ONTOLOGI SAINTIFIK Pendekatan saintifik dan Penerapannya da

5 Evaluation External Test External Test External Test Portfolio Portfolio Social Context Diversity Monoculture Decentraliza- tion Competent-Based CurriculumKurikulum 2013 Multiple Solution Local Culture Hetereogono- mous Peta Filsafat, Ideologi dan Paradigma Dunia sebagai berikut adaptasi dari Paul Ernest, 1995, The Philosophy of Mathematics Education Setelah beberapa tahun sebagian sekolah dan sebagian guru melaksanakan Kurikulum 2013 dengan metode Saintifiknya, beberapa indikasi dan hasil penelitian menunjukkan masih adanya persoalan, baik persoalan mendasar maupun teknis adanya kendala implementasi pendekatan Saintifik. Relevansi metode saintifik dari sisi siswa SD, SMP, SMA masih perlu dikaji terus. Karakteristik proses pembelajaran masih perlu terus disesuaikan dengan karakteristik kompetensi. Pembelajaran tematik terpadu di SDMISDLBPaket A, perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik, demikian juga pada SMPMTs atau sederajat, perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik. Kompetensi yang mulai memperkenalkan mata pelajaran dengan mempertahankan tematik terpadu masih perlu terus dikaji dan dikembangkan. Perlu terus diteliti tentang aspek penerapan sintak pendekatan Saintifik: Proses pembelajaran terdiri atas lima pengalaman belajar pokok yaitu: a. mengamati; b. menanya; c. mengumpulkan informasi; d. mengasosiasi; dan e. mengkomunikasikan. Mengamati meliputi : membaca, mendengar, menyimak, melihat tanpa atau dengan alat. Menanya meliputi : mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik. Mengumpulkan InformasiEksperimen meliputi : melakukan eksperimen :- membaca sumber lain , selain buku teks, - mengamati objek kejadian aktivitas, - wawancara dengan nara sumber. Mengasosiasikan mengolah informasi meliputi : - mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan ; kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi; - Pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan. Mengomunikasikan meliputi : menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya .

II. ONTOLOGI SAINTIFIK

Secara umum, objek ilmu meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Letak kedudukan objek ilmu berada di dalam pikiran atau di luar pikiran. Jika kebenaran berdasarkan objek yang ada di dalam pikiran maka lahirlah filsafat Idealis, Rasionalis, dan Skeptisism. Jika kebenaran berdasarkan objek di luar pikiran maka lahirlah filsafat Realisme dan Empirisisme. Aliran 6 Saintisisme berusaha menggabungkan kedua aliran besar tersebut. Namun aliran Saintisme mendasarkan pada gabungan asumsi-asumsi filsafat Positivisme dan Skeptisisme, yang dengan tegas menolak pendekatan non-ilmiah termasuk religiusitas dan humaniora. Skeptisisme sendiri sebagai aliran filsafat merentang sejarahnya sejak jaman Yunani Kuno. Kelompok Skeptis adalah berpendapat, manusia tak dapat mengetahui dengan pasti mengenai segala sesuatu di dunia di sekitar kita, atau bahkan mengenai diri kita sendiri. Oleh karena itu manusia tidak dapat benar- benar mengetahui apa yang benar dan salah Pyrrhon, Timon, Epikurus, Socrates, dan Rene Descartes. Sikap skeptis adalah sebuah sikap yang menyangsikan kenyataan yang diketahui baik ciri-cirinya maupun eksistensinya. Sikap skeptis sebagai unsur dasar Skeptisisme Ilmiah akan memposisikan seseorang untuk selalu mempertanyakan klaim yang kurang memiliki bukti empiris yang kuat. Skeptisisme Ilmiah inilah yang kemudian dikenal sebagai pendekatan Saintifik. Sebagai salah satu akar dan basis Saintifisme dan Saintifik, metode Positive yang dipelopori oleh Auguste