Dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan daerah dan kemiskinan di Kabupaten Kota Provinsi Jawa Barat
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA
KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN
DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT
OLEH
ANDROS M P HASUGIAN H14101079
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
(2)
RINGKASAN
ANDROS HASUGIAN. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat. (dibimbing oleh
WIWIEK RINDAYANTI).
Kebijakan dan tugas umum pembangunan daerah dimasa lampau dominan dipegang oleh pemerintah pusat baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan. Prioritas pembangunan daerah selalu diarahkan untuk mendukung kesuksesan prioritas pembangunan nasional. Karena itu sebagian besar pembiayaan pembangunan daerah secara spesifik ditentukan oleh pemerintah pusat. Pemerintahan yang sentralistik ini melahirkan ketergantungan pemerintah daerah dan ketimpangan pembangunan antar daerah di Indonesia. Karena itulah pemerintah pusat dengan kebijakan reformasi pembangunan menetapkan kebijakan desentralisasi fiskal. Konsekuensi dari pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah otonom, tidak lain adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Hal tersebut membuat konsep desentralisasi fiskal diperlukan sebagai instrumen dalam mendukung daerah dalam pelayanan publik dengan transfer dana ke daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal sendiri bertujuan untuk meningkatkan keuangan daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, terutama dalam mencapai standar pelayanan minimum.
Kebijakan desentralisasi fiskal, yang dititik beratkan pada kabupaten/kota, akan memberi keleluasaan daerah untuk melihat dan menentukan skala prioritas pembiayaan pembangunan yang berimplikasi pada peningkatan penerimaan daerah dan disertai dengan keleluasaan pemerintahan daerah untuk membelanjakan dana alokasi yang diterima. Kewenangan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah diharapkan memberi dampak positif terhadap kinerja keuangan daerah yang bermuara pada kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu patut dipertanyakan bagaimana dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan daerah yang dikaitkan dengan kemiskinan, khususnya kabupaten/kota yang menjadi sentra otonomi daerah, dalam hal ini kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat.
Penelitian ini mempunyai tiga tujuan. Pertama, menganalisis tingkat kemandirian fiskal dan kinerja fiskal daerah kabupaten /kota Provinsi Jabar sebelum dan masa desentralisasi fiskal, kedua menganalisis laju dan profil kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat sebelum dan masa desentralisasi fiskal, ketiga menganalisis hubungan faktorfaktor penerimaan keuangan daerah terhadap kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jabar. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dimana data tersebut berasal dari kabupaten/kota se provinsi Jawa Barat untuk tahun 19982004. Metode yang digunakan adalah metode
(3)
deskriptif dan Analisis Regresi dengan Metode pendugaan Ordinary Least Square (OLS) terhadap data panel yaitu penggabungan antara data time series periode sebelum desentralisasi fiskal (19982000) dan periode masa desentralisasi fiskal (20012004) dengancross section kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat.
Hasil penelitian dengan menggunakan metode deskriptif menunjukkan bahwa kinerja keuangan yang ditunjukkan dengan tingkat kemandirian lebih baik ketika sebelum desentralisasi fiskal. Indikasi tersebut dilihat dengan rasio PAD terhadap penerimaan daerah, sedangkan laju pengurangan kemiskinan lebih cepat pada masa desentralisasi fiskal. Hasil penelitian analisis regresi dengan metode panel data yang menganalisis peranan mekanisme transfer terhadap tingkat kemandirian menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan satu persen rasio DAU terhadap penerimaan maka akan menurunkan tingkat rasio PAD terhadap penerimaan sebesar 0,02 persen. Demikian juga dengan variabel dummy desentralisasi fiskal yang negatif dan signifikan yang artinya rasio PAD terhadap penerimaan relatif lebih kecil pada masa desentralisasi fiskal. Hasil penelitian analisis regresi dengan metode panel data yang menganalisis pengaruh dari penerimaan daerah berupa DAU, PAD, bagi hasil terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa dana transfer berupa DAU tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan. Tetapi variabel dummy negatif dan signifikan, yang artinya persentase penduduk miskin pada masa desentralisasi fiskal relatif lebih kecil. Hal ini menandakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memang berpihak pada kemiskinan.
Berlakunya otonomi daerah maka diharapkan peran badan legislatif dan eksekutif semakin besar, karena penentuan anggaran dan belanja daerah diproyeksikan dan dilakukan di daerah. Dengan demikian daerah tersebut mampu menyeleksi pengeluaran mana yang paling objektif, atau kiranya relevan dan berpihak pada masyarakat. Tetapi pengeluaran pemerintah kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat belum sepenuhnya konsisten dengan prioritas pembangunan. Hal ini dilihat dari belum adanya perubahan yang signifikan di wilayah kabupaten/kota dalam alokasi anggaran pengeluaran pada masa desentralisasi fiskal. Pengeluaran pemerintah daerah masih didominasi untuk pengeluaran rutin yang berkisar antara 6080 persen.
Keterbatasan penelitian ini hanya melihat alokasi anggaran penerimaan pemerintah daerah terhadap tingkat kemiskinan. Untuk melihat peran pemerintah secara lebih komprehensif terhadap kemiskinan maka perlu diteliti lebih lanjut dari sisi anggaran pengeluaran. Selain itu perlu dilakukan penelitian mengenai kinerja keuangan daerah dengan mengikut sertakan seluruh sektor dan komoditi yang diunggulkan pada masingmasing daerah.
(4)
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA
KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN
DAN KOTA PROVINSI JABAR
Oleh
ANDROS M P HASUGIAN H14101079
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
(5)
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama : Andros M P Hasugian
Nomor Registrasi Pokok : H14101079
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja
Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten Kota Provinsi Jawa Barat
Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Wiwiek Rindayanti, M.Si NIP.131 653 137
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan :
(6)
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2006
Andros M P Hasugian H14101079
(7)
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Andros M P Hasugian lahir pada tanggal 13 April 1983 di Sidikalang. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara pasangan Ayahanda Togar Hasugian dan Ibunda Ridha Manurung. Jenjang pendidikan penulis dilalui dari TK HKBP Tarutung, SD St. Fransiskus III Jakarta dan SLTP St. Fransiskus II Jakarta, lulus tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 22 Jakarta Timur dan lulus pada tahun 2001.
Pada tahun 2001 penulis melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi setelah menerima Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Dikarenakan sakit, penulis mengambil cuti dan aktif kembali menjadi mahasiswa pada tahun 2002. Selama penulis menjalani studi, penulis aktif dibeberapa organisasi seperti Teater Permissie 38, DPM FEM, Himpro HIPOTESA, Perintis Koperasi FOKUS serta aktif diberbagai kepanitiaan seperti Dies Natalis FEM IPB.
Selain itu penulis juga aktif dalam kegiatan menulis dan olahraga, serta pernah menjuarai beberapa kompetisi antara lain Juara II Lomba Essay Politik FEM Beraspirasi pada tahun 2005 dan 2006, kemudian meraih Juara I Himafarin Cup pada tahun 2005. Hingga saat ini penulis masih aktif membuat artikel dan karya tulis di berbagai kesempatan.
(8)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan anugerahNya hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan Agustus 2006 dengan judul “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di KabupatenKota Provinsi Jabar”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Wiwiek Rindayanti, M.Si yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis, dan dukungan moral dalam pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Noer Azam Achsani, Ph.D yang telah bersedia menjadi dosen penguji dalam ujian sidang penulis serta memberikan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini dan Fifi Diana Thamrin, M.Si selaku komisi pendidikan dalam ujian sidang penulis serta memberikan kritk dan saran untuk perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.
Penulis juga sangat terbantu oleh temanteman seperjuangan Adi, Aira, Thamic, Iqbal, Imam, Fickry, Rudi, VOE, Ratna, Febri, Esti, Indah, Girma crews, yang senantiasa membantu baik secara teknis dan moral, dengan menghibur dan memberikan motivasi kepada penulis sampai dengan skripsi ini dapat terselesaikan.
Akhirnya penulis ingin memberikan ucapan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Orangtua, Abang Pantas, Otto, dan Martin serta keluarga Uda dan Inanguda Rosa, yang telah banyak memberikan kesabaran dan kasih sayang dalam mendorong proses penyelesaian skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis juga memohon maaf kepada Orangtua karena banyaknya kekecewaan dan kekhawatiran selama penulis menjalani masa kuliah di IPB ini.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak sekali kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang sematamata
(9)
H14101079
ditujukan untuk memperbaiki berbagai kelemahan yang ada sangat penulis harapkan. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2006
(10)
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR TABEL... x
DAFTAR GAMBAR... xi
DAFTAR LAMPIRAN...xii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan ... 5
1.4 Kegunaan Penelitian ... 5
1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA... 7
2.1 Konsep Desentralisasi... 7
2.2 Konsep Dana Alokasi Umum... 10
2.3 Konsep Kemiskinan... 15
2.4 Konsep Kinerja Keuangan.. ... 17
2.4 Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 18
III. KERANGKA PEMIKIRAN... 19
3.1 Kerangka Teori... 19
3.1.1 Landasan Transfer PusatDaerah. ... 19
3.1.2 Pola Pemberian Bantuan ... 22
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 24
3.3 Hipotesis Penelitian. ... 25
IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT ... 27
4.1 Kondisi Wilayah... 27
(11)
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA
KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN
DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT
OLEH
ANDROS M P HASUGIAN H14101079
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
(12)
RINGKASAN
ANDROS HASUGIAN. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat. (dibimbing oleh
WIWIEK RINDAYANTI).
Kebijakan dan tugas umum pembangunan daerah dimasa lampau dominan dipegang oleh pemerintah pusat baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan. Prioritas pembangunan daerah selalu diarahkan untuk mendukung kesuksesan prioritas pembangunan nasional. Karena itu sebagian besar pembiayaan pembangunan daerah secara spesifik ditentukan oleh pemerintah pusat. Pemerintahan yang sentralistik ini melahirkan ketergantungan pemerintah daerah dan ketimpangan pembangunan antar daerah di Indonesia. Karena itulah pemerintah pusat dengan kebijakan reformasi pembangunan menetapkan kebijakan desentralisasi fiskal. Konsekuensi dari pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah otonom, tidak lain adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Hal tersebut membuat konsep desentralisasi fiskal diperlukan sebagai instrumen dalam mendukung daerah dalam pelayanan publik dengan transfer dana ke daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal sendiri bertujuan untuk meningkatkan keuangan daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, terutama dalam mencapai standar pelayanan minimum.
Kebijakan desentralisasi fiskal, yang dititik beratkan pada kabupaten/kota, akan memberi keleluasaan daerah untuk melihat dan menentukan skala prioritas pembiayaan pembangunan yang berimplikasi pada peningkatan penerimaan daerah dan disertai dengan keleluasaan pemerintahan daerah untuk membelanjakan dana alokasi yang diterima. Kewenangan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah diharapkan memberi dampak positif terhadap kinerja keuangan daerah yang bermuara pada kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu patut dipertanyakan bagaimana dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan daerah yang dikaitkan dengan kemiskinan, khususnya kabupaten/kota yang menjadi sentra otonomi daerah, dalam hal ini kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat.
Penelitian ini mempunyai tiga tujuan. Pertama, menganalisis tingkat kemandirian fiskal dan kinerja fiskal daerah kabupaten /kota Provinsi Jabar sebelum dan masa desentralisasi fiskal, kedua menganalisis laju dan profil kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat sebelum dan masa desentralisasi fiskal, ketiga menganalisis hubungan faktorfaktor penerimaan keuangan daerah terhadap kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jabar. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dimana data tersebut berasal dari kabupaten/kota se provinsi Jawa Barat untuk tahun 19982004. Metode yang digunakan adalah metode
(13)
deskriptif dan Analisis Regresi dengan Metode pendugaan Ordinary Least Square (OLS) terhadap data panel yaitu penggabungan antara data time series periode sebelum desentralisasi fiskal (19982000) dan periode masa desentralisasi fiskal (20012004) dengancross section kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat.
Hasil penelitian dengan menggunakan metode deskriptif menunjukkan bahwa kinerja keuangan yang ditunjukkan dengan tingkat kemandirian lebih baik ketika sebelum desentralisasi fiskal. Indikasi tersebut dilihat dengan rasio PAD terhadap penerimaan daerah, sedangkan laju pengurangan kemiskinan lebih cepat pada masa desentralisasi fiskal. Hasil penelitian analisis regresi dengan metode panel data yang menganalisis peranan mekanisme transfer terhadap tingkat kemandirian menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan satu persen rasio DAU terhadap penerimaan maka akan menurunkan tingkat rasio PAD terhadap penerimaan sebesar 0,02 persen. Demikian juga dengan variabel dummy desentralisasi fiskal yang negatif dan signifikan yang artinya rasio PAD terhadap penerimaan relatif lebih kecil pada masa desentralisasi fiskal. Hasil penelitian analisis regresi dengan metode panel data yang menganalisis pengaruh dari penerimaan daerah berupa DAU, PAD, bagi hasil terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa dana transfer berupa DAU tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan. Tetapi variabel dummy negatif dan signifikan, yang artinya persentase penduduk miskin pada masa desentralisasi fiskal relatif lebih kecil. Hal ini menandakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memang berpihak pada kemiskinan.
Berlakunya otonomi daerah maka diharapkan peran badan legislatif dan eksekutif semakin besar, karena penentuan anggaran dan belanja daerah diproyeksikan dan dilakukan di daerah. Dengan demikian daerah tersebut mampu menyeleksi pengeluaran mana yang paling objektif, atau kiranya relevan dan berpihak pada masyarakat. Tetapi pengeluaran pemerintah kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat belum sepenuhnya konsisten dengan prioritas pembangunan. Hal ini dilihat dari belum adanya perubahan yang signifikan di wilayah kabupaten/kota dalam alokasi anggaran pengeluaran pada masa desentralisasi fiskal. Pengeluaran pemerintah daerah masih didominasi untuk pengeluaran rutin yang berkisar antara 6080 persen.
Keterbatasan penelitian ini hanya melihat alokasi anggaran penerimaan pemerintah daerah terhadap tingkat kemiskinan. Untuk melihat peran pemerintah secara lebih komprehensif terhadap kemiskinan maka perlu diteliti lebih lanjut dari sisi anggaran pengeluaran. Selain itu perlu dilakukan penelitian mengenai kinerja keuangan daerah dengan mengikut sertakan seluruh sektor dan komoditi yang diunggulkan pada masingmasing daerah.
(14)
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA
KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN
DAN KOTA PROVINSI JABAR
Oleh
ANDROS M P HASUGIAN H14101079
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
(15)
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama : Andros M P Hasugian
Nomor Registrasi Pokok : H14101079
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja
Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten Kota Provinsi Jawa Barat
Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Wiwiek Rindayanti, M.Si NIP.131 653 137
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan :
(16)
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2006
Andros M P Hasugian H14101079
(17)
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Andros M P Hasugian lahir pada tanggal 13 April 1983 di Sidikalang. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara pasangan Ayahanda Togar Hasugian dan Ibunda Ridha Manurung. Jenjang pendidikan penulis dilalui dari TK HKBP Tarutung, SD St. Fransiskus III Jakarta dan SLTP St. Fransiskus II Jakarta, lulus tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 22 Jakarta Timur dan lulus pada tahun 2001.
Pada tahun 2001 penulis melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi setelah menerima Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Dikarenakan sakit, penulis mengambil cuti dan aktif kembali menjadi mahasiswa pada tahun 2002. Selama penulis menjalani studi, penulis aktif dibeberapa organisasi seperti Teater Permissie 38, DPM FEM, Himpro HIPOTESA, Perintis Koperasi FOKUS serta aktif diberbagai kepanitiaan seperti Dies Natalis FEM IPB.
Selain itu penulis juga aktif dalam kegiatan menulis dan olahraga, serta pernah menjuarai beberapa kompetisi antara lain Juara II Lomba Essay Politik FEM Beraspirasi pada tahun 2005 dan 2006, kemudian meraih Juara I Himafarin Cup pada tahun 2005. Hingga saat ini penulis masih aktif membuat artikel dan karya tulis di berbagai kesempatan.
(18)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan anugerahNya hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan Agustus 2006 dengan judul “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di KabupatenKota Provinsi Jabar”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Wiwiek Rindayanti, M.Si yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis, dan dukungan moral dalam pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Noer Azam Achsani, Ph.D yang telah bersedia menjadi dosen penguji dalam ujian sidang penulis serta memberikan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini dan Fifi Diana Thamrin, M.Si selaku komisi pendidikan dalam ujian sidang penulis serta memberikan kritk dan saran untuk perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.
Penulis juga sangat terbantu oleh temanteman seperjuangan Adi, Aira, Thamic, Iqbal, Imam, Fickry, Rudi, VOE, Ratna, Febri, Esti, Indah, Girma crews, yang senantiasa membantu baik secara teknis dan moral, dengan menghibur dan memberikan motivasi kepada penulis sampai dengan skripsi ini dapat terselesaikan.
Akhirnya penulis ingin memberikan ucapan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Orangtua, Abang Pantas, Otto, dan Martin serta keluarga Uda dan Inanguda Rosa, yang telah banyak memberikan kesabaran dan kasih sayang dalam mendorong proses penyelesaian skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis juga memohon maaf kepada Orangtua karena banyaknya kekecewaan dan kekhawatiran selama penulis menjalani masa kuliah di IPB ini.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak sekali kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang sematamata
(19)
H14101079
ditujukan untuk memperbaiki berbagai kelemahan yang ada sangat penulis harapkan. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2006
(20)
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR TABEL... x
DAFTAR GAMBAR... xi
DAFTAR LAMPIRAN...xii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan ... 5
1.4 Kegunaan Penelitian ... 5
1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA... 7
2.1 Konsep Desentralisasi... 7
2.2 Konsep Dana Alokasi Umum... 10
2.3 Konsep Kemiskinan... 15
2.4 Konsep Kinerja Keuangan.. ... 17
2.4 Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 18
III. KERANGKA PEMIKIRAN... 19
3.1 Kerangka Teori... 19
3.1.1 Landasan Transfer PusatDaerah. ... 19
3.1.2 Pola Pemberian Bantuan ... 22
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 24
3.3 Hipotesis Penelitian. ... 25
IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT ... 27
4.1 Kondisi Wilayah... 27
(21)
4.1.2 Topografi . ... 28
4.1.3 Iklim ... 29
4.1.4 Populasi ... 29
4.1.5 Sosial Budaya. ... 29
4.2 Karakteristik Ekonomi... 30
4.3 Penduduk Miskin... 33
V. METODE PENELITIAN ... 36
5.1 Jenis dan Sumber Data... 36
5.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36
5.3 Metode Analisis ... 36
5.3.1 Metode Deskriptif ... 36
5.3.2 Metode OLS Panel ... 37
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44
6.1 Desentralisasi Terhadap Kinerja Keuangan Jawa Barat Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah ... 44
6.1.1 Penerimaan Pemerintah Daerah Jawa Barat... 46
6.1.2 Pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat . .... 48
6.2 Deskripsi Penerimaan Keuangan Kabupaten/Kota ... 51
6.3 Deskripsi Pengeluaran Keuangan Kabupaten/Kota... 56
6.4 Profil Tingkat Kemiskinan Sebelum dan Masa Desentralisasi. .. 59
6.5 Hasil Estimasi dan Evaluasi Model... 60
6.5.1 Peranan Mekanisme Transfer Terhadap Kemandirian ... 61
6.5.2.Peranan Variabel Penerimaan Terhadap Kemiskinan... 65
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 68
6.1 Kesimpulan ... 68
6.2 Saran ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 71
(22)
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 4.1. Penggolongan Karakteristik Sektor Ekonomi Wilayah... 31 4.2. Persentase Penduduk Miskin Indonesia 19762004... 34 4.3. Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Barat... 35 6.1. Ratio Penerimaan Terhadap Pengeluaran Provinsi Jawa Barat... 44 6.2. Realisasi Penerimaan Keuangan Daerah ... 47 6.3. Pengeluaran Keuangan Pemerintah Daerah Menurut Jenis
Komponen Pengeluaran... 49 6.4 Realisasi Anggaran Belanja Provinsi Jawa Barat ... 50 6.5. Penerimaan Keuangan Kabupaten dan Kota Jawa Barat... 52 6.6. Persentase Kontribusi PAD Terhadap Penerimaan... 53 6.7. Pengeluaran Keuangan Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat... 57 6.8. Persentase Perubahan Jumlah Penduduk Miskin Sebelum
Desentralisasi Fiskal... 59 6.9. Persentase Perubahan Jumlah Penduduk Miskin Masa
Desentralisasi Fiskal... 60 6.10. Hasil Estimasi Peranan Mekanisme Transfer Terhadap Tingkat
Kemandirian... 63 6.11. Hasil Estimasi Peranan Variabel Penerimaan Terhadap Persentase
(23)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman 2.1. Revisi UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah... 14 3.1. Dampak Bantuan Spesifik dan Block Grant Terhadap Alokasi dan
Kesejahteraan Masyarakat... 22 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 24 4.1. Pengelompokan LPE dan PDRB per Kapita Kabupaten dan Kota
(24)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Tabel Anggaran Penerimaan Kabupaten dan Kota... 74 Lampiran 2. Tabel Anggaran Penerimaan Kabupaten dan Kota... 84 Lampiran 3. Hasil Estimasi Peranan Mekanisme Transfer... 96 Lampiran 4. Hasil Estimasi Variabel Penerimaan Terhadap Kemiskinan... 98
(25)
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Kebijakan dan tugas umum pembangunan daerah di masa lampau sangat dominan dipegang oleh pemerintah pusat baik dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan. Prioritas pembangunan daerah selalu diarahkan untuk mendukung kesuksesan prioritas pembangunan nasional. Karena itu sebagian besar pembiayaan pembangunan daerah ditentukan oleh pemerintah pusat. Pemerintahan yang sentralistik ini melahirkan ketergantungan pemerintah daerah dan ketimpangan pembangunan antar daerah di Indonesia.
Pada dasarnya pendekatan pemerintahan yang sentralistik bukan pedoman bangsa Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan UUD 1945 Pasal 18 yaitu bangsa Indonesia terdiri atas daerah besar dan daerah kecil dan susunannya diatur dengan undangundang. Namun seiring pergantian pemerintahan undangundang otonomi daerah selalu berganti. Sebagai catatan bangsa Indonesia telah menerbitkan tidak kurang dari sembilan undangundang yang mengatur perihal tersebut. Ini mengindikasikan bahwa setiap UU otonomi yang ada ratarata hanya bertahan kurang dari tujuh tahun, artinya selama beberapa dekade, pelaksanaan otonomi daerah bersifat semu, daerahdaerah masih kurang mandiri, karena semua wewenang dan urusan pemerintahan masih dipegang oleh pemerintahan pusat (Saragih, 2003).
(26)
Hal di atas memperlihatkan bahwa desentralisasi fiskal merupakan langkah pembaharuan. Hal ini mengandung pengertian bahwa dalam kerangka Negara Kesatuan Pemerintahan Republik Indonesia, kepala daerah diberikan keluasaan untuk menyelenggarakan kewenangan yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh dan berkembang di daerah, termasuk segala kewajiban yang ada didalamnya. Pada era desentralisasi fiskal, pemerintah daerah mempunyai peranan penting dalam pembangunan, hal ini mengingat berbagai program pembangunan yang telah dirancang oleh pemerintah pusat mulai mengarah pada pembangunan yang bersifat desentralistik.
Konsekuensi dari pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah otonom, tidak lain adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Hal tersebut membuat konsep desentralisasi fiskal diperlukan sebagai instrumen dalam mendukung daerah dalam pelayanan publik dengan transfer dana ke daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal sendiri bertujuan untuk memampukan keuangan daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, terutama dalam mencapai standar pelayanan minimum (Saragih, 2003).
Pada hakikatnya kemampuan suatu daerah, khususnya kabupaten dan kota dalam melaksanakan fungsi otonominya tidak sama satu dengan yang lain. Di satu pihak beberapa daerah tergolong sebagai daerah yang beruntung karena memiliki sumbersumber penerimaan yang potensial, baik yang berasal dari bagi hasil pajak dan bukan pajak. Di lain pihak, banyak kabupaten dan kota yang memiliki
(27)
kemampuan dan keuangan yang kurang memadai, mengakibatkan daerah ini mengalami kesulitan dalam pembiayaan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerahnya. Oleh karena itu diperlukan suatu kebijakan transfer dari pemerintah pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU).
Jumlah DAU ditetapkan sekurangkurangnya 25 persen dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Selanjutnya, 10 persen dari dana tersebut akan diberikan kepada pemerintah provinsi dan sisanya 90 persen akan diberikan kepada pemerintah kabupaten dan kota. Tujuan pengalokasian DAU ini selain dalam kerangka otonomi daerah juga memiliki tujuan dalam kerangka pemerataan daerah. Secara teoritis, DAU dapat menimbulkan dorongan positif atas penanggulangan kemiskinan dan tata kelola pemerintahan yang baik karena dengan meningkatnya sumber penerimaan daerah yang sangat signifikan akan mendorong perekonomian rakyat sehingga elemen masyarakat madani mempunyai peluang yang lebih besar dalam berusaha (Alkatiri, 2005).
Pemerintah Pusat mengharapkan dengan adanya pelimpahan wewenang dalam pengambilan keputusan dan tanggung jawab maka pemerintahan kabupaten dan kota mempunyai peluang dan kesempatan yang lebih besar dalam menanggulangi kemiskinan. Pemerintah kabupaten dan kota dapat meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, karena lebih dekat dan dengan mudah memonitor dan mengevaluasi proyek apa saja yang kiranya tepat sesuai potensi masyarakat yang ada untuk menanggulangi kemiskinan di daerahnya.
(28)
Kemiskinan sendiri masih menjadi isu sentral di Indonesia dan segera perlu diatasi. Menurut BPS (2006), kemiskinan pernah menurun tajam pada kurun waktu 19761996, yaitu dari 40,1 persen menjadi 11,3 persen dari total penduduk Indonesia. Akan tetapi penduduk miskin kembali meningkat pada periode 19961999. Akibat krisis multidimensi yang menerpa Indonesia, jumlah penduduk miskin pada periode 19961999, meningkat tajam dari 22,5 juta jiwa (11,3 persen) menjadi 47,9 juta jiwa (23,43 persen) atau bertambah sebanyak 25,4 juta jiwa.
Kebijakan sistem desentralisasi fiskal memungkinkan daerah untuk dapat mengupayakan peningkatan kinerja ekonomi dengan kebijakankebijakan tertentu. Melalui pengenalan potensi baik ekonomi maupun non ekonomi yang dimiliki oleh suatu daerah, nantinya akan memberikan konsekuensi yang positif terhadap pembangunan ekonomi, sehingga kegiatan ekonomi akan dapat terus berkembang dan meningkat. Dengan demikian pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pengentasan kemiskinan di daerah tersebut, namun di pihak lain dapat terjadi sebaliknya dimana kebijakan tersebut malah dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin.
Oleh karena itu perlu dianalisis bagaimana dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan daerah dan kemiskinan, khususnya kabupaten/kota yang menjadi sentra otonomi daerah. Apakah dengan penyerahan wewenang dan kekuasaan pada pemerintahan daerah serta pembagian jatah pembangunan akan menurunkan kinerja keuangan yang pada akhirnya akan menurunkan kesejahteraan masyarakat.
(29)
1.2. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, permasalahan yang akan diteliti adalah:
1. a) Bagaimanakah kinerja fiskal daerah kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat sebelum dan masa desentralisasi fiskal?
1. b) Apakah dengan penerapan desentralisasi fiskal melalui pengalokasian Dana Alokasi Umum mampu menciptakan kemandirian fiskal daerah?
2. Bagaimana laju dan profil penurunan kemiskinan di kabupaten/kota Jawa Barat sebelum dan masa desentralisasi fiskal?
3. Bagaimana pengaruh faktorfaktor penerimaan keuangan daerah terhadap kemiskinan?
1.3. Tujuan Penulisan
Dengan merujuk pada latar belakang dan permasalahan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis tingkat kemandirian fiskal dan kinerja fiskal daerah Kabupaten /Kota Provinsi Jawa Barat sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal.
2. Menganalisis laju dan profil kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat sebelum dan masa desentralisasi fiskal.
3. Menganalisis hubungan faktorfaktor penerimaan keuangan daerah terhadap kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat.
(30)
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi:
1. Bagi pemerintah, yang mempunyai posisi dan otoritas dalam mengambil kebijakan dan keputusan sebagai dasar dalam menentukan upaya peningkatan kinerja fiskal di Provinsi Jabar, khususnya kabupaten dan kota.
2. Bagi peneliti berikutnya, yang mungkin tertarik untuk menggunakan
penelitian ini sebagai rujukan melanjutkan penelitian tentang desentralisasi fiskal di masa yang akan datang.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Analisis penelitian hanya meliputi kebijakan desentralisasi fiskal, tidak meliputi kebijakan desentralisasi politik. Kemudian keterbatasan penelitian ini hanya melihat alokasi anggaran penerimaan pemerintah daerah terhadap tingkat kemiskinan. Untuk melihat peran pemerintah secara lebih komprehensif terhadap kemiskinan maka perlu diteliti lebih lanjut dari sisi anggaran pengeluaran. Selain itu perlu dilakukan penelitian mengenai kinerja keuangan daerah dengan mengikutkan seluruh sektor dan komoditi yang diunggulkan pada masingmasing daerah.
(31)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Desentralisasi Fiskal
Secara umum, konsep desentralisasi dibagi menjadi desentralisasi politik desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal, dan desentralisasi ekonomi Desentralisasi adminitratif sendiri merupakan pelimpahan wewenang yang dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber sumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan manajemen fungsi–fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada aparatnya di daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu (Delivery, 2005)
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitan dengan kebijakan keuangan negara yaitu untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan dan memberikan stimulus terhadap aktivitas perekonomian masyarakat, maka dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom. Desentralisasi juga merupakan suatu bentuk pemindah tanggung jawab, kekuasaan dan wewenang dari tingkat pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah. Keputusan untuk melakukan desentralisasi dikarenakan faktor pemerintah daerah yang lebih dekat dengan masyarakat di daerahnya. Sebab disatu sisi bila
(32)
desentralisasi dilakukan, akan berpengaruh secara langsung dan nyata terhadap masyarakat itu sendiri. Desentralisasi fiskal jadi salah satu “pilar” dalam memelihara kestabilan kondisi ekonomi nasional, karena dengan adanya transfer dana ke daerah akan mendorong aktivitas perekonomian masyarakat di daerah (Pakasi, 2005).
Prinsipprinsip utama desentalisasi fiskal menurut Delivery (2005) adalah:
1. Otonomi Daerah
Otonomi Daerah memberikan wewenang penuh kepada daerah untuk menjalankan pemerintahannya sendiri termasuk menyediakan pelayanan yang berdasar pada prioritas daerah itu sendiri, yang sesuai dengan aspirasi masyarakat serta berjalan di atas rel hukum dan peraturan yang berlaku.
2. PerencanaanBottomup
Perencanaan Bottomup akan mengangkat isu penggunaan pendekatan partisipatif oleh pemerintah daerah. Itu dilakukan untuk lebih mendengarkan pendapat masyarakat sasaran dalam proses identifikasi, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi terhadap inisiatif pembangunan sosial dan ekonomi. Dengan memperkenalkan sistim perencanaan bottomup akan sekaligus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah terhadap masyarakat yang dilayaninya dengan melibatkan masyarakat sebagai elemen utama dalam proses pengambilan keputusan pemerintah.
3. Partisipasi dalam Proses Demokratis
Konteks desentralisasi pemerintah, "partisipasi" mengacu pada anggota masyarakat di dalam menjalankan hak dan tanggung jawabnya melalui proses
(33)
demokratis. Proses tersebut antara lain berupa partisipasi anggota masyarakat dalam pemerintahan daerah untuk memilih wakilwakil mereka di pemerintah daerah; juga membentuk kelompokkelompok masyarakat seperti LSMLSM, organisasi para pembayar bea, dan kelompokkelompok pelayanan, di mana keduanya menjadi inisiator program mandiri yang inovatif seperti proyek pengentasan kemiskinan dan melakukan lobi ke pemerintah atas nama anggotanya.
4. Pembangkitan Sumbersumber Keuangan
Kesuksesan inisiatif desentralisasi dan otonomi daerah ditentukan oleh kapasitas pemerintah daerah untuk membangkitkan sumbersumber keuangan dan sumber lainnya (seperti personil). Sumbersumber daya ini dapat berbentuk pemasukan pajak yang diatur oleh pemerintah lokal (pengumpulan pajak daerah) ataupun mentransfer dan menyeimbangkan pembayaran dari pemerintah yang lebih tinggi.
5. Keseimbangan Pembagian Sumbersumber Daya
Pembagian sumbersumber daya yang seimbang di antara berbagai tingkatan pemerintahan akan menjamin bahwa daerahdaerah yang kaya akan sumber daya akan memperoleh manfaat dari eksploitasi sumbersumber daya tersebut, sementara daerahdaerah yang miskin sumber daya akan memperoleh pembagian yang adil dari pendapatan yang dihasilkan.
Secara teoritik, garis besar dana alokasi dari pemerintah pusat ke daerah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu berupa bantuan bersyarat (conditional grants) dan bantuan tidak bersyarat (unconditional grants). Terdapat tiga bantuan bersyarat, yaitu:
(34)
1. Matching openended grants, pusat akan memberikan bantuan sejumlah dana tertentu kepada daerah untuk setiap alokasi yang dibelanjakan daerah untuk kegiatan tertentu. Misalnya, untuk pendidikan, Pemerintah Pusat akan membantu dalam jumlah yang sama atau dalam porsi tertentu. Pola bantuan seperti ini bisa mengakibatkan bantuan pusat terlalu besar, apabila pengeluaran daerah untuk program yang dibantu sangat besar, atau sebaliknya;
2. Matching closedended grants, pemerintah pusat menetapkan batas maksimum bantuan kepada daerah. Mekanisme semacam ini digunakan oleh banyak negara sebagai bgian dari upaya mengontrol anggaran.
3. Nonmatching grants, pemerintah pusat menawarkan sejumlah dana bantuan untuk dibelanjakan pada sektor publik yang spesifik. Sedangkan untuk bantuan tidak bersyarat pemerintah pusat memberikan keleluasaan bagi daerah untuk memanfaatkan bantuan tersebut. Alasan utama pemberian bantuan tidak bersyarat ini adalah untuk mewujudkan pemerataan dalam kapasitas fiskal dari daerahdaerah guna menjamin penyediaan jasa publik yang layak bagi masyarakat ( Sumedi,2005).
2.2. Konsep Dana Alokasi Umum
Mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara pusat dan daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25
(35)
persen dari penerimaan dalam negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian bagi daerah dalam memperoleh sumbersumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.
DAU secara definisi merupakan dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakat didaerah, sehingga perbedaan antara daerah yang maju dan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil (Brodjonegoro, dkk 2002).
Sesuai dengan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal Gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah (fiscal needs) dengan potensi daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada.
Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerahdaerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU
(36)
yang relatif besar. Dengan konsep ini sebenarnya daerah yang fiscal capacitynya lebih besar darifiscal needs hitungan DAU akan negatif.
Kebutuhan daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan daerah seperti potensi industri, potensi Sumber Daya Alam (SDA), potensi Sumber Daya Manusia, dan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). (Saragih, 2003)
Formula dasar yang pertama kali digunakan dalam formula dasar DAU 2001 sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 104/2000 yang disusun oleh LPEM FE UI (2000) dalam Brodjonegoro, dkk 2002. LPEM FE UI merumuskan formula alokasi yang dinilai paling tepat untuk ditransfer dari pemerintah pusat kepada daerah. Formula yang digunakan berbentuk blok, yakni DAU yang diberikan untuk membiayai selisih antara kebutuhan daerah dengan potensinya. Formula tersebut disusun dengan memilih variabelvariabel yang datanya tersedia dan dianggap cukup akurat. Adapun yang dilakukan kemudian adalah dengan menghitung bobot lima variabel yang menentukkan kebutuhan fiskal daerah dan empat variabel potensi penerimaan daerah. Variabel kebutuhan daerah terdiri dari pengeluaran ratarata daerah, indeks penduduk, indeks luas daerah, indeks harga bangunan dan indeks kemiskinan relatif. Formula tersebut dirumuskan sebagai berikut:
Pengeluaran daerah ratarata dihitung dari rasio total belanja daerah secara nasional dan dana Daftar Isian Kegiatan (DIK) yang didaerahkan dengan jumlah
(37)
daerah. Indeks penduduk dihitung dari rasio populasi daerah dengan ratarata populasi daerah secara nasional. Indeks luas diperoleh dengan membandingkan luas daerah dengan ratarata luas daerah secara nasional. Indeks harga bangunan diperoleh dari indeks konstruksi daerah dibagi 100. Sedangkan indeks kemiskinan relatif daerah diperoleh dengan menghitung rasio antara jumlah penduduk miskin daerah dengan ratarata jumlah penduduk miskin nasional.
Penerimaan daerah ratarata dilihat dari rasio Pendapatan Asli Daerah dan bagi hasil pajak dengan jumlah daerah. Indeks SDA diperoleh dari rasio sektor SDA daerah dengan PDRB daerah dibagi dengan rasio Produk Domestik Bruto (PDB) sektor SDA nasional dengan PDB nasional. Industri diperoleh dari rasio PDRB sektor nonprimer daerah dengan PDRB daerah dibagi dengan PDB sektor non primer nasional dengan PDB nasional. Sedangkan indeks SDM daerah dihitung dengan membandingkan rasio angkatan kerja daerah dengan populasi daerah dibagi rasio angkatan kerja nasional dengan populasi nasional.
Seiring dengan penyesuaian dengan melihat pelaksanaan yang telah dilakukan, formula DAU mengalami revisi melalui UU No 33 tahun 2004 tetapi tidak terlalu drastis. Sejalan dengan amanat UU No 33 tahun 2004 Pasal 27 data daerah yang digunakan untuk mengukur kebutuhan fiskal daerah mengalarni perubahan menjadi jumlah penduduk, luas wilayah, PDRB per Kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia, sedangkan kapasitas fiskal diukur dengan data bagi hasil pajak dan bukan pajak serta PAD realisasi. Selanjutnya data jumlah kebutuhan belanja gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah yang sebelumnya digunakan sebagai acuan
(38)
untuk memperhitungkan faktor penyeimbang dalam formula DAU, berdasarkan UU No 33 tahun 2004 data tersebut digunakan sebagai dasar penghitungan alokasi dasar dalam DAU. UU No 25 tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Kebutuhan Fiskal
· Jumlah penduduk · Luas Wilayah · Keadaan Geografis
Kapasitas Fiskal
· Potensi Industri · Potensi SDA · Potensi SDM · PDRB Variabel Kebutuhan Fiskal
· PDRB Jasa · Bagi Hasil SDA · PBB
· PPh Pribadi Variasi Kebutuhan Fiskal
· Indeks Jumlah Penduduk
· Indeks Luas Wilayah · Indeks Harga
Formula DAU
UU No 33 tahun 2004
Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Kebutuhan Fiskal
· Jumlah penduduk · Luas Wilayah · Pembangunan SDM
Kapasitas Fiskal
· Potensi Ekonomi Daerah · Potensi SDA
· Potensi SDM · PDRB Variasi Kebutuhan Fiskal
· Index Jumlah Penduduk · Index Luas Wilayah · Index PDRB per Kapita
Variabel Kebutuhan Fiskal · PAD · Bagi Hasil · PPh Pribadi
(39)
Sumber : Dirjen Perimbangan Keuangan Daerah (2005)
Gambar 2.1. Revisi UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
2.3. Konsep Kemiskinan
Sampai saat ini definisi tentang kemiskinan juga sangat beragam. Terutama bila kemiskinan dilihat dari pendekatan subyektif. Konsep kemiskinan itu antara lain dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan bahan di berbagai keadaan hidup. Penggunaan istilah ini termasuk:
· Penggambaran kebutuhan material termasuk kekurangan bahan pokok dan
pelayanan
· Keadaan ekonomi, di mana kekurangan kekayaan (biasanya dianggap sebagai
modal, uang, barang material, atau sumber daya)
· Hubungan sosial, termasuk pengecualian sosial, ketergantungan, dan
kemampuan untuk hidup dalam apa yang dianggap masyarakat sebagai hidup "normal"; contohnya, kemampuan untuk mendidik anak dan berpartisipasi dalam aktivitas masyarakat.
(40)
Kemiskinan juga merupakan bentuk ketidakmampuan terhadap pihak penguasa sehingga mereka masuk dalam pihak kategori yang lemah, yang tidak bisa berbuat apaapa, terancam dan tereksploitasi dan juga kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat (Mubyarto, 2002).
Indikator kemiskinan menurut BPS dilihat dari tingkat pendapatan minimum yang merupakan pembatas antara keadaan yang disebut miskin dan tidak miskin. Garis kemiskinan tersebut dilihat dari konsumsi kalori per kapita per hari sebesar 2100 kkalori. Lingkungan masyarakat pada umumnya memandang kemiskinan bila pihak tersebut tidak mampu mengikuti standar kehidupan masyarakat sekitar atau dengan kata lain seseorang akan dikatakan miskin apabila pihak tersebut tidak dapat memenuhi konsumsi. Tidak dapat dipungkiri pula pada umumnya, banyak masyarakat yang menilai kemiskinan dari sisi harta atau materi.
Menurut. Mubyarto (2002) bila kemiskinan dilihat dengan hal ini maka dapat mempermudah dalam melihat indikator kemiskinan, tetapi tetap tidak cukup layak untuk mengkategorikan seseorang dalam kemiskinan karena (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontra produktif.
Konsep tentang kemiskinan dari Bappenas adalah kemiskinan dilihat dari kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, lakilaki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hakhak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan
(41)
kehidupan yang bermartabat. Hakhak dasar menurut Bappenas terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, baik bagi perempuan maupun lakilaki. Dalam melihat hakhak ini Bappenas menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan pendapatan, pendekatan kemampuan dasar dan pendekatan objektif and subjektif.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alatalat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan (Mubyarto, 2002).
(42)
Pemerintah daerah dalam UU No 25 tahun 1999 mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan kebijakan anggaran daerahnya. Diharapkan dengan adanya kebijakan dana perimbangan dengan pemberian dana alokasi umum dan sistem bagi hasil maka pemerintah daerah dapat lebih mengoptimalkan kinerja keuangannya. Yang berarti pemerintah daerah dalam menyusun anggarannya berorientasi kepada prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis. Anggaran yang berimbang berarti seluruh pengeluaran pemerintah daerah harus dibiayai dari penerimaan daerah itu sendiri, sehingga kemampuan belanja daerah selalu seimbang dengan penerimaan daerah. Atau dalam kata lain diharapkan pemberian dana alokasi umum akan menyusut tiap tahun karena daerah tersebut telah mampu atau mandiri.
Keberhasilan kinerja keuangan daerah dapat tercermin dari pospos penerimaan, Menurut BPS (2004) semakin besar porsi penerimaan daerah dari PAD, maka semakin kecil ketergantungan daerah terhadap APBN. Kemudian kinerja keuangan yang efisien ditandakan dengan melihat besarnya rasio penerimaan terhadap pengeluaran, bila rasio penerimaan terhadap pengeluaran lebih besar dari tahun sebelumnya maka semakin efisien pengeluarannya.
Penelitian ini mengacu pada konsep di atas, di mana penerimaan dianalisis dengan melihat kontribusi masingmasing dana perimbangan yaitu dana alokasi umum dan bagi hasil serta dari internal daerah itu sendiri yaitu pendapatan asli daerah. Terutama bagaimana kontribusi PAD terhadap anggaran penerimaan yang mencerminkan kemampuan daerah untuk mengoptimalkan sumber daya di daerahnya.
(43)
2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian Sumedi (2005), mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan daerah di Indonesia menghasilkan kesimpulan bahwa dengan mekanisme tranfer dari pemerintah pusat dapat mengurangi kesenjangan daerah dengan pusat, tetapi tidak dengan kesejangan antar daerah.
Penelitian yang dilakukan oleh Pakasi (2005), mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian kabupaten dan kota di Sulawesi Utara menyimpulkan bahwa tingkat kemandirian semakin menurun ketika sesudah desentralisasi dan tingkat PAD daerah perkotaan lebih besar daripada daerah kabupaten. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Rahmatullah Sisongko (2006) yang meneliti tentang pendugaan model kebutuhan fiskal menyimpulkan bahwa perlu adanya perubahan indikator formulasi DAU yang tepat, karena banyak daerahdaerah yang mendapatkan DAU tidak sesuai dengan kondisi riil di daerahnya. Alkatiri (2005) dengan penelitiannya yang berjudul demokratisasi pemerintahan dan penanggulangan kemiskinan menyimpulkan bahwa pengelolaan pemerintah berkorelasi negatif dengan kemiskinan. Apabila tata kelola pemerintah yang diukur dengan keefektifan, tingkat korupsi dan penegakkan hukum semakin baik, maka tingkat buta huruf dan tingkat kematian bayi akan semakin rendah.
Perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh penelitipeneliti terdahulu dengan penelitian ini adalah terletak pada bagaimana peningkatan variabel penerimaan seperti DAU, PAD dan bagi hasil terhadap kinerja keuangan yang
(44)
ditunjukkan dengan tingkat kemandiran dan kemiskinan kemudian diikuti analisis laju kemiskinan sebelum dan masa desentralisasi fiskal di Provinsi Jawa Barat.
(45)
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teori
3.1.1. Landasan Teori Transfer Pusat ke Daerah
Berbagai literatur ilmu ekonomi publik dan keuangan negara menyebutkan beberapa alasan perlunya dilakukan transfer dana dari pusat ke daerah. Hal ini dirangkum dalam Brodjonegoro, dkk (2002). Yaitu pertama, untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal. Di banyak negara, pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumbersumber penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Jadi pemerintah daerah hanya menguasai sebagian kecil sumbersumber penerimaan negara, atau hanya berwewenang untuk memungut pajakpajak yang basis pajaknya bersifat lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteritik besaran penerimaannnya relatif kurang signifikan. Kekurangan sumber penerimaan daerah relatif terhadap kewajibannya ini akan menyebabkan dibutuhkannya transfer dana dari pemerintah pusat.
Kedua, untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal horizontal, pengalaman empirik di berbagai negara menunjukkan kemampuan daerah untuk menghimpun pendapatan sangat bervariasi, tergantung kepada kondisi daerah bersangkutan yang memiliki kekayaan sumberdaya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan ekonomi yang rendah atau tinggi. Ini semua berimplikasi kepada besarnya pajak didaerahdaerah bersangkutan. Di sisi lain, daerahdaerah juga sangat bervariasi dilihat dari kebutuhan belanja untuk pelaksanaan berbagai fungsi dan pelayanan
(46)
publik. Ada daerahdaerah dengan penduduk miskin, penduduk usia lanjut, dan anak anak serta remaja, yang tinggi proporsinya. Ada pula daerahdaerah yang berbentuk kepulauan luas, di mana sarana prasarana transportasi dan infrastruktur lainnya masih belum memadai. Sementara di lain pihak ada daerahdaerah dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu besar namun sarana dan prasarananya sudah lengkap. Ini mencerminkan tinggirendahnya kebutuhan fiskal dari daerahdaerah yang bersangkutan. Membandingkan kebutuhan fiskal ini dengan kapasitas fiskal tersebut di atas, maka dapat dihitung kesenjangan atau gap fiskal dari masingmasing daerah, yang seyogyanya ditutupi oleh transfer dari pemerintah pusat.
Ketiga, terkait dengan butir kedua di atas, argumen lain yang menambah pentingnya peran transfer dari pemerintah pusat dalam konteks ini adalah adanya kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah. Daerahdaerah dengan sumberdaya yang sedikit memerlukan subsidi agar dapat mencapai standar pelayanan minimum itu.
Keempat, untuk stabilisasi. Alasan terakhir dari perlunya dana transfer yang jarang dikemukakan adalah untuk mencapai tujuan stabilisasi dari pemerintah pusat. Transfer dana dapat ditingkatkan oleh pemerintah pusat ketika aktivitas perekonomian sedang lesu. Transfer untuk danadana pembangunan (block grants) adalah merupakan instrumen yang cocok untuk tujuan ini. Namun kecermatan dalam mengkalkulasi amat diperlukan agar tindakan menaikkan/menurunkan dana transfer itu tidak berakibat merusak atau bertentangan dengan alasanalasan sebelumnya di atas.
(47)
Selain hal di atas, kerap pula dikemukakan bahwa pertimbangan pemberian transfer pusat dalam rangka menjamin tetap baiknya kinerja fiskal pemerintah daerah. Artinya, transfer ini dimaksudkan agar pemerintah daerah terdorong untuk secara insentif menggali sumbersumber penerimaannya (sesuai dengan kriteria yang berlaku), sehingga hasil yang diperoleh menyamai (bahkan melebihi) kapasitasnya (Saragih, 2003). Dengan kata lain, transfer disini dimaksudkan sebagai saran ‘edukasi’ bagi pemerintah daerah. Pemerintah daerah akan mendapat transfer jika upayanya dalam menggali sumbersumber penerimaan yang menjadi kewenangannya sama atau melebihi kapasitasnya. Sementara daerah tidak akan mendapat transfer apabila upayanya menghasilkan penerimaan yang lebih rendah dari kapasitas fiskalnya.
3.1.2. Pola Pemberian Bantuan
A A
E
E* E**
A*
Barang Publik Barang Private
D
(48)
Sumber: Stiglitz (2000)
Gambar 3. 1 Dampak Bantuan Spesifik dan Block Grant Terhadap Alokasi dan Kesejahteraan Masyarakat.
Garis AA yang menunjukkan garis anggaran masyarakat sebelum adanya bantuan kepada pemerintah daerah, dimana keseimbangan terjadi pada titik E. Subisidi barang publik yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan meningkatkan pengeluaran untuk pembelian barang publik bagi pemerintahan daerah setempat, yang selanjutnya menyebabkan pergeseran garis anggaran keatas (AA*).
Meningkatnya pengeluaran pemerintah daerah setempat untuk pembelian barang publik akan mendorong stimulasi atau menggairahkan perekonomian masyarakat didaerah, contohnya dengan pembangunan jalan raya, dan fasilitas umum lainnya. Hal ini kemudian akan meningkatkan pendapatan masyarakat atau dalam arti lain kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Sehingga kurva indifferent bergeser keatas menjadi E*.
Apabila pemerintah pusat memberikan bantuan kepada pemerintah daerah dalam bentuk block grant maka garis anggaran akan bergeser sejajar dengan garis anggaran semula (DD ’ ). Tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat ditunjukkan
oleh pergeseran kurva indifferent keatas. Kemudian bila dikaitkan untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang sama dengan kebijakan subsidi, ditandai oleh adanya persinggungan garis anggaran (DD ’ ) dengan kurva indifferent yang sama dengan
kurva indifferent setelah ada subsidi. Titik E** merupakan keseimbangan baru yang tercapai, di mana pola bantuan block grant lebih tinggi dari pola bantuan spesifik,
(49)
dimana pengeluaran untuk barang publik lebih sedikit dari pada program bantuan spesifik, sehingga anggaran dari pemerintah pusat menjadi lebih rendah.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Melihat bagaimana hubungan antara kinerja keuangan dengan kemiskinan dilakukan dan untuk melihat pengaruh dana perimbangan melalui instrumen DAU terhadap PAD dilakukan dengan analisis regresi dengan metode estimasi Panel Ordinary Least Square (POLS).
Revenue Power Revenue Sharing Anggaran Daerah Kinerja Keuangan Otonomi Daerah UU No 22 n 1999 Pemerintah Daerah, Pengembangan Kewenangan Pusat dan Daerah Desentralisasi Fiskal UU No 25 tahun 1999 Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat Daerah Penerimaan Daerah (PAD, DAU, Bagi Hasil) Pengeluaran (Rutin, Pembangunan) Fiscal Availability Fiscal Needs Kemandirian Fiscal Gap
Kemiskinan Keterbatasan Asumsi dan
Microsoft Excel, Eviews, 4,1 OLS Panel Analisis Deskriptif Kebijakan Reformasi Pembangunan Microsoft Excel
(50)
Keterangan: tanda panah menunjukkan pengaruh
Gambar 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Kemudian akan dilakukan uji signifikansi model, pengujian hipotesis penelitian dan pengujian asumsiasumsi. Penggunaan analisis deskriptif juga untuk melihat besarnya laju pengurangan kemiskinan yang ada di Provinsi Jawa Barat, melihat bagaimana laju pengurangan kemiskinan sebelum otonomi dan pada masa otonomi daerah dan wilayah mana yang paling maju dalam menurunkan tingkat kemiskinan di wilayahnya.
3.3. Hipotesis Penelitian
Potensi keuangan pemerintah daerah berkaitan erat dengan kinerja fiskal daerah. Kemudian peningkatan atau penurunan kinerja ekonomi daerah dan kapasitas keuangan daerah yang dihasilkan tidak lepas dari pengaruh kebijakan pemerintah. Selain itu pengambilan keputusan yang akan dibuat mengenai kebijakan anggaran tergantung dari perilaku pemerintah daerah. Oleh karena itu efektif atau tidaknya kebijakan desentralisasi fiskal baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran tergantung kebijakan daerah untuk menentukan alokasi belanja pembangunan infrastruktur publik di daerah yang berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat.
(51)
Penelitian ini dibangun berdasarkan atas pemikiran di atas, bahwa Peningkatan potensi keuangan pemerintah daerah disertai kinerja fiskal daerah yang seimbang dari sisi penerimaan dan pengeluaran dan didukung oleh perilaku pemerintah daerah yang menegakkan akuntabilitas, transaparansi, penyusunan anggaran diduga berpeluang dalam mendukung keberhasilan desentralisasi fiskal dan penurunan kemiskinan. Maka dengan itu hipotesis penelitian ini adalah:
1. Kebijakan desentralisasi fiskal dengan dana alokasi umum, penerapan sistem bagi hasil dan pemberian wewenang PAD secara penuh akan berpengaruh positif terhadap kinerja fiskal dan berpengaruh negatif terhadap tingkat ketergantungan pemerintah daerah dengat pusat.
2. Peningkatan variabel penerimaan pemerintah daerah akan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan.
(52)
IV. GAMBARAN UMUM
Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad No 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU No 11 tahun 1950, tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat. Selama lebih kurang 50 tahun sejak pembentukannya, wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat baru bertambah lima wilayah, yakni Kabupaten Subang (1968), Kota Tangerang (1993), Kota Bekasi (1996), Kota Cilegon dan Kota Depok(1999) dan dalam kurun waktu tersebut telah banyak perubahan baik dalam bidang pemerintahan, ekonomi, maupun kemasyarakatan. Jawa Barat merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang memiliki alam dan pemandangan yang indah serta memiliki berbagai potensi yang dapat diberdayakan, antara lain menyangkut Sumber Daya Air, Sumber Daya Alam dan Pemanfaatan Lahan, Sumber Daya Hutan, Sumber Daya Pesisir dan Laut serta Sumber Daya Perekonomian ( BPS Jawa Barat, 2004).
Pada kurun waktu 19941999, secara kuantitatif jumlah Wilayah Pembantu Gubernur tetap lima wilayah dengan tediri dari: 20 kabupaten dan lima kota, dan tahun 1999 jumlah kota bertambah menjadi delapan kota. Kota administratif berkurang dari enam daerah menjadi empat, karena Kota Depok pada tahun 1999 berubah status menjadi kota otonom. Dengan lahirnya UU No 23 tahun 2000 tentang Provinsi Banten, maka Wilayah Administrasi Pembantu Gubernur Wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi Provinsi Banten dengan daerahnya meliputi: Kabupaten
(53)
Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten/Kota Tangerang serta Kota Cilegon. Adanya perubahan itu, maka saat ini Provinsi Jawa Barat terdiri dari 16 Kabupaten dan 9 Kotamadya, dengan membawahkan 584 kecamatan, 5.201 desa dan 609 kelurahan. Adapun monografinya:
4.1. Kondisi Wilayah 4.1.1. Geografis
Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5°50' 7°50' LS dan 104°48' 104°48 BT dengan batasbatas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa bagian barat dan DKI Jakarta di utara, sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, antara Samudra Indonesia di Selatan dan Selat Sunda di barat. Dengan daratan dan pulaupulau kecil (48 Pulau di Samudera Indonesia, 4 Pulau di Laut Jawa, 14 Pulau di Teluk Banten dan 20 Pulau di Selat Sunda), luas wilayah Jawa Barat 44.354,61 Km 2 atau 4.435.461 Ha.
Kondisi geografis yang strategis ini merupakan keuntungan bagi daerah Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan berbukitbukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergununggunung ada di kawasan tengah. Dengan ditetapkannya Wilayah Banten menjadi Propinsi Banten, maka luas wilayah Jawa Barat saat ini menjadi 35.746,26 Km 2 ( BPS Jawa Barat, 2004).
(54)
Ciri utama daratan Jawa Barat adalah bagian dari busur kepulauan gunung api (aktif dan tidak aktif) yang membentang dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung utara Pulau Sulawesi. Daratan dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam di selatan dengan ketinggian lebih dari 1.500 m di atas permukaan laut, wilayah lereng bukit yang landai di tengah ketinggian 1001.500 m dpl, wilayah dataran luas di utara ketinggian 0.10 m dpl, dan wilayah aliran sungai. ( BPS Jawa Barat, 2004). 4.1.3. Iklim
Iklim di Jawa Barat adalah tropis, dengan suhu 9 0 C di Puncak Gunung
Pangrango dan 34 0 C di Pantai Utara, curah hujan ratarata 2.000 mm per tahun,
namun di beberapa daerah pegunungan antara 3.000 sampai 5.000 mm per tahun. 4.1.4. Populasi
Berdasarkan hasil Susenas tahun 1999 jumlah penduduk Jawa Barat setelah Banten terpisah berjumlah 34.555.622 jiwa. Pada tahun 2000 berdasarkan sensus penduduk meningkat menjadi 35.500.611 jiwa, dengan kepadatan penduduk sebesar 1.022 jiwa per Km2. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk selama dasawarsa 1990 2000 mencapai angka 2,17 persen. Sedangkan pada tahun 2004, jumlah penduduk telah bertambah menjadi 38.059.540 jiwa dengan kepadatan penduduknya mencapai ratarata 1.064 jiwa/Km 2 (BPS Jawa Barat, 2004).
4.1.5. Sosial Budaya
Masyarakat Jawa Barat dikenal sebagai masyarakat yang agamis, dengan kekayaan warisan budaya dan nilainilai luhur tradisional, serta memiliki prilaku sosial yang berfalsafah pada silih asih, silih asah, silih asuh, yang secara harfiah
(55)
berarti saling mengasihi, saling memberi pengetahuan dan saling mengasuh diantara warga masyarakat (BPS Jawa Barat, 2004). Tatanan kehidupannya lebih mengedepankan keharmonisan seperti tergambar pada pepatah “herang caina beunang laukna” yang berarti menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru atau prinsip saling menguntungkan. Masyarakat Jawa Barat memiliki komitmen yang kuat terhadap nilainilai kebajikan.
Hal ini terekspresikan pada pepatah “ulah unggut kalinduan, ulah gedag kaanginan” yang berarti konsisten dan konsekuen terhadap kebenaran serta menyerasian antara hati nurani dan rasionalitas, seperti terkandung dalam pepatah “sing katepi ku ati sing kahontal ku akal”, yang berarti sebelum bertindak tetapkan dulu dalam hati dan pikiran secara seksama. Jawa Barat dilihat dari aspek sumber daya manusia memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia dan sebagai Provinsi yang mempunyai proporsi penduduk dengan tingkat pendidikan, jumlah lulusan strata 1, strata 2 dan strata 3, terbanyak dibandingkan dengan provinsi lain (BPS Jawa Barat, 2004).
4.2. Karakterisktik Ekonomi dan Ketimpangan Wilayah
Provinsi Jawa Barat yang meliputi 16 kabupaten dan 9 kota memiliki kondisi geografis dengan berbagai potensi yang dapat diberdayakan, seperti sumber daya air, lahan, hutan, serta pesisir pantai dan laut. Dengan beragamnya potensi di masing masing wilayah, menyebabkan timbulnya perbedaan karakteristik struktur perekonomian yang berbeda di setiap kabupaten/kota. Sebagai contoh, aktivitas
(1)
Mubyarto. 2002. “Penanggulangan Kemiskinan di Jawa Tengah dalam Era Otonomi
Daerah”. http : // www. ekonomi rakyat.org
Nurhidayat. 2005.
Otonomi Daerah Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan
Daerah: UndangUndang RI No. 32 Tahun 2004 dan UndangUndang RI No.
33 Tahun 2004
. Nuansa Aulia, Bandung.
Pakasi, C. 2005.
Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian Kabupaten
dan Kota di Provinsi Sulawesi Utara
. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pindyck, R. 1991.
Econometric Models and Economic Forecasts.
McGrawHill
Book. New York.
Saragih, J.P. 2003.
Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Otonom
. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2006.
Statistik 60 Tahun Indonesia 2006
. Badan Pusat
Statistik, Jakarta.
Sumedi, 2005.
Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kesenjangan
Antar Daerah
[Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sasongko, Rahmatullah. 2006.
Pendugaan Model Kebutuhan Fiskal
. [Skripsi].
Departemen Statistika, Fakultas Matematika dan IPA, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Stiglitz, J.E.2000.
Economics of The Public Sector
. W.W. Norton Company, Inc,
New York.
Walpole, R. 1995.
Pengantar Statistik Edisi Ketiga
. Bambang Sumantri
[penerjemah]. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
(2)
(3)
Lampiran 3. Hasil Estimasi Analisis Regresi Peranan Mekanisme Transfer dari
Pemerintah Pusat Melalui Instrumen DAU Terhadap Tingkat
Kemandirian
3.1 Menggunakan Model
Fixed Effect
Dependent Variable: PAD? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 08/19/06 Time: 21:36 Sample: 1998 2003 Included observations: 6 Number of crosssections used: 19 Total panel (balanced) observations: 114 Onestep weighting matrix White HeteroskedasticityConsistent Standard Errors & Covariance Variable Coefficient Std. Error tStatistic Prob.DAU? 0.027283 0.013341 2.045025 0.0437 FN? 8.67E07 1.69E06 0.511887 0.6100 DUMMY? 3.517097 0.645140 5.451679 0.0000 Fixed Effects _1C 20.20896 _2C 8.831387 _3C 12.98150 _4C 9.056899 _5C 9.284778 _6C 8.475897 _7C 8.592221 _8C 10.88806 _9C 8.966271 _10C 15.28224 _11C 9.599213 _12C 11.44954 _13C 18.27215 _14C 17.77046 _15C 18.92971 _16C 17.05672 _17C 26.72895 _18C 21.73891 _19C 20.75270 Weighted Statistics
Rsquared 0.898833 Mean dependent var 12.79598 Adjusted Rsquared 0.875741 S.D. dependent var 7.695459 S.E. of regression 2.712681 Sum squared resid 676.9948 Fstatistic 38.92332 DurbinWatson stat 1.333367 Prob(Fstatistic) 0.000000
Unweighted Statistics
Rsquared 0.853563 Mean dependent var 11.23684 Adjusted Rsquared 0.820137 S.D. dependent var 6.662938 S.E. of regression 2.825766 Sum squared resid 734.6155 DurbinWatson stat 1.248330
(4)
3.2 Menggunakan Model
Pooled Least Square
Dependent Variable: PAD?
Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 08/19/06 Time: 21:37
Sample: 1998 2003 Included observations: 6
Number of crosssections used: 19 Total panel (balanced) observations: 114 Onestep weighting matrix
White HeteroskedasticityConsistent Standard Errors & Covariance
Variable Coefficient Std. Error tStatistic Prob. C 27.56104 1.425779 19.33052 0.0000 DAU? 0.266546 0.017949 14.85019 0.0000 FN? 1.87E06 1.53E06 1.225267 0.2231 DUMMY? 1.422230 0.574709 2.474697 0.0149 Weighted Statistics
Rsquared 0.471570 Mean dependent var 12.09229 Adjusted Rsquared 0.457158 S.D. dependent var 5.915557 S.E. of regression 4.358452 Sum squared resid 2089.571 Fstatistic 32.72127 DurbinWatson stat 1.213420 Prob(Fstatistic) 0.000000
Unweighted Statistics
Rsquared 0.539260 Mean dependent var 11.23684 Adjusted Rsquared 0.526695 S.D. dependent var 6.662938 S.E. of regression 4.583913 Sum squared resid 2311.349 DurbinWatson stat 0.932618
(5)
Lampiran 4. Hasil Estimasi Analisis Regresi Peranan VariabelVariabel
Penerimaan Terhadap Tingkat Kemiskinan.
4.1 Menggunakan Model
Fixed Effect
Dependent Variable: POV? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 08/19/06 Time: 21:41 Sample: 1999 2004 Included observations: 6 Number of crosssections used: 19 Total panel (balanced) observations: 114 Onestep weighting matrix White HeteroskedasticityConsistent Standard Errors & Covariance Variable Coefficient Std. Error tStatistic Prob.DAU? 0.001955 0.001366 1.431717 0.1557 PAD? 0.010213 0.005690 1.795044 0.0760 BHS? 0.006700 0.002241 2.990053 0.0036 DUMMY? 0.314793 0.029006 10.85262 0.0000 Fixed Effects _1C 6.710308 _2C 6.376024 _3C 6.857009 _4C 6.456201 _5C 6.233237 _6C 5.906210 _7C 5.747126 _8C 6.383451 _9C 5.718115 _10C 5.316483 _11C 5.948325 _12C 5.237458 _13C 5.726201 _14C 5.432200 _15C 4.526169 _16C 3.618702 _17C 5.170863 _18C 3.762088 _19C 4.964171 Weighted Statistics
Rsquared 0.998027 Mean dependent var 10.99827 Adjusted Rsquared 0.997550 S.D. dependent var 7.567080 S.E. of regression 0.374515 Sum squared resid 12.76377 Fstatistic 2092.749 DurbinWatson stat 2.065548 Prob(Fstatistic) 0.000000
Unweighted Statistics
(6)
Adjusted Rsquared 0.836452 S.D. dependent var 0.960292 S.E. of regression 0.388352 Sum squared resid 13.72438 DurbinWatson stat 2.242460
4.2 Menggunakan Model
Pooled Least Square
Dependent Variable: PAD?
Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 08/19/06 Time: 21:37
Sample: 1998 2003 Included observations: 6
Number of crosssections used: 19 Total panel (balanced) observations: 114 Onestep weighting matrix
White HeteroskedasticityConsistent Standard Errors & Covariance
Variable Coefficient Std. Error tStatistic Prob. C 27.56104 1.425779 19.33052 0.0000 DAU? 0.266546 0.017949 14.85019 0.0000 FN? 1.87E06 1.53E06 1.225267 0.2231 DUMMY? 1.422230 0.574709 2.474697 0.0149 Weighted Statistics
Rsquared 0.471570 Mean dependent var 12.09229 Adjusted Rsquared 0.457158 S.D. dependent var 5.915557 S.E. of regression 4.358452 Sum squared resid 2089.571 Fstatistic 32.72127 DurbinWatson stat 1.213420 Prob(Fstatistic) 0.000000
Unweighted Statistics
Rsquared 0.539260 Mean dependent var 11.23684 Adjusted Rsquared 0.526695 S.D. dependent var 6.662938 S.E. of regression 4.583913 Sum squared resid 2311.349 DurbinWatson stat 0.932618