Lembaga sertifikasi halal dalam UU No.33 Tahun 2014
yang profesional, serta penerapan hukum oleh pemerintah selaku agen regulasi. Juga tantangan terbesar adalah membangun sistem beserta kelengkapan sarana
dan prasarana, serta penegakan hukum yang berkeadilan tak diskriminatif. UU JPH perlu disempurnakan agar tak jadi kendala dalam menjamin
kehalalan produk yang didambakan umat Muslim, terjangkau, dan tidak menjadikan Indonesia terkucil dari dunia global yang kian menurunkan daya saing
Indonesia. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 kian dekat. Mari bersiap diri. Mitra kita adalah pasar global, bukan pihak yang bertikai di dalam negeri dan
menyulitkan diri sendiri. Pada dasarnya setiap manusia ingin mengkonsumsi produk-produk makanan dan minuman yang sehat dan bermanfaat untuk
kesehatan. Mengonsumsi produk halal merupakan hak asasi ummat Islam sebagai ibadah dan penerapan syari‟ah.
1
Dalam hal ini Indonesia melalui MUI telah memenuhi kewajibannya dalam menjamin penyediaan produk halal bagi umat Islam sejak tahun 1989, MUI
mengeluarkan fatwa tentang sertifikasi halal, dalam rangka untuk melindungi masyarakat Indonesia, khususnya ummat Islam agar terhindar dari produk
makanan dan minuman yang mengandung bahan-bahan yang haram. Hal ini juga tidak luput dari pada perlindungan Konsumen dalam mengkonsumsi produk
makanan dan minuman. Pada Undang-Undang No.88 Tahun 1999 pasal 4 tentang hak dan kewajiban konsumen telah dijelaskan :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang danatau jasa; Hak untuk memilih barang danatau jasa serta
1
http:doa-bagirajatega.blogspot.com201410kontroversi-uu-jaminan-produk-halal.html ,
DI unduh pada senin 9 juni 2015
mendapatkan barang danatau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang danatau jasa; c.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang danatau jasa yang digunakan;
d. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut; e.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; f.
Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
g. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi danatau penggantian,
apabila barang danatau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
h. Hak hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan
lainnya.
2
Dalam pasal ini sudah jelas dipaparkan bahwa konsumen memiliki hak-hak dan kewajiban nya.perlindungan konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk
sangat penting, sebab menyangkut baik atau tidak produk tersebut untuk di konsumsi bagi manusia.
Indonesia telah memiliki teknologi pemindai kemasan produk halal. regulasi halal hendaknya tidak merusak tatanan jaminan produk halal yang sudah ada di
2
UU No.88 Tahun 1998 Pasal 4, Tentang Perlindungan Konsumen.
Indonesia. sejak tahun 1989 telah membangun sistem yang diterima secara sains maupun syari‟ah dan menjadi rujukan lembaga sertifikasi halal dunia. Peran MUI
dalam masalah pangan adalah melakukan sertifikasi halal, meliputi penetapan standar, pemeriksaan, penetapan fatwa, dan penerbitan sertifikasi halal. Pada
tahun 2014 telah disahkannya Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal JPH tepatnya pada tanggal 25 September 2014 di
sahkannya UU NO.33 Tahun 2014 Oleh pemerintah dan DPR RI, lahirnya Undang-Undang tersebut adalah sebagai payung hukum bagi MUI yang
diharapkan dapat menjadi pegangan dan untuk melindungi umat terhadap ketersediaan produk halal. namun demikian masih belum bisa menyerap aspirasi
ulama dan umat islam Indonesia. Sebelum terbentuknya undang undang, masa berlaku sertifikasi halal adalah
2 tahun setelah dikeluarkan atau diterbitkan sertifikat halal. Sedangkan Dalam Undang Undang No.33 tahun 2014 bagian ke tujuh pasal 42 yang berbunyi
“sertifikasi halal berlaku selama 4 empat tahun sejak diterbitkan Oleh BPJPH Kecuali terdapat Perubahan Komposisi bahan ”. Hal ini artinya telah terjadi
perubahan dalam segi perpanjangan umur sertifikat. Perpanjangan ini bersifat wajib bagi pelaku usaha, termasuk didalam nya apabila terdapat perubahan
maupun penambahan pengurangan bahan dalam produk . Pemberitaan di Majalah Tempo, mengenai pengakuan lembaga sertifikasi
halal luar negeri yang sebagian besar atau secara keseluruhan mengandung ketidaksesuaian tersebut dapat menimbulkan kegaduhan di masyarakat dan dapat
memicu ekses yang lebih besar dalam memelihara ketentraman batin umat Islam,
khususnya terhadap produk halal. Oleh karena itu, Dewan Pimpinan MUI perlu menyampaikan sikap mengenai proses sertifikasi halal dan pengakuan lembaga
sertifikasi halal luar negeri sebagai berikut: 1.
