Dampak Kebijakan Fiskal pada Masa Desentralisasi Fiskal terhadap Pengangguran dan Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah (Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan)

(1)

DAMPAK KE

DESENTRALISASI F

DAN KEMISKINA

(Model Ekonom

DEPAR

FAKULTAS

INSTIT

KEBIJAKAN FISKAL PADA MASA

I FISKAL TERHADAP PENGANGGURA

AN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI

JAWA TENGAH

ometrika Sistem Persamaan Simultan)

OLEH

IDA NUR’AINI

H14070051

ARTEMEN ILMU EKONOMI

S EKONOMI DAN MANAJEMEN

ITUT PERTANIAN BOGOR

2011

RAN

SI


(2)

RINGKASAN

IDA NUR’AINI, Dampak Kebijakan Fiskal pada Masa Desentralisasi Fiskal

terhadap Pengangguran dan Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah (Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan) (dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI)

Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan solusi dari sistem pemerintahan yang sentralistik untuk mengoptimalkan pembangunan daerah. Otonomi daerah sebagai strategi paling efektif karena pembangunan daerah dilakukan oleh masyarakat lokal yang lebih tahu kebutuhan dan kondisi daerah sehingga menghasilkan kebijakan pembangunan yang efektif. Kebijakan fiskal memiliki peran penting dalam pembangunan daerah sejak dimulainya desentralisasi fiskal, maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengelola penerimaan dan pengeluarannya yang diharapkan mampu menggerakkan perekonomian daerah.

Hampir seluruh provinsi di Indonesia mengalami kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) termasuk Provinsi Jawa Tengah sejak dimulainya otonomi daerah pada tahun 2001. Desentralisasi fiskal menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan seharusnya mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan secara signifikan. Pada kenyataannya, Provinsi Jawa Tengah yang memiliki jumlah penduduk terbanyak ketiga di Indonesia setelah Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur ternyata memiliki tingkat kemiskinan paling tinggi di Pulau Jawa. Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia memiliki jumlah penduduk miskin ketiga setelah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kemiskinan di Jawa Tengah memang memiliki tren menurun, tetapi masih belum dapat mengubah posisi jumlah penduduk miskin terbanyak di Pulau Jawa. Pengangguran diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya kemiskinan.

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kinerja fiskal pemerintah daerah, perekonomian, pengangguran dan kemiskinan serta menganalisis dampak kebijakan fiskal terhadap pengangguran dan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dilakukan analisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan analisis ekonometrika sistem persamaan simultan. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data panel 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007-2009.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemandirian daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah belum mampu dicapai. Dari segi penerimaan, peran PAD dalam penerimaan masih sangat kecil dan mengindikasikan ketergantungan pemerintah daerah masih sangat tinggi. Rata-rata rasio PAD di seluruh kabupaten dan kota hanya 8,94 persen dari total penerimaan yang ada pada tahun 2009. Penerimaan terbesar berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) yaitu mencapai


(3)

70,42 persen pada tahun 2009. Bahkan terjadi kecenderungan semakin kecilnya peran PAD dari tahun 2007 sampai tahun 2009.

Kecilnya PAD ini mengakibatkan tidak signifikannya PAD terhadap pengeluaran pemerintah sektor pendidikan serta sektor pendidikan dan kesehatan. Pertanian menjadi sektor yang diharapkan mampu mengurangi pengangguran, tetapi alokasi anggaran untuk sektor pertanian masih sangat kecil. PDRB sektor pertanian ternyata dipengaruhi oleh pengeluaran sektor pertanian sehingga dengan ditingkatkannya pengeluaran sektor pertanian diharapkan mampu meningkatkan PDRB pertanian.

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa kebijakan fiskal memiliki dampak terhadap pengangguran dan kemiskinan jika dihubungkan melalui PDRB. Pertanian menjadi sektor utama yang diharapkan mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan, tetapi alokasi anggaran untuk sektor pertanian masih sangat kecil. Kebijakan penerimaan dan pengeluaran pemerintah memengaruhi perekonomian yang diukur dengan PDRB. Peningkatan PDRB tidak mampu mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan karena semakin tinggi PDRB justru meningkatkan pengangguran dan kemiskinan. Sementara itu, PDRB pertanian hanya mampu mengatasi pengangguran, tetapi belum mampu mengatasi kemiskinan. Tenaga kerja yang diserap oleh sektor pertanian menjadi tidak menganggur, tetapi walaupun bekerja tenaga kerja sektor pertanian tetap miskin. Tenaga kerja di sektor pertanian didominasi oleh petani kecil dan buruh tani yang berpenghasilan rendah. Selain itu, produktivitas di sektor pertanian masih rendah karena masih mengandalkan pertanian tradisional. Hal inilah yang menyebabkan petani tetap miskin walaupun sudah bekerja.


(4)

DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL PADA MASA

DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PENGANGGURAN

DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA

PROVINSI JAWA TENGAH

(Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan)

Oleh

IDA NUR’AINI

H14070051

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Ida Nur’aini

Nomor Registrasi Pokok : H14070051 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi :Dampak Kebijakan Fiskal pada Masa Desentralisasi Fiskal terhadap Pengangguran dan Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah (Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan)

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr.Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. NIP. 19620816 198701 2 001

Mengetahui

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP.19641022 198903 1 003


(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN

Bogor, Mei 2011

Ida Nur’aini H14070051


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ida Nur’aini lahir pada tanggal 20 Februari 1989 di Rembang, Jawa Tengah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Drs. Hari Riyadi MM, dan Dra Chotimah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri 2 Rembang, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Rembang dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 1 Rembang dan lulus pada tahun 2007.

Penulis melanjutkan studinya pada tahun 2007 ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di berbagai organisasi, pada tahun 2009 penulis menjadi sekretaris utama Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (DPM FEM) dan pada tahun 2010 menjadi ketua komisi administrasi dan keuangan DPM FEM.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah ”Dampak Kebijakan Fiskal pada Masa Desentralisasi Fiskal Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah (Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan)”. Penulis tertarik dengan isu kebijakan fiskal setelah diberlakukannya desentralisasi fiskal yang diharapkan mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penyusunan skripsi ini tidak dapat lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, perhatian, dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

2. Dr. Muhammad Findi A., M.E. dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi,M.Si. selaku dosen penguji utama dan dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan saran dan kritikan yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.

3. Orang tua penulis, Bapak Hari Riyadi dan Ibu Chotimah serta saudara-saudara penulis Rifky Wirya Amiharja dan Kharisma Nur Anisa. Berkat doa dan dukungan mereka yang sangat besar artinya dalam proses penyelesaian skripsi ini.

4. Para staf BPS Pusat, BPS Jawa Tengah, Pemprov Jawa Tengah dan BPMD Jawa Tengah yang telah memberikan kemudahan dalam memperoleh data penelitian.

5. Pakde Taufik, Pakde Dedy dan Bude Endang yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis.


(9)

6. Sari Rina Fitriyah yang telah banyak membantu penulis dari pengumpulan data sampai penulis menyelesaikan skripsi.

7. Sahabat-sahabat penulis (Riri, Risya, Destia, Winda, Suhaila, Fery, Siska) yang telah memberikan semangat dan tenaganya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

8. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi, FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalankan studi di Departemen Ilmu Ekonomi.

9. Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 44 dan semua pihak yang telah membantu dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

10. Teman-teman di kosan Nabila Cempaka (Yeni, Mia, Alifa, Ika, Ica, Rini, Esti, Pipit, Fifi) atas dukungan semangat kepada penulis

Akhirnya setelah penyelesaian skripsi ini, penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan. Penulis juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempuraan.

Bogor, Mei 2011

Ida Nur’aini H14070051


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ...vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ...10

1.3. Tujuan ...11

1.4. Manfaat Penelitian ...11

1.5. Ruang Lingkup ...12

II. TINJAUAN PUSTAKA ...13

2.1. Tinjauan Teori dan Konsep...13

2.1.1. Kebijakan Fiskal...13

2.1.2. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal ...16

2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi ...22

2.1.4. Pengangguran...24

2.1.5. Kemiskinan ...27

2.1.6. Kaitan Desentralisasi Fiskal dengan Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketenagakerjaan...31

2.2. Penelitian - Penelitian Terdahulu ...33

2.3. Kerangka Pemikiran ...36

2.4. Hipotesis ...39

III. METODE PENELITIAN...42

3.1. Jenis dan Sumber dan Metode Pengumpulan Data ...42

3.2. Metode Analisis Data ...44

3.2.1. Analisis Deskriptif ...44

3.2.2. Model Ekonometrika...44

3.2.2.1. Spesifikasi Model ...45


(11)

3.2.2.3. Identifikasi Model ...50

3.3. Defini Operasional Variabel ...52

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...53

4.1. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah, Perekonomian, Pengangguran dan Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah ...53

4.1.1. Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ...53

4.1.1.1. Penerimaan Pemerintah Daerah ...55

4.1.1.2. Pengeluaran Pemerintah Daerah ...62

4.1.2. Analisis Pertumbuhan Ekonomi ...65

4.1.3. Analisis Ketenagakerjaan ...67

4.1.4. Analisis Kemiskinan ...70

4.2. Hasil Estimasi Model Ekonometrika...73

4.2.1. Keragaan Penerimaan Daerah...73

4.2.1.1. Pajak Daerah ...73

4.2.1.2. Dana Alokasi Umum ...75

4.2.1.3. PAD dan Total Penerimaan Daerah (TPD)...77

4.2.2. Keragaan Pengeluaran Daerah...78

4.2.2.1. Pengeluaran Pemerintah Sektor Pertanian ...79

4.2.2.2. Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan dan Kesehatan ...81

4.2.2.3. Pengeluaran Pemerintah Sektor Lainnya ...82

4.2.3. Keragaan Output ...83

4.2.3.1. PDRB Sektor Pertanian ...83

4.2.3.2. PDRB Sektor Lainnya ...85

4.2.4..Keragaan Pengangguran dan Kemiskinan...86

4.2.4.1. Pengangguran ...86

4.2.4.2. Kemiskinan ...92

4.2.5. Analisis Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Pengangguran dan Kemiskinan ...95

V. KESIMPULAN DAN SARAN ...97


(12)

5.2. Saran ...98 DAFTAR PUSTAKA... 100 LAMPIRAN ... 103


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1 Pertumbuhan PDRB Provinsi Atas Dasar Harga Konstan (Juta

Rupiah) ... 4

1.2 Perbandingan Jumlah Penduduk, Persentase Kemiskinan dan Penganguran Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, 2005-2009... 6

1.3 Perkembangan Dana Perimbangan Provinsi Jawa Tengah (Juta Rupiah) ... 9

3.1. Pengujian Order ... 51

4.1 Rasio Penerimaan terhadap Pengeluaran Provinsi Jawa Tengah... 53

4.2 Realisasi Penerimaan Berdasarkan Komponen Penerimaan ... 56

4.3 Kontribusi PAD terhadap Penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (%) ... 58

4.4 Kontribusi PAD dan Dana Bagi Hasil Terhadap Penerimaan Provinsi Jawa Tengah... 59

4.5 Rasio PAD dan Dana Bagi Hasil Terhadap Penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (%) ... 60

4.6 Rasio DAU terhadap Penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah... 61

4.7 Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Menurut Jenis Belanja ... 62

4.8 Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Menurut Fungsi ... 63

4.9 Belanja Fungsi Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah ... 64

4.10 Perkembangan PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Miliar Rupiah) ... 65

4.11 Distribusi Persentase PDRB Berdasarkan Lapangan Usaha Provinsi Jawa Tengah (%) ... 66

4.12 Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Jawa Tengah (%)... 67

4.13. Perkembangan Persentase Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (%) ... 72 4.14. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pajak Daerah dan Dana 78


(14)

Alokasi Umum ... 4.15. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengeluaran Sektor Pertanian,

Pendidikan dan Kesehatan serta Lainnya ... 79 4.16. Faktor-Faktor yang Memengaruhi PDRBP dan PDRBL ... 86 4.17 Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah ... 91 4.18 Perbandingan PDRB Pertanian dengan Tingkat Kemiskinan di

Kabupaten pada Tahun 2009 ... 93 4.19 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengangguran dan

Kemiskinan ... 94 4.20 Persentase Alokasi Anggaran Sektor Pertanian (%) ... 96


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1. Perbandingan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur, 2005-2009... 6 1.2. Perkembangan Dana Perimbangan Jawa Tengah (Juta Rupiah),

2004-2009 ... 9 2.1. Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Output ... 15 2.2. Fungsi Produksi... 23 2.3. Hubungan Kebijakan Pengeluaran Pemerintah dengan

Permintaan Agregat ... 33 2.4. Kerangka Pemikiran Analisis Kebijakan Fiskal terhadap

Pengangguran dan Kemiskinan... 38 4.1. Persentase Penerimaan Daerah Menurut Jenis Komponen

Penerimaan, 2007-2009 ... 57 4.2. Perkembangan Jumlah Pengangguran di Provinsi Jawa Tengah .... 68 4.3. Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Lapangan Usaha, 2009... 69 4.4. Perkembangan Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah ... 71


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Estimasi Output Persamaan Pajak Daerah... . 103

2. Hasil Estimasi Output Dana Alokasi Umum ... 104

3. Hasil Estimasi Output Persamaan Pengeluaran Pemerintah Sektor Pertanian ... 105

4. Hasil Estimasi Output Persamaan Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan dan Kesehatan ... . 106

5. Hasil Estimasi Output Persamaan Pengeluaran Pemerintah Sektor Lainnya ... 107

6. Hasil Estimasi Output Persamaan PDRB Sektor Pertanian... 108

7. Hasil Estimasi Output Persamaan PDRB Sektor Lainnya... 109

8. Hasil Estimasi Output Persamaan Pengangguran ... ... 110

9. Hasil Estimasi Output Persamaan Kemiskinan... 111

10. Komposisi Penerimaan Pemerintah Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2009 ... 112

11. Belanja Fungsi Pemerintah Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Tengah 2007-2009... 119


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Isu desentralisasi fiskal sedang mendapatkan perhatian pemerintah, masyarakat maupun kalangan akademisi saat ini. Indonesia mulai era baru penyelenggaraan pemerintah pada tanggal 1 Januari 2001 yaitu perubahan sistem pemerintahan dari terpusat (sentralisasi) menjadi desentralisasi. Pada sistem pemerintahan terpusat, pemerintah pusat memiliki peran yang sangat besar dalam seluruh pembangunan daerah. Program - program pembangunan daerah yang dibuat pemerintah pusat harus diterima oleh pemerintah daerah walaupun tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah sehingga akan menyebabkan ketidakefisienan kebijakan. Penyelenggaraan pemerintahan terpusat menyebabkan kurang terlihatnya peran dari pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah.

Sistem pemerintahan sentralistik dipandang sebagai konsekuensi dari negara kesatuan sedangkan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 sangat dijamin hak-hak otonom bahkan hak-hak daerah yang bersifat istimewa. Keanekaragaman budaya, perbedaan kondisi geografis dan kesenjangan tingkat kesejahteraan antar daerah semakin menyulitkan pendekatan sistem pemerintahan sentralistik di Indonesia. Krisis ekonomi tahun 1997 menjadi titik balik perubahan sistem pemerintahan di Indonesia. Krisis ekonomi ini dianggap beberapa ahli sebagai kegagalan pemerintah dalam membaca perubahan dan berbagai kecenderungan global di bidang ekonomi dan keuangan. Penyebabnya adalah


(18)

pemerintah pusat banyak menggunakan waktunya untuk mengurus masalah domestik yang seharusnya dapat diurus oleh pemerintah daerah. Akibatnya pemerintah pusat tidak cukup waktu untuk memperhatikan kecenderungan-kecenderungan global ini dan ini adalah konsekuensi dari penerapan sistem pemerintahan sentralistik (Rasyid, 2005).

Tujuan utama kebijakan desentralisasi 1999 berdasarkan penjelasan di atas adalah memberikan ruang bagi pemerintah pusat untuk fokus pada kebijakan makro yang bersifat strategis dan memberikan kesempatan kepada daerah untuk meningkatkan kemandirian dan kreatifitas. Pemerintah daerah ditantang agar mampu menemukan solusi-solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi oleh daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan solusi dari sistem pemerintahan yang sentralistik untuk mengoptimalkan pembangunan daerah. Otonomi daerah sebagai strategi paling efektif karena pembangunan daerah dilakukan oleh masyarakat lokal yang lebih tahu kebutuhan dan kondisi daerah sehingga menghasilkan kebijakan pembangunan yang efektif.

Pemerintah pusat memberikan kewenangan yang sangat besar kepada daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Hampir seluruh kewenangan diberikan kepada pemerintah daerah kecuali enam bidang yaitu politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, agama, moneter dan fiskal nasional. Menurut Sidik (2003), otonomi daerah merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Pelaksanaan otonomi


(19)

daerah harus didukung dengan kebijakan desentralisasi fiskal agar efektivitas penyelenggaraan pemerintah dapat tercapai.

Kebijakan desentralisasi fiskal bertujuan untuk memampukan keuangan daerah dan memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengelola segala potensi keuangan daerah secara optimal. Penyelenggaraan pembangunan daerah perlu mendapat dukungan pendanaan seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana bagi hasil, pinjaman maupun dana bantuan dari pemerintah pusat. Selama hampir delapan tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia hampir seluruh provinsi di Indonesia mengalami pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) positif. Pencapaian tingkat PDRB merupakan salah satu indikator kemajuan perekonomian suatu daerah.

Pada tabel 1.1. memperlihatkan perkembangan PDRB di tiap provinsi tahun 2004 sampai tahun 2008. Setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal angka pertumbuhan PDRB memiliki kecenderungan meningkat. Pada data ini juga terlihat bahwa Pulau Jawa memiliki angka PDRB paling tinggi diantara semua pulau di Indonesia. Tumbuhnya perekonomian di Pulau Jawa yang lebih cepat dibandingkan dengan daerah lain di luar Pulau Jawa disebabkan karena Pulau Jawa masih menjadi pusat kegiatan ekonomi di Indonesia.

Salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi positif adalah Jawa Tengah. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan PDRB kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama lima tahun terakhir selalu mengalami peningkatan dari 135 Triliun pada tahun 2004 menjadi 167, 7 Triliun pada tahun 2008, tetapi pertumbuhan ekonomi tidak selalu mencerminkan kesejahteraan masyarakat.


(20)

Provinsi Jawa Tengah memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi belum tentu mampu menyelesaikan masalah paling mendasar di daerah yaitu pengangguran dan kemiskinan.

Tabel 1.1. PDRB Provinsi Atas Dasar Harga Konstan (Juta Rupiah)

Provinsi 2004 2005 2006 2007 2008

1. Nanggroe Aceh

Darussalam 40.374.282,31 36.287.915,29 36.853.868,66 35.983.090,79 34.085.478,71 2. Sumatera

Utara 83.328.948,58 87.897.791,21 93.347.404,39 99.792.273,27 106.172.360,10

3. Sumatera

Barat 27.578.136,56 29.159.480,53 30.949.945,10 32.912.968,59 35.007.921,57

4. Riau 75.216.719,28 79.287.586,75 83.370.867,24 86.213.259,46 91.085.381,81

5. Jambi 11.953.885,48 12.619.972,18 13.363.620,73 14.275.161,32 15.296.726,80

6. Sumatera

Selatan 47.344.396,00 49.633.536,00 52.214.848,00 55.262.114,00 58.080.027,00

7. Bengkulu 5.896.253,00 6.239.361,00 6.610.628,00 7.008.964,58 7.354.468,47

8. Lampung 28.262.288,65 29.397.248,40 30.861.360,40 32.694.889,35 34.414.653,24

9. Kepulauan Bangka Belitung

8.414.980,93 8.707.309,00 9.053.553,48 9.464.539,15 9.884.577,83

10. Kepulauan

Riau 28.509.063,10 30.381.500,21 32.441.003,07 34.713.813,64 37.021.427,75

Sumatera 356.878.953,88 369.611.700,57 389.067.099,06 408.321.074,15 428.403.023,28

11. DKI Jakarta 278.524.822,00 295.270.547,00 312.826.712,74 332.971.253,84 353.539.057,43

12. Jawa Barat 230.003.495,86 242.883.881,74 257.499.445,75 274.180.307,83 290.171.128,80

13. Jawa Tengah 135.789.872,31 143.051.213,88 150.682.654,75 159.110.253,77 167.790.369,85

14. DI. Yogyakarta 16.146.423,77 16.910.876,87 17.535.749,31 18.291.511,71 19.208.937,56

15. Jawa Timur 242.228.892,17 256.442.606,28 271.249.316,69 287.814.183,92 304.798.966,41

16. Banten 54.880.406,50 58.106.948,22 61.341.658,64 65.046.775,77 68.830.644,80

Jawa 957.573.912,62 1.012.666.073,99 1.071.135.537,88 1.137.414.286,83 1.204.339.104,86

17. Bali 19.963.243,81 21.072.444,79 22.184.679,28 23.497.047,07 24.900.571,98

Jawa & Bali 977.537.156,42 1.033.738.518,78 1.093.320.217,1 1.160.911.333,9 1.229.239.676,8

18. Kalimantan

Barat 22.483.015,34 23.538.350,41 24.768.374,85 26.260.647,97 27.682.852,51

19. Kalimantan

Tengah 13.253.081,16 14.034.632,14 14.853.726,14 15.754.508,67 16.725.514,29

20. Kalimantan

Selatan 22.171.332,06 23.292.544,50 24.452.264,79 25.922.287,52 27.538.451,50

21. Kalimantan

Timur 91.050.428,92 93.938.002,00 96.612.842,00 98.428.543,00 103.168.022,00

Kalimantan 148.957.857,48 154.803.529,06 160.687.207,78 166.365.987,16 175.114.840,29

22. Sulawesi Utara 12.149.501,26 12.744.549,77 13.473.113,84 14.344.302,42 15.428.425,31

23. Sulawesi

Tengah 10.925.464,69 11.752.235,68 12.671.548,92 13.683.882,46 14.746.021,73

24. Sulawesi

Selatan 34.345.080,50 36.421.787,37 38.867.679,22 41.332.426,29 44.549.824,55

25. Sulawesi

Tenggara 7.480.180,34 8.026.856,22 8.643.330,06 9.331.719,95 10.010.586,35

26. Gorontalo 1.891.763,26 2.027.722,84 2.175.815,19 2.339.217,51 2.520.673,36

27 Sulawesi Barat 2.922.477,60 3.120.765,24 3.321.147,32 3.567.816,14 3.872.522,88

. Sulawesi 69.714.467,66 74.093.917,12 79.152.634,55 84.599.364,77 91.128.054,18

28. Nusa Tenggara Barat

14.928.174,68 15.183.788,94 15.603.774,90 16.369.220,46 16.799.829,81

29. Nusa Tenggara Timur

9.537.095,13 9.867.308,52 10.368.504,89 10.902.404,44 11.426.425,24

30. Maluku 3.101.995,92 3.259.244,35 3.440.114,10 3.633.475,12 3.787.103,94

31. Maluku Utara 2.128.208,25 2.236.803,64 2.359.483,02 2.501.175,13 2.650.760,09

32. Papua Barat 4.969.210,33 5.307.329,12 5.548.900,50 5.934.315,82 6.369.374,22 Papua 16.282.967,57 22.209.192,69 18.402.197,42 19.200.297,43 18.914.877,30

33. Nusa Tenggara,

Maluku & Papua 50.947.651,89 58.063.667,26 55.722.974,84 58.540.888,40 59.948.370,59 Jumlah 33

Provinsi 1.604.036.087,3 1.690.311.332,78 1.777.950.133,3 1.878.738.648,3 1.983.833.965,1


(21)

Kinerja perekonomian Provinsi Jawa Tengah yang diukur dari PDRB secara makro menunjukkan hasil yang baik. Namun, di sisi lain masih ada hal penting yang perlu diperhatikan dalam mengukur keberhasilan suatu perekonomian yaitu pengangguran dan kemiskinan. Masalah pengangguran dan kemiskinan penting untuk diteliti dalam kaitannya dengan kebijakan fiskal dan desentralisasi fiskal. Jika peningkatan PDRB tidak dapat mengatasi pengangguran dan kemiskinan maka pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan untuk menciptakan PDRB yang menyentuh langsung kepada masyarakat. Perekonomian bukan hanya semata-mata untuk meningkatkan PDRB, tetapi juga memberikan dampak nyata bagi masyarakat yaitu keluar dari kemiskinan dan memiliki penghasilan yang layak untuk dapat hidup sejahtera.

Pengangguran dan kemiskinan merupakan masalah mendasar yang harus diatasi untuk mencegah dampak sosial yang lebih besar. Dampak sosial yang ditimbulkan seperti tingkat kejahatan yang terus meningkat karena orang berusaha mencari cara untuk memenuhi kebutuhan hidup. Rasa aman masyarakat pun akan terganggu dan pada akhirnya akan menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dampak terbesar yang ditimbulkan adalah krisis politik sehingga berdampak pada kepercayaan dunia terhadap negara. Begitu besarnya dampak yang akan ditimbulkan apabila masalah pengangguran dan kemiskinan tidak dapat diatasi mengharuskan pemerintah untuk mencari solusi terhadap kedua masalah ini.

Pada Tabel 1.2. dan Gambar 1.1., Provinsi Jawa Tengah yang memiliki jumlah penduduk terbanyak ketiga di Indonesia setelah Provinsi Jawa Barat dan


(22)

Provinsi Jawa Timur memiliki tingkat kemiskinan paling tinggi di Pulau Jawa. Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia memiliki jumlah penduduk miskin ketiga setelah Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur. Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah memang memiliki tren menurun, tetapi masih belum dapat mengubah posisi jumlah penduduk miskin terbanyak di Pulau Jawa.

Tabel 1.2. Perbandingan Jumlah Penduduk, Persentase Kemiskinan dan Penganguran Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur

Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009

Jawa Tengah 32.908.850 32.177.730 32.380.279 32.626.390 32.864.563 Jawa Barat 39.960.869 40.737.594 41.483.729 42.194.869 42.693.951 Jawa Timur 36.481.779 36.390.600 36.895.571 37.094.836 37.286.246 Sumber : BPS, 2005-2009.

Sumber : BPS, 2005-2009.

Gambar 1.1. Perbandingan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur Tahun 2005-2009

Kemiskinan akan berpengaruh pada indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan pendapatan. Menurut penelitian dari

0% 5% 10% 15% 20% 25%

2005 2006 2007 2008 2009

Jawa Tengah Jawa Barat Jawa Timur


(23)

Blank and Card (1993) pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat di masa kini menjadi tidak sensitif dengan kemiskinan artinya tidak mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap pengurangan kemiskinan. Jika dibandingkan dengan kondisi di tahun 1960an. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih belum berkualitas karena belum mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari kesenjangan pertumbuhan sektoral yang semakin besar antara sektor perdagangan, komunikasi dan jasa dengan sektor riil (pertanian, manufaktur, pertambangan). Sektor non riil tumbuh sangat cepat dan pertumbuhannya selalu lebih tinggi dari PDB sedangkan sektor riil yang mampu menyerap banyak tenaga kerja malah tumbuh lambat (BPS, 2009).

Pengangguran merupakan pangkal persoalan terciptanya kemiskinan. Ketika individu tidak memiliki pendapatan maka tidak akan mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari desentralisasi fiskal seharusnya mampu menyerap banyak tenaga kerja. Semakin besar kegiatan ekonomi maka tenaga kerja yang dibutuhkan juga akan semakin besar. Pada tahun 2001 jumlah pengangguran terbuka di Provinsi Jawa Tengah sebesar 3,70 persen, jumlahnya menurun pada awal penerapan desentralisasi fiskal. Walaupun di tahun-tahun tertentu mengalami penurunan jumlah pengangguran, kecenderungan mengarah pada peningkatan. Pada tahun 2009 jumlah pengangguran di Jawa Tengah mencapai 7,33 persen. Tren kenaikan ini salah satunya diakibatkan karena pertumbuhan penduduk yang tinggi sementara lapangan pekerjaan yang tersedia tidak mampu menyesuaikan dengan cepat terhadap semakin bertambahnya angkatan kerja.


(24)

Pelaksanaan desentralisasi fiskal diharapkan lebih mendekati keinginan masyarakat dan mampu meningkatkan perekonomian daerah. Penyelenggaraan desentralisasi fiskal diatur dalam Undang-Undang Otonomi Daerah yang terdiri dari Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Undang - Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan. Desentralisasi fiskal yang diatur oleh Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menegaskan bahwa penyerahan wewenang pelaksanaan pemerintahan ini dilakukan dengan tujuan agar pemerintah dapat melakukan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, pemerintah daerah dapat mengembangkan perekonomian daerah sesuai dengan potensi daerah masing-masing. Penyerahan wewenang kepada pemerintah daerah juga merubah secara fundamental tentang pengelolaan keuangan negara.

Pemerintah pusat harus menyalurkan dana kepada pemerintah daerah sebagai konsekuensi dari penyerahan wewenang tersebut. Transfer dana ke daerah dari tahun ke tahun semakin meningkat yang secara otomatis meningkatkan peran pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. Transfer dana sebagai bentuk koordinasi keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dikenal dengan dana perimbangan yang dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan dana bagi hasil. Pemerintah daerah diharapkan mampu mengalokasikan anggaran yang sangat besar tersebut secara bijaksana melalui kebijakan fiskal.


(25)

Tabel 1.3. Perkembangan Dana Perimbangan Provinsi Jawa Tengah (Juta Rupiah)

2004 2005 2006 2007 2008 2009

DAU

9.541.771 9.951.345 14.959.952 16.334.593 17.805.526 18.183.827 DAK

208.983 295.970 895.974 1.273.938 1.647.883 1.966.734 DBHPBP

945.548 994.383 824.003 943.705 1.679.241 1.536.385 Sumber : BPS, 2004-2009.

Sumber : BPS, 2004-2009 (Diolah).

Gambar 1.2. Perkembangan Dana Perimbangan Jawa Tengah (Juta Rupiah), 2004-2009

Pada Tabel 1.3. dan Gambar 1.2. terlihat bahwa setiap tahun dana perimbangan Provinsi Jawa Tengah selalu mengalami peningkatan sehingga penerimaan daerah pun terus meningkat dan dapat digunakan untuk kegiatan yang mampu menggerakkan perekonomian daerah terutama melalui kebijakan fiskal yang sudah didesentralisasikan. Kebijakan fiskal daerah diarahkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah masing-masing.

Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan akhir desentralisasi fiskal. Dari data-data ekonomi dan sosial yang telah diuraikan di atas, peneliti ingin meneliti hubungan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari desentralisasi fiskal di Provinsi Jawa Tengah dengan berbagai variabel ekonomi dan sosial serta

0 5,000,000 10,000,000 15,000,000 20,000,000

2004 2005 2006 2007 2008 2009

DAU DAK BHPBP


(26)

bagaimana kebijakan fiskal diarahkan untuk memacu pertumbuhan sektor riil yaitu sektor pertanian yang dapat menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi kemiskinan.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, desentralisasi fiskal diharapkan akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengoptimalkan segala potensi-potensi ekonomi di daerah dan menggali potensi keuangan daerah. Kebijakan fiskal memegang peranan penting dalam desentralisasi fiskal terkait dengan pengalokasian pengeluaran pemerintah terhadap sektor-sektor unggulan daerah. Selain itu, pemerintah daerah juga wajib meningkatkan penerimaan daerah untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin meningkat tiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan sejak desentralisasi fiskal seharusnya mampu membuka lapangan kerja bagi masyarakat daerah dan meningkatkan taraf hidup masyarakat daerah . Pada akhirnya desentralisasi fiskal akan mampu mengatasi segala permasalahan ekonomi dan sosial masyarakat daerah. Berdasarkan penjelasan tersebut maka perumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kinerja keuangan pemerintah daerah, perekonomian, pengangguran dan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah pada masa desentralisasi fiskal?

2. Bagaimana dampak kebijakan fiskal terhadap pengangguran dan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah?


(27)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah, perekonomian,

pengangguran dan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah pada masa desentralisasi fiskal?

2. Menganalisis dampak kebijakan fiskal terhadap pengangguran dan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah?

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak, baik bagi peneliti, kalangan akademis, pemerintah dan masyarakat Jawa Tengah khususnya.

1. Bagi peneliti, mengaplikasikan ilmu yang didapat selama kuliah serta mampu memberikan kontribusi pemikiran bagi pengambil keputusan dalam pemerintahan pada khususnya.

2. Bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan terkait kebijakan fiskal daerah guna mengatasi pengangguran dan kemiskinan di Provinsi Jawa tengah.

3. Bagi kalangan akademisi, dapat melakukan penelitian lanjutan yang lebih mendalam terhadap permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.


(28)

4. Bagi masyarakat dan pembaca pada umumnya, memperoleh informasi tentang desentralisasi fiskal dan sebagai media untuk mengawasi kinerja pemerintah.

1.5. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis peran kebijakan fiskal terhadap kinerja perekonomian yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) serta dampaknya terhadap pengangguran dan kemiskinan di daerah. Ruang lingkup wilayah penelitian adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Tahun analisis yang digunakan dimulai dari tahun 2007 sampai 2009. Alasan pemilihan tahun analisis adalah untuk melihat kinerja perekonomian setelah enam tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal. Selain itu berbagai kendala dalam memperoleh data yang akan dipakai karena perubahan definisi dan format statistik keuangan.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori dan Konsep 2.1.1. Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal adalah kebijakan penyesuaian di bidang pengeluaran dan penerimaan untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Kebijakan ekonomi diharapkan mengarah pada kondisi perekonomian yang lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Pemahaman lain dari kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dengan menggunakan belanja negara dan perpajakan dalam rangka menstabilkan perekonomian. Menurut John. F. Due (1968) dalam buku Pengantar Kebijakan Fiskal (2010) disebutkan bahwa kebijakan fiskal sebenarnya ditujukan untuk tiga hal, antara lain ; menjamin pertumbuhan perekonomian yang sebenar-benarnya menyamai laju pertumbuhan potensial, dengan mempertahankan kesempatan kerja yang penuh, mencapai suatu tingkat harga umum yang stabil dan wajar, dan meningkatkan laju pertumbuhan potensial tanpa mengganggu pencapaian tujuan-tujuan lain dari masyarakat.

Dari penjelasan diatas maka secara umum tujuan dari kebijakan fiskal menurut John F. Due (1968) adalah :

1. Meningkatkan produksi nasional (PDB) dan pertumbuhan ekonomi atau memperbaiki keadaan ekonomi.

2. Memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran atau mengusahakan kesempatan kerja dan menstabilkan harga-harga secara umum. 3. Mengatasi inflasi


(30)

Kebijakan fiskal mengusahakan peningkatan kemampuan pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara menyesuaikan pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Pengeluaran negara jika ditinjau dari berbagai segi adalah sebagai berikut :

1. Pengeluaran yang merupakan investasi, yaitu yang menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi pada masa yang akan datang.

2. Pengeluaran yang secara langsung dapat memberikan kegembiraan dan kesejahteraan kepada masyarakat.

3. Pengeluaran yang merupakan pengehematan untuk pengeluaran yang akan datang.

4. Pengeluaran untuk menyediakan kesempaan kerja yang lebih banyak dan penyebaran tenaga kerja yang lebih luas.

Dalam teori ekonomi, pada saat perekonomian berada dalam keseimbangan, diasumsikan bahwa pengeluaran aktual sama dengan pengeluaran yang direncanakan. Kondisi keseimbangan dapat ditulis sebagai berikut :

Pengeluaran aktual = Pengeluaran yang direncanakan Y = AE

Kebijakan fiskal melalui peningkatan pengeluaran pemerintah (Δ G) menyebabkan bergesernya keseimbangan dari titik A ke titik B dan output akan meningkat sebesar Δ Y (Gambar 2.1.). Dengan demikian kebijakan fiskal memiliki dampak terhadap output. Peningkatan output diharapkan akan meningkatkan permintaan tenaga kerja karena tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang mempengaruhi besar kecilnya output yang dihasilkan.


(31)

Tenaga kerja yang diserap dari semakin banyaknya output ini diharapkan akan mengurangi jumlah pengangguran.

AE Y = AE = C + I + G + Nx

B AE1= C1+ I1+ G1+ Nx1

Δ G AE0= C0+ I0+ G0+ Nx0

A

Y0 Δ Y Y1 Y

Sumber : Mankiw,2003

Gambar 2.1. Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Output

Kebijakan fiskal pada masa otonomi daerah memiliki perbedaan dengan kebijakan otonomi sebelum otonomi daerah. Pada saat sebelum otonomi daerah diberlakukan, kebijakan fiskal daerah sudah ditentukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya tinggal melaksanakan semua kebijakan tersebut. Setelah otonomi daerah, pemerintah pusat menyerahkan banyak kewenangan kepada pemerintah daerah termasuk pengelolaan keuangan. Kebijakan fiskal nasional tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Dana perimbangan disalurkan oleh pemerintah pusat dalam jumlah yang besar untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola dana perimbangan dan dana yang diusahakan sendiri oleh pemerintah daerah melalui kebijakan fiskal daerah.

Pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh terhadap perekonomian masyarakat. Ada beberapa sektor perekonomian yang terpengaruh karena


(32)

pengeluaran pemerintah dalam kebijakan fiskal daerah antara lain sektor produksi, sektor konsumsi masyarakat dan keseimbangan perekonomian. Pada sektor produksi, pengeluaran pemerintah dapat menunjang tersedianya faktor-faktor produksi seperti modal dan tenaga kerja. Misal pengeluaran pemerintah sektor pendidikan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terdidik. Sumber daya manusia yang terdidik itu memperbesar faktor produksi yang berupa tenaga kerja yang dapat dimanfaatkan oleh sektor produksi.

Pada sektor distribusi, pengeluaran negara akan berpengaruh baik itu secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi distribusi barang dan jasa. Misal pengeluaran pemerintah untuk subsidi barang dan jasa akan mempermudah masyarakat yang berdaya beli rendah menjadi mudah untuk memperoleh barang dan jasa tertentu. Di sektor konsumsi, pengeluaran pemerintah dapat mengubah atau memperbaiki pola dan tingkat konsumen masyarakat terhadap barang dan jasa yang disediakan langsung oleh pemerintah maupun mekanisme pasar. Misal penambahan penyediaan barang yang bersifat kolektif maupun barang-barang lain yang harganya disubsidi oleh pemerintah.

2.1.2. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Visi otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi terutama dalam bidang politik, ekonomi serta sosial dan budaya. Dalam bidang politik otonomi daerah adalah hasil dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi.


(33)

Memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas. Di bidang ekonomi, otonomi daerah membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan ekonomi regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Di bidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus dikelola dengan baik demi menciptakan dan memelihara kehidupan sosial serta nilai-nilai lokal.

Pemerintahan daerah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sedangkan perimbangan keuangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Berdasarkan dari kedua Undang-Undang otonomi daerah di atas, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Pemerintah daerah yang dimaksud adalah pemerintahan daerah provinsi yang terdiri dari pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi serta pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri dari pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Penyelenggaran urusan pemerintahan yang bersifat wajib berpedoman pada standar pelayanan minimal. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah mengatur


(34)

kewenangan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pelayanan kependudukan dan catatan sipil, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi dan tenaga kerja serta urusan wajib lainnya.

Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Hak dan kewajiban daerah yang timbul karena adanya otonomi daerah diwujudkan dengan rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan daerah. Pemerintah daerah memiliki kewenangan seluas-luasnya untuk menggali potensi keuangan daerah masing-masing dalam penyelenggaraan desentralisasi fiskal asal tidak melanggar peraturan yang ada.

Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal harus memperhatikan prinsip money follow function artinya setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Perlimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah mengindikasikan kecenderungan semakin besar biaya yang


(35)

dibutuhkan oleh pemerintah daerah. Semakin besar biaya yang dikelola membuat tanggung jawab pemerintah daerah semakin besar pula.

Komponen dana perimbangan merupakan sumber penerimaan daerah yang penting pada pelaksanaan desentralisasi fiskal yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hubungan keuangan pusat dan daerah merupakan suatu mekanisme distribusi sejumlah dana anggaran dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang merupakan konsekuensi dari pelimpahan kewenangan ke daerah. Dana perimbangan terdiri atas sebagai berikut :

1. Dana bagi hasil, terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), PPh perorangan, dan penerimaan dari sumber daya alam, yakni minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan. Penetapan bagi hasil pajak dan bukan pajak didasarkan pada persentase yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat yang diatur dalan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

2. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kegiatan daerah.

3. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang dialokasikan dari APBN untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan menjadi prioritas nasional.

Dalam pelaksanaan pemerintahan suatu negara pada dasarnya memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi.


(36)

Fungsi alokasi meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan terhadap masyarakat. Fungsi alokasi tercermin dari pengeluaran pemerintah dimana sangat menentukan keberpihakan pemerintah daerah kepada sektor-sektor yang menjadi sektor unggulan yang mampu menjadi roda perekonomian daerah. Fungsi distribusi terkait dengan pendapatan dan kekayaan masyarakat serta pemerataan pembangunan. Ketiga, fungsi stabilisasi yang meliputi stabilisasi pertahanan dan keamanan, stabilisasi ekonomi dan moneter dan lain-lain. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, fungsi distribusi dan stabilisasi biasanya lebih tepat bila dilakukan oleh pemerintah pusat sedangkan fungsi alokasi lebih efektif dilakukan oleh pemerintah daerah.

Ada dua asumsi yang setidaknya harus ada dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal (Tiebot 1956), antara lain :

1. Desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi ekonomi pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat. Kebutuhan masyarakat daerah dapat dengan cepat disediakan oleh pemerintah daerah.

2. Perpindahan penduduk akan membuat pemerintah daerah berkompetisi untuk menyediakan pelayanan barang publik sesuai dengan keinginan masyarakat agar masyarakat tidak meninggalkan daerah serta menarik penduduk lain untuk datang ke suatu daerah. Perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain menandakan preferensi masyarakat akan barang publik. Tiebout menilai bahwa pemerintah daerah harus berkompetisi agar dapat meningkatkan pelayanan publik.


(37)

Otonomi daerah bukan tanpa konsekuensi negatif. Seiring berjalannya pelaksanaan desentralisasi fiskal ada beberapa dampak negatif yang timbul antara lain :

1. Integrasi Nasional

Otonomi daerah memiliki potensi besar mengancam integrasi nasional. Kesenjangan sosial dan ekonomi antar daerah menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial antar daerah.

2. Primordialisme

Kecenderungan beberapa daerah untuk mengutamakan putra daerah dalam proses rekrutmen untuk jabatan-jabatan pemerintahan. Apabila promodialisme ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan mengganggu berjalannya otonomi daerah secara sehat. Jabatan-jabatan yang membutuhkan keahlian tertentu mungkin akan diisi oleh orang yang tidak mempunyai kualifikasi dalam bidang tertentu karena orang yang memiliki kualifikasi dikalahkan oleh pertimbangan primordialisme. Seharusnya otonomi daerah mampu didefinisikan secara tepat oleh pemimpin daerah sehingga tidak merugikan rakyat.

3. Otonomi Bertingkat

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah memiliki kelemahan karena secara eksplisit dijelaskan bahwa tidak ada hubungan hirarkis antara provinsi dengan kabupaten dan kota. Hal ini mengakibatkan bupati dan walikota merasa tidak punya kepentingan dengan gubernur. Tidak berjalannya koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota


(38)

tentu akan menghambat berjalannya pemerintahan secara sinergis di tingkat nasional. Kelemahan ini disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Mankiw (2003), Ukuran pertumbuhan ekonomi yang biasa digunakan adalah produk domestik bruto (PDB). Semakin tinggi PDB maka dapat disimpulkan bahwa negara tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi. PDB mengukur output barang dan jasa serta pendapatan total suatu negara. PDB yang besar tidak menjamin kebahagiaan seluruh penduduk suatu negara, tetapi menjadi variabel makroekonomi yang mampu menggambarkan keadaan ekonomi suatu negara.

Dalam perekonomian, PDB dihitung dengan cara menjumlahkan seluruh barang dan jasa yang dihasilkan dengan harga barang dan jasa tersebut. Harga yang digunakan untuk mengukur PDB ada dua yaitu dihitung dengan harga berlaku dan harga konstan. Nilai barang dan jasa yang diukur dengan harga berlaku disebut dengan PDB nominal. Ukuran PDB nominal tidak mampu mencerminkan sejauh mana perekonomian mampu memuaskan permintaan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah. Hal ini karena kenaikan PDB tidak hanya diakibatkan karena terjadi peningkatan barang dan jasa yang dihasilkan. Akan tetapi dapat terjadi karena ada kenaikan harga tiap tahunnya.

Ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik akan menghitung barang dan jasa yang dihasilkan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan harga. Nilai barang dan jasa yang diukur dengan menggunakan harga konstan yaitu PDB riil.


(39)

PDB riil menunjukkan apa yang akan terjadi terhadap pengeluaran atas output jika jumlah berubah tetapi harga tetap. Karena harga dipertahankan konstan, maka PDB riil akan bervariasi dari tahun ke tahun hanya jika jumlah yang diproduksi berbeda. Kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sangat bergantung pada barang dan jasa yang diproduksi. Hal inilah yang menyebabkan PDB riil memberikan ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik daripada PDB nomial.

Output barang dan jasa suatu perekonomian (PDB) bergantung pada jumlah input, yang disebut faktor-faktor produksi dan kemampuan untuk mengubah input menjadi output. Faktor produksi adalah input yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa. Dua faktor produksi yang paling penting adalah modal dan tenaga kerja. Modal adalah seperangkat sarana yang dipergunakan oleh para pekerja. Tenaga kerja adalah orang yang bekerja pada waktu tertentu. Sedangkan fungsi produksi mencerminkan teknologi yang digunakan untuk mengubah modal dan tenaga kerja menjadi output.

Output, Y

F (K,L) MPL

Tenaga Kerja, L Sumber : Mankiw, 2003


(40)

Pada Gambar 2.2. memperlihatkan fungsi produksi untuk memperlihatkan produk marginal tenaga kerja (marginal product of labor, MPL). Output tergantung pada pada input tenaga kerja dengan menganggap modal tetap. MPL adalah perubahan output ketika input tenaga kerja ditambah 1 unit.

Model pertumbuhan Solow (Solow growth model) merupakan salah satu teori pertumbuhan ekonomi yang mampu menjelaskan bagaimana perekonomian berproduksi dan menggunakan outputnya pada waktu tertentu. Model pertumbuhan Solow menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian dan pengaruhnya terhadap output barang dan jasa di suatu negara. Penawaran dan permintaan terhadap barang memiliki peran penting dalam model pertumbuhan Solow. Dengan melihat penawaran dan permintaan terhadap barang, maka dapat ditentukan banyaknya output yang diproduksi pada waktu tertentu.

Penawaran barang dalam model Solow berdasarkan pada fungsi produksi yang menyatakan bahwa output (Y) bergantung pada persediaan modal (K) dan angkatan kerja (L) seperti yang ditunjukkan oleh persamaan 2.1. sebagai berikut :

Y = F(K,L) (2.1.)

Pada model pertumbuhan Solow diasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan atau skala hasil konstan (constant return to scale).

2.1.4. Pengangguran

Pengangguran merupakan masalah yang akan selalu ada di negara berkembang, termasuk Indonesia. Masalah kependudukan menjadi persoalan penting, laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menuntut penyediaan


(41)

lapangan pekerjaan setiap tahunnya. Apabila pemerintah tidak mampu untuk menyediakan lapangan pekerjaan seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka akan menimbulkan masalah sosial lain seperti kemiskinan terus meningkat karena penduduk tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, selanjutnya akan berdampak pada meningkatnya tingkat kejahatan dan masalah sosial lainnya.

Pengangguran dari sisi ekonomi merupakan produk dan ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia. Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas tidak mampu menyerap tenaga kerja yang senantiasa bertambah tiap tahunnya seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk (BPS,2007). BPS membagi pengangguran berdasarkan penyebabnya, pada dasarnya hampir sama dengan pengangguran dilihat dari perspektif ekonomi tetapi definisi dari BPS lebih mudah dipahami. Berikut adalah beberapa jenis pengangguran dikelompokkan berdasarkan penyebabnya :

1. Pengangguran struktural yaitu pengangguran yang terjadi karena adanya perubahan dalam struktur perekonomian. Penduduk tidak mempunyai keahlian yang cukup untuk memasuki sektor baru sehingga menganggur. Contoh petani menganggur karena daerahnya berubah menjadi daerah industri.

2. Pengangguran siklus adalah pengangguran yang terjadi karena menurunnya kegiatan perekonomian sehingga menyebabkan berkurangnya permintaan tenaga kerja.


(42)

3. Pengangguran musiman adalah pengangguran yang terjadi karena adanya pergantian musim misalnya pergantian musim tanam ke musim panen.

4. Pengangguran friksional adalah pengangguran yang muncul akibat adanya ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja.

5. Pengangguran teknologi adalah pengangguran yang terjadi karena adanya penggunaan alat-alat teknologi yang semakin modern yang menggantikan tenaga kerja manusia.

Perdebatan para ahli ekonomi tentang faktor-faktor yang menyebabkan pengangguran masih selalu ada karena perbedaan kondisi masyarakat di suatu masing-masing negara.

Kekakuan upah merupakan hal sering terjadi di pasar tenaga kerja, biasanya pada pasar tenaga kerja yang dipengaruhi oleh serikat kerja upah akan lebih kaku lagi. Upah ditetapkan untuk periode waktu tertentu tanpa penyesuaian sesuai dengan kesepakatan antara serikat pekerja dan perusahaan. Misalnya dalam waktu tiga tahun upah telah ditetapkan dan tidak akan dilakukan penyesuaian walaupun terjadi kelebihan penawaran maupun penawaran pada jenis pekerjaan tertentu. Teori kekakuan upah dan pengangguran terpaksa menyatakan bahwa penyesuaian upah yang amat lamban menimbulkan kelebihan maupun kekurangan dalam masing-masing pasar tenaga kerja.

Ada beberapa konsep pengangguran menurut BPS, antara lain pengangguran terbuka dan pengangguran setengah terbuka. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep pengangguran terbuka. Pengangguran terbuka (open unemployment) adalah orang yang masuk dalam


(43)

angkatan kerja (15 tahun keatas) yang sedang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (sebelumnya dikategorikan sebagai bukan angkatan kerja), dan yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (sebelumnya dikategorikan sebagai bekerja), dan pada saat yang bersamaan mereka tidak bekerja (jobless). Pengangguran dengan definisi di atas disebut dengan pengangguran terbuka.

Tingkat pengangguran terbuka dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

TPT = (UE/AK)*100% (2.2)

dimana :

UE = jumlah orang usia kerja yang tidak berkerja AK = total angkatan kerja

Selain pengangguran terbuka, juga dikenal istilah pengangguran setengah terbuka (Under Unemployment) yaitu tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu.

2.1.5. Kemiskinan

Masalah kemiskinan merupakan masalah yang akan selalu ada di setiap negara terutama negara berkembang seperti Indonesia. Indikator kemiskinan di setiap negara berbeda-beda, kemiskinan yang ada di negara maju akan berbeda definisi dengan kemiskinan di Indonesia sehingga penanganan kemiskinan di setiap negara pun pasti berbeda. Dimensi kemiskinan mencakup empat hal pokok, yaitu kurangnya kesempatan, rendahnya kemampuan, kurangnya jaminan dan


(44)

ketidakberdayaan. Kemiskinan juga terkait dengan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan politik bahkan pada akhirnya kemiskinan akan menimbulkan masalah sosial dan politik. Penanggulangan kemiskinan di Indonesia harus tepat sasaran sehingga langkah awal yang dilakukan oleh pemerintah adalah menerjemahkan definisi dan konsep kemiskinan.

Menurut BPS, kemiskinan merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. BPS melihat kemiskinan dari pengeluaran suatu rumah tangga untuk membelanjakan komoditi pokok makanan dan non makanan. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen yaitu garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan, penduduk miskin diartikan sebagai penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Garis kemiskinan makanan adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari. Komoditi kebutuhan terdiri atas 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak dll). Garis kemiskinan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan. Berdasarkan komposisi pengeluaran konsumsi penduduk, dapat dihitung besarnya kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen. Indikator kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut berdasarkan Suvei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) :


(45)

1. Pangan, dinyatakan dengan kebutuhan gizi minimum yaitu perkiraan kalori dan protein.

2. Sandang, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan pakaian, alas kaki, dan tutup kepala.

3. Perumahan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk sewa rumah, listrik, minyak tanah, kayu bakar, arang dan air.

4. Pendidikan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan biaya sekolah (uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis, dan buku). 5. Kesehatan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk

penyediaan obatan di rumah, ongkos dokter, perawatan, termasuk obat-obatan.

Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembanglan kehidupan yang bermartabat (Bappenas, 2004) . Hak-hak dasar antara lain (a) terpenuhinya kebutuhan pangan, (b) kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, (c) rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, (d) hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.

Jenis-jenis Kemiskinan adalah sebagai berikut : 1. Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan.


(46)

2. Kemiskinan absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan dasar minimum seperti pangan, perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan dasar minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang dan nilainya dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang memiliki rata-rata pendapatan/pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin.

Terminologi kemiskinan yang lain adalah kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan. Tatanan tersebut tidak hanya menciptakan kemiskinan tetapi juga membuat kemiskinan tetap langgeng di dalam masyarakat. Kemiskinan struktural tidak disebabkan oleh sebab-sebab alami atau sebab-sebab pribadi melainkan oleh sebab tatanan sosial yang tidak adil. Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidupnya karena tatanan sosial yang tidak adil ini sehingga menjadi serba kekurangan dan miskin.

Kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap menjadi miskin. Padahal seharusnya kemiskinan tersebut dapat dikurangi dengan mengabaikan faktor-faktor adat yang menghalangi seseorang melakukan perubahan ke tingkat kehidupan yang lebih baik lagi. Kemiskinan kultural biasanya dialami oleh suku-suku pedalaman di Indonesia seperti yang terjadi dengan suku-suku Badui dan suku-suku Dayak.


(47)

2.1.6. Kaitan Kebijakan Fiskal dengan Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketenagakerjaan

Desentralisasi fiskal diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pada akhirnya mampu mengurangi jumlah orang miskin di Indonesia. Ravallion dan Datt (1996) dalam BPS (2009) melakukan studi dengan menggunakan kasus India mendapatkan hasil bahwa pertumbuhan output di sektor-sektor primer (pertanian) jauh lebih efektif terhadap penurunan kemiskinan dibandingkan sektor-sektor sekunder. Kakwani (2001) dalam BPS (2009) juga menyimpulkan hasil penelitiannya di Filipina bahwa peningkatan 1 persen output di sektor pertanian dapat mengurangi jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sedikit di atas 1 persen. Sebaliknya peningkatan 1 persen output di sektor industri dan jasa hanya mengakibatkan pengurangan kemiskinan sekitar 0,25–0,30 persen.

Berdasarkan penelitian di dua negara ASEAN yang merupakan negara berkembang bahwa pertumbuhan ekonomi harus ditopang oleh sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja secara efektif yaitu sektor primer. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu mampu mengurangi kemiskinan secara efektif karena berbagai alasan sebagai berikut (Rajasa, 2007) :

1. Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh sektor-sektor yang memiliki elastisitas lapangan kerja rendah sehingga tidak mampu mengatasi masalah kemiskinan. Keberpihakan pada sektor-sektor tertentu walaupun tidak mampu menyerap tenaga kerja yang banyak akan menghambat berkembangnya sektor-sektor yang seharusnya mampu membuka peluang kesempatan kerja yang lebih banyak.


(48)

2. Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh industri milik negara yang memiliki proteksi dari pemerintah. Pertumbuhan ekonomi seperti ini tidak menjamin dapat mengurangi kemiskinan secara signifikan.

3. Pertumbuhan ekonomi dengan ditopang oleh industri canggih justru akan berpotensi memperparah kemiskinan dan pengangguran jika struktur tenaga kerja yang ada didominasi oleh tenaga kerja berkemampuan rendah.

4. Pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh kekuatan ekonomi yang terkonsentrasi.

Teori ekonomi tentang kaitan antara kebijakan fiskal dengan pertumbuhan ekonomi dapat dilihat melalui Gambar 2.3. dimana kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah (Δ G) menggeser AE ke atas sehingga keseimbangan bergeser dari titik A ke titik B dan meningkatkan output sebesar Δ Y. Kurva yang menunjukkan pengeluaran pemerintah ini berhubungan dengan kurva permintaan dan penawaran agregat.

Pengeluaran pemerintah akan meningkatkan permintaan agregat terhadap sehingga meningkatkan output sebesar Δ Y. Pertumbuhan ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan PDB atau PDRB. Apabila pada periode awal (t=0) output (PDB) sebesar Y0,maka pertumbuhan ekonomi terjadi

apabila pada periode berikutnya menghasilkan output sebesar Y1. Peningkatan

output ini diharapkan akan meningkatkan jumlah tenaga kerja yang digunakan sebagai salah satu faktor produksi yang memengaruhi output. Dengan diserapnya tenaga kerja maka akan mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan.


(49)

Pengeluaran, AE AE = Y

AE1= C1+ I1+ G1+ Nx1

B Δ G

AE0= C0+ I0+ G0+ Nx0

A

Δ Y Output, Y

Y0 Y1

Harga,P

AD1

AD0

Output, Y

Y0 Y1

Sumber : Mankiw,2003

Gambar 2.3. Hubungan Kebijakan Pengeluaran Pemerintah dengan Permintaan Agregat

2.2. Penelitian Terdahulu

Yudhoyono (2004) melakukan penelitian tentang dampak penerapan kebijakan fiskal (pengeluaran dan penerimaan) terhadap pengangguran dan kemiskinan menggunakan pendekatan ekonometrika dengan membangun model sistem persamaan simultan yang terdiri dari 22 persamaan struktural dan 9 persamaan identitas. Model diduga dengan persamaan 2SLS kemudian hasil pendugaan parameter digunakan untuk melakukan simulasi skenario-skenario


(50)

kebijakan yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rejim pemerintahan berpengaruh nyata terhadap kinerja perekonomian. Pemerintahan orde baru cenderung menurunkan PDB dan mengakibatkan kemiskinan meningkat. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran.

Fakhru (2007) melakukan penelitian tentang dampak otonomi daerah terhadap pengurangan kemiskinan dengan studi kasus Provinsi Riau. Hasil dari penelitian adalah tingkat kesejahteraan masyarakat Riau terus mengalami peningkatan, kinerja fiskal dan perekonomian daerah serta penurunan tingkat kemiskinan. Kebijakan yang menyentuh langsung dengan rakyat miskin seperti pembukaan lapangan pekerjaan, peningkatan upah, bantuan dan subsidi yang diberikan kepada penduduk miskin langsung maupun tidak langsung berpengaruh signifikan dalam mengurangi kemiskinan di perkotaan maupun di pedesaan.

Hasugian (2006) melakukan penelitian tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan daerah dan kemiskinan di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan tingkat kemandirian daerah sesudah desentralisasi fiskal yang ditunjukkan dengan menurunnya rasio PAD dan meningkatnya Dana Alokasi Umum (DAU). Laju kemiskinan di kabupaten dan kota sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal menunjukkan kenaikan dan penurunan jumlah atau cenderung berfluktuasi.

Sasana (2009) melakukan penelitian peran desentralisasi fiskal terhadap kinerja ekonomi di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. Dari penelitian tersebut


(51)

didapatkan kesimpulan bahwa desentralisasi fiskal memiliki pengaruh positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah kabupaten/kota. Pertumbuhan ekonomi positif ini memengaruhi penyerapan tenaga kerja dan pada akhirnya akan menurunkan tingkat kemiskinan.

Waluyo (2007) melakukan studi tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan antardaerah di Indonesia. Asumsi utama yang digunakan adalah tidak ada keterkaitan antar daerah. Hasil yang didapat adalah desentralisasi fiskal mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi relatif tinggi di daerah pusat bisnis dan daerah yang kaya dengan sumber daya alam daripada daerah yang bukan pusat bisnis dan miskin sumber daya alam. Di samping itu desentralisasi fiskal akan berdampak mengurangi ketimpangan pendapatan antardaerah antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Namun demikian dampak desentralisasi fiskal untuk mengurangi kesenjangan antar daerah lebih terasa di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dibandingkan Kawasan Barat Indonesia (KBI). Kesimpulan secara umum adalah kebijakan desentralisasi fiskal belum mampu mengurangi kesenjangan pendapatan antar daerah.

Usman (2006) melakukan penelitian tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Peneliti menggunakan seluruh provinsi di Indonesia dan didisagregasi berdasarkan kawasan dan pulau-pulau besar di Indonesia. Hasil penelitian yang didapat oleh peneliti adalah sebagai berikut :


(52)

1. Menjelang desentralisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai membaik dan disertai dengan program-program jaring pengaman sosial yang menguntungkan kelompok masyarakat berpendapatan bawah. Setelah desentralisasi fiskal, kebijakan ekonomi pada awalnya terlihat lebih menguntungkan kelompok masyarakat kalangan atas, namun pada tahun berikutnya ada indikasi mulai menguntungkan kelompok masyarakat ekonomi bawah.

2. Dari analisis determinan diperoleh kesimpulan bahwa sektor-sektor yang bersentuhan dengan masyarakat ekonomi bawah atau miskin adalah sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, perumahan, infrastruktur.

3. Desentralisasi fiskal memiliki pengaruh positif dengan kinerja fiskal dan perekonomian, desentralisasi fiskal memiliki pengaruh negatif dengan distribusi pendapatan tetapi secara statistik pengaruhnya tidak nyata. Terhadap kemiskinan, desentralisasi fiskal memiliki arah positif dengan indeks kemiskinan dengan pengaruh nyata. Berdasarkan hasil simulasi, peningkatan tiga jenis pengeluaran pemerintah yaitu sektor pertanian, sektor pendidikan dan kesehatan, serta sektor perumahan dan kesejahteraan ternyata berdampak positif terhadap kinerja ekonomi, pemerataan pendapatan, dan penurunan tingkat kemiskinan. Pengeluaran pemerintah sektor pertanian memiliki pengaruh paling besar dan signifikan.

2.3. Kerangka Pemikiran

Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk mengelola rumah tangganya sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan


(53)

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan. Transfer kewenangan yang diikuti dengan transfer anggaran kepada pemerintah daerah diharapkan dapat berjalan efektif. Pengelolaan potensi keuangan yang dipegang langsung oleh pemerintah daerah akan meningkatkan penerimaan daerah untuk dapat mencapai kemandirian daerah. Apabila penerimaan daerah meningkat maka pemerintah daerah mampu membiayai berbagai kegiatan pembangunan daerah. Masalah mendasar seperti kemiskinan dan pengangguran diharapkan dapat dengan cepat diatasi sejalan dengan pemberian kewenangan pusat ke daerah untuk mengelola potensi ekonomi dan keuangan daerah sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.

Dalam penelitian ini pengeluaran pemerintah diarahkan kepada sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan serta sektor lainnya. Sektor pendidikan dan kesehatan digunakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di sektor pertanian dan lainnya. Sektor lainnya yang dimaksud adalah sektor selain sektor pertanian dan pendidikan serta kesehatan. Sektor pertanian dipilih karena sektor pertanian merupakan sektor penyerap tenaga kerja paling banyak di Provinsi Jawa Tengah. Banyaknya tenaga kerja di sektor pertanian seharusnya menjadi salah satu pertimbangan pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran pengeluaran di sektor pertanian. Alokasi anggaran di sektor pertanian diduga akan meningkatkan PDRB sektor pertanian dan mempengaruhi pembentukan PDRB total. Tujuan akhir untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan diharapkan dapat dicapai dengan menggerakkan sektor pertanian.


(54)

Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran Analisis Kebijakan Fiskal terhadap Pengangguran dan Kemiskinan

UU No. 32 dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal

Kinerja keuangan daerah : PAD, Bagi Hasil, Dana Transfer

Pengeluaran Fungsional Pemerintah sektor pertanian, pendidikan, kesehatan

dan lainnya

PDRB sektor lainnya

PDRB kabupaten dan kota meningkat tiap tahun.

Penciptaan lapangan pekerjaan untuk mengurangi pengangguran

Kemiskinan berkurang

Analisis Ekonometrika : Model Persamaan Simultan

(Metode 2SLS)

Analisis deskriptif kualitatif

Implikasi kebijakan fiskal untuk mengatasi permasalahan pengangguran dan kemiskinan PDRB sektor


(55)

2.4. Hipotesis Penelitian

Dari perumusan masalah dan tujuan penelitian di atas maka dapat dihipotesiskan sebagai berikut :

1. Desentralisasi fiskal dapat memberikan pengaruh positif terhadap kinerja keuangan daerah. Potensi keuangan bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dalam penelitian ini diwakili oleh pajak daerah sedangkan dana perimbangan diwakili oleh Dana Alokasi Umum (DAU).

1.1. Jumlah hotel, total pengeluaran pemerintah, investasi dan dummy kabupaten/kota diduga berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak daerah. Kemiskinan diduga berpengaruh negatif terhadap pajak daerah. 1.2. Variabel PDRB, PAD dan variabel dummy kabupaten/kota diduga

berpengaruh negatif terhadap DAU, sedangkan variabel jumlah penduduk miskin diduga berpengaruh positif terhadap DAU.

2. Pemerintah daerah mampu mengalokasikan anggaran kepada sektor-sektor yang mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat daerah dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal.

2.1. Variabel PAD dan DAU diduga berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah di sektor pertanian sedangkan dummy kabupaten/kota memiliki pengaruh negatif.

2.2. Variabel PAD dan DAU diduga berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah di sektor kesehatan dan pendidikan sedangkan dummy kabupaten/kota diduga berpengaruh negatif.


(1)

Kab. Klaten Pendidikan 445032 50,9 498346 51,0 574587 59,0 Pelayanan Umum 206498 23,6 251561 25,8 202412 20,8

Ekonomi 143316 16,4 141775 14,5 94285 9,7

Kesehatan 54969 6,3 65010 6,7 69780 7,2

Lingkungan Hidup 12826 1,5 2657 0,3 10948 1,1

Perumahan dan Fasilitas Umum 5776 0,7 7070 0,7 3335 0,3 Pariwisata dan Kebudayaan 4593 0,53 10491 1,07 10781 1,11

Perlindungan Sosial 747 0,1 0 0,0 6999 0,7

Kab. Sukoharjo Pendidikan 266672 43,3 310093 45,1 369059 53,2 Pelayanan Umum 192679 31,3 199540 29,0 174981 25,2

Ekonomi 92298 15,0 104158 15,1 68184 9,8

Kesehatan 52763 8,6 62813 9,1 66397 9,6

Lingkungan Hidup 3213 0,5 5314 0,8 3112 0,4

Perumahan dan Fasilitas Umum 5199 0,8 3511 0,5 2189 0,3

Pariwisata dan Kebudayaan 0 0,00 0 0,00 2485 0,36

Perlindungan Sosial 2602 0,4 2300 0,3 7532 1,1

Kab. Wonogiri Pendidikan 336978 46,4 379262 45,1 420466 50,9 Pelayanan Umum 193580 26,6 235609 28,0 188695 22,8

Ekonomi 114424 15,8 120462 14,3 115032 13,9

Kesehatan 58903 8,1 75944 9,0 75346 9,1

Lingkungan Hidup 11614 1,6 11969 1,4 7264 0,9

Perumahan dan Fasilitas Umum 5900 0,8 8761 1,0 5082 0,6 Pariwisata dan Kebudayaan 1636 0,23 4646 0,55 5347 0,65

Perlindungan Sosial 3368 0,5 4749 0,6 9022 1,1

Kab.

Karanganyar Pendidikan 267450 41,7 318996 41,4 350473 48,7

Pelayanan Umum 207650 32,4 254909 33,0 212421 29,5

Ekonomi 97810 15,3 124940 16,2 74184 10,3

Kesehatan 55576 8,7 62166 8,1 61916 8,6

Lingkungan Hidup 3669 0,6 3249 0,4 7896 1,1

Perumahan dan Fasilitas Umum 3412 0,5 2216 0,3 2493 0,3 Pariwisata dan Kebudayaan 3597 0,56 3219 0,42 3514 0,49

Perlindungan Sosial 2152 0,3 1669 0,2 6303 0,9

Kab. Sragen Pendidikan 301786 40,8 381584 47,5 365427 48,7

Pelayanan Umum 192602 26,0 178332 22,2 146618 19,6

Ekonomi 160447 21,7 145183 18,1 138555 18,5

Kesehatan 62776 8,5 73963 9,2 75391 10,1

Lingkungan Hidup 8867 1,2 11454 1,4 10147 1,4

Perumahan dan Fasilitas Umum 7816 1,1 8228 1,0 8198 1,1 Pariwisata dan Kebudayaan 4453 0,60 3511 0,44 3258 0,43


(2)

Kab.

Grobogan Pendidikan 299829 40,0 330551 40,7 341268 43,8

Pelayanan Umum 208825 27,8 237646 29,2 193364 24,8

Ekonomi 154530 20,6 146133 18,0 128673 16,5

Kesehatan 58357 7,8 68505 8,4 82935 10,6

Lingkungan Hidup 7466 1,0 8417 1,0 5524 0,7

Perumahan dan Fasilitas Umum 11166 1,5 11636 1,4 13568 1,7 Pariwisata dan Kebudayaan 1076 0,14 686 0,08 3325 0,43

Perlindungan Sosial 9256 1,2 9277 1,1 10991 1,4

Kab. Blora Pendidikan 285712 44,4 317942 44,7 318883 44,7

Pelayanan Umum 187231 29,1 198700 27,9 213432 29,9

Ekonomi 94412 14,7 119142 16,7 102639 14,4

Kesehatan 60513 9,4 58653 8,2 60337 8,4

Lingkungan Hidup 11324 1,8 11557 1,6 1787 0,3

Perumahan dan Fasilitas Umum 2866 0,4 3423 0,5 7423 1,0 Pariwisata dan Kebudayaan 1845 0,29 2286 0,32 4405 0,62

Perlindungan Sosial 0 0,0 0 0,0 5159 0,7

Kab. Rembang Pendidikan 164735 32,3 221451 38,2 278334 47,6

Pelayanan Umum 149063 29,2 156946 27,1 145066 24,8

Ekonomi 131894 25,8 110371 19,1 77403 13,2

Kesehatan 56729 11,1 79251 13,7 79209 13,5

Lingkungan Hidup 5017 1,0 8007 1,4 1302 0,2

Perumahan dan Fasilitas Umum 0 0,0 0 0,0 0 0,0

Pariwisata dan Kebudayaan 2811 0,55 3247 0,56 3811 0,65

Perlindungan Sosial 0 0,0 0 0,0 0 0,0

Kab. Pati Pendidikan 310292 40,0 352529 39,8 379285 44,2

Pelayanan Umum 181119 23,3 212479 24,0 209896 24,4

Ekonomi 184563 23,8 206045 23,2 146234 17,0

Kesehatan 91843 11,8 102079 11,5 107666 12,5

Lingkungan Hidup 4503 0,6 5580 0,6 3541 0,4

Perumahan dan Fasilitas Umum 3959 0,5 5079 0,6 9072 1,1 Pariwisata dan Kebudayaan 0 0,00 940 0,11 1821 0,21

Perlindungan Sosial 0 0,0 1715 0,2 956 0,1

Kab. Kudus Pendidikan 248248 37,2 291544 37,6 310042 37,7

Pelayanan Umum 169468 25,4 201619 26,0 206854 25,2

Ekonomi 49729 7,5 126326 16,3 161621 19,7

Kesehatan 170223 25,5 124477 16,1 95142 11,6

Lingkungan Hidup 22832 3,4 19757 2,6 24362 3,0

Perumahan dan Fasilitas Umum 0 0,0 3948 0,5 9778 1,2 Pariwisata dan Kebudayaan 6662 1,00 6846 0,88 8976 1,09


(3)

Kab. Jepara Pendidikan 203254 29,5 311084 41,2 334003 43,2 Pelayanan Umum 203540 29,5 202275 26,8 214582 27,8

Ekonomi 164539 23,9 101477 13,4 90797 11,7

Kesehatan 79107 11,5 89225 11,8 92212 11,9

Lingkungan Hidup 16502 2,4 13608 1,8 5507 0,7

Perumahan dan Fasilitas Umum 11088 1,6 14933 2,0 17256 2,2 Pariwisata dan Kebudayaan 9362 1,36 17878 2,37 7142 0,92

Perlindungan Sosial 2361 0,3 4203 0,6 11422 1,5

Kab. Demak Pendidikan 216753 35,1 251028 36,1 298859 43,8

Pelayanan Umum 165147 26,7 196587 28,3 155005 22,7

Ekonomi 162722 26,3 142019 20,4 144901 21,2

Kesehatan 63184 10,2 65262 9,4 57759 8,5

Lingkungan Hidup 3182 0,5 7802 1,1 7183 1,1

Perumahan dan Fasilitas Umum 2116 0,3 23718 3,4 11094 1,6 Pariwisata dan Kebudayaan 2172 0,35 4285 0,62 2413 0,35

Perlindungan Sosial 2977 0,5 3864 0,6 5446 0,8

Kab. Semarang Pendidikan 257489 39,2 301374 40,3 324288 43,5 Pelayanan Umum 141213 21,5 157857 21,1 156175 21,0

Ekonomi 137453 20,9 157566 21,1 116615 15,6

Kesehatan 83589 12,7 91969 12,3 107076 14,4

Lingkungan Hidup 11955 1,8 10094 1,3 9385 1,3

Perumahan dan Fasilitas Umum 11754 1,8 11716 1,6 17013 2,3 Pariwisata dan Kebudayaan 12446 1,90 16244 2,17 7286 0,98

Perlindungan Sosial 632 0,1 1310 0,2 7613 1,0

Kab.

Temanggung Pendidikan 205207 37,9 216433 37,5 268337 46,4

Pelayanan Umum 157202 29,0 185360 32,2 190275 32,9

Ekonomi 118455 21,9 115040 20,0 80307 13,9

Kesehatan 53321 9,8 54516 9,5 30113 5,2

Lingkungan Hidup 1980 0,4 1981 0,3 3548 0,6

Perumahan dan Fasilitas Umum 3575 0,7 1907 0,3 2318 0,4

Pariwisata dan Kebudayaan 0 0,00 0 0,00 2508 0,43

Perlindungan Sosial 1756 0,3 1227 0,2 1453 0,3

Kab. Kendal Pendidikan 250942 38,7 285921 39,9 330878 45,0

Pelayanan Umum 178152 27,4 205390 28,6 193940 26,4

Ekonomi 137964 21,3 108726 15,2 112242 15,2

Kesehatan 68637 10,6 76504 10,7 75363 10,2

Lingkungan Hidup 7429 1,1 23142 3,2 2864 0,4

Perumahan dan Fasilitas Umum 1985 0,3 2471 0,3 2941 0,4 Pariwisata dan Kebudayaan 2496 0,38 4303 0,60 3827 0,52


(4)

Kab. Batang Pendidikan 221782 44,1 248535 42,9 245624 42,8 Pelayanan Umum 115198 22,9 150418 25,9 158471 27,6

Ekonomi 92842 18,5 80720 13,9 75328 13,1

Kesehatan 53606 10,7 67144 11,6 70107 12,2

Lingkungan Hidup 13011 2,6 21593 3,7 13593 2,4

Perumahan dan Fasilitas Umum 2732 0,5 4341 0,7 5474 1,0 Pariwisata dan Kebudayaan 3264 0,65 6083 1,05 3867 0,67

Perlindungan Sosial 566 0,1 1068 0,2 1091 0,2

Kab.

Pekalongan Pendidikan 193933 34,8 219891 32,7 272887 41,7

Pelayanan Umum 195128 35,0 237702 35,3 171184 26,1

Ekonomi 76451 13,7 98529 14,6 88690 13,5

Kesehatan 73041 13,1 93645 13,9 98003 15,0

Lingkungan Hidup 8133 1,5 8452 1,3 2860 0,4

Perumahan dan Fasilitas Umum 0 0,0 0 0,0 2754 0,4 Pariwisata dan Kebudayaan 2607 0,47 3952 0,59 8298 1,27

Perlindungan Sosial 7591 1,4 10902 1,6 10031 1,5

Kab. Pemalang Pendidikan 280038 40,8 332136 43,9 300692 42,2 Pelayanan Umum 189424 27,6 210455 27,8 193196 27,1

Ekonomi 118537 17,3 86965 11,5 110905 15,6

Kesehatan 55864 8,1 80173 10,6 79920 11,2

Lingkungan Hidup 8316 1,2 8476 1,1 4729 0,7

Perumahan dan Fasilitas Umum 15022 2,2 13689 1,8 12803 1,8 Pariwisata dan Kebudayaan 17039 2,48 22966 3,03 6547 0,92

Perlindungan Sosial 2070 0,3 2050 0,3 3019 0,4

Kab. Tegal Pendidikan 288154 40,5 332899 41,4 379451 46,0

Pelayanan Umum 179456 25,2 217275 27,0 191858 23,2

Ekonomi 126440 17,8 153323 19,1 115830 14,0

Kesehatan 69857 9,8 70722 8,8 93911 11,4

Lingkungan Hidup 29193 4,1 14864 1,8 13664 1,7

Perumahan dan Fasilitas Umum 11407 1,6 15098 1,9 9524 1,2 Pariwisata dan Kebudayaan 5791 0,81 0 0,00 8400 1,02

Perlindungan Sosial 424 0,1 0 0,0 12925 1,6

Kab. Brebes Pendidikan 344093 41,4 359871 38,9 446361 46,2

Pelayanan Umum 244829 29,4 278097 30,1 245763 25,5

Ekonomi 162362 19,5 172057 18,6 138506 14,3

Kesehatan 70146 8,4 84296 9,1 110130 11,4

Lingkungan Hidup 1699 0,2 16155 1,7 13702 1,4

Perumahan dan Fasilitas Umum 2828 0,3 4115 0,4 3839 0,4 Pariwisata dan Kebudayaan 3362 0,40 7019 0,76 4541 0,47


(5)

Kota

Magelang Pendidikan 115877 35,6 119252 33,0 111380 29,7

Pelayanan Umum 87603 26,9 85972 23,8 123736 33,0

Ekonomi 50737 15,6 96239 26,7 78328 20,9

Kesehatan 43160 13,2 41684 11,5 43308 11,5

Lingkungan Hidup 24360 7,5 13701 3,8 10183 2,7

Perumahan dan Fasilitas Umum 1772 0,5 2048 0,6 4233 1,1 Pariwisata dan Kebudayaan 1098 0,34 1023 0,28 3952 1,05

Perlindungan Sosial 1222 0,4 1018 0,3 0 0,0

Kota Surakarta Pendidikan 206545 34,3 260812 34,7 283587 36,7 Pelayanan Umum 170345 28,3 205382 27,3 216027 28,0

Ekonomi 124057 20,6 151115 20,1 99741 12,9

Kesehatan 34936 5,8 52240 7,0 112403 14,5

Lingkungan Hidup 44381 7,4 46145 6,1 35272 4,6

Perumahan dan Fasilitas Umum 6726 1,1 10761 1,4 12698 1,6 Pariwisata dan Kebudayaan 6307 1,05 14539 1,94 9412 1,22

Perlindungan Sosial 8133 1,4 10274 1,4 3644 0,5

Kota Salatiga Pendidikan 112416 37,1 111850 28,6 100546 28,9

Pelayanan Umum 79186 26,2 84484 21,6 97282 27,9

Ekonomi 45419 15,0 115819 29,6 71097 20,4

Kesehatan 40340 13,3 48647 12,5 49499 14,2

Lingkungan Hidup 20132 6,7 19033 4,9 1606 0,5

Perumahan dan Fasilitas Umum 0 0,0 0 0,0 24022 6,9 Pariwisata dan Kebudayaan 3371 1,11 8487 2,17 0 0,00

Perlindungan Sosial 1825 0,6 2402 0,6 4123 1,2

Kota

Semarang Pendidikan 359247 30,6 448951 33,6 437052 31,9

Pelayanan Umum 445849 38,0 458212 34,3 443854 32,4

Ekonomi 198815 16,9 235047 17,6 231887 16,9

Kesehatan 84123 7,2 104817 7,8 112413 8,2

Lingkungan Hidup 43895 3,7 35018 2,6 76148 5,6

Perumahan dan Fasilitas Umum 34404 2,9 45961 3,4 31204 2,3 Pariwisata dan Kebudayaan 6995 0,60 9692 0,72 16327 1,19

Perlindungan Sosial 0 0,0 0 0,0 20786 1,5

Kota

Pekalongan Pendidikan 56988 17,2 143299 37,0 132007 35,0

Pelayanan Umum 141556 42,8 113444 29,3 130193 34,5

Ekonomi 57698 17,4 57135 14,7 61526 16,3

Kesehatan 43886 13,3 44771 11,5 36352 9,6

Lingkungan Hidup 17296 5,2 12233 3,2 3565 0,9

Perumahan dan Fasilitas Umum 3926 1,2 9746 2,5 5668 1,5 Pariwisata dan Kebudayaan 6217 1,88 3848 0,99 2070 0,55


(6)

Kota Tegal Pendidikan 116793 34,1 124172 32,1 130067 33,3

Pelayanan Umum 75176 21,9 98687 25,5 94166 24,1

Ekonomi 57567 16,8 58316 15,1 58348 14,9

Kesehatan 61159 17,8 66538 17,2 66220 17,0

Lingkungan Hidup 16271 4,7 19233 5,0 8064 2,1

Perumahan dan Fasilitas Umum 10611 3,1 10315 2,7 15400 3,9 Pariwisata dan Kebudayaan 3554 1,04 7851 2,03 16671 4,27