerlukan penangan khusus. Nusantara (2008:32) menyatakan bahwa “korban bullying mungkin lebih cendrung menutup diri, sehingga perlu ditumbuhkan rasa nyaman dan percaya diri agar dia mau lebih terbuka untuk menceritakan


(45)

masalahnya”. Jika korban sudah mau terbuka maka hal selanjutnya yang harus dilakukan yaitu dengan menghormati pilihan dan membekalinya dengan cara-cara menghadapi pelaku bullying. Patut diingat bahwa bullying tidak dapat dihadapi dengan bullying, karenanya korban bullying harus diajari untuk menghadapi bullying dengan tegas tapi peduli. Korban bullying dapat menanggapi ejekan dengan tegar dan kemungkinan besar tidak memasukkan ke dalam hati, sehingga pelaku bullying akan melihat dirinya sebagai pribadi yang kuat dan tidak akan mengganggunya lagi. Selain itu, Cowie dan Jennifer (2009:15) mengemukakan hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi bullying antara lain “pengawasan guru terhadap siswa, penerapan peraturan dan kode etik sekolah, membangun kesadaran dan pemahaman siswa tentang bullying, danmenciptakan kondisi sekolah yang ramah terhadap siswa”. Berdasarkan uraian di atas, maka bullying harus ditangani tidak hanya bagi pelaku tapi juga bagi pihak korban. Hal ini merupakan tanggung jawab berbagai pihak dalam mengatasinya.Peranan sekolah sebagai institusi pendidikan sangat dibutuhkan, mengingat bahwa tindakan bullying sebagian besar terjadi di sekolah. Guru sebagai komponen utama dalam sekolah dapat berperan dalam mengatasi bullying


(46)

B. Pola Asuh Orangtua Otoriter

Diantara pertimbangan-pertimbangan penting dalam mempelajari remaja dan keluarganya adalah sosialisasi timbal balik, kesesuaian, dan system keluarga bagaimana remaja membangun hubungan dan bagaimana hubungan mempengaruhi perkembangan pematangan social; dan sifat dasar dari daur hidup keluarga

1. Pengertian pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter dapat dimaknai sebagai pola asuh yang pemegang peranannya adalah orang tua, semua kekuasaan ada pada orang tua, semua keaktifan anak ditentukan olehnya (dalam Aprimaryanti, 2004). Anak sama sekali tidak mempunyai hak untuk mengemukakan pendapat, anak dianggap sebagai anak kecil terus-menerus, anak tidak pernah dapat perhatian yang layak sehingga semua keinginan dan cita-citanya tidak mendapatkan perhatian.

Menurut Stewart dan Koch yang dikutip oleh Tarsis orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai sikap sebagai berikut: kaku, tegas, suka menghukum, kurang adanya kasih sayang serta simpatik. Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, dan mencoba membentuk tingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak

Menurut Citroboto (1980,72) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan sikap otoriter adalah sikap mau menang sendiri, sikap main kuasa dan sikap paling benar sendiri. Sikap ini tersirat dalam cara mendidik yang selalu menggunakan teknik yang serba memerintah.


(47)

Pola asuh otoriter dapat diartikan sebagai pola perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anak, yang menuntut kepatuhan dan ketaatan anak terhadap aturan yang ditentukan oleh orang tua. Untuk mendapat kepatuhan ini orang tua menggunakan hukuman secara fisik terhadap anak apabila tidak mematuhi peraturan (Sukadji dan Badingah, 1994;26)

Arahan orangtua dan suasana psikologis dan sosial yang mewarnai rumah tangga sangat memengaruhi intensitas adaptasi dan perkembangan remaja.

a. Keluarga yang otoriter

Bouldwin (Al-Mighwar, 2006,198) berpendapat bahwa rumah tangga yang diktator (otoriter) merupakan rumah tangga yang di dalamnya tidak ada adaptasi artinya penuh konflik, pergumulan, dan perselisihan antara orang tua dan anak-anaknya. Padahal, anak sangat membutuhkan hubungan-hubungan social yang bagus, baik anggota keluarga atau dengan lingkungannya. Pada keluarga seperti ini, remaja merasakan bahwa kepentingandan hobby nya tidak dipedulikan, atau dianggap tidak penting. Manakala remaja berusaha menarik perhatian kedua orang tuanya, atau berusaha menghukum dirinya, ternyata sosok otoriterlah yang dihadapinya, bahkan terkadang sangsilah yang didapatinya. Karena orang tua nya tidak kunjung memerhatikan dan memahami dirinya, diapun bersikap acuh tak acuh terhadap keduanya, bahkan terhadap semua anggota keluarganya.


(48)

Sedikitnya terdapat dua sikap otoriter orangtua terhadap anaknya yaitu 1. Otoriter yang memang sudah ada sejak awal, dan orang tua tidak

punya rasa cinta kepada anak-anaknya, yang disebut Bouldwin sebagai otoriter permanen. Akibatnya anak cenderung bersikap radikal dan memberontak.

2. Otoriter yang tidak mau kompromi dengan segala keinginan anak-anaknya artinya orang tua bersikap masa bodo dan tidak mau bekerja sama dengan anak-anaknya. Akibatnya remaja berkeinginan kuat untuk bebas merdeka, meskipun tindakannya tidak seradikal yang pertama seperti menghabiskan waktunya diluar rumah untuk berkumpul dengan teman-teman nya yang dewasa

b. Ciri-ciri pola asuh otoriter

Menurut Hurlock (dalam Dayaksini, 1998;15) orang tua yang mempunyai sikap otoriter pada umumnya bercirikan:

a. Orang tua menetukan apa yang perlu diperbuat oleh anaknya tanpa memberikan penjelasan tentang alasannya

b. Apabila anak melanggar ketentuan yang sudah digariskan oleh orang tua, anak tidak diberikan kesempatan untuk memberikan alasan dan penjelasan sebelum hukuman diterima anak

c. Pada umumnya hukuman berwujud hukuman fisik

d. Orang tua jarang atau tidak pernah memberikan hadiah baik yang berupa kata-kata maupun bentuk lain apabila anak berbuat sesuatu yang sesuai dengan harapan orang tua


(49)

Siagan (dalam Manarung, 1995;37) menambahkan bahwa cirri-ciri pola asuh orang tua otoriter adalah

1. Keluarga sebagai milik orang tua saja

Dalam hal ini, anak tidak diberi hak untuk membuat kebijakan atau, peraturan yang diterapkan didalam keluarga

2. Tujuan orang tua berarti tujuan keluarga

Dalam hal ini berarti semua keputusan anak harus sesuai dengan tujuan orang tua

3. Orang tua menganggap anak sebagai alat

Dalam hal ini anak harus siap apabila diberi tugas atau diberi perintah oleh orang tua

4. Orang tua tidak menerima krtitik atau pendapat anak

Maksudnya anak tidak diperkenankan untuk memberikan kritik dan saran dan pendapat kepada orang tua

5. Orang tua terlalu tergantung atas kekuatan formalnya

Orang tua merasa memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari anak sehingga orang tua bebas melakukan segala sesuatu tanpa kompromi

6. Orang tua menggunakan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan punitiv

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pola asuh otoriter adalah perlakuan orang tua yang mendidik anak dengan selalu menentukan apa yang diperbuat anak tanpa memberikan penjelasan,


(50)

membuat peraturan yang harus dilaksanakan, membuat keputusan-keputusan sendiri tanpa mempertimbangkan pendapat anak, tidak menerima kritik dari siapapun, memaksakan anak melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya, dan apabila anak melanggar atau tidak memamtuhi peraturan atau tata nilai yang sudah ditetapkan maka anak akan mendapat hukuman. Orang tua merasa kedudukannya lebih tinggi dari anaknya sehingga bebas melakukan sesuatu tanpa kompromi. Bahkan orang tua menggunakan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan punitif serta hukuman fisik. Anak juga tidak pernah diberi hadiah atau pujian apabila anak meakukan sesuatu hal yang sesuai dengan keinginan orang tua.

c. Komponen Pola Asuh Otoriter

Balson (1993;145) mengatakan bahwa pola asuh otoriter mempunyai lima komponen yaitu:

a. Pendidikan bersifat kaku

Dalam menerapkan pendidikan keluarga yang peraturan atau penerapan kebiasaan dalam keluarga orang tua seakan memiliki hak mutlak dan anak harus melaksanakan apa yang menjadi ketentuan-ketentuan dalam keluarga. Dimana ketentuan-ketentuan tersebut dibuat oleh orang tua tanpa melibatkan pemikiran dari anak-anaknya

b. Hukuman lebih banyak diberikan dari pada pujian

Dalam merespon tindakan anak orang tua cenderung memperhatikan kekurangan-kekurangan atau kesalahan-kesalahan


(51)

yang terjadi dan kurang memperhatikan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh anak

c. Kontrol terhadap anak kaku

Penerapan kontrol terhadap anak sering kurang didasarkan pada anak pada kepentingan anak. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua tidak boleh dilakukan oleh anak. Orang tua senantiasa mengendalikan perilaku anaknya

d. Kurangnya saling pengertian

Pola asuh otoriter terdapat dua peran pengatur dan pelaku, orang tua sebagai pengatur kurang memperdulikan kondisi-kondisi serta kebiasaaan-kebiasaaan yang berlaku bagi anaknya. Dilain pihak anak sekedar melaksanakan apa yang dikehendaki oleh orang tuanya tanpa didasarkan pemahaman yang baik atas apa yang dimaksudkannya. Dengan demikian sering terjadi perbedaan maksud dan tujuan dari sebuah proses perilaku

e. Kurangnya kesempatan anak mengeluarkan pendapat

Karena orang tua merasa memiliki otonomi mutlak atas diri anaknya maka didalam bertindak anak tidak mendapat kesempatan untuk memberikan pertimbangan. Akibat dari hal ini anak menjadi kurang bebas menyatakan sesuatu system dengan apa yang dipikirkan atau dikehendaki.

d. Indikator Pola Asuh Otoriter

Menurut Hurlock (1994;124) pola asuh terbagi menjadi beberapa indikator:


(52)

1. Peraturan dan hukuman

Peraturan dan hukuman ini dibuat dengan fungsi sebagai pedoman dalam melakukan penilaian terhadap tingkah laku anak

2. Hukuman

Diberikan bagi pelanggaran yang dilakukan atas peraturan dan hukuman

3. Hadiah

Diberikan untuk perilaku yang baik atau usaha untuk berperilaku social yang baik

2. Keluarga Dengan Remaja

Keluarga dengan remaja (Family with adolescent). Masa remaja adalah priode perkembangan dimana individu mendesak untuk mendapat otonomi dan berusaha untuk mengembangkan jati diri mereka. Perkembangan otonomi dan jati diri dewasa adalah proses yang panjang., berlangsung paling cepat 10 sampai 15 tahun. Anak-anak yang patuh menjadi remaja yang patuh. Orang tua cenderung menggunakan satu atau dua strategi untuk menghadapi ketidakpatuhan menjepit dan menekan remaja untuk mengikuti nilai-nilai orang tua atau menjadi lebih lunak dan membiarkan remaja memiliki kebebasan yang luas. Keduanya bukanlah strategi yang bijak, penerapan pendekatan yang lebih fleksibel adalah yang terbaik.


(53)

3. Perubahan Pada Remaja

Diantara perubahan-perubahan pada remaja, yang dapat mempengaruhi hubungan orangtua remaja adalah pubertas, penalaran logis yang berkembang, pemikiran idealis, yang meningkat harapan yang tidak tercapai, perubahan di sekolah, rekan sebaya, persahabatan, pacaran, dan pergerakan menuju kebebasan.beberapa penelitian telah menunjukan bahwa konflik antara orangtua dan remaja, terutama antara ibu dan anak laki-laki , adalah yang paling membuat tertekan selama masa puncak pertumbuhan pubertas (Hilk,dkk 1985:Steinberg, 1981, 1988).

4. Teknik Pengasuhan Dan Konflik Orang Tua

Banyak orang tua melihat anak-anak mereka berubah dari patuh menjadi seseorang tidak patuh, melawan dan menantang standar-standar orangtua. Orangtua seringkali memaksa dan menekan remaja untuk mengikuti standar orangtua. Banyak orangtua seringkali memperlakukan remaja seperti seseorang yang harus dewasa dalam waktu 10-15 menit. Tapi pergeseran dari masa kanak-kanak ke masa dewasa adalah suatu perjalanan panjang melalui banyak rintangan. Remaja tidak akan menyesuaikan dengan standar orang dewasa dengan segera.

a. Teknik Pengasuhan

Orangtua ingin remaja mereka tumbuh menjadi individu yang dewasa secara social, dan mereka seringkali merasa putus asa


