Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar di SDN 060972 Simalingkar B, Medan

(1)

 

HU DEN

BUNGAN I NGAN PRE DI SDN

RODIN

UNI

INFEKSI S

ESTASI BEL N 060972 SI

NDA MAR 1

FAKULTA IVERSITAS

SOIL TRANS

LAJAR AN IMALINGK

Oleh: SHA RUTH 100100319

AS KEDOK S SUMATE

MEDAN 2013

SMITTED H

NAK SEKO KAR B, ME

H HUTABA

KTERAN ERA UTARA

HELMINTH

LAH DASA EDAN

ARAT

A

HS


(2)

 

HU DEN

sala

BUNGAN I NGAN PRE DI SDN

Kar ah satu syar

RODIN

UNI

INFEKSI S

ESTASI BEL N 060972 SI

rya Tulis Ilm rat memper

NDA MAR 1

FAKULTA IVERSITAS

SOIL TRANS

LAJAR AN IMALINGK

miah ini diaj roleh kelulu

Oleh: SHA RUTH 100100319

AS KEDOK S SUMATE

MEDAN 2013

SMITTED H

NAK SEKO KAR B, ME

ajukan sebag san Sarjana

H HUTABA

KTERAN ERA UTARA

HELMINTH

LAH DASA EDAN

gai

a Kedoktera

ARAT

A

HS

AR


(3)

 

LEMBAR PENGESAHAN

Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar di SDN 060972 Simalingkar B, Medan

Nama : Rodinda Marsha Ruth Hutabarat

NIM : 100100319

Pembimbing Penguji I

(dr. Wisman Dalimunthe Sp. A (K)) (dr. Lambok Siahaan, MKT) NIP. 140 354 982 NIP. 19711005 200112 1 001

Penguji II

(dr. Isti Ilmiati Fujiati, MSc. CM-FM, MPd. Ked) NIP. 19670527 199903 2 001

Medan, Januari 2014 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD - KGEH) NIP. 19540220 198011 1 001


(4)

 

ABSTRAK

STH bersifat endemis pada keenam area World Health Organization (WHO) dan mempengaruhi lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia. STH yang paling sering ditemui di dunia meliputi Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing cambuk), Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale

(cacing tambang). Infeksi STH pada manusia dapat menyebabkan gangguan pada jaringan dan organ tubuh. Anak-anak di usia sekolah yang terinfeksi dengan STH mengalami penurunan kesehatan fisik dan kemampuan kognitif, serta mempengaruhi prestasi belajar di sekolah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara infeksi STH dengan prestasi belajar anak sekolah dasar.

Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif-analitik dengan pendekatan

cross sectional yang dilakukan di SDN 060972 Simalingkar B, Medan pada bulan Agustus 2013 sampai dengan Oktober 2013. Sampel penelitian adalah 63 orang anak sekolah dasar yang dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi melalui teknik total sampling. Data infeksi STH anak diambil sebagai data primer melalui pemeriksaan laboratorium feses teknik Kato-Katz. Data prestasi belajar anak diambil sebagai data sekunder dari rapor bulan Agustus 2013. Data penelitian dianalisis dengan uji Chi Square.

Pada penelitian ini, terdapat22 orang (34,9%) anak yang terinfeksi STH dan 5 orang (7,9%) anak dengan prestasi belajar kurang. Anak yang terinfeksi STH ditemukan paling banyak pada anak perempuan (53,7%) dan anak kelas II (40,9%). Anak sekolah dasar dengan prestasi belajar kurang ditemukan paling banyak pada anak perempuan (60,0%), anak kelas III (80,0%), dan anak yang terinfeksi STH (80,0%). Hasil uji Fisher’s Exact mendapatkan p value = 0,046 (95% CI)) dengan OR = 8,89.

Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara infeksi STH dengan prestasi belajar anak sekolah dasar. Kesadaran dalam menjaga kesehatan diri dan lingkungan, serta pemeriksaan kesehatan berkala perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan prestasi belajar anak-anak sekolah dasar.


(5)

 

ABSTRACT

Soil Transmitted Helminths are endemic in six area of World Health Organization and affect more than 2 billion people around the world. The four most common STH are Ascaris lumbricoides (roundworm), Trichuris trchiura (whipworm), and Necator americanus and Ancylostoma duodenale (hookworms). STH infection in human can cause disturbance in tissue and organ. Children in school aged who infected by STH undergo decreased physical health and cognitive abilities, also affect study achievement. The aims of the research was to know the relation between STH infection and study achievement.

This research was a descriptive-analytic cross sectional study, it had been held at SDN 060972 Simalingkar B, Medan on August 2013 until October 2013. Samples of the research were 63 primary school children. Samples were chosen based on inclusion criteria and exclusion criteria with total sampling technic. STH infection data were collected as a primary data by doing a Kato-Katz technic of stool laboratory test. Study achievement data were collected as a secondary data from report card on August 2013. Research data were analyzed with Chi Square test.

In this research, there were 22 (34,9%) children was infected by STH and 5 (7,9%) children with under achievement. Children who were infected by STH were mostly found in female group (53,7%) and second grade primary school student (40,9%). Under achievement children were mostly found in female group (60,0%) and third grade primary school (80,0%), and children with STH infection (80,0%). Fisher’s Exact test found that p value was 0,046 (95% CI)) with OR = 8,89.

From the result of the research, we concluded that there was a relation between STH and study achievement. Awareness in protection of personal and environment hygiene, also periodic medical check-up should be done for improve primary school children’s health quality and study achievement.  

Keywords : primary school children, STH infection, study achievement


(6)

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul:

“Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar di SDN 060972 Simalingkar B, Medan”

Karya tulis ilmiah ini disusun sebagai tugas akhir untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses penyusunan dan penyelesaian karya tulis ilmiah ini, antara lain:

1. Prof. dr. Gontar Siregar, Sp. PD - KGEH, sebagai Dekan Fakultas Kedokteran USU, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Kedokteran di Fakultas Kedokteran USU.

2. dr. Wisman Dalimunthe Sp.A (K), sebagai dosen pembimbing karya tulis ilmiah, yang telah memberikan waktu untuk membimbing saya dalam proses penyusunan dan penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

3. dr. Lambok Siahaan, MKT dan dr. Isti Ilmiati Fujiati, MSc. CM-FM, MPd. Ked, sebagai dosen penguji karya tulis ilmiah, yang telah memberikan banyak kritik dan saran yang membangun saya untuk memperlengkapi karya tulis ilmiah ini.

4. dr. Dedi Ardinata, M.Kes, sebagai dosen pembimbing akademis, yang telah membimbing saya selama menjalani Program Pendidikan Kedokteran.

5. Kepala Sekolah dan seluruh guru SDN 060972 Simalingkar B, Medan yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan penelitian di SDN 060972 Simalingkar B, Medan.

6. Departemen Parasitologi Fakuktas Kedokteran USU, yang telah menyediakan waktu, tempat, dan fasilitas untuk melakukan penelitian ini.


(7)

 

7. Staf pengajar dan pegawai Fakultas Kedokteran USU, yang telah membimbing dan mendidik saya selama mengikuti Program Pendidikan Kedokteran.

8. Orang tua saya, Marnix Sahata Hutabarat, BBA dan dr. Rointan Simanungkalit, Sp. KK (K), yang selalu mendukung, membimbing, dan mendoakan saya dalam menjalani tiap hal yang saya lakukan, termasuk penyusunan dan penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

9. Kakak dan adik saya, dr. Margareth Hutabarat dan Michella Hutabarat, yang selalu membantu dan membuat saya selalu bersemangat dalam menyusun dan menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

10.Sahabat-sahabat saya, Amanda, Benny, Dewi, Dwi, Evelyn, Fenny, Ivonne, Jessica, Kristin, Monica, Sherylin, Stefanie, Stefani, yang telah meluangkan waktu dalam bertukar pikiran selama proses penyusunan dan penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

11.Teman-teman Fakultas Kedokteran USU Angkatan 2010 yang telah mendukung dan membantu saya selama proses penyusunan dan penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

12.Seluruh keluarga dan teman yang tidak dapat diucapkan satu per satu, saya ucapkan terima kasih atas segala dukungannya.

Saya menyadari kekurangan yang terdapat dalam karya tulis ilmiah ini. Namun, saya berharap karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat sebagai salah satu sumber pengetahuan ataupun referensi untuk penelitian selanjutnya.

Akhir kata, saya ucapkan terima kasih. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan berkat dan kurnia-Nya kepada kita semua.

Medan, 04 Desember 2013

Penulis,

Rodinda M. R. Hutabarat NIM. 100100319


(8)

 

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ...   1 

1.2. Rumusan Masalah ... 2 

1.3. Tujuan Penelitian ... 3 

1.3.1. Tujuan Umum ... 3 

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3 

1.4.Manfaat Penelitian ... 3 

  BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) ... 4

2.1.1. Epidemiologi Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) ... 4

2.1.2. Morfologi dan Siklus Hidup Soil Tranmitted Helminths (STH) ... 5

2.1.2.1. Morfologi dan Siklus Hidup Ascaris lumbricoides ... 5

2.1.2.2. Morfologi dan Siklus Hidup Trichiusris trichiura ... 9

2.1.2.3. Morfologi dan Siklus Hidup Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) ... 12

2.1.3. Patogenesis Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) ... 16

2.1.4. Diagnosa Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) .... 16

2.1.4.1. Gejala Klinis ... 16

2.1.4.1.1. Gejala Klinis Askariasis ... 16

2.1.4.1.2. Gejala Klinis Trikuriasis ... 18

2.1.4.1.3. Gejala Klinis Ankilostomiasis dan Nekatoriasis ... 18

2.1.4.2. Pemeriksaan Penunjang ... 19

2.1.5. Penatalaksanaan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) ... 23


(9)

 

2.1.6. Pencegahan Infeksi Soil Transmitted Helminths

(STH) ... 25

2.2. Prestasi Belajar ... 26

2.2.1. Definisi dan Aspek-Aspek Belajar ... 26

2.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar ... 26

2.2.2.1. Faktor Internal Anak ... 27

2.2.2.1.1. Aspek Fisiologis ... 27

2.2.2.1.2. Aspek Psikologis ... 28

2.2.2.2. Faktor Eksternal Anak ... 30

2.2.2.2.1. Lingkungan Sosial ... 31

2.2.2.2.2. Lingkungan Nonsosial... 31

2.2.2.3. Faktor Pendekatan Belajar ... 32

2.2.2.3.1. Pendekatan Hukum Jost... 32

2.2.2.3.2. Pendekatan Ballard dan Clanchy ... 32

2.2.2.3.3. Pendekatan Biggs ... 33

2.2.2.3.4. Pendekatan Independent Learning dan Self-Directed Learning ... 34

2.2.3. Penilaian Prestasi Belajar ... 34

2.2.3.1. Indikator Prestasi Belajar ... 34

2.2.3.2. Pendekatan Evaluasi Prestasi Belajar ... 36

2.2.3.2.1. Pendekatan Acuan Norma (Norm-Referenced Assessment) ... 36

2.2.3.2.2. Penilaian Acuan Kriteria (Criterion-Referenced Assessment) .. 37

2.2.3.3. Batas Minimal Prestasi Belajar ... 37

2.3. Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Prestasi Belajar Anak ... 38

2.4. Kerangka Teori ... 39

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 40

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 40

3.2. Definisi Operasional ... 40

3.2.1. Soil Transmitted Helminths ... 40

3.2.2. Infeksi Soil Transmitted Helminths ... 40

3.2.3. Prestasi Belajar ... 41

3.2.4. Anak Sekolah Dasar ... 41

3.3. Hipotesis ... 41

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 42

4.1. Jenis Penelitian ... 42

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 42

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 42

4.3.1. Populasi Penelitian ... 42

4.3.2. Sampel Penelitian ... 43


(10)

 

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 43

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 44

5.2. Deskripsi Karakteristik Sampel ... 44

5.2.1. Karakteristik Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin ... 44

5.2.2. Karakteristik Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Kelas ... 45

5.2.3. Karakteristik Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) ... 45

5.2.4. Karakteristik Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Prestasi Belajar ... 47

5.3. Hasil Analisis Data ... 48

5.3.1. Karakteristik Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelas ... 48

5.3.2. Karakteristik Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin, Kelas, Infeksi STH, dan Intensitas Infeksi ... 49

5.3.3. Hubungan Antara Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) dengan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar .... 52

5.4. Pembahasan ... 53

5.4.1. Karakteristik Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelas ... 53

5.4.2. Karakteristik Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin, Kelas, Infeksi STH, dan Intensitas Infeksi ... 54

5.4.3. Hubungan Antara Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) dengan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar .... 55

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

6.1. Kesimpulan ... 57

6.2. Saran ... 57


(11)

 

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Intensitas Infeksi Soil Transmitted Helminths 22 Tabel 2.2. Jenis, Indikator, dan Cara Evaluasi Belajar 34 Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Anak Sekolah Dasar

Berdasarkan Jenis Kelamin

45

Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Kelas

45

Tabel 5.3. Distribusi Karakteristik Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Infeksi STH

46

Tabel 5.4. Distribusi Jenis STH dan Intensitas Infeksi 47 Tabel 5.5. Distribusi Karakteristik Anak Sekolah Dasar

Berdasarkan Prestasi Belajar

48

Tabel 5.6. Distribusi Karakteristik Infeksi STH Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin

48

Tabel 5.7. Distribusi Karakteristik Infeksi STH Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Kelas

49

Tabel 5.8. Distribusi Karakteristik Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Kelamin

50

Tabel 5.9. Distribusi Karakteristik Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Kelas

50

Tabel 5.10. Distribusi Karakteristik Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Jenis Infeksi STH

51

Tabel 5.11. Distribusi Karakteristik Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Intensitas Infeksi

52

Tabel 5.12. Distribusi Karakteristik Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Berdasarkan Infeksi STH


(12)

 

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 1 Mulut Ascaris lumbricoides 6

Gambar 2 Cacing Dewasa Ascaris lumbricoides 6

Gambar 3 Telur Ascaris lumbricoides 7 Gambar 4 Siklus Hidup Ascaris lumbricoides 8

Gambar 5 Cacing Dewasa Triciuris trichiura 9

Gambar 6 Telur Triciuris trichiura 10

Gambar 7 Siklus Hidup Triciuris trichiura 11

Gambar 8 Cacing Dewasa Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus 12

Gambar 9 Telur Cacing Tambang 13

Gambar 10 Larva Rhabditiform dan Larva Filariform

Cacing Tambang 14

Gambar 11 Siklus Hidup Cacing Tambang 15

Gambar 12 Kerangka Teori 39


(13)

 

DAFTAR SINGKATAN

ATP : Adenosine triphosphate

cc : cubic centimeters

CDC : Centers for Disease Control and Prevention

CI : Confident Interval

ERCP : Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography

Fe : ferum

gr : gram

IgE : imunoglobulin E IL : Independent Learning

IQ : Intelligence Quotient

BB : berat badan Th2 : type 2 T helper cell

mg : milligram mm : millimeter NaCl : Natrium Chloride

OR : odd ratio

PCR : Polymerase Chain Reaction

RI : Republik Indonesia

RS : Rumah Sakit

SDN : Sekolah Dasar Negeri STH : Soil Transmitted Helminths

TPK : Tujuan Pembelajaran Khusus TPU : Tujuan Pembelajaran Umum UKS : Usaha Kesehatan Sekolah


(14)

 

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Ethical Clearance

Lampiran 3 Surat Keterangan Melakukan Penelitian Lampiran 4 Lembar Penjelasan

Lampiran 5 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan Lampiran 6 Formulir Data Subjek Penelitian Lampiran 7 Data Induk


(15)

 

ABSTRAK

STH bersifat endemis pada keenam area World Health Organization (WHO) dan mempengaruhi lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia. STH yang paling sering ditemui di dunia meliputi Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing cambuk), Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale

(cacing tambang). Infeksi STH pada manusia dapat menyebabkan gangguan pada jaringan dan organ tubuh. Anak-anak di usia sekolah yang terinfeksi dengan STH mengalami penurunan kesehatan fisik dan kemampuan kognitif, serta mempengaruhi prestasi belajar di sekolah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara infeksi STH dengan prestasi belajar anak sekolah dasar.

Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif-analitik dengan pendekatan

cross sectional yang dilakukan di SDN 060972 Simalingkar B, Medan pada bulan Agustus 2013 sampai dengan Oktober 2013. Sampel penelitian adalah 63 orang anak sekolah dasar yang dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi melalui teknik total sampling. Data infeksi STH anak diambil sebagai data primer melalui pemeriksaan laboratorium feses teknik Kato-Katz. Data prestasi belajar anak diambil sebagai data sekunder dari rapor bulan Agustus 2013. Data penelitian dianalisis dengan uji Chi Square.

Pada penelitian ini, terdapat22 orang (34,9%) anak yang terinfeksi STH dan 5 orang (7,9%) anak dengan prestasi belajar kurang. Anak yang terinfeksi STH ditemukan paling banyak pada anak perempuan (53,7%) dan anak kelas II (40,9%). Anak sekolah dasar dengan prestasi belajar kurang ditemukan paling banyak pada anak perempuan (60,0%), anak kelas III (80,0%), dan anak yang terinfeksi STH (80,0%). Hasil uji Fisher’s Exact mendapatkan p value = 0,046 (95% CI)) dengan OR = 8,89.

Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara infeksi STH dengan prestasi belajar anak sekolah dasar. Kesadaran dalam menjaga kesehatan diri dan lingkungan, serta pemeriksaan kesehatan berkala perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan prestasi belajar anak-anak sekolah dasar.


(16)

 

ABSTRACT

Soil Transmitted Helminths are endemic in six area of World Health Organization and affect more than 2 billion people around the world. The four most common STH are Ascaris lumbricoides (roundworm), Trichuris trchiura (whipworm), and Necator americanus and Ancylostoma duodenale (hookworms). STH infection in human can cause disturbance in tissue and organ. Children in school aged who infected by STH undergo decreased physical health and cognitive abilities, also affect study achievement. The aims of the research was to know the relation between STH infection and study achievement.

This research was a descriptive-analytic cross sectional study, it had been held at SDN 060972 Simalingkar B, Medan on August 2013 until October 2013. Samples of the research were 63 primary school children. Samples were chosen based on inclusion criteria and exclusion criteria with total sampling technic. STH infection data were collected as a primary data by doing a Kato-Katz technic of stool laboratory test. Study achievement data were collected as a secondary data from report card on August 2013. Research data were analyzed with Chi Square test.

In this research, there were 22 (34,9%) children was infected by STH and 5 (7,9%) children with under achievement. Children who were infected by STH were mostly found in female group (53,7%) and second grade primary school student (40,9%). Under achievement children were mostly found in female group (60,0%) and third grade primary school (80,0%), and children with STH infection (80,0%). Fisher’s Exact test found that p value was 0,046 (95% CI)) with OR = 8,89.

From the result of the research, we concluded that there was a relation between STH and study achievement. Awareness in protection of personal and environment hygiene, also periodic medical check-up should be done for improve primary school children’s health quality and study achievement.  

Keywords : primary school children, STH infection, study achievement


(17)

 

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Soil Transmitted Helminths (STH)adalah suatu kelompok parasit nematoda yang menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak dengan telur parasit atau larva yang berkembang di dalam tanah yang hangat dan lembab pada negara-negara tropis dan subtropis di dunia (Bethony et al., 2006). STH bersifat endemis pada keenam area World Health Organization (WHO) dan mempengaruhi lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia. Dari seluruh anak-anak yang membutuhkan penatalaksanaan di dunia, 42% terdapat di negara-negara area Asia Tenggara. Area ini merupakan lokasi terbesar pelaksanaan program pencegahan infeksi STH. Dari seluruh anak-anak di area Asia Tenggara tersebut, 64% berasal dari India, 15% berasal dari Indonesia, dan 13% berasal dari Banglades. Sebanyak 16.685.884 anak-anak yang belum bersekolah dan 41.390.043 anak-anak usia sekolah di Indonesia membutuhkan kemoterapi untuk mencegah infeksi STH (WHO, 2012a).

Survei yang dilakukan di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi infeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura masih cukup tinggi, yaitu sekitar 60%-90%, terutama pada anak-anak. Infeksi

Ancylostoma duodenale dan Necator americanus terdapat sebanyak 70%, terutama di daerah perkebunan (Supali dan Margono, 2009). Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Tembakau Deli dan Rumah Sakit Pirngadi Medan, prevalesi infeksi STH pada tahun 2004 adalah askariasis 55,8 %, trikuriasis 52 %, dan cacing tambang 7,4 % (Elmi, et al, 2004). Penelitian mengenai penentuan frekuensi optimal pengobatan massal askariasis dengan albendazole pada anak usia sekoalah dasar di Desa Suka mendapatkan prevalensi askariasis sebesar 89,7% (Pasaribu, 2008).


(18)

 

STH yang paling sering ditemui di dunia meliputi Ascaris lumbricoides

(cacing gelang atau roundworm), Trichuris trichiura (cacing cambuk atau

whipworm), Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale (cacing tambang atau hookworm) (Hotez et al., 2006). Infeksi oleh keempat nematoda usus ini dapat dideteksi melalui pemeriksaan telur cacing atau larva pada feses manusia (Supali, Margono, dan Abidin, 2009; Maguire, 2010a; WHO, 2012b). Pemeriksaan kopromikroskopik terdiri dari berbagai metode, di antaranya teknik Kato-Katz, metode konsentrasi eter, ataupun metode FLOTAC (Knopp et al., 2008; Glinz et al., 2010; Fürst et al., 2012). Saat ini, teknik Kato-Katz merupakan metode kopromikroskopik yang dipergunakan secara luas dalam survei epidemiologi terhadap infeksi cacing yang terdapat di dalam usus manusia (intestinal helminth) (Glinz et al., 2010; WHO, 2012b). Teknik ini dipilih karena mudah, murah, dan mempergunakan sistem yang dapat mengelompokkan intensitas infeksi menjadi beberapa kelas berbeda berdasarkan perhitungan telur cacing (Glinz et al., 2010).

Biasanya, anak-anak di usia sekolah yang terinfeksi dengan STH mengalami penurunan kesehatan fisik dan intelektual yang dikarenakan oleh malnutrisi, di mana cacing tersebut mengambil sari makanan yang penting bagi tubuh seperti protein, karbohidrat, dan zat besi (Lobato et al., 2012 dan Departemen Kesehatan RI, 2006). Infeksi STH juga diperkirakan berdampak negatif terhadap kemampuan kognitif, mempengaruhi prestasi belajar di sekolah, dan akan mempengaruhi produktivitas ekonomi masa depan (Scolari et al., 2000; Bethony et al., 2006; Müller et al., 2011).

Berdasarkan pemaparan dan data-data yang telah dijelaskan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai hubungan antara infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) dengan prestasi belajar pada anak.

1.2. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara infeksi Soil Transmitted Helminths dengan prestasi belajar anak?


(19)

 

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara infeksi Soil Transmitted Helminths dengan prestasi belajar anak.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui karakteristik seluruh subjek penelitian.

2. Untuk mengetahui distribusi anak yang menderita Soil Transmitted Helminths.

3. Untuk mengetahui distribusi prestasi belajar anak.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:

1. Pihak sekolah, orang tua anak, dan anak-anak menyadari dampak dari infeksi Soil Transmitted Helminths, terutama terhadap prestasi belajar anak.

2. Institusi pelayanan kesehatan, seperti: Puskesmas dan UKS, meningkatkan kesadaran dalam pencegahan dan penatalaksanaan infeksi Soil Transmitted Helminths.

3. Masyarakat mengetahui mengenai infeksi Soil Transmitted Helminths dan dapat mencegah terjadinya infeksi dalam kehidupan sehari-hari.

4. Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai salah satu referensi tentang infeksi Soil Transmitted Helminths.

5. Penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti tentang infeksi

Soil Transmitted Helminths, terutama yang berkaitan dengan prestasi belajar anak.


(20)

 

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)

2.1.1. Epidemiologi Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)

Soil Transmitted Helminths (STH)adalah suatu kelompok parasit nematoda yang menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak dengan telur parasit atau larva yang berkembang di dalam tanah yang hangat dan lembab pada negara-negara tropis dan subtropis di dunia (Bethony et al., 2006).  STH bersifat endemis pada keenam area WHO dan mempengaruhi lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia. Dari seluruh anak-anak yang membutuhkan penatalaksanaan, tiga perempat terdapat di negara-negara area Asia Tenggara dan Afrika, sekitar seperempat terdapat di area Pasifik Barat, Mediterania Timur, dan Amerika. Hanya 4 juta anak-anak (atau kurang dari 1%) terdapat di negara-negara area Eropa (WHO, 2012a). STH yang paling sering ditemui di dunia meliputi Ascaris lumbricoides

(cacing gelang atau roundworm), Trichuris trichiura (cacing cambuk atau

whipworm), Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale (cacing tambang atau hookworm) (Hotez et al., 2006). 

Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura diperkirakan menginfeksi masing-masing 1,3 milyar orang di seluruh dunia. Secara geografis, insidensi infeksi parasit ini bervariasi. Prevalensi infeksi Ascaris lumbricoides yang tinggi terdapat di Cina dan Asia Tenggara. Pada negara-negara di Asia Tengah, askariasis terutama terdapat di daerah lembab. Sekitar 45% terdapat di Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Di Eropa, angka infeksi Ascaris lumbricoides

umumnya rendah. Infeksi Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale, dan

Necator americanus umumnya terdapat di negara-negara dengan daerah tropis dan subtropis. Distribusi infeksi Trichuris trichiura terjadi seiring dengan penyebaran


(21)

 

terdapat di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Eropa Selatan (Ideham dan Pusarawati, 2007).

Infeksi STH pada manusia dapat menyebabkan gangguan pada jaringan dan organ tubuh, di mana parasit tersebut hidup dan mengambil nutrisi dari dalam tubuh manusia. Pada keadaan kronis, infeksi STH mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan intelektual anak-anak. Selain itu, infeksi STH juga diperkirakan berdampak negatif terhadap kemampuan kognitif, mempengaruhi prestasi belajar di sekolah, di mana akan mempengaruhi produktivitas ekonomi masa depan (Bethony et al., 2006; Müller et al., 2011).

Faktor individu dan lingkungan mempengaruhi resiko dan intensitas infeksi STH. Infeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura paling banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5-15 tahun. Intensitas dan frekuensi infeksi menurun pada orang dewasa Sedangkan, infeksi Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus lebih banyak ditemukan pada orang dewasa daripada anak-anak (Bethony et al., 2006). Faktor lingkungan yang mempengaruhi berupa cuaca yang hangat dan lembab. Perilaku hidup sehat, sanitasi, pengelompokan rumah tangga, pekerjaan, tingkat kemiskinan, dan urbanisasi juga merupakan faktor-faktor yang berperan dalam infeksi STH (Hotez et al., 2006).

2.1.2. Morfologi dan Siklus Hidup Soil Transmitted Helminths (STH) 2.1.2.1. Morfologi dan Siklus Hidup Ascaris lumbricoides

Ascaris lumbricoides berbentuk giling (silindris) memanjang, berwarna krem / merah muda keputihan, panjangnya dapat mencapai 40 cm. Jangka hidup (life span) cacing dewasa adalah 10-12 bulan. Ukuran cacing betina 20-35 cm dengan diameter 3-6 mm. Sedangkan ukuran cacing jantan 15-31cm dengan diameter 2-4 mm. Mulut Ascaris lumbricoides memiliki tiga tonjolan bibir berbentuk segitiga, antara lain satu tonjolan di bagian dorsal dan dua tonjolan di ventrolateral. Pada bagian tengah mulut terdapat rongga mulut (buccal cavity) (Bethony et al., 2006; Ideham dan Pusarawati, 2007).


(22)

  t c s p m a y P Ca tajam dan a

copulatory s sekitar anus posterior ya memiliki vu anterior dan yang terdiri Pusarawati, acing jantan agak meleng

spicule deng s cacing ter ang tidak m ulva yang sa n tengah tubu i dari uteru

2007).

Gambar 1. M Dikutip dari

n Ascaris l

gkung ke ve gan panjang

rdapat sejum melengkung

angat kecil uh. Cacing b us, saluran

Gambar 2. Dikutip dar

Mulut Ascar

i Juni, Utam

lumbricoides

entral seperti 2 mm yang mlah papila ke arah ve di ventral, betina memi telur (ovid

Cacing Dew ri Bethony e

ris lumbricoi

ma, dan Darw

s memiliki i kait, di ma g muncul dar a. Cacing b entral tetapi

yaitu di ant iliki tubulus

duct) dan o

wasa Ascaris

et al., 2006

ides wanto, 2006 ujung post ana terdapat ri orifisium betina memi lurus. Cac tara pertemu s genitalis be ovarium (Id

s lumbricoid

erior yang t dua buah

kloaka. Di iliki ujung cing betina uan bagian erpasangan deham dan des


(23)

  d b t d s d f t d d m ( t l k k d t a 2 As dewasa hidu bermigrasi k tetraklor etil dewasa berm sinus perine dengan 240. feses dan d tersebut terd dibuahi (unf

dengan pan mengandung (lipoid), lapi tidak berseg lapisan luar karena beras kadang terk dibuahi (unf

tersebut dik atau cacing 2007). Gam (A)T (ferti Diku scaris lumb

up dan ber ke luar usus

len, anastesi migrasi ke te ealis, dan tub

.000 butir te dapat mengk

diri dari tel

fertilized). T njang 45-75 g embrio. D isan tengah gmen dan b r telur bersif sal dari warn elupas. Telu

fertilized) m eluarkan pa betina yan

mbar 3. Telur Telur yang ti

ilized) (C) T utip dari Juni

bricoides me rkembang d

apabila ling i, dan demam

empat-tempa

ba eustachiu

elur per hari kontaminasi lur yang tel elur yang tel 5 mikron Dinding telur (glikogen), d berisi kump

fat tidak rat na pigmen em ur ini dikena memiliki panj

da periode a g belum m

Ascaris lum

idak dibuahi elur yang be i, Utama, dan

B

emiliki siklu di dalam lum

gkungan ters m tinggi. Bi at ektopik, s

us. Seekor ca yang dikelu

makanan d lah dibuahi lah dibuahi (

dan lebar r terdiri dari

dan lapisan l pulan granul ta, bergerig mpedu. Lapi al sebagai d

jang 88-94 m awal pelepa engalami fe mbricoides (unfertilized erisi embrio n Darwanto,

us hidup ya men usus h sebut tergang ila keadaan t seperti: salur acing betina uarkan ke lin dan air (Po

(fertilized) (fertilized) b 35-50 mi i tiga lapisan

luar (albumi la lesitin ya i, dan berw isan albumin

decorticated

mikron dan l asan telur ol ertilisasi (Ide

d) (B) Telur

, 2006 ang komplek halus. Cacin ggu dengan tersebut terj ran empedu a menghasilk ngkungan lu lsdorfer, 20 dan telur y berbentuk bu

ikron. Telu n, yaitu lapi in). Bagian d ang kasar. warna coklat

n telur terseb

egg. Telur lebar 44 mik leh cacing b

eham dan P

yang telah d

C ks. Cacing ng dewasa pemberian adi, cacing , apendiks, kan sampai ar bersama 011). Telur yang tidak ulat lonjong ur tersebut isan dalam dalam telur Sedangkan keemasan but kadang-yang tidak kron. Telur betina fertil Pusarawati, dibuahi


(24)

  2 k p a T k b t m d Te 2-4 minggu kelembaban pada suhu 2 atas 38°C. T Telur tetap kekeringan. bahan kimia

M telur yang in menginvasi dialirkan ke

elur yang tel u. Hal ini

, dan oksige 25°C. Telur t

Tanah liat m bersifat in Telur akan a (Ideham da

Gambar 4 Dikutip da 2009 Manusia meru nfektif tertel mukosa usu jantung dan lah dibuahi dipengaruh en yang optim tidak berkem merupakan t nfeksius di mengalami an Pusarawat

. Siklus Hidu ari Centers f

upakan satu-lan oleh man us halus men n mengikuti

(fertilized) a hi oleh ko mal. Perkem mbang pada tempat yang sekitar gen kerusakan ti, 2007; Sup

up Ascaris l for Disease C

-satunya hos nusia, telur a nuju pembu aliran darah

akan menjad ondisi lingk mbangan telur suhu di baw g baik untuk nangan air

oleh sinar m pali, Margon

lumbricoides Control and

spes Ascaris

akan meneta uluh darah a ke paru. Di

di infektif da kungan ber r yang optim wah 15,5°C k perkemban

karena terh matahari lan no, dan Abid

s

Prevention

lumbricoide

as di dalam u atau saluran paru, larva alam waktu rupa suhu, mum terjadi ataupun di ngan telur. hindar dari ngsung dan din, 2009). (CDC),

es. Apabila usus. Larva limfe, lalu menembus


(25)

  d m b r a b l m A 2 P d s D r p p y dinding pem menyebabka bronkiolus, rangsangan akan tertelan berkembang lumbricoides matang, tert Abidin, 2009

2.1.2.2. M

Panjang cac dewasa 35-5 seperti camb Dua perlima reproduksi. perbatasan a posterior ca yang retrakti mbuluh dara an terjadiny bronkus, da pada faring n ke dalam e g dan berub

s memerluka telan, sampa 9; Polsdorfe

Morfologi da

cing jantan d 50 mm. Tig buk, dilalui a bagian post

Bagian post antara tubuh acing jantan il (Bethony Gamba Dikutip ah, dinding ya pneumon

an trakea m sehingga te esophagus d bah menjadi an waktu ku ai dengan ca er, 2011).

an Siklus Hi

dewasa Tric

ga perlima b oleh esofagu terior tubuh terior cacing h bagian ant

melingkar et al., 2006;

ar 5. Cacing D p dari Bethon

alveolus, d nia subklinis menuju ke fa

erjadi reaksi dan menuju k

i cacing de urang lebih 2

acing dewas

idup Trichiu

churis trichi

bagian anter us yang sem cacing mele g betina me terior denga dan terdapa Ideham dan

Dewasa Tric

ny et al., 200

dan memas s. Kemudia aring. Keada i berupa bat ke usus halu ewasa. Satu

2-3 bulan, ya sa bertelur (

uris trichiur

iura 30-45 m rior tubuh c mpit dan men ebar. Bagian embulat tum an tubuh bag at satu spiku n Pusarawati

churis trichiu

06

suki alveolu an larva na aan ini men tuk. Selanju us. Di usus h

siklus hidu ang dimulai (Supali, Mar

ra

mm dan cac cacing beruk nyerupai ran

ini berisi us mpul. Vulva gian posteri ulum dengan

, 2007).

ura

us. Hal ini ik melalui ngakibatkan utnya, larva

halus, larva up Ascaris

sejak telur rgono, dan

cing betina kuran kecil ntai merjan.

sus dan alat terletak di ior. Bagian n selubung


(26)

  b j t y y m b d b m T s d k A i m Te berbentuk se jernih pada telur berwar yang tidak b

M yang diseba memerlukan bersegmen) dalam sekum berkembang menjadi mu Telur menja sesuai untuk dan teduh, s kurang tahan

Ascaris lumb

infektif. Lar menetas di d

elur cacing eperti tong kedua kutu rna kekunin bersegmen (I Manusia mer bkannya dis n hospes pe

dihasilkan s m. Telur ter g di dalam ltiseluler, ke adi infektif d

k perkemban serta terhind

n terhadap k

bricoides. P rva di dalam dalam tanah.

Trichuris tr

anggur (bar

ub yang dike ng-kuningan.

Ideham dan P

Gambar 6 Dikutip da rupakan hos sebut trikuria erantara. Te sebanyak 3.0 sebut keluar tanah. Awa emudian me dalam waktu ngannya, yai dar dari sinar kekeringan,

ada tanah lia telur tidak m (Hotez, et a

richiura beru

rrel shaped) enal sebagai . Bagian dal Pusarawati,

6. Telur Trich

ari Bethony

spes cacing asis. Infeksi elur yang t 000-2.000 te r bersama fe alnya, telur

njadi embrio 2-6 minggu itu pada suh r matahari la panas, dan at yang kera mengalami e al., 2006; Su

ukuran 50-5 ) dengan ad i mucoid pl

lam telur je 2007).

huris trichiu

et al., 2006

Trichuris tr

i terjadi seca tidak menga elur per hari eses (Bethon mengandun o. (Ideham d u bila kondis hu 25-28˚C, angsung. Te dingin diban as, telur tidak ekdisis (perg upali, Margon

4 x 22-23 m danya penonj

lugs. Bagian ernih dan be

ura

trichiura dan ara langsung andung emb i oleh cacing ny, et al., 20 ng dua sel, dan Pusaraw si di lingkun

di tanah ya elur Trichuri

ndingkan de k berkemban gantian kulit

no, dan Abid

mikron dan njolan yang n luar kulit erisi massa

n penyakit g dan tidak

brio (tidak g betina di 006). Telur membelah wati, 2007). ngan sekitar ang lembab is trichiura engan telur ng menjadi t) dan tidak din, 2009).


(27)

  y d u d d s a s ( t w t Se yang terkon dinding telu usus halus b di dekat krip distal dan m sekum dan k anterior mem seperti cam (Ideham dan telur tertelan waktu 30-90 terjadi infek

etelah telur i ntaminasi ta r yang sudah bagian proks

pta Lieberku masuk ke dae

kolon asend mbantu cac mbuk ke dal

n Pusarawat n sampai me 0 hari. Jangk ksi menetap s

Gambar 7 Dikutip d 2009

infektif terte anah tercem h rapuh dan simal dan me uhn. Setelah erah kolon, den. Struktur cing menem lam mukosa ti, 2007; Ma enjadi cacing ka hidup (lif

sampai 8 tah

7. Siklus Hid dari Centers f

elan oleh ho mar, larva m

masuk ke d enembus vil menjadi de terutama se r yang meny mbus dan me a usus tem aguire, 2010 g dewasa yan

ife span) ant hun (Bethony

dup Trichiur for Disease

spes melalu menjadi akti dalam usus h li-vili usus, l wasa, cacing ekum. Habita yerupai ujun

enempatkan mpat cacing

0a). Masa pe ng memprod tara 4-6 tahu y et al., 2006

ris trichiura Control and

i tangan atau if dan kelu halus. Larva lalu menetap g turun ke u at cacing de ng tombak p

bagian ant mengambil ertumbuhan duksi telur m

un, bahkan 6). d Prevention u makanan uar melalui menuju ke p 3-10 hari usus bagian ewasa pada ada bagian terior yang l makanan mulai dari memerlukan dapat juga


(28)

  2 C m 2 d d B s P d m m

2.1.2.3. M

du Cacing tamb muda atau 2010a). Cac dan berdiam 10-13 mm d

duodenale m Bagian poste spikula yan Pusarawati, Gambar Dikutip Ca dan berdiam mm dan ber menekuk ke

Morfologi d

uodenale da

bang dewas merah mud ing jantan d meter 0,4-0,5 dan berdiame melengkung erior cacing ng panjang, 2007; Supal

r 8. Cacing D dari Juni, U

acing jantan meter 0,3 mm rdiameter 0,4 e arah dorsal

dan Siklus an Necator a sa berukuran da keputihan

ewasa Ancyl

5 mm, sedan eter 0,6 mm

ke arah dor jantan mele sedangkan li, Margono,

Dewasa Ancy

Utama, dan D

n dewasa Ne

m, sedangkan 4 mm. Ujun l sehingga t

Hidup C

americanus) n kecil, gilig

n (Ideham

lostoma duo

ngkan cacin m. Bagian ser

rso-anterior ebar memben n pada caci dan Abidin

ylostoma du

Darwanto, 20

ecator amer

n cacing beti ng anterior c

tampak sepe

Ancylostoma du

Necator am

Cacing Tam

)

g / silindris dan Pusara

odenale mem g betina dew rvikal cacing

sehingga ta ntuk bursa k ing betina , 2009).

odenale dan 006

ricanus mem ina dewasa m acing dewas erti huruf S.

uodenale

mericanus

mbang (An

, dan berwa awati, 2007; miliki panjan

wasa memil g dewasa An

ampak seper opulatrik da tumpul (Id

n Necator am

miliki panjan memiliki pa sa Necator a

Cacing jant Male  Female  Male  Female  ncylostoma arna coklat ; Maguire, g 8-11 mm lki panjang

ncylostoma

rti huruf C. an sepasang deham dan

mericanus

ng 7-9 mm anjang 9-11

americanus


(29)

  m S m s h d a P t u c l d C f m t P memiliki bu Supali, Marg H manusia. sedangkan c hidup di jeje dinding usu 10.000-25.0

americanus

Pusarawati, telur yang ti ukuran 60 x cacing dewa lingkungan dalam 1-2 ha

Cacing tamb filariform. L mikron. Mu tabung (bu

Pusarawati,

ursa kopulatr gono, dan A ospes cacing

Cacing A

cacing Necat

enum dan du us. Cacing d 00 butir t

mengeluark 2007). Kedu ipis, di dalam x 40 mikron

asa keluar b optimal (lem ari (Supali, M

bang memil Larva rhabd ulut (buccal

lbus oeshop

2007; Mag

rik yang panj Abidin, 2009)

g Ancylostom Ancylostoma

tor american

uodenum, de dewasa Anc

elur setiap kan 5.000-1 ua telur cac mnya terdap dan identik bersama deng mbab, hanga Margono, da Gambar 9 Dikutip da

liki dua jen ditiform ber

cavity) pan

ophagus) te guire, 2010a

njang dan leb ).

ma duodena duodenale nus menyeba engan mulut

cylostoma d

hari, seda 10.000 butir ing tambang at beberapa k secara mor

gan feses ke at, dan teduh an Abidin, 20

9. Telur Caci ari Bethony

nis larva, ya rukuran 0,2 njang dan se erletak di a). Larva rha

bar (Ideham

ale dan Neca e menyebab

abkan nekato t yang besar

duodenale m angkan cac

r telur seti g berbentuk

sel, kira-kir rfologi. Telu e lingkungan h) telur akan 009; Maguir

ing Tambang et al., 2006

aitu larva rh 25-0,30 mm

empit. Esofa sepertiga a abditiform m

dan Pusaraw

ator america

bkan ankilo oriasis. Caci r melekat pa mengeluarkan

cing dewasa ap hari (Id

ovoid deng ra 2-8 sel da ur yang diha n luar, apab n menetas p re, 2010a).

g

habditiform m dan berdi agus berben anterior (Id merupakan

wati, 2007;

anus adalah ostomiasis, ing dewasa ada mukosa n kira-kira a Necator

deham dan gan dinding n memiliki silkan oleh bila kondisi pada tanah dan larva iameter 17 ntuk seperti eham dan larva yang


(30)

  k a S i k M m m m t M keluar dari akan menga Selanjutnya, ini infektif kondisi ling Margono, da Gambar 1 Dikutip d La merupakan mulut tertut mempunyai transversal y Maguire, 20 A

telur dan be alami pergan , larva rhabd dan dapat t gkungan ya an Abidin, 2

10. Larva Rh dari Juni, Uta

arva filarifo stadium inf tup, dan es selubung (sh

yang mencol 010a).

erkembang d ntian kulit (m

ditiform akan tetap hidup ang optima

009).

habditiform ( ama, dan Da

form dikena fektif untuk

ofagus mem

heathed larv

lok (transve

di dalam tin

moulting) se n berkemban

di lingkung l. (Ideham

(A) dan Larv arwanto, 200

al sebagai manusia. P manjang. La

va) dari baha

erse striation B

nja atau tana ebanyak dua

ng menjadi gan luar sela

dan Pusar

va Filariform 06

larva stad Pada fase in arva infektif an kutikula d

ns) (Ideham

ah. Larva rh a kali dalam

larva filarifo ama 7-8 mi rawati, 200

m (B) Cacing

dium tiga. ni, larva tid f Necator a

dan terdapat dan Pusaraw

habditiform m 5-10 hari.

orm. Larva inggu pada 07; Supali, g Tambang Larva ini dak makan, americanus garis-garis wati, 2007;


(31)

  m f s m k d p l k i C s ( A K menyebabka fisura kecil d sela jari kak melalui tang kecil superf dan Pusaraw percabangan larva filarif kemudian m infeksi larva Cacing Neca

sedangkan c (Bethony, e Abidin, 2009

Gambar 1 Dikutip d 2009

Kontak antara an larva fila

dalam beber ki atau bagia gan). Larva fisial, lalu m wati, 2007; n bronki, far form menga menjadi caci

a stadium tig

ator americ

cacing Ancyl

et al., 2006; 9).

11. Siklus H dari Centers f

a kulit man ariform mela rapa menit T an lateral pu

filariform m memasuki ali

Maguire, 2 ing, lalu tert alami perga ing dewasa. ga sampai me

canus dapat

lostoma duo

; Ideham d

Hidup Hookw for Disease

nusia dengan akukan pen Tempat pene unggung kak menembus s

iran darah k 2010a). Larv telan dan me antian kulit,

Diperlukan enjadi cacing

bertahan hi

denale dapa an Pusaraw

worm Control and

n tanah yang etrasi melal etrasi larva f ki. Pada peta subkutan dan ke jantung d

va menembu emasuki usu , menjadi l n waktu 5 m g dewasa ya idup selama at bertahan h wati, 2007; S

d Prevention

g telah terk lui folikel r filariform m ani, penetra n mencapai dan paru-par us alveoli p us halus. Di u larva stadiu minggu atau ang menghas 3-5 tahun hidup selama Supali, Mar

n (CDC),

kontaminasi ambut dan melalui

sela-si larva ini vena-vena ru (Ideham pulmonum, usus halus, um empat, lebih dari silkan telur. atau lebih, a 1-2 tahun rgono, dan


(32)

 

2.1.3. Patogenesis Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)

Patogenesis infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan interaksi dari respon imun tubuh manusia, efek migrasi larva, efek mekanik cacing dewasa, dan terjadinya kekurangan nutrisi (Ideham dan Pusarawati, 2007).

Eosinofilia merupakan karakteristik berbagai infeksi cacing. Eosinofilia yang dijumpai pada sediaan darah perifer, sumsum tulang belakang, dan jaringan lainnya berkaitan dengan keberadaan ataupun migrasi cacing pada jaringan tubuh tersebut. Keadaan eosinofilia berperan secara signifikan dalam proses pembasmian cacing di dalam tubuh manusia dan resistensi terhadap infeksi cacing, di mana bertanggung jawab terhadap sejumlah proses inflamasi patologi. Infeksi kronis cacing secara khusus menyebabkan aktivasi sistem imunitas yang ditandai dengan profil sitokin tipe Th2 yang dominan dan tingkat imunoglobulin E yang tinggi, begitu juga proliferasi dan aktivasi eosinofil. Namun, respon tubuh manusia berupa produksi berbagai sitokin, antibodi spesifik dan nonspesifik imunoglobulin E (IgE), serta mobilisasi eosinofil, basophil, dan sel mast tersebut tidak dapat sepenuhnya memproteksi (Maguire, 2010b).

Pada infeksi STH juga terjadi malnutrisi energi protein. Anak-anak yang diinfeksi oleh 13-14 cacing dewasa dapat kehilangan 4 gr protein dari diet yang mengandung 30-50 gr protein per hari (Ideham dan Pusarawati, 2007).

2.1.4. Diagnosis Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) 2.1.4.1. Gejala Klinis

2.1.4.1.1. Gejala Klinis Askariasis

Gejala klinis askariasis diklasifikasikan menjadi gejala akut yang berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala akut dan kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh cacing dewasa (Bethony et al., 2006).

Gejala klinis oleh larva Ascaris lumbricoides biasanya terjadi pada saat di paru. Pada orang yang rentan, terjadi pendarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai batuk, demam, dan eosinofilia. Di paru, antigen larva askariasis menyebabkan respon inflamasi sehingga terbentuk


(33)

 

infiltrat eosinofilik yang dapat dilihat pada pemeriksaan foto toraks. Infiltrat tersebut menghilang dalam waktu tiga minggu. Keadaan tersebut disebut dengan sindrom Loeffler (Supali, Margono, dan Abidin, 2009).

Gejala klinis oleh cacing dewasa tergantung pada jumlah cacing, dan keadaan gizi penderita. Umumnya, hanya infeksi dengan intensitas yang sedang dan berat pada saluran pencernaan dapat menimbulkan gejala klinis. Cacing dewasa Ascaris lumbricoides yang terdapat dalam jumlah banyak pada usus halus dapat menyebabkan distensi abdomen dan nyeri abdomen. Keadaan ini juga dapat menyebabkan intoleransi laktosa serta malabsorpsi vitamin A dan bahan nutrisi lainnya, di mana dapat mengakibatkan kekurangan gizi dan gangguan pertumbuhan. (Bethony et al., 2006; Supali, Margono, dan Abidin, 2009).

Pada anak-anak, cacing dewasa dapat beragregasi ke dalam ileum dan mengakibatkan obstruksi parsial karena ukuran lumen ileum yang kecil. Berbagai konsekuensi yang berat dapat terjadi, antara lain intusepsi, volvulus, dan obstruksi total. Selanjutnya keadaan ini dapat mengakibatkan infark dan perforasi usus. Keadaan peritonitis dapat berakibat fatal, walaupun anak tersebut dapat bertahan, cacing dewasa yang berpindah tempat dapat mati dan menyebabkan peritonitis granulomatosa kronis (Bethony et al., 2006). Secara khusus, anak yang mengalami obstruksi oleh Ascaris lumbricoides memiliki keadaan toksik dengan tanda dan gejala peritonitis. Pada beberapa kasus, massa dapat diraba di kuadran kanan bawah abdomen. Cacing dewasa dapat memasuki lumen apendiks, mengakibatkan kolik apendiks akut dan gangren di ujung apendiks, selanjutnya memberi gambaran klinis yang tidak dapat dibedakan dengan apendisitis. Cacing dewasa Ascaris lumbricoides cenderung berpindah-pindah di dalam tubuh anak-anak yang mengalami demam tinggi, sehingga cacing tersebut dapat muncul dari nasofaring atau anus (Ideham dan Pusarawati, 2007; Supali, Margono, dan Abidin, 2009).

Askariasis hepatobilier dan pankreas terjadi jika cacing dewasa pada duodenum memasuki dan memblok orifisium dari ampula duktus bilier utama (common bile duct), yang menyebabkan kolik bilier, kolesistitis, kolangitis, pankreatitis, dan abses hati. Berbeda dengan obstruksi usus, askariasis


(34)

 

hepatobilier dan pankreas lebih sering dijumpai pada orang dewasa, terutama wanita, daripada anak-anak. Hal ini mungkin disebabkan ukuran percabangan duktus bilier (biliary tree) orang dewasa cukup besar untuk dilewati oleh cacing dewasa (Bethony et al., 2006; Ideham dan Pusarawati, 2007).

2.1.4.1.2. Gejala Klinis Trikuriasis

Banyak penderita trikuriasis tidak memiliki gejala dan hanya didapati keadaan eosinofilia pada pemeriksaan darah tepi (Maguire, 2010a). Pada trikuriasis, inflamasi pada tempat perlekatan cacing dewasa dalam jumlah besar dapat menyebabkan kolitis (Bethony, et al., 2006). Anak-anak yang menderita kolitis akibat trikuriasis kronis akan mengalami nyeri abdomen kronis, diare, anemia defisiensi besi, gangguan pertumbuhan, serta clubbing fingers. Anak-anak tersebut beresiko menderita sindrom disentri trikuris. Keadaan ini ditandai dengan tenesmus dengan banyak feses yang mengandung banyak mukus dan darah. Prolapus rektus sering terjadi dan cacing dewasa dapat ditemukan pada mukosa yang prolaps (Maguire, 2010a).

2.1.4.1.3. Gejala Klinis Ankilostomiasis dan Nekatoriasis

Ankilostomiasis dan nekatoriasis dapat menimbulkan gejala akut yang berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala akut dan kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh cacing dewasa (Bethony et al., 2006). Larva filariform (larva stadium tiga) yang menembus kulit dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan sindrom kutaneus berupa ground itch, yaitu eritema dan papul lokal yang diikuti dengan pruritus pada tempat larva melakukan penetrasi. Setelah melakukan invasi pada kulit, larva tersebut bermigrasi ke paru-paru dan menyebabkan pneumonitis. Pneumonitis yang disebabkan oleh infeksi larva cacing tambang tidak seberat pada infeksi larva Ascaris lumbricoides (Bethony, et al., 2006; Maguire, 2010a). Manusia yang belum pernah terpapar dapat mengalami nyeri epigastrik, diare, anoreksia, dan eosinofilia selama 30-45 hari setelah penetrasi larva yang mulai melekat pada mukosa usus halus (Maguire, 2010a). Infeksi larva filariform Ancylostoma


(35)

 

duodenale secara oral dapat menyebabkan sindrom Wakana, yang ditandai dengan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, dispepsia, dan serak (Bethony et al., 2006).

Gejala klinis yang disebabkan oleh cacing tambang dewasa dihasilkan dari kehilangan darah sebagai akibat dari invasi dan perlekatan cacing tambang dewasa pada mukosa dan submukosa usus halus. Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fe dan protein) (Bethony, et al., 2006; Supali, Margono, dan Abidin, 2009). Cacing Necator americanus

menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,05-0,10 cc per hari, sedangkan

Ancylostoma duodenale 0,08-0,34 cc per hari. Penyakit yang disebabkan oleh cacing tambang terjadi ketika darah yang hilang melebihi cadangan nutrisi hospes, dan akan menyebabkan anemia defisiensi besi. Anemia yang disebabkan oleh cacing tambang menyebabkan gambaran eritrosit mikrositik hipokromik dengan gejala pucat, lemah, dipsnoe, terutama pada anak malanutrisi. Kehilangan protein yang kronis dari infeksi berat cacing tambang dapat menyebabkan hipoproteinemia dan edema anasarka (Bethony et al., 2006; Maguire, 2010a). Infeksi sedang dan anemia dapat mengganggu fisik, kognitif, dan intelektual pada anak yang sedang bertumbuh. Pada banyak kasus infeksi berat, anemia yang disebabkan oleh cacing tambang dapat menyebabkan gagal jantung kongestif (Maguire, 2010a).

2.1.4.2. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) berupa mendeteksi telur cacing atau larva pada feses manusia (Supali, Margono, dan Abidin, 2009; Maguire, 2010a; WHO, 2012b). Pemeriksaan rutin feses dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk menilai warna, konsistensi, jumlah, bentuk, bau, dan tidaknya mukus. Pada pemeriksaan ini juga dinilai ada-tidaknya gumpalan darah yang tersembunyi, lemak, serat daging, empedu, sel darah putih, dan gula (Swierczynski, 2010). Sedangkan, pemeriksaan mikroskopis bertujuan untuk memeriksa parasit dan telur cacing. Pemeriksaan dilakukan


(36)

 

dengan menggunakan NaCl 0,85% dan lugol iodin. Pada pemeriksaan ini, kedua reagensia diteteskan pada kaca objek (object glass), yaitu 1 tetes NaCl 0,85% di sisi kiri dan 1 tetes iodin di sisi kanan. Kemudian, sedikit spesimen feses (seujung tangkai apliktor) dilarutkan bersama dengan kedua reagensia yang telah diteteskan di kaca objek. Setelah itu, kaca objek ditutup dengan kaca dek dan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10x10 dan 10x40.

Pemeriksaan kopromikroskopik ini memiliki kelemahan, yaitu tingkat kesensitivitasan rendah dalam mendeteksi infeksi dengan intensitas ringan. Saat ini, teknik Kato-Katz merupakan metode kopromikroskopik yang dipergunakan secara luas dalam survei epidemiologi terhadap infeksi cacing yang terdapat di dalam usus manusia (intestinal helminth) (Glinz et al., 2010; World Heatlh

Organization, 2012). Teknik ini dipilih karena mudah, murah, dan

mempergunakan sistem yang dapat mengelompokkan intensitas infeksi menjadi beberapa kelas berbeda berdasarkan perhitungan telur cacing. Pemakaian sampel feses yang sedikit (sekitar 41,7 mg) menyebabkan teknik Kato-Katz memiliki sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi telur cacing yang memiliki frekuensi sedikit atau sangat berkelompok (sensitivitas analitik secara teori = 24 telur per gram feses) (Glinz et al., 2010).

Sensitivitas dapat ditingkatkan dengan melakukan beberapa pemeriksaan Kato-Katz apusan tebal yang dipersiapkan dari sampel feses sebelumnya, atau lebih baik lagi dari beberapa sampel feses. Teknik pemeriksaan ini memfokuskan pada metode diagnosis parasitologi yang mampu melakukan skrining dengan menggunakan sampel feses dalam jumlah banyak, yaitu 0,5 gram atau bahkan 1 gram pada metode dengan konsentrasi eter atau teknik FLOTAC. Metode dengan konsentrasi eter sering dipergunakan dalam mendiagnosis infeksi cacing, terutama pada laboratorium khusus. Metode ini dapat mendiagnosis infeksi protozoa usus yang terjadi bersamaan (Glinz et al., 2010). Beberapa penelitian mendapatkan bahwa pemeriksaan dengan beberapa sampel ataupun penggunaan kombinasi beberapa metode diagnosis meningkatkan keakuratan diagnosis. Kadang metode dengan konsentrasi eter dan metode Kato-Katz dikombinasikan meningkatkan sensitivitas diagnosis infeksi cacing dan


(37)

 

memperdalam pengertian mengenai poliparasitisme (Fürst et al., 2012). Hal penting dalam metode dengan konsentrasi eter ini adalah penggunaan sampel feses yang difiksasi dengan sodium acetate-acetic acid-formalin (SAF) atau formalin yang diencerkan, sehingga sampel dapat disimpan dan dianalisis di waktu berikutnya. Bagaimanapun, perbedaan interlaboratorium yand besar telah diketahui dalam diagnosis infeksi cacing dan protozoa usus tertentu (Glinz et al., 2010).

Penelitian terbaru menyarankan pemakaian teknik FLOTAC dalam mendiagnosis infeksi STH pada manusia. Kelebihan teknik FLOTAC adalah elemen parasit, seperti telur cacing, terkumpul di bagian apikal kolum pengapungan sehingga mudah dibaca, misalnya dengan potongan transversal untuk pemeriksaan dengan mikroskop. Selain itu, elemen parasit terpisah dari debris fekal sehingga mempermudah identifikasi dan perhitungan. Protokol teknik ini telah berkembang dari teknik FLOTAC dasar (sensitivitas analitik secara teori = 1 telur per gram feses), teknik FLOTAC dual, teknik FLOTAC ganda, dan teknik FLOTAC pelet (semua: sensitivitas analitik secara teori = 2 telur per gram feses). Pada pemeriksaan FLOTAC tunggal, 1 gram feses dianalisis, di mana jumlah sampel ini 24 kali lebih banyak daripada pemeriksaan Kato-Katz apusan tebal tunggal. Hal ini menjelaskan tingkat kesensitivitasan FLOTAC yang lebih tinggi (Knopp et al., 2008; Glinz et al., 2010).

Intensitas infeksi STH terdiri atas intensitas ringan, sedang, dan berat. Pada askariasis, infeksi dengan intensitas rendah terdapat 1 sampai dengan 4.999 telur per gram feses, intensitas sedang terdapat 5.000 sampai dengan 49.999 telur per gram feses, dan intensitas berat terdapat lebih dari 50.000 telur per gram feses. Pada trikuriasis, infeksi dengan intensitas rendah terdapat 1 sampai dengan 999 telur per gram feses, intensitas sedang terdapat 1.000 sampai dengan 9.999 telur per gram feses, dan intensitas berat terdapat lebih dari 10.000 telur per gram feses. Pada ankilostomiasis dan nekatoriasis, infeksi dengan intensitas rendah terdapat 1 sampai dengan 1.999 telur per gram feses, intensitas sedang terdapat 2.000 sampai dengan 3.999 telur per gram feses, dan intensitas berat terdapat lebih dari 4.000 telur per gram feses (WHO, 2012a).


(38)

 

Tabel 2.1. Intensitas Infeksi SoilTransmitted Helminths

Organisme

Infeksi Intensitas Rendah (telur per gram

feses)

Infeksi Intensitas Sedang (telur per gram

feses)

Infeksi Intensitas Berat (telur per gram

feses)

Ascaris lumbricoides 1–4.999 5.000–49.999 > 50.000

Trichuris trichiura 1–999 1.000–9.999 > 10.000

Cacing tambang (Necator americanus atau

Ancylostoma duodenale)

1–1.999 2.000–3.999 > 4.000

Dikutip dari WHO, 2012a

Selain pemeriksaan kopromikrokospik, terdapat juga pemeriksaan antibodi, deteksi antigen, dan diagnosis molekular dengan menggunakan PCR (World Heatlh Organization, 2012). Serodiagnosis dapat menjadi pemeriksaan pilihan dalam mendiagnosis infeksi STH. Kekurangan pemeriksaan ini adalah bersifat invasif (seperti dengan pengambilan sampel darah), antibodi tetap terdeteksi setelah penatalakasanaan, dan terdapat kemungkinan terjadinya reaksi silang dengan nematode lainnya (Knopp et al., 2008). Akibatnya, fungsi pemeriksaan serologi ini masih kontroversial, terutama pada daerah endemis. Pemeriksaan dengan menggunakan PCR dapat menjadi pemeriksaan baku (‘gold’ standard), tetapi perlu dilakukan validasi di berbagai latar epidemiologi yang berbeda untuk mengetahui skala pemakaiannya secara luas (Becker et al., 2011). Larva Ascaris lumbricoides dapat ditemukan di sputum atau bahan aspirasi lambung sebelum telur cacing ditemukan di feses. Bentuk cacing dewasa yang besar, berwarna krem, dan tidak bersegmen dapat dengan mudah diidentifikasi bila cacing tersebut keluar melalui mulut, anus, ataupun hidung. Cacing yang terdapat di usus dapat dilihat melalui pemeriksaan foto polos radiografi. Pemeriksaan untrasonografi, computed tomography, dan ERCP (endoscopic retrograde cholangipancreatography) dapat memperlihatkan cacing yang terdapat di cabang saluran bilier dan duktus pankreas. Cacing yang tampak pada duktus bilier ataupun pankreas pada pemeriksaan ERCP dapat diekstraksi dengan forsep. Pada trikuriasis, tindakan untuk mendiagnosis juga dapat


(39)

 

dilakukan dengan mengidentifikasi cacing dewasa pada mukosa rektum yang prolaps atau melalui kolonoskopi (Maguire, 2010a).

2.1.5. Penatalaksanaan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)

Seluruh infeksi Ascaris lumbricoides, baik yang bersifat asimtomatik ataupun intensitas rendah, harus dilakukan tindakan penatalaksanaan. Pilihan obat berupa albendazol oral (400 mg dosis tunggal), mebendazol (500 mg dosis tunggal atau 100 mg dua kali sehari dalam 3 hari), atau pirantel palmoat (11 mg / kg BB dosis tunggal, dosis maksimal 1 gram). Ketiga obat ini memiliki tingkat kesembuhan yang tinggi. Penderita yang tidak sepenuhnya sembuh mengalami penurunan beban infeksi cacing yang diketahui melalui pemeriksaan telur cacing (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006; Bethony et al., 2006; Ideham dan Pusarawati, 2007; Maguire, 2010a).

Albendazol bekerja dengan cara berikatan dengan β tubulin parasit sehingga menghambat polimarisasi mikrotubulus dan memblok pengambilan glukosa oleh larva maupun cacing dewasa. Akibatnya, persediaan glikogen cacing menurun, pembentukan ATP berkurang, dan cacing mati. Obat ini juga dapat merusak telur cacing. Mebendazol menyebabkan kerusakan struktur subselular dan menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat pengambilan glukosa oleh cacing secara ireversibel, sehingga terjadi deplesi glikogen pada cacing. Mebendazol menyebabkan sterilitas pada telur cacing. Pirantel palmoat dan analognya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing mati dengan keadaan spastis (Syarif dan Elysabeth, 2009).

Invermektin oral (150-200 µg / kg BB dosis tunggal), yang merupakan obat pilihan untuk strongiloidiasis dan onkosersiasis, juga efektif dalam mengobati askariasis. Levamisol oral (2,5 mg / kg BB dosis tunggal) juga merupakan obat alternatif yang direkomendasikan oleh WHO. Levamisol digunakan sebagai imunostimultan pada manusia dengan memperbaiki mekanisme pertahanan seluler dan memacu pematangan limfosit T. Piperazin sitrat pernah menjadi obat pilihan, tetapi bersifat neurotoksik dan hepatotoksik,


(40)

 

serta tidak dipakai lagi di beberapa negara. Pirantel palmoat dan piperazin sitrat dinyatakan aman untuk digunakan selama masa kehamilan. WHO juga merekomendasikan pemakaian albendazol dan mebendazol selama masa kehamilan berdasarkan data yang telah diperoleh. Selain itu, kedua obat ini dapat digunakan dalam penatalaksanaan anak-anak di bawah 12 bulan (Syarif dan Elysabeth, 2009; Maguire, 2010a).

Obat baru yang memiliki aktivitas melawan Ascaris lumbricoides

termasuk nitazoksanid dan tribendimidin, yang terdaftar di Cina. Piperazin dapat menyebabkan paralisis flaksid pada cacing sehingga berperan dalam melepaskan obstruksi. Jika terdapat dalam sediaan sirup, obat ini dapat diberikan melalui

nasogastric tube. Antibiotik diberikan bila terdapat infeksi bakteri, dan bila gejala akut reda diberikan obat antelmintik untuk mencegah kekambuhan (Maguire, 2010a).

Dosis tunggal albendazol, mebendazol, dan pirantel pamoat dapat menyembuhkan kurang dari 50% penderita trikuriasis serta menurunkan beban akibat infeksi cacing kurang dari 60%. Pemakaian albendazol selama tiga hari (400 mg / hari secara oral) atau mebendazol (100 mg dua kali sehari) lebih efektif untuk infeksi ringan dan sedang. Pada infeksi berat, pemberian albendazol selama 5-7 hari atau kombinasi albendazol dan invermektin yang dikonsumsi satu kali memiliki tingkat kesembuhan dan penurunkan intensitas infeksiyang lebih tinggi (Bethony, et al., 2006; Maguire, 2010a).

Pada ankilostomiasis dan nekatoriasis, pemberian terapi besi dapat memperbaiki kadar hemoglobin menjadi normal, tetapi anemia akan terjadi kembali apabila terapi antelmintik tidak diberikan. Albendazol 400 mg dosis tunggal merupakan terapi pilihan. Pemberian mebendazol 100 mg yang diberikan dua kali sehari dalam 3 hari lebih efektif daripada diberikan 500 mg dosis tunggal. Pemberian pirantel palmoat dengan dosis 11 mg/kgBB diperlukan untuk mengeliminasi atau menurunkan angka infeksi berat (Syarif dan Elysabeth, 2009; Maguire, 2010a).


(41)

 

2.1.6. Pencegahan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)

WHO menyusun strategi global dalam mengendalikan STH dengan penggunaan kemoterapi modern. Strategi tersebut bertujuan untuk mengendalikan morbiditas yang diakibatkan oleh infeksi STH, yaitu dengan mengeliminasi infeksi dengan intensitas sedang dan tinggi dengan pemberian obat antelmintik (terutama albendazol 400 mg dosis tunggal dan mebendazol 500 mg dosis tunggal). Obat antelmintik ini diberikan kepada populasi dengan resiko tinggi, yaitu:

a. Anak-anak yang belum sekolah (usia 1-4 tahun) b. Anak-anak usia sekolah (usia 5-14 tahun)

c. Wanita usia reproduktif (termasuk wanita dengan kehamilan trimester kedua dan ketiga, serta wanita menyusui).

d. Kelompok usia dewasa yang rentan terpapar dengan infeksi STH (contoh: pekerja kebun teh dan pekerja penambangan).

Program pemberantasan infeksi cacing juga dilakukan melalui sekolah dan lembaga lain yang terkait. Program pemberantasan infeksi ini termasuk dengan pemberian vaksinasi dan suplemen, seperti: vitamin A (WHO, 2012a).

Program pengendalian infeksi cacing di Indonesia disusun dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 424/Menkes/SK/VI/2006, di mana tujuan dari program ini adalah memutus mata rantai penularan infeksi cacing, baik di dalam tubuh maupun di luar tubuh. Program ini dilakukan dengan kerja sama pemerintah, Departemen Kesehatan, masyarakat, serta sektor lain sebagai mitra. Untuk mencapai hal tersebut dilakukan kegiatan berupa penentuan prioritas lokasi atau penduduk sasaran, penegakkan diagnosis dengan pemeriksaan feses secara langsung menggunakan metode Kato-Katz, serta penanggulangan infeksi. Sesuai rekomendasi WHO, penanggulangan infeksi cacing dilakukan dengan pengobatan tindakan pencegahan, dan promotif (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat yang aman, berspektrum luas, efektif, tersedia, harga terjangkau, serta dapat membunuh cacing dewasa, larva, dan telur. Pelaksanaan kegiatan pengobatan diawali dengan survei data dasar berupa pemeriksaan feses. Apabila pada pemeriksaan feses


(42)

 

sampel didapati hasil dengan prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan massal. Namun, bila dari hasil pemeriksaan feses sampel prevalensi hanya didapati kurang dari 30%, dilakukan pemeriksaan menyeluruh (total screening). Apabila hasil pemeriksaan total screening menunjukkan prevalensi lebih dari 30%, harus dilakukan pengobatan massal. Tetapi bila prevalensi kurang dari 30%, pengobatan dilakukan secara selektif, yaitu pada orang dengan hasil positif saja (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

Pencegahan dilakukan dengan pengendalian faktor resiko, antara lain kebersihan lingkungan, kebersihan pribadi, penyediaan air bersih yang cukup, semenisasi lantai rumah, pembuatan dan penggunaan jamban yang memadai, menjaga kebersihan makanan, serta pendidikan kesehatan di sekolah kepada guru dan anak. Pendidikan kesehatan dilakukan melalui penyuluhan kepada masyarakat umum secara langsung atau dengan penggunaan media massa. Sedangkan untuk anak-anak di sekolah dapat dilakukan penyuluhan melalui program UKS (Unit Kesehatan Sekolah) (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

2.2. Prestasi Belajar

2.2.1. Definisi dan Aspek-Aspek Belajar

Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku (Slameto, 2010). Menurut Lyle E. Bourne, JR., Bruce R. Ekstrand, belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap yang diakibatkna oleh pengalaman dan latihan (Mustaqim, 2012).

2.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar

Secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar anak dapat dibedakan menjadi faktor internal (faktor dari dalam anak), faktor eksternal (faktor dari luar anak), dan faktor pendekatan belajar (approach to learning). Faktor-faktor tersebut dalam banyak hal sering saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Seorang anak yang berintelegensi tinggi (faktor internal) dan


(43)

 

mendapat dorongan positif dari orang tuanya (faktor eksternal), mungkin akan memilih pendekatan belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil pembelajaran. Karena pengaruh-pengaruh faktor tersebut, muncul anak-anak yang berprestasi tinggi (high-achievers), berprestasi rendah (under-achievers) atau gagal sama sekali (Syah, 2009).

2.2.2.1. Faktor Internal Anak

Faktor internal berasal dari diri sendiri meliputi dua aspek, yaitu aspek fisologis (yang bersifat jasmaniah), dan aspek psikologis (yang bersifat rohaniah) (Syah, 2009).

2.2.2.1.1. Aspek Fisiologis

Kondisi umum jasmani dan tonus otot anak menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh, yang dapat mempengaruhi semangat dan intensitas anak dalam mengikuti pelajaran (Syah, 2009). Proses belajar seseorang akan terganggu jika kesehatan seseorang terganggu (Slameto, 2010). Kekurangan gizi biasanya mempunyai pengaruh terhadap kesehatan jasmani, seperti mudah mengantuk, lekas lelah, dan lesu, terutama pada anak-anak yang usianya masih muda (Mustaqim, 2012). Kondisi organ tubuh yang lemah, misal: pada nyeri kepala yang berat, dapat menurunkan kemampuan kognitif sehingga materi yang dipelajari leih sulit diterima, bahkan tidak dapat diterima sama sekali (Syah, 2009). Selain itu, daya tahan tubuh yang menurun lebih rentan untuk terserang penyakit. Apabila keadaan ini semakin memburuk, aktivitas belajar dapat berhenti (Mustaqim, 2012).

Kondisi organ-organ khusus anak, seperti: tingkat kesehatan indera pendengaran dan indera penglihatan, juga mempengaruhi kemampuan anak dalam menyerap informasi dan pengetahuan, terutama di kelas. Akibatnya, proses informasi oleh sistem memori anak terhambat. Penurunan rasa percaya diri ( self-esteem atau self-convidence) seorang anak juga dapat mempengaruhi proses pembelajaran. Anak yang frustasi dapat berprestasi rendah (under-achievers) atau


(44)

 

gagal, meskipun kapasitas kognitifnya normal atau lebih tinggi dari teman-temannya (Syah, 2009).

2.2.2.1.2. Aspek Psikologis

Aspek psikologis berperan penting dalam proses pembelajaran (Mustaqim, 2012). Aspek psikologis dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan belajar anak. Aspek psikologis tersebut pun dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antara faktor-faktor yang terdapat di dalam aspek psikologis tersebut, faktor yang terpenting adalah tingkat kecerdasan / intelegensi anak, sikap anak, bakat anak, minat anak, dan motivasi anak (Syah, 2009).

1. Tingkat Kecerdasan / Intelegensi Anak

Menurut Reber, umumnya intelegensi diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk bereaksi terhadap rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat (Syah, 2009). Tingkat kecerdasan atau intelegensi (IQ) berpengaruh besar terhadap kemajuan belajar dan sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar anak (Syah, 2009; Slameto, 2010). Dalam situasi yang sama, seseorang yang memiliki intelegensi tinggi umumnya mudah mengikuti proses belajar dengan hasil cenderung baik. Sebaliknya, orang yang memiliki intelegensi rendah cenderung mengalami kesukaran dalam belajar dan lambat berpikir, sehingga memiliki prestasi belajar yang rendah (Dalyono, 2009). Walaupun begitu, anak yang mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi belum tentiu berhasil dalam proses belajarnya. Sebab, belajar adalah suatu proses yang kompleks dengan banyak faktor yang mempengaruhinya, sedangkan intelegensi hanya salah satu faktor di antara faktor-faktor yang lainnya (Slameto, 2010).

2. Sikap Anak

Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk bereaksi atau berespon (response tendency) secara relatif tetap terhadap objek berupa orang, barang, dan sebagainya, baik secara postif


(45)

 

maupun negatif. Sikap anak yang postif, terutama kepada guru dan mata pelajaran yang diberikan, merupakan awal yang baik terhadap proses belajar anak tersebut. Sebaliknya, sikap negatif anak terhadap guru dan mata pelajaran yang diberikan, apalagi diikuti dengan rasa benci, dapat menimbulkan kesulitan belajar bagi anak tersebut (Syah, 2009).

3. Bakat Anak

Secara umum, bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Dalam perkembangan selanjutnya, bakat diartikan sebagai kemampuan individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan latihan (Syah, 2009). Bakat dapat mempengaruhi tinggi-rendahnya suatu prestasi belajar di bidang-bidang tertentu. Jika pelajaran yang dipelajari anak sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya akan lebih baik karena anak tersebut senang dalam mempelajari hal tersebut. Selanjutnya, anak akan lebih giat lagi dalam belajar. Sebaliknya, pemaksaan kehendak untuk menyekolahkan anak pada jurusan keahlian yang tidak sesuai dengan bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik (academic performance) atau prestasi belajarnya. Hal tersebut juga terjadi bila anak tidak sadar terhadap bakatnya sendiri dan memilih jurusan keahlian yang bukan bakatnya (Syah, 2009; Slameto, 2010).

4. Minat Anak

Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan atau keinginan yang besar terhadap sesuatu (Syah, 2009). Minat yang besar terhadap sesuatu hal merupakan modal yang besar untuk memperoleh tujuan yang diminati (Dalyono, 2009). Minat dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar anak dalam bidang-bidang tertentu (Syah, 2009). Jika anak tidak memiliki minat yang tinggi terhadap proses belajar dan bahan pelajaran yang dipelajari, maka anak tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya. Anak tidak merasakan daya tarik dan kepuasan dari bahan


(1)

 

HASIL PENGOLAHAN DATA

1.

Analisis Deskriptif Data Kontinu

2.

Analisis Frekuensi

Statistics

Jenis

Kelamin Kelas

Karakteristik Infeksi STH

Karakteristik Prestasi Belajar

Jenis Cacing

N Valid 63 63 63 63 63

Missing 0 0 0 0 0

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Laki-laki 26 41.3 41.3 41.3

Perempuan 37 58.7 58.7 100.0

Total 63 100.0 100.0

Statistics Nilai Rata-Rata

N Valid 63

Missing 0

Mean 65.219

Std. Error of Mean .4575

Median 66.000

Mode 60.0a

Std. Deviation 3.6316

Variance 13.189

Range 15.5

Minimum 56.7

Maximum 72.2

Sum 4108.8

a. Multiple modes exist. The smallest value is shown Statistics

Usia

N Valid 63

Missing 0

Mean 7.95

Median 8.00

Mode 8

Minimum 6


(2)

 

Kelas

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid II 24 38.1 38.1 38.1

III 22 34.9 34.9 73.0

IV 17 27.0 27.0 100.0

Total 63 100.0 100.0

Jenis STH

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak terinfeksi 41 65.1 65.1 65.1

A. lumbricoides 4 6.3 6.3 71.4

T. trichiura 16 25.4 25.4 96.8

A. lumbricoides dan

T. trichiura

2 3.2 3.2 100.0

Total 63 100.0 100.0

Karakteristik Infeksi STH

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Terinfeksi 22 34.9 34.9 34.9

Tidak terinfeksi 41 65.1 65.1 100.0

Total 63 100.0 100.0

Karakteristik Intensias Infeksi

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Ringan 21 7.9 7.9 100.0

Sedang 1 92.1 92.1 92.1

Berat 0 0 0 0

Tidak Terinfeksi

Total 63 100.0 100.0

Karakteristik Prestasi Belajar

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Kurang 5 7.9 7.9 100.0

Cukup 58 92.1 92.1 92.1

Baik 0 0 0 0


(3)

 

3.

Analisis Inferensial

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

n Percent n Percent n Percent

Jenis Kelamin * Karakteristik Infeksi STH 63 100.0% 0 .0% 63 100.0%

Kelas * Karakteristik Infeksi STH 63 100.0% 0 .0% 63 100.0%

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

n Percent n Percent n Percent

Jenis Kelamin * Karakteristik Prestasi Belajar 63 100.0% 0 .0% 63 100.0%

Kelas * Karakteristik Prestasi Belajar 63 100.0% 0 .0% 63 100.0%

Jenis STH * Karakteristik Prestasi Belajar 63 100.0% 0 .0% 63 100.0%

Intensitas Infeksi * Karakteristik Prestasi Belajar 63 100.0% 0 .0% 63 100.0%

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

n Percent n Percent n Percent

Karakteristik Infeksi STH * Karakteristik Prestasi Belajar 63 100.0% 0 .0% 63 100.0%

Crosstab Jenis Kelamin - Karakteristik Infeksi STH

Karakteristik Infeksi STH

Total Terinfeksi Tidak terinfeksi

Jenis Kelamin Laki-laki Count 7 19 26

Expected Count 9.1 16.9 26.0

% within Infeksi STH 31.8% 46.3% 41.3%

Perempuan Count 15 22 37

Expected Count 12.9 24.1 37.0

% within Infeksi STH 68.2% 53.7% 58.7%

Total Count 22 41 63

Expected Count 22.0 41.0 63.0

% within Infeksi STH 100.0% 100.0% 100.0%

Crosstab Kelas - Karakteristik Infeksi STH

Karakteristik Infeksi STH

Total Terinfeksi Tidak terinfeksi

Kelas II Count 9 15 24

Expected Count 8.4 15.6 24.0

% within Infeksi STH 40.9% 36.6% 38.1%


(4)

 

Crosstab Jenis Kelamin - Karakteristik Prestasi Belajar

Karakteristik Prestasi Belajar

Total

Kurang Cukup Baik

Jenis Kelamin Laki-laki Count 2 24 0 26

Expected Count 2.1 23.9 0 26.0

% within Prestasi Belajar 40.0% 41.4% .0% 41.3%

Perempuan Count 3 34 0 37

Expected Count 2.9 34.1 0 37.0

% within Prestasi Belajar 60.0% 58.6% .0% 58.7%

Total Count 5 58 0 63

Expected Count 5.0 58.0 0 63.0

% within Prestasi Belajar 100.0% 100.0% .0% 100.0% Crosstab Kelas - Karakteristik Prestasi Belajar

Karakteristik Prestasi Belajar

Total

Kurang Cukup Baik

Kelas II Count 0 24 0 24

Expected Count 1.9 22.1 0 24.0

% within Infeksi STH 0.0% 41.4% .0% 38.1%

III Count 4 18 0 22

Expected Count 1.7 20.3 0 22.0

% within Infeksi STH 80.0% 31.0% .0% 34.9%

IV Count 1 16 0 17

Expected Count 1.3 15.7 0 17.0

% within Infeksi STH 20.0% 27.6% .0% 27.0%

Total Count 5 58 0 63

Expected Count 5.0 58.0 0 63.0

% within Infeksi STH 100.0% 100.0% .0% 100.0%

Crosstab Karakteristik Jenis STH - Karakteristik Prestasi Belajar

Karakteristik Prestasi Belajar

Total Kurang Cukup Baik

Expected Count 7.7 14.3 22.0

% within Infeksi STH 31.8% 36.6% 34.9%

IV Count 6 11 17

Expected Count 5.9 11.1 17.0

% within Infeksi STH 27.3% 26.8% 27.0%

Total Count 22 41 63

Expected Count 22.0 41.0 63.0


(5)

 

Karakteristik Infeksi STH A lumbricoides Count 2 2 0 4

Expected Count .3 3.7 0 4.0

% within Karakteristik Prestasi Belajar 40.0% 3.4% .0% 6.3%

T. trichiura Count 1 15 0 16

Expected Count 1.3 14.7 0 16.0

% within Karakteristik Prestasi Belajar 20.0% 25.9% .0% 25.4% A. duodenale /

N. americanus

Count 0 0 0 0

Expected Count 0 0 0 0

% within Karakteristik Prestasi Belajar .0% .0% .0% .0%

Campuran Count 1 1 0 2

Expected Count .2 1.8 0 2.0

% within Karakteristik Prestasi Belajar 20.0% 1.7% .0% 3.2%

Tidak Terinfeksi Count 1 40 0 41

Expected Count 3.3 37.7 0 41.0

%within Karakteristik Prestasi Belajar 20.0% 69.0% .0% 65.1%

Total Count 5 58 0 63

Expected Count 5.0 58.0 0 63.0

% within Karakteristik Prestasi Belajar 100.0% 100.0% .0% 100.0% Crosstab Karakteristik Intensitas Infeksi – Karakteristik Prestasi Belajar

Karakteristik Prestasi Belajar

Total Kurang Cukup Baik

Karakteristik Infeksi STH Berat Count 0 0 0 22

Expected Count 0 0 0 22.0

% within Karakteristik Prestasi Belajar .0% .0% .0% 34.9%

Sedang Count 1 0 0 1

Expected Count .1 .9 0 1.0

% within Karakteristik Prestasi Belajar 20.0% .0% .0% 1.6%

Ringan Count 3 18 0 21

Expected Count 1.7 19.3 0 21.0

% within Karakteristik Prestasi Belajar 60.0% 31.0% .0% 33.3%

Tidak Terinfeksi Count 1 40 0 41

Expected Count 3.3 37.7 0 41.0

% within Karakteristik Prestasi Belajar 20.0% 69.0% .0% 65.1%

Total Count 5 58 0 63

Expected Count 5.0 58.0 0 63.0

% within Karakteristik Prestasi Belajar 100.0% 100.0% .0% 100.0%

Crosstab Karakteristik Infeksi STH – Karakteristik Prestasi Belajar

Karakteristik Prestasi Belajar

Total Kurang Cukup Baik

Karakteristik Infeksi STH Terinfeksi Count 4 18 0 22

Expected Count 1.7 20.3 0 22.0

% within Karakteristik Prestasi Belajar 80.0% 31.0% .0% 34.9%

Tidak Terinfeksi Count 1 40 0 41


(6)

 

% within Karakteristik Prestasi Belajar 20.0% 69.0% .0% 65.1%

Total Count 5 58 0 63

Expected Count 5.0 58.0 0 63.0

% within Karakteristik Prestasi Belajar 100.0% 100.0% .0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 4.856a 1 .028

Continuity Correctionb 2.941 1 .086

Likelihood Ratio 4.665 1 .031

Fisher's Exact Test .046 .046

N of Valid Cases 63

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .84. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Karakteristik Infeksi STH (Terinfeksi / Tidak terinfeksi)

8.889 .927 85.252

For cohort Karakteristik prestasi belajr = Kurang

7.455 .887 62.679

For cohort Karakteristik prestasi belajr = Cukup-Baik

.839 .685 1.027

N of Valid Cases 63