Proses Sertifikasi Halal dan Labelisasi Halal yang selama ini dijalankan merupakan sistem mulai pendaftaran melalui online CEROL SS-23000,
proses preaudit, audit, dan pasca audit. a.
Tahapan proses sertifikasi halal. Pendaftaran melalui online CEROL SS-23000. Mekanisme pendaftaran
dengan sistem elektronik ini dilakukan secara lebih efisien dan meningkatkan akurasi data.
Proses Pre Audit, meneliti kelengkapan dokumen bahan dan sistem jaminan halal perusahaan.
Proses Audit dengan melihat langsung proses produksi. Audit ke lokasi produksi dilakukan oleh auditor LPPOM untuk melihat langsung mengenai
bahan bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong dan proses produksi.
Proses Pasca Audit. Hasil audit dilaporkan dalam Rapat Auditor yang terdiri dari tenaga ahli untuk memutuskan dari sisi keilmuan. Selanjutnya
laporan auditor yang sudah memperoleh pertimbangan ilmiah dan disusun berdasarkan temuan lapangan dilaporkan dalam rapat Komisi Fatwa MUI
untuk ditetapkan status kehalalan suatu produk dari aspek pertimbangan syariah.
Dari tahapan yang diatur di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa, proses sertifikasi halal yang ada sudah memenuhi kriteria pembuatan sekrtifikasi
halal, hanya saja harus di sediakan juga bagi pelaku usaha menengah ke bawah yang jarang, atau bahkan tidak pernah sekalipun menyentuh dunia maya.
b. Pembiayaan sertifikasi halal
Biaya sertifikasi halal dilakukan melalui akad biaya yang mencakup biaya pendaftaran, administrasi audit, honor auditor, rapat auditor dan rapat komisi
fatwa, serta penerbitan sertifikat halal. Pembiayaan sertifikasi halal ditetapkan berdasarkan suatu pedoman yang sudah sangat jelas, sehingga tidak
dimungkinkan adanya pembiayaan lain yang tidak jelas invisibility cost
. Pembiayaan sertifikat halal didasarkan pada banyaknya produk, bahan dan fasilitas produksi yang akan disertifikasi. Pembiayaan dikenakan sekali saat
pendaftaran, MUI tidak mengenakan biaya bulanan berdasarkan kuota produk yang diperdagangkan.
Persoalan pembiayaan adalah masalah krusial yang jika tidak seimbang akan menjadi konflik, menurut penulis ada baiknya jika pembiayaan tidak
disesuaikan dengan banyaknya produk yang akan di produksi, akan tetapi mencakup biaya pendaftaran, administrasi audit, honor auditor, rapat auditor dan
rapat komisi fatwa saja. c.
Penerbitan Sertifikat halal Sertifikat halal diterbitkan berdasarkan penetapan status kehalalan produk
dalam sidang Komisi Fatwa MUI. Masa berlaku sertifikat halal tersebut selama 2 dua tahun. Permasalahan penerbitan sertifikasi halal, ini juga harus menjadi
pertimbangan bagi para auditor dan MUI dalam sidang komisi fatwa, khusus nya permasalahan umur sertifikasi halal. Artinya masa berlaku juga harus
disesuaikan dengan pemasaran produk yang akan di produksi, karena tidak ada yang bisa menjamin akan banyaknya konsumen yang memakai produk tersebut.
d. Pencantuman logo halal atau ijin labelisasi halal
Pencantuman logo halal pada kemasan adalah wewenang Badan POM RI. Badan POM RI akan menerbitkan ijin labelisasi halal bagi perusahaan
berdasarkan penerbitan Sertifikat Halal MUI. Berdasarkan hal ini, bagaimana apa bila ada pemalsuan Logo oleh pelaku
usaha, pemerintah harus mencantumkan larangan dalam pemalsuan logo, dan menindak pelaku usaha yang memalsukan logo berupa sanksi pidana.
2. Proses Pengakuan Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri. MUI melakukan
kerjasama dengan lembaga sertifikasi halal luar negeri LSHLN. Adapun Tahapan proses pengakuan Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri oleh MUI
dilakukan sebagai berikut : a.
Kriteria Pengakuan MUI menetapkan 7 tujuh kriteria sebagai prasyarat yang harus dipenuhi
oleh LSHLN yang ingin diakui oleh MUI. Pengakuan MUI terhadap LSHLN dilakukan berdasarkan permohonan dari LSHLN yang bersangkutan.
b. Pemenuhan Data Kuesioner pengakuan
Data pemenuhan 7 kriteria sebagai LSHLN yang dituangkan ke dalam kuesioner LPPOM MUI menitik beratkan pada kemampuan menerapkan
standar dan prosedur sertifikasi halal LSHLN. Untuk dipelajari dan dikaji
mendalam, Hasil kajian dan verifikasi data oleh LPPOM MUI selanjutnya disampaikan kepada MUI. Kemudian dewan pimpinan MUI akan melakukan
audit lapangan secara langsung.audit lapangan ini bertujuan untuk menetapkan status kelayakan LSHLN apakah sesuai dengan pedoman MUI
atau tidak. c.
Kunjungan pegakuan Kunjungan lapangan sebagai bentuk audit yang dilakukan oleh MUI juga
bertujuan untuk membuktikan keberadaan LSHLN. Selain itu akan diverifikasi tentang kebenaran prosedur dan standar yang tertulis dalam data yang dikirim
ke MUI. Audit ini dilakukan oleh suatu tim yang ditunjuk oleh dewan pimpinan MUI yang terdiri dari beberapa pakar dalam bidang sains dan
syariah. d.
Penetapan status pengakuan Setelah itu auditor melakukan kunjungan lapangan ke LSHLN, maka tim
auditor yang mengajukan permohonan akan menetapkan status kesesuaian dan pemenuhan berdasarkan ketentuan MUI. Andaikata hasil audit lapangan sesuai
dengan data yang diberikan, maka akan diterbitkan surat yang berisi pengakuan lembaga sertifikasi halal tersebut. Adapun kategori kategori
pengakuan MUI terhadap LSHLN. LSHLN Difokuskan pada tiga hal, yaitu; pemotongan slaughtering, industri pengolahan dan flavor.
e. Masa Evaluasi pengakuan
Setelah pengakuan LSHLN diberikan, MUI akan melakukan review atas pengakuan LSHLN setiap dua tahun sekali, sebagaimana yang tertulis dalam
pedoman sertifikasi pengakuan MUI terhadap LSHLN hanya dalam proses sertifikasi halal untuk bahan baku yang digunakan pada produk akhir saja.
Pemberlakuan sertifikat tersebut hanya untuk produk yang diproduksi di wilayah negara dimana LSHLN tersebut berada. Misalnya LSHLN di
Australia, hanya berlaku di daerah Australia saja, dan tidak berlaku untuk di luar negara tersebut. Sedangkan Pembiayaan pengakuan Lembaga Sertifikat
Halal Luar Negeri, Penerbitan sertifikat pengakuan LSHLN diberikan secara gratis. Mengapa gratis ? Dalam proses pengakuan lembaga sertifikasi halal
luar negeri LSHLN, lembaga tersebut hanya memberikan biaya pengganti transport, yang meliputi; tiket, pembuatan visa, serta transportasi lokal di
Indonesia, Viskal. Sedangkan honor auditor dari MUI, besarannya sesuai dengan kebijakan LSHLN masing masing. Sesuai kewenangan, atas dasar itu
ketika Decree MUI diterbitkan tanpa dikenai biaya apapun ke MUI ,tetapi hsnya biaya ke audit saja. Hal ini bisa saja terjadi manipulasi atau transaksi
suap. Dengan ketentuan ini bisa saja terjadi tindak pidana korupsi, Jika tidak ada nya pemantauan atau pengawasan, seperti kasus suap menyuap.
Sistem Monitoring pada Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri Monitoring yang telah diakui MUI dilakukan dengan cara memastikan keabsahan
otentisitas sertifikat halal yang diterbitkan. Komunikasi aktif antara MUI dan LSHLN dilakukan untuk menelusuri, apakah ada hal-hal yang tidak
sesuai dengan standar dan prosedur MUI dan LPPOM MUI, pertemuan tahunan dilakukan untuk melakukan koordinasi antara MUI dan LSHLN.
3
Setelah ada UU JPH kewenangan MUI “dibatasi”, dimana penyelenggara
jaminan produk halal bukan lagi MUI, melainkan BPJPH Pemerintah RI untuk itu BPJPH bekerja sama dengan kementrian dan atau lembaga terkait atau LPH,
baik itu MUI, atau Ormas lain nya. Pasal 7 UU JPH, bahwa dalam pasal tersebut Menyatakan
bahwa “Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, BPJPH Bekerja sama dengan : 1.Kementrian dan atau lembaga
terkait 2 . LPH dan 3. MUI” secara jelas bahwa fungsi dan peran MUI yang
selama ini dilakukan telah di ambil alih oleh BPJPH. Kewenangan BPJPH tertuang dalam pasal 6 yang menyatakan bahwa
“Dalam penyelenggaraan JPH ,BPJPH berwenang : a. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH
b.menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH c. menerbitkan dan mencabut sertifikasi halal dan label halal pada produk d. melakukan registrasi
sertifikasi halal pada produk luar negeri e. melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal f. melakukan akreditasi terhadap LPH g. melakukan
registrasi Auditor Halal h. melakukan pengawasan terhadap JPH i.melakukan pembinaan auditor halal; dan j.melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan
luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.” Dalam pasal 10 dijelaskan kembali ,bahwa “ 1kerjasama BPJPH dengan
MUI sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf c dilakukan dalam bentuk : a. sertifikasi auditor halal b. penetapan kehalalan produk ;dan c.akreditasi LPH. 2
3
http:mui.or.idmuihomepageberitaberita-singkatpernyataan-sikap-majelis-ulama- indonesia-tentang-sertifikasi-halal-dan-pengakuan-lembaga-sertifikasi-halal-luar-negeri.html
, di
unduh, kamis 30 april 2015 ,10.24
penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b dikeluarkan MUI dalam bentuk keputusan penetapan halal produk.