(54)

dalam peran mereka sebagai orang tua. Diana Baumrind (Santrock, 2002:185) menekankan tiga jenis cara menjadi orang tua, yang berhubungan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku social remaja

1. Pengasuhan authoritarian (authorian parentin) atau pengasuhan otoriter adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Orangtua yang bersifat authoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan authoritarian berkaitan dengan perilaku social remaja yang tidak cakap

2. Pengasuhan autoritatif (authoritative parenting), mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbale balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orang tua bersikap hangatdan bersikap membesarkan hati remaja. Pengasuhan autoritatif berkaitan dengan perilaku social remaja yang kompeten.

3. Pengasuhan permisif, ada dua macam pengasuhan permisif yaitu permisif besifat memanjakan, dan bersifat permisif tidak peduli Maccoby dan Martin (Santrock 2002:186). Gaya pengasuhan permisif tidak peduli (permissive- indifferent parenting) adalah suatu pola dimana si orangtua sangat tidak ikut campur dalam


(55)

kehidupan remaja. Hal ini berkaitan dengan perilaku social remaja yang tidak cakap, terutama kurangnya pengendalian diri. Pengasuhan permisif- memanjakan (permissive- indulgent parenting) adalah suatu pola dimana orang tua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Pengasuhan permisif- memanjakan berkaitan dengan ketidakcakapan sosial remaja, terutama kurangnya pengendalian diri.

Faktor-faktor yang lain, ketanggapan contohnya perhatian dan dukungan, orang tua berkaitan dengan kecakapan social remaja. Dan orang tua sendiri memilki masalah perilaku (contohnya masalah alcohol dan konflik pernikahan), remaja seringkali masalah dan menunjukan penurunan kecakapan social.

Beberapa hal mengenai pola pengasuhan tersusun berurutan, pertama pola pengasuhan tidak meliputi tema penting dari sosialisasi timbal balik dan kesesuaian. Kedua banyak orang tua menggunakan kombinasi beberapa teknik, dari pada hanya satu teknik tertentu, walaupun salah satu teknik bias lebih dominan. Walapun pengasuhan yang konsisten biasanya disarankan , orang tua yang bijak dapat merasakan pentingnya bersikap lebih permisif dalam situasi tertentu, dan lebih bersifat otoriter dari situasi yang lain, namun lebih autoritatif disituasi yang lain.


(56)

5. Pengasuhan Orang Tua , Keluarga dan Sosialisasi Tradisional

Orangtua kita jelas punya peran yang penting, kalau bukan yang terpenting dalam perkembangan kita. Ada berbagai gaya pengasuhan orangtua yang bisa amat berbeda-beda. Baumrind (Matsumoto, 2008:110) mengidentifikasi tiga pola utama pengasuhan orang tua, orang tua yang otoriter mengharapkan kepatuhan mutlak dan melihat bahwa anak butuh untuk dikontrol. Sebaliknya orang tua yang bersifat permisif membolehkan anak untuk mengatur hidup mereka sendiri dan menyediakan hanya sedikit panduan baku. Orang tua yang otoritatif bersifat tegas, adil, dan logis. Gaya pengasuhan ini dipandang akan membentuk anak-anak yang secara psikologis sehat, kompeten, mandiri, yang bersifat kooperatif dan nyaman menghadapi situasi-situasi social. Penelitian lain Maccoby dan Martin (dalam Matsumoto, 2008:110) menemukan tipe gaya pengasuhan keempat yang disebut “tak terlibat” atau “uninvolved”. Orang tua yang tak terlibat seringkali terlalu larut dalam kehidupan mereka sendiri untuk bias member respon yang tepat pada anak-anak mereka dan sering terlihat tak peduli.

Banyak pengaruh terhadap perkembangan kita terjadi dalam hubungan kita dengan orang selain orang tua kita. Saat anak-anak tumbuh melewati masa awal anak-anak, pola disebabkan oleh perkembangan kognitif. Berbagai kemampuan baru untuk berpikir tentang diri mereka dan orang lain dan untuk memahami dunia mereka memungkinkan anak untuk megembangkan hubungan sebaya yang lebih dalam dan bermakna.


(57)

Di sekolah, sebagian besar hidup anak dihabiskan tidak dengan orang tua mereka. Proses sosialisasi yang didasarkan pada hubungan primer dengan orang tua berlanjut dengan teman sebaya dalam situasi bermain dan sekolah. Sosialisasi adalah proses instrumental dengan mana anak menginternalisasikan nilai-nilai dan sikapa cultural. Sekolah melambangkan standar-standar ini dan merupakan contributor penting tidak hanya terhadap perkembangan intelektual tapi juga, yang tak kalah penting, terhadap perkembangan social emosional.

6. Remaja dan Keluarganya

Psikologi modern berpandangan bahwa remaja adalah fase perkembangan alami, sepanjang perkembangan itu berjalan secara wajar dan alami, remaja tidak akan mengalami krisis apapun.

Hubungan remaja dengan orang yang lebih dewasa, khususnya orang tua dan perjuangannya secara bertahap untuk membebaskan diri dari dominasi mereka agar sampai pada tingkatan orang dewasa, menjadi masalah yang serius sepanjang kehidupannya dan membuatnya sulit beradaptasi. Keinginan untuk bebas pada diri remaja ini tidak dibarengi oleh kemampuannya untuk beradaptasi yang baik, sehingga orang tua seringkali mengintervensi dunianya. Para ahli kesehatan mental berpendapat bahwa rumah yang baik adalah rumah yang memperkenalkan segala kebutuhan remaja berikut tantangannya agar bias bebas, lalu membantu dan memotivasi secara maksimal, dan memberinya kesempatan serta nasihat yang mengarah pada kebebasan. Lebih dari itu,


(58)

remaja juga harus dimotivasi agar berani bertanggung jawab, mengambil keputusan, dan merencanakan masa depannya. Semua itu harus dilakukan keluarga melalui berbagai upaya positif dan konstruktif, secara sengaja dan terencana, sehingga remaja berusaha sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin untuk memperkuat kematangan dirinya. Menghormati kecenderunganya ubtuk bebas merdeka tanpa mengabaikan perhatian padanya dianggap sebagai strategi paling bagus dan tepat, karena selain bias menimbulkan saling percaya antara orang tua dan anak, juga dapat membukakan jalan kearah adaptasi yang sehat.

7. Perselisihan Keluarga dan Pengaruhnya Pada Remaja

Arahan orang tua dan suasana psikologis dan social yang mewarnai rumah tangga sangat memengaruhi intensitas adaptasi dan perkembangan remaja. e. Keluarga yang otoriter

Bouldwin (dalam Al-Mighwar, 2006:198) berpendapat bahwa rumah tangga yang diktator (otoriter) merupakan rumah tangga yang di dalamnya tidak ada adaptasi artinya penuh konflik, pergumulan, dan perselisihan antara orang tua dan anak-anaknya. Padahal, anak sangat membutuhkan hubungan-hubungan social yang bagus, baik anggota keluarga atau dengan lingkungannya. Pada keluarga seperti ini, remaja merasakan bahwa kepentingan dan hobby nya tidak dipedulikan, atau dianggap tidak penting. Manakala remaja berusaha menarik perhatian kedua orang tuanya, atau berusaha menghukum dirinya, ternyata sosok otoriterlah yang dihadapinya, bahkan terkadang sangsilah yang didapatinya. Karena orang


(59)

tua nya tidak kunjung memerhatikan dan memahami dirinya, diapun bersikap acuh tak acuh terhadap keduanya, bahkan terhadap semua anggota keluarganya.

Sedikitnya terdapat dua sikap otoriter orangtua terhadap anaknya yaitu 3. Otoriter yang memang sudah ada sejak awal, dan orang tua tidak

punya rasa cinta kepada anak-anaknya, yang disebut Bouldwin sebagai otoriter permanen. Akibatnya anak cenderung bersikap radikal dan memberontak.

