11 11 Analisis Data Hubungan Kelimpahan Fitoplankton dengan Kandungan Klorofil-a

18 Gambar 2 Peta lokasi dan stasiun penelitian pada periode I 2005 117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 KALIMANTAN LOKASI Lunsuranaga Guntung Lalawan Sodang Besar Talasau Tanjung Batu Ulingan Sukan Tg. Binkar Nakal Tg. Birai S. Beribik Tanjung Redep Rantaupanjang Muara Guntung Derawan 5 5 5 5 5 10 10 10 20 20 20 20 20 10 200 5 5 LEGENDA :

5.5 11

km 19 Gambar 3 Peta lokasi dan stasiun penelitian pada Periode II 2006 117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.3 9 8 7 4 3 2 1 6 5 KALIMANTAN LOKASI Lunsuranaga Guntung Lalawan Sodang Besar Talasau Tanjung Batu Ulingan Sukan Tg. Binkar Nakal Tg. Birai S. Beribik Tanjung Redep Rantaupanjang Muara Guntung Derawan 5 5 5 5 5 10 10 10 20 20 20 20 20 10 200 5 5 LEGENDA :

5.5 11

km 20

3.3. Penentuan Lokasi Pengambilan Contoh

Penentuan lokasi pengambilan contoh stasiun ditentukan secara dipilih dengan pertimbangan adalah pengaruh arus dari sungai ke arah laut, dengan asumsi bahwa air dari sungai akan membawa zat-zat nutrien yang kemudian akan terakumulasi di perairan pesisir sebelum jauh menyebar ke arah laut. 3.4. Pengambilan Contoh

3.4.1. Pengambilan Contoh Air Laut

Sampel air laut diambil dengan botol Nansen lalu dimasukkan dalam botol sampel untuk selanjutnya disimpan dalam kotak pendingin untuk dianalisa kandungan klorofil fitoplankton, fosfat, nitrat, silikat, amoniak, derajat keasaman dan oksigen terlarut. Pada saat pengambilan sampel juga dilakukan pengukuran parameter oseanografi secara in situ seperti suhu, salinitas, turbiditas, yang dilakukan dengan menggunakan CTD, serta pengukuran arah dan kecepatan arus dengan current meter.

3.4.2. Pengambilan Contoh Fitoplankton

Contoh fitoplankton diambil dengan menggunakan jaring Kitahara yang berbentuk kerucut dengan diameter 31 cm dan mata jaring 80 µm. Pada bagian tengah mulut jaring dipasang sebuah flowmeter untuk mengetahui volume air yang tersaring. Jaring ini diturunkan kemudian ditarik secara horisontal di permukaan air. Contoh plankton yang diperoleh disimpan dalam botol sampel dan diberi larutan pengawet formalin hingga konsentrasi formalin dalam botol contoh mencapai 4. 3.5. Analisis Contoh

3.5.1. Analisis Kimia

Parameter yang diamati dari sampel air laut yaitu fosfat, nitrat, silikat, amoniak, derajat keasaman dan oksigen terlarut. Contoh air laut untuk parameter fosfat, nitrat, silikat, amoniak, derajat keasaman dan oksigen terlarut diambil dengan menggunakan Nansen. Derajat keasaman pH air laut diukur dengan menggunakan pH meter merek TOA model HM-IK dengan cara mencelupkan 21 elektroda kedalamnya. Untuk penentuan kadar oksigen terlarut digunakan botol sampel dari gelas yang sudah ditentukan volumenya dan dianalisis menurut metode Winkler, yaitu berdasarkan titrasi yodometri dan kadarnya dinyatakan dalam mll. Analisa nitrat dilakukan dengan menggunakan metode Moris dan Riley 1963 yang dimodifikasi oleh Grasshoff Parson et al, 1984, sedangkan analisa fosfat dilakukan menurut metode Murphy dan Riley 1962 dalam Parson et al 1984.

3.5.2. Analisis Klorofil-a

Metode untuk pengukuran kandungan klorofil fitoplankton mengikuti cara yang dilakukan oleh Strickland Parsons 1968, yakni dengan menyaring contoh air laut lalu diekstrak dengan menggunakan larutan aseton 90 untuk selanjutnya disentrifuge pada putaran 4000 rpm selama kurang lebih 30 menit untuk memisahkan antara filtrat dengan cairan yang bening. Kemudian cairan yang bening tersebut dibaca fluororecencenya dengan menggunakan fluorometer Turner Model 450 pada besaran 10 kali. Setelah diberi HCl 8 sampel tersebut kemudian dibaca kembali pada panjang gelombang yang sama, 750 dan 665 nm. Tujuan penambahan asam tersebut adalah untuk memisahkan atau merubah klorofil-a menjadi phaeopitin. Konsentrasi klorofil-a diperoleh dengan menggunakan rumus berikut: τ Ve ml Klorofil-a = F 1 x ________ x R B – R A x __________ µg l = mgm 3 τ - 1 Vs l F 1 = Faktor = 33,8045 τ = R B R A = 1,2222 R B = Reading before bacaan pada flurometer sebelum ditambah asam R A = Reading after bacaan pada flurometer setelah ditambah asam Ve = Volume ektraksi penambahan aseton 90 = ml Vs = Volume saring =liter 22

3.5.3. Analisis Fitoplankton

Cacahan fitoplankton dilakukan melalui fraksi sebuah stempel pipette dan dinyatakan dalam sel.m -3 . Fitoplankton diamati di bawah mikroskop, kemudian ditentukan jenis-jenis fitoplankton dengan menggunakan bantuan buku identifikasi fitoplankton Davis, 1955; Yamaji, 1956; Wicstead, 1965; Newell Newell, 1977; Tomas, 1997. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis kelimpahannya dengan menggunakan rumus berikut APHA, 1992: N = kelimpahan Plankton sel.m -1 P = jumlah lapang pandang yang diamati n = jumlah plankton yang tercacah sel l SR = luas total lapang pandang Sedgwick Rafter 1000 mm 2 l p = luas lapang pandang Sedgwick Rafter yang diamati mm 2 V l = volume air contoh yang tersaring ml V SRC = volume sedgwick rafter 1 ml V T = volume air yang disaring m 3 V T = R a p R = jumlah rotasi putaran baling-baling flowmeter a = luas mulut jaring m 2 p = panjang kolom air yang ditempuh untuk satu putaran m Selanjutnya dilakukan penghitungan Indeks diversitas berdasarkan rumus Shannon dan Weaver 1963 dalam Parsons et al. 1984 dengan satuan bits: H 1 = Indeks Diversitas ni = Jumlah sel fitoplankton jenis ke-i N = Jumlah total sel fitoplankton n H1 = Σ Pi log 2 Pi ; Pi = niN i=1 T SRC l P SR V x V V x l l x p n N 1 = 23 Untuk melihat keseragaman populasi fitoplankton pada setiap pengambilan sampel dilakukan perhitungan Indeks Keseragaman, yaitu: E = Indeks Keseragaman H 1 = Indeks Diversitas H maks = Log 2 S S = Jumlah spesies Untuk mengetahui adanya dominasi oleh spesies tertentu pada suatu populasi digunakan Indeks Dominasi Simpson, yaitu: D = Indeks Dominasi Simpson ni = Jumlah sel fitoplankton jenis ke-i N = Jumlah total sel fitoplankton