” Sudah jelas di paparkan dalam pasal 6 bahwa yang berwenang menerbitkan
dan mencabut sertifikat halal pada produk adalah BPJPH. BPJPH kemudian yang menjalin kerjasama dengan instansi terkait dan atau lembaga terkait lain MUI.
Dalam pasal 7 dan 10 dijelaskan bahwa keterlibatan MUI hanya sebatas mitra, kerja sama antara BPJPH dan MUI. MUI hanya mengeluarkan fatwa setelah
memeriksa kandungan pada produk tersebut, dan selanjutnya penerbitan sertifikat halal dikeluarkan oleh BPJPH.
Pemberlakuan UU JPH sebagaimana termaktub dalam Pasal 61 “LPH yg
sudah ada sebelum undang undang ini berlaku diakui sebagai LPH dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 13 paling lama 2 dua tahun
terhitung sejak BPJPH Dibentuk”. Dengan kata lain, pada tahun 2016 seluruh
LPH yang ada di Indonesia, baik MUI atau Ormas lainnya wajib menaati UU JPH.
Dalam hal auditor yang telah ada, Pasal 62 menyatakan bahwa “auditor
halal yang sudah ada sebelum undang-undang ini berlaku diakui sebagai auditor halal dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 15 paling lama 2
dua tahun terhitung sejak undang- undang ini di undangkan”. Status Hukum
Auditor Halal yang telah ada tetap di Akui keberadaannya dan selanjutnya dibina Oleh BPJPH.
Pembentukan BPJPH tidak saat UU ini disahkan namun menunggu 3 tahun kemudian ,yaitu pada tahun 2017. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 64
“pembentukan BPJPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 3 harus dibentuk paling lambat 3 tiga tahun terhitung sejak undang-undang ini di
undangkan.
4
Dalam penjelasan pasal di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga pemeriksa halal LPH yg sudah ada, masih tetap berjalan dan di akui
kedudukannya sebagai lembaga pemeriksa halal, dengan ketentuan memenuhi syarat yang tertera dalam UU tersebut. LPH yang sudah ada harus memiliki
persyaratan sebagaimana yang tertera dalam pasal 13 UU No.33 Tahun 2014. Penyelenggara UU tersebut adalah pemerintah sebagai eksekutor atau
pelaksana Undang Undang. Hal tersebut tertulis pada Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3 UU No.33 Tahun 2014 yang berbunyi: Pas
al 5 ayat 1 “Pemerintah Bertanggung Jawab dalam Penyelenggaraan JPH
”. Pemerintah, dalam hal ini kementrian agama yang bertanggung jawab pebuh atas pelaksanaan sertifikasi halal. Sebagaimana
yang termaktub dalam Pasal 5 ayat 2 “Penyelenggaraan JPH Sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 di laksanakan oleh menteri“. Pasal 5 ayat 3 “Untuk
Melaksanakan Penyelenggaraan JPH Sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dibentuk BPJPH Yang Berkedudukan dibawah dan Bertanggung jawab Kepada
Menteri ”. Pasal ini menjelaskan bahwa, pemerintah yang bertanggung jawab atas
terselenggaranya JPH, dalam hal ini pemerintahan disini adalah kementrian agama, sebagaimana dicantumkan pada ayat 2, dan dipertegas dalam ayat 3
bahwa untuk terbentuknya BPJPH berkedudukan atas tanggung jawab di bawah Kementrian Agama.
4
Undang-Undang No.33 Tahun 2014, Pasal 61, 62, 64.
Dari paparan diatas, secara jelas menyatakan, bahwa sertifikasi halal yang masih berjalan saat ini masih berlaku. Sertifikasi halal masih berjalan
sebagaimana mestinya, dibentuknya BPJPH Sebagai lembaga dibawah tanggung jawab Kementrian Agama. Jika dalam batas waktu 3 tahun sampai dengan tahun
2017 pemerintah belum membentuk lembaga yang dimaksud, maka kewenangan sertifikasi halal yang sudah ada masih tetap berjalan sebagaimana adanya.