27
Nggongi dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya. Mata pencaharian jemaat GKS Nggongi pada umumnya adalah bertani baik di ladang, kebun maupun di sawah.
Selain bertani sebagian jemaat juga berternak dan sedangkan yang lain terdiri dari nelayan, wiraswasta, guru SD maupun SMP, Pegawai, dan tenaga Medis. Dengan
keadaan alam yang baik membuat jemaat bisa bertahan disaat musim paceklik.
Keadaan Sosial Budaya
Jemaat GKS Nggongi adalah jemaat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan kekerabatan. Selain itu juga strata sosial antara golongan raja dan
golongan hamba masih sangat terasa. Sehingga dalam menjalani suatu hubungan dalam kemasyarakatan ada jarak antara golongan raja dan golongan hamba. Akan
tetapi karena keadaan sosial jemaat GKS Nggongi merupakan bagian dari masyarakat Sumba yang hidup secara teratur dan bersatu didalam suatu kelompok, sehingga
setiap anggotanya saling mengenal satu dengan yang lain, saling mendukung dan menolong. Dapat disimpulkan bahwa keadaan sosial budaya jemaat GKS Nggongi
yang masih menjunjung tinggi nilai budaya dan kekerabatan, tidaklah menjadi suatu masalah yang menghambat pelayanan Gereja, sebaliknya nilai-nilai budaya itu
menjadi motivasi bagi pelayanan Gereja untuk mempersatukan umat sebagai tubuh Kristus.
3.2 Faktor-faktor yang menyebabkan warga jemaat GKS Nggongi pindah Gereja.
3.2.1 Warga jemaat yang pindah karena ketidakpuasan terhadap pelayanan
a. Kasus Bapak YL
Dalam teknik untuk mencapai tujuan penelitian tentang faktor-faktor penyebab jemaat pindah gereja maka peneliti mewawancarai YL. Menurut YL
awal mula ia memutuskan untuk pindah ke denominasi gereja lain Karismatik
28
adalah untuk memenuhi kebutuhannya terhadap pelayanan terutama pemberkatan nikah dan baptisan. YL mengatakan mengatakan dalam penjelasannya :
“...Majelis jemaat GKS Nggongi menolak untuk melakukan pemberkatan nikah dan baptisan dengan alasan urusan adatbelisnya belum selesai, sedangkan saya sangat
memiliki kerinduan membawa keluarga saya untuk dimateraikan dalam sebuah pernikahan dan juga anak-anak kami dimateraikan menjadi milik Kristus dalam sebuah
baptisan. Ketika pihak Gereja menolak, saya sangat kecewa dan sakit hati. Saya menahan diri untuk tidak hadir dalam persekutuan di jemaat GKS selama enam bulan. Selama
enam bulan itupun Gereja tidak datang mengunjungi saya untuk memberikan jalan keluar kepada saya dan juga istri. Saya sangat kecewa karena itu saya bersama istri akhirnya
memutuskan untuk pindah ke Gereja GBI Kahembi pada bulan November 2011.
4
Setelah mewawancarai YL peneliti mendapatkan informasi nama-nama dari jemaat lain yang juga pindah menyusul setelah YL pindah.
b. Kasus bapak HB
Hari berikutnya peneliti mewawancarai HB yang juga merupakan jemaat yang pindah ke GBI Kahambi. HB mengatakan perasaannya sebagai berikut:
“....Saya merasa sangat kecewa saat saya sakit dirumah tidak ada satu orang majelis jemaatpun yang datang untuk mendoakan saya, sedangkan saat pendeta dari GBI
mendengar saya sakit beliau langsung datang untuk mendoakan saya. Sedangkan waktu itu saya masih menjadi anggota jemaat GKS. Mengapa pendeta dari Gereja lain datang
mendoakan dan peduli dengan saya tapi pendeta dari Gereja asal saya tidak datang untuk mendoakan saya. Saya menahan diri selama sembilan bulan dari persekutuan dengan
jemaat. Dan selama itu juga Gereja tidak melakukan pendekatan kepada saya dan istri untuk menyelesaikan masalah tersebut. Saya rasa lebih baik, saya dan keluarga pindah
saja ke GBI dari pada saya harus bertahan di GKS.
5
c. Kasus Bapak BN
Wawancara dilakukan kepada bapak BN. Beliau mengungkap-kan alasan dan penyebab ia memilih untuk pindah ke GBT. Dalam penjelasannya beliau
mengungkapkan :
“...Saya merasa selama bergereja di GKS iman saya tidak tumbuh dan juga GKS terlalu terikat dengan aturan tata Gereja sehingga terkesan sangat kaku, alasan lainnya karena
ketika ada permasalahan yang terjadi di jemaat, GKS sangat lamban dalam melakukan penanganan serta ketika saya minta Gereja untuk menghadiri dan memimpin ibadah
syukuran karena anak saya yang ketiga lulus dari teologia GBT, majelis jemaat tidak hadir. Saya kecewa karena saya merasa pelayanan Gereja pilih kasih. Saya menahan diri
dari peresekutuan dengan jemaat dan selama menahan diripun tidak ada perkunjungan ataupun pendekatan yang dilakukan oleh Gereja agar dapat menyelesaikan masalah yang
4
Wawancara, Rabu 5 september 2012, pukul 14.00 di rumah
5
Wawancara, Kamis 6 september 2011 pukul 12.00 di Rumah.
29
ada. Melihat tidak ada tanggapan dari Gereja, saya bersama istri memutuskan untuk pindah ke GBT. Setelah pindah baru adanya pendekatan dalam bentuk tim yang di
lakukan oleh GKS kepada saya. Bagi saya kedatangan tim dari GKS sudah terlambat karena saya sudah merasa nyaman dan iman saya pun tumbuh saat menjadi bagian dari
jemaat GBT. Saya sudah menemukan apa yang selama ini saya cari.
6
d. Kasus Ibu EH
Wawancara kepada ibu EH salah satu warga jemaat yang pindah ke GBT. Ibu E H mengatakan alasan yang mendasar sehingga beliau pindah ke GBT :
“...Saat saya datang kepada Gereja GKS untuk minta dilakukan pemberkatan nikah permintaan itu di tolak oleh Gereja dengan alasan karena calon suami saya masih
berstatus suami orang. Menurut saya tidak ada salahnya ketika saya ingin di berkati dalam sebuah pernikahan karena istri calon suami sudah menyetujui hubungan kami.
Saya kecewa GKS terlalu terpaku pada tata aturan Gereja sehingga saya tidak di beri kesempatan untuk membawa keluarga saya di hadapan Tuhan untuk dimateraikan. Saya
tidak pernah merasa ada pendekatan yang di lakukan oleh GKS saat saya mengalami masalah ini. Saya merasa seperti domba yang kehilangan arah tanpa dicari dan dilindungi.
Saya memutuskan untuk pindak ke GBT dan melakukan pemberkatan nikah di Gereja tersebut.
7
e. Kasus Bapak EN
Peneliti mewawancarai Bapak EN yang juga telah pidah ke GBT. Bapak EN menjelaskan:
“...Keputusan untuk pindak ke GBT bermula saat saya mencalonkan diri menjadi anggota majelis jemaat. Dan melalui rapat dewan lengkap saya telah mendapat persetujuan untuk
menjadi calon majelis jemaat, pada saat yang sama sebelum nama-nama calon majelis jemaat di umumkan, saya bertikai dengan ayah saya, melihat hal itu Gereja melakukan
mediasi antara saya dengan sang ayah, namun hal itu belum mendapat titik terang untuk berdamai karena saat itu kami masih dalam suasana yang sangat tidak memungkinkan
untuk berdamai. Ayah saya tidak mempermasalahkan pencalonan saya sebagai majelis jemaat karena masalah yang ada antara kami berdua adalah masalah pribadi dan tidak ada
sangkut paut dengan pencalonan saya sebagai majelis jemaat.Yang buat saya sangat sakit hati majelis jemaat langsung mencopot nama saya saya tanpa pemberitahuan seolah-olah
saya difonis bersalah. Dan setelah itu mereka tidak datang berkunjung untuk memberikan penjelasan kepada saya mengapa nama saya di copot. Yang tragisnya lagi majelis jemaat
mengangkat salah seorang jemaat untuk menggantikan saya dengan alasan mengisi kekosongan, sedangkan jemaat tersebut tidak tidak mengikuti prosedur pencalonan. Saya
merasa majelis jemaat sudah menyimpang dari tata aturan Gereja tentang pencalonan majelis jemaat. Saya bersama istri memutuskan untuk pindah ke GBT.
8
f. Kasus Bapak R K
6
Wawancara, Kamis 6 september 2012 pukul 16.00 di rumah.
7
Wawancara, Kamis 6 september 2012 pukul 19.00 di rumah.
8
Wawancara, Jumat 7 september 2012, pukul 16.00 di rumah
30
Pada hari berikutnya peneliti melakukan wawancara terhadap R K. Dalam wawancara yang dilakukan, R K menjelaskan bahwa :
“...Saat saya meminta kepada Gereja GKS untuk memberkati anak saya dalam sebuah pemberkatan nikah, Gereja menolak dengan alasan urusan adat belis belum selesai
sehingga Gereja tidak dapat melakukan pemberkatan. Saya juga merasa tidak mendapatkan keadilan oleh pihak Gereja karena anak saya yang belum menikah
mengapa saya yang harus dikenakan siasat tidak boleh ikut perjamuan kudus?. Saya sangat kecewa dengan cara Gereja yang seperti ini. Akhirnya saya menulis surat kepada
Gereja bahwa saya mengundurkan diri dari jemaat, saya pindah ke Gereja lain. Surat saya itu sudah di bawa ke rapat dewan lengkap tapi tidak ada respon dari Gereja untuk
mengidahkan permohonan saya itu. Saya merasa saya sudah pantas untuk pindah karena saya sudah menulis surat, di respon atau tidak sudah tidak menjadi urusan saya lagi.
Bersama 10 kepala keluarga yang semuanya adalah keluarga saya, memutuskan untuk pindah ke GBT. Tidak ada paksaan kepada mereka untuk bergabung bersama saya di
GBT akan tetapi niat dari hati mereka sendiri dan karena kekecewaan mereka terhadap pelayanan yang dilakukan oleh Gereja serta lambannya penanganan serta penyelesaian
masalah oleh Gereja. Dan setelah kami telah menjadi bagian GBT barulah tim yang di bentuk oleh GKS yang telah di bahas dalam dewan lengkap datang dan mengunjungi
kami. Akan tetapi keputusan kami sudah bulat sehingga kami tidak ingin kembali lagi ke GKS.
9
Analisa
Dari seluruh hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap informan kunci, dapat dikatakan bahwa terjadi perpindahan warga jemaat GKS
Nggongi ke gereja lain, hal tersebut disebabkan karena adanya peraturan dari GKS Nggongi yang menyatakan, warga jemaat tidak dapat mengikuti acara pemberkatan
nikah di gereja jika dalam kehidupan sosialnya belum melakukan upacara pernikahan adat belis. Pada umumnya pemberkatan nikah di gereja dapat di lakukan terlebih
dahulu sebelum pelaksanaan pernikahan adat. Berdasarkan peraturan yang di buat oleh GKS Nggongi, maka hal tersebut juga berimbas pada anak-anak dari keluarga
tersebut sehingga tidak bisa mendapatkan sakramen Baptisan Kudus, seperti contoh kasus pada bapak YL :
“...Majelis jemaat GKS Nggongi menolak untuk melakukan pemberkatan nikah dan baptisan dengan alasan urusan adatbelisnya belum selesai, sedangkan saya sangat memiliki kerinduan
membawa keluarga saya untuk dimateraikan dalam sebuah pernikahan dan juga anak-anak kami dimateraikan menjadi milik Kristus dalam sebuah baptisan. Ketika pihak Gereja
menolak, saya sangat kecewa dan sakit hati. Saya menahan diri untuk tidak hadir dalam persekutuan di jemaat GKS selama enam bulan. Selama enam bulan itupun Gereja tidak
9
Wawancara, Sabtu 8 september 2012, pukul 10.00, 14.00 dan 16.00 di rumah.
31
datang mengunjungi saya untuk memberikan jalan keluar kepada saya dan juga istri. Saya sangat kecewa karena itu saya bersama istri akhirnya memutuskan untuk pindah ke Gereja
GBI Kahembi pada bulan November 2011.
10
Peraturan tersebut yang menyebabkan terjadinya konflik antara pihak gereja dan jemaat yang bersangkutan, sehingga berujung pada perpindahan warga jemaat ke
gereja lain dengan alasan tidak mendapatkan kepuasan pelayanan dari GKS Nggongi. Selain itu juga kurang pekanya gereja terhadap masalah yang dialami oleh warga
jemaat contohnya kasus bapak HB yang mengeluh karna tidak mendapatkan perhatian dari GKS Nggongi ketika beliau dalam keadan sakit sedangkan dari Gereja GBI
datang berkunjung dan mendoakannya. Berdasarkan kasus diatas dapat dilihat bahwa para pelayan tidak memahami fungsi pastoral yang merupakan upaya untuk mencari
dan mengunjungi anggota jemaat terutama yang sedang bergumul dengan persoalan- persoalan yang menghimpitnya dan pelayanan ditujukan kepada mereka yang
mengalami pergumulan hidup.
11
Berdasarkan konflik yang terjadi dalam Gereja GKS Nggongi maka kasus ini sangat mendukung teori yang katakan oleh Samiyono bahwa jika konfilk tidak
dikelola dengan baik maka akan menyebabkan terjadinya hal yang negatif
12
. Di antaranya pertama, kerugian berupa material dan spiritual. Bila di kaitkan dengan
keadaan di lapangan maka terlihat jelas bahwa konflik yang ada dalam tubuh jemaat GKS Nggongi menimbulkan kerugian berupa material dengan berkurangnya
persembahan yang masuk dalam setiap ibadah minggu dan juga kerugian berupa spritual yang mana banyak jemaat menjadikan konflik tersebut sebagai sebuah alasan
untuk tidak mengikuti ibadah dan bersekutu bersama dengan jemaat lainnya.
10
Wawancara, Rabu 5 september 2012, pukul 14.00 di rumah
11
Ibid.
12
David Samiyono:Pluralisme dan Pengelolaan Konflik, tanggal 28-29 di UKSW Salatiga.
32
Kedua, menggangu harmoni sosial. Bila dikaitkan dengan keadaan di jemaat GKS Nggongi maka dengan adanya konflik yang terjadidalam tubuh jemaat dapat
mempengaruhi harmoni sosial yang selama ini terjalin dengan baik menjadi terpecah. Jemaat yang berkonflik tidak lagi begitu bersimpati dengan kehidupan jemaat lainnya
dan terkesan saling menyalahkan satu dengan yang lain, merasa diri paling benar, dan mempengaruhi orang lain untuk mengikuti keputusan yang di anggap benar olehnya
jemaat yang pindah. Ketiga, terjadi perpecahan kelompok. Bila dikaitkan dengan keadaan di
jemaat GKS Nggongi sangat jelas terlihat perpecahan yang terjadidalam kehidupan jemaat GKS Nggongi. Jemaat tidak lagi bersatu membangun persekutuan yang indah
akan tetapi masing-masing jemaat mencari jalan yang menurut mereka benar dan lebih menumbuhkan iman mereka dari pada tetap berkumpul bersama dalam
persekutuan di jemaat GKS Nggongi. Melihat dari dampak negatif yang terjadi di jemaat GKS Nggongi, maka
gereja berusaha untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dengan melakukan perkunjungan ke rumah jemaat. Perkunjungan tersebut dilakukan dengan membentuk
satu tim yang diputuskan dalam rapat dewan lengkap, namun perkunjungan tersebut hanya dilakukan satu atau dua kali saja. Setelah perkunjungan tersebut maka pihak
gereja mengembalikan keputusan sepenuhnya kepada jemaat untuk memuntuskan pindah gereja atau kembali ke gereja asal. Dalam pemikiran beberapa majelis selaku
pelayan, mereka sudah berusaha untuk melakukan pendekatan kepada jemaat yang berkonflik namun keputusan sepenuhnya kembali kepada jemaat. Tetapi pada
kenyataannya, usaha yang dilakukan oleh pihak gereja tidak cukup berhasil, terbukti bahwa semakin banyak warga jemaat yang memutuskan untuk pindah ke gereja lain.
33
Usaha yang dilakukan oleh pihak gereja ini dilakukan hanya semata-mata untuk menjalankan tugas gereja. Contoh kasus seperti yang terjadi kepada bapak EN :
“...Keputusan untuk pindah ke GBT bermula saat saya mencalonkan diri menjadi anggota majelis jemaat. Dan melalui rapat dewan lengkap saya telah mendapat persetujuan untuk
menjadi calon majelis jemaat, pada saat yang sama sebelum nama-nama calon majelis jemaat di umumkan, saya bertikai dengan ayah saya, melihat hal itu Gereja melakukan mediasi antara
saya dengan sang ayah, namun hal itu belum mendapat titik terang untuk berdamai karena saat itu kami masih dalam suasana yang sangat tidak memungkinkan untuk berdamai. Ayah saya
tidak mempermasalahkan pencalonan saya sebagai majelis jemaat karena masalah yang ada antara kami berdua adalah masalah pribadi dan tidak ada sangkut paut dengan pencalonan
saya sebagai majelis jemaat.Yang buat saya sangat sakit hati majelis jemaat langsung mencopot nama saya saya tanpa pemberitahuan seolah-olah saya divonis bersalah. Dan setelah
itu mereka tidak datang berkunjung untuk memberikan penjelasan kepada saya mengapa nama saya di copot. Yang tragisnya lagi majelis jemaat mengangkat salah seorang jemaat untuk
menggantikan saya dengan alasan mengisi kekosongan, sedangkan jemaat tersebut tidak tidak mengikuti prosedur pencalonan. Saya merasa sudah majelis jemaat sudah menyimpang dari
tata aturan Gereja tentang pencalonan majelis jemaat. Saya bersama istri memutuskan untuk pindah ke GBT.
13
Melihat usaha yang dilakukan oleh pihak gereja dalam penyelesaian konfik seperti kasus yang dialami oleh bapak EN, maka usaha gereja tersebut termasuk
dalam salah satu dari kelima strategi penyelesaian realita konflik yang di usulkan oleh Pruitt dan Rubin yaitu contending pertandingan yaitu mencoba menerapkan solusi
yang lebih disukai oleh satu pihak atas pihak lain. Strategi tersebut meliputi segala macam usaha untuk menyelesaikan konflik sesuai dengan kemauan sendiri tanpa
mempedulikan kepentingan pihak lain
14
. Dari strategi pertandingan tersebut tidak dapat menyelesaikan konflik yang terjadi, karena itu peneliti merekomendasikan salah
satu dari lima stategi tersebut yaitu problem solving pemecahan masalah. Hal tersebut didasarkan pada pendapat peneliti bahwa mengunakan strategi pemecahan
masalah kedua pihak yang berkonflik dapat mencari alternatif yang memuaskan kedua belah pihak dan berusaha mempertahankan aspirasinya sendiri, tetapi sekaligus
berusaha mendapatkan cara untuk melakukan rekonsiliasi dengan pihak lain dan mencari solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Dengan demikian masalah
13
Wawancara, Jumat 7 september 2012, pukul 16.00 di rumah
14
Dean G. Pruitt dan Jefferey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004 hal 4-6
34
yang terjadi di jemaat GKS Nggongi dapat diselesaikan dengan baik tanpa merugikan salah satu pihak.
Bila dikaitkan dengan data dan analisa diatas maka Gembala jemaat maupun majelis jemaat rupanya mampu menjadi mediator yang baik, sehingga menjadi
penangah bagi warga jemaat yang memiliki konflik. Terutama konflik antara warga jemaat dengan tata aturan Gereja dan juga adat istiadat yang berlaku, sehingga pihak-
pihak berkonfik menemukan penyelesaian yang mereka sepakati sejak dini. Hal ini sebetulnya sesuai dengan langkah-langkah yang diungkapkan oleh Pruit dan Rubin
mengenai mengenai penyelesaian realita konflik. Perlu juga di pahami bahwa untuk menyelesaikan konflik yang ada, gereja
tidak hanya mampu menjadi mediator akan tetapi gereja dapat menjadi penyembuh dan juga dapat memulihkan relasi yang telah rusak akibat konflik tersebut. Oleh
karena itu perlu ada pemahaman tentang pendampingan dalam relasi antara satu dengan yang lainnya. Seorang gembala atau majelis dan orang-orang yang terlibat
dalam pendampingan pastoral harus belajar agama dengan baik, dalam hal ini Kristen, sebagaimana agama itu berfungsi didalam dan melalui orang-orang yang terlibat
dalam pendampingan pastoral itu dalam relasinya satu sama lain.
15
Dapat dikatakan bahwa setiap konflik yang ada dalam tubuh jemaat dapat di selesaikan baik sehingga konflik yang ada tidak menjadi pemecah dalam persekutuan
jemaat akan tetapi dengan konflik yang ada dapat menolong, misalnya memberi pelajaran, perasaan memiliki tujuan bersama, dan pertumbuhan ke arah hubungan
yang lebih baik. Melalui proses tawar menawar, konflik dapat membantu terciptanya tatanan baru dalam interaksi sosial sesuai dengan kesepakatan bersama. Apabila
konflik dapat dikelola dengan baik sampai batas tertentu dapat juga dipakai sebagai
15
Ibid, hal. 6
35
alat perekat kehidupan bermasyarakat.
16
Untuk itu, maka konflik bukanlah suatu hal yang harus di hindari akan tetapi diselesaikan bersama agar mencapai pertumbuhan ke
arah yang lebih baik.
3.3 Warga jemaat pindah gereja karena faktor konflik internal dan masalah sosial