3.6. Analisis Data

Data yang telah diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan sejumlah perangkat lunak. Untuk mengetahui sebaran mendatar dari parameter fisika-kimiawi perairan, dan kelimpahan fitoplankton pada setiap stasiun pengamatan digunakan Surfer 8, dan disajikan dalam bentuk kontur. Untuk melihat hubungan antar parameter fisika-kimiawi antar stasiun pengamatan digunakan pendekatan analisis statistika multivariabel yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama, dengan memilih stasiun pengamatan sebagai daerah observasi. Untuk melihat ada tidaknya perbedaan nilai parameter lingkungan yang diperoleh pada dua kali pengambilan sampel pada tahun yang berbeda di lakukan analisis sederhana dengan Uji-t. Untuk melihat hubungan antara parameter fisika-kimiawi air dengan kelimpahan fitoplankton, digunakan analisis secara deskriptif dengan melihat peta kontur sebaran parameter fisika-kimia perairan dan kelimpahan fitoplankton. E = H 1 ; E = H 1 H maks Log 2 S n D = Σ niN 2 i=1 24 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Lingkungan 4.1.1. Faktor Fisika

4.1.1.1. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mendukung proses fotosintesa di laut. Besar kecilnya derajat suhu di laut dapat mempengaruhi reaksi kimia enzimatik yang terjadi dalam proses fotosintesa dan dapat merubah struktur hidrologi kolom perairan yang akhirnya dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton. Kisaran suhu perairan Berau pada saat penelitian dilakukan berkisar antara 28,6 - 31,9 o C . Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang dinyatakan oleh Nontji 2005 bahwa suhu air permukaan di perairan Nusantara umumnya berkisar antara 28 – 31 C. Menurut Raymont 1963, suhu optimum untuk pertumbuhan fitoplankton pada perairan tropis berkisar antara 25 – 32 C, sehingga kondisi suhu di perairan ini masih optimal untuk pertumbuhan fitoplankton. Pada penelitian periode I dilakukan suhu berkisar antara 28,8-31,9 o C. Sedangkan pada saat penelitian periode II dilakukan diperoleh nilai suhu yang berkisar antara 28,6 -31,6 C. Secara umum tidak diperoleh perbedaan nilai suhu pada kedua periode penelitian. Sebaran suhu permukaan di perairan Berau dapat dilihat pada Gambar 4. Suhu pada perairan Berau ini ditemukan paling rendah di daerah laut lepas, dan semakin mendekati daratan, suhu akan semakin meningkat. Hal ini sependapat dengan pernyataan Nontji 2005 bahwa suhu air di dekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi daripada yang di lepas pantai. 24 117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Lunsuranaga Guntung Lalawan Sodang Besar Talasau Tanjung Batu Ulingan Sukan Tg. Binkar Nakal Tg. Birai S. Beribik Tanjung Redep Rantaupanjang Muara Guntung Derawan 28 28.5 29 29.5 30 30.5 31 31.5 32 Gambar 4 Sebaran suhu di perairan Berau 25

4.1.1.2. Salinitas

Salinitas pada perairan Berau memiliki nilai antara 23,7 – 34 PSU. Pada pengambilan sampel periode I diperoleh nilai salinitas berkisar antara 23,7 – 33,7 PSU. Sedangkan pada pengambilan sampel periode II, nilai salinitas berkisar antara 24 – 34 PSU. Dengan demikian tidak terlihat adanya perbedaan salinitas pada periode penelitian yang berbeda. Kisaran salinitas yang demikian ini masih layak untuk pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Menurut Sachlan 1982 salinitas yang sesuai bagi fitoplankton laut untuk dapat hidup dan memperbanyak diri disamping aktif melakukan proses fotosintesis adalah salinitas yang memiliki nilai lebih dari 20 PSU. Sebaran salinitas permukaan di perairan Berau ini dapat dilihat pada Gambar 5. Nilai salinitas terendah dijumpai pada muara sungai dan nilai yang semakin besar ditunjukkan ke arah laut. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh daratan yang besar sehingga mempengaruhi salinitas yang kecil di daerah muara sungai. Pengaruh daratan itu antara lain adalah masuknya aliran air tawar melalui sungai menuju muara sungai yang menyebabkan penurunan salinitas di daerah muara sungai tersebut. Salinitas yang tinggi di daerah laut lepas karena adanya pengaruh yang besar dari perairan Selat Makassar yang mempunyai salinitas tinggi dan karena terletak di wilayah yang sangat jauh dari daratan muara sungai. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai Nontji, 2005. 117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Lunsuranaga Guntung Lalawan Sodang Besar Talasau Tanjung Batu Ulingan Sukan Tg. Binkar Nakal Tg. Birai S. Beribik Tanjung Redep Rantaupanjang Muara Guntung Derawan 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 Gambar 5 Sebaran salinitas di perairan Berau 26

4.1.1.3. Turbiditas

Nilai turbiditas pada permukaan laut di perairan Berau berkisar antara 16,9 – 77,3 NTU. Pada penelitian periode I, turbiditas berkisar antara 16,9 – 77,3 NTU. Pada penelitian periode II nilai turbiditas berkisar antara 17,69 – 53,69 NTU. Sebaran turbiditas di perairan ini dapat dilihat pada Gambar 6. Secara umum nilai turbiditas yang besar dijumpai pada daerah muara sungai dan semakin kecil ke arah laut. Besarnya nilai turbiditas menunjukkan tingkat kekeruhan yang tinggi, hal ini mengandung pengertian bahwa di daerah muara sungai mempunyai tingkat kekeruhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Tingginya tingkat kekeruhan di daerah muara sungai ini disebabkan oleh banyaknya masukan dari daratan dan juga landainya daerah ini yang mengakibatkan terangkatnya sedimen dasar perairan pada saat terjadi turbulensi. Nybakken 1992 menyatakan bahwa kekeruhan akan menyebabkan penurunan penetrasi cahaya yang mengakibatkan menurunnya fotosintesis dan produktifitas primer fitoplankton. Gambar 6 Sebaran turbiditas di perairan Berau 117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Lunsuranaga Guntung Lalawan Sodang Bes ar Talas au Tanjung Batu Ulingan Sukan Tg. Binkar Nakal Tg. Birai S. Beribik Tanjung Redep Rantaupanjang Muara Guntung 5 5 15 25 35 45 55 65 75 27