Compte, menolak tesis-tesis ilmu-ilmu humaniora geistesweistensaften dan juga menolak Filsafat termasuk metafisik yang ada di adalamnya; sebaliknya kaum Positive berusaha membangun struktur dunia untuk membangun dunia dengan meletakkan metode Positive di atas Filsafat dan Spiritual. Merunut objek dan pendekatan normatifnya pada time-line sejarahnya, konsekuensi logis dari dunia kontemporer dalam mempersepsi munculnya gagasan pendekatan Saintifik, haruslah berbesar hati untuk menerima kenyataan akan munculnya ide sintetik yang bersifat radik. Secara khusus seberapa jauh kita mampu memikirkan adanya konsep-konsep Saintifisme Ideal, Saintifisme Realis, Saintifisme Rasional, Saintifisme Positif, Saintifisme Empiris, dan Saintifisme Kontemporer. Dalam khasanah pembentukan pengetahuan, I Kant 1671 secara gamblang menguraikan bahwa “pengetahuan” haruslah merupakan sintesis antara tesis-tesis dan anti-tesis anti-tesis; secara garis besar tesis-tesis dan anti-tesis anti-tesis yang berasal dari Logika Pikir dan yang berasal dari Logika Pengalaman. Yang berasal dari Logika Pikir direpresentasikan oleh Idealisme, Rasionalisme, Skeptisisme, Logisisme, Formalisme, Simbolisme, Objektivisme dan Absolutisme. Sedangkan yang berasal dari Logika Pengalaman direpresentasikan oleh Realisme, Empirisisme, Intuisionisme, dan Subjektivisme. Logika Pikir mempunyai sifat-sifat konsisten, logis, koheren, analitik, rigor, a priori, formal, murni, objektif, terukur, deduktif, abstrak, intuisi murni dan terbebas oleh ruang dan waktu; sedangkan Logika Pengalaman mempunyai sifat kecocokan, persepsi, intuisi empirik, sintetik, a posteriori, subjektif, relatif, induktif, konkrit, dan terikat oleh ruang dan waktu. Hermenitika ilmu menjamin adanya interaksi linear dalam kesiklikan antara unsur-unsur keterwakilan logika pikir dan logika pengalaman; sehingga I Kant menegaskan bahwa sebenar-benar Ilmu adalah bersifat Sintetik a priori. Logika pikir saja tanpa adanya logika pengalaman dianggap baru mencapai setengah ilmu; demikian juga jika hanya logika pengalaman tanpa adanya logika pikir. Dalam sejarahnya, hemenitika keilmuan tersebut menghasilkan forma interaksi yaitu Positivisme dan Saintifisme beserta turunan-turunan dalam bentuk sintak-sintak praksis kependidikan, misalnya pendekatan Saintifik, Projek Based Learning, Problem Based-Learning, Cooperative Learning, Contextual Learning, dst. 7 Kemudian satu hal yang perlu direnungkan adalah mengapa manusia mampu berpikir? Memikirkan pengalamannya? Dan mewujudkan pemikirannya? Logika Pikir tidak akan pernah tuntas mampu menjelaskan mengapa dan sejak kapan dimulainya logika pikir, kecuali dengan cara menentukan “titik awal”; sedangan Logika Pengalaman dengan cara “membangun kesadaran”. Namun siapakah, kapankah dan dengan cara bagaimanakah seseorang mampu menentukan “titik awal”? Dan dalam keadaan yang bagaimana dan kapan seseorang dikatakan menyadari segala sesuatu? Pertanyaan tersebut tidak mungkin dapat dijawab, kecuali menggunakan pendekatan Ontologi dan Epistemilogi Ilmu. Dengan cara ini I Kant menemukan unsur dasar yang merupakan titik temuantara Logika Pikir dan Logika Pengalaman, yaitu Potensi Pikir Pengalaman yang berupa Kategori: Singular, Bagian, Universal – Afirmatif, Negatif, Infinit – Kategori, Hipotetik, Sintetik. Potensi Pikir Pengalaman inilah yang kemudian dikenal sebagai Intuisi; potensi pikir berupa Intuisi Pikir dan potensi pengalaman berupa Intuisi Empirik. Pertanyaan selanjutnya adalah, sejak kapan manusia mempunyai Intuisi Pikir dan Intuisi Pengalaman? Untuk pertanyaan ini maka tiadalah orang termasuk pakar keilmuan, psikologi dst yang mampu menjawabnya kecuali melalui pendekatan ontologis bahwa komponen Intuisi Pikir dan Intuisi Pengalaman masing-masing terdiri dari 2 dua unsur Forma wadah dan Substansi isi. Pertanyaan dilanjutkan, sejak kapan dan dari manakah unsur Forma Intuisi dan Substansi Intuisi, para Filsuf hanya mampu menyebutkan sebagai Fatal takdir dan Vital ikhtiar manusia. Namun untuk kepentingan pedagogik, tentunya kita tidak pusa hanya berhenti sampai di situ saja. Secara psikologis, Intuisi Pikir dan Intuisi Empirik terbawa dan terbentuk sejak manusia lahir, serta berkembang melalui interaksi dengan objekbenda terdekat di sekelilingnya termasuk orang tua, keluarga, masyarakat dan sekolah. Inilah pondasi yang seharusnya digunakan oleh setiap edukationis dan psikologis untuk mengembangkan teori-teori belajar dan mengajar. Dari uraian di atas kiranya dapat dipahami mengapa secara filosofis dimungkinkan munculnya berbagai macam teori pembentukan ilmu, pembenaran ilmu dan macam-macam ilmu. Sifat dan kedudukan Objek Pikir dan Objek Pengalaman menentukan jenis dan sifat metode keilmuannya. Jika objeknya berada di dalam pikir tidak dapat diamati maka lahirlah Idealisme, Rasionalisme, Skeptisisme, Logisisme, Formalisme, Simbolisme, Objektivisme, Absolutisme, Positivisme Ideal, dan Saintifisme Ideal; jika objeknya berada di luar pikir dapat di amatidipersepsi maka lahirlah Realisme, Empirisisme, Intuisionisme, Subjektivism, Positivisme Realis dan Saintifisme Realis. Dengan gamblang, di sini kita telah memperoleh 2 dua macam Saintifisme yaitu Saintifisme Ideal dan Saintifisme Realis. Dikarenakan ketidakjelasan pada fase ini, maka pada tataran yang lebih rendah telah terjadi kevakumandistorsireduksi dengan hanya dikenalkan saja pendekatan Saintifik; namun menurut hemat penulis, pendekatan Saintifik yang diimplementasikan pada Kurikulum 2013 adalah pendekatan yang diturunkan dari Saintifisme Realis,yaitu untuk objek-objek yang teramati di luar pikiran. Menurut I Kant 1671, Objek Pikir bersifat Identitas, yaitu memenuhi formula A=A. Hal ini dapat tercapai karena Objek Pikir terbebas oleh Ruang dan Waktu. Maka ditemukan X=X, 1+3 = 3+1, Y=2x-1, ..dst. Itulah sifat dari Matematika Murni, yang kemudian disebut sebagai 8 Matematika Formal atau Matematika Aksiomatik. Matematika Murni bersifat tautologis dengan indikator kebenarannya adalah Konsistensi. Jika tidak konsisten dikatakan bersifat kontradiksi tautologis. Semua Ilmu Formal termasuk dalam kategori ini yaitu Sain Murni, Fisika Murni, Biologi Murni, dst. Penulis: itulah ilmunya untuk orang dewasa. Singkat kata, ilmu-ilmu dengan Objek Pikir bersifat analitik a priori. Mereka mampu memikirkannya walaupun belum memersepsi objeknya. Objek Pengalaman bersifat Kontradiksi Ontologis yang memenuhi 3 tiga sifat: mereka berada dalam Ruang dan Waktu, mereka saling berhubungan, dalam mereka berlaku hukum sebab-akibat. Kontradiksi ontologis berbeda makna dengan kontradiksi tautologis. Kontradiksi ontologis diformulasikan dengan “Subjek tidak sama dengan Predikatnya, atau S tidak sama dengan P”, maksudnya adalah bahwa setiap sifatpredikat tidaklah mungkin menyamai subjeknya. Misal Rambut Hitam, Hitam adalah sifat Rambut, maka tidaklah pernah Hitam sama dengan Rambut, karena Rambut mempunyai sifat tidak hanya Hitam. Semua bendasifat adalah Subjek dari suatu Predikat sekaligus Predikat dari suatu Subjek yang lain. Jika Saintifism Realis mendasarkan kepada Objek Pengalaman titik pangkal, maka adalah relevan bahwa Saintifik Realis atau yang kemudian disebut sebagai pendekatan Saintifik, menggunakan objek-objek pengalaman atau benda-benda kongkrit sebagai bahan observasinya. Guru Matematika di sekolah, ketika menggunakan pendekatan Saintitik, merasa gamang ketika menyuruh siswa mengamati fenomena matematika yang cukup tertulis di dalam buku teks. Hal tersebut karena belum dibedakannya antara Saintifik Ideal dan Saintifik Realis. Sedangkan untuk kelas rendah seperti di SD atau awal SMP, guru tidak merasa ragu karena objek observasinya adalah benda-banda kongkrit Objek Pengalaman. Apapapun objeknya, dalam pendekatan Saintifik yang sintaknya sesuai dengan yang tercantum pada Kurikulum 2013, persoalan selanjutnya adalah menjawab apa yang diamati? Bagaimana mengamatinya? Dan apa hasil pengamatannya? 9 P HENOMENOLOGY H USSERL 10 2 92 01 5 M arsi git, In do ne si a Idealized Abstracted Math Phenomena Epoche Gambar: Kegiatan Observasi Fenomenologi Ontologi pengamatanobservasi termasuk dalam ranah Fenomenologi Husserl, .., yang terdiri dari 2dua komponen utama yaitu: Abstraksi dan Idealisasi. Abstraksi mengandung arti mengambilmengobservasimemandang sebagian saja sifat yang ada dari Objek pengamatannya. Setiap Objek pengamatan mempunyai beribu-ribu sifat namun, untuk Matematika misalnya, sifat Kubus yang diamati adalah perihal bentuk, ukuran dan banyaknya sisi, rusuk dan sudut. Sifat- sifat bahan terbuat dari materi tertentu, keindahan, kualitas, harga dst tidaklah termasuk ranah yang diobservasi. Sifat yang diabaikan tidak perlu diperhatikan kemudian disimpan ditempat yang disebut sebagai Epoche. Sedangkan Idealisasi adalah menganggap sempurna sifat yang ada, misal bahwa terdapat sudut lancip, maka yang dimaksud adalah lancip sempurna; tidak dalam kondisi agak lancip, kurang lancip, dst. 10 10 2 92 01 5 M ar si git, In do ne si a Gambar: Membangun Pengetahuan I Kant, 1671 Kegiatan observasi diawali dengan tingkat Kesadaran akan objek yang akan diobservasi sehingga observer mempunyai daya sensibilitas observasi. Daya sensibilitas observasi ini penting untuk menghasilkan Representasi dari objek teramati yang berupa Persepsi objek teramati. Pada tahap ini, pengalaman mengobservasi yang diperoleh Logika Pengalaman tidak dapat bekerjaberdiri sendiri tanpa bantuan Logika Pikir, yaitu dengan hadirnya kemampuan Imajinasi dengan cara sintesis, sehingga gabungan antara pengalaman mengobservasi dan imajinasi menghasilkan Pengetahuan Pikir dan Sensasi Pengalaman. Mengapa? Dia dikatakan Pengetahuan Pikir jika sesuai dengan Aksioma atau Postulat Pikir. Dan dikatakan Sensasi Pengalaman jika sesuai dengan Hukum Sebab-Akibat dan Hubungan antar Satuan Pengalaman. AksiomaPostulat Pikir dan Satuan Pengalaman tersebut berdomisili di dalam Kategori Berpikir I Kant yang terbawa sejak lahir sebagai Fatal dan Vital, dan terdiri dari Forma dan Substansi; dan bersifat intuitif hasil berpikir dan pengalaman. Interaksi antara Pengetahuan Pikir dan Sensasi Pengalaman tersebut itulah yang kemudian disebut sebagai Ilmu Pengetahuan, yang bersifat sintetik a priori. Sintetik sensasinya, dan a priori pikirannya. Secara ontologis, yang dimaksud kegiatan “mengasosiasi” pada pendekatan Saintifik adalah mencari Postulat-postulat Pikir mana yang bersesuaian dengan Sensasi Pengalamannya. Itulah kesulitan yang dialami oleh para observer, termasuk observer dewasa apalagi observer anak-anak. Kesesuaian antara postulat-postulat pikir dan sensasi-sensasi pengalaman, 11 menghasilkan apa yang disebut sebagai Konsep orang awam mengatakan sebagai Pengertian. Apapun dari setiap Konsep, maka terdiri dari Forma wadah dan Sibstansi Isi. Formanya berupa Kategori Berpikir dan Substansinya berupa Sensasi Pengalaman. Kategori Berpikir merupakan genus unsur dasar yang dengan kegiatan berpikir dan sensasinya akan menemukan postulat-postulat berpikir selanjutnya secara berkhirarkhi dan kompleks. Maka secara ontologis, dengan sintak-sintak pendekatan Saintifik diharapkan Subjek Belajar akan mampu menemukan, memperkokoh dan mengembangkan Kategori Berpikir sebagai unsur dasar setiap Ilmu Pengetahuannya, yang dituntun secara konsisten, rigor, analitik, logik, formal, abstrak, identitas, a priori, dan tautologi oleh Postulat-postulat Umumnya, yang telah diakui kebenarannya secara koheren oleh komunitas keilmuannya; serta dilandasi secara kokoh oleh Sensasi Pengalamannya, dengan kesadaran bahwa Sensasi Pengalamannya tersebut bersifat sintetik a posteriori. Dengan berkembangnya secara intensif dan ekstensif Kategori Berpikir akan diperoleh Struktur Pengetahuan yang kemudian disebut sebagai Ilmu Pengetahuan. Dengan Ilmu Pengetahuan yang telah berhasil dibangunnya itu maka seseorang akan memperoleh nilai-nilai kebijakannya, antara lain adalah mengambil KeputusanJudgment sekarang disebut Evaluasi- tahap akhir taksonomi Bloom secara tepat dan bijaksana. Secara ontologis, kegiatan belajar seseorang dapat dikatakan sebagai menembus Ruang dan Waktu. Sebenar-benar orang cerdas adalah jika mampu menembus dan berada dalam Ruang dan Waktu yang benar Jawa: sopan santun. III. TESIS DAN ANTI-TESIS PEMAHAMAN PENDEKATAN SAINTIFIK Seperti diketahui bahwa secara eksplisit pendekatan Saintifik direkomendasikan untuk metode pembelajaran dengan didukung atau dikombinasikan dengan metode lain yang selaras dalam kerangka Kurikulum 2013. Sebelum diuraikan tentang implementasi dan contoh- contohnya, maka di sini akan dilakukan sintesis tentang adanya dikotomi pemikiran Saintifik dan Tidak Saintifik. Pendekatan saintifik yang terdiri dari sintak: a. mengamati; b. menanya; c. mengumpulkan informasi; d. mengasosiasi; dan e. mengkomunikasikan. Terdapat pemikiran referensi bahwa proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria seperti berikut ini. Tesis 1: Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata. Anti-Tesis 1: 12 Pembelajaran dengan pendekatan Saintifik tetaplah berbasis Kompetensi sesuai dengan jiwa dan semangat Kurikulum 2013. Fakta atau fenomena merupakan objek keilmuan yang digunakan untuk membangun Ilmu Pengetahuan dengan pendekatan Saintifik yang melibatkan unsur logika dan pengalaman. Segala macam kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng dapat berfungsi untuk memperkuat landasan pikiran dan pengalaman. Tesis 2: Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis. Anti-Tesis 2: Pendekatan Saintifik dapat diselenggarakan dalam kerangka Konstruksivisme, yaitu memberi kesempatan peran siswa untuk membangun pengetahuankonsepnya melalui fasilitasi guru. Terminologi “Penjelasan guru-respon siswa” bertentangan dengan semangat Saintisme yaitu kemandirian untuk menemukan pengetahuannya. Pemikiran subjektif diperlukan untuk memperkokoh karakter memperoleh Sensasi Pengalaman. Penalaran yang menyimpang perlu disadari dan dicarikan solusi dan penjelasannya untuk memperkokoh konsep yang telah dibangunnya. Tesis 3: Proses pembelajaran harus terhindar dari sifat-sifat atau nilai-nilai nonilmiah. Pendekatan nonilmiah dimaksud meliputi semata-mata berdasarkan intuisi, akal sehat,prangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal berpikir kritis.Intuisi. Intuisi sering dimaknai sebagai kecakapan praktis yang kemunculannya bersifat irasional dan individual. intuisi sama sekali menafikan dimensi alur pikir yang sistemik dan sistematik.Akal sehat. Guru dan peserta didik harus menggunakan akal sehat selama proses pembelajaran, karena memang hal itu dapat menunjukan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang benar. Namun demikian, jika guru dan peserta didik hanya semata-mata menggunakan akal sehat dapat pula menyesatkan mereka dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran.Prasangka. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh semata- mata atas dasar akal sehat comon sense umumnya sangat kuat dipandu kepentingan orang guru, peserta didik, dan sejenisnya yang menjadi pelakunya. Ketika akal sehat terlalu kuat didompleng kepentingan pelakunya, seringkali mereka menjeneralisasi hal-hal khusus menjadi terlalu luas. Hal inilah yang menyebabkan penggunaan akal sehat berubah menjadi prasangka atau pemikiran skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang 13 penting, jika diolah secara baik. Sebaliknya akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap tidak percaya, jika diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan peserta didik.Penemuan coba-coba. Tindakan atau aksi coba-coba seringkali melahirkan wujud atau temuan yang bermakna. Namun demikian, keterampilan dan pengetahuan yang ditemukan dengan caracoba-coba selalu bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan tidak bersistematika baku. Tentu saja, tindakan coba-coba itu ada manfaatnya dan bernilai kreatifitas. Karena itu, kalau memang tindakan coba-coba ini akan dilakukan, harus diserta dengan pencatatan atas setiap tindakan, sampai dengan menemukan kepastian jawaban. Misalnya, seorang peserta didik mencoba meraba-raba tombol-tombol sebuah komputer laptop, tiba-tiba dia kaget komputer laptop itu menyala. Peserta didik pun melihat lambang tombol yang menyebabkan komputer laptop itu menyala dan mengulangi lagi tindakannya, hingga dia sampai pada kepastian jawaban atas tombol dengan lambang seperti apa yang bisa memastikan bahwa komputer laptop itu bisa menyala.Berpikir kritis. Kamampuan berpikir kritis itu ada pada semua orang, khususnya mereka yang normal hingga jenius. Secara akademik diyakini bahwa pemikiran kritis itu umumnya dimiliki oleh orang yang bependidikan tinggi. Orang seperti ini biasanya pemikirannya dipercaya benar oleh banyak orang. Tentu saja hasil pemikirannya itu tidak semuanya benar, karena bukan berdasarkan hasil eksperimen yang valid dan reliabel, karena pendapatnya itu hanya didasari atas pikiran yang logis semata. Anti-Tesis 2:  Indikator atau kriteria sifat non Ilmiah tidak serta merta dapat diturunkan dengan menegasikan sifat Ilmiah. Pendekatan Ilmiah bersintak sesuai dengan referensinya, maka sifat Ilmiah tidak serta merta secara rigid identik dengan sintak-sintaknya. Untuk memperoleh sintak Ilmiah terkadang subjek didik melakukan hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai non ilmiah, misal kekeliruan mengobservasi, dan mengambil kesimpulan. Kesimpulan yang belum benar mungkin terjadi walaupun siswa sudah menggunakan sintak Saintifik.  Peran intuisi sangat penting bai sebagai Intuisi Berpikir maupun sebagai Intuisi Pengalaman.  Akal sehat sangat bermanfaat sebagai dimulainya kesadaran untuk mempersepsi objek berpikir.  Kegiatan coba-coba secara ontologis bermakna sebagai kegiatan interaksi antara pikiran dan pengalaman, antara logika dan faktanya, antara analitik dan sintetik, dan antara a priori dan a posteriori.  Berpikir kritis adalah berpikir reflektif sampai pada kemampuan mengambil keputusan secara benar.  Fenomenologi sebagai kerangka filosofis pendekatan Saintifik. 14  Hermenitika sebagai pendekatan epistemologi pendekatan Saintifik. .

IV. IMPLEMENTASI PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN.