IDENTIFIKASI TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) PADA LALAPAN KUBIS (Brassica oleracea) DI WARUNG-WARUNG MAKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(1)

IDENTIFIKASI TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) PADA LALAPAN KUBIS (Brassica oleracea)DI WARUNG-WARUNG MAKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

Oleh

KURNIA PUTRA WARDHANA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Jurusan Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

ABSTRACT

IDENTIFICATION OF SOIL TRANSMITTED HELMINTHS’ (STH) EGG ON FRESH CABBAGE (Brassica oleracea)AT LAMPUNG UNIVERSITY

FOOD STALLS by

KURNIA PUTRA WARDHANA

Soil Transmitted Helminths (STH) are intestinal nematode that need soil for ripening process in its life cycle. Helminthiasis problem that associated with this worm is still commonly found. Contamination rate of Soil Transmitted Helminths (STH) on vegetables is still high. The poorly processing and washing raw vegetables, facilitate the transmission of worm eggs to humans. This study aims to identify the eggs of Soil Transmitted Helminths (STH) on lalapan—fresh cabbage (Brassica oleracea) at Lampung University food stalls.

This research is a descriptive survey research with laboratory approach. Samples were obtained from 14 food stalls with totally sampling technique. Samples were taken once a week for three weeks in order to obtain 42 samples. Worm egg examination using indirect method with sedimentation technique. In the samples that found any eggs of Soil Transmitted Helminths (STH), the amount of contamination of eggs and egg types are determined.

The results of Soil Transmitted Helminths’ (STH) egg identification on fresh cabbage (Brassica oleracea) at Lampung University food stalls showed that 26.19% (11 samples) are contaminated. Type of worm eggs found are roundworm (Ascaris lumbricoides) 6 samples (14.28 %), whipworm (Trichuris trichiura) 3 samples (7.14%), and 2 samples (4.76%) fresh cabbage are contaminated both type of worm eggs .


(3)

ABSTRAK

IDENTIFIKASI TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) PADA LALAPAN KUBIS (Brassica oleracea)DI WARUNG-WARUNG MAKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG Oleh

KURNIA PUTRA WARDHANA

Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan. Masalah kecacingan yang berkaitan dengan infeksi cacing ini masih banyak ditemukan. Angka kontaminasi Soil Transmitted Helminths (STH) pada sayuran juga masih cukup tinggi. Proses pengolahan dan pencucian sayuran mentah siap makan yang kurang baik, mempermudah transmisi telur cacing ke manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung.

Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan pendekatan laboratorik. Sampel penelitian diperoleh dari 14 warung makan dengan teknik totally sampling. Pengambilan sampel penelitian dilakukan satu kali dalam seminggu selama tiga minggu sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 42 sampel. Pemeriksaan telur cacing menggunakan metode tak langsung dengan teknik sedimentasi. Pada sampel kubis yang ditemukan adanya telur Soil Transmitted Helminths (STH), ditentukan jumlah kontaminasi telur dan jenis telurnya.

Hasil identifikasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung menunjukkan bahwa 26,19% (11 sampel) terkontaminasi oleh telur Soil Transmitted Helminths (STH). Jenis telur cacing yang ditemukan adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides) sebanyak 6 sampel (14,28%), cacing cambuk (Trichuris trichiura) sebanyak 3 sampel (7,14%), dan 2 sampel (4,76%) lalapan kubis terkontaminasi kedua jenis telur cacing ini.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

1. Tujuan Umum ... 4

2. Tujuan Khusus ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

1. Manfaat Teoritis ... 4

2. Manfaat Praktis ... 5

E. Kerangka Pemikiran ... 6

1. Kerangka Teori... 6

2. Kerangka Konsep ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Soil Transmitted Helminths ... 9

1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ... 9

2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) ... 13

3. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) ... 16

B. Kubis (Brassica oleracea)... 19

1. Definisi ... 19

2. Taksonomi ... 20

3. Morfologi ... 20

4. Kubis Sebagai Lalapan ... 22

C. Pemeriksaan Soil Transmitted Helminths pada Sayuran ... 23

III.METODE PENELITIAN ... 24


(7)

vi

B. Waktu dan Tempat ... 24

C. Variabel Penelitian ... 24

D. Definisi Operasional... 25

E. Alat-alat dan bahan Penelitian ... 25

F. Prosedur Penelitian... 26

G. Populasi dan Sampel ... 27

1. Populasi Penelitian ... 27

2. Sampel Penelitian ... 27

H. Pengolahan Data... 28

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 29

A. Hasil Penelitian ... 29

B. Pembahasan ... 31

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

A. Kesimpulan ... 37

B. Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 39


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka teori ... 6

2. Kerangka konsep ... 7

3. Daur hidup Ascaris lumbricoides ... 10

4. Telur Ascaris lumbricoides ... 11

5. Telur Trichuris trichiura ... 14

6. Daur hidup Trichuris trichiura ... 15

7. Telur cacing tambang (hookworm) ... 17

8. Daur hidup cacing tambang (hookworm) ... 18

9. Kubis (Brassica oleracea)... 21

10.Prosedur pemeriksaan telur cacing... 26

11.Diagram kontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis di warung makan Universitas Lampung ... 31


(9)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Definisi operasional ... 25 2. Data hasil pemeriksaan telur Soil Transmitted Helminths (STH)


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Gambar hasil pemeriksaan telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung.

2. Pelaksanaan penelitian 3. Keterangan Lolos Kaji Etik


(11)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi Soil Transmitted Helminths (STH). Infeksi tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, dengan jumlah terbesar terjadi di sub-Sahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia Timur (WHO, 2013). Di Indonesia sendiri prevalensi kecacingan di beberapa kabupaten dan kota pada tahun 2012 menunjukkan angka diatas 20% dengan prevalensi tertinggi di salah satu kabupaten mencapai 76,67% (Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI, 2013).

Banyak dampak yang dapat ditimbulkan akibat infeksi cacing. Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif, infeksi cacing dapat menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan protein serta kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan produktifitas kerja, dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya (Menteri Kesehatan RI, 2006).


(12)

Transmisi telur cacing ke manusia bisa terjadi dari tanah yang mengandung telur cacing. Telur Soil Transmitted Helminths (STH) dikeluarkan bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi. Di daerah yang tidak memiliki sanitasi yang memadai, telur ini akan mengkontaminasi tanah. Telur dapat melekat pada sayuran dan tertelan bila sayuran tidak dicuci atau dimasak dengan hati-hati. Selain itu telur juga bisa tertelan melalui minuman yang terkontaminasi dan pada anak-anak yang bermain di tanah tanpa mencuci tangan sebelum makan. Tidak ada transmisi langsung dari orang ke orang, atau infeksi dari feses segar, karena telur yang keluar bersama tinja membutuhkan waktu sekitar tiga minggu untuk matang dalam tanah sebelum mereka menjadi infektif (WHO, 2013).

Salah satu jenis sayuran yang sering terkontaminasi oleh Soil Transmitted Helminths (STH) adalah kubis. Kubis (Brassica oleracea) merupakan jenis sayuran yang umumnya dikonsumsi secara mentah, karena dilihat dari tekstur dan organoleptik sayuran ini memungkinkan untuk dijadikan lalapan (Purba dkk., 2012). Sayuran kubis memiliki permukaan daun yang berlekuk-lekuk sehingga memungkinkan telur cacing menetap di dalamnya (Setyorini, 2011). Bila dalam proses pengolahan dan pencucian sayuran tidak baik, memungkinan bagi telur cacing masih melekat pada sayuran dan tertelan saat sayuran dikonsumsi (CDC, 2013).

Bedasarkan penelitian yang pernah dilakukan di pasar tradisional dan pasar modern Kota Bandar Lampung, ditemukan angka kontaminasi Soil Transmitted Helminths (STH) pada sayuran kubis dan selada masih cukup


(13)

3

tinggi. Angka kontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) di pasar tradisional yaitu sebesar 76,1% dengan proporsi telur Ascaris lumbricoides 43,2%, Trichuris trichiura 10,2% dan keduanya 22,7%. Pada pasar modern angka kontaminasi telur cacing sebesar 58,3% dengan proporsi telur Ascaris lumbricoides 16,6%, Trichuris trichiura 19,7% dan keduanya 21,8% (Almi, 2011; Indriani, 2011).

Masih tingginya prevalensi kecacingan dan kontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada sayuran kubis yang dijual di pasar tradisional maupun pasar modern serta bila diikuti dengan pengolahan dan pencucian sayuran mentah yang kurang baik, memungkinkan terjadinya kontaminasi pada lalapan kubis yang disajikan di warung-warung makan. Hal ini menjadi alasan mengapa penting bagi kita untuk mengidentifikasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung.

B. Perumusan Masalah

Masalah kecacingan yang berkaitan dengan infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) masih banyak ditemukan. Dampak yang dapat ditimbulkan akibat infeksi cacing ini juga sangat merugikan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa angka kontaminasi Soil Transmitted Helminths (STH) pada sayuran masih cukup tinggi. Proses pengolahan dan pencucian sayuran mentah siap makan yang kurang baik, mempermudah transmisi telur cacing ke manusia. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti menyusun rumusan masalah yaitu apakah lalapan kubis (Brassica oleracea)


(14)

di warung-warung makan Universitas Lampung terkontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH)?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui jumlah kontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung.

b. Mengidentifikasi jenis telur cacing pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Bagi ilmu pengetahuan, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah dan kontaminasi telur cacing pada sayuran.

b. Bagi ilmu kedokteran komunitas, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang aspek-aspek yang berhubungan


(15)

5

dengan infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) dalam suatu komunitas.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi instansi terkait, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data pendukung atau bahan perencanaan dalam pencegahan kasus kecacingan, khususnya infeksi dari Soil Transmitted Helminths (STH).

b. Bagi masyarakat, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang aspek-aspek yang berhubungan dengan infeksi Soil Transmitted Helminths (STH), sehingga dapat dilakukan pencegahan terjadinya infeksi.

c. Bagi pedagang makanan, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi akan pentingnya kebersihan dalam pengolahan sayuran segar sebelum disajikan, sehingga mencegah terjadinya infeksi cacing.

d. Bagi pembangunan daerah, diharapkan prevalensi kecacingan dapat berkurang sehingga berefek pada peningkatan kualitas sumber daya manusia yang berdaya saing.


(16)

E. Kerangka Pemikiran 1. Kerangka Teori

Gambar 8. Kerangka teori

Soil Transmitted Helminths (STH) ditularkan oleh telur yang dikeluarkan bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi. Cacing dewasa hidup di usus manusia dan menghasilkan ribuan telur setiap hari. Di daerah yang tidak memiliki sanitasi yang memadai, telur ini akan mengkontaminasi tanah. Transmisi ini dapat terjadi dalam beberapa cara, yaitu:


(17)

7

telur yang melekat pada sayuran tertelan bila sayuran tidak dimasak,dicuci atau dikupas dengan hati-hati.

telur tertelan melalui minuman yang terkontaminasi

telur tertelan oleh anak-anak yang bermain di tanah tanpa mencuci tangan sebelum makan atau memegang mulut

pada cacing tambang, telur menetas di tanah, melepaskan larva matang yang secara aktif dapat menembus kulit.

Kubis (Brassica oleracea) merupakan salah satu jenis sayuran yang dapat terkontaminasi oleh telur Soil Transmitted Helminths (STH). Bila dalam proses pengolahan dan pencucian sayuran tidak baik, telur cacing kemungkinan masih melekat pada sayuran dan tertelan saat sayuran dikonsumsi (CDC, 2013).

2. Kerangka Konsep


(18)

Pemeriksaan laboratorium pada lalapan kubis dilakukan satu kali dalam seminggu selama tiga minggu sehingga dilakukan tiga kali pemeriksaan. Pada lalapan kubis yang ditemukan adanya telur Soil Transmitted Helminths (STH), ditentukan jumlah kontaminasi telur dan jenis telurnya.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Soil Transmitted Helminths (STH)

Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan (Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang dikeluarkan bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi. Di daerah yang tidak memiliki sanitasi yang memadai, telur ini akan mencemari tanah. Empat spesies yang paling umum menginfeksi manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang antropofilik (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) (Hotez et al., 2006).

1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

Ascaris lumbricoides merupakan nematoda terbesar (cacing gelang) yang hidup sebagai parasit pada usus manusia. Cacing betina berukuran lebih besar dari cacing jantan. Ukuran cacing betina dewasa mencapai 20-35 cm dan cacing jantan dewasa 15-30 cm (CDC, 2013). Cacing dewasa hidup di rongga usus halus. Seekor cacing betina dapat bertelur 100.000-200.000 butir sehari (Sutanto dkk., 2008).


(20)

Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif tersebut bila tertelan manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah menuju ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan (Sutanto dkk., 2008).


(21)

11

Pada pemeriksaan tinja penderita, dapat ditemukan telur cacing. Ada tiga bentuk telur yang mungkin ditemukan, yaitu (1) telur yang dibuahi, berbentuk bulat atau oval dengan dinding telur yang kuat, terdiri dari 3 lapis. (2) Telur yang mengalami dekortikasi adalah telur yang dibuahi, akan tetapi kehilangan albuminoidnya. (3) Telur yang tidak dibuahi, mungkin dihasilkan oleh betina yang tidak subur atau terlalu cepat dikeluarkan oleh betina yang subur. Telur ini berdinding tipis dan akan tenggelam dalam larutan garam jenuh (Rusmartini, 2009).

Gambar 2. Telur Ascaris lumbricoides (CDC, 2009)

Gejala klinis yang dapat ditimbulkan dipengaruhi oleh beberapa hal. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi diantaranya beratnya infeksi, keadaan umum penderita, daya tahan, dan kerentanan penderita terhadap infeksi cacing. Pada infeksi biasa, penderita mengandung 10-20 ekor cacing, sering tidak ada gejala yang dirasakan oleh hospes, baru diketahui setelah pemerikasaan tinja rutin atau karena cacing dewasa keluar bersama tinja (Rusmartini, 2009).

Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi saat


(22)

berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam, eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat. Pada kasus ini sering terjadi kekeliruan diagnosis karena mirip dengan gambaran TBC, namun infiltrat ini menghilang dalam waktu 3 (tiga) minggu setelah diberikan obat cacing pada penderita. Keadaan ini disebut sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi (Sutanto dkk., 2008).

Metode standar untuk mendiagnosis ascariasis adalah dengan mengidentifikasi telur Ascaris lumbricoides dalam sampel tinja menggunakan mikroskop. Karena telur mungkin sulit ditemukan pada infeksi ringan, maka dianjurkan untuk menggunakan prosedur konsentrasi. Bila prosedur konsentrasi tidak tersedia, pemeriksaan sediaan langsung pada spesimen dapat dilakukan untuk mendeteksi infeksi sedang sampai berat. Untuk penilaian kuantitatif, berbagai metode seperti Kato-Katz dapat digunakan. Selain itu stadium larva dapat diidentifikasi dalam dahak atau aspirasi lambung selama fase migrasi paru (CDC, 2012).


(23)

13

2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

Cacing cambuk (Trichuris trichiura) merupakan nematoda usus penyebab penyakit trikuriasis. Trikuriasis adalah salah satu penyakit cacing yang banyak tedapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi dengan cacing ini. Penyakit ini sering dihubungkan dengan terjadinya kolitis dan sindrom disentri pada derajat infeksi sedang (Soedarmo dkk., 2010).

Manusia merupakan hospes definitif dari Trichuris trichiura. Cacing ini terutama dapat ditemukan di sekum dan appendiks, tetapi juga dapat ditemukan di kolon dan rektum dalam jumlah yang besar. Cacing cambuk tidak membutuhkan hospes perantara untuk tumbuh menjadi bentuk infektif (Rusmartini, 2009).

Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum dengan satu spikulum dengan bagian anteriornya yang seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3.000-20.000 butir. Telur berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub.


(24)

Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih (Sutanto dkk., 2008).

Gambar 3. Telur Trichuris trichiura (CDC, 2009)

Telur yang keluar bersama tinja merupakan telur dalam keadaan belum matang (belum membelah) dan tidak infektif. Telur ini perlu pematangan pada tanah selama 3-5 minggu sampai terbentuk telur infektif yang berisi embrio di dalamnya. Manusia mendapat infeksi jika telur yang infektif ini tertelan. Selanjutnya di bagian proksimal usus halus, telur menetas, keluar larva, menetap selama 3-10 hari. Setelah dewasa, cacing akan turun ke usus besar dan menetap dalam beberapa tahun. Jelas sekali bahwa larva tidak mengalami migrasi dalam sirkulasi darah ke paru-paru (Rusmartini, 2009).


(25)

15

Gambar 4. Daur hidup Trichuris trichiura (CDC, 2013)

Mekanisme pasti bagaimana cacing cambuk menimbulkan kelainan pada manusia tidak diketahui, tetapi paling tidak ada 2 proses yang berperan, yaitu trauma oleh cacing dan efek toksik. Trauma pada dinding usus terjadi karena cacing ini membenamkan bagian kepalanya pada dinding usus (Soedarmo dkk., 2010).

Pada infeksi yang ringan, kerusakan dinding mukosa usus hanya sedikit. Infeksi cacing ini memperlihatkan adanya respons imunitas humoral yang ditunjukkan adanya reaksi anafilaksis lokal yang dimediasi oleh IgE, akan tetapi peran imunitas seluler tidak terlihat. Terlihat adanya infiltrasi lokal eosinofil di submukosa dan pada infeksi berat ditemukan edema. Pada keadaan ini mukosa akan mudah berdarah, namun cacing tidak aktif menghisap darah (Soedarmo dkk., 2010).


(26)

Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi (Sutanto dkk., 2008).

Infeksi Trichuris trichiura ditegakkan dengan menjumpai telur dalam feses ataupun cacing dewasa pada feses. Pemeriksaan yang direkomendasikan adalah pemeriksaan sampel feses dengan teknik hapusan tebal kuantitatif Kato-Katz. Metode ini dapat mengukur intensitas infeksi secara tidak langsung dengan menunjukkan jumlah telur per gram feses (Lubis, 2012).

3. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)

Cacing tambang merupakan nematoda yang hidup sebagai parasit pada usus manusia. Cacing ini termasuk kelas Nematoda dan tergolong dalam filum Nemathelmintes. Dua spesies utama cacing tambang yang menginfeksi manusia adalah Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Sehatman, 2006).

Manusia merupakan hospes definitif dari cacing tambang. Cacing ini hidup dalam usus halus terutama di daerah jejunum. Pada infeksi berat, cacing dapat tersebar sampai ke kolon dan duodenum. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan mulut yang besar melekat pada mukosa dinding usus (Rusmartini, 2009).


(27)

17

Ukuran Ancylostoma duodenale sedikit lebih besar dari Necator americanus. Cacing dewasa jantan berukuran 5-11 mm x 0,3-0.45 mm dan cacing betina 9-13 mm x 0,35-0,6 mm. Bentuk badan Necator americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan Ancylostoma duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar. Necator americanus mempunyai benda kitin, sedangkan Ancylostoma duodenale ada dua pasang gigi (Soedarmo dkk., 2010; Sutanto dkk., 2008).

Telur cacing tambang berbentuk oval, tidak berwarna dan berukuran 40 x 60 mikron. Dinding luar dibatasi oleh lapisan vitelline yang halus, di antara ovum dan dinding telur terdapat ruangan yang jelas dan bening. Telur yang baru keluar bersama tinja mempunyai ovum yang mengalami segmentasi 2, 4, dan 8 sel. Bentuk telur Necator americanus tidak dapat dibedakan dari Ancylostoma duodenale. Jumlah telur per-hari yang dihasilkan seekor cacing betina Necator americanus sekitar 9.000-10.000, sedangkan pada Ancylostoma duodenale 10.000-20.000 butir (Rusmartini, 2009).


(28)

Telur cacing tambang dikeluarkan bersama tinja dan berkembang di tanah. Dalam kondisi kelembaban dan temperatur yang optimal, telur akan menetas dalam 1-2 hari dan melepaskan larva rhabditiform yang berukuran 250-300 µm. Setelah dua kali mengalami perubahan, akan terbentuk larva filariform. Perkembangan dari telur ke larva filariform adalah 5-10 hari. Kemudian larva menembus kulit manusia dan masuk ke sirkulasi darah melalui pembuluh darah vena dan sampai di alveoli. Setelah itu larva bermigrasi ke saluran nafas atas yaitu dari bronkhiolus ke bronkus, trakea, faring, kemudian tertelan, turun ke esofagus dan menjadi dewasa di usus halus (Soedarmo dkk., 2010)

Gambar 6. Daur hidup cacing tambang (hookworm) (CDC, 2013) Kerusakan jaringan dan gejala penyakit dapat disebabkan oleh larva maupun cacing dewasa. Larva menembus kulit dan membentuk maculopapula dan eritem, sering disertai rasa gatal yang hebat, disebut ground itch atau dew itch. Sewaktu larva berada dalam aliran darah


(29)

19

dalam jumlah banyak atau pada orang yang sensitif dapat menimbulkan bronkitis atau bahkan pneumonitis (Rusmartini, 2009).

Gejala yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang stadium dewasa tergantung pada spesies, jumlah cacing, dan keadaan gizi penderita. Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0,08-0,34 cc. Pada infeksi kronik atau infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian tetapi dapat membuat daya tahan tubuh berkurang dan prestasi kerja turun (Soedarmo dkk., 2010).

Diagnosis dapat ditegakkan dengan mengidentifikasi telur cacing tambang dalam sampel tinja menggunakan mikroskop. Untuk penilaian kuantitatif, berbagai metode seperti Kato-Katz dapat digunakan. Untuk membedakan spesies Necator americanus dan Ancylostoma duodenale dapat dilakukan biakan dengan cara Harada-Mori (Soedarmo dkk., 2010; CDC, 2012).

B. Kubis (Brassica oleracea) 1. Definisi

Kubis (Brassica oleracea) merupakan tanaman semusim atau dua musim dan termasuk dalam famili Brassicaceae. Pada umumnya kubis ditanam di daerah yang berhawa sejuk, di dataran tinggi 800-2.000 m dpl dan bertipe iklim basah, namun terdapat pula varietas yang dapat


(30)

ditanam di dataran rendah atau 200 m dpl. Pertumbuhan optimum didapatkan pada tanah yang banyak mengandung humus, gembur, porus, pH tanah antara 6-7. Waktu tanam yang baik pada awal musim hujan atau awal musim kemarau. Namun kubis dapat ditanam sepanjang tahun dengan pemeliharaan lebih intensif (Puslitbang Hortikultura Deptan RI, 2013).

2. Taksonomi

Kedudukan kubis dalam sistemika (taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Sub divisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Papavorales

Famili : Cruciverae (Brassicaceae)

Genus : Brassica

Spesies : Brassica oleracea (BBPP Lembang, 2012).

3. Morfologi

Kubis memiliki daun yang berbentuk bulat, oval, sampai lonjong, membentuk roset akar yang besar dan tebal. Warna daun bermacam-macam, antara lain putih (forma alba), hijau, dan merah keunguan (forma rubra). Awalnya, daunnya yang berlapis lilin tumbuh lurus, daun-daun berikutnya tumbuh membengkok, menutupi daun-daun


(31)

21

muda yang terakhir tumbuh. Pertumbuhan daun terhenti ditandai dengan terbentuknya krop atau telur (kepala) dan krop samping pada kubis tunas (Brussel sprouts). Selanjutnya, krop akan pecah dan keluar malai bunga yang bertangkai panjang, bercabang-cabang, berdaun kecil-kecil, mahkota tegak, berwarna kuning (Dinas Pertanian Kabupaten Majalengka, 2012).

Gambar 7. Kubis (Brassica oleracea) (Mayus, 2013)

Daun buah (Carpellum) yang berjumlah dua buah membentuk bakal buah yang terletak diatas dasar bunga (receptaculum) dan dalam perkembangan selanjutnya akan menjadi buah (Silikua) dengan dua ruang yang terpisah oleh dinding penyekat (septum). Buah ini lebarnya antara 0,4-0,5 cm dan panjangnya kadang-kadang lebih dari 10 cm. Pada kedua sisi dinding penyekat ruang terdapat masing-masing sederet biji yang jumlahnya antara 3-15 butir. Panjang buah maksimal tercapai antara 3-4 minggu sejak bunga mekar. Apabila buah mulai masak, daun buah akan terbuka mulai dari bagian pangkal ke bagian


(32)

ujung buah dan biji-biji melekat pada penyekat ruang plasentanya (Sulistiono, 2008).

Sistem perakaran kubis agak dangkal. Akar yang baru tumbuh berukuran 0,5 mm, tetapi setelah berumur 1-2 bulan sistem perakaran menyebar ke samping pada kedalaman antara 20-30 cm. Akar tunggangnya segera bercabang dan memiliki banyak akar serabut (Puslitbang Hortikultura Deptan RI, 2013).

Batang tanaman kubis umumnya pendek dan banyak mengandung air (herbaceous). Di sekeliling batang hingga titik tumbuh terdapat helai daun yang bertangkai pendek (Sulistiono, 2008).

4. Kubis Sebagai Lalapan

Sayuran lalapan merupakan jenis sayuran yang dikonsumsi secara mentah. Hal ini dikarenakan tekstur dan organoleptik sayuran lalapan ini memungkinkan untuk dikonsumsi secara mentah. Kelebihan sayuran lalapan adalah ketika dikonsumsi zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya tidak mengalami perubahan (Purba dkk., 2012).

Kubis (Brassica oleracea) merupakan jenis sayuran yang umumnya dikonsumsi secara mentah sebagai lalapan. Varietas kubis yang tumbuh di dataran rendah pada umumnya kropnya renggang, renyah, bobot kropnya rendah, dan rasanya lebih manis. Kubis jenis ini sangat cocok digunakan sebagai lalapan (Nasikhun, 2011).


(33)

23

C. Pemeriksaan Soil Transmitted Helminths (STH) pada Sayuran

Salah satu metode pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada sayuran adalah dengan metode tak langsung. Dalam metode ini telur cacing tidak langsung dibuat sediaan tetapi sebelum dibuat sediaan sampel diperlakukan sedemikian rupa sehingga telur cacing dapat terkumpul. Metode ini menghasilkan sediaan yang lebih bersih daripada metode yang lain (Sehatman, 2006).

Metode tak langsung dibagi menjadi dua cara yaitu sedimentasi (pengendapan) dan flotasi (pengapungan). Prinsip dari teknik sedimentasi adalah memisahkan antara suspensi dan supernata dengan adanya sentrifugasi sehingga telur cacing dapat terendap. Sedangkan prinsip dari teknik flotasi adalah berat jenis telur cacing lebih kecil daripada berat jenis NaCl jenuh sehingga mengakibatkan telur cacing akan mengapung di permukaan larutan (Yudiar, 2012).

Pemeriksaan dengan teknik sedimentasi dan flotasi memiliki kelebihan dan kekurangan. Teknik sedimentasi memerlukan waktu lama, tetapi mempunyai keuntungan karena dapat mengendapkan telur tanpa merusak bentuknya. Pada teknik flotasi, pemeriksaan tidak akurat bila berat jenis larutan pengapung lebih rendah daripada berat jenis telur dan jika berat jenis larutan pengapung ditambah maka akan menyebabkan kerusakan pada telur (Sehatman, 2006).


(34)

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan pendekatan laboratorik yaitu untuk mengetahui gambaran hasil identifikasi jumlah dan jenis telur cacing pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung.

B. Waktu dan Tempat

Pengambilan sampel dilakukan di warung-warung makan yang berada di lingkungan Universitas Lampung. Pemeriksaan telur cacing dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung pada bulan November – Desember 2013.

C. Variabel Penelitian


(35)

25

D. Definisi Operasional Tabel 1. Definisi operasional

E. Alat-alat dan Bahan Penelitian Alat-alat yang digunakan antara lain :

1. Beaker glass 2. Pipet tetes

3. Alat sentrifugasi dan tabungnya 4. Rak tabung

5. Pinset 6. Ember 7. Neraca Ohaus 8. Object glass 9. Cover glass 10.Mikroskop

Bahan-bahan yang digunakan antara lain : 1. Larutan NaOH 0,2%

2. Larutan eosin 1% 3. Aquades

4. Sampel lalapan kubis

No. Variabel Definisi Hasil Ukur Skala

1 Telur cacing pada lalapan kubis

Telur Soil Transmitted Helminths (STH) yang mungkin ditemukan pada lalapan kubis. Hasil pemeriksaan telur cacing: (+) Ditemukan (-) Tidak ditemukan Kategorik


(36)

F. Prosedur Penelitian

Pemeriksaan telur cacing pada penelitian ini menggunakan metode tak langsung dengan teknik sedimentasi (pengendapan). Prosedur pemeriksaannya yaitu :

Gambar 10. Prosedur pemeriksaan telur cacing Memotong sayuran menjadi bagian kecil-kecil

Merendam 50 gram lalapan kubis dengan 500 ml larutan NaOH 0,2% dalam beaker glass 1000 ml.

Setelah 30 menit, sayuran diaduk dengan pinset hingga merata lalu sayuran dikeluarkan.

Menyaring air rendaman kemudian dimasukkan ke dalam beaker glass lain dan diamkan selama satu jam.

Air yang di permukaan beaker glass dibuang, air di bagian bawah beaker glass beserta endapannya diambil dengan volume

10-15 ml menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi.

Menyentrifugasi air endapan dengan kecepatan 1500 putaran/menit selama lima menit.

Membuang supernatan dan endapan bagian bawah diambil untuk diperiksa secara mikroskopis.

Mengambil larutan eosin memakai pipet dan meneteskan satu tetes pada object glass.

Mengambil endapan dari tabung sentrifugasi satu tetes lalu meneteskan pada object glass yang telah diberi eosin. Menutup hati-hati dengan cover glass (cairan harus merata dan

tidak boleh ada gelembung udara).


(37)

27

G. Populasi dan Sampel 1. Populasi Penelitian

Populasi yang digunakan di dalam penelitian ini adalah sayuran mentah (lalapan) yang dijual di warung-warung makan Universitas Lampung.

2. Sampel Penelitian

a. Kriteria Inklusi

1) Lalapan kubis (Brassica oleracea) yang dijual di warung-warung makan Universitas Lampung.

2) Lalapan kubis (Brassica oleracea) segar.

b. Kriteria Eksklusi

Lalapan kubis (Brassica oleracea) segar yang dimakan ulat.

c. Besar Sampel

Pada penelitian ini, besar sampel ditentukan dengan teknik totally sampling. Dengan demikian, sampel diambil dari seluruh warung makan di Universitas Lampung yang menyediakan kubis (Brassica oleracea) sebagai lalapan. Setelah dilakukan survey pendahuluan, terdapat 14 warung makan yang menyediakan lalapan kubis. Pengambilan sampel dilakukan satu kali dalam seminggu selama tiga minggu sehingga dilakukan tiga kali pengambilan sampel (42 sampel).


(38)

H. Pengolahan Data

Data diperoleh dari hasil pemeriksaan telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut dilakukan analisis deskriptif untuk mengetahui jumlah kontaminasi telur cacing dan jenis telur cacing yang ditemukan. Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabulasi dan grafik.


(39)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1.

Lalapan kubis di warung-warung makan Universitas Lampung terkontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) dengan jumlah kontaminasi telur cacing sebanyak 11 sampel lalapan (26,19%).

2.

Jenis telur cacing yang ditemukan pada lalapan kubis yang dijual di warung-warung makan Universitas Lampung adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura).

B. Saran

1. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian serupa di luar Universitas Lampung dan menambahkan jenis lalapan yang berpotensi terkontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH).

2. Bagi mahasiswa sebagai konsumen disarankan untuk lebih berperan aktif dalam mengawasi dan memperhatikan kebersihan dari sayuran mentah yang akan dikonsumsi agar tidak terinfeksi telur Soil Transmitted Helminths (STH).

3. Bagi Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Lampung disaranakan untuk mengadakan penyuluhan kepada para pedagang makanan agar melakukan pencucian pada setiap lapisan daun kubis dengan


(40)

air mengalir sebelum disajikan sebagai lalapan dan memperhatikan kebersihan perseorangan.

4. Bagi Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung disarankan untuk melakukan pemeriksaan infeksi cacing pada mahasiswa agar dampak yang ditimbulkan dan penularan dari telur cacing dapat dikurangi.


(41)

DAFTAR PUSTAKA

Almi, Dina Utari. 2011. Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran Kubis dan Selada di Pasar Tradisional Kota Bandar Lampung. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Balai Besar Pelatihan Pertanian Lembang. 2012. Teknik Budidaya Kubis. http://www.bbpp-lembang.info/index.php/en/arsip/artikel/artikel-pertanian/ 586-teknik-budidaya-kubis-brassica-oleraceae-l, diakses 5 Oktober 2013.

Centers for Disease Control and Prevention. 2009. Ascariasis. http://www.dpd. cdc.gov/dpdx/HTML/ImageLibrary/A-F/Ascariasis/body_Ascariasis_il2. htm, diakses 4 Oktober 2013.

_____. 2009. Trichuriasis. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/ImageLibrary/ S-Z/Trichuriasis/body_ Trichuriasis_il1.htm, diakses 4 Oktober 2013.

_____. 2010. Hookworm.http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/ HTML/ImageLibrary/G-L/Hookworm/body_Hookworm_il1.htm, diakses 4 Oktober 2013.

_____. 2012. Ascariasis. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/ html/Ascariasis.htm, diakses 4 Oktober 2013.

_____. 2013. Parasites - Ascariasis: Biology. http://www.cdc.gov/parasites/ ascariasis/biology.html., diakses 3 Oktober 2013.

_____. 2013. Parasites - Hookworm. http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/ biology.html, diakses 3 Oktober 2013.

_____. 2013. Parasites - Soil-transmitted Helminths (STHs).http://www.cdc.gov/ parasites/sth/, diakses 1 Oktober 2013.


(42)

_____. 2013. Parasites - Trichuriasis (also known as Whipworm Infection). http://www.cdc.gov/parasites/whipworm/ biology .html, diakses 1 Oktober 2013.

Dinas Pertanian Kabupaten Majalengka. 2012. Kubis (Brassica oleracea var. capitata). http://distan.majalengkakab.go.id/bid-th/index.php?option=com_ content&view=article&id=11:kubis-brassica-oleracea-var-capitata&catid=2: berita, diakses 5 Oktober 2013.

Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI. 2013. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2012. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Endriani, Mifbakhudin, Sayono. 2010. Beberapa Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Usia 1-4 Tahun. Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.

Hotez, Peter J., Donald A. P. Bundy, Kathleen Beegle, Simon Brooker, Lesley Drake, Nilanthi de Silva, Antonio Montresor, Dirk Engels. 2006. Helminth Infections: Soil-Transmitted Helminth Infections and Schistosomiasis. Pp 467-482 In: Disease Control Priorities in Developing Countries, 2nd edition. Jamison, Dean T., Joel G. Breman, Anthony R. Measham, George Alleyne, Mariam Claeson, David B. Evans, Prabhat Jha, Anne Mills, Philip Musgrove.Disease Control Priorities Project. Washington (DC). Pp 1400.

Indriani, Annisa. 2011. Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran Kubis dan Selada di Pasar Modern Kota Bandar Lampung. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Lubis, Aridamuriany Dwiputri. 2012. Perbandingan Efektivitas Albendazole 5 Dan 7 Hari Pada Infeksi Trichuris Trichiuria. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Mardiana, Djarismati. 2008. Prevalensi Cacing Usus Pada Murid Sekolah Dasar Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh Di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 7 No. 2, Agustus 2008: 769-774.

Mayus, Syahrial. 2012. Dikenal Hanya Sebagai Lalapan, Kubis Ternyata Miliki 4 Manfaat Besar. http://jaringnews.com/hidup-sehat/alternatif/19495/dikenal-hanya-sebagai-lalapan-kubis-ternyata-miliki-manfaat-besar, diakses 6 Oktober 2013.


(43)

41

Menteri Kesehatan RI. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Rupublik Indonesia Nomor 424/MENKES/SK/VI/2006 Tentang Pendoman Pengendalian Cacingan. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Muyassaroh, Siti, Rahayu Astuti, Wulandari Meikawati. 2012.Pengaruh Frekuensi Pencucian Pada Daun Kubis (Brassica oleracea var Capitata) Terhadap Jumlah Cacing Usus (Nematoda Intestinal). Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.

Nasikhun, Teguh Supriyadi, Mahananto. 2011. Uji Efektifitas Daun Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Varietas Tanaman Kubis (Brassica oleracea L.). AGRINECA, Vol. 11 No. 2 Juli 2011: 196-213 hlm.

Nugroho, Cahyono, Sitti Nur Djanah, Surahma Asti Mulasari. 2010. Identifikasi Kontaminasi Telur Nematoda Usus Pada Sayuran Kubis (Brassica Oleracea) Warung Makan Lesehan Wonosari Gunungkidul Yogyakarta Tahun 2010. Jurnal KESMAS UAD Vol. 4, No.1, September 2010: 67-75 hlm.

Purba , Srianna Florensi, Indra Chahaya, Irnawati Marsaulina. 2012. Pemeriksaan Escherichia coli dan Larva Cacing Pada Sayuran Lalapan Kemangi (Ocimum basilicum), Kol (Brassica oleracea L. var. capitata. L.), Selada (Lactuca sativa L.), Terong (Solanum melongena) Yang Dijual Di Pasar Tradisional, Supermarket Dan Restoran Di Kota Medan Tahun 2012. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Puslitbang Hortikultura Deptan RI. 2013. Budidaya Tanaman Kubis. http://hortikultura.litbang.deptan.go.id/index.php?bawaan=berita/fullteks_be rita&&id_menu=3&id_submenu=17&id=347, diakses 5 Oktober 2013.

Rusmartini, Tinni. 2009. Penyakit Oleh Nematoda Usus. 73-96 hlm dalam: Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Natadisastra, D., Agoes, R. EGC. Jakarta. 450 hlm.

Sehatman. 2006. Diagnosa Infeksi Cacing Tambang. Media Litbang Kesehatan XVI Nomor 4 Tahun 2006. Jakarta. 22-25 hlm.

Setyorini. 2011. Identifikasi Telur Nematoda Usus Pada Sayur Kubis (Brassica oleracea) yang Dijual di Pasar Montong Kabupaten Tuban. Universitas Muhammadiyah Surabaya. Surabaya.


(44)

Siskhawahy. 2010. Pengaruh Lama Perebusan Terhadap Keutuhan Telur Ascaris Lumbricoides. Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.

Soedarmo, Sumarmo S. P., Herry Garna, Sri Rezeki S. Hadinegoro, Hindra Irawan Satari. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Ikatan Dokter Anak indonesia. Jakarta.

Sulistiono, Wawan Riyanto. 2008. Kajian Benzyl Amino Purine dan Jenis Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan, Hasil, dan Kandungan Vitamin C Pada Kubis Putih (Brassica oleraceae L.). Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Suryani, Dyah. 2013. Hubungan Perilaku Mencuci Dengan Kontaminasi Telur Nematoda Usus Pada Sayuran Kubis (Brassica oleracea) Pedagang Pecel Lele di Kelurahan Warungboto Kota Yogyakarta.Jurnal Kesmas UAD Vol. 6, No. 2, Juni 2012: 162-232.

Sutanto, Inge, Is Suhariah Ismid, Pudji K. Sjarifudin, Saleha Sungkar. 2008. Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 6-32 hlm.

World Health Organization. 2013. Soil-transmitted helminth infections. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs366/en/, diakses 1 Oktober 2013.

Yudiar, Etri. 2012. Pengaruh Waktu Perebusan Terhadap Jumlah Telur Ascaris limbricoides. Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.


(1)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1.

Lalapan kubis di warung-warung makan Universitas Lampung terkontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) dengan jumlah kontaminasi telur cacing sebanyak 11 sampel lalapan (26,19%).

2.

Jenis telur cacing yang ditemukan pada lalapan kubis yang dijual di warung-warung makan Universitas Lampung adalah cacing gelang

(Ascaris lumbricoides) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura).

B. Saran

1. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian serupa di luar Universitas Lampung dan menambahkan jenis lalapan yang berpotensi terkontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH).

2. Bagi mahasiswa sebagai konsumen disarankan untuk lebih berperan aktif dalam mengawasi dan memperhatikan kebersihan dari sayuran mentah yang akan dikonsumsi agar tidak terinfeksi telur Soil Transmitted Helminths (STH).

3. Bagi Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Lampung disaranakan untuk mengadakan penyuluhan kepada para pedagang makanan agar melakukan pencucian pada setiap lapisan daun kubis dengan


(2)

38

air mengalir sebelum disajikan sebagai lalapan dan memperhatikan kebersihan perseorangan.

4. Bagi Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung disarankan untuk melakukan pemeriksaan infeksi cacing pada mahasiswa agar dampak yang ditimbulkan dan penularan dari telur cacing dapat dikurangi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Almi, Dina Utari. 2011. Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran

Kubis dan Selada di Pasar Tradisional Kota Bandar Lampung. Universitas

Lampung. Bandar Lampung.

Balai Besar Pelatihan Pertanian Lembang. 2012. Teknik Budidaya Kubis. http://www.bbpp-lembang.info/index.php/en/arsip/artikel/artikel-pertanian/ 586-teknik-budidaya-kubis-brassica-oleraceae-l, diakses 5 Oktober 2013.

Centers for Disease Control and Prevention. 2009. Ascariasis. http://www.dpd. cdc.gov/dpdx/HTML/ImageLibrary/A-F/Ascariasis/body_Ascariasis_il2. htm, diakses 4 Oktober 2013.

_____. 2009. Trichuriasis. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/ImageLibrary/ S-Z/Trichuriasis/body_ Trichuriasis_il1.htm, diakses 4 Oktober 2013.

_____. 2010. Hookworm.http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/ HTML/ImageLibrary/G-L/Hookworm/body_Hookworm_il1.htm, diakses 4 Oktober 2013.

_____. 2012. Ascariasis. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/ html/Ascariasis.htm, diakses 4 Oktober 2013.

_____. 2013. Parasites - Ascariasis: Biology. http://www.cdc.gov/parasites/ ascariasis/biology.html., diakses 3 Oktober 2013.

_____. 2013. Parasites - Hookworm. http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/ biology.html, diakses 3 Oktober 2013.

_____. 2013. Parasites - Soil-transmitted Helminths (STHs).

http://www.cdc.gov/


(4)

40

_____. 2013. Parasites - Trichuriasis (also known as Whipworm Infection).

http://www.cdc.gov/parasites/whipworm/ biology .html, diakses 1 Oktober 2013.

Dinas Pertanian Kabupaten Majalengka. 2012. Kubis (Brassica oleracea var. capitata). http://distan.majalengkakab.go.id/bid-th/index.php?option=com_ content&view=article&id=11:kubis-brassica-oleracea-var-capitata&catid=2: berita, diakses 5 Oktober 2013.

Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI. 2013. Profil Pengendalian Penyakit

dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2012. Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia. Jakarta.

Endriani, Mifbakhudin, Sayono. 2010. Beberapa Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Usia 1-4 Tahun. Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.

Hotez, Peter J., Donald A. P. Bundy, Kathleen Beegle, Simon Brooker, Lesley Drake, Nilanthi de Silva, Antonio Montresor, Dirk Engels. 2006. Helminth Infections: Soil-Transmitted Helminth Infections and Schistosomiasis. Pp 467-482 In: Disease Control Priorities in Developing Countries, 2nd edition. Jamison, Dean T., Joel G. Breman, Anthony R. Measham, George Alleyne, Mariam Claeson, David B. Evans, Prabhat Jha, Anne Mills, Philip Musgrove.Disease Control Priorities Project. Washington (DC). Pp 1400.

Indriani, Annisa. 2011. Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran Kubis dan Selada di Pasar Modern Kota Bandar Lampung. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Lubis, Aridamuriany Dwiputri. 2012. Perbandingan Efektivitas Albendazole 5 Dan 7 Hari Pada Infeksi Trichuris Trichiuria. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Mardiana, Djarismati. 2008. Prevalensi Cacing Usus Pada Murid Sekolah Dasar Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan

Daerah Kumuh Di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 7

No. 2, Agustus 2008: 769-774.

Mayus, Syahrial. 2012. Dikenal Hanya Sebagai Lalapan, Kubis Ternyata Miliki 4 Manfaat Besar. http://jaringnews.com/hidup-sehat/alternatif/19495/dikenal-hanya-sebagai-lalapan-kubis-ternyata-miliki-manfaat-besar, diakses 6 Oktober 2013.


(5)

Menteri Kesehatan RI. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Rupublik Indonesia Nomor 424/MENKES/SK/VI/2006 Tentang Pendoman Pengendalian Cacingan. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Muyassaroh, Siti, Rahayu Astuti, Wulandari Meikawati. 2012.Pengaruh Frekuensi Pencucian Pada Daun Kubis (Brassica oleracea var Capitata)

Terhadap Jumlah Cacing Usus (Nematoda Intestinal). Universitas

Muhammadiyah Semarang. Semarang.

Nasikhun, Teguh Supriyadi, Mahananto. 2011. Uji Efektifitas Daun Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Varietas Tanaman Kubis (Brassica oleracea L.). AGRINECA, Vol. 11 No. 2 Juli 2011: 196-213 hlm.

Nugroho, Cahyono, Sitti Nur Djanah, Surahma Asti Mulasari. 2010. Identifikasi Kontaminasi Telur Nematoda Usus Pada Sayuran Kubis (Brassica Oleracea) Warung Makan Lesehan Wonosari Gunungkidul Yogyakarta Tahun 2010. Jurnal KESMAS UAD Vol. 4, No.1, September 2010: 67-75 hlm.

Purba , Srianna Florensi, Indra Chahaya, Irnawati Marsaulina. 2012. Pemeriksaan Escherichia coli dan Larva Cacing Pada Sayuran Lalapan Kemangi (Ocimum basilicum), Kol (Brassica oleracea L. var. capitata. L.), Selada (Lactuca sativa L.), Terong (Solanum melongena) Yang Dijual Di Pasar Tradisional, Supermarket Dan Restoran Di Kota Medan Tahun 2012.

Universitas Sumatera Utara. Medan.

Puslitbang Hortikultura Deptan RI. 2013. Budidaya Tanaman Kubis. http://hortikultura.litbang.deptan.go.id/index.php?bawaan=berita/fullteks_be rita&&id_menu=3&id_submenu=17&id=347, diakses 5 Oktober 2013.

Rusmartini, Tinni. 2009. Penyakit Oleh Nematoda Usus. 73-96 hlm dalam:

Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Natadisastra, D., Agoes, R. EGC. Jakarta. 450 hlm.

Sehatman. 2006. Diagnosa Infeksi Cacing Tambang. Media Litbang Kesehatan XVI Nomor 4 Tahun 2006. Jakarta. 22-25 hlm.

Setyorini. 2011. Identifikasi Telur Nematoda Usus Pada Sayur Kubis (Brassica oleracea) yang Dijual di Pasar Montong Kabupaten Tuban. Universitas Muhammadiyah Surabaya. Surabaya.


(6)

42

Siskhawahy. 2010. Pengaruh Lama Perebusan Terhadap Keutuhan Telur Ascaris

Lumbricoides. Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.

Soedarmo, Sumarmo S. P., Herry Garna, Sri Rezeki S. Hadinegoro, Hindra Irawan Satari. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Ikatan Dokter Anak indonesia. Jakarta.

Sulistiono, Wawan Riyanto. 2008. Kajian Benzyl Amino Purine dan Jenis Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan, Hasil, dan Kandungan Vitamin C Pada Kubis Putih (Brassica oleraceae L.). Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Suryani, Dyah. 2013. Hubungan Perilaku Mencuci Dengan Kontaminasi Telur Nematoda Usus Pada Sayuran Kubis (Brassica oleracea) Pedagang Pecel

Lele di Kelurahan Warungboto Kota Yogyakarta.Jurnal Kesmas UAD Vol.

6, No. 2, Juni 2012: 162-232.

Sutanto, Inge, Is Suhariah Ismid, Pudji K. Sjarifudin, Saleha Sungkar. 2008.

Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 6-32 hlm.

World Health Organization. 2013. Soil-transmitted helminth infections. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs366/en/, diakses 1 Oktober 2013.

Yudiar, Etri. 2012. Pengaruh Waktu Perebusan Terhadap Jumlah Telur Ascaris


Dokumen yang terkait

Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar di SDN 060972 Simalingkar B, Medan

7 53 116

Hubungan Antara Higiene dengan Infeksi Cacing Soil Transmitted Helminths pada Siswa-siswi SD Negeri No. 101837 Suka Makmur, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011

0 38 78

Hubungan Menyiram Menggunakan Air Sumur dengan Kontaminasi Soil Transmitted Helminths pada Tanaman Kubis di Desa Seribu Dolok, Simalungun, Sumatera Utara Tahun 2011

5 46 51

Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran Kubis Segar di Pasar Tradisional di Kota Medan pada Tahun 2015

7 51 64

Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran Kubis Segar di Pasar Tradisional di Kota Medan pada Tahun 2015

0 2 11

Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran Kubis Segar di Pasar Tradisional di Kota Medan pada Tahun 2015

0 0 2

Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran Kubis Segar di Pasar Tradisional di Kota Medan pada Tahun 2015

0 0 3

Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran Kubis Segar di Pasar Tradisional di Kota Medan pada Tahun 2015

0 0 17

IDENTIFIKASI TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) PADA SAYURAN SELADA (Lactuca sativa) PADA WARUNG MAKAN DI KECAMATAN SEBERANG ULU II PALEMBANG PERIODE JULI 2018-JANUARI 2019 -

0 0 19

IDENTIFIKASI KONTAMINASI TELUR NEMATODA USUS PADA SAYURAN KUBIS (Brassica oleracea) WARUNG MAKAN LESEHAN WONOSARI GUNUNGKIDUL YOGYAKARTA TAHUN 2010 - Repository Universitas Ahmad Dahlan

0 0 9