4.1.1.4. Arus

Arus sangat mempengaruhi sebaran dari fitoplankton. Ukuran fitoplankton yang sangat kecil mengakibatkan pergerakannya sangat tergantung pada pergerakan air Romimohtarto dan Juwana, 2004. Pengukuran arus dilakukan pada saat penelitian periode I. Pada penelitian periode II tidak dilakukan pengukuran arus, karena masih dalam musim yang sama dengan penelitian sebelumnya sehingga kemungkinan besar arah dan kecepatan arus kurang lebih sama dengan penelitian sebelumnya. Arah dan kecepatan arus pada perairan Berau ini sangat bervariasi, mulai dari mulut sungai sampai dengan daerah perairan lepas. Kecepatan arus permukaan baik pada saat pasang maupun surut, memiliki nilai tertinggi adalah sebesar 115,3 cmdetik dan kecepatan arus permukaan terendah diperoleh nilai sebesar 5,4 cmdetik. Sebaran arus selengkapnya disajikan pada Gambar 7. Kecepatan arus yang tinggi dijumpai pada daerah laut lepas dan daerah sekitar muara sungai. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh pengaruh arus Selat Makassar yang kuat sehingga mempengaruhi besarnya kecepatan arus di daerah laut lepas. Pada daerah muara sungai, besarnya arus yang mengalir ini kemungkinan karena derasnya aliran sungai yang masuk ke perairan muara sungai. Arah arus permukaan pada daerah muara umumnya mengikuti arah alur sungai, kemudian membelok ke utara mengikuti pola umum arus Selat makassar. 117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Lunsuranaga Guntung Lalawan Sodang Besar Talasau Tanjung Batu Ulingan Sukan Tg. Binkar Nakal Tg. Birai S. Beribik Tanjung Redep Rantaupanjang Muara Guntung 5 Derawan 10 200 Kecepatan cms 5 116 Gambar 7 Sebaran arus di perairan Berau 28 4.1.2. Faktor Kimia 4.1.2.1. pH Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan. Dalam kehidupan organisme perairan, pH menentukan terlarut tidaknya beberapa zat. Nilai pH ini akan mepengaruhi produktifitas suatu perairan. Menurut Hickling 1971, air yang bersifat basa dan netral cenderung lebih produktif dibandingkan dengan air yang bersifat asam. Nilai pH yang diperoleh selama penelitian di daerah perairan Berau memiliki kisaran antara 7,8 – 8,86. Pada penelitian I pH memiliki kisaran antara 7,8 - 8,86 Gambar 8. Secara umum nilai pH yang rendah dijumpai di daerah dekat muara sungai dan nilai bertambah besar ketika mendekati daerah laut lepas. Nilai derajat keasaman pH di perairan pesisir umumnya lebih rendah dibandingkan dengan pH air laut lepas, karena adanya pengaruh masukan massa air tawar dari sistem sungai yang bermuara. Davis 1955 menyatakan bahwa pH air laut adalah bersifat basa sekitar 8,20 kecuali di dekat pantai, tempat masuknya air tawar, dan di perairan yang terjadi pembusukan detritus organik yang dapat merubah kondisi pH. Kisaran nilai pH yang demikian ini masih menunjang bagi kehidupan fitoplankton. Menurut Sachlan 1982, fitoplankton dapat hidup subur pada pH 7 – 8 bilamana terdapat cukup mineral di dalam perairan tersebut. Ray dan Rao 1964 menerangkan bahwa pH optimal untuk perkembangan diatom antara 8 – 9. 117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Lunsuranaga Guntung Lalawan Sodang Besar Talasau Tanjung Batu Ulingan Sukan Tg. B inkar Nakal Tg. Birai S. Beribik Tanju ng Re dep Rantaupanjang Muara Guntung 5 5 7.8 7.9 8 8.1 8.2 8.3 8.4 8.5 8.6 8.7 8.8 Gambar 8 Sebaran pH di perairan Berau 29

4.1.2.2. Oksigen Terlarut

Kandungan oksigen terlarut di perairan Berau berkisar antara 2,7 - 6,14 mll. Pada penelitian periode pertama, nilai oksigen terlarut antara 2,7 – 4,3 mll pada saat surut. Kadar oksigen ditemukan mempunyai nilai yang rendah di daerah pesisir dekat daratan dan sebaliknya memiliki nilai yang cukup tinggi di daerah laut terbuka Gambar 9. Hal ini kemungkinan disebabkan pemakaian yang tinggi oleh organisme di daerah pesisir. Pada penelitian periode ke-dua kandungan oksigen terlarut di perairan Berau berkisar antara 4,77 – 6,14 mll. Kadar oksigen yang diperoleh pada masing-masing stasiun mempunyai nilai yang bervariasi, tidak ditentukan oleh jauh dekatnya stasiun dengan daratan Gambar 9. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh bervariasinya pemakaian oksigen oleh organisme, baik di daerah pantai maupun lepas pantai. Bervariasinya pemakaian oksigen ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh kondisi organisme itu sendiri, jenis organisme, ukuran dan jumlah organisme. 117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Lunsuranaga Guntung Lalawan Sodang Bes ar Talasau Tanjung Batu Ulingan Sukan Tg. Binkar Nakal Tg. Birai S. Beribik Tanjung Redep Rantaupanjang Muara Guntung 5 5 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 4 Gambar 9 Sebaran oksigen terlarut di perairan Berau 30