4. Otoriter yang tidak mau kompromi dengan segala keinginan anak-anaknya artinya orang tua bersikap masa bodo dan tidak mau bekerja sama dengan anak-anaknya. Akibatnya remaja berkeinginan kuat untuk bebas merdeka, meskipun tindakannya tidak seradikal yang pertama seperti menghabiskan waktunya diluar rumah untuk berkumpul dengan teman-teman nya yang dewasa

f. Keluarga yang terlalu toleran

Hart Hawk (dalam Al-Mighwar, 2006:199), berpendapat bahwa remaja yang mendapat perhatian berlebihan dirumah, perilakunya cenderung menyerupai perilaku anak-anak. Hal ini sejalan dengan pandangan para pakar bahwa pengembangan perilaku kebebasan remaja akan sulit bila rumah tangga menerapkan pola-pola toleran yang berlebihan. Artinya remaja akan mengalami banyak kesulitan dalam beradaptasi dengan dunia luar, mendorong mereka untuk mencari perhatian dan bantuan kepada orang lain, mereka menjadi sangat tergantung pada orang tua, hingga


(60)

setelah menikah mereka tidak mau tinggal jauh dari orangtua, kurang mampu menyelesaikan berbagai masalah, atau bersikap cengeng serta pesimis.

g. Keluarga yang demokratis

Adaptasi yang baik mudah dicapai oleh rumah tangga jenis ini. Sebab, prinsip kebebasan dan demokrasi dijalankan dalam segala aspek kegiatan rumah tangga. Orangtua benar-benar menghormati remaja sebagai individu yang utuh lahir batin, dan tidak sedikitpun mengarahkannya secara otoriter. Remaja diberi segala hal yang mengarahkannya pada kedewasaan yang mandiri dan mengambil keputusan sendiri. Selain itu, remaja juga berkesempatan untuk mengupayakan kemerdekaannya sendiri. Ada beberapa cara untuk merealisasikan rumah tangga yang demokratis antara lain:

1. Menghormati pribadi remaja dalam rumah tangga

2. Berusaha mengembangkan kepribadiannya, mengganggap sebagai pribadi unggulan yang memiliki kemampuan dan berbagai kecenderungan tersendiri, dan harus memberinya kesempatan untuk berkembang sejauh mungkin.

3. Memberika kebebasan berpikir, berekspresi dan memilih jenis pekerjaan. Namun demikian, kebebasan itu masih dalam koridor kebaikan bersama dan tujuan-tujuan yang bersifat umum. Maksudnya kebebasan itu bukan tanpa batas, tetapi masih dibatasi oleh ketentuan-ketentuan social.


(61)

Jadi keluarga yang demokratis itu kental dengan nuansa kebersamaan menimbulkan hal yang positif dan terus bergerak, kasih sayang serta saling membatu. Sedangkan keluarga yang otoriter itu kental dengan kekerasan, ketakutan, dan pelarangan. Pola-pola yang diterapkan dalam rumah tangga yang demokratis akan mendorong lahirnya sosok-sosok remaja yang sanggup memikul beban dan tanggung jawab kehidupan, remaja-remaja ideal yang mampu berfikir secara sehat, mau saling menolong, dan bangkit secara bersama-sama dengan masyarakat. Tujuan-tujuan mulia tersebut hanya akan terealisasi oleh rumah tangga yang penuh nuansa demokrasi yang sehat dan didukung oleh pengertian individu-individu yang menginginkan keharmonisan kehidupan sosial.

C. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Bullying

Dalam berbagai level kehidupan bermasyarakat, konflik dan kekerasan masih terus berlangsung. Letupan kerusuhan beruntun yang melanda masyarakat tersebut semakin mencuat sisi keprihatinan. Pendidikan banyak dikritik sebagai penghasil manusia yang mudah tersinggung, toeransi yang tipis, kurang menghargai orang lain dan menganut budaya kekerasan.

Hampir setiap hari kita disuguhi berbagai macam berita tentang kekerasan, baik dilingkungan sekitar kita, dilingkungan rumah tangga (kekerasan dalam rumah tangga), aupun institusi pendidikan yang notabene adalah institusi pencetak penerus bangsa.


(62)

Diakui atau tidak diakui, budaya kekerasan dalam arti yang luas pada hakikatnya telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita pada umumnya telah dialami sejak masa kanak-kanak, baik dilingkungan keluarga, mayarakat maupun sekolah. Kekerasan pada anak tidak hanya meliputi tindakan fisik tetepi juga mencakup kekerasan psikologis seperti dimarahi, diejek, dimaki dan pelecehan seksual. Data dicenter krisis Jakarta memperlihatkan bahwa 76 % korban kekerasan adalah anak-anak. Begitu pula hasil peelitian pada 2006 yang dilakukan oleh pusat kajian pembagunan masyarakat, unuversitas Atmajaya yang bekerja sama dengan UNICEF tentang kekerasan pada anak, khususnya yang terjadi dilingkungan keluarga dan sekolah.

Budaya kekerasan sepertinya semakin hari semakin menguat dalam berbagai aspek dalam berbagai aspek kehidupan kita. Julukan bangsa yang penuh adap, sopan santun, toleran, dan memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat, lambat laun mulai menghilang dari khazanah kehidupan kita, baik daam konteks hidup bermasyarakat maupun berbangsa. Udaya kekerasan telah menjelma dalam berbagai bentuk, seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari dan kita menerimanya sebagai sesuatu yang wajar.

Bullying dapat terjadi karena kesalah pahaman (prasangka/ prejudice) antar pihak yang berinteraksi. Bullying bukanlah mrupakan suatu tindakan yang kebetulan terjadi, melaikan dipengaruhii oleh berbagai faktor seperti faktor sosial, budaya dan ekonomi. Biasanya dilakukan oleh pihak-pihak


(63)

yang erasa lebih kuat, lebih berkuasa, atau bahkan merasa lebih terhormat untuk menindas pihak lain untuk memperoleh keuntngan tertentu. Bullying dapat terjadi dimana saja, seperti keluarga masyarakat dan sekolah yang merupakan tri pusat pendidikan.


(64)

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian memegang peranan yang sangat penting dalam memperoleh hasil penelitian seperti yang diharapkan. Penggunaan metode dimaksudkan agar kebenaran yang diungkapkan benar-benar disertai dengan bukti ilmiah yang kuat. Ketepatan pemilihan metode dalam penelitian merupakan syarat yang sangat penting untuk mendapatkan objektivitas hasil penelitian yang optimal.

A. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 23 September sampai dengan 26 September 2013 di SMP Negeri 1 Abung Selatan Kotabumi Lampung Utara pada siswa kelas VIII, alasan peneliti memilih kelas VIII karena di kelas ini terdapat banyak siswa yang memiliki masalah yang sesuai dengan identifikasi masalah peneliti. Masalah dalam penelitian ini seperti ada siswa yang mengganggu siswa lain di sekolah, ada siswa yang mencela atau menghina siswa lain disekolah, ada siswa yang terlibat perkelahian dengan siswa lain, ada siswa yang suka mengancam siswa lain disekolah, ada siswa yang melakukan pelanggaran disiplin atau aturan sekolah.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat kuantitatif yang menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan korelasional. “Tujuan penelitian korelasional


(1)

79

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan penelitian, maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara pola asuh orang tua otoriter dengan perilaku bullying pada siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Abung Selatan Kotabumi Lampung Utara Tahun Pelajaran 2013/2014 yaitu nilai korelasi sebesar 0,500 Selanjutnya dikonsultasikan pada r tabel n 30 dengan α 1% adalah 0,463. Terlihat bahwa nilai r hitung > r tabel. Hal ini berarti ada hubungan antara pola asuh orang tua otoriter dengan perilaku bullying pada siswa dan setelah diperoleh besarnya koefisien korelasi sebesar 0,40-0,599 jadi dapat disimpulkan bahwa tingkat hubungan pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku bullying adalah sedang.

B. Saran

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian, berikut dipaparkan rekomendasi yang ditujukan kepada beberapa pihak yang secara langsung terkait dengan kemungkinan upaya pengembangan dan penerapan temuan penelitian sebagai berikut :


(2)

80

1. Kepada Guru BK

Konselor sekolah hendaknya dapat membimbing siswa dalam mengatasi perilaku bullying dengan menjalankan layana-layanan BK secara efektif seperti menjalankan konseling individual, konseling kelompok dan menananmkan nilai-nilai moral dan mengembangkan kemampuan siswa dalam memberikan rasa empati terhadap sesama kepada orangtua

2. Kepada orang tua

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, yang dapat dijadikan rekomendasi untuk orang tua diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada anak agar mereka dapat mengungkapkan pendapatnya dan menjadi motivator yang baik pula bagi anak-anaknya.

3. Kepada subjek

Subjek hendaknya dapat mengendalikan diri dengan baik, menahan diri dari perilaku bullying sehingga terwujud hubungan yang harmonis dengan orangtua, guru dan masyarakat pada umumnya.


(3)

81

4. Kepada peneliti selanjutnya

Untuk peneliti selanjutnya yang berminat untuk mengangkat tema yang sama untuk mempertimbangkan variabel-variabel yang berbeda. Dengan menambahkan teknik pengumpulan data seperi oberservasi, wawancara terhadap responden. Serta dapat menggunakan variabel lain seperti teman sebaya dll, sehingga kekurangan dalam penelitian ini dapat diperbaiki


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Afrimaryanti. 2004, Hubungan Antara Gaya Pengasuhan Orang Tua Dengan Kreativitas Pada Remaja Madya

Al-Mighwar, Muhammad. 2006. Psikologi Remaja. Bandung: Pustaka Setia Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Edisi

Revisi VI).Jakarta:PT Rineka Cipta

________.2002.ProsedurPenelitianSuatuPendekatanPraktik.Jakarta:PT Rieneka Cipta

________. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatifdan R&B. Bandung: CV.Alfabeta.

Ardiyansyah, A.A. 2008. Faktor-Faktor Yang Memepengaruhi Bullying Pada Remaja. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia

Astuti, PR. 2008.Meredam Bullying. Jakarta: Grasindo

Berns, M.R. 2004. Child.Family.School.Community.Socialization and upport.Sixth dition.Wadsworth Thomson, Belmont USA.

Citrobroto, R.I.S. 1980. Cara Mendidik Anak Dalam Keluarga MasaKini. Jakarta: Bharata Karya Aksara

Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatam Sepanjang Rentan Kehidupan. Jakarta:Erlangga

Iskandar. 2008. Metodelogi Penelitian Pendidikandan Sosial (Kuantitatifdan Kualitatif).Jakarta:GaungPersada Press (GP Press)

Jennifer D, Helen C. 2009. Penanganan Kekerasan di Sekolah. Jakarta: PT Macanan Jaya Cemerlang

Krahe, B. 2005. Perilaku Agresif. Panduan Psikologi Sosial. Pustaka Pelajar offset.Yogyakarta.

Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya Cetakan kedua. Yogyakarta: Pustaka Belajar


(5)

Nurihsan, J. 2003. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Bandung: Mutiara. Nusantara, A. 2008.Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan LingkunganSekitar

Anak. Jakarta: Grasindo

Ormel, J., Verhulst, F.C., De Winter, A,F., Oldehinkel, A,J., Liendberg, S. and Veenstra, R. 2005. Bullying and Victimization in Elementary Schools: A Comparison of Bullies, Victims, Bully/Victims, and Uninvolved

Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soesetio, S. R. (2005). ”Gencet-

gencetan”dimata siswa/siswi kelas 1 SMA: Naskah kognitif tentang arti, skenario, dan dampak”gencet-gencetan”. Jurnal Psikologi Sosial, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Rice, P. F., Dolgin, G. K. 2008. The Adolescent: Development, Relationships, and Culture. Twelfth Edition. Pearson education. USA. (Hal 267-277)

Ridwan. 2005. Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru-Karyawandan Penenliti Pemula.Jakarta: Alfabeta.

Satiadarma, M,P. 2001. Persepsi Orangtua Membentuk Perilaku Anak: Dampak Pygmalion di Dalam Keluarga.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Santrock, John W. 2003.Adolescence perkembangan remaja. Jakarta: Erlangga Shochib, M. 1998. PolaAsuh Orangtua Dalam Membantu anak Mengembangkan

Disiplin.Jakarta: TanggaPustaka

Sugiyono, 2010.Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Surya, M. (1988).Dasar-dasar Penyuluhan (Konseling).Depdikbud Dirjen Dikti PPLPTK Jakarta.

Papalia, D.E, DKK. 2008. Human development (Psikologi Perkembangan) Edisi Kesembioan. Jakarta:Kencana

Parsons, L.2009. Bullied Teacher Bullied Student Guru danSiswa yang Terintimidasi.Jakarta: Grasindo

Prayitno.(1987). Profesional Konseling dan Pendidikan Konselor. Padang: FIP IKIP.


(6)

Willis, S, Sofyan. 2010. Remaja Dan Masalahnya cetakan Ketiga. Bandung: Alfabeta

Winkel, W. S. (1991). Bimbingandan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: Gramedia

Wiyani, Novan Ardy. (2012). Save Our Children From School. Jogjakarta:Ar-ruzz

Yusuf, S. (2009).PsikologiPerkembanganAnakdanRemaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.