Malaria Pascabencana Alam di Kabupaten Nias Selatan
KARANGAN ASLI
Malaria Pascabencana Alam di Kabupaten Nias Selatan
Lambok Siahaan
Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan
Abstrak: Kabupaten Nias Selatan merupakan daerah endemis malaria di Provinsi Sumatera Utara,
dengan angka Monthly Malaria Incidence (MoMI) sebesar 124,24% pada 2005. Peningkatan
angka MoMI dipengaruhi oleh perubahan berbagai aspek sebagai dampak langsung dari gempa
bumi tektonik yang diikuti dengan tsunami, 26 Desember 2004 dan gempa bumi susulan pada
bulan Maret 2005. Lingkungan berubah menjadi lebih kondusif bagi pertumbuhan dan
perkembangan vektor penyakit, termasuk malaria. Hidup di pengungsian serta menurunnya daya
beli penduduk mempunyai dampak pada daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Begitu pula
dengan rusaknya sarana dan prasarana kesehatan, sangat berpengaruh pada pencegahan dan
penanganan penyakit infeksi. Pemeriksaan kesehatan dilakukan pada 1147 orang penduduk pada
8 desa di 3 kecamatan mulai bulan Agustus sampai dengan Desember 2006. Pemeriksaan
dilakukan di balai desa atau dengan mengunjunginya ke rumah bila tidak dapat berjalan menuju
balai desa. Dari 731 orang yang ikut pemeriksaan darah, diperoleh 380 orang penderita malaria,
yaitu 244 orang terinfeksi Plasmodium falciparum, 59 orang terinfeksi Plasmodium vivax dan 77
orang terinfeksi keduanya. Prevalensi malaria tertinggi dijumpai di desa Hiliamaetaniha dan
terbanyak pada kelompok umur 25-34 tahun. Gejala klinis yang dikeluhkan umumnya adalah
demam, menggigil, pusing, badan pegal, lemas, dan gangguan pencernaan. Dari 380 orang
penderita malaria, hanya 64,7% yang datang dengan gejala klinis demam, selebihnya tidak demam
sama sekali. Sebaliknya 66,1% dari sampel yang bukan penderita malaria, datang dengan gejala
klinis demam. Penderita malaria yang tidak datang dengan gejala klinis demam, umumnya
menunjukkan gejala klinis seperti badan pegal (10%), pusing (7,1%), gangguan pencernaan
(3,7%), lemas (3,2%) dan gabungan gejala tersebut.
Kata kunci: Nias Selatan, malaria klinis, gejala klinis malaria, tanda klinis malaria
Abstract: South of Nias regency is an endemic malaria in North Sumatera, that Monthly Malaria
Incidence (MoMI) was 124,24% in 2005. The rise of MoMI was depend on alteration of several
factors as the result of tectonic quake followed by tsunami, in December 26th 2004 and
continuation earth quake in March 2005. The alteration made better natural environment for
growth and development of vectors, included malaria vectors. Live as refugee in evacuation area
and decrease of purchasing power, influenced immunity against infectious diseases. Broken down
of health facility also influenced the prevention and treatment of infectious diseases. The study
was done from August to December 2006, with 1147 subjects from 8 villages in 3 subdistricts
were enrolled in the study. The examination was done in rural-owned building where the people
conducted a public gathering or by visiting the patients directly to their house. Three hundred
and eighty subjects were got malaria, from 731 examine-subject, consist of 244 subjects were
falciparum malaria, 59 subjects were vivax malaria and 77 subjects got mixture infection. The
high prevalency was found in Hiliamaetaniha village and in 25-34 years age group. The most
symptoms were fever, chill, headache, myalgia, weakness and abdominal dyscomfort. From 380
malaria patients, there were only 64,7% got fever. On the contrary, 66,1% from sample who were
not malaria patients, got fever. The other malaria patients had several signs such as myalgia
(10%), headache (7,1%), abdominal dyscomfort (3,7%), weakness (3,2%) and combination of all
signs.
Keywords: South of Nias regency, clinical malaria, malaria sign, malaria symptom
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008
155
Karangan Asli
PENDAHULUAN
Malaria merupakan salah satu penyakit
yang menjadi ancaman masyarakat di daerah
tropis dan subtropis terutama pada bayi, anak
1
balita, dan ibu melahirkan. Di seluruh dunia
setiap tahunnya ditemukan 500 juta kasus
malaria yang mengakibatkan 1 juta orang
2
meninggal dunia.
Di Indonesia, menurut hasil Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001, terdapat 70 juta penduduk yang tinggal
3
di daerah endemis malaria. Sementara itu
pada tahun 2004, diperkirakan 50 orang
menderita malaria per 1000 orang penduduk
di Indonesia. Dan pada tahun 2005,
diperkirakan 167 dari 293 kabupaten/kota di
Indonesia, merupakan wilayah endemis
1
malaria.
Kabupaten Nias Selatan merupakan
daerah endemis malaria di Propinsi Sumatera
Utara, dengan angka Monthly Malaria
Incidence (MoMI) sebesar 124,24% pada
2005. Peningkatan angka MoMI dipengaruhi
oleh perubahan berbagai aspek sebagai
dampak langsung dari gempa bumi tektonik
yang diikuti dengan tsunami, 26 Desember
2004 dan gempa bumi susulan pada bulan
Maret 2005. Lingkungan berubah menjadi
lebih kondusif bagi pertumbuhan dan
perkembangan vektor penyakit, termasuk
malaria. Hidup di pengungsian serta
menurunnya daya beli penduduk mempunyai
dampak pada daya tahan tubuh terhadap
penyakit infeksi. Begitu pula dengan rusaknya
sarana dan prasarana kesehatan, sangat
berpengaruh
pada
pencegahan
dan
4
penanganan penyakit infeksi.
Tingginya kasus malaria klinis merupakan
sesuatu yang perlu segera disingkapi. Hal ini
bisa saja terjadi oleh karena resistensi obat
atau karena ’kesalahan diagnosa’, terutama
bila menegakkan diagnosa malaria hanya
berdasarkan gejala klinis dan tanda klinis saja.
Padahal gejala klinis dan tanda klinis malaria
pada daerah endemis, umumnya tidaklah khas
dan hampir sama seperti gejala dan tanda
klinis pada penderita infeksi lainnya, terutama
5,6
pada fase awal infeksi.
Pengenalan gejala klinis yang khas di
daerah endemis malaria merupakan salah satu
cara untuk penanganan penyakit malaria
secara cepat, tepat, dan rasional. Seleksi awal
penderita yang disangkakan sebagai penderita
malaria klinis, merupakan suatu hal yang perlu
156
dimiliki oleh petugas kesehatan di lapangan,
sebelum akhirnya dikonfirmasikan pada
pemeriksaan
mikroskopis
yang
masih
merupakan standar diagnostik malaria.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat
insidensi malaria di Kabupaten Nias Selatan
pascabencana
alam,
serta
melakukan
pengamatan pada gejala dan tanda klinis yang
paling banyak muncul pada penderita malaria
tersebut.
BAHAN DAN CARA
Penelitian dilakukan secara cross sectional
dan merupakan bagian dari rangkaian
penelitian malaria yang dilaksanakan di 8 desa
pada 3 kecamatan di Kabupaten Nias Selatan
mulai bulan Agustus sampai dengan
Desember 2006.
Populasi penelitian adalah penduduk
yang bertempat tinggal di tempat penelitian.
Populasi terjangkau adalah pasien dengan
keluhan demam atau riwayat demam satu
minggu terakhir. Subjek penelitian adalah
penderita
malaria
yang
ditentukan
berdasarkan pemeriksaan mikroskopis, yaitu
dengan menemukan Plasmodium spp. pada
sediaan darahnya.
Sampel dengan keluhan demam atau
riwayat demam satu minggu terakhir dengan
atau tanpa tanda-tanda klinis malaria,
diperiksa secara simultan untuk menegakkan
diagnosa malaria. Pemeriksaan itu meliputi
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
apusan darah tepi malaria (sediaan tebal dan
tipis). Sebelum pemeriksaan dilakukan,
sampel diberi penjelasan tentang apa yang
akan
dilakukan
sambil
menanyakan
kesediaannya untuk ikut dalam penelitian.
Kesediaan untuk ikut penelitian ditandai
dengan penandatanganan informed consent
(Gambar 1).
Populasi Penelitian
Pemeriksaan Fisik
Anamnesa
Pemeriksaan Apusan Darah
(Mikroskopis)
Gejala Klinis
Tanda Klinis
Bukan Penderita Malaria
Obat Yang Sesuai Dengan Penyakit
Penderita Malaria
Obat Antimalaria
Gambar 1. Alur pemeriksaan pasien
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008
Lambok Siahaan
Malaria Pascabencana Alam...
Anamnesa pribadi meliputi identitas
pribadi, keluhan penyakit saat ini, riwayat
penyakit-penyakit kronik terdahulu, riwayat
penyakit malaria, dan riwayat penggunaan
obat antimalaria.
Pemeriksaan
fisik
diagnostik
yang
dilakukan meliputi inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi untuk mendapatkan tanda
objektif (tanda klinis) dan dikaitkan dengan
kebutuhan pada penelitian.
Pemeriksaan apusan darah meliputi
pemeriksaan apusan darah tebal dan tipis.
Darah diambil dari ujung jari yang telah
ditusuk dengan menggunakan lancet steril
setelah terlebih dahulu dibersihkan dengan
memakai kapas alkohol. Darah tetes pertama
dibuang dan selanjutnya diletakkan pada dua
object glass, masing-masing di bagian
tengahnya sebanyak ± 2 tetes. Untuk apusan
darah tebal tetesan darah tersebut diaduk
dengan menggunakan ujung object glass yang
lain. Sementara itu untuk apusan darah tipis
diratakan dengan menggunakan tepi sisi object
glass dengan cara mendorong dari satu arah ke
arah yang berlawanan. Kemudian dikeringkan
pada suhu kamar. Setelah kering, apusan
darah tipis di-fiksasi dengan metanol sebelum
diberi pewarnaan, sementara apusan darah
tebal langsung diberi pewarnaan. Pewarnaan
dilakukan dengan menggunakan Giemsa 10%
selama 10-15 menit, lalu dibilas dengan air
kran yang mengalir. Setelah kering, slide siap
untuk
diperiksa
dengan
pembesaran
mikroskop sebesar 1000x, untuk melihat ada
tidaknya Plasmodium sp. serta menghitung
7
kepadatannya.
Penderita malaria diberikan pengobatan
malaria sesuai dengan standar pengobatan, dan
bila bukan menderita malaria, akan diobati
8
Sebelum
sesuai
dengan
penyakitnya.
diberikan pengobatan, terlebih dahulu
diberikan penjelasan kepada sampel tentang
kegunaan obat dan efek samping yang dapat
terjadi.
Data yang diperoleh diolah secara
deskripsi sederhana dan disajikan dalam
bentuk tabel.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. menunjukkan bahwa populasi
penelitian yang paling banyak adalah
perempuan, kelompok umur 5-14 tahun dan
di desa Botohilitano.
Tabel 2. dan Tabel 3. menunjukkan
bahwa penderita malaria terbanyak dijumpai
pada perempuan, kelompok umur 25-34
tahun dan di desa Hiliamaetaniha. Sementara
itu, spesies yang terbanyak dijumpai adalah
Plasmodium falciparum.
Tabel 1.
Distribusi populasi penelitian
Kelompok Umur
< 5 tahun
5-14 tahun 15-24 tahun 25-34 tahun 35-44 tahun 45 - 54 tahun > 55 tahun
Sihareo
13 (16%)
33 (40,7%) 12 (14,8%)
5 (6,2%)
9 (11,1%)
3 (3,7%)
6 (7,4%)
Golambanua II
7 (9,3%)
10 (13,3%) 13 (17,3%) 14 (18,7%)
12 (16%)
11 (14,7%)
8 (10,7%)
Hilisimetano
50 (17,9%) 89 (31,8%)
24 (8,6%)
52 (18,6%) 39 (13,9%)
17 (6,1%)
9 (3,2%)
Soonogeo
6 (10,9%)
10 (18,2%) 12 (21,8%)
7 (12,7%)
9 (16,4%)
6 (10,9%)
5 (9,1%)
Hilisitaro
12 (13,5%)
16 (18%)
15 (16,9%) 18 (20,2%) 13 (14,6%)
7 (7,9%)
8 (9%)
Bawamatulo
0 (0%)
2 (2,9%)
17 (24,3%)
14 (20%)
16 (22,9%) 13 (18,6%)
8 (11,4%)
Hiliamaetaniha
16 (14%)
2 (1,8%)
16 (14%)
29 (25,4%) 24 (21,1%) 18 (15,8%)
9 (7,9%)
Botohilitano
25 (6,5%) 117 (30,5%) 54 (14,1%) 73 (19,1%) 48 (12,5%)
35 (9,1%)
31 (8,1%)
Total
129 (11,2%) 279 (24,3%) 163 (14,2%) 212 (18,5%) 170 (14,8%) 110 (9,6%) 84 (7,3%)
Desa
Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
27 (33,3%) 54 (66,&%)
32 (42,7%) 43 (57,3%)
83 (29,6%) 197 (70,4%)
24 (43,6%) 31 (56,4%)
36 (40,4%) 53 (59,6%)
23 (32,9%) 47 (67,1%)
49 (43%)
65 (57%)
130 (33,9%) 253 (66,1%)
404 (35,2%) 743 (64,8%)
Total
81 (100%)
75 (100%)
280 (100%)
55 (100%)
89 (100%)
70 (100%)
114 (100%)
383 (100%)
1147 (100%)
Tabel 2.
Distribusi penderita malaria
Desa
Sihareo
Golambanua II
Hilisimetano
Soonogeo
Hilisitaro
Bawamatulo
Hiliamaetaniha
Botohilitano
Total
Periksa
Darah
32
34
165
23
47
26
74
330
731
P.falciparum
16
13
47
0
18
0
34
116
244 (64,2%)
Malaria
P.vivax
Campuran
1
3
3
5
6
27
0
0
3
3
0
0
9
8
37
31
59 (15,5%)
77 (20,3%)
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008
Total
20 (62,5%)
21 (61,8%)
80 (48,5%)
0 (0%)
24 (51,1%)
0 (0%)
51 (68,9%)
184 (55,8%)
380
157
Karangan Asli
Tabel 3.
Perbandingan karakteristik dasar
Karakteristik
a. < 5 tahun
b. 5-14 tahun
c. 15 - 24 tahun
d. 25 - 34 tahun
e. 35 - 44 tahun
f. 45 - 54 tahun
g. > 55 tahun
Total
Periksa Darah
Laki-Laki Perempuan
13
57
54
163
22
82
47
106
54
57
9
42
9
16
208 (28,5%) 523 (71,5%)
Penderita Malaria
Total (%)
Laki-Laki
Perempuan
Total
70 (9,6%)
22 (5,8%)
5
17
217 (29,7%)
41 (10,8%)
13
28
104 (14,2%)
41 (10,8%)
13
28
153 (20,9%)
88 (23,2%)
36
52
111 (15,2%)
34
40
74 (19,5%)
51 (7%)
64 (16,8%)
16
48
25 (3,4%)
50 (13,2%)
21
29
731 (100%) 138 (36,3%) 242 (63,7%) 380 (100%)
Tabel 4.
Gejala dan tanda klinis
Karakteristik
Periksa Darah (n=731)
Jumlah
Proporsi
Penderita Malaria (n=380)
Jumlah
Proporsi
Gejala Klinis
Demam + Gejala Lain
Gabungan Gejala Tanpa Demam
Demam
Menggigil
Badan Pegal
Pusing
Gangguan Pencernaan
Lemas
151
57
327
0
79
59
29
29
20,7%
7,8%
44,7%
0%
10,8%
8,1%
4,0%
4,0%
52
43
194
0
38
27
14
12
13,7%
11,3%
51,1%
0,0%
10,0%
7,1%
3,7%
3,2%
Tanda Klinis
Kenaikan Suhu Tubuh
Pembesaran Limfa
582
0
79,6%
0%
239
0
62,9%
0%
Tabel 5.
Perbandingan gejala klinis demam
Diagnosis Mikroskopis
Malaria
Bukan Malaria
Gejala Klinis
Demam
Tidak Demam
246 (64,7%)
134 (35,3%)
232 (66,1%)
119 (33,9%)
Tabel 4. menunjukkan bahwa gejala
klinis yang paling banyak dijumpai pada
sampel yang diperiksa darahnya adalah
demam (dengan atau tanpa gejala lain) yaitu
sebanyak 65,4%. Sementara itu pada
penderita malaria, 64,8% diantaranya dengan
gejala klinis demam. Penderita malaria yang
tidak datang dengan gejala klinis demam,
umumnya menunjukkan gejala klinis seperti
Badan Pegal (10%), Pusing (7,1%), Gangguan
Pencernaan (3,7%), Lemas (3,2%), dan
gabungan gejala tersebut.
Pada pemeriksaan suhu tubuh (tanda
klinis) dijumpai kenaikan suhu tubuh pada
79,6% sampel yang diperiksa darahnya.
Sementara itu, kenaikan suhu tubuh juga
dijumpai pada 62,9% penderita malaria.
158
Total
380 (100%)
351 (100%)
Tabel 5. menunjukkan bahwa dari 351
orang yang bukan penderita malaria, 66,1%
diantaranya datang dengan gejala klinis
demam. Sebaliknya dari 380 orang penderita
malaria, 35,3% diantaranya tanpa gejala klinis
demam.
DISKUSI
Dari 1147 orang populasi penelitian,
hanya 731 orang yang dilakukan pemeriksaan
darah.
Pemeriksaan
darah
tersebut
memberikan hasil Slide Positive Rate (SPR)
sebesar 52%. Hasil ini lebih besar
dibandingkan dengan SPR pada tahun 2005,
yaitu sebesar 12,7%. Hal ini disebabkan
karena penderita malaria klinis yang
dikonfirmasikan dengan pemeriksaan apusan
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008
Lambok Siahaan
darah, hanya sekitar 7,8% dari keseluruhan
4
penderita malaria klinis yang ada.
Sebaliknya, prevalensi penderita malaria
dalam penelitian ini jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan kasus malaria klinis
sepanjang tahun 2003-2005. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1. Besarnya data penderita malaria klinis
tersebut terjadi karena penentuan diagnosa
malaria klinis, hanya berdasarkan gejala
klinis, tanpa pemeriksaan apusan darah.
2. Musim hujan sangat berpengaruh pada
pembentukan perindukan nyamuk sebagai
vektor pembawa penyakit malaria.
Rendahnya
prevalensi
ini
juga
dimungkinkan karena penelitian dilakukan
pada masa transisi musim kemarau ke
awal musim hujan, sehingga belum banyak
terbentuk tempat perindukan vektor.
3. Penentuan tempat penelitian lebih
berdasarkan
pada
pertimbangan
transportasi menuju lokasi dan biaya
operasional, sehingga tempat yang terpilih,
bukanlah desa dengan insiden tertinggi
yang pernah dilaporkan, melainkan desa
dengan insiden menengah ke bawah.
Spesies yang dijumpai pada penelitian ini
Plasmodium
falciparum
dan
adalah
Plasmodium vivax. Dengan jumlah kasus
terbanyak adalah malaria oleh karena
Plasmodium falciparum. Hal ini sesuai dengan
laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Nias
4
Selatan tahun 2005.
Secara umum, prevalensi penderita
malaria pada semua desa hampir sama, yaitu
di atas > 45%, kecuali pada dua desa, yaitu
Soonogeo dan Bawamatulo. Khusus pada dua
desa tersebut, tidak dijumpainya kasus malaria
lebih dimungkinkan karena faktor jumlah
sampel yang diperiksa masih relatif sedikit.
Dan selama masa penelitian dilakukan,
penduduk yang berpartisipasi juga sangat
sedikit.
Peluang terjadinya penyakit malaria
sangat ditentukan oleh seberapa besar
penderita kontak dengan vektor pembawa
penyakit, yang lebih banyak beraktivitas pada
malam hari. Pada penelitian ini, kasus malaria
terbanyak dijumpai pada kelompok umur 2534 tahun dan 35-44 tahun, yang tentunya
sangat berhubungan dengan aktivitas pada
malam hari atau pekerjaan yang berpeluang
untuk kontak dengan vektor. Sementara itu,
Malaria Pascabencana Alam...
tingginya kasus malaria pada perempuan lebih
dimungkinkan karena komposisi penduduk
yang memang lebih banyak perempuan
dibandingkan dengan laki-laki.
Gejala klinis yang dijumpai umumnya
adalah demam, menggigil, badan pegal,
pusing, gangguan pencernaan, dan lemas.
Demam sebagai salah satu gejala klasik
malaria, tidak selalu harus ada pada penderita
5
malaria, terutama di daerah endemis malaria.
Dari 380 orang penderita malaria, hanya
64,7% yang datang dengan gejala klinis
demam, selebihnya tidak demam sama sekali.
Sebaliknya, 66,1% dari sampel yang bukan
penderita malaria, datang dengan gejala klinis
demam (Tabel 5.).
Selain demam, gejala klinis seperti: badan
pegal, pusing, gangguan pencernaan dan
lemas, juga harus diperhatikan sebagai gejala
klinis malaria, terutama di daerah endemis
malaria.
Hasil
penelitian
ini
yang
menunjukkan bahwa gejala klinis pada
penderita malaria yang tidak mengalami
demam, umumnya adalah 10% dengan gejala
klinis badan pegal, 7,1% dengan gejala klinis
pusing, 3,7% dengan gejala klinis gangguan
pencernaan dan 3,2% dengan gejala klinis
lemas.
Gejala klinis malaria yang bervariasi ini
pun diperoleh pada berbagai penelitian yang
dilakukan di berbagai tempat. Penelitian yang
dilakukan pada anak penderita malaria di
Gambia pada tahun 2000, diperoleh hasil
bahwa
58,3% penderita malaria tersebut
menderita demam, 86% mengalami pusing
9
dan 60,7% mengalami gangguan pencernaan.
Sementara itu, penelitian di Thailand
melaporkan bahwa gejala klinis penderita
malaria umumnya adalah demam (42,3%),
pusing (98,3%), badan pegal (96,6%),
menggigil (88,4%), dan gangguan pencernaan
10
(29,3%). Penelitian lain yang dilakukan di
Nigeria pada tahun 2005 juga mendapatkan
hasil bahwa dari penderita malaria yang ada,
100% mengalami demam, 69,6% mengalami
pusing dan 50,4% mengalami gangguan
11
pencernaan.
Demam sebagai gejala klinis, umumnya
lebih bersifat subjektif. Hal itu terlihat dari
582 orang sampel yang diperiksa darahnya dan
yang mengalami kenaikan suhu tubuh (tanda
klinis), 104 orang diantaranya (17,9%), tidak
mengeluhkan demam sama sekali (gejala
klinis). Sebaliknya, dari 246 orang penderita
malaria yang mengeluhkan demam (gejala
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008
159
Karangan Asli
klinis), hanya 239 orang (97,2%) yang
mengalami kenaikan suhu tubuh (tanda
klinis). Sehingga dalam pemeriksaan pasien
malaria, sangat diperlukan pemeriksaan suhu
tubuh dengan menggunakan alat ukur
termometer, yang lebih bersifat objektif.
Dalam penelitian ini tidak dijumpai
adanya pembesaran limfa. Hal ini biasanya
berhubungan dengan kronisitas penyakit dan
imunitas tubuh.
KESIMPULAN
Pengenalan gejala klinis yang khas di
daerah endemis malaria sangat membantu
dalam penanganan penyakit malaria secara
cepat, tepat, dan rasional guna menurunkan
angka kesakitan dan kematian karena malaria.
Tenaga kesehatan di daerah endemis
diharapkan dapat mengenal gejala dan tanda
klinis yang khas pada daerahnya, sebagai
langkah awal diagnostik malaria klinis sebelum
dikonfirmasikan pada pemeriksaan apusan
darah (mikroskopis). Oleh karena itu,
pengamatan lebih lanjut untuk menemukan
gejala dan tanda klinis yang khas pada tiap
daerah endemis perlu dilakukan, sambil terus
membenahi laboratorium diagnostik malaria
di daerah daerah endemis malaria.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia, Gebrak Malaria, Pedoman
Tatalaksana Kasus Malaria di Indonesia,
Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular
dan Penyehatan Lingkungan, Edisi Kedua,
2005, Hal: 1-2, 15-16.
2. Davis TME, Malaria treatment: Available
from URL:http://www.rph.wa.gov.au/labs/
haem/malaria/treatment.html, 2002.
3. Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia, Profil Kesehatan Indonesia
2001, Menuju Indonesia Sehat 2010,
2002.
160
4. Hakim L, Laporan Akhir Pendampingan
Penanggulangan Malaria Kabupaten Nias
Selatan Propinsi Sumatera Utara, Ditjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006
5. Harijanto PN, Gejala Klinik Malaria,
Dalam: Harijanto PN (editor) Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi
Klinis Dan Penanganan, Jakarta, Penerbit
Buku Kedokteran, EGC, 2000, Hal: 151160.
6. Purwaningsih S, Diagnosis Malaria,
Dalam: Harijanto PN (editor) Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi
Klinis Dan Penanganan, Jakarta, Penerbit
Buku Kedokteran, EGC, 2000, Hal: 185187.
7. Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia,
Pedoman
Penatalaksanaan
Kasus Malaria di Indonesia, Ditjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan, 2006.
8. PAPDI, Konsensus Penanganan Malaria,
2003, Hal: 9-21
9. Seidlein LV, et al, Efficacy of artesunate
plus pyrimethamine-sulphadoxine for
uncomplicated malaria in Gambian
children, The Lancet, Jan 29, 2000, pp
352
10. Erhart LM, et al, Hematologic and clinical
indices of malaria in a semi-immune
population
of
western
Thailand,
Am.J.Trop.Med.Hyg, 70(1), 2004, pp 814
11. Pitmang SL, et al, Comparison of
sulphadoxine-pyrimethamine with and
without chloroquine for uncomplicated
malaria in Nigeria, Am.J.Trop.Med.Hyg,
72(3), 2005, 263-266.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008
Malaria Pascabencana Alam di Kabupaten Nias Selatan
Lambok Siahaan
Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan
Abstrak: Kabupaten Nias Selatan merupakan daerah endemis malaria di Provinsi Sumatera Utara,
dengan angka Monthly Malaria Incidence (MoMI) sebesar 124,24% pada 2005. Peningkatan
angka MoMI dipengaruhi oleh perubahan berbagai aspek sebagai dampak langsung dari gempa
bumi tektonik yang diikuti dengan tsunami, 26 Desember 2004 dan gempa bumi susulan pada
bulan Maret 2005. Lingkungan berubah menjadi lebih kondusif bagi pertumbuhan dan
perkembangan vektor penyakit, termasuk malaria. Hidup di pengungsian serta menurunnya daya
beli penduduk mempunyai dampak pada daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Begitu pula
dengan rusaknya sarana dan prasarana kesehatan, sangat berpengaruh pada pencegahan dan
penanganan penyakit infeksi. Pemeriksaan kesehatan dilakukan pada 1147 orang penduduk pada
8 desa di 3 kecamatan mulai bulan Agustus sampai dengan Desember 2006. Pemeriksaan
dilakukan di balai desa atau dengan mengunjunginya ke rumah bila tidak dapat berjalan menuju
balai desa. Dari 731 orang yang ikut pemeriksaan darah, diperoleh 380 orang penderita malaria,
yaitu 244 orang terinfeksi Plasmodium falciparum, 59 orang terinfeksi Plasmodium vivax dan 77
orang terinfeksi keduanya. Prevalensi malaria tertinggi dijumpai di desa Hiliamaetaniha dan
terbanyak pada kelompok umur 25-34 tahun. Gejala klinis yang dikeluhkan umumnya adalah
demam, menggigil, pusing, badan pegal, lemas, dan gangguan pencernaan. Dari 380 orang
penderita malaria, hanya 64,7% yang datang dengan gejala klinis demam, selebihnya tidak demam
sama sekali. Sebaliknya 66,1% dari sampel yang bukan penderita malaria, datang dengan gejala
klinis demam. Penderita malaria yang tidak datang dengan gejala klinis demam, umumnya
menunjukkan gejala klinis seperti badan pegal (10%), pusing (7,1%), gangguan pencernaan
(3,7%), lemas (3,2%) dan gabungan gejala tersebut.
Kata kunci: Nias Selatan, malaria klinis, gejala klinis malaria, tanda klinis malaria
Abstract: South of Nias regency is an endemic malaria in North Sumatera, that Monthly Malaria
Incidence (MoMI) was 124,24% in 2005. The rise of MoMI was depend on alteration of several
factors as the result of tectonic quake followed by tsunami, in December 26th 2004 and
continuation earth quake in March 2005. The alteration made better natural environment for
growth and development of vectors, included malaria vectors. Live as refugee in evacuation area
and decrease of purchasing power, influenced immunity against infectious diseases. Broken down
of health facility also influenced the prevention and treatment of infectious diseases. The study
was done from August to December 2006, with 1147 subjects from 8 villages in 3 subdistricts
were enrolled in the study. The examination was done in rural-owned building where the people
conducted a public gathering or by visiting the patients directly to their house. Three hundred
and eighty subjects were got malaria, from 731 examine-subject, consist of 244 subjects were
falciparum malaria, 59 subjects were vivax malaria and 77 subjects got mixture infection. The
high prevalency was found in Hiliamaetaniha village and in 25-34 years age group. The most
symptoms were fever, chill, headache, myalgia, weakness and abdominal dyscomfort. From 380
malaria patients, there were only 64,7% got fever. On the contrary, 66,1% from sample who were
not malaria patients, got fever. The other malaria patients had several signs such as myalgia
(10%), headache (7,1%), abdominal dyscomfort (3,7%), weakness (3,2%) and combination of all
signs.
Keywords: South of Nias regency, clinical malaria, malaria sign, malaria symptom
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008
155
Karangan Asli
PENDAHULUAN
Malaria merupakan salah satu penyakit
yang menjadi ancaman masyarakat di daerah
tropis dan subtropis terutama pada bayi, anak
1
balita, dan ibu melahirkan. Di seluruh dunia
setiap tahunnya ditemukan 500 juta kasus
malaria yang mengakibatkan 1 juta orang
2
meninggal dunia.
Di Indonesia, menurut hasil Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001, terdapat 70 juta penduduk yang tinggal
3
di daerah endemis malaria. Sementara itu
pada tahun 2004, diperkirakan 50 orang
menderita malaria per 1000 orang penduduk
di Indonesia. Dan pada tahun 2005,
diperkirakan 167 dari 293 kabupaten/kota di
Indonesia, merupakan wilayah endemis
1
malaria.
Kabupaten Nias Selatan merupakan
daerah endemis malaria di Propinsi Sumatera
Utara, dengan angka Monthly Malaria
Incidence (MoMI) sebesar 124,24% pada
2005. Peningkatan angka MoMI dipengaruhi
oleh perubahan berbagai aspek sebagai
dampak langsung dari gempa bumi tektonik
yang diikuti dengan tsunami, 26 Desember
2004 dan gempa bumi susulan pada bulan
Maret 2005. Lingkungan berubah menjadi
lebih kondusif bagi pertumbuhan dan
perkembangan vektor penyakit, termasuk
malaria. Hidup di pengungsian serta
menurunnya daya beli penduduk mempunyai
dampak pada daya tahan tubuh terhadap
penyakit infeksi. Begitu pula dengan rusaknya
sarana dan prasarana kesehatan, sangat
berpengaruh
pada
pencegahan
dan
4
penanganan penyakit infeksi.
Tingginya kasus malaria klinis merupakan
sesuatu yang perlu segera disingkapi. Hal ini
bisa saja terjadi oleh karena resistensi obat
atau karena ’kesalahan diagnosa’, terutama
bila menegakkan diagnosa malaria hanya
berdasarkan gejala klinis dan tanda klinis saja.
Padahal gejala klinis dan tanda klinis malaria
pada daerah endemis, umumnya tidaklah khas
dan hampir sama seperti gejala dan tanda
klinis pada penderita infeksi lainnya, terutama
5,6
pada fase awal infeksi.
Pengenalan gejala klinis yang khas di
daerah endemis malaria merupakan salah satu
cara untuk penanganan penyakit malaria
secara cepat, tepat, dan rasional. Seleksi awal
penderita yang disangkakan sebagai penderita
malaria klinis, merupakan suatu hal yang perlu
156
dimiliki oleh petugas kesehatan di lapangan,
sebelum akhirnya dikonfirmasikan pada
pemeriksaan
mikroskopis
yang
masih
merupakan standar diagnostik malaria.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat
insidensi malaria di Kabupaten Nias Selatan
pascabencana
alam,
serta
melakukan
pengamatan pada gejala dan tanda klinis yang
paling banyak muncul pada penderita malaria
tersebut.
BAHAN DAN CARA
Penelitian dilakukan secara cross sectional
dan merupakan bagian dari rangkaian
penelitian malaria yang dilaksanakan di 8 desa
pada 3 kecamatan di Kabupaten Nias Selatan
mulai bulan Agustus sampai dengan
Desember 2006.
Populasi penelitian adalah penduduk
yang bertempat tinggal di tempat penelitian.
Populasi terjangkau adalah pasien dengan
keluhan demam atau riwayat demam satu
minggu terakhir. Subjek penelitian adalah
penderita
malaria
yang
ditentukan
berdasarkan pemeriksaan mikroskopis, yaitu
dengan menemukan Plasmodium spp. pada
sediaan darahnya.
Sampel dengan keluhan demam atau
riwayat demam satu minggu terakhir dengan
atau tanpa tanda-tanda klinis malaria,
diperiksa secara simultan untuk menegakkan
diagnosa malaria. Pemeriksaan itu meliputi
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
apusan darah tepi malaria (sediaan tebal dan
tipis). Sebelum pemeriksaan dilakukan,
sampel diberi penjelasan tentang apa yang
akan
dilakukan
sambil
menanyakan
kesediaannya untuk ikut dalam penelitian.
Kesediaan untuk ikut penelitian ditandai
dengan penandatanganan informed consent
(Gambar 1).
Populasi Penelitian
Pemeriksaan Fisik
Anamnesa
Pemeriksaan Apusan Darah
(Mikroskopis)
Gejala Klinis
Tanda Klinis
Bukan Penderita Malaria
Obat Yang Sesuai Dengan Penyakit
Penderita Malaria
Obat Antimalaria
Gambar 1. Alur pemeriksaan pasien
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008
Lambok Siahaan
Malaria Pascabencana Alam...
Anamnesa pribadi meliputi identitas
pribadi, keluhan penyakit saat ini, riwayat
penyakit-penyakit kronik terdahulu, riwayat
penyakit malaria, dan riwayat penggunaan
obat antimalaria.
Pemeriksaan
fisik
diagnostik
yang
dilakukan meliputi inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi untuk mendapatkan tanda
objektif (tanda klinis) dan dikaitkan dengan
kebutuhan pada penelitian.
Pemeriksaan apusan darah meliputi
pemeriksaan apusan darah tebal dan tipis.
Darah diambil dari ujung jari yang telah
ditusuk dengan menggunakan lancet steril
setelah terlebih dahulu dibersihkan dengan
memakai kapas alkohol. Darah tetes pertama
dibuang dan selanjutnya diletakkan pada dua
object glass, masing-masing di bagian
tengahnya sebanyak ± 2 tetes. Untuk apusan
darah tebal tetesan darah tersebut diaduk
dengan menggunakan ujung object glass yang
lain. Sementara itu untuk apusan darah tipis
diratakan dengan menggunakan tepi sisi object
glass dengan cara mendorong dari satu arah ke
arah yang berlawanan. Kemudian dikeringkan
pada suhu kamar. Setelah kering, apusan
darah tipis di-fiksasi dengan metanol sebelum
diberi pewarnaan, sementara apusan darah
tebal langsung diberi pewarnaan. Pewarnaan
dilakukan dengan menggunakan Giemsa 10%
selama 10-15 menit, lalu dibilas dengan air
kran yang mengalir. Setelah kering, slide siap
untuk
diperiksa
dengan
pembesaran
mikroskop sebesar 1000x, untuk melihat ada
tidaknya Plasmodium sp. serta menghitung
7
kepadatannya.
Penderita malaria diberikan pengobatan
malaria sesuai dengan standar pengobatan, dan
bila bukan menderita malaria, akan diobati
8
Sebelum
sesuai
dengan
penyakitnya.
diberikan pengobatan, terlebih dahulu
diberikan penjelasan kepada sampel tentang
kegunaan obat dan efek samping yang dapat
terjadi.
Data yang diperoleh diolah secara
deskripsi sederhana dan disajikan dalam
bentuk tabel.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. menunjukkan bahwa populasi
penelitian yang paling banyak adalah
perempuan, kelompok umur 5-14 tahun dan
di desa Botohilitano.
Tabel 2. dan Tabel 3. menunjukkan
bahwa penderita malaria terbanyak dijumpai
pada perempuan, kelompok umur 25-34
tahun dan di desa Hiliamaetaniha. Sementara
itu, spesies yang terbanyak dijumpai adalah
Plasmodium falciparum.
Tabel 1.
Distribusi populasi penelitian
Kelompok Umur
< 5 tahun
5-14 tahun 15-24 tahun 25-34 tahun 35-44 tahun 45 - 54 tahun > 55 tahun
Sihareo
13 (16%)
33 (40,7%) 12 (14,8%)
5 (6,2%)
9 (11,1%)
3 (3,7%)
6 (7,4%)
Golambanua II
7 (9,3%)
10 (13,3%) 13 (17,3%) 14 (18,7%)
12 (16%)
11 (14,7%)
8 (10,7%)
Hilisimetano
50 (17,9%) 89 (31,8%)
24 (8,6%)
52 (18,6%) 39 (13,9%)
17 (6,1%)
9 (3,2%)
Soonogeo
6 (10,9%)
10 (18,2%) 12 (21,8%)
7 (12,7%)
9 (16,4%)
6 (10,9%)
5 (9,1%)
Hilisitaro
12 (13,5%)
16 (18%)
15 (16,9%) 18 (20,2%) 13 (14,6%)
7 (7,9%)
8 (9%)
Bawamatulo
0 (0%)
2 (2,9%)
17 (24,3%)
14 (20%)
16 (22,9%) 13 (18,6%)
8 (11,4%)
Hiliamaetaniha
16 (14%)
2 (1,8%)
16 (14%)
29 (25,4%) 24 (21,1%) 18 (15,8%)
9 (7,9%)
Botohilitano
25 (6,5%) 117 (30,5%) 54 (14,1%) 73 (19,1%) 48 (12,5%)
35 (9,1%)
31 (8,1%)
Total
129 (11,2%) 279 (24,3%) 163 (14,2%) 212 (18,5%) 170 (14,8%) 110 (9,6%) 84 (7,3%)
Desa
Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
27 (33,3%) 54 (66,&%)
32 (42,7%) 43 (57,3%)
83 (29,6%) 197 (70,4%)
24 (43,6%) 31 (56,4%)
36 (40,4%) 53 (59,6%)
23 (32,9%) 47 (67,1%)
49 (43%)
65 (57%)
130 (33,9%) 253 (66,1%)
404 (35,2%) 743 (64,8%)
Total
81 (100%)
75 (100%)
280 (100%)
55 (100%)
89 (100%)
70 (100%)
114 (100%)
383 (100%)
1147 (100%)
Tabel 2.
Distribusi penderita malaria
Desa
Sihareo
Golambanua II
Hilisimetano
Soonogeo
Hilisitaro
Bawamatulo
Hiliamaetaniha
Botohilitano
Total
Periksa
Darah
32
34
165
23
47
26
74
330
731
P.falciparum
16
13
47
0
18
0
34
116
244 (64,2%)
Malaria
P.vivax
Campuran
1
3
3
5
6
27
0
0
3
3
0
0
9
8
37
31
59 (15,5%)
77 (20,3%)
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008
Total
20 (62,5%)
21 (61,8%)
80 (48,5%)
0 (0%)
24 (51,1%)
0 (0%)
51 (68,9%)
184 (55,8%)
380
157
Karangan Asli
Tabel 3.
Perbandingan karakteristik dasar
Karakteristik
a. < 5 tahun
b. 5-14 tahun
c. 15 - 24 tahun
d. 25 - 34 tahun
e. 35 - 44 tahun
f. 45 - 54 tahun
g. > 55 tahun
Total
Periksa Darah
Laki-Laki Perempuan
13
57
54
163
22
82
47
106
54
57
9
42
9
16
208 (28,5%) 523 (71,5%)
Penderita Malaria
Total (%)
Laki-Laki
Perempuan
Total
70 (9,6%)
22 (5,8%)
5
17
217 (29,7%)
41 (10,8%)
13
28
104 (14,2%)
41 (10,8%)
13
28
153 (20,9%)
88 (23,2%)
36
52
111 (15,2%)
34
40
74 (19,5%)
51 (7%)
64 (16,8%)
16
48
25 (3,4%)
50 (13,2%)
21
29
731 (100%) 138 (36,3%) 242 (63,7%) 380 (100%)
Tabel 4.
Gejala dan tanda klinis
Karakteristik
Periksa Darah (n=731)
Jumlah
Proporsi
Penderita Malaria (n=380)
Jumlah
Proporsi
Gejala Klinis
Demam + Gejala Lain
Gabungan Gejala Tanpa Demam
Demam
Menggigil
Badan Pegal
Pusing
Gangguan Pencernaan
Lemas
151
57
327
0
79
59
29
29
20,7%
7,8%
44,7%
0%
10,8%
8,1%
4,0%
4,0%
52
43
194
0
38
27
14
12
13,7%
11,3%
51,1%
0,0%
10,0%
7,1%
3,7%
3,2%
Tanda Klinis
Kenaikan Suhu Tubuh
Pembesaran Limfa
582
0
79,6%
0%
239
0
62,9%
0%
Tabel 5.
Perbandingan gejala klinis demam
Diagnosis Mikroskopis
Malaria
Bukan Malaria
Gejala Klinis
Demam
Tidak Demam
246 (64,7%)
134 (35,3%)
232 (66,1%)
119 (33,9%)
Tabel 4. menunjukkan bahwa gejala
klinis yang paling banyak dijumpai pada
sampel yang diperiksa darahnya adalah
demam (dengan atau tanpa gejala lain) yaitu
sebanyak 65,4%. Sementara itu pada
penderita malaria, 64,8% diantaranya dengan
gejala klinis demam. Penderita malaria yang
tidak datang dengan gejala klinis demam,
umumnya menunjukkan gejala klinis seperti
Badan Pegal (10%), Pusing (7,1%), Gangguan
Pencernaan (3,7%), Lemas (3,2%), dan
gabungan gejala tersebut.
Pada pemeriksaan suhu tubuh (tanda
klinis) dijumpai kenaikan suhu tubuh pada
79,6% sampel yang diperiksa darahnya.
Sementara itu, kenaikan suhu tubuh juga
dijumpai pada 62,9% penderita malaria.
158
Total
380 (100%)
351 (100%)
Tabel 5. menunjukkan bahwa dari 351
orang yang bukan penderita malaria, 66,1%
diantaranya datang dengan gejala klinis
demam. Sebaliknya dari 380 orang penderita
malaria, 35,3% diantaranya tanpa gejala klinis
demam.
DISKUSI
Dari 1147 orang populasi penelitian,
hanya 731 orang yang dilakukan pemeriksaan
darah.
Pemeriksaan
darah
tersebut
memberikan hasil Slide Positive Rate (SPR)
sebesar 52%. Hasil ini lebih besar
dibandingkan dengan SPR pada tahun 2005,
yaitu sebesar 12,7%. Hal ini disebabkan
karena penderita malaria klinis yang
dikonfirmasikan dengan pemeriksaan apusan
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008
Lambok Siahaan
darah, hanya sekitar 7,8% dari keseluruhan
4
penderita malaria klinis yang ada.
Sebaliknya, prevalensi penderita malaria
dalam penelitian ini jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan kasus malaria klinis
sepanjang tahun 2003-2005. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1. Besarnya data penderita malaria klinis
tersebut terjadi karena penentuan diagnosa
malaria klinis, hanya berdasarkan gejala
klinis, tanpa pemeriksaan apusan darah.
2. Musim hujan sangat berpengaruh pada
pembentukan perindukan nyamuk sebagai
vektor pembawa penyakit malaria.
Rendahnya
prevalensi
ini
juga
dimungkinkan karena penelitian dilakukan
pada masa transisi musim kemarau ke
awal musim hujan, sehingga belum banyak
terbentuk tempat perindukan vektor.
3. Penentuan tempat penelitian lebih
berdasarkan
pada
pertimbangan
transportasi menuju lokasi dan biaya
operasional, sehingga tempat yang terpilih,
bukanlah desa dengan insiden tertinggi
yang pernah dilaporkan, melainkan desa
dengan insiden menengah ke bawah.
Spesies yang dijumpai pada penelitian ini
Plasmodium
falciparum
dan
adalah
Plasmodium vivax. Dengan jumlah kasus
terbanyak adalah malaria oleh karena
Plasmodium falciparum. Hal ini sesuai dengan
laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Nias
4
Selatan tahun 2005.
Secara umum, prevalensi penderita
malaria pada semua desa hampir sama, yaitu
di atas > 45%, kecuali pada dua desa, yaitu
Soonogeo dan Bawamatulo. Khusus pada dua
desa tersebut, tidak dijumpainya kasus malaria
lebih dimungkinkan karena faktor jumlah
sampel yang diperiksa masih relatif sedikit.
Dan selama masa penelitian dilakukan,
penduduk yang berpartisipasi juga sangat
sedikit.
Peluang terjadinya penyakit malaria
sangat ditentukan oleh seberapa besar
penderita kontak dengan vektor pembawa
penyakit, yang lebih banyak beraktivitas pada
malam hari. Pada penelitian ini, kasus malaria
terbanyak dijumpai pada kelompok umur 2534 tahun dan 35-44 tahun, yang tentunya
sangat berhubungan dengan aktivitas pada
malam hari atau pekerjaan yang berpeluang
untuk kontak dengan vektor. Sementara itu,
Malaria Pascabencana Alam...
tingginya kasus malaria pada perempuan lebih
dimungkinkan karena komposisi penduduk
yang memang lebih banyak perempuan
dibandingkan dengan laki-laki.
Gejala klinis yang dijumpai umumnya
adalah demam, menggigil, badan pegal,
pusing, gangguan pencernaan, dan lemas.
Demam sebagai salah satu gejala klasik
malaria, tidak selalu harus ada pada penderita
5
malaria, terutama di daerah endemis malaria.
Dari 380 orang penderita malaria, hanya
64,7% yang datang dengan gejala klinis
demam, selebihnya tidak demam sama sekali.
Sebaliknya, 66,1% dari sampel yang bukan
penderita malaria, datang dengan gejala klinis
demam (Tabel 5.).
Selain demam, gejala klinis seperti: badan
pegal, pusing, gangguan pencernaan dan
lemas, juga harus diperhatikan sebagai gejala
klinis malaria, terutama di daerah endemis
malaria.
Hasil
penelitian
ini
yang
menunjukkan bahwa gejala klinis pada
penderita malaria yang tidak mengalami
demam, umumnya adalah 10% dengan gejala
klinis badan pegal, 7,1% dengan gejala klinis
pusing, 3,7% dengan gejala klinis gangguan
pencernaan dan 3,2% dengan gejala klinis
lemas.
Gejala klinis malaria yang bervariasi ini
pun diperoleh pada berbagai penelitian yang
dilakukan di berbagai tempat. Penelitian yang
dilakukan pada anak penderita malaria di
Gambia pada tahun 2000, diperoleh hasil
bahwa
58,3% penderita malaria tersebut
menderita demam, 86% mengalami pusing
9
dan 60,7% mengalami gangguan pencernaan.
Sementara itu, penelitian di Thailand
melaporkan bahwa gejala klinis penderita
malaria umumnya adalah demam (42,3%),
pusing (98,3%), badan pegal (96,6%),
menggigil (88,4%), dan gangguan pencernaan
10
(29,3%). Penelitian lain yang dilakukan di
Nigeria pada tahun 2005 juga mendapatkan
hasil bahwa dari penderita malaria yang ada,
100% mengalami demam, 69,6% mengalami
pusing dan 50,4% mengalami gangguan
11
pencernaan.
Demam sebagai gejala klinis, umumnya
lebih bersifat subjektif. Hal itu terlihat dari
582 orang sampel yang diperiksa darahnya dan
yang mengalami kenaikan suhu tubuh (tanda
klinis), 104 orang diantaranya (17,9%), tidak
mengeluhkan demam sama sekali (gejala
klinis). Sebaliknya, dari 246 orang penderita
malaria yang mengeluhkan demam (gejala
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008
159
Karangan Asli
klinis), hanya 239 orang (97,2%) yang
mengalami kenaikan suhu tubuh (tanda
klinis). Sehingga dalam pemeriksaan pasien
malaria, sangat diperlukan pemeriksaan suhu
tubuh dengan menggunakan alat ukur
termometer, yang lebih bersifat objektif.
Dalam penelitian ini tidak dijumpai
adanya pembesaran limfa. Hal ini biasanya
berhubungan dengan kronisitas penyakit dan
imunitas tubuh.
KESIMPULAN
Pengenalan gejala klinis yang khas di
daerah endemis malaria sangat membantu
dalam penanganan penyakit malaria secara
cepat, tepat, dan rasional guna menurunkan
angka kesakitan dan kematian karena malaria.
Tenaga kesehatan di daerah endemis
diharapkan dapat mengenal gejala dan tanda
klinis yang khas pada daerahnya, sebagai
langkah awal diagnostik malaria klinis sebelum
dikonfirmasikan pada pemeriksaan apusan
darah (mikroskopis). Oleh karena itu,
pengamatan lebih lanjut untuk menemukan
gejala dan tanda klinis yang khas pada tiap
daerah endemis perlu dilakukan, sambil terus
membenahi laboratorium diagnostik malaria
di daerah daerah endemis malaria.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia, Gebrak Malaria, Pedoman
Tatalaksana Kasus Malaria di Indonesia,
Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular
dan Penyehatan Lingkungan, Edisi Kedua,
2005, Hal: 1-2, 15-16.
2. Davis TME, Malaria treatment: Available
from URL:http://www.rph.wa.gov.au/labs/
haem/malaria/treatment.html, 2002.
3. Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia, Profil Kesehatan Indonesia
2001, Menuju Indonesia Sehat 2010,
2002.
160
4. Hakim L, Laporan Akhir Pendampingan
Penanggulangan Malaria Kabupaten Nias
Selatan Propinsi Sumatera Utara, Ditjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006
5. Harijanto PN, Gejala Klinik Malaria,
Dalam: Harijanto PN (editor) Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi
Klinis Dan Penanganan, Jakarta, Penerbit
Buku Kedokteran, EGC, 2000, Hal: 151160.
6. Purwaningsih S, Diagnosis Malaria,
Dalam: Harijanto PN (editor) Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi
Klinis Dan Penanganan, Jakarta, Penerbit
Buku Kedokteran, EGC, 2000, Hal: 185187.
7. Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia,
Pedoman
Penatalaksanaan
Kasus Malaria di Indonesia, Ditjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan, 2006.
8. PAPDI, Konsensus Penanganan Malaria,
2003, Hal: 9-21
9. Seidlein LV, et al, Efficacy of artesunate
plus pyrimethamine-sulphadoxine for
uncomplicated malaria in Gambian
children, The Lancet, Jan 29, 2000, pp
352
10. Erhart LM, et al, Hematologic and clinical
indices of malaria in a semi-immune
population
of
western
Thailand,
Am.J.Trop.Med.Hyg, 70(1), 2004, pp 814
11. Pitmang SL, et al, Comparison of
sulphadoxine-pyrimethamine with and
without chloroquine for uncomplicated
malaria in Nigeria, Am.J.Trop.Med.Hyg,
72(3), 2005, 263-266.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008