4.1.2.3. Fosfat

Konsentrasi fosfat yang diperoleh selama penelitian, memiliki nilai terendah 0,08 µg –atl dan tertinggi 0,89 µg –atl . Pada saat penelitian pertama dilakukan diperoleh kadar fosfat berkisar antara 0,09 - 0,89 µg –atl. Pada penelitian ke-dua konsentrasi fosfat antara 0,08 – 0,29 µg –atl. Kisaran konsentrasi fosfat ini masih layak untuk kehidupan fitoplankton. Fosfat diperlukan oleh fitoplankton pada kisaran 0,029 – 0,587 µg –atl Mackentum, 1969. Secara umum, kandungan fosfat di perairan Berau mempunyai nilai yang tinggi di daerah muara sungai dan semakin rendah ke arah laut Gambar 10. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh karena adanya masukan dari darat. Nontji 1984 menyatakan bahwa kandungan fosfat di suatu perairan antara lain dapat disebabkan karena masukan dari darat atau karena terjadinya pengayaan dari lapisan dalam, baik karena penaikan air maupun karena pengadukan. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa proses penaikan air lebih banyak terjadi di perairan dalam sedangkan proses pengadukan lebih banyak berperan di perairan dangkal. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muchtar 2000 di perairan Kalimantan Timur dari balikpapan sampai kabupaten Kutai Timur, mendapatkan nilai kandungan fosfat antara 0,08 µg –atl - 0,40 µg –atl. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata kisaran fosfat yang diperoleh pada penelitian di Berau ini tidak jauh berbeda dengan penelitian terdahulu pada perairan yang mendekati wilayah Berau. 117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Lunsuranaga Guntung Lalawan Sodang Besar Talasau Tanjung Batu Ulingan Sukan Tg. Binkar Nakal Tg. Birai S. Beribik Tanjung Redep Rantaupanjang Muara Guntung Derawan 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5 0.55 0.6 0.65 0.7 0.75 0.8 Gambar 10 Sebaran fosfat di perairan Berau 31

4.1.2.4. Nitrat

Nitrat sangat diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Hasil pengukuran kandungan nitrat di perairan Berau pada penelitian I ini berkisar antara 0,14 - 4,98 µg –atl Gambar 11. Pada penelitian ke-dua konsentrasi nitrat berkisar antara 0,15 – 1,22 µg –atl. Konsentrasi nutrien yang diperoleh pada perairan ini masih berada pada kondisi yang memungkinkan bagi pertumbuhan produksi fitoplankton. Mackentum 1969 menyatakan bahwa kadar nitrat yang dibutuhkan oleh fitoplankton laut adalah 0,203 – 0,790 µg –atl, bila kurang dari nilai tersebut maka menyebabkan nitrat sebagai faktor pembatas di perairan tersebut. Secara umum, kandungan nutrien di perairan Berau ini memperlihatkan nilai yang tinggi di daerah dekat muara. Hal ini bisa dimengerti karena lokasi yang dekat dengan daratan memungkinkan adanya masukan nutrien dari darat dan karena perairannya dangkal menyebabkan sedimen dasar laut teraduk. Selain itu, hal ini dapat disebabkan pula oleh kondisi sekitar muara yang banyak terdapat mangrove yang dapat menyumbangkan hara dari serasahnya yang membusuk. Sesuai dengan pernyataan Wattayakorn 1988 bahwa kandungan nutrien di suatu daerah estuari selain berasal dari perairan itu sendiri juga tergantung kepada keadaan sekelilingnya antara lain, sumbangan dari daratan melalui sungai yang bermuara ke perairan tersebut, juga tergantung kepada hutan mangrove yang serasahnya membusuk, karena adanya bakteri, terurai menjadi zat hara. 117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Lunsuranaga Guntung Lalawan Sodang Besar Talasau Tanjung Batu Ulingan Sukan Tg. Binkar Nakal Tg. Birai S. Beribik Tanjung Redep Rantaupanjang Muara Guntung Derawan 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2 2.1 Gambar 11 Sebaran nitrat di perairan Berau 32

4.1.2.5. Silikat

Kandungan silikat di perairan Berau pada saat penelitian dilakukan berkisar antara 5,21 - 64,53 µg –atl. Sama halnya dengan sebaran nutrien sebelumnya, konsentrasi silikat di perairan Berau ini secara umum tinggi di daerah dekat muara dan semakin rendah ke arah laut Gambar 12. Tingginya kadar silikat di daerah dekat muara ini diduga karena mendapat masukan silikat dari darat melalui run off ke sungai. Menurut Cushing dan Walsh 1976 salah satu sumber silikat adalah buangan dari darat melalui run off. Lebih lanjut Millero dan Sohn 1991 menerangkan bahwa pada dasarnya sumber silikat di laut sebagian besar merupakan hasil pelapukan yang terbawa oleh aliran sungai. Selain itu, hal ini diduga juga karena di perairan muara sungai, silikat mengalami akumulasi sebelum jauh menyebar ke laut lepas. Koesoebiono 1980 menyatakan bahwa arus dari sungai akan membawa zat-zat nutrien yang kemudian akan terakumulasi di perairan muara sungai sebelum jauh menyebar ke arah laut. Gambar 12 Sebaran silikat di perairan Berau 117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Lunsuranaga Guntung Lalawan Sodang Besar Talasau Tanjung Batu Ulingan Sukan Tg. Binkar Nakal Tg. Birai S. Beribik Tanjung Redep Rantaupanjang Muara Guntung Derawan 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 33 Nilai parameter fisika-kimia lingkungan di perairan Berau, secara umum masih layak untuk pertumbuhan fitoplankton. Berdasarkan uji t, nilai parameter fisika-kimia yang diukur di perairan Berau menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada tahun 2005 dan 2006 Tabel 3, hal ini disebabkan penelitian dilakukan pada musim yang sama. Tabel 3 Hasil uji t nilai parameter fisika-kimia lingkungan di Perairan Berau No Parameter Uji t P-Value 1 Suhu o C 0.936 2 Salinitas PSU 0.160 3 Turbiditas 0.851 4 Fosfat µg –at Pl 0.741 5 Nitrat µg –at Nl 0.362 6 Silikat µg –at Sil - 7 Arus cmdetik - tidak mempunyai nilai karena data hanya diperoleh pada tahun 2005 tidak ada nilai pembanding Secara umum kondisi lingkungan di perairan Berau masih mendukung bagi pertumbuhan dan sebaran fitoplankton. Suhu di perairan Berau masih dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan fitoplankton. Salinitas sangat berkaitan dengan sebaran fitoplankton, pada umumnya fitoplankton jenis tertentu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada perairan yang memiliki salinitas 0 perairan tawar, dan jenis yang lain hanya dapat tumbuh dengan baik pada perairan yang bersalinitas tinggi. Hal ini tergantung dari daya toleransi masing- masing jenis terhadap salinitas itu sendiri. Chaetoceros dapat tumbuh pada kisaran salinitas yang cukup luas, sedangkan Trichodesmium umumnya menyukai perairan bersalinitas tinggi Praseno dan Sugestiningsih, 2000. Setiap jenis fitoplankton membutuhkan kadar nutrien fosfat, nitrat, silikat yang berbeda pula untuk pertumbuhannya. Ault, dkk 2000 dalam penelitiannya memperlihatkan bahwa pengkayaan silicon dapat memberikan pengaruh yang nyata pada komposisi dan kelimpahan fitoplankton. Sastranegara 1994, menyatakan bahwa ada hubungan yang nyata antara Chaetoceros densum dengan NH 3 -N di hutan bakau Segara Anakan, Cilacap, dimana kadar NH 3 -N optimum sebesar 0,002 ppm diperlukan oleh Chaetoceros densum. 34 4.1.3. Faktor Biologi 4.1.3.1. Kelimpahan Fitoplankton Fitoplankton yang ditemukan di Perairan Berau terdiri dari 28 marga, yang termasuk dalam dua klas, yaitu BacillariophyceaeDiatom 24 marga dan DynophyceaeDinoflagellata 4 marga. Diatom merupakan kelas dengan jumlah marga dan kelimpahan tertinggi Gambar 13 dan Gambar 14. Diatom dapat menjadi fitoplankton yang dominan karena diatom mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi dibandingkan dinoflagellata dan klas fitoplankton yang lain, sehingga menyebabkan kelimpahannya besar. Praseno dan Sugestiningsih 2000 menyatakan bahwa pada saat terjadi peningkatan konsentrasi zat hara, diatom mampu melakukan reproduksi tiga kali dalam 24 jam, sedangkan dinoflagellata hanya mampu melakukannya satu kali dalam 24 jam pada kondisi zat hara yang sama. Menurut Arinardi et al. 1997, dalam kondisi yang optimal diatom mampu melakukan pembelahan sel dengan cepat, sekitar empat jam sekali. Fitoplankton 98 2 Diatom Dinoflagellata Dinoflagellata 25 22 Ceratium Dinophysis Protoperidinium Diatom 2 28 24 4 3 6 3 12 18 Bacillaria Chaetoceros Dytilum Guinardia Nitschia Rhizosolenia Thalassiosira Thalassiotrix Lainnya Gambar 13 Kelimpahan fitoplankton di Perairan Berau tahun 2005 35 Menurut Sutomo 1984, secara umum marga yang ditemukan di daerah muara Berau adalah 24 marga fitoplankton, dengan rincian 20 marga diatom dan empat marga dinoflagellata.. Dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun ditemukan penambahan marga fitoplankton kurang lebih 4 marga, hal ini menunjukkan bahwa perairan Berau mengalami peningkatan kesuburan. Lund 1969 dalam Basmi 2000 menyatakan bahwa munculnya spesies organisme baru pada komunitas fitoplankton merupakan indikasi terjadinya proses ke eutrofik. Fitoplankton yang dapat dijumpai di hampir semua stasiun penelitian adalah Chaetoceros, Coscinodiscus, Guinardia, Odontella, dan Rhizosolenia, yang merupakan kelompok dari diatom. Menurut Praseno dan Sugestiningsih 2000, jenis-jenis utama diatom terdiri dari Chaetoceros, Coscinodiscus dan Thalassiosira. Menurut Sutomo 1984, komposisi utama fitoplankton di muara Berau, terdiri atas Chaetoceros, Thalassiothrix Thalassionema, dan Coscinodiscus. Kelimpahan fitoplankton berkisar antara 75.746 – 15.311.933 selm 3 Lampiran 2. Kelimpahan fitoplankton pada tahun 2005 didominasi dari kelas Gambar 14 Kelimpahan fitoplankton di Perairan Berau tahun 2006 Fitoplankton 97 3 Diatom Dinoflagellata Diatom 23 21 15 9 9 8 15 Lauderia Coscinodiscus Bacillaria Nitschia Guinardia Thalassiotrix Lainnya Dinoflagellata 7 20 8 1 Ceratium Protoperidinium Dinophysis Pyrophacus 36 diatom marga Chaetoceros, Dytilum, Thalassiothrix, Rhizosolenia, Thalassiosira, dan Guinardia, sedangkan dinoflagellata dapat dijumpai dalam jumlah yang sedikit yaitu dari marga Ceratium, Dinophysis dan Protoperidinium Gambar 13. Jenis-jenis ini sering mendominasi perairan nusantara. Pemonitoran fitoplankton di perairan Teluk Jakarta antara tahun 1976-1979 menunjukkan bahwa Chaetoceros umum mendominasi jenis-jenis fitoplankton Praseno, 1980. Sutomo 1984 melaporkan bahwa Chaetoceros menduduki tempat yang penting pada komunitas fitoplankton di muara Berau dengan persentase antara 50- 76,7. Thoha 2003 menemukan diatom dominan di Perairan Riau Kepulauan adalah Chaetoceros, Thalassionema dan Thalassiothrix, sedangkan dinoflagellata dominan adalah Ceratium. Sedangkan pada tahun 2006, kelimpahan fitoplankton di perairan Berau, khususnya di perairan lepas pantai didominasi oleh Lauderia, Coscinodiscus, Bacillaria, Nitzschia, Guinardia dan Thalassiothrix. Sutomo, dkk 2001 menyatakan bahwa di perairan kalimantan Timur, khususnya di perairan lepas pantai Thalassiothrix menjadi marga yang dominan dari kelompok diatom, sedangkan dari kelompok dinoflagellata Ceratium dan Protoperidinium ditemukan dalam jumlah yang relatif banyak. Perbedaan marga diatom yang dominan di perairan Berau pada tahun 2005 dan 2006 kemungkinan juga disebabkan oleh perbedaan konsentrasi nutrien di lokasi penelitian. Lagus, et al 2004 menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya diketahui bahwa diatom mempunyai respon yang sangat cepat terhadap penambahan nutrien dan dapat menjadi kelompok yang dominan, dimana didapatkan Chaetoceros wighamii dan Skeletonema costatum menjadi dominan dan terjadi peningkatan sampai 32 - 57 dari total biomassa pada semua percobaan di akhir penelitian. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Kuosa et al 1997 dalam Lagus, et al 2004 yang menyatakan bahwa centric diatom Chaetoceros, Coscinodiscus, Ditylum, Guinardia, Lauderia, Rhizosolenia diketahui memiliki respon pertumbuhan yang cepat terhadap pengkayaan nutrien, baik pada percobaan di laboratorium maupun di perairan alami. Untuk mengetahui keadaan suatu komunitas, perlu diketahui nilai-nilai dari Indeks Keanekaragaman H’, Keseragaman E dan Dominansi D Basmi, 37 2000. Nilai Indeks Keanekaragaman H’, Keseragaman E dan Dominansi D fitoplankton pada perairan Berau dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Nilai Indeks Keanekaragaman H’, Keseragaman E dan Dominansi D Fitoplankton pada Perairan Berau Zona Nilai Indeks Kisaran Keanekaragaman H 1.535 - 3.585 Periode I 2005 Keseragaman E 0.357 - 0.840 Dominansi D 0.121 - 0.577 Keanekaragaman H 1,906 – 3,24 Periode II 2006 Keseragaman E 0,515 – 0,877 Dominansi D 0,125 – 0,485 Indeks keanekaragaman komunitas fitoplankton di perairan Berau menunjukkan bahwa keanekaragaman pada daerah ini termasuk dalam kategori kestabilan komunitas yang sedang. Menurut Parsons et al 1984 nilai indeks keanekaragaman antara 1 – 3 berarti keanekaragaman sedang atau perairan cukup stabil, sedangkan jika indeks keanekaragaman lebih besar dari 3 berarti keanekaragaman tinggi atau perairan stabil. Indeks keseragaman yang berkisar antara 0.357 – 0,877 menunjukkan bahwa struktur komunitas fitoplankton mempunyai keseragaman jenis dalam kisaran kecil sampai tinggi. Semakin besar nilai indeks keseragaman mendekati 1 maka semakin besar pula keseragaman populasi yang berarti penyebaran jumlah individu sama dan tidak ada kecenderungan terjadi dominasi oleh satu jenis fitoplankton. Indeks dominansi menunjukkan bahwa tidak ada jenis fitoplankton yang mendominasi di perairan ini. Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman H’, keseragaman E dan dominansi D dapat diketahui bahwa perairan Berau tergolong dalam perairan yang mempunyai kestabilan sedang, dan tidak terjadi adanya dominasi oleh jenis fitoplankton tertentu.

4.1.3.2. Sebaran Fitoplankton

Secara umum stasiun yang berada lebih dekat dengan daratan dan sungai memiliki kelimpahan fitoplankton yang relatif lebih besar dari stasiun-stasiun lainnya Gambar 15. Hal ini disebabkan oleh pengaruh sungai yang membawa zat hara. Nontji 2005 menyatakan bahwa fitoplankton yang subur umumnya terdapat di perairan sekitar muara sungai yang disebabkan oleh adanya proses 38 penyuburan karena masuknya zat hara ke dalam lingkungan tersebut, baik yang datang dari daratan dan dialirkan oleh sungai ke laut maupun yang berasal dari lapisan dalam dan terangkat ke permukaan. Kelimpahan fitoplankton terbesar dijumpai pada stasiun 4 dan 5 Gambar 15, merupakan daerah yang bernama Muara Pantai, dan stasiun 3 Gambar 16 yang merupakan daerah pertemuan beberapa muara sungai. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sutomo 1983 di perairan sekitar Muara Berau dan Sesayap, diperoleh hasil bahwa kelimpahan tertinggi fitoplankton berada pada daerah Gambar 15 Sebaran fitoplankton di perairan Berau, tahun 2005 Gambar 16 Sebaran fitoplankton di perairan Berau, tahun 2006 117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Lunsuranaga Guntung Lalawan So dang Besar Talas au Tanjung Batu Uli ngan Sukan Tg. B inkar Nakal Tg. Birai S. Beribik Tanju ng Re dep Rantaupanjang Muara Guntung 5 5 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.3 9 8 7 4 3 2 1 6 5 Lunsuranaga Guntung Lalawan Sodang Bes ar Talas au Tanjung Batu Ulingan Sukan Tg. B inkar Nakal Tg. B irai S. Beribik Tanju ng Re dep Rantaupanjang Muara Guntung Derawan 5 5 2000000 4000000 6000000 8000000 10000000 12000000 14000000 39 Muara Pantai, yaitu dengan kelimpahan fitoplankton sebesar 3.243.763 selm 3 . Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Sutomo 1983, pada penelitian ini tahun 2005 kelimpahan fitoplankton terbesar juga ditemukan pada daerah Muara Pantai. Pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2006, stasiun 3 memiliki kelimpahan fitoplankton tertinggi karena stasiun ini terletak di depan muara-muara sungai besar, seperti Muara Pantai dan Muara Garura. Arus perairan juga mempengaruhi sebaran fitoplankton selain pengaruh dari muara sungai pada saat pengamatan, hal ini tentunya tidak terlepas dari sifat plankton yang tidak cukup kuat untuk melawan gerakan air yang begitu besar. Pada penelitian yang dilakukan tahun 2005, kelimpahan tertinggi fitoplankton dijumpai pada stasiun 4 dan 5, kondisi ini tidak terlepas dari pengaruh pergerakan air Gambar 7, dimana sebagian besar air bergerak menuju stasiun 4 dan 5, sehingga fitoplankton akan terkumpul di daerah tersebut. Demikian halnya pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2006, stasiun 3 memiliki kelimpahan fitoplankton yang tinggi mengingat pada saat pengambilan sampel dilakukan, kondisi perairan pada saat menuju surut, sehingga fitoplankton yang berada di daerah muara terbawa oleh air menuju ke daerah yang menjauhi pantai. Secara umum kelimpahan fitoplankton akan tinggi apabila berada pada daerah yang memiliki konsentrasi nutrien tinggi, walaupun tidak secara merata pada semua stasiun pengamatan tetapi daerah yang memiliki kandungan fosfat dan nitrat tertinggi juga memiliki kelimpahan fitoplankton yang relatif tinggi.

4.1.3.3. Kandungan Klorofil-a

Hasil pengamatan kandungan klorofil-a di perairan Berau menunjukkan nilai yang sangat fluktuatif dan heterogen. Kandungan klorofil-a di lapisan permukaan berkisar antara 0,19 –4,24 mgm 3 . Tinggi rendahnya kandungan klorofil-a di perairan Berau sangat berhubungan dengan pasokan nutrien yang berasal dari darat melalui aliran sungai-sungai yang bermuara ke perairan tersebut. Sebaran kandungan klorofil-a pada perairan Berau ini dapat dilihat pada Gambar 17 terlihat bahwa kandungan klorofil-a memiliki nilai yang tinggi di daerah dekat muara dan semakin rendah menuju laut lepas. Kandungan klorofil-a memiliki nilai yang tinggi di daerah dekat muara, khususnya pada stasiun 4 dan semakin rendah menuju laut lepas 40 Gambar 17. Tingginya kandungan klorofil-a di stasiun 4 diperkirakan karena tingginya kandungan nutrien yang merupakan akumulasi pasokan nutrien dari darat secara besar-besaran dan adanya turbulensi atau pengadukan air di daerah dangkal di lokasi tersebut sehingga terjadi pengayaan zat hara dari lapisan dasar ke lapisan permukaan. Hal ini sesuai dengan kandungan nitrat yang diperoleh di stasiun 4, dimana pada stasiun ini diperoleh kandungan nitrat yang tinggi Gambar 11 dan silikat yang cukup tinggi juga Gambar 12. Bila dibandingkan dengan kandungan klorofil-a di perairan Mamberamo dan perairan Selat Malaka maka kandungan klorofil-a di perairan Berau ini memiliki nilai yang lebih tinggi. Menurut Wenno, dkk 2001 kandungan klorofil- a di perairan Mamberamo sebesar 0,379 mgm 3 dan menurut Nuchsin dan Arinardi 2001, kandungan klorofil-a di perairan Selat Malaka memiliki nilai rata-rata 0,53 mg m 3. Tetapi apabila dibandingkan dengan kandungan klorofil-a di perairan Ujung Watu, Jepara; pantai Kartini, Jepara, dan Teluk Jakarta, nilai kandungan klorofil-a di perairan muara Berau relatif lebih rendah. Di perairan Ujung Watu, Jepara kandungan rata-rata klorofil-a adalah sebesar 4,68 mgm 3 Sutomo, dkk., 1989. Pada bulan September 1986 nilai rata-rata kandungan klorofil-a di Pantai Kartini, Jepara sebesar 36,86 mgm 3 Sumijo, 1989. Di perairan Teluk Jakarta hasil pengukuran kandungan klorofil selama tahun 1975 – 1979 pada musim Timur bulan Agustus rata-rata kandungan klorofil-a sebesar 1,60 mgm 3 Nontji, 2006. Bila dibandingkan dengan rata-rata kandungan klorofil-a di seluruh Gambar 17 Sebaran klorofil-a di Perairan Berau, tahun 2005 117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Lunsurana ga Gun tung Lalawan Sodang Besar Talasau Tanjung Batu Uli ngan Sukan Tg. Binkar Nakal Tg. B irai S. Beri bik Tanju ng Re dep Ran tau panjang Muara Guntung 5 5 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 2.2 41 perairan Indonesia kandungan klorofil-a di perairan Berau relatif lebih tinggi. Untuk perairan Indonesia di peroleh rata-rata kandungan klorofil-a pada musim timur 0,24 mgm 3 Nontji, 1974. Kadar klorofil-a yang tinggi di perairan Indonesia umumnya disebabkan karena penyuburan yang terjadi akibat turbulensi atau pengadukan air di daerah dangkal, aliran dari sungai-sungai run off ataupun karena ”upwelling”. Dari nilai kandungan klorofil-a fitoplankton baik pada saat pasang maupun surut, kualitas perairan muara Berau dapat dikategorikan pada kondisi yang masih baik. Pengamatan klorofil-a dapat dilakukan juga melalui udara, yaitu melalui satelit. Pada bulan Agustus – September 2005 dan 2006, kandungan klorofil-a di perairan Berau Kalimantan Timur, yang terbaca oleh Seawifs dapat dilihat pada Gambar 16. Kandungan klorofil-a yang diukur pada saat penelitian periode I memiliki kemiripan nilai dengan hasil foto udara. Hasil penelitian, kandungan klorofil-a berkisar antara 0,19 –4,24 mgm 3 , sedangkan dari foto udara didapatkan kisaran nilai 0,2 – 10 mg m 3 Gambar 18. Pada penelitian periode II, Agustus – September 2006, nilai klorofil di perairan Berau tidak jauh berbeda dengan penelitian I, yaitu berkisar antara 0,2 - 10 mg m 3 Gambar 19. Apabila dibandingkan dengan perairan Indonesia pada umumnya, kandungan klorofil-a di perairan Berau ini termasuk tinggi Gambar 20 dan Gambar 21. Pada Gambar tersebut terlihat bahwa perairan Berau memiliki kandungan klorofil yang tinggi, meskipun hanya pada wilayah yang sempit, berbeda dengan perairan sebelah selatan Kalimantan, Jawa dan Papua serta sebelah timur Sumatera yang memiliki kandungan klorofil-a yang sangat tinggi dengan wilayah yang luas. Gambar 18 Sebaran Klorofil di perairan Berau, Agustus-September 2005 Seawifs 42 Gambar 20 Sebaran Klorofil di perairan Indonesia Agustus-September 2005 Seawifs Gambar 21 Sebaran Klorofil di perairan Indonesia Agustus-September 2006 Seawifs Gambar 19 Sebaran Klorofil di perairan Berau, Agustus-September 2006 Seawifs 43

4.2. Hubungan antara Parameter Fisika Kimia antar Stasiun

Sebelum dilakukan Analisis Komponen Utama data-data tersebut perlu dinormalisasikan terlebih dahulu melalui pemusatan dan pereduksian karena data dari parameter-parameter tersebut tidak mempunyai unit pengukuran dan ragam yang sama. Dengan demikian hasil Analisis Komponen Utama ini tidak direalisasikan atau dihitung dari nilai-nilai parameter hasil pengamatan initial, tetapi dan indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linier nilai-nilai parameter initial Legendre dan Legendre, 1983 dalam Bengen, 2000. Untuk menentukan hubungan antara dua parameter digunakan pendekatan matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik Ludwig dan Reynolds, 1988.

4.2.1. Penelitian Periode I

Hasil analisis data memperlihatkan bahwa informasi penting terpusat pada tiga sumbu utama F1, F2 dan F3. Akar ciri pada masing-masing sumbu adalah 4,28, 2,27 dan 1,80 yang memberikan kontribusi sebesar 38,95, 20,62 dan 16,39 dari total ragam sebesar 75,96 Lampiran 4. Grafik sebaran stasiun pengamatan Gambar 22 memperlihatkan bahwa pada perpotongan sumbu 1 dan 2 F1 x F2 terlihat adanya pengelompokan stasiun penelitian pada bidang antara sumbu 1 positif dan sumbu 2 negatif, yaitu stasiun 1 dan 7. Pada stasiun 1 dan 7 dicirikan oleh silikat dan fosfat yang tinggi, hal ini disebabkan oleh letak posisi stasiun 1 dan 7 yang saling berdekatan dan berada dekat dari daratan sehingga pengaruh daratan mendominasi. Perpotongan antara sumbu 1 negatif dan sumbu 2 negatif memperlihatkan stasiun 10, 12, 13 dan 14 yang membentuk kelompok sendiri, yang dicirikan oleh tingginya salinitas dan pH. Pada kelompok ini, stasiun berada di lepas pantai sehingga salinitas dan pH tinggi karena adanya pengaruh pergerakan air dari Samudera Pasifik. Pada perpotongan antara sumbu 1 positif dan sumbu 2 positif, terjadi pengelompokan stasiun 2, 3, 4, 6, dan 8. Kelompok ini dicirikan oleh suhu, turbiditas dan nitrat yang tinggi. Stasiun-stasiun pada kelompok ini berada di daerah muara sungai sehingga, pengaruh dari daratan sangat besar. 44 Gambar 22. Analisis Komponen Utama Parameter Fisika Kimia pada Penelitian Periode I F1 x F2 A. Korelasi antar variabel B. Sebaran stasiun pengamatan A Arus Suhu Salinitas Turbiditas pH DO Fosfat Nitrat Silikat F 2 : 21,41 F 1 : 35, 06 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 F 2 : 21,41 F 1 : 35, 06 45 Gambar 23. Analisis Komponen Utama Parameter Fisika Kimia pada Penelitian Periode I F1 x F3 A. Korelasi antar variabel B. Sebaran stasiun pengamatan A Arus Suhu Salinitas Turbiditas pH DO Fosfat Nitrat Silikat F 2 : 16,23 F 1 : 35, 06 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 F 2 : 16,23 F 1 : 35, 06 46 Informasi mengenai korelasi antar variabel dengan stasiun pengamatan yang tidak dapat diinformasikan oleh sumbu 1 dan 2 Fl x F2 dapat dilihat pada perpotongan antara sumbu 1 dan 3 Fl x F3.

4.2.2. Penelitian Periode II

Pada penelitian periode II di perairan Berau ini, informasi penting terpusat pada tiga sumbu utama F1, F2 dan F3 dengan akar ciri adalah 2,84, 1,67 dan 1,13 yang memberikan kontribusi sebesar 40,55, 23,90 dan 16,19 dari total ragam sebesar 80,64 Lampiran 5. Pada sumbu 1 dan 2 F1 x F2, variabel salinitas dan pH berperan utama dalam membentuk sumbu F1 positif dengan kontribusi sebesar 25,86 untuk salinitas dan 29,19 untuk pH. Suhu berperan utama dalam membentuk sumbu F1 negatif dengan kontribusi sebesar 27,33. Variabel fosfat dan nitrat mempunyai peranan utama pada sumbu F2 positif yang memberikan kontribusi masing-masing sebesar 47,36 dan 14,44. Turbiditas terlihat berperan utama dalam membentuk sumbu F2 negatif dengan kontribusi sebesar 22,91. Oksigen terlarut bukan merupakan penciri di lokasi penelitian pada F1 x F2, karena hanya mempunyai kontribusi yang kecil terhadap sumbu F1 x F2, tetapi dapat merupakan variabel penciri bagi F1 x F3 Gambar 20A dan Lampiran 4e dengan kontribusi sebesar 73,02. Grafik sebaran stasiun pengamatan Gambar 24B memperlihatkan bahwa pada perpotongan sumbu 1 dan 2 F1 x F2 terlihat adanya pengelompokan stasiun penelitian pada bidang antara sumbu 1 positif dan sumbu 2 negatif, yaitu stasiun 4, 7, dan 8. Stasiun 8 dicirikan oleh tingkat kekeruhan yang tinggi. Pada bidang perpotongan antara sumbu 1 negatif dan sumbu 2 negatif terlihat stasiun 1 yang membentuk kelompok sendiri, dicirikan oleh suhu yang tinggi. Stasiun 2 dan 3 terlihat membentuk kelompok pada bidang antara sumbu 1 negatif dan sumbu 2 positif. Stasiun 2 dicirikan oleh suhu, fosfat dan nitrat yang tinggi, sedangkan stasiun 3 dicirikan oleh suhu yang cukup tinggi. Informasi mengenai korelasi antar variabel dengan stasiun pengamatan yang tidak dapat diinformasikan oleh sumbu 1 dan 2 Fl x F2 dapat dilihat pada perpotongan antara sumbu 1 dan 3 Fl x F3. 47 Gambar 24. Analisis Komponen Utama Parameter Fisika Kimia pada Penelitian Periode II F1 x F2 A. Korelasi antar variabel B. Sebaran stasiun pengamatan A Salinitas pH DO Suhu Turbiditas NO3 PO4 F2 : 23.91 F1 : 40. 55 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 F2: 23.91 F1: 40. 55 48 Gambar 25. Analisis Komponen Utama Parameter Fisika Kimia pada Penelitian Periode II F1 x F3 A. Korelasi antar variabel B. Sebaran stasiun pengamatan B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 F3: 16.19 F1: 40. 55 A Salinitas pH DO Suhu Turbiditas NO3 PO4 F3: 16.19 F1 : 40. 55 49

4.3. Hubungan Kelimpahan Fitoplankton dengan Kandungan Klorofil-a

Fitoplankton dikenal sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil sehingga mampu melaksanakan reaksi fotosintesis. Keberadaan fitoplankton di suatu daerah biasanya berkaitan erat dengan besar kecilnya kandungan klorofil yang berada di daerah tersebut. Pada penelitian di perairan Berau ini kelimpahan fitoplankton mempengaruhi besarnya kandungan klorofil-a. Hal ini dibuktikan oleh hasil analisis korelasi dan regresi. Berdasarkan analisis korelasi dan regresi, diperoleh nilai koefisien korelasi R adalah 0,55 dan nilai koefisien determinasi R 2 adalah 0,30. Santoso 2000 menyatakan bahwa angka korelasi di atas 0,5 menunjukkan korelasi yang cukup kuat, sedang di bawah 0,5 korelasi lemah. Hal ini menunjukkan bahwa pada penelitian ini korelasi antara kelimpahan fitoplankton dan kandungan klorofil-a cukup kuat walaupun tidak terlalu besar. Diketahui bahwa fitoplankton mengandung klorofil-a, sehingga tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton dapat mempengaruhi besar kecilnya kandungan klorofil- a di suatu perairan. Tetapi masih ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tidak selalu berkorelasi secara nyata dengan kandungan klorofil-a. Beberapa alasan yang dapat dikemukakan antara lain adalah proporsi klorofil-a yang dapat berbeda pada setiap jenis fitoplankton yang berbeda, adanya sel fitoplankton yang sangat kecil yang tidak tertangkap dengan jaring plankton yang digunakan sehingga tidak semua sel fitoplankton terkuantifikasi. Menurut Sherr et al.1998 dalam Wiadnyana 1998, fitoplankton yang berukuran kecil 5 µm sering mendominasi komunitas fitoplankton dan dapat memberikan kontribusi lebih dari 50 dari biomassa total. Nontji 2005 menambahkan bahwa fitoplankton yang dapat tertangkap dengan jaring plankton umumnya tergolong dalam fitoplankton yang berukuran besar 20 µm dan termasuk dalam tiga kelompok utama fitoplankton yaitu, diatom, dinoflagellata dan alga biru, sedangkan yang sangat halus nanoplankton lolos tak tertangkap dan sangat rapuh sehingga sulit untuk diawetkan. 50 V KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan