Dampak kapasitas fiskal terhadap perekonomian dan kemiskinan sektoral daerah di Indonesia: suatu analisis simulasi kebijakan

(1)

DAMPAK KAPASITAS FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN

DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA:

SUATU ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN

VERA LISNA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

VERA LISNA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

DAMPAK KAPASITAS FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN

DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA:


(3)

(4)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Dampak Kapasitas Fiskal terhadap Perekonomian dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014 Vera Lisna NIM. H363090181


(5)

(6)

RINGKASAN

VERA LISNA. Dampak Kapasitas Fiskal terhadap Perekonomian dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Dibimbing oleh BONAR M. SINAGA, MUHAMMAD FIRDAUS, dan SLAMET SUTOMO.

Pengentasan kemiskinan merupakan salah satu agenda penting pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Untuk mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal sejak 2001. Kebijakan tersebut berhasil meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, namun ketimpangan pendapatan semakin besar sehingga penurunan tingkat kemiskinan semakin rendah dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian meningkat. Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal mengutamakan pengalihan tugas-tugas pengeluaran (expenditure assignments) secara penuh dan pemerintah daerah meningkatkan belanja daerah sebagai strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pengalihan tugas-tugas pendapatan (revenue assignments) masih terbatas sehingga kapasitas fiskal daerah rendah. Akibatnya, terjadi defisit fiskal yang diatasi dengan transfer Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat dan keuangan daerah sangat tergantung pada DAU. Studi-studi terdahulu menemukan fenomena flypaper effect yaitu respon pemerintah daerah dalam penggunaan anggaran yang bersumber dari DAU lebih besar dibandingkan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Temuan tersebut menjadi dasar pemikiran penelitian yaitu jika flypaper effect terjadi pada belanja daerah yang tidak berdampak besar menurunkan kemiskinan maka besarnya peran DAU pada struktur keuangan daerah tidak akan mempercepat pengentasan kemiskinan. Dengan perkataan lain, kapasitas fiskal harus ditingkatkan.

Penelitian bertujuan untuk menganalisis dampak peningkatan kapasitas fiskal terhadap kinerja fiskal, perekonomian sektoral, tingkat kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian menggunakan model sistem persamaan simultan dengan data panel agregat provinsi dan kabupaten/kota di 23 provinsi tahun 2005-2011 dan metode estimasi Two Stage Least Squares (2SLS). Analisis dampak simulasi kebijakan dilakukan pada periode historis tahun 2006-2011 dan periode peramalan tahun 2013-2015.

Beberapa temuan penting yaitu: (1) kapasitas fiskal berpengaruh besar pada belanja pertanian dan infrastruktur yang merupakan faktor-faktor penting bagi pertumbuhan sektor pertanian dan panjang jalan aspal yang selanjutnya berpengaruh menurunkan tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian; (2) sumber kapasitas fiskal pajak daerah dipengaruhi oleh PDRB per kapita dan penanaman modal swasta; (3) sumber kapasitas fiskal bagi hasil pajak dipengaruhi oleh PDRB sektor-sektor non-pertanian yang berpotensi meningkatkan pajak penghasilan (PPh) perorangan sebagai sumber utama bagi hasil pajak di daerah; dan (4) alternatif kebijakan peningkatan belanja pertanian dan belanja perindustrian lebih besar dari pada peningkatan belanja perdagangan disertai kebijakan peningkatan porsi bagi hasil pajak untuk daerah dan peningkatan penanaman modal swasta terutama di provinsi pertanian akan meningkatkan kapasitas fiskal sehingga berdampak terhadap perbaikan kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral dengan indikasi meningkatnya kemandirian fiskal, pertumbuhan PDRB sektoral, dan jumlah tenaga kerja sektoral serta berkurangnya headcount index sektoral, Indeks Gini, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian.


(7)

Oleh karena itu, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih besar diikuti berkurangnya tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian serta mencapai target-target kemiskinan pada agenda pembangunan nasional RPJMN 2014 sebesar 8-10% dan MDGs 2015 sebesar 7.5%, maka pemerintah daerah disarankan untuk meningkatkan kapasitas fiskal dengan cara: (1) pemerintah daerah meningkatkan belanja pertanian dan belanja perindustrian lebih besar dari pada belanja perdagangan; (2) pemerintah daerah, pemerintah pusat, masyarakat, dan pihak-pihak terkait bersama-sama menciptakan iklim investasi swasta yang kondusif untuk meningkatkan penanaman modal swasta dalam dan luar negeri terutama di provinsi pertanian; dan (3) pemerintah pusat merevisi UU No. 33/2004 pasal 13 dengan menambah porsi bagi hasil pajak untuk daerah dari PPh perseorangan dari 20% menjadi 30%.

Kata kunci: kapasitas fiskal, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, kemiskinan sektoral


(8)

SUMMARY

VERA LISNA. Impact of Fiscal Capacity on Regional Economy and Sectoral Poverty in Indonesia: A Policy Simulation Analysis. Supervised by BONAR M. SINAGA, MUHAMMAD FIRDAUS, and SLAMET SUTOMO.

Poverty alleviation is an important agenda of national economic development in Indonesia. In order to accelerate the achievement of economic development goals, Indonesian government has been implementing fiscal decentralization policy since 2001. The policy was successful in increasing the rate of economic growth, but the income inequality became larger so that the poverty rate and the proportion of poor people in agricultural households has been increased. The implementation of fiscal decentralization policy in Indonesia which is focused on fully shifting expenditure assignment from central government to local government has lead to higher local expenditures as local governments strategies to increase their economic growth. However, the revenue assignments authority is limited so that fiscal capacity is low. As a result, the fiscal deficit is overcome by transfer General Allocation Fund (DAU) from the central government and also the local financial structures are mostly depend on DAU. Previous studies found the flypaper effect phenomenon as greater response of local governments in the use of budget sourced from DAU than those from original local revenue (PAD). Accordingly, if flypaper effect occurred in local expenditures with no great impact on poverty reduction then great role of DAU on local financial structure could not accelerating poverty alleviation. Therefore, fiscal capacity should be increased.

The objective of this study is to analyze impact of fiscal capacity increasing on fiscal performance, sectoral economic performance, sectoral poverty rates, income inequality, and proportion of poor people in agricultural households by using a model of simultaneous equations system with province and regencies aggregate panel data in 23 provinces during 2005-2011 and Two Stage Least Squares (2SLS) estimation method. The impact analysis of policy simulations is performed on historical period of 2006-2011 and forecast period of 2013-2015.

Several important findings are: (1) fiscal capacity influences agriculture and infrastructure expenditures as important factors for agricultural growth and asphalt road infrastructure which further give high effects in reducing poverty rates, income inequality, and proportion of poor peopole in agricultural households; (2) fiscal capacity of local taxes is influenced by per capita Gross Domestic Regional Product (GDRP) and local private investment; (3) fiscal capacity of tax-revenue sharing is influenced by GDRP of non-agricultural sectors which are potentially increasing individual income tax (PPh) as the main source of tax revenue sharing; and (4) the alternative policies of the increasing of local agricultural and industrial expenditures larger than the increasing of trade expenditure, increasing of local portion from tax revenue sharing, and increasing of private direct investments mainly in agricultural provinces will increase fiscal capacity and give great impact on the improvement of fiscal performance, economic performance, and sectoral poverty which are indicated by higher fiscal autonomy rate, sectoral GDRP rate, and sectoral employment rate as well as lower sectoral headcount index, Gini Index, and proportion of poor people in agricultural household.


(9)

Therefore, to achieve greater local economic growth, lower poverty rates, lower income inequality, and lower proportion of poor people in agricultural households as well as to achieve poverty targets on national development agenda RPJMN 2014 in the amount of 8-10 % and MDGs 2015 in the amount of 7.5 %, local governments are recommended to improve their fiscal capacity by: (1) local governments increase their agricultural and industrial expenditures greater than the increasing of trade expenditure; (2) local government, central government, local public community, and other parties together create a conducive investment climate to enhance local private investment from domestic and foreign direct investors particularly in agricultural provinces; and (3) central government revises the Law No. 33/2004 article 13 by increasing local portion of personal income taxes revenue sharing from 20% to 30%. Keywords: fiscal capacity, economic growth, income inequality, sectoral poverty


(10)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(11)

(12)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

VERA LISNA

DAMPAK KAPASITAS FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN

DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA:


(13)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB 2. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si, Ph.D Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB 2. Prof. Dr. Abuzar Asra


(14)

Judul Disertasi : Dampak Kapasitas Fiskal terhadap Perekonomian dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan Nama : Vera Lisna

NIM : H363090181

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA

Anggota

Prof. Muhammad Firdaus, SP, MSi, Ph.D

Anggota

Dr. Slamet Sutomo, SE, MS

Diketahui oleh Ketua Program Studi

Ilmu Ekonomi Pertanian

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr


(15)

(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya disertasi ini dapat diselesaikan. Proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian di Indonesia yang meningkat dan ketimpangan pendapatan penduduk yang semakin besar khususnya di era desentralisasi fiskal tahap kedua sementara kapasitas fiskal daerah rendah menjadi latar belakang dilakukannya penelitian ini. Oleh karena itu, disertasi ini diberi judul “Dampak Kapasitas Fiskal terhadap Perekonomian dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan”.

Keberhasilan disertasi ini dapat tercapai atas dukungan berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku ketua komisi pembimbing atas bimbingan dan arahan yang intensif, serta Prof. Muhammad Firdaus, SP, MSi, Ph.D dan Dr. Slamet Sutomo, SE, MS selaku anggota komisi pembimbing atas arahan, saran, dan koreksi yang sangat bermanfaat sehingga disertasi ini menjadi lebih bermakna. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku ketua program studi Ilmu Ekonomi Pertanian; Dr.

Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec dan Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS selaku penguji pada ujian prelim 2; Dr. Ir. Ratna Winandi, MS dan Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si, Ph.D selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup; serta Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc dan Prof. Dr. Abuzar Asra selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka atas kritik, saran, dan koreksi yang sangat berharga.

2. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan BPS atas kesempatan tugas belajar dan dukungan finansial yang diberikan sehingga penulis dapat menempuh pendidikan lanjut ini.

3. Rekan-rekan Sub Direktorat Indikator Statistik pada Direktorat Analisis Statistik BPS atas partisipasi dan dukungannya selama ini.

4. Rekan-rekan mahasiswa S3 program studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) 2009 atas kebersamaan yang tak terlupakan selama masa perkuliahan.

5. Seluruh staf sekretariat EPN atas bantuannya selama masa perkuliahan sampai selesainya disertasi ini.

6. Kedua orang tua penulis H. Asrial Zainun dan Hj. Yulinar serta kakak-kakak dan adik atas doa dan dukungannya selama ini.

7. Suami tercinta Rode Ekanara dan anak-anak tersayang Nabilla Gita Ekanara dan Daffa Aulia Ekanara atas doa yang tak pernah putus dan kasih sayang yang tulus sehingga memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan disertasi ini.

Penulis menyadari disertasi ini tidak akan pernah sempurna, namun tetap berharap semoga bermanfaat bagi berbagai pihak.

Bogor, Februari 2014


(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL xx

DAFTAR GAMBAR xxii

DAFTAR LAMPIRAN xxiii

1 PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 5

1.3. Tujuan Penelitian 7

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 7

1.4. Kebaruan dan Manfaat Penelitian 8

2 TINJAUAN PUSTAKA 9

Kapasitas Fiskal 9

2.2. Konsep dan Sumber Kapasitas Fiskal 9 2.2. Perkembangan Kapasitas Fiskal di Indonesia 13

2.2. Dana Alokasi Umum 15

2.2. Formula DAU 15

2.3. Fenomena Flypaper Effect pada DAU 18

2.3. Perkembangan DAU di Indonesia 19

2.3. Kinerja Perekonomian 20

2.3. Indikator Kinerja Perekonomian 20 Perkembangan Kinerja Perekonomian di Indonesia 23

Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan 25

2.3. Konsep dan Ukuran Kemiskinan 25

2.3. Konsep dan Ukuran Ketimpangan Pendapatan 29 Perkembangan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di

Indonesia 30

Keterkaitan Kapasitas Fiskal, Pertumbuhan, dan Kemiskinan 35

Studi Terdahulu 38

Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan 38 Pertumbuhan Sektoral dan Kemiskinan 40

3 KERANGKA TEORI 43

Teori Keuangan Publik 43

2.2. Konsep Keuangan Publik 43

2.2. Manajemen Keuangan Publik 44

2.2. Teori Kebijakan Fiskal 46

2.2. Dampak Kebijakan Fiskal pada Perekonomian 46

2.3. Desentralisasi Fiskal 50


(18)

2.3. Teori Pertumbuhan Ekonomi 54

2.3. Model Pertumbuhan Solow 54

Model Pertumbuhan Endogen 58

Kerangka Pemikiran 60

Hipotesis Penelitian 61

4 METODOLOGI 63

4.1. Jenis dan Sumber data 63

2.2. Cakupan Data 63

2.2. Data Fiskal 63

2.2. Data Perekonomian 64

2.2. Data Kemiskinan 65

2.2. Data Penunjang 65

2.2. Data Indeks Harga Konsumen Provinsi 65

4.2. Spesifikasi Model Ekonometrika 67

2.2. Blok Fiskal 70

Pajak Daerah 70

Bagi Hasil Pajak 70

Dana Alokasi Umum 71

Total Pendapatan Daerah 71

Belanja Sektoral 72

Kinerja Fiskal 72

2.2. Blok Perekonomian Sektoral 73

Panjang Jalan Aspal 73

PDRB Sektoral 74

Tenaga Kerja Sektoral 75

Upah Riil Sektoral 76

Pengeluaran per Kapita Sektoral 76

2.2. Blok Kemiskinan Sektoral 77

Indeks Gini 77

Indeks Kemiskinan Sektoral 77

4.3. Prosedur Estimasi Model 78

2.2. Identifikasi dan Metode Estimasi Model 78

2.2. Evaluasi Model 80

4.3. Prosedur Simulasi Model 81

2.2. Validasi Model 81

2.2. Simulasi Kebijakan 83

5 PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN

SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 85

4.1. Profil Kinerja Fiskal Daerah 85

2.2. Pendapatan Daerah 85

2.2. Pengeluaran Daerah 88

2.2. Kemandirian Fiskal 90

4.2. Profil Perekonomian Daerah 92

2.2. PDRB dan Tenaga Kerja 92


(19)

2.2. Upah Riil Tenaga Kerja 97

2.2. Pengeluaran per Kapita 98

4.3. Profil Kemiskinan Sektoral Daerah 99

2.2. Indeks Gini 99

2.2. Headcount Index Sektoral 100

2.2. Proporsi Penduduk Miskin Rumahtangga Pertaninan 102 4.3. Hubungan Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan 103

6 HASIL ESTIMASI MODEL 105

4.1. Blok Fiskal 106

2.2. Pajak Daerah 106

2.2. Bagi Hasil Pajak 107

Dana Alokasi Umum 108

Belanja Sektoral 109

4.1. Blok Perekonomian Sektoral 110

2.2. Panjang Jalan Aspal 110

2.2. PDRB Sektoral 111

2.2. Tenaga Kerja Sektoral 112

2.2. Upah Riil Sektoral 113

2.2. Pengeluaran per Kapita Sektoral 114

4.2. Blok Kemiskinan Sektoral 115

2.2. Indeks Gini 115

2.2. Tingkat Kemiskinan Sektoral 116

7 DAMPAK KAPASITAS FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAN

KEMISKINAN SEKTORAL 119

4.1. Hasil Validasi 119

4.3. Skenario Simulasi 121

4.3. Simulasi Historis 2006-2011 123

2.2. Simulasi Peningkatan Belanja Pertanian 123 2.2. Simulasi Peningkatan Belanja Perindustrian 126 2.2. Simulasi Peningkatan Belanja Perdagangan 128 2.2. Simulasi Peningkatan Porsi Bagi Hasil Pajak 130 2.2. Simulasi Peningkatan Penanaman Modal 132 2.2. Ringkasan Simulasi Kebijakan Tunggal 134 4.3. Simulasi Kebijakan Kombinasi 136

Simulasi Peramalan 2013-2015 142

8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 147

4.1. Kesimpulan 147

4.2. Implikasi Kebijakan 147

4.2. Saran Penelitian Lanjutan 148

DAFTAR PUSTAKA 149

LAMPIRAN 155


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perkembangan Realisasi APBN Tahun 2005-2011 2

2 Perkembangan Komposisi Pendapatan Daerah Tahun 2005-2011 2 3 Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Gini,dan Kemiskinan Tahun 2000-2011 3 4 Perkembangan Distribusi Penduduk Miskin menurut Sumber Penghasilan

Utama Kepala Rumah Tangga 4

5 Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Kemiskinan Provinsi dengan Proporsi

Bagi Hasil SDA Terbesar Tahun 2011 12

6 Perbedaan Formula Penghitungan DAU 17

7 Perkembangan Indikator Kemiskinan menurut Wilayah, 2005-2011 31 8 Rata-rata Share PDRB Riil Pertanian Tahun 2006-2011 84 9 Rata-rata Komposisi Pendapatan Daerah per Tahun, 2006-2011 86 10 Rata-rata Pertumbuhan Pendapatan Daerah per Tahun, 2006-2011 87 11 Rata-rata Komposisi Belanja Daerah per Tahun, 2006-2011 88 12 Rata-rata Pertumbuhan Belanja Daerah per Tahun, 2006-2011 90 13 Perkembangan Kemandirian Fiskal Daerah, 2006-2011 91 14 Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral, 2006-2011 92 15 Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral per Tahun menurut

Provinsi, 2006-2011 94

16 Rata-rata PDRB Riil per kapita dan Pertumbuhannya per tahun menurut

Provinsi, 2006-2011 95

17 Rata-rata Produktivitas Riil Tenaga Kerja Sektoral per Tahun menurut

Provinsi, 2006-2011 96

18 Rata-rata Upah Riil Sektoral per bulan dan Pertumbuhannya per tahun

menurut Provinsi, 2006-2011 97

19 Rata-rata Pengeluaran per Kapita Riil Sektoral per bulan dan

Pertumbuhannya per Tahun menurut Provinsi, 2006-2011 98 20 Perkembangan Indeks Gini Provinsi, 2006-2011 99 21 Perkembangan Headcount Index Sektoral, 2006-2011 100 22 Perkembangan Proporsi Penduduk Miskin Pertanian, 2006-2011 102 23 Rata-rata Indikator Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan per Tahun,

2006-2011 103

24 Keragaan Umum Model Fiskal, Pertumbuhan, dan Kemiskinan Sektoral

Daerah Tahun 2006-2011 105

25 Hasil Estimasi Pajak Daerah 106

26 Hasil Estimasi Bagi Hasil Pajak 107

27 Hasil Estimasi Dana Alokasi Umum 108

28 Hasil Estimasi Belanja Sektoral Daerah 109

29 Hasil Estimasi Panjang Jalan Aspal 111

30 Hasil Estimasi PDRB Sektoral 112

31 Hasil Estimasi Jumlah Tenaga Kerja Sektoral 113

32 Hasil Estimasi Upah Riil Sektoral 114

33 Hasil Estimasi Pengeluaran per Kapita Sektoral 115


(21)

34 Hasil Estimasi Indeks Gini 116 35 Hasil Estimasi Tingkat Kemiskinan Sektoral 116 36 Hasil Validasi Model Fiskal, Pertumbuhan, dan Kemiskinan Sektoral

Daerah dalam Theil Forecast Error Statistics 120 37 Dampak Peningkatan Belanja Pertanian terhadap Kinerja Fiskal,

Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 124 38 Dampak Peningkatan Belanja Perindustrian terhadap Kinerja Fiskal,

Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 127 39 Dampak Peningkatan Belanja Perdagangan terhadap Kinerja Fiskal,

Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 129 40 Dampak Peningkatan Porsi Bagi Hasil Pajak terhadap Kinerja Fiskal,

Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 131 41 Dampak Peningkatan Penanaman Modal terhadap Kinerja Fiskal,

Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 133 42 Ringkasan Dampak Kebijakan Tunggal terhadap Kinerja Fiskal,

Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 135 43 Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan

Kemiskinan Sektoral di Provinsi Pertanian Tahun 2006-2011 137 44 Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan

Kemiskinan Sektoral di Provinsi Non-Pertanian Tahun 2006-2011 139 45 Ramalan Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal,

Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral di Provinsi Pertanian Tahun

2013-2015 143

46 Ramalan Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal,

Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral di Provinsi Non-Pertanian Tahun


(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Komposisi Kapasitas Fiskal pada Total Pendapatan Daerah 13 2 Komposisi PAD pada Total Pendapatan Daerah 14 3 Komposisi Bagi Hasil Pajak pada Total Pendapatan Daerah 14 4 Komposisi Bagi Hasil SDA pada Total Pendapatan Daerah 15

5 Proporsi Alokasi DAU per Provinsi 19

6 Komposisi DAU pada Total Pendapatan Daerah 20

7 Diagram Ketenagakerjaan 22

8 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Sektoral di Indonesia 23 9 Perkembangan Distribusi Sektor Ekonomi di Indonesia 24

10 Perkembangan TPAK dan TPT di Indonesia 25

11 Perkembangan Komposisi Tenaga Kerja di Indonesia 25

12 Kurva Lorenz 30

13 Komposisi Rumahtangga Miskin dan Rumahtangga Tidak Miskin menurut Sumber Penghasilan Utama Kepala Rumah Tangga 31

14 Persentase Penduduk Miskin Tahun 2011 32

15 Rata-rata Lama Sekolah Tahun 2011 33

16 Angka Kelahiran Hidup Dibantu Tenaga Medis Tahun 2011 33

17 Kontribusi PDRB Pertanian Tahun 2011 34

18 Komposisi Kapasitas Fiskal pada Total Pendapatan Daerah 34 19 Perkembangan Distribusi Pembagian Pengeluaran per Kapita 35

20 Perkembangan Indeks Gini, 2005-2011 35

21 Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan 36

22 Dampak Penurunan Pajak terhadap Output 47

23 Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah terhadap Output 48 24 Pengaruh Transfer Bersyarat (Conditional Transfer) 52 25 Pengaruh Transfer Tidak Bersyarat (Unconditional Transfer) 53 26 Model Pertumbuhan Solow: Output dan Investasi 55

27 Model Pertumbuhan Solow: Peran Tabungan 57

28 Model Pertumbuhan Solow: Peran Teknologi 58

29 Model Pertumbuhan Endogen 59

30 Kerangka Pemikiran Penelitian 61

31 Keterkaitan Antar Blok Persamaan dalam Model Fiskal, Pertumbuhan,

dan Kemiskinan Sektoral Daerah 68

32 Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral, 2006-2011 93 33 Rata-rata Headcount Index dan Perubahannya per Tahun, 2006-2011 101


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 IHK Provinsi Tahun 2005-2011 (2007=100) 157

2 Data dalam Model Fiskal, Pertumbuhan, dan Kemiskinan Sektoral Daerah

menurut Provinsi, 2005-2011 158

3 Diagram Keterkaitan Antar Variabel dalam Model Fiskal, Perekonomian,

dan Kemiskinan Sektoral Daerah 177

4 Program Estimasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN pada software

SAS/ETS 9.1.3. 178

5 Hasil Estimasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN pada software

SAS/ETS 9.1.3. 180

6 Program Validasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah Tahun 2006-2011 dengan Metode Solusi Newton Prosedur

SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 194

7 Hasil Validasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah Tahun 2006-2011 menggunakan Metode Solusi Newton Prosedur

SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 197

8 Program Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada

software SAS/ETS 9.1.3 203

9 Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada

software SAS/ETS 9.1.3 207

10 Program Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada

software SAS/ETS 9.1.3 209

11 Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada

software SAS/ETS 9.1.3 213

12 Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN

pada software SAS/ETS 9.1.3 215

13 Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur

SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 216


(24)

14 Program Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada

software SAS/ETS 9.1.3 217

15 Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada

software SAS/ETS 9.1.3 220

16 Program Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada

software SAS/ETS 9.1.3 222

17 Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada

software SAS/ETS 9.1.3 225

18 Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN

pada software SAS/ETS 9.1.3 227

19 Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur

SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 228

20 Program Peramalan Variabel Eksogen dengan prosedur FORECAST dan Variabel Endogen dengan metode solusi Newton prosedur SIMNLIN Tahun 2012-2015 pada software SAS/ETS 9.1.3 229 21 Nilai-nilai Ramalan Variabel Eksogen dengan prosedur FORECAST dan

Variabel Endogen dengan metode solusi Newton dan prosedur SIMNLIN 233 22 Rekapitulasi Hasil Simulasi Peramalan Tahun 2013-2015 Skenario

Kombinasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian menggunakan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 252 23 Rekapitulasi Hasil Simulasi Peramalan Tahun 2013-2015 Skenario

Kombinasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non Pertanian menggunakan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3 253


(25)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks perekonomian yang terus berkembang (Seers, 1969). Dengan perkataan lain, keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya diindikasikan oleh terciptanya pertumbuhan ekonomi tetapi juga berkurangnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Menurut de Janvry dan Sadoulet (2010), tingkat kemiskinan dapat diturunkan dengan dua cara yaitu transfer pendapatan (cash transfer) dan pertumbuhan pro-poor. Transfer pendapatan kepada penduduk miskin dapat mengatasi permasalahan kemiskinan dengan cepat tetapi memerlukan dana besar dan program redistribusi yang tepat sasaran serta kurang efektif diterapkan jika penduduk miskin memiliki potensi kerja sehingga tidak dapat menurunkan tingkat kemiskinan secara berkelanjutan. Sedangkan, pertumbuhan pro-poor akan meningkatkan pendapatan penduduk miskin melalui dampak pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi dikatakan pro-poor jika memihak kelompok mayoritas penduduk miskin. Sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, jumlah penduduk miskin di Indonesia mayoritas berasal dari rumahtangga pertanian. Dengan demikian, prioritas pengurangan kemiskinan penduduk di rumahtangga pertanian menjadi hal penting bagi percepatan pengentasan kemiskinan di Indonesia melalui strategi pertumbuhan pro-poor.

Untuk mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional, sejak tahun 2001 pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dengan mengalihkan sebagian kewenangan pengelolaan keuangan kepada pemerintah daerah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal pada dasarnya bertujuan untuk memperbaiki kinerja keuangan daerah melalui keputusan-keputusan pemerintah daerah yang dapat menciptakan penerimaan daerah dan menggunakannya secara rasional dengan cara mengatur kembali pengeluaran, penerimaan, dan transfer fiskal. Dengan perkataan lain, kebijakan desentralisasi fiskal sesungguhnya dapat diterapkan pada sisi pengeluaran dan sisi pendapatan daerah. Namun, perbedaan sumber daya antar daerah di Indonesia dan terbatasnya kewenangan pengelolaan penerimaan daerah menyebabkan kemampuan keuangan daerah berbeda-beda sehingga terjadi defisit anggaran yang harus diatasi dengan transfer fiskal dari pemerintah pusat. Kebijakan transfer fiskal dilakukan dengan mekanisme dana perimbangan terutama melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Permasalahan yang terjadi saat ini struktur penerimaan keuangan daerah mayoritas sangat tergantung pada DAU. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2005-2011 pada Tabel 1 menunjukkan total dana perimbangan yang ditransfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah meningkat dari 143.2 Triliun Rupiah menjadi 347.2 Triliun Rupiah. Komponen dana transfer terbesar adalah DAU dengan komposisi meningkat dari 62% menjadi 65%, sedangkan komposisi dana bagi hasil turun dari 35% menjadi 28%.


(26)

Tabel 1 Perkembangan Realisasi APBN Tahun 2005-2011 (Triliun Rupiah)

Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 1.Penerimaan Dalam

Negeri (PDN) 493.9 636.2 706.1 979.3 847.1 992.2 1 205.3 a. Perpajakan 347.0 409.2 491.0 658.7 619.9 723.3 873.9 b. Bukan Pajak 146.9 227.0 215.1 320.6 227.2 268.9 331.5 2.Belanja Negara 509.6 667.1 757.6 985.7 937.4 1 042.1 1 295.0 a. Pemerintah Pusat 361.2 440.0 504.6 693.4 628.8 697.4 883.7 b. Transfer ke Daerah 150.5 226.2 253.3 292.4 308.6 344.7 411.3

1.Dana

Perimbangan 143.2 223.1 244.0 278.7 287.3 316.7 347.2 a. DAU 88.8 145.7 164.8 179.5 186.4 203.6 225.5 b. DAK 4.0 11.6 16.2 20.8 24.7 21.0 24.8 c. DBH 50.5 64.9 62.9 78.4 76.1 92.2 96.9 2.Dana Otsus &

Penyesuaian 7.2 4.0 9.3 13.7 21.3 28.0 64.1 3.Defisit 14.4 29.1 49.8 4.1 88.6 46.8 84.4 % defisit terhadap PDB (0.5) (0.9) (1.3) (0.1) (1.6) (0.7) (1.1)

Sumber: Nota Keuangan dan APBN Tahun 2010 dan 2013

Tingginya peran DAU pada dana perimbangan juga ditunjukkan oleh struktur keuangan daerah pada APBD. Data realisasi penerimaan agregat provinsi dan kabupaten/kota di setiap provinsi menunjukkan mayoritas pendapatan daerah bersumber dari DAU dengan rata-rata 52.7% per provinsi per tahun (Tabel 2). Tingginya peran DAU merupakan konsekuensi penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam mengatur anggaran belanja daerahnya sehingga memicu terjadinya ekspansi fiskal yang menyebabkan belanja daerah terus meningkat. Di sisi lain, belanja daerah yang terus meningkat juga disebabkan oleh praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat serta lambatnya reformasi pajak di daerah (DJPK, 2005). Lambatnya reformasi pajak di daerah ditunjukkan oleh kapasitas fiskal yang rendah bahkan turun dari 35.2% menjadi 31.2% per provinsi per tahun.

Tabel 2 Perkembangan Komposisi Pendapatan Daerah1

Tahun

Tahun 2005-2011 (%)

DAU Pajak

Daerah PAD

Bagi Hasil Pajak

Kapasitas Fiskal

Kemandirian Fiskal

2 3

(%) 2005 53.0 10.9 15.5 11.1 35.2 16.8 2006 59.0 8.7 13.1 9.9 30.4 14.1 2007 56.2 8.6 13.2 9.5 29.4 13.4 2008 52.9 9.7 14.4 8.8 31.1 15.0 2009 51.9 9.3 14.1 8.8 29.9 13.8 2010 48.8 10.0 14.8 8.9 32.1 15.1 2011 46.9 11.6 16.3 6.8 31.2 17.8 Rata-rata 52.7 9.8 14.5 9.1 31.3 15.1 Catatan: 1Agregat provinsi dan kabupaten/kota di setiap provinsi;

2total PAD dan dana bagi hasil; 3

Sumber: Kemenkeu R.I, data diolah


(27)

3

Terkait dengan pencapaian tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal, pertumbuhan ekonomi nasional telah meningkat dari 4.9% pada tahun 2000 menjadi 6.5% pada tahun 2011. Bahkan kenaikan pertumbuhan ekonomi pada masa desentralisasi fiskal tahap kedua periode 2005-2011 lebih tinggi dengan rata-rata 0.20 persen poin per tahun sementara tahap pertama periode 2000-2004 hanya 0.02 persen poin per tahun (Tabel 3). Namun, ketimpangan pendapatan pada tahap kedua semakin buruk dimana Indeks Gini meningkat dari 0.31 menjadi 0.41, sedangkan pada tahap pertama relatif tetap. Jika mengacu pada pendapat Seers (1969) mengenai peran distribusi pendapatan pada kemiskinan, maka Indeks Gini yang lebih besar akan mengurangi peran pertumbuhan ekonomi pada kemiskinan sehingga penurunan tingkat kemiskinan berkurang atau dengan perkataan lain laju penurunan kemiskinan melambat. Penurunan persentase penduduk miskin (headcount index) periode pertama rata-rata 0.62 persen poin per tahun, sedangkan penurunan pada periode kedua lebih rendah dengan rata-rata 0.58 persen poin per tahun. Jika mengacu pada target kemiskinan 2014 yang tercantum pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yaitu 8-10% (Perpres RI No. 5/2010) dan target kemiskinan Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia 2015 sebesar 7.5% maka dibutuhkan laju penurunan persentase penduduk miskin antara 0.8 sampai 1.5 persen poin per tahun. Dengan rata-rata penurunan persentase penduduk miskin saat ini sebesar 0.58 persen poin maka target-target tersebut diperkirakan sulit tercapai.

Tabel 3 Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Gini, dan Kemiskinan Tahun 2000-2011

Tahun Pertumbuhan

Ekonomi1 (%) Indeks Gini

Persentase Penduduk Miskin

2000 4.9 0.31 19.14

2001 3.6 0.31 18.41

2002 4.5 0.33 18.20

2003 4.8 0.32 17.42

2004 5.0 0.32 16.66

Rata-rata Perubahan 0.02 0.00 -0.62

2005 5.7 0.36 15.97

2006 5.5 0.33 17.75

2007 6.4 0.36 16.58

2008 6.0 0.35 15.42

2009 4.6 0.37 14.15

2010 6.2 0.38 13.33

2011 6.5 0.41 12.49

Rata-rata Perubahan 0.20 0.02 -0.58

Catatan: 1 Sumber: BPS

Perubahan PDB Riil (harga Konstan Tahun 2000)

Dinamika kemiskinan berdasarkan klasifikasi sektor ekonomi rumahtangga menunjukkan mayoritas penduduk miskin berada di rumahtangga pertanian bahkan proporsinya meningkat dari 55.4% pada tahun 2005 menjadi 56.9% pada tahun 2011 (Tabel 4). Tingkat pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi sementara ketimpangan pendapatan meningkat, laju penurunan kemiskinan melambat, dan proporsi penduduk miskin pertanian meningkat menjadi indikasi


(28)

bahwa penerapan kebijakan desentraliasi fiskal yang mengutamakan desentralisasi pengeluaran daerah sehingga keuangan daerah sangat tergantung pada DAU hanya berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi tersebut kurang dinikmati penduduk miskin terutama di rumahtangga pertanian. Artinya, penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang mengutamakan peran DAU dalam membiayai pembangunan daerah tidak dapat mencapai pertumbuhan pro-poor untuk mempercepat pengentasaan kemiskinan. Tabel 4 Perkembangan Distribusi Penduduk Miskin menurut Sumber Penghasilan

Utama Kepala Rumahtangga (%)

Tahun Pertanian Industri Pengolahan

Perdagangan, Hotel,Restoran

Lainnya dan Tidak Bekerja 2005 55.4 6.8 8.3 29.5 2006 53.9 6.8 8.9 30.4 2007 52.9 5.7 8.0 33.4 2008 53.3 6.3 8.1 32.3 2009 53.5 2.9 5.8 37.9 2010 56.1 6.4 7.8 29.6 2011 56.9 6.1 7.0 30.0 Sumber: BPS, data diolah dari SUSENAS Kor Maret tahun 2005-2011

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi diikuti meningkatnya ketimpangan pendapatan dan melambatnya laju penurunan kemiskinan dapat menjadi indikasi bahwa penerapan pembangunan desentralisasi di Indonesia untuk mempercepat tujuan pembangunan ekonomi nasional masih terpaku pada tujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, ada indikasi permasalahan fiskal dalam penerapan kebijakan desentralisasi fiskal terkait tingginya ketergantungan pada DAU dan rendahnya kapasitas fiskal sehingga pertumbuhan ekonomi daerah yang dihasilkan dari pembangunan desentralisasi tersebut tidak dinikmati secara merata oleh seluruh penduduk. Pada dasarnya, meningkatnya DAU sebagai konsekuensi pelimpahan kewenangan alokasi anggaran daerah seharusnya diikuti perbaikan kualitas belanja daerah sehingga pendapatan daerah dapat dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan pembangunan yang memberi nilai tambah besar terutama bagi penduduk miskin. Oleh karena itu, peningkatan DAU yang merupakan

unconditional grant (bantuan tidak bersyarat) seharusnya membuat pemerintah daerah lebih fleksibel dalam mengalokasikannya untuk kegiatan pembangunan daerah yang berdampak besar dalam mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.

Menurut Balisacan, et al. (2003) dan OECD (2006 dan 2009), pertumbuhan pro-poor dapat tercapai dengan memprioritaskan pembangunan pada sektor pertanian dan infrastruktur. Artinya, dibutuhkan belanja pertanian dan belanja inrastruktur yang besar untuk mencapai pertumbuhan pro-poor. Namun fakta menunjukkan rata-rata belanja pertanian dan belanja infrastruktur daerah periode 2005-2011 hanya naik masing-masing 19.0% per tahun. Sementara itu, belanja perdagangan naik 134% per tahun. Artinya, pemerintah daerah melakukan strategi pembangunan sektor jasa khususnya perdagangan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dari pada pembangunan sektor riil terutama pertanian padahal sektor tersebut merupakan kantong kemiskinan terbesar di Indonesia. Hasil penelitian Nanga (2006) menemukan hal serupa yaitu ada indikasi kuat bahwa transfer fiskal


(29)

5

lebih menguntungkan sektor non-pertanian. Hal ini tercermin dari meningkatnya PDRB dan jumlah tenaga kerja non-pertanian yang lebih besar dibandingkan pertanian sehingga penelitian tersebut menduga bahwa keberpihakan pemerintah daerah pada sektor-sektor non-pertanian merupakan penyebab transfer fiskal tidak berdampak menurunkan kemiskinan.

Peningkatan belanja daerah yang berlebihan dan tidak proporsional dapat terjadi karena adanya fenomena flypaper effect pada penerimaan transfer fiskal tidak bersyarat (unconditional transfer) yaitu respon yang lebih besar dari pada pendapatannya sendiri (Oates, 1999). Studi-studi terdahulu, antara lain Afrizawati (2012), Widarjono (2006), dan Kuncoro (2004), menemukan fenomena flypaper effect pada keuangan daerah di Indonesia dimana respon belanja daerah terhadap perubahan DAU lebih besar dari pada perubahan PAD. Jika respon terhadap perubahan DAU yang berlebihan tersebut terjadi pada alokasi belanja-belanja daerah yang tidak berdampak besar mengurangi kemiskinan maka pengentasan kemiskinan nasional melalui strategi pertumbuhan pro-poor akan sulit tercapai. Di sisi lain, fakta yang menunjukkan rendahnya pertumbuhan belanja pertanian dan infrastruktur mengindikasikan peran DAU pada pertumbuhan pro-poor masih rendah meskipun komposisi DAU pada total pendapatan daerah paling besar. Namun, fenomena flypaper effect merupakan konsekuensi tingginya kewenangan daerah dalam mengatur pengeluaran daerah sehingga sulit untuk diatasi.

Uraian di atas menunjukkan bahwa penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia tidak konsisten dengan tujuannya dimana tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih besar disertai dengan ketimpangan pendapatan yang juga semakin besar sehingga penurunan tingkat kemiskinan semakin berkurang. Hal ini diduga karena keuangan daerah tergantung pada DAU sementara pemerintah daerah cenderung merespon DAU secara berlebihan untuk digunakan pada beberapa jenis belanja daerah yang kurang berdampak menurunkan kemiskinan sedangkan perilaku tersebut sulit diatasi. Sementara itu, penggunaan kapasitas fiskal lebih ketat (prudent). Oleh karena itu, pemerintah daerah memerlukan kapasitas fiskal yang lebih besar untuk membiayai pembangunan daerah pada sektor-sektor yang berdampak besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan mengurangi ketimpangan pendapatan sehingga dapat meningkatkan penurunan tingkat kemiskinan dan mengurangi proporsi penduduk miskin di rumahtangga pertanian.

Perumusan Masalah

Penerapan pembangunan desentralisasi merupakan upaya besar pemerintah Indonesia untuk mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional yaitu pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Tetapi, data statistik menunjukkan pertumbuhan ekonomi nasional meningkat namun ketimpangan pendapatan juga semakin besar sehingga laju penurunan kemiskinan melambat dan proporsi penduduk miskin di rumahtangga pertanian meningkat. Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia mengutamakan DAU untuk mengatasi ketimpangan fiskal antar daerah dalam mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Dalam konteks DAU sebagai transfer tidak bersyarat (unconditional grant) maka jika penerimaan DAU akan meningkatkan belanja daerah tanpa menyebabkan tekanan fiskal pada basis pajak. Dengan perkataan


(30)

lain, sumber keuangan daerah dari pendapatan lokal dan transfer fiskal yang diperoleh dengan mudah tidak memberi dampak berbeda pada keputusan alokasi belanja daerah (Hines dan Thaler, 1995). Tetapi, pada prakteknya pemerintah daerah lebih boros dalam menggunakan dana dari transfer fiskal dari pada dana dari pendapatan sumberdaya lokal. Perilaku ini merupakan sifat alami yang juga terjadi pada kasus perusahaan dan individu. Pada kasus di Indonesia, perilaku tersebut diindikasikan oleh tingginya ketergantungan keuangan daerah pada DAU sementara komposisi kapasitas fiskal rendah. Anggaran keuangan daerah juga lebih diprioritaskan untuk sektor-sektor yang tidak memberi dampak besar dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi penerapan kebijakan desentralisasi fiskal sehingga perilaku tersebut sulit diatasi karena pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam mengatur alokasi belanja daerahnya. Pada akhirnya pembiayaan desentralisasi menjadi tidak efektif dan efisien. Di sisi lain, hal ini menjadi indikasi bahwa prinsip money follow function

yaitu pengalokasian anggaran berdasarkan fungsi masing-masing unit atau satuan kerja yang telah ditetapkan undang-udang tidak berjalan dengan baik. Dengan demikian, dampak kebijakan peningkatan kapasitas fiskal dari PAD dan dana bagi hasil yang mencerminkan kemampuan keuangan daerah dari sumber daya lokal menjadi isu penting yang perlu dikaji saat ini.

Dalam Nota Keuangan RAPBN 2013 disebutkan bahwa pemerintah pusat secara konsisten berupaya memperkuat dan menyempurnakan kebijakan desentralisasi fiskal tidak hanya pada sisi pengeluaran tetapi juga sisi penerimaan. Untuk itu pemerintah daerah diberi kewenangan memungut pajak (taxing power) dengan dasar hukum UU No. 28 tahun 2009. Pengalihan kewenangan perpajakan tersebut akan meningkatkan pendapatan daerah untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana perekonomian daerah. Penguatan sisi penerimaan tersebut dilakukan secara kontinyu dengan memperluas local taxing power salah satunya adalah pengalihan pajak-pajak properti menjadi pajak daerah sejak Januari 2011 yaitu Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan akan berlaku di seluruh daerah paling lambat tahun 2014. Perluasan sumber pajak daerah tersebut akan meningkatkan PAD sebaga sumber utama kapasitas fiskal.

Sumber kapasitas fiskal lainnya yaitu dana bagi hasil dapat ditingkatkan jika daerah memperoleh bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam lebih besar. Jumlah kedua jenis dana bagi hasil yang diterima daerah dari pemerintah pusat tergantung pada kemampuan ekonomi dan sumber daya alam serta porsi bagi hasil yang telah ditetapkan dalam UU No. 33/2004. Data-data statistik menunjukkan provinsi-provinsi dengan struktur ekonomi non-pertanian menerima bagi hasil pajak lebih besar, sedangkan provinsi-provinsi pertanian yang sebagian besar terletak di luar Pulau Jawa menerima bagi hasil pajak lebih kecil. Perbedaan tersebut disebabkan sebagian besar dana bagi hasil pajak bersumber dari tiga jenis pajak-pajak penghasilan (PPh) individual yang mayoritas merupakan pendapatan tenaga kerja non-pertanian. Selain itu, sesuai UU No. 33/2004 pasal 13 ayat 1 porsi daerah dari bagi hasil PPh hanya 20% sehingga jumlah bagi hasil pajak yang diterima daerah terutama di provinsi-provinsi pertanian relatif kecil. Sementara itu, dana bagi hasil sumber daya alam mayoritas berasal dari penerimaan sektor pertambangan dan penggalian yang dimiliki sebagian kecil daerah di Indonesia terutama di Kalimantan Timur, Riau, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, dan


(31)

7

Kalimantan Selatan. Hal ini menyebabkan perbedaan yang besar pada penerimaan bagi hasil sumber daya alam antar daerah sehingga tidak dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan kapasitas fiskal secara umum.

Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah pada kinerja fiskal dan pertumbuhan ekonomi daerah dalam konteks pertumbuhan pro-poor yaitu pertumbuhan ekonomi disertai berkurangnya ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan yang memihak kelompok penduduk miskin mayoritas yaitu rumahtangga pertanian.

2. Bagaimana dampak kapasitas fiskal terhadap kinerja fiskal, perekonomian, tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian daerah di Indonesia.

3. Alternatif kebijakan fiskal apakah yang dapat meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian serta menurunkan tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian di masa mendatang.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis perkembangan indikator kinerja fiskal, perekonomian sektoral,

kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian daerah tahun 2006-2011.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah.

3. Menganalisis pengaruh kapasitas fiskal pada kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah.

4. Meramal dampak alternatif kebijakan dalam kerangka peningkatan kapasitas fiskal terhadap kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian daerah tahun 2013-2015.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian difokuskan pada:

1. Analisis deskriptif profil kapasitas fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah periode 2006-2011.

2. Analisis determinan kapasitas fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah periode 2006-2011.

3. Analisis dampak simulasi kebijakan terhadap kinerja fiskal, perekonomian, kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian periode historis 2006-2011 dan peramalan 2013-2015.

Penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain:

1. Data fiskal merupakan agregat provinsi dan seluruh kabupaten/kota provinsi sehingga tidak mencerminkan perilaku fiskal provinsi atau kabupaten/kota. 2. Data belanja daerah merupakan gabungan belanja rutin dan belanja


(32)

berlaku sejak tahun 2005, sehingga pengaruhnya tidak mencerminkan peran belanja modal daerah saja.

3. Konversi data nominal ke riil menggunakan rata-rata IHK beberapa kota di setiap provinsi dengan tahun dasar 2007 yang berbeda dengan tahun dasar PDRB yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini yaitu tahun 2000. 4. Data pengeluaran penduduk dan indikator kemiskinan yang dirinci menurut

sektor ekonomi tidak tersedia sehingga diolah dari data SUSENAS Kor bulan Maret tahun 2005-2011 dengan klasifikasi sektoral mengacu pada pekerjaan utama kepala rumahtangga sesuai konsep SAKERNAS.

Kebaruan dan Manfaat Penelitian

Studi-studi empiris terdahulu umumnya menganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal pada periode awal desentralisasi tahun 2001-2004 serta lebih fokus pada dampak DAU terhadap kinerja ekonomi daerah, antara lain Sinaga dan Siregar (2003), Pardede (2004), dan Panjaitan (2006). Sementara studi empiris yang lebih difokuskan pada dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan sangat sedikit, salah satunya adalah Nanga (2006). Namun, penelitian tersebut tidak mendekomposisi kemiskinan menurut sektor ekonomi dan lebih fokus pada dampak transfer fiskal. Selain itu, meskipun studi-studi empiris mengenai kemiskinan banyak dilakukan namun analisis secara sektoral sangat terbatas dan tidak terkait dengan kebijakan fiskal daerah. Studi terdahulu yang meneliti kemiskinan sektoral di Indonesia antara lain Suryahadi, et al. (2009) dan Suryahadi, et al. (2012). Sementara analisis kemiskinan sektoral merupakan hal penting karena fakta menunjukkan variasi sektoral dalam dinamika kemiskinan di Indonesia baik di tingkat nasional maupun provinsi. Di sisi lain, pengentasan kemiskinan dapat tercapai dengan melakukan strategi pertumbuhan pro-poor melalui efek pertumbuhan (growth) dan pemerataan pendapatan (equality) (de Janvry dan Sadoulet, 2010; Kakwani, 1993). Secara teori, pertumbuhan pada sisi penawaran agregat (aggregate supply) dipengaruhi oleh kebijakan fiskal melalui peningkatan kapasitas perekonomian. Oleh karena itu, pengentasan kemiskinan melalui strategi pertumbuhan pro-poor dapat terwujud jika penerapan kebijakan fiskal daerah berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menurunkan tingkat kemiskinan terutama tingkat kemiskinan penduduk pertanian. Dengan demikian, kebaruan penelitian ini adalah melakukan analisis kemiskinan sektoral terkait peran kapasitas fiskal pada masa desentralisasi fiskal tahap kedua melalui strategi pertumbuhan pro-poor.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk mempercepat tercapainya tujuan utama pembangunan ekonomi nasional yaitu pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan pemerataan distribusi pendapatan.


(33)

9

2. TINJAUAN PUSTAKA

Kapasitas Fiskal

Konsep dan Sumber Kapasitas Fiskal

Kapasitas fiskal merupakan kemampuan pemerintah daerah menghimpun pendapatan dari potensi sumber daya yang dimilikinya. Jika mengacu pada UU No.33/2004 pasal 28, potensi daerah dicerminkan oleh PAD dan dana bagi hasil. Sesuai asas money follow functions dimana penyerahan kewenangan daerah dalam penyelenggaraan sistem otonomi daerah disertai dengan penyerahan sumber-sumber pembiayaan daerah yang sebelumnya dikuasai pemerintah pusat termasuk di dalamnya PAD dan dana bagi hasil maka kapasitas fiskal yang bersumber dari PAD dan bagi hasil merupakan faktor penting bagi pembangunan desentralisasi di Indonesia.

Istilah kapasitas fiskal memiliki dua terminologi yang tercantum setidaknya dalam tiga peraturan perundang-undangan. Dalam UU No. 33/2004 dan PP No. 55/2005 kapasitas fiskal adalah pendapatan daerah dari PAD dan Dana Bagi Hasil. PAD diperoleh melalui pengalihan sebagian kewenangan pengumpulan pajak ke daerah (tax assignments), sedangkan dana bagi hasil diperoleh dari sebagian pendapatan negara dari sumber daya manusia dan sumber daya alam daerah yang diberikan ke daerah. Dalam formula alokasi DAU, kapasitas fiskal adalah faktor pengurang berdasarkan celah fiskal yaitu selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, istilah kapasitas fiskal juga digunakan untuk mengetahui peta kapasitas fiskal daerah sebagai dasar dalam menentukan hibah dan pinjaman daerah yang dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang diterbitkan setiap tahun. Dalam PMK No. 226/PMK.07/2012, kapasitas fiskal merupakan rasio total penerimaan daerah (PAD, Dana Bagi Hasil, DAU dan penerimaan lain-lain setelah dikurangi belanja pegawai) dan jumlah penduduk miskin. Penelitian ini menggunakan konsep kapasitas fiskal yang pertama yaitu akumulasi PAD dan dana bagi hasil dengan alasan konsep kapasitas fiskal tersebut merupakan alokator DAU dan terkait permasalahan penelitian yaitu keuangan daerah yang sangat tergantung pada DAU sementara kemampuan kapasitas fiskal rendah. Selain itu, konsep ini paling banyak digunakan dalam penelitian-penelitian terdahulu terkait dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian dan tingkat kemiskinan dalam kerangka penerapan desentralisasi fiskal di Indonesia.

Besar kecilnya kapasitas fiskal sangat tergantung pada ketersediaan sumber-sumber pajak (tax objects) dan tingkat hasil (buouyancy) dari objek pajak karena pajak daerah merupakan sumber utama PAD. Tingkat hasil pajak dari objek-objek pajak ditentukan oleh responsibilitasnya terhadap kekuatan yang mempengaruhi pengeluaran misalnya inflasi, pertambahan penduduk, dan pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan berkorelasi dengan tingkat pelayanan yang baik secara kualitatif dan kuantitatif (Makmun, 2008). Sumber-sumber pendapatan potensial daerah juga menentukan tingkat kemampuan keuangan daerah. Setiap daerah memiliki potensi pendapatan yang berbeda-beda karena adanya perbedaan kondisi ekonomi, sumber daya alam, luas wilayah, dan jumlah penduduk yang tercermin pada PAD. Hasil penelitian Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI


(34)

dalam provinsi tahun 2002-2004 dengan metode regresi path analysis menemukan adanya hubungan yang signifikan positif antara pajak daerah dan bagi hasil pajak dengan kapasitas fiskal. Sedangkan hubungan retribusi daerah dengan kapasitas fiskal tidak signifikan. Dengan demikan, pajak daerah dan bagi hasil pajak merupakan sumber-sumber pendapatan daerah yang berperan meningkatkan kapasitas fiskal. Berdasarkan termuan tersebut maka penelitian ini menggunakan instrumen pajak daerah dan bagi hasil pajak untuk meningkatkan kapasitas fiskal.

Pajak daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan di wilayah tersebut kepada pemerintah daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa tolok ukur untuk menilai pajak daerah adalah hasil (yields), keadilan (equity), daya guna ekonomi (economicefficiency), kemampuan melaksanakan (ability to implement), dan kecocokan sebagai sumber penerimaan pajak daerah (sustainability as local revenue source) (Devas, 1989). Pendapatan dari pajak daerah selanjutnya digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Dalam kerangka desentralisasi fiskal di Indonesia, pemungutan pajak daerah dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai UU No. 28/2009 yang meliputi:

1. Pajak Provinsi, terdiri dari: a. Pajak kendaraan bermotor

b. Bea balik nama kendaraan bermotor c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor d. Pajak air permukaan

e. Pajak rokok (cukai)

2. Pajak Kabupaten/Kota, terdiri dari: a. Pajak hotel

b. Pajak restoran c. Pajak hiburan d. Pajak reklame

e. Pajak penerangan jalan

f. Pajak mineral bukan logam dan batuan g. Pajak parkir

h. Pajak air tanah

i. Pajak sarang burung walet

j. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) perdesaan dan perkotaan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Menurut Bird (2011) jika pemerintah daerah lebih boros (bigger spenders) akibat implementasi desentralisasi pengeluaran (expenditure decentralization) maka untuk responsibilitas dan akuntabilitas fiskal maka pengeluaran yang besar tersebut seharusnya diikuti kemampuan mengumpulkan pajak daerah yang lebih besar (bigger taxers) yang mencerminkan berjalannya desentralisasi penerimaan (revenue decentralization). Oleh karena itu, untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah maka perlu dilakukan reformasi pajak daerah melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pajak. Untuk meningkatkan pendapatan pajak daerah, pemerintah telah berupaya meningkatkan jumlah wajib pajak dan memperluas objek pajak melalui kegiatan-kegiatan ekstensifikasi pajak antara lain canvassing


(35)

11

Sensus Pajak Nasional. Sedangkan, upaya-upaya intensifikasi pajak dilakukan untuk mengoptimalkan penggalian penerimaan pajak terhadap objek pajak dan subjek pajak yang telah tercatat, salah satunya dengan meningkatkan kemampuan aparatur perpajakan di daerah. Berdasarkan UU No. 28/2009, pemerintah daerah memiliki kewenangan lebih luas untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan prinsip-prinsip pungutan daerah yang baik (Nota Keuangan RAPBN, 2013). Selain itu, pemerintah daerah juga diberi kewenangan membuat kebijakan pengenaan pajak dan retribusi, mengelola pajak pusat yang dialihkan menjadi pajak daerah, dan menambah jenis-jenis pajak baru untuk memperluas basis pajak di daerah. Akan tetapi, berbagai upaya di bidang perpajakan dengan menggali potensi cakupan pajak (tax coverage) dan meningkatkan kepatuhan pajak (tax compliance) dari masyarakat seringkali menghadapi berbagai hambatan baik dari wajib pajak (masyarakat), aparatur pajak, dan sistem perpajakan. Oleh karena itu, permasalahan pajak harus ditangani secara sinergis dan komprehensif.

Sumber kapasitas fiskal lainnya adalah dana bagi hasil. Sumber keuangan ini merupakan transer dari APBN berdasarkan suatu nilai persentase tertentu yang diatur dalam UU No. 33/2004. Dana bagi hasil terdiri dari bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam. Bagi hasil pajak bersumber dari PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN), PPh Pasal 21, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dengan imbangan untuk pusat dan daerah sebagai berikut: 1. Pajak-pajak penghasilan (PPh)

a. 80% untuk pemerintah pusat b. 20% untuk pemerintah daerah

(1) 8% untuk provinsi yang bersangkutan

(2) 12% untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan a) 8.4% untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar

b) 3.6% untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi secara merata 2. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

a. 10% untuk pemerintah pusat

(1) 6.5% dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten/kota

(2) 3.5% dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten/kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai atau melampaui rencana penerimaan sektor tertentu

b. 90% untuk pemerintah daerah

(1) 16.2% untuk provinsi yang bersangkutan

(2) 64.8% untuk kabupaten/kota yang bersangkutan (3) 9.0% untuk biaya pemungutan

3. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

a. 20% untuk pemerintah pusat yang selanjutnya dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten/kota.

b. 80% untuk pemerintah daerah

(1) 16% untuk provinsi yang bersangkutan (2) 64% untuk kabupaten/kota penghasil Sedangkan, bagi hasil sumber daya alam meliputi:

1. Penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dari wilayah daerah yang bersangkutan


(36)

a. 20% untuk pemerintah pusat b. 80% untuk pemerintah daerah

2. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi a. 60% untuk pemerintah pusat

b. 40% untuk pemerintah daerah

3. Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan

a. 20% untuk pemerintah pusat b. 80% untuk pemerintah daerah

4. Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional a. 20% untuk pemerintah pusat

b. 80% untuk seluruh kabupaten/kota

5. Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan

a. 84.5% untuk pemerintah pusat b. 15.5% untuk pemerintah daerah

6. Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan

a. 69.5% untuk pemerintah pusat b. 30.5% untuk pemerintah daerah

7. Pertambangan Panas Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak

a. 20% untuk pemerintah pusat b. 80% untuk pemerintah daerah

Tabel 5 Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Kemiskinan Provinsi dengan Proporsi Bagi Hasil SDA Terbesar Tahun 2011

Provinsi

Proporsi Bagi

hasil SDA1 Pertumbuhan Ekonomi (%) (%)

Indeks Gini

Persentase penduduk miskin (%)

Kalimantan Timur 52.8 3.93 0.38 6.8

Riau 50.0 5.01 0.36 8.5

Kepulauan Riau 35.6 6.67 0.32 7.4

Sumatera Selatan 24.0 6.50 0.34 14.2

Kalimantan Selatan 19.9 6.12 0.37 5.3

Indonesia 6.46 0.41 12.5

Sumber: BPS dan Kementerian Keuangan R.I.

Catatan: 1Proporsi pada total pendapatan daerah (data agregat provinsi dan kab/kota)

2

Kekayaan sumber daya alam yang berbeda-beda menyebabkan perbedaan bagi hasil sumber daya alam yang sangat besar antar provinsi dan kabupaten/kota. Sesuai formula penghitungannya, dana bagi hasil sumber daya alam (SDA) yang diterima daerah sangat tergantung pada output pertambangan dan penggalian, sehingga provinsi-provinsi yang memiliki kekayaan alam di sektor pertambangan dan penggalian menerima bagi hasil SDA paling besar. Namun, kekayaan sumber


(37)

13

daya alam seringkali tidak sejalan dengan kondisi perekonomian daerah. Provinsi-provinsi dengan komposisi bagi hasil SDA paling besar tidak serta merta memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingkat kemiskinan yang rendah (Tabel 5). Pada tahun 2011, provinsi Kalimantan Timur menerima proporsi bagi hasil SDA paling besar, tetapi pertumbuhan ekonominya hanya 3.93% atau jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 6.46%. Sedangkan, provinsi Sumatera Selatan yang hanya memiliki komposisi bagi hasil SDA sekitar seperempat dari total penerimaan daerahnya, ekonominya tumbuh cukup tinggi yaitu 6.50%. Namun demikian, angka kemiskinannya cukup tinggi yaitu 14.2% bahkan lebih besar dari pada angka kemiskinan nasional yaitu 12.5%. Perbedaan bagi hasil SDA yang sangat besar antar daerah menjadi alasan bahwa komponen kapasitas fiskal tersebut tidak menjadi fokus penelitian ini.

Perkembangan Kapasitas Fiskal di Indonesia

Sumber: Kemenkeu R.I.

Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi bersangkutan

Gambar 1. Komposisi Kapasitas Fiskal pada Total Pendapatan Daerah (%) Gambar 1 menunjukkan komposisi kapasitas fiskal pada total pendapatan daerah di provinsi DKI Jakarta merupakan yang terbesar bahkan meningkat dari 93.5% menjadi 94.6% selama periode 2005-2011. Tingginya kapasitas fiskal terutama bersumber dari PAD dan bagi hasil pajak. Empat provinsi lain dengan komposisi kapasitas fiskal terbesar adalah Kalimantan Timur, Riau, Kepulauan Riau, dan Sumatera Selatan. Kapasitas fiskal di keempat provinsi tersebut terutama bersumber dari bagi hasil SDA. Sementara, Sulawesi Barat memiliki komposisi kapasitas fiskal paling rendah yaitu 11.4% pada tahun 2011 bahkan lebih rendah dibandingkan tahun 2005 yaitu 16.1%. Empat provinsi lain dengan komposisi kapasitas fiskal paling rendah adalah NTT, Gorontalo, Maluku, dan Sulawesi Tenggara. Secara rata-rata, komposisi kapasitas fiskal per provinsi turun dari 35.2% pada tahun 2005 menjadi 31.2% pada tahun 2011. Penyebab turunnya komposisi kapasitas fiskal dapat ditinjau dari sumber-sumbernya. Gambar 2 menunjukkan komposisi PAD pada total pendapatan daerah rata-rata meningkat dari 15.5% menjadi 16.3%. Namun peningkatan ini terutama disebabkan kenaikan

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 90,0 100,0 S ul ba r NT T Gor on ta lo M a luk u S ul tr a P a pua S ul ut S ul te ng B e ng k ul u M a lut S um ba r NA D K al b ar P ap u a B ar at S ul se l La m pung NT B K a lt e ng Ja te ng S um

ut DIY

Ja ti m B a be l Jab ar Ja m bi B a li B a nt e n K a ls e l S um se l K e pr i R ia u K a lt

im DKI

ra ta -r a ta 2005 2011


(38)

komposisi PAD di Kalimantan Timur, DKI Jakarta, dan Riau masing-masing 7.9 persen poin, 6.6 persen poin, dan 4.1 persen poin. Sementara, komposisi PAD di 17 provinsi justru berkurang.

Sumber: Kemenkeu R.I.

Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi bersangkutan

Gambar 2. Komposisi PAD pada Total Pendapatan Daerah (%)

Sumber: Kemenkeu R.I.

Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi bersangkutan

Gambar 3. Komposisi Bagi Hasil Pajak pada Total Pendapatan Daerah (%) Sedangkan, rata-rata komposisi bagi hasil pajak selama periode 2005-2011 turun dari 11.1% menjadi 6.8% per provinsi per tahun (Gambar 3). Turunnya komposisi bagi hasil pajak terjadi di semua provinsi terutama Papua Barat yang 24.8% menjadi 7.1% atau penurunannya sekitar 17.7 persen poin. Berkurangnya penerimaan daerah dari bagi hasil pajak dapat disebabkan karena pengalihan PBB menjadi pajak daerah sejak tahun 2011. Namun, fakta juga menunjukkan bahwa komposisi bagi hasil pajak di semua provinsi pada tahun 2010 berkurang kecuali DKI Jakarta, Riau, DIY, Bali, dan Jawa Tengah. Hal ini dapat menjadi indikasi

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 S ul ba r NT T Gor on ta lo M a luk u S ul tr a P a pua S ul ut S ul te ng B e ng k ul u M a lut S um ba r NA D K al b ar P ap u a B ar at S ul se l La m pung NT B K a lt e ng Ja te ng S um

ut DIY

Ja ti m B a be l Jab ar Ja m bi B a li B a nt e n K a ls e l S um se l K e pr i R ia u K a lt

im DKI

ra ta -r a ta 2005 2011 0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0 35,0 40,0 45,0 S ul ba r NT T Gor on ta lo M a luk u S ul tr a P a pua S ul ut S ul te ng B e ng k ul u M a lut S um ba r NA D K al b ar P ap u a B ar at S ul se l La m pung NT B K a lt e ng Ja te ng S um

ut DIY

Ja ti m B a be l Jab ar Ja m bi B a li B a nt e n K a ls e l S um se l K e pr i R ia u K a lt

im DKI

ra

ta

-r

a

ta


(39)

15

bahwa penurunan komposisi bagi hasil pajak juga terjadi pada sumber bagi hasil pajak selain PBB yaitu PPh. Hal serupa terjadi pada komposisi bagi hasil SDA yang rata-rata turun dari 8.6% menjadi 8.1% terutama di Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur yang merupakan daerah penerima bagi hasil SDA terbesar di Indonesia (Gambar 4).

Sumber: Kemenkeu R.I.

Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi bersangkutan

Gambar 4. Komposisi Bagi Hasil SDA pada Total Pendapatan Daerah (%)

Dana Alokasi Umum

Formula DAU

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah transfer fiskal dari pemerintah pusat yang bersifat hibah (block grant) bertujuan untuk mengatasi ketidakseimbangan horizontal (horizontal imbalance) antar pemerintah daerah dalam mewujudkan pemerataan kemampuan keuangan antar pemerintah daerah. Dana ini digunakan untuk mendanai kebutuhan fiskal daerah. Sesuai amanat kebijakan desentralisasi fiskal, penggunaan DAU diserahkan sepenuhnya kepada daerah sesuai prioritas dan kebutuhan daerah untuk meningkatkan pelayanan publik. Alokasi DAU yang diatur dalam UU No. 33/2004 dan PP No. 55/2005 menyebutkan bahwa total DAU dalam APBN ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) Neto. PDN Neto adalah Penerimaan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) setelah dikurangi dana bagi hasil dan subsidi. Tetapi jika perubahan APBN menyebabkan PDN Neto bertambah atau berkurang maka besaran DAU yang telah ditetapkan tidak berubah. Perbedaan proporsi DAU provinsi dan kabupaten/kota terjadi karena perbedaan bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Jika penentuan proporsi kewenangan belum dapat dihitung secara kuantitatif maka proporsi DAU ditetapkan 10% untuk provinsi dan 90% untuk kabupaten/kota. DAU disalurkan ke setiap daerah oleh Kementerian Keuangan R.I. secara berkala setiap bulan sebesar 1/12 (satu per duabelas) dari plafon yang telah ditetapkan.

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 S ul ba r NT T Gor on ta lo M a luk u S ul tr a P a

pua Sulut

S ul te ng B e ng k ul u M a lut S um ba r NA D K al b ar P ap u a B ar at S ul se l La m pung NT B K a lt e ng Ja te ng S um

ut DIY

Ja ti m B a be l Jab ar Ja m bi B a li B a nt e n K a ls e l S um se l K e pr i R ia u K a lt

im DKI

ra ta -r a ta 2005 2011


(1)

Lampiran 21. Lanjutan

31. Total

Headcount Index

(%)

Provinsi 2012 2013 2014 2015

NAD 18.40 16.99 15.69 14.40

Sumut 11.82 11.66 11.37 11.01

Sumbar 15.65 15.77 15.72 15.59

Riau 12.94 12.77 12.44 12.05

Jambi 8.67 7.51 6.27 5.00

Sumsel 7.78 7.38 6.63 5.77

Lampung 14.06 12.97 12.04 11.22

Kepri 15.80 17.02 17.48 17.59

Jabar 13.97 12.40 11.02 9.77

Jateng 13.85 12.32 11.13 10.11

DIY 18.67 16.54 14.53 12.63

Jatim 14.60 13.50 12.57 11.74

Banten 10.79 9.55 8.32 7.11

Bali 14.70 13.26 11.96 10.81

NTB 14.31 13.21 12.31 11.48

NTT 12.75 11.36 10.34 9.51

Kalbar 6.96 6.61 6.07 5.50

Kalteng 8.69 9.83 10.63 11.24

Kalsel 11.83 11.66 11.18 10.63

Kaltim 12.06 10.65 8.50 7.67

Sulut 7.92 7.11 6.09 5.01

Sulteng 10.80 9.26 7.86 6.54

Sulsel 6.54 4.37 2.52 0.86

32. Total Penanaman Modal Riil (Juta Rp)

Provinsi 2012 2013 2014 2015

NAD 216 359 241 588 266 816 292 044

Sumut 5 018 056 5 593 530 6 169 005 6 744 479

Sumbar 568 919 608 289 647 658 687 027

Riau - 311 930 - 2 575 381 - 4 838 832 - 7 102 283 Jambi 1 315 191 1 266 406 1 217 622 1 168 838 Sumsel 3 629 659 3 957 367 4 285 074 4 612 782 Lampung 346 132 118 672 - 108 787 - 336 247 Kepri 2 728 845 3 068 917 3 408 990 3 749 063 Jabar 28 559 096 28 870 105 29 181 114 29 492 123 Jateng 2 718 381 2 796 336 2 874 291 2 952 246

DIY - 60 630 - 115 431 - 170 231 - 225 031

Jatim 16 869 431 18 014 091 19 158 751 20 303 411 Banten 17 944 638 19 379 734 20 814 830 22 249 927 Bali 3 225 557 3 619 564 4 013 570 4 407 576 NTB 3 069 375 3 605 053 4 140 730 4 676 407

NTT 28 341 28 939 29 538 30 137

Kalbar 3 527 209 4 081 443 4 635 678 5 189 912 Kalteng 6 388 520 7 255 918 8 123 315 8 990 713 Kalsel 3 460 543 3 835 909 4 211 274 4 586 639 Kaltim 10 380 217 11 904 092 13 427 968 14 951 843 Sulut 1 948 664 2 240 248 2 531 832 2 823 417 Sulteng 3 081 370 3 628 122 4 174 875 4 721 627 Sulsel 4 673 853 5 336 025 5 998 196 6 660 367


(2)

Lampiran 21. Lanjutan

33. Luas Wilayah (km

2

Provinsi

)

2012 2013 2014 2015

NAD 58 580 58 840 59 100 59 360

Sumut 73 218 73 317 73 416 73 515

Sumbar 41 922 41 884 41 847 41 809

Riau 86 672 86 525 86 379 86 232

Jambi 52 077 52 918 53 759 54 600

Sumsel 105 002 110 590 116 177 121 765

Lampung 33 290 32 735 32 179 31 624

Kepri 8 252 8 273 8 294 8 315

Jabar 34 715 34 438 34 162 33 886

Jateng 32 801 32 801 32 801 32 802

DIY 3 133 3 133 3 133 3 133

Jatim 48 276 48 474 48 672 48 870

Banten 9 939 10 054 10 169 10 284

Bali 5 922 5 981 6 040 6 099

NTB 18 085 17 882 17 679 17 476

NTT 49 824 50 285 50 745 51 206

Kalbar 158 961 163 817 168 673 173 529

Kalteng 153 565 153 565 153 565 153 565

Kalsel 38 684 38 659 38 634 38 609

Kaltim 208 685 210 415 212 144 213 874

Sulut 13 818 13 804 13 790 13 775

Sulteng 59 163 58 048 56 932 55 816

Sulsel 46 975 47 082 47 190 47 297

34. Jumlah Penduduk (Ribu Orang)

Provinsi 2012 2013 2014 2015

NAD 4 397 4 443 4 489 4 535

Sumut 13 497 13 642 13 787 13 932

Sumbar 4 808 4 851 4 894 4 937

Riau 6 253 6 470 6 688 6 905

Jambi 3 082 3 146 3 209 3 273

Sumsel 7 582 7 697 7 811 7 926

Lampung 7 918 8 024 8 130 8 237

Kepri 1 519 1 546 1 573 1 599

Jabar 44 004 44 717 45 430 46 142

Jateng 32 845 32 971 33 096 33 221

DIY 3 524 3 551 3 579 3 606

Jatim 37 284 37 453 37 621 37 790

Banten 11 021 11 296 11 571 11 846

Bali 3 800 3 861 3 923 3 984

NTB 4 726 4 796 4 865 4 935

NTT 4 710 4 780 4 849 4 919

Kalbar 4 701 4 775 4 848 4 921

Kalteng 2 391 2 443 2 495 2 547

Kalsel 3 665 3 722 3 779 3 836

Kaltim 3 500 3 596 3 692 3 788

Sulut 2 318 2 344 2 369 2 394

Sulteng 2 712 2 765 2 818 2 871


(3)

Lampiran 21. Lanjutan

35. Jumlah Pegawai Negeri Sipil (Orang)

Provinsi 2012 2013 2014 2015

NAD 186 655 197 228 207 800 218 372

Sumut 267 007 275 225 283 443 291 661

Sumbar 150 271 155 083 159 895 164 708

Riau 116 098 122 283 128 468 134 653

Jambi 89 736 93 847 97 959 102 070

Sumsel 152 835 159 320 165 806 172 292

Lampung 139 294 144 549 149 805 155 060

Kepri 39 006 41 862 44 717 47 572

Jabar 492 624 503 576 514 528 525 480

Jateng 501 821 508 470 515 118 521 766

DIY 90 801 90 684 90 567 90 451

Jatim 548 640 561 372 574 104 586 836

Banten 107 790 112 306 116 822 121 337

Bali 105 075 108 319 111 563 114 808

NTB 102 511 106 845 111 178 115 512

NTT 135 196 141 522 147 847 154 172

Kalbar 100 516 104 082 107 647 111 213

Kalteng 84 719 88 890 93 062 97 234

Kalsel 104 333 108 597 112 860 117 123

Kaltim 112 929 119 626 126 324 133 022

Sulut 84 441 87 077 89 714 92 350

Sulteng 95 745 100 802 105 858 110 915

Sulsel 218 787 226 255 233 723 241 191

36. Garis Kemiskinan Riil (Ribu Rp)

Provinsi 2012 2013 2014 2015

NAD 235.5 238.0 240.5 243.0

Sumut 188.9 191.1 193.3 195.5

Sumbar 199.8 204.3 208.9 213.4

Riau 219.8 222.3 224.9 227.4

Jambi 178.8 180.1 181.3 182.5

Sumsel 188.0 190.6 192.9 195.4

Lampung 165.5 167.7 169.8 172.0

Kepri 260.0 262.6 265.2 267.9

Jabar 170.9 172.4 173.9 175.4

Jateng 167.7 170.0 172.4 174.7

DIY 190.6 191.9 193.1 194.4

Jatim 171.6 174.7 177.8 180.9

Banten 168.8 168.3 167.7 167.2

Bali 176.2 177.4 178.7 179.9

NTB 160.3 162.5 164.7 166.9

NTT 141.3 144.2 147.1 150.0

Kalbar 153.0 154.3 155.6 156.9

Kalteng 186.9 191.0 195.2 199.3

Kalsel 177.7 180.5 183.4 186.3

Kaltim 221.3 221.4 221.6 221.7

Sulut 165.4 167.0 168.6 170.2

Sulteng 171.6 174.2 176.8 179.4


(4)

Lampiran 21. Lanjutan

37. Bagi Hasi Sumber Daya Alam Riil (Juta Rp)

Provinsi 2012 2013 2014 2015

NAD 224 183 - 233 737 - 691 657 - 1 149 576

Sumut 59 799 64 985 70 170 75 356

Sumbar 38 769 39 291 39 813 40 334

Riau 8 087 328 7 986 667 7 886 006 7 785 345 Jambi 1 184 806 1 304 279 1 423 753 1 543 226 Sumsel 3 631 397 3 871 675 4 111 953 4 352 231

Lampung 200 637 163 506 126 375 89 244

Kepri 3 007 575 2 833 657 3 471 229 3 426 455 Jabar 895 618 970 375 1 045 133 1 119 890

Jateng 179 798 204 931 230 063 255 196

DIY 8 440 9 594 10 748 11 902

Jatim 674 870 768 078 861 286 954 495

Banten 8 282 9 084 9 885 10 686

Bali 2 565 2 430 2 296 2 161

NTB 147 861 146 770 145 680 144 589

NTT 10 137 10 563 10 988 11 414

Kalbar 119 932 130 189 140 445 150 702

Kalteng 499 774 550 517 601 259 652 002 Kalsel 2 009 858 2 268 633 2 527 408 2 786 183 Kaltim 12 787 13 378 463 13 969 842 14 561 222

Sulut 50 788 55 771 60 754 65 736

Sulteng 26 770 28 026 29 282 30 538

Sulsel 49 730 36 120 22 511 8 901

38. Dana Alokasi Khusus Riil (Juta Rp)

Provinsi 2012 2013 2014 2015

NAD 901 233 951 262 1 001 292 1 051 322

Sumut 1 500 321 1 636 262 1 772 203 1 908 144

Sumbar 779 964 823 999 868 034 912 069

Riau 262 413 276 637 290 861 305 086

Jambi 435 536 466 555 497 574 528 592

Sumsel 658 195 719 323 780 451 841 579

Lampung 740 173 814 274 888 376 962 477

Kepri 161 870 174 900 187 929 200 958

Jabar 1 710 873 1 913 944 2 117 015 2 320 086 Jateng 2 225 989 2 448 030 2 670 070 2 892 111

DIY 259 305 279 689 300 073 320 457

Jatim 2 189 106 2 403 047 2 616 988 2 830 930

Banten 415 495 462 728 509 961 557 195

Bali 358 491 376 158 393 824 411 491

NTB 477 197 505 440 533 683 561 927

NTT 1 003 981 1 083 551 1 163 121 1 242 691

Kalbar 776 749 839 859 902 970 966 080

Kalteng 530 418 539 658 548 898 558 138

Kalsel 488 870 510 428 531 986 553 544

Kaltim 217 024 207 187 197 350 187 512

Sulut 769 318 840 465 911 612 982 759

Sulteng 572 667 614 152 655 637 697 121 Sulsel 1 157 362 1 237 477 1 317 593 1 397 708


(5)

Lampiran 22. Rekapitulasi Hasil Simulasi Peramalan Tahun 2013-2015

Skenario Kombinasi Model Fiskal, Perekonomian, dan

Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian

dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN

pada

software

SAS/ETS 9.1.3

Variabel Endogen Keterangan Perubahan (%)

SM1 SM2 SM3

PM1 Penanaman Modal 100.0

PJK Pajak daerah 0.9 0.9 17.5

PAD Pendapatan asli daerah 0.6 0.7 12.9

BHSPJK Bagi hasil pajak 3.9 50.0 50.0

KAPFIS Kapasitas fiskal 1.4 13.6 21.3

DAU Dana alokasi umum -1.1 -1.1 -1.4

DPT Total pendapatan daerah -0.1 3.1 5.0

GPGNKBNTNK Belanja pertanian 50.0 50.0 50.0

GIND Belanja perindustrian 50.0 50.0 50.0

GDG Belanja perdagangan 30.0 30.0 30.0

GDGKAP Belanja perdagangan per kapita 30.0 30.0 30.0

GIFR Belanja infratruktur 0.3 3.5 5.4

GLN Belanja lainnya -0.1 1.0 1.6

G Total belanja daerah 1.5 2.9 3.6

FISGAP Kesenjangan fiskal 1.6 -1.2 -3.1

FISAUTO2 Kemandirian fiskal -0.1 -0.4 1.6

ASP Panjang jalan aspal 0.0 0.3 5.1

PDRBPGNKBNTNK PDRB tan. Pangan, kebun, ternak 21.6 21.9 26.7

PDRBTANI PDRB pertanian 18.1 18.4 22.4

PDRBTANIKAP PDRB pertanian per kapita 19.0 19.2 24.0

PDRBMKN PDRB industri makanan jadi 52.0 52.0 52.9

PDRBINDTANI PDRB industri pertanian 42.0 42.0 42.7

PDRBIND PDRB industri 30.6 30.6 31.1

PDRBINDKAP PDRB industri per kapita 34.7 34.7 35.4

PDRBDG PDRB perdagangan 9.4 9.9 17.3

PDRBDGKAP PDRB perdagangan per kapita 11.1 11.5 19.8

PDRBNONTANI PDRB non pertanian 8.9 9.0 11.9

PDRB PDRB total 11.2 11.4 14.5

PDRBKAP PDRB per kapita 12.3 12.5 16.3

SHPDRBTANI2 Share PDRB pertanian 5.9 5.9 6.5

SHPDRBIND2 Share PDRB industri 19.6 19.4 16.8

SHPDRBDG2 Share PDRB perdagangan -1.2 -1.0 2.7

TKTANI Jumlah tenaga kerja pertanian 6.5 6.9 12.4

TKIND Jumlah tenaga kerja industri 12.0 12.1 14.4

TKDG Jumlah tenaga kerja perdagangan 5.9 6.3 12.4

TK Jumlah tenaga kerja total 5.4 5.7 9.9

UPHTANI Upah pertanian 2.4 2.4 3.0

UPHIND Upah industri 4.0 4.0 4.1

UPHDG Upah perdagangan 2.7 2.8 4.8

EXPTANI Pengeluaran per kapita pertanian 1.1 1.1 1.3

EXPIND Pengeluaran per kapita industri 2.4 2.4 2.5

EXPDG Pengeluaran per kapita 2.1 2.2 3.7

GINI3 Indeks Gini -0.003 -0.003 -0.002

POVTANIP02 P0 pertanian -0.79 -0.80 -0.91

POVINDP02 P0 industri -0.67 -0.67 -0.66

POVDGP02 P0 perdagangan -0.67 -0.69 -1.06

POVTANIP13 P1 pertanian -0.14 -0.14 -0.16

POVTANIP23 P2 pertanian -0.04 -0.04 -0.05

POVP02 P0 total -0.69 -0.70 -0.82


(6)

Lampiran 23. Rekapitulasi Hasil Simulasi Peramalan Tahun 2013-2015

Skenario Kombinasi Model Fiskal, Perekonomian, dan

Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non-Pertanian

dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN

pada

software

SAS/ETS 9.1.3

Variabel Endogen Keterangan Perubahan (%)

SM1A SM1B SM2 SM3

PM1 Penanaman Modal 50.0

PJK Pajak daerah 0.3 0.4 0.4 8.3

PAD Pendapatan asli daerah 0.2 0.3 0.3 6.0

BHSPJK Bagi hasil pajak 3.0 3.0 50.0 50.0

KAPFIS Kapasitas fiskal 0.6 0.7 9.1 12.2

DAU Dana alokasi umum -1.3 -1.6 -1.7 -2.0

DPT Total pendapatan daerah -0.1 -0.2 3.6 5.0

GPGNKBNTNK Belanja pertanian 50.0 80.0 80.0 80.0

GIND Belanja perindustrian 50.0 50.0 50.0 50.0

GDG Belanja perdagangan 30.0 30.0 30.0 30.0

GDGKAP Belanja perdagangan per kapita 30.0 30.0 30.0 30.0

GIFR Belanja infratruktur 0.2 0.2 4.0 5.2

GLN Belanja lainnya -0.1 -0.2 1.2 1.6

G Total belanja daerah 1.3 1.9 3.5 4.0

FISGAP Kesenjangan fiskal 1.8 3.0 -1.7 -3.7

FISAUTO2 Kemandirian fiskal -0.2 -0.4 -0.8 0.5

ASP Panjang jalan aspal 0.0 0.0 0.4 4.0

PDRBPGNKBNTNK PDRB tan. Pangan, kebun, ternak 15.8 25.3 25.6 28.8

PDRBTANI PDRB pertanian 13.3 21.2 21.5 24.2

PDRBTANIKAP PDRB pertanian per kapita 15.5 24.8 25.1 27.8

PDRBMKN PDRB industri makanan jadi 33.5 33.5 33.5 33.9

PDRBINDTANI PDRB industri pertanian 19.2 19.2 19.2 19.4

PDRBIND PDRB industri 9.4 9.4 9.4 9.5

PDRBINDKAP PDRB industri per kapita 9.4 9.4 9.4 9.5

PDRBDG PDRB perdagangan 4.5 4.5 5.0 9.6

PDRBDGKAP PDRB perdagangan per kapita 11.1 11.1 11.6 15.9

PDRBNONTANI PDRB non pertanian 4.2 4.2 4.3 5.5

PDRB PDRB total 5.7 7.0 7.1 8.6

PDRBKAP PDRB per kapita 6.9 8.5 8.6 10.0

SHPDRBTANI2 Share PDRB pertanian 7.2 13.8 13.9 14.9

SHPDRBIND2 Share PDRB industri 3.3 1.9 1.8 -0.2

SHPDRBDG2 Share PDRB perdagangan 1.0 -0.7 -0.4 2.5

TKTANI Jumlah tenaga kerja pertanian 4.9 7.8 8.2 11.9

TKIND Jumlah tenaga kerja industri 7.6 7.6 7.7 8.4

TKDG Jumlah tenaga kerja perdagangan 3.0 3.0 3.5 7.8

TK Jumlah tenaga kerja total 3.6 4.8 5.1 7.6

UPHTANI Upah pertanian 2.1 3.3 3.4 3.7

UPHIND Upah industri 2.6 2.6 2.6 2.7

UPHDG Upah perdagangan 2.9 2.9 3.0 4.2

EXPTANI Pengeluaran per kapita pertanian 0.9 1.4 1.5 1.6

EXPIND Pengeluaran per kapita industri 1.7 1.7 1.7 1.8

EXPDG Pengeluaran per kapita 2.3 2.3 2.4 3.3

GINI3 Indeks Gini -0.001 -0.002 -0.002 -0.002

POVTANIP02 P0 pertanian -0.64 -1.04 -1.05 -1.12

POVINDP02 P0 industri -0.53 -0.58 -0.58 -0.57

POVDGP02 P0 perdagangan -0.73 -0.77 -0.80 -1.03

POVTANIP13 P1 pertanian -0.12 -0.19 -0.19 -0.20

POVTANIP23 P2 pertanian -0.03 -0.05 -0.05 -0.06

POVP02 P0 total -0.59 -0.80 -0.81 -0.88