Tanggung Jawab Pemerintah Dalam Perwalian Anak–anak Terlantar Ditinjau Dari Undang-Undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak dan Undang–Undang No.11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial (Studi Di Dinas Sosial Kota Medan)

(1)

TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DALAM

PERWALIAN ANAK – ANAK TERLANTAR

DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NO.4 TAHUN

1979 TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK DAN

UNDANG – UNDANG NO.11 TAHUN 2009 TENTANG

KESEJAHTERAAN SOSIAL ( Studi Di Dinas Sosial

Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi

Syarat Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

WINDY FEBRINA

100200048

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DALAM PERWALIAN

ANAK – ANAK TERLANTAR DITINJAU DARI UNDANG -

UNDANG NO.4 TAHUN 1979 DAN UNDANG – UNDANG

NO.11 TAHUN 2009 ( Studi Di Dinas Sosial Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi Syarat

Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

W I N D Y F E B R I N A

100200048

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Perdata

1966933185081001

H. Dr. Hasim Purba. SH. M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Edy Ikhsan, SH, MA

NIP. 19630216198803002 NIP.19680112281994032001 Dr. Idha Aprilyana.S.SH, M. Hum

PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DALAM PERWALIAN ANAK –ANAK TERLANTAR DITINJAU DARI UNDANG _ UNDANG

NO.4 TAHUN 1979 DAN UNDANG – UNDANG NO.11 TAHUN 2009 (STUDI DI DINAS SOSIAL KOTA MEDAN)

*) Windy Febrina **)Edy Ikhsan

***)Idha Aprilyana Sembiring

Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi kebutuhan – kebutuhannya, baik secara rohani, jasmani maupun sosial dengan wajar. Pada dasarnya setiap anak itu berhak untuk merasakan kesejahteraannya dengan terpenuhinya semua kebutuhannya secara lahiriah dan batiniah. Dalam hal memenuhi kebutuhannya ini sebagai seorang anak akan membutuhkan peran orang tuanya. Namun tidak demikian halnya terhadap anak – anak terlantar yang tidak mempunyai orang tua, sehingga menjadi tanggung jawab negara untuk bertindak sebagai walinya. Hal ini sebagaimana yang tertera dalam Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 amandemen ke empat disebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak – anak terlantar dipelihara oleh negara”, yang berarti negara mempunyai tanggung jawab terhadap anak – anak tersebut.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai implementasi UU No.4 Tahun 1979 dan UU No.11 Tahun 2009 memberikan perlindungan terhadap kesejahteraan anak terlantar dan tanggung jawab pemerintah terhadap perwalian anak terlantar apabila dikaitkan dengan UU No.11 Tahun 2009 studi kasus di dinas sosial Kota Medan. Metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian yuridis normatif – yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma – norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang – undangan dan norma hukum – norma hukum yang ada dalam masyarakat. Sementara penelitian yuridis empiris adalah penelitian permasalahan mengenai hal – hal yang bersifat yuridis dan didasarkan atas fakta – fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dengan mengacu kepada pola – pola perilaku masyarakat yang nyata di lapangan.

Tanggung jawab pemerintah terhadap perwalian anak – anak terlantar masih belum memenuhi amanah dari UU No.4 Tahun 1979 dan UU No.11 Tahun 2009. Pemerintah hanya bertanggung jawab sebatas dengan memasukkan anak – anak tersebut ke panti sosial dan tidak ada upaya – upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah sejauh ini baik berkaitan dengan harta benda si anak yang berada di bawah perwaliannya ataupun hal lainnya. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan kinerja pelayanan sosial bagi anak terlantar dengan komitmen hati yang tulus dan tak kalah penting adalah mengubah paradigma pendekatan terhadap anak terlantar.


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat yang telah diberikan-Nya selama ini, sehingga Penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tinggiya penulis persembahkan kepada kedua orang tua, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan Skripsi yang berjudul: “Tanggung Jawab Pemerintah Dalam Perwalian Anak – anak Terlantar Ditinjau Dari Undang – Undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak dan Undang – Undang No.11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial (Studi Di Dinas Sosial) adalah guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik tersebut, maka penulis akan dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan berkualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi cara penulisannya.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:


(5)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah mengelola dan menyelenggarakan universitas sesuai dengan visi dan misi USU.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta membina tenaga pendidik dan mahasiswa di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

4. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang administrasi umum.

5. Bapak H.OK.Saidin,S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu Dekan dalam pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan pelayanan kesejahteraan mahasiswa.

6. Bapak Dr.Hasim Purba, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU


(6)

7. Ibu Rabiatul Syahriah, SH., M.Hum selaku Sekretaris Jurusan Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU.

8. Bapak Prof.Dr.Alvi Syahrin SH.,MS, selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis selama perkuliahan.

9. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH., MA selaku Dosen Pembimbing I. Terima kasih atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

10. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring SH.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II. Terima kasih atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

11. Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Dinas Sosial Kota Medan dan Provinsi Sumatera Utara khususnya Bapak Zailun, SH., MAP dan Bapak Jonnes Sirait. Terima kasih atas waktu yang telah diberikan kepada penulis selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

13. Yang teristimewa sahabat – sahabat kesayangan Assiva Faradiba,Tirza Amalia dan Andrea Rainard Alamsyah yang telah banyak membantu penulis selama proses pengerjaan skripsi ini.

14. Dan yang tersayang sahabat – sahabat seperjuangan melewati suka dan duka dari semester satu sampai akhir Umar Ismail, Nova Iasha Kalo, Winda Agustina Sembiring dan Kelkeisa Putri Haloho yang telah banyak membantu


(7)

penulis selama perkuliahan khususnya dalam penyusunan KRS dari awal semester sampai akhir semester.

15. Gantara Eka Nanda, Desi Pranata Simamora,Hanny Luvika Silalahi, Henjoko dan seluruh teman di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 2010.

Dan yang paling terkhusus kepada Ayahanda Alm. H.Asrul.SH dan Ibunda Ida Liana Daiwany tersayang yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis sehingga selesainya skripsi ini. Serta kakak dan adik penulis (Indah Anggraini Setia Putri, Ghitha Ghassani dan Arif Fauzan ) yang selalu memberi semangat kepada penulis

Medan, 07 April 2014 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Metode Penulisan ... 9

F. Keaslian Penulisan ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERWALIAN A. Dasar Hukum Perwalian ... 16

B. Pengertian Perwalian dan Asas – Asas Perwalian ... 23

C. Syarat – Syarat Untuk Menjadi Wali... 33

D. Tujuan Perwalian dan Mulai Berlakunya... 34

E. Tugas dan Kewajiban Wali... 39


(9)

BAB III KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK MENURUT UNDANG – UNDANG NO.4 TAHUN 1979 DAN UNDANG – UNDANG NO.11 TAHUN 2009

A. Kesejahteraan Sosial Menurut UU No.11 Tahun 2009 .... 46 1. Kesejahteraan Sosial Pada Umumnya ... 46 2. Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial ... 48 B. Kesejahteraan Anak Menurut UU No.4 Tahun 1979 ... 52 1. Kesejahteraan Anak dan Hak – Hak Anak ... 52 2. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Kesejahteraan

Anak ... 58 3. Usaha Kesejahteraan Anak ... 61 4. Peran Serta Masyarakat dan Pengawasan... 63

BAB IV TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DALAM

PERWALIAN ANAK – ANAK TERLANTAR

DITINJAU DARI UNDANG - UNDANG NO.4 TAHUN 1979 DAN UNDANG – UNDANG NO.11 TAHUN 2009 (STUDI DI DINAS SOSIAL KOTA MEDAN)

A. Implementasi Undang – Undang No.4 Tahun 1979 dan Undang – Undang No.11 Tahun 2009 Tentang Memberikan Perlindungan Terhadap Kesejahteraan Anak Terlantar ... 66 B. Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Perwalian Anak

Terlantar Apabila Dikaitkan Dengan Undang – Undang No.11 Tahun 2009 (Studi Di Dinas Sosial Kota Medan) . 73


(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 84 B. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA


(11)

ABSTRAK

TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DALAM PERWALIAN ANAK –ANAK TERLANTAR DITINJAU DARI UNDANG _ UNDANG

NO.4 TAHUN 1979 DAN UNDANG – UNDANG NO.11 TAHUN 2009 (STUDI DI DINAS SOSIAL KOTA MEDAN)

*) Windy Febrina **)Edy Ikhsan

***)Idha Aprilyana Sembiring

Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi kebutuhan – kebutuhannya, baik secara rohani, jasmani maupun sosial dengan wajar. Pada dasarnya setiap anak itu berhak untuk merasakan kesejahteraannya dengan terpenuhinya semua kebutuhannya secara lahiriah dan batiniah. Dalam hal memenuhi kebutuhannya ini sebagai seorang anak akan membutuhkan peran orang tuanya. Namun tidak demikian halnya terhadap anak – anak terlantar yang tidak mempunyai orang tua, sehingga menjadi tanggung jawab negara untuk bertindak sebagai walinya. Hal ini sebagaimana yang tertera dalam Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 amandemen ke empat disebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak – anak terlantar dipelihara oleh negara”, yang berarti negara mempunyai tanggung jawab terhadap anak – anak tersebut.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai implementasi UU No.4 Tahun 1979 dan UU No.11 Tahun 2009 memberikan perlindungan terhadap kesejahteraan anak terlantar dan tanggung jawab pemerintah terhadap perwalian anak terlantar apabila dikaitkan dengan UU No.11 Tahun 2009 studi kasus di dinas sosial Kota Medan. Metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian yuridis normatif – yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma – norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang – undangan dan norma hukum – norma hukum yang ada dalam masyarakat. Sementara penelitian yuridis empiris adalah penelitian permasalahan mengenai hal – hal yang bersifat yuridis dan didasarkan atas fakta – fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dengan mengacu kepada pola – pola perilaku masyarakat yang nyata di lapangan.

Tanggung jawab pemerintah terhadap perwalian anak – anak terlantar masih belum memenuhi amanah dari UU No.4 Tahun 1979 dan UU No.11 Tahun 2009. Pemerintah hanya bertanggung jawab sebatas dengan memasukkan anak – anak tersebut ke panti sosial dan tidak ada upaya – upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah sejauh ini baik berkaitan dengan harta benda si anak yang berada di bawah perwaliannya ataupun hal lainnya. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan kinerja pelayanan sosial bagi anak terlantar dengan komitmen hati yang tulus dan tak kalah penting adalah mengubah paradigma pendekatan terhadap anak terlantar.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini perhatian pemerintah dan publik terhadap kehidupan anak – anak semakin meningkat. Semakin tumbuh dan berkembangnya organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang perlindungan anak sebagai salah satu bukti masih tingginya tingkat perasaan kemanusiaan yang ada di masyarakat. Namun hal ini masih belum berpengaruh terhadap penurunan jumlah anak terlantar, tingkat kekerasan terhadap anak, perburuhan anak di bawah umur dan lain sebagainya.

Modernisasi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Kemajuan tekhnologi, ilmu pengetahuan serta kemudahan dalam berbagai akses adalah beberapa dampak positif daripada modernisasi itu sendiri. Sedangkan di sisi lain permasalahan ekonomi yang semakin kompleks juga berkembang sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya modernisasi itu sendiri.

Fenomena perekonomian yang terjadi menjadi fenomena yang sangat luar biasa di berbagai aspek kehidupan. Dengan adanya krisis ekonomi membuat orang miskin semakin sulit memenuhi kebutuhannya. Hingga pada akhirnya hal ini merembes kepada permasalahan sosial. Salah satu permasalahan sosial yang perlu mendapat perhatian adalah anak terlantar.


(13)

Fenomena anak terlantar terus meningkat dari tahun ke tahun. Dimana anak terlantar itu sendiri mempunyai latar belakang keluarga yang berbeda – beda. Ada yang berasal dari keluarga tidak mampu, sehingga tidak sedikit dari orang tua mereka melepaskan pengasuhan atas anak mereka untuk mengurangi beban mereka. Hal ini menyebabkan anak – anak tersebut tumbuh dan berkembang dengan latar belakang kehidupan jalanan yang akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif. Selain dari pada itu ada juga anak terlantar yang memang sama sekali tidak memiliki keluarga.

Anak mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara karena anak adalah tunas yang akan tumbuh dan berkembang menjadi bagian generasi penerus perjuangan dalam rangka pencapaian cita – cita bangsa. Sebagai generasi penerus maka anak perlu dirawat, dibina dan ditingkatkan kesejahteraannya agar dapat tumbuh dan mengembangkan kepribadian dan kemampuan serta keterampilan dalam melaksanakan peranan dan fungsi dalam kehidupan sesuai dengan pertumbuhan usianya.

Dalam hal untuk merawat dan melindungi kepentingan anak , peran orang tua sangat diperlukan sehingga anak dapat memperoleh hak – haknya. Namun apabila seorang anak sudah tidak ada orang tua atau tidak cakap menurut hukum, maka dapat diwakili oleh seorang wali sesuai dengan peraturan perundang – undangan.


(14)

Berbicara tentang perwalian dimana hal ini merupakan hal terpenting bagi kelangsungan hidup anak kecil atau anak yang masih belum bisa mengurus diri sendiri seperti anak – anak terlantar, baik dalam mengurus harta kekayaan maupun dalam mengurus lingkungannya sendiri atau dengan istilah lain yakni anak yang masih belum bisa atau belum cakap bertindak dalam hukum.

Dalam Kitab Undang –Undang Hukum Perdata, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 330 ayat (3) disebutkan bahwa “Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.1 Sebagaimana juga dalam Undang –Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 50-54 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) , Pasal 107-112 yang menyatakan perwalian adalah “sebagai kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan, atau atas nama orang tuanya telah meninggal atau tidak melakukan perbuatan hukum”.2

Lebih lanjut diatur pada Pasal 47 Undang – Undang No 1 Tahun 1974 yang menentukan bagi anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan orang tuanya. Syaratnya asal orang tua itu tidak dicabut kekuasaannya artinya orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum.3

1 R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Cet 39, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008,hal 90.

2 Pasal 50-54 UU No. 1 tahun 1974 dan Pasal 107-112 Kompilasi Hukum Islam (KHI) 3 Lihat Pasal 47 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Baik itu di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam menjalankan kekuasaannya itu sesuai dengan Pasal 48 Undang – Undang No 1 Tahun 1974, orang tua tidak diperbolehkan


(15)

memindahkan hak atau menggadaikan barang – barang tetap yang dimiliki anaknya itu kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.4

Terlepas dari pada pengaturan tentang perwalian, perlu diketahui bahwa perwalian itu juga sebagai faktor pendukung bagi kesejahteraan anak. Dimana kesejahteraan anak itu merupakan suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 3 UU No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang menyatakan bahwa Setiap anak berhak atas kesejahteraan perawatan, asuhan berdasarkan kasih sayang , pelayanan untuk berkembang, pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan atau setelah dilahirkan, perlindungan lingkungan hidup yang menghambat perkembangan dan dalam keadaan yang berbahaya/ membahayakan, anaklah yang pertama – tama mendapat pertolongan, bantuan dan perlindungan. 5

Dimaksud sebagai Anak dalam Undang – Undang No. 4 Tahun 1979, adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Akan tetapi walaupun seseorang belum genap berusia 21 tahun, namun apabila ia sudah pernah kawin maka dia tidak lagi berstatus anak, melainkan orang yang sudah dewasa.6

Menurut kebiasaan, anak yang hidup bersama orang tuanya, yaitu ayah dan/ atau ibu kandungnya (Pasal 1 angka 3 huruf b Undang – Undang No.4 Tahun 1979). Akan tetapi adakalanya seseorang anak tidak lagi mempunyai orang tua (ayah dan/atau ibu). Ini mengakibatkan anak menjadi terlantar.

4 LihatPasal 48 Undang – Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 5 Lihat Pasal 3 Undang – Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 6 Lihat Pasal 2 Undang – Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak


(16)

Dalam hal anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh negara atau orang tua atau badan dikarenakan peran wali itu sangat perlu demi untuk mengurus dan memelihara serta membimbing anak yang masih belum ada walinya atau yang belum ada mengurus demi keselamatan, kelangsungan hidup anak dan hartanya.

Komitmen negara untuk memberikan perlindungan sosial dalam pengertian yang sangat luas kepada warga negaranya yang kurang mampu termasuk di dalamnya bagi anak – anak ditegaskan kembali dalam Pasal 34 UUD 1945 hasil perubahan keempat, yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.

Dalam pasal 34 UUD 1945 tersebut disebutkan :

1) Fakir miskin dan anak – anak terlantar dipelihara oleh negara. 2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat

dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang –undang.

Dengan adanya komitmen ini sudah sewajarnya negara berkewajiban menjamin terpenuhinya hak atas kebutuhan dasar serta memberikan kesejahteraan bagi anak yang diwujudkan baik dengan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial.

Medan sebagai kota Metropolitan melalui Dinas Sosialnya sendiri telah melakukan beberapa upaya untuk menangani anak – anak terlantar ini dengan berbagai program seperti rumah singgah dan panti asuhan .


(17)

Akan tetapi dalam kenyataannya program tersebut masih tidak berjalan dengan efektif. Rumah singgah yang ada hanya menjadi tempat untuk anak – anak beristirahat atau bagi agama Kristen, mereka hanya menggunakan rumah singgah tersebut untuk beribadah. Begitu juga dengan panti sosial, anak – anak yang dimasukkan ke panti sosial tidak semuanya dapat dididik dengan baik hal itu dikarenakan anak – anak tersebut sudah terbiasa hidup di jalanan yang tidak ada peraturan – peraturan yang mereka harus taati sehingga tidak sedikit juga anak – anak tersebut melarikan diri dari panti asuhan.

Bukan hanya program – program tersebut saja, aturan – aturan yang ada pun dirasakan tidak efektif dalam menanggulangi masalah anak – anak terlantar, terbukti masih banyaknya hak – hak anak yang terabaikan, misalnya tindak kekerasan, yang masih terjadi dan belum tertanggulangi, diskriminasi di bidang pendidikan, anak yang berasal dari perekonomian lemah mendapat perlakuan yang berbeda dari anak yang berekonomi kecukupan, dan banyak lagi.

Penanggulangan permasalahan anak terlantar belum sepenuhnya berjalan dengan baik dikarenakan Pemerintah hanya terfokus pada anak – anak terlantar yang berada di panti sosial saja namun masih banyak anak – anak terlantar yang berada di luar panti sosial yang belum mendapat perhatian serta minimnya usaha pemerintah dalam hal pencegahan timbulnya anak terlantar dengan pemberdayaan keluarga sehingga menyebabkan kesenjangan dalam kesejahteraan sosial.

Sebagaimana yang disebutkan dalam UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial bagian Penjelasan Pasal 1 Ketentuan Umum bahwa permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan


(18)

bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat. Selain itu penyelenggaraan kesejahteraan sosial juga mengalami permasalahan sebagai akibat dari belum optimalnya dukungan sumber daya manusia, peran masyarakat, dan dukungan pendanaan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan adanya upaya yang terarah, terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini sebagai wujud tanggung jawab pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan sosial anak.

Berdasarkan uraian tersebut saya menarik untuk dilakukannya penelitian dengan judul “Tanggung Jawab Pemerintah Dalam Perwalian Anak – Anak Terlantar Ditinjau dari Undang – Undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang – Undang No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Studi di Dinas Sosial)”.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah djelaskan diatas, maka dapat dirumuskan dua (2) permasalahan yang akan dibahas dalam skipsi ini, yaitu :

1. Bagaimana implementasi UU No. 4 Tahun 1979 dan UU No.11 Tahun 2009 dalam memberikan perlindungan terhadap kesejahteraan anak – anak terlantar ?


(19)

2. Bagaimana tanggung jawab pemerintah terhadap perwalian anak terlantar di Kota Medan apabila dikaitkan dengan UU No. 11 Tahun 2009 ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui implementasi dari UU No.4 Tahun 1979 dan UU No.11 Tahun 2009 memberikan perlindungan terhadap kesejahteraan anak – anak terlantar.

2. Untuk mengetahui tanggung jawab pemerintah terhadap perwalian anak terlantar pada prakteknya di Kota Medan dengan kajian UU No. 11 Tahun 2009.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penelitian dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu : 1. Secara teoritis

Dari penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk mengembangkan ilmu hukum dan dapat menambah pengetahuan dalam perwalian terhadap anak.


(20)

2. Secara praktis

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan sebagai penyempurnaan aturan yang menyangkut perwalian anak.

E. Metode Penulisan

Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan yaitu segala cara dalam rangka ilmu tersebut, untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan. Tanpa metode ilmiah, suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu, tetapi suatu himpunan pengetahuan saja tentang berbagai gejala, tanpa dapat disadari hubungan antara gejala yang satu dengan gejala lainnya.7

1. Sifat Penelitian

Adapun metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini bersifat deskriptif dimana penelitian ini pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu mengenai sifat – sifat, karakteristik – karakteristik atau faktor – faktor tertentu.8

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu menganalisis permasalahan dalam penelitian ini dari sudut pandang atau menurut ketentuan hukum/

7 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2011, hal 45


(21)

perundang – undangan yang berlaku dan pendekatan yuridis empiris yaitu menganalisis permasalahan dari sudut pandang pelaksanaan peraturan perundang – undangan di lapangan.

3. Sumber Data a. Data Primer

Data yang diperoleh secara langsung dari subjek penelitian berupa hasil wawancara dan penyampaian daftar pertanyaan atau dengan kata lain field research

b. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang berupa bahan – bahan hukum yang terdiri dari :9

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari :

a) Undang – Undang Dasar 1945

b) Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

c) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk serta penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku – buku literatur, makalah, artikel, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif , Suatu Tinjauan Singkat , Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2003, hal.13


(22)

3) Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari :

a) Kamus Umum Bahasa Indonesia b) Kamus Hukum

4. Teknik Pengumpulan Data a. Primer

Yaitu berupa wawancara dengan melakukan tanya jawab secara langsung dengan para responden tentang permasalahan dalam penelitian ini dengan menggunakan pedoman wawancara.

b. Sekunder

Yaitu studi kepustakaan, dimana pada studi kepustakaan ini pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen, yaitu dengan cara mempelajari , mengkaji dan menelaah bahan – bahan hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.

5. Analisa Data

Data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun dari penelitian lapangan selanjutnya dianalisis secara kualitatif yaitu metode analisa data dengan cara mengelompokkan dan menseleksi data yang diperoleh dari penelitian menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori – teori dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini. Dalam analisis data ini digunakan cara berfikir induktif, yaitu menyimpulkan


(23)

hasil penelitian dari hal yang bersifat khusus untuk kemudian diambil kesimpulan yang bersifat umum.

6. Alat Pengumpul Data

Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara yang tak terstruktur. Dimana wawancara ini mengajukan pertanyaan yang tidak teratur. Lalu hasil wawancara tersebut dikaji untuk diambil intisarinya dan dipadukan dengan hasil dari data kepustakaan.

F. Keaslian Penulisan

Skripsi yang berjudul “Tanggung Jawab Pemerintah Dalam Perwalian Anak – Anak Terlantar Ditinjau Dari UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak Dan UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Studi Di Dinas Sosial Kota Medan) ini merupakan benar hasil karya sendiri dari penulis sendiri, tanpa meniru karya tulis milik orang lain. Oleh karenanya, keaslian dan kebenaran ini dapat dipertanggung jawabkan oleh penulis sendiri dan telah sesuai dengan asas – asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi secara akademik yaitu kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dalam proses menemukan kebenaran ilmu sehingga dengan demikian penulisan karya tulis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk kritik yang sifatnya konstruktif.

Selain itu, semua informasi di dalam skripsi ini berasal dari berbagai karya tulis penulis lain, baik yang di publikasikan ataupun tidak, serta telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis dengan benar dan lengkap.


(24)

Karya tulis ini memiliki kemiripan dengan beberapa karya tulis yang telah dibuat oleh mahasiswa Fakultas Hukum yaitu :

1. Nama : Isti Nur Rafsanjani NIM: : 07410182

Judul : Peran Dinas Sosial Provinsi Dalam Menangani Anak Terlantar Di Provinsi D.I Yogyakarta ( Menurut Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak)

2. Nama : Yudhi Marza NIM : 107011113

Judul : Tanggung Jawab Wali Terhadap Anak yang Berada Di Bawah Perwaliannya (Suatu Penelitian Di Kota Banda Aceh)

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta mempermudah untuk memahami isi dari skripsi ini.

Keseluruhan skripsi ini meliputi 5 (lima) bab yang secara garis besar isi dari bab – perbab diuraikan sebagai berikut :

BAB PERTAMA: PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penulisan, Keaslian Penulisan serta Sistematika Penulisan.


(25)

BAB KEDUA : TINJAUAN UMUM TENTANG PERWALIAN

Dalam bab ini dibahas mengenai dasar hukum perwalian, pengertian perwalian dan asas – asas perwalian, syarat – syarat untuk menjadi wali, tujuan perwalian dan mulai berlakunya, tugas dan kewajiban wali serta berakhirnya perwalian.

BAB KETIGA : KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK MENURUT UNDANG – UNDANG NO.4 TAHUN 1979 dan UNDANG – UNDANG NO.11 TAHUN 2009

Dalam bab ini dibahas mengenai kesejahteraan sosial pada umumnya, tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, pengertian kesejateraan anak dan hak – hak anak, tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan anak, usaha kesejahteraan anak dan peran serta masyarakat dan pengawasan.

BAB KEEMPAT : TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DALAM PERWALIAN ANAK – ANAK TERLANTAR DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NO.4 TAHUN 1979 DAN UNDANG – UNDANG NO.11 TAHUN 2009 (STUDI DI DINAS SOSIAL DAN KETENAGAKERJAAN KOTA MEDAN)

Dalam bab ini dibahas mengenai implementasi Undang – Undang No. 4 Tahun 1979 dan Undang – Undang No.11


(26)

Tahun 2009 dalam memberikan perlindungan terhadap kesejahteraan anak terlantar serta tanggung jawab pemerintah terhadap perwalian anak terlantar apabila dikaitkan dengan Undang – Undang No.11 tahun 2009 (Studi Di Dinas Sosial Dan Ketenagakerjaan Kota Medan).

BAB KELIMA : PENUTUP

Dalam bab ini berisi kesimpulan serta saran – saran dari jawaban permasalahan yang telah dirumuskan.


(27)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERWALIAN

A. Dasar Hukum Perwalian

Sebelum menguraikan pengertian perwalian ada baiknya terlebih dahulu mengetahui peraturan – peraturan yang mengatur mengenai perwalian tersebut.

Sebelum berlakunya Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, di Indonesia terdapat beranekaragam hukum yang mengatur masalah perwalian yang berlaku bagi berbagai golongan penduduk dari berbagai daerah yaitu:

a. Bagi orang Indonesia asli yang beragama islam berlaku hukum agama yang telah diresipiir ke dalam hukum adat;

b. Bagi orang Indonesia lainnya berlaku hukum adat;

c. Bagi orang Indonesia asli yang beragama kristen berlaku hukum Huwelijke Ordonantie Christin Indonesiers (S.1933 nomor 74);

d. Bagi orang – orang Timur Asing lainnya, dan warga negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata;

e. Bagi orang – orang Eropa dan keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku ketentuan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.10

10 Yudhi Marza, Tangggung Jawab Wali Terhadap Anak yang Berada Di Bawah Perwaliannya (Suatu Penelitian Di Kota Banda Aceh), Tesis pada Mkn, FH.USU, Medan, 2013, hal. 43


(28)

Ketentuan tersebut diatas berlaku sebelum lahirnya Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan dalam Pasal 66 seperti berikut :

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang – Undang ini, maka dengan berlakunya Undang – Undang ini ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordonantie Christen Indonesiers (S.’ 1933 no. 74), peraturan perkawinan campuran Regeling Op de gemengde huwelijken (S. 1898 no.158) dan peraturan – peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang – Undang ini dinyatakan tidak berlaku.11

1. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Berdasarkan penjelasan dan dasar hukum yang telah disebutkan diatas maka terdapat beberapa ketentuan mengenai perwalian yaitu sebagai berikut :

Perwalian bagi orang – orang beragama Islam di Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Pasal 107-111. Pasal 107 mengatur bahwa perwalian hanya dapat dilakukan terhadap anak yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami usia dewasa menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah 21 (dua puluh satu) tahun dan atau belum pernah kawin. Perwalian menurut Hukum Islam meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan.

Apabila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat


(29)

untuk bertindak sebagai wali. Pembatalan perwalian lama dan penunjukan perwalian baru ini adalah atas permohonan kerabat tersebut. Untuk menjadi wali sedapat – dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut, atau orang lain. Syarat menjadi wali adalah harus sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Disamping orang perorangan, Badan Hukum juga dapat menjadi wali.12

Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pengangkatan wali dapat juga terjadi karena adanya wasiat dari orang tua si anak, yang mewasiatkan kepada seseorang atau Badan Hukum tertentu untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak – anaknya sesudah ia meninggal dunia.13 Selanjutnya pasal 109 menentukan, bahwa Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau Badan Hukum dan memindahkannya kepada Pihak lain.14

Pasal 110 mengatur kewajiban wali untuk mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, wali wajib memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya kepada anak yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat Permohonan untuk itu diajukan oleh kerabatnya, dengan alasan wali tersebut; pemabuk, penjudi, pemboros, gila, dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan yang berada di bawah perwaliannya.

12 Darwan Prinst,Hukum Anak Indonesia,Cetakan II,PT. Citra Aditya Bakti,Malang, 2003,hal. 122.

13 Lihat Pasal 108 Kompilasi Hukum Islam 14 Lihat Pasal 109 Kompilasi Hukum Islam


(30)

dihindarkan.15

Apabila anak yang berada di bawah perwalian telah mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun, maka wali berkewajiban menyerahkan seluruh hartanya kepadanya.

Untuk itu wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.

Dalam menjalankan tugasnya wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan – perubahan harta benda anak atau anak – anak itu.

16

Dan setelah masa perwalian ini berakhir, Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan anak yang berada di bawah perwaliannya, tentang harta yang diserahkan kepadanya. Namun, wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma’ruf kalau wali itu fakir.17

“ Dan berikanlah kepada anak – anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan 2 Menurut Hukum Syariat

Al – Quran dan Hadist dalam menetapkan hukum dan ketentuan mengenai perwalian, Islam merujuk kepada firman Allah SWT mengenai pentingnya pemeliharaan terhadap harta, terutama pemeliharaan terhadap harta anak yatim yang telah ditinggalkan oleh orang tuanya. Dalam hal ini Allah berfirman :

15 Lihat Pasal 110 Kompilasi Hukum Islam 16 Lihat Pasal 111 Kompilasi Hukum Islam 17 Lihat Pasal 112 Kompilasi Hukum Islam


(31)

janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu, sungguh (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.(QS.An-Nisa; ayat 2) Ayat ini menjadi suatu landasan dalam memelihara harta anak yatim yang telah ditinggalkan orang tuanya atau ahli warisnya. Dimana dalam ayat tersebut secara jelas menyatakan mengenai pemeliharaan dan perlindungan terhadap harta sampai mereka telah cakap dalam pengelolaannya (dewasa). Artinya jika anak – anak yatim tersebut belum cakap hukum, maka pengelolaan harta tersebut harus dijaga dan dipelihara oleh walinya. Hal ini sebagaimana kemudian dijelaskan pada ayat berikutnya.

Allah Berfirman :

“Dan ujilah anak – anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah, kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu tergesa – gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (diantara pemeliharaan itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu ) dan barang siapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka,maka hendaklah kamu adakan saksi – saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas”.(QS An-Nisa; ayat 6)

Selain adanya perintah untuk menjaga anak yatim tersebut, baik dalam konteks penjagaan jiwa dan perkembangan mereka, juga penjagaan terhadap harta mereka. Dan Allah sangat murka jika orang yang kemudian menjadi wali tidak dapat menjaga dan orang – orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala – nyala (neraka).

Selain itu, dalam berbagai hadis Nabi Saw, juga telah menjelaskan mengenai ketentuan dan dasar hukum mengenai perwalian, Nabi Saw bersabda :


(32)

Jauhilah oleh kalian tujuh macam dosa yang membinasakan yaitu : mempersekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim,lari dari medan perang, menuduh berzinah wanita mukmin yang memelihara kehormatannya.18

Di dalam hadis lain Rasulullah SAW juga menyatakan tentang kedudukan hukum tentang perwalian. Nabi Saw bersabda : “Sesungguhnya tidak putus wali bagi anak perempuan Hamzah kepada saudara perempuan ibunya. Saudara perempuan ibu menepati kedudukan ibu (HR.Bukhari).19

3.

Menurut Hukum Adat

Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.20

Menyangkut perwalian yang tidak berdasarkan pada hukum formal melainkan berdasarkan kepada kebiasaan masyarakat tertentu yang menunjuk wali berdasarkan komunitas masyarakat setempat sehingga penunjukan wali tidak memiliki kepastian hukum. Menurut hukum adat, perceraian ataupun

Adat mengacu pada serangkaian kepercayaan, norma atau kebiasaan yang biasanya di terapkan di komunitas – komunitas penduduk Indonesia. Isinya termasuk deskripsi tentang apa yang dilakukan oleh komunitas, seperti serangkaian perintah tentang apa yang harus dilakukan oleh anggota komunitas tersebut. Oleh karena itu, maka tiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama.

18 Nashiruddin Al- Bani, Dalam Ringkasan Shahih Bukhari – Muslim , Jilid III, 2008.

19Chairul Fahmi, Perwalian,

diakses tanggal 11 Maret 2014 Pukul 22.10 Wib.

20Surojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Azas – Azas Hukum Adat, Alumni 1973,Bandung,1973,hal.1


(33)

meninggalnya salah satu dari kedua orang tua tidaklah menimbulkan perwalian. Hal ini disebabkan oleh karena di dalam perceraian, anak – anak masih berada pada salah satu dari kedua orang tuanya. Demikian juga pada situasi meninggalnya salah satu dari kedua orang tuanya. Dengan demikian, yang lebih memungkinkan terjadinya perwalian, adalah apabila kedua orang tua dari anak tersebut meninggal dunia, dan anak yang ditinggalkan itu belum dewasa. Dengan meninggalnya kedua orang tua, anak – anak menjadi yatim piatu dan mereka semuanya tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.

Pada masyarakat yang matrilineal, jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya meneruskan kekuasaannya terhadap anak – anaknya yang masih belum dewasa itu. Jika ibunya meninggal dunia, maka anak – anak tersebut berada dalam pengasuhan keluarga ibunya.

Sedangkan pada masyarakat yang patrilineal pemeliharaan anak yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya karena meninggal dunia, berada di tangan kerabat dari pihak ayah (laki-laki).21 Di Tapanuli misalnya, jika bapaknya meninggal dunia, ibunya meneruskan memelihara anak –anaknya dalam lingkungan keluarga bapaknya. Jika janda itu ingin pulang ke lingkungan sendiri ataupun ingin kawin lagi, maka ia dapat meninggalkan lingkungan keluarga almarhum suaminya tetapi anak – anaknya tetap tinggal dalam kekuasaan keluarga almarhum suaminya.22

21 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia,PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,2008,hal. 257-258.

22 Bushar Muhammad, Pokok – Pokok Hukum Adat,Cet Kesepuluh,PT Pradnya Paramita,Jakarta,2006,hal.11.


(34)

Pada dasarnya dalam hukum adat Indonesia tidak ada perbedaan dalam hal mengatur pemeliharaan si anak di satu pihak dan hal mengurus barang – barang kekayaan si anak di lain pihak. Pemeliharaan anak tidak hanya sebagai kewajiban si ibu atau si bapak saja, melainkan juga sebagai kewajiban sanak saudaranya yang lebih jauh. Oleh karena itu tidak tampak suatu peraturan hukum adat tertentu siapa yang menggantikan orang tua si anak dalam hal memelihara anak tersebut apabila orang tuanya telah tiada ataupun bercerai.23

Penyelesaian soal-soal pemeliharaan si anak pada umumnya erat hubungannya dengan tiga macam corak kekeluargaan dan perkawinan yang ada di Indonesia. Corak keibuan, garis kekeluargaan si ibu dan dalam corak kebapaan garis kekeluargaan si bapak, yang ada peranan penting dalam hal memelihara si anak, sedang dalam corak keibu bapaan garis kekeluargaan si ibu dan si bapak keduanya pada hakikatnya ada peranan yang sama kuatnya.

Menurut R. Wirjono Prodjodikoro:

24

4. Menurut KUH Perdata

Landasan hukum tentang perwalian dalam KUH Perdata telah disebutkan pada Bab XV dalam Pasal 331 sampai dengan Pasal 418.

Dalam KUH Perdata juga mengatur tentang perwalian bagi seorang perempuan. Dalam Pasal 332 b (1) ditentukan bahwa : “perempuan bersuami tidak boleh menerima perwalian tanpa bantuan dan izin tertulis dari suaminya.” Namun jika suami tidak memberikan izin, maka bantuan dari pendamping (bijstand) itu dapat digantikan dengan kekuasaan dari hakim.

23 Yudhi Marza, Op.Cit, hal. 47

24 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia,Sumur Bandung, Jakarta, 1960,hal. 85


(35)

Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 332 b ayat 2 KUH Perdata : “Apabila si suami telah memberikan bantuan atau izin atau apabila ia kawin dengan perempuan itu setelah perwalian bermula, sepertipun apabila si perempuan tadi menurut Pasal 112 atau Pasal 114 dengan kuasa dari hakim telah menerima perwalian tersebut, maka si wali perempuan bersuami atau tidak bersuami, berhak melakukan segala tindakan – tindakan perdata berkenaan dengan perwalian tanpa pemberian kuasa atau bantuan ataupun juga dan atau tindakan – tindakan itupun bertanggung jawab pula”.

Selain perwalian dalam bentuk perorangan, KUHPerdata juga mengatur tentang perwalian yang dilakukan oleh badan hukum. Dalam pasal 355 ayat 2 KUH Perdata dinyatakan bahwa badan hukum tidak dapat diangkat menjadi wali. Tetapi berkaitan dengan hal tersebut, sebuah perwalian yang dilaksanakan oleh badan hukum harus diperintahkan oleh pengadilan.25

1. Mereka yang sakit ingatan (krankzninngen);

Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 365 a (1) KUH Perdata bahwa dalam hal badan hukum diserahi perwalian maka panitera pengadilan yang menugaskan perwalian itu memberitahukan putusan pengadilan itu kepada dewan perwalian dan kejaksaan.

Akan tetapi jika pengurus badan hukum tersebut tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai wali, maka badan tersebut dapat dicabut kewenangannya sebagai wali. Selain itu, pasal 379 KUH Perdata mengatur tentang golongan orang tidak dapat menjadi wali yaitu :

2. Mereka yang belum dewasa (minderjarigen);

3. Mereka yang berada di bawah pengampuan (curatele);


(36)

4. Mereka yang telah dipecat, baik dari kekuasaan orang tua, maupun dari perwalian, namun yang demikian hanya anak – anak yang belum dewasa, yang mana dengan ketetapan hakim mereka telah kehilangan kekuasaan orang tua atau perwalian;

5. Para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti, bendahara, juru buku dan agen Balai Harta Peninggalan, kecuali terhadap anak – anak atau anak tiri mereka sendiri.

B. Perwalian dan Asas – Asas Perwalian 1. Pengertian Perwalian

Berbicara mengenai perwalian, sangat erat kaitannya dengan masalah kekuasaan orang tua di dalam perkawinan, sebab anak – anak yang lahir dari suatu perkawinan yang sah dari orang tuanya, akan berada di bawah pengawasan/kekuasaan orang tuanya tersebut. Sebaliknya apabila anak – anak yang dibawah umur atau anak yang belum dewasa itu tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya maka dalam hal ini anak – anak tersebut berada di bawah perwalian.

Sebagaimana menurut pendapat Pipin Syarifin bahwa peranan wali terhadap anak yang belum dewasa sangat besar, baik terhadap harta bendanya maupun kelangsungan hidup pribadi anak tersebut.26

Pada dasarnya Kitab Undang – Undang Hukum Perdata maupun Undang – Undang No.1 Tahun 1974 tidak ada memberikan definisi yang jelas mengenai


(37)

perwalian, namun demikian beberapa pendapat mengenai perwalian yang berkembang. Pendapat mengenai perwalian ini sampai saat ini tidak terdapat kesamaan, walaupun demikian bila diteliti dari rumusan – rumusannya terdapat kesamaan dalam maksud dan tujuannya.

Secara etimologi (bahasa), kata perwalian berasal dari kata wali , dan jamak awliya. Kata ini berasal dari kata Arab yang berarti teman, klien, sanak, atau pelindung.27 Dalam literatur fiqih islam perwalian itu disebut dengan “Al- Walayah” (Orang yang mengurus atau yang menguasai sesuatu), sedangkan al-wali yakni orang yang mempunyai kekuasaan.28

Menurut Subekti bahwa perwalian adalah “pengawasan terhadap anak – anak yang di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut sebagaimana diatur oleh Undang – Undang”.29

Sedangkan menurut Ali Afandi, bahwa “perwalian atau voogdij adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.”30

Menurut R. Sarjono bahwa “perwalian adalah suatu perlindungan hukum yang diberikan seseorang kepada anak yang belum mencapai usia dewasa atau belum pernah kawin yang tidak berada di bawah kekuasaannya”.31

27 Lihat Glossary of Islam. Glossary of the Middle East, terakhir diakses 12 Maret 2014 Pukul. 22.08 Wib.

28

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Dikeluarga Islam, PT Raja Grafindo,Jakarta, 2001, hal. 134

29 Subekti, Pokok – Pokok Dari Hukum Perdata,Cet.9,PT. Pembimbing Masa, Makassar, 1953, hal.35.

30 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Bina Aksara,Jakarta,1997, hal.151.


(38)

Menurut Arif Masdoeki bahwa “perwalian adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut, sebagaimana diatur dalam Undang – undang.32

Wali merupakan orang selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau yang belum akil baliq dalam melakukan perbuatan hukum atau “orang yang menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap sianak”.33

Menurut Hukum Indonesia, “Perwalian didefinisikan sebagai kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan, atau atas nama anak yang orang tuanya telah meninggal, atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum atau suatu perlindungan hukum yang diberikan pada seseorang anak yang belum mencapai umur dewasa atau tidak pernah kawin yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.”34

Wali adalah seseorang yang melakukan pengurusan atas diri maupun harta kekayaan anak yang masih di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. “Dalam hal pengurusan dimaksud juga dapat diartikan sebagai pemeliharaan, baik itu dalam pemberian pendidikan, nafkah terhadap anak yang masih di bawah umur, sehingga dengan demikian perwalian itu sendiri dapat juga

32Arif Masdoeki dan M.H TirtaHamidjaja, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Persindo, Jakarta, 1963, hal. 156.

33 Lihat pasal 1 angka 5 Undang –Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

34 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan Dan Keluarga di Indonesia, cet,2, Penerbit Fakultas Hukum Indonesia, Jakarta, 2004 hal 147


(39)

diartikan sebagai suatu lembaga yang mengatur tentang hak dan kewajiban wali.”35

Sedangkan menurut Undang – Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 : bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua berada di bawah kekuasaan wali.

Apabila salah satu orang tua anak tersebut meninggal dunia maka anak tersebut menurut undang – undang, orang tua yang lain menjadi wali dari anak – anaknya.

36

Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.37

Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Abdul Manan Hasyim, yaitu perwalian terhadap anak menurut Hukum Islam meliputi perwalian terhadap diri pribadi anak tersebut dan perwalian terhadap harta bendanya. Perwalian terhadap diri pribadi anak adalah dalam bentuk mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari mengasuh, memelihara, serta memberikan pendidikan dan bimbingan agama. Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang merupakan kebutuhan si anak. Semua pembiayaan tersebut adalah menjadi tanggung jawab si wali. Sementara itu, perwalian terhadap harta bendanya, adalah dalam bentuk

Ketentuan ini adalah bertujuan untuk menghindarkan adanya dua perwalian, yaitu : Perwalian mengenai pribadi si anak dan perwalian mengenai harta bendanya, yang mana hal itu ada dikenal dalam hukum islam.

35 Siti Hafsah Ramadhany, Tanggung Jawab Balai Harta Peninggalan Selaku Wali Pengawas Terhadap Harta Anak Dibawah Umur (Study Mengenal Eksistensi Balai Harta Peninggalan Medan Sebagai Wali Pengawas), Tesis,Sps-USU, Medan 2004, hal.30.

36 Lihat Pasal 50 ayat 1 Undang – Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 37 Lihat Pasal 50 ayat 2 Undang – Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


(40)

mengelola harta benda anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai perwalian, mencatat perubahan – perubahan hartanya selama perwalian, serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri.38

Ada golongan orang – orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali. Mereka itu ialah orang yang sakit ingatan, orang yang belum dewasa, orang yang dibawah curatele, orang yang telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua, jikalau pengangkatan sebagai wali ini untuk anak yang menyebabkan pencabutan tersebut. Lain dari pada itu juga Kepala dan anggota – anggota Balai Harta

Pada umumnya dalam tiap perwalian hanyalah ada seorang wali saja. Pengecualian terdapat apabila seorang wali (moedervoodges) berkawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi medevoogd.

Seorang yang oleh hakim diangkat menjadi wali harus menerima pengangkatan itu, kecuali jikalau ia seorang istri yang berkawin atau jikalau ia mempunyai alasan – alasan menurut undang – undang untuk minta dibebaskan dari pengangkatan itu. Alasan – alasan itu ialah diantaranya jikalau ia untuk kepentingan Negara harus berada di luar negeri, jikalau ia seorang anggota Tentara dalam dinas aktif, jikalau ia sudah berusia 60 tahun, jikalau ia sudah menjadi wali untuk seorang anak lain atau jikalau ia sendiri sudah mempunyai lima orang anak sah atau lebih.

38 Abdul Manan Hasyim, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh


(41)

Peninggalan (Weeskamer) tidak dapat diangkat menjadi wali, kecuali dari anak – anaknya sendiri.39

1) Perwalian oleh orang tua yang hidup terlama.

Secara garis besar, menurut KUHPerdata perwalian itu dibagi atas 3 macam yaitu :

Terhadap anak sah ditentukan bahwa orang tua yang hidup terlama dengan sendirinya di bawah menjadi wali. Jika pada waktu bapak meninggal dan ibu saat itu mengandung, maka Balai Harta Peninggalan (BHP) menjadi pengampu (kurator) atas anak yang berada dalam kandungan tersebut. Kurator yang demikian disebut “Curator Ventris”. Apabila bayi lahir, maka ibu demi hukum menjadi wali dan Balai Harta Peninggalan (BHP) menjadi pengawas. Apabila ibu tersebut kawin lagi maka suaminya demi hukum menjadi wali peserta dan bersama istrinya bertanggung jawab tanggung renteng terhadap perbuatan – perbuatan yang dilakukan setelah perkawinan itu berlangsung. Bagi wali menurut undang – undang (Wetterlijk Voogdij) dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah satu orang tua. Bagi anak luar kawin yang diakui dengan sendirinya di bawah perwalian bapak/ibu yang mengakuinya, maka orang tua yang lebih dahulu mengakuinyalah yang menjadi wali (Pasal 352 ayat 3 KUH Perdata). Apabila pengakuan bapak dan ibu dilakukan bersama – sama maka bapaklah yang menjadi wali.


(42)

2) Perwalian yang ditunjuk oleh ayah atau ibu dengan surat wasiat atau dengan akta autentik.

Pasal 355 (1) KUH Perdata menentukan bahwa orang tua masing – masing yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian atas seorang anak atau lebih berhak mengangkat seorang wali atas anak – anaknya itu bilamana sesudah ia meninggal dunia perwalian itu tidak ada pada orang tua yang baik dengan sendirinya ataupun karena putusan hakim seperti termaksud dalam Pasal 353 (5) KUHPerdata. Bagi wali yang diangkat yang diangkat oleh orang tua (Terstamentaire Voogdij/wali wasiat) dimulai dari saat orang tua itu meninggal dunia dan sesudah wali menyatakan menerima pengangkatannya.

3) Perwalian yang diangkat oleh hakim.

Pasal 359 KUHPerdata menentukan bahwa semua orang yang di bawah yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua dan yang perwaliannya tidak diatur dengan cara yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali setelah mendengar atau memanggil dengan sah keluarga sedarah dan semenda (periparan). Bagi wali yang diangkat oleh hakim (datieve voogdij) dimulai dari saat pengangkatan jika ia hadir dalam pengangkatannya. Bila tidak hadir perwalian dimulai sejak diberitahukan kepadanya.40

Sedangkan menurut Undang – Undang No.1 Tahun1974 tentang perkawinan perwalian itu hanya ada karena penunjukan oleh salah satu orang tua


(43)

yang menjalankan kekuasaan sebagai orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan dua orang saksi (Pasal 51 (1) UU No.1/74).41

2. Asas – Asas Perwalian

Asas – asas hukum itu merupakan jantungnya peraturan hukum. Hal ini dikarenakan ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan – peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas – asas tersebut.42

Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas – asas hukum yang ada di dalamnya. Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik – baiknya tidak bisa hanya melihat pada peraturan hukumnya saja melainkan harus melihat sampai kepada asas – asas hukumnya. Asas – asas hukum inilah yang memberi makna etis kepada peraturan – peraturan hukum serta tata hukum.43

a. Asas tak dapat dibagi-bagi (Ondeelbaarheid)

Dalam hal ini asas – asas perwalian terdapat pada sistem KUH Perdata, yakni:

Pada tiap – tiap perwalian hanya ada satu wali (Pasal 331 KUHPerdata). Asas tak dapat dibagi – bagi (Ondeelbaarheid). Asas ini mempunyai pengecualian dalam 2 hal yaitu :

41 Sunarto Edi Wibowo, Perwalian Menurut KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974, didownload dari pada tanggal 20 Februari 2014

42 SatjiptoRahardjo, Ilmu Hukum .Cet.VI, PT. Citra Aditya Bakti,Bandung,2006, hal.45. 43Ibid hal. 47


(44)

1) Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama (langslevende ouder) maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi medevoogd (wali serta/ wali peserta) berdasarkan Pasal 351 KUHPerdata.

2) Jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus barang – barang minderjarige di luar Indonesia berdasarkan Pasal 361 KUHPerdata

b. Asas Persetujuan dari Keluarga

Keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu. Sedang pihak keluarga, kalau tidak datang sesudah diadakan panggilan, dapat dituntut berdasarkan Pasal 524 KUHP.44

C. Syarat – Syarat Untuk Menjadi Wali

Menurut undang – undang, bahwa setiap orang dapat menjadi wali, tetapi ada pengecualian-pengecualiannya. Dimana pengecualian tersebut merupakan golongan orang - orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali dalam perwalian.

Adapun syarat – syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang wali adalah :

1. Wali harus seorang yang sehat pikirannya.

Orang yang sakit ingatannya tidak dapat mengurus dirinya sendiri, oleh karena itu orang yang tidak sehat pikirannya adalah di bawah

44 R.Soetojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan keluarga, Cet.4, Penerbit Alumni, Bandung, 1972, hal.188


(45)

pengampuan, dan segala tindakannya dalam hukum diwakili oleh si pengampu, maka keadaanya sama seperti yang masih di bawah umur. 2. Wali harus orang yang dewasa.

Seorang dikatakan sudah dewasa jikalau ia telah berumur 21 tahun atau jika ia belum mencapai umur 21 tahun tetapi ia sudah kawin. Hanya orang yang sudah dewasa boleh melakukan perbuatan – perbuatan hukum, sedangkan orang yang masih di bawah umur tidak diperbolehkan bertindak sendirian tetapi harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya.

3. Wali itu tidak berada di bawah pengampuan

Seseorang yang sudah dewasa dapat ditaruh di bawah pengampuan, misalnya karena ia menghambur – hamburkan harta kekayaannya atau karena ia kurang cerdas pikirannya sehingga tidak mampu untuk mengurus sendiri kepentingan – kepentingannya. Orang yang berada di bawah pengampuan adalah yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi wali, sebab mereka harus diwakili dalam melakukan tindakan – tindakannya, sehingga dengan sendirinya ia tidak dapat mengurus diri sendiri apalagi untuk mengurus diri orang lain.45

D. Tujuan Perwalian dan Mulai Berlakunya

1. Tujuan Perwalian

Dengan ditempatkannya seorang anak yang belum dewasa dibawah perwalian maka kepentingan dari si anak tersebut menjadi tanggung jawab wali,

45 Asrul, Tinjauan Hukum Perdata Mengenai Tugas dan Kewajiban Wali Dalam Perwalian, Skripsi , FH.UISU, Medan, 1986, hal.20


(46)

dimana wali bertindak sama layaknya orang tua sianak yang masih di bawah umur sewaktu menjalankan kekuasaan si wali.

Dengan adanya hak perwalian ini memberikan suatu gambaran bahwa setiap manusia tidak dapat melaksanakan haknya secara individual, yang disebabkan ketergantungan dari sifat dan sistem dalam pergaulan sehari – hari jadi anak yang belum dewasa tidak dapat menentukan sifat yang baik dan yang buruk dan penjagaan.

Oleh karena itulah diperlukan adanya hak perwalian pada diri seseorang yang tujuannya agar diri dan harta si anak dapat terjaga dan terpelihara sebagaimana yang telah diamanatkan oleh undang – undang. Sebagaimana diketahui bahwa setiap tindakan hukum itu memiliki tujuan yang sangat bermanfaat bagi setiap orang apalagi yang berkaitan dengan keselamatan jiwa dan harta seseorang dari orang – orang yang tidak bertanggung jawab. Oleh sebab itu, masalah perwalian itu mempunyai tujuan yang baik yakni tujuan yang bernilai ibadah dan merupakan bagian dari ajaran agama islam.

Ada dua tujuan perwalian yakni dalam hal perkawinan dan tujuan perwalian dalam anak dibawah umur.

Tujuan perwalian terhadap anak di bawah umur adalah sebagai berikut : a. Wali sebagai pemegang kontrol bagi anak maupun bagi orang yang

berada di bawah perwaliannya apabila ingin melakukan suatu tindakan hukum.

b. Wali bertindak sebagai pengayom, dalam arti bahwa wali itu selalu menjaga baik itu menjaga harta maupun jiwa dari hal – hal yang


(47)

tidak diinginkan seperti menggunakan hartanya dari hal – hal yang dilarang oleh agama dan juga dari hal – hal yang membahayakan jiwanya atas orang yang berada di bawah perwaliannya itu.

c. Adanya wali juga dapat mengurangi beban seseorang terhadap anak dan hartanya, apabila orang tersebut sudah meninggal dunia, maka dengan adanya wali tersebut anak dan hartanya terselamatkan.

d. Menambah hubungan silaturahmi yang kuat terhadap orang – orang yang mengadakan wala’al mu’awallah perwalian karena pernyataan antara dua orang untuk saling mewarisi dan saling membantu dalam berbagai kesulitan.

e. Menciptakan lapangan kerja dalam hal wali anak yatim, dengan adanya wali yatim tersebut dapat menciptakan lapangan kerja bagi para wali yang miskin. Dengan demikian para wali yatim itu tidak ada halangan baginya mengambil harta anak yatim yang dipeliharanya sekedar untuk keperluan hidupnya sehari – hari, hal ini diperbolehkan jika ia terhalang berusaha yang lain karena mengurus harta anak yatim tersebut yang dipeliharanya itu.46

Perwalian terhadap diri seorang anak dilaksanakan untuk menjaga kesejahteraan anak itu sendiri, untuk mengawasi hal yang berhubungan dengan dirinya dan segala macam kesejahteraan yang belum dapat diperolehnya sendiri.


(48)

“ Dalam Islam, perwalian ditegaskan kepada mereka yang diperkirakan untuk membahagiakan si kecil itu, dan untuk ditetapkan syarat – syarat tertentu sehingga dengan demikian para wali dapat menjamin kemampuannya untuk mengurus kesejahteraan anak tersebut dan juga segala urusan yang berhubungan dengan usaha memelihara anak, menjaga dan merawatnya.47

2. Mulai Berlakunya Perwalian

Menyangkut dengan mulai berlaku suatu perwalian, Martiman Prodjohamidjojo mengatakan suatu perwalian itu berlaku:

a. Sejak perwalian itu diangkat oleh hakim dan bila pengangkatan itu dilakukan namun dalam tidak kehadiran si wali maka saat pengangkatan itu diberitahukan kepadanya maka berlangsunglah perwalian tersebut; b. Jika seorang wali diangkat oleh salah satu dari orang tua sianak pada saat

pengangkatan itu. Karena meninggalnya, memperoleh suatu kekuatan untuk berlaku dan yang dianggap sebagai wali menyatakan kesanggupan menerima pengangkatan ini;

c. Jika seseorang perempuan bersuami diangkat sebagai wali, baik oleh hakim maupun oleh salah satu orang tua dari kedua orang tuanya pada saat ia dengan bantuan atau kuasa dari suaminya atau dengan kuasa dari hakim menyatakan kesanggupannya menerima pengangkatan itu;


(49)

d. Jika suatu perhimpunan yayasan atau lembaga amal atas permintaan atau kesanggupan sendiri diangkat menjadi wali pada saat mereka menyatakan sanggup menerima pengangkatan itu;

e. Jika seorang menjadi wali karena hukum, pada saat terjadi peristiwa yang mengakibatkan perwaliannya;

f. Jika ditunjuk oleh seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal dunia dengan surat wasiat atau pesan yang dilakukan dihadapan dua orang saksi (Pasal 50,52 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.48

Sedangkan dalam Pasal 331 (a) KUH Perdata menentukan mulai berlakunya perwalian sebagai berikut :

a. Jika seorang wali diangkat oleh hakim, dimulai dari saat pengangkatan jika ia hadir dalam pengangkatan itu. Bila ia tidak hadir maka perwalian itu dimulai saat pengangkatan itu diberitahukan kepadanya.

b. Jika seorang wali diangkat oleh salah satu orang tua, dimulai dari saat orang tua itu meninggal dunia dan sesudah wali dinyatakan menerima pengangkatan tersebut.

c. Bagi wali menurut undang – undang dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah satu orang tua.49

48 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia , Indonesia legal Center Publishing, Jakarta ,2002, hal 57.


(50)

E. Tugas dan Kewajiban Wali 1. Tugas Wali

Berdasarkan Pasal 383 KUH Perdata tugas wali adalah sebagai berikut : a. Pengawasan atas diri pupil (orang yang memerlukan perwalian). Wali

harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan anak yang belum dewasa sesuai dengan kekayaan si yang belum dewasa itu sendiri.

b. Mewakili pupil dalam melakukan semua perbuatan hukum dalam bidang perdata.

c. Mengelola harta benda pupilnya sebagai bapak rumah tangga yang baik (Pasal 385 KUH Perdata).50

2. Kewajiban Wali

Setiap wali mempunyai kewajiban terhadap anak – anak yang berada di bawah perwaliannya. Kewajiban wali ini di kelompokkan berdasarkan kewajiban wali secara umum dan kewajiban wali secara khusus. Kewajiban wali secara umum yaitu terdiri atas :

a. Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaanya dan harta bendanya sebaik – baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.

b. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan – perubahan harta benda anak – anak itu.


(51)

c. Wali harus bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

d. Wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang – barang tetap yang dimiliki anak yang berada di bawah perwaliannya kecuali apabila kepentingan anak tersebut menghendakinya.51

Sedangkan kewajiban wali secara khusus terkait pada pengelolaan harta peninggalan adalah terdiri atas :

a. Kewajiban memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan (Pasal 368 KUHPerdata) dengan sanksi bahwa wali dapat dipecat (ontzet) dan dapat diharuskan membayar biaya – biaya, ongkos – ongkos, dan bunga bila pemberitahuan tersebut tidak dilaksanakan;

b. Kewajiban mengadakan inventarisasi mengenai harta kekayaan si minderjarige52

c. Kewajiban untuk mengadakan jaminan (zekerheid) – Pasal 335 KUHPerdata

(Pasal 386 ayat 1 KUHPerdata). Sesudah 10 hari perwalian dimulai maka wali harus membuat daftar pertelaan barang – barang si pupil dengan dihadiri oleh wali pengawas (Weeskamer = Balai Harta Peninggalan) dan kalau barang – barang minderjarige itu disegel maka diminta agar penyegelan itu dibuka;

51Ibid, hal.67.

52 Datuk Usman dkk,Diktat Hukum Adat II,Fakultas Hukum USU,1975 hal. 2. Minderjarige ialah apabila seseorang berada di dalam keadaan yang dikuasai oleh orang lain yaitu kalau tidak dikuasai oleh orang tuanya, maka dia dikuasai oleh walinya (voogd)nya.


(52)

Wali – kecuali perhimpunan – perhimpunan, yayasan, atau lembaga sosial – mempunyai kewajiban untuk mengadakan jaminan dalam waktu satu bulan sesudah perwalian dimulai; entah berupa hipotek, jaminan barang (borgtocht), atau gadai (pand). Bilamana harta kekayaan si pupil bertambah maka wali harus mengadakan atau menambah jaminan yang sudah diadakan;

d. Kewajiban menentukan jumlah yang dapat dipergunakan tiap – tiap tahun oleh minderjarige itu dan jumlah biaya – biaya pengurusan (Pasal 398 KUHPerdata)

Kewajiban ini tidak berlaku bagi perwalian oleh bapak atau ibu. Weeskamer (Balai Harta Peninggalan) sesudah memanggil keluarga baik keluarga sedarah maupun periparan akan menyuruh menentukan jumlah yang dapat dipergunakan pada tiap – tiap tahun oleh minderjarige dan jumlah biaya yang diperlukan untuk pengurusan harta benda itu dengan kemungkinan untuk minta banding kepada pengadilan;

e. Kewajiban wali untuk menjual perabot – perabot rumah tangga minderjarige dan semua barang bergerak yang tidak memberikan buah, hasil, atau keuntungan kecuali barang – barang yang diperbolehkan disimpanin natura dengan izin Weeskamer. Penjualan ini harus dilakukan dengan pelelangan di hadapan umum menurut aturan – aturan lelang yang berlaku di tempat itu kecuali jika bapak atau ibu yang menjadi wali yang dibebaskan dari penjualan itu (Pasal 398 KUHPerdata);


(53)

f. Kewajiban untuk mendaftarkan surat – surat piutang negara jika ternyata dalam harta kekayaan minderjarige ada surat – surat piutang negara (Pasal 392 KUHPerdata);

g. Kewajiban untuk menanam (beleggen) sisa uang milik minderjarige setelah dikurangi biaya penghidupan dan sebagainya.53

Dalam Pasal 393 – 398 KUHPerdata selanjutnya dijumpai beberapa perbuatan yang berwenang dilakukan oleh wali dengan mengingat syarat – syarat yang ditentukan oleh undang – undang dan perbuatan – perbuatan yang tidak boleh dilakukannya kecuali ada izin dari hakim.

Perbuatan – perbuatan itu adalah :

1. Meminjam uang sekalipun untuk kepentingan minderjarige, tidak boleh juga memindahkan atau menggadaikan barang – barang tidak bergerak atau surat – surat utang negara, piutang – piutang andelnya tanpa mendapatkan kuasa dari pengadilan;

2. Membeli barang – barang tak bergerak dari seseorang minderjarige. Pembelian yang demikian itu hanya diperkenankan kalau dilakukan atas dasar pelelangan umum dan baru berlaku sesudah ada izin dari pengadilan;

3. Menyewa ataupun menyewakan barang – barang minderjarige yang hanya mungkin dengan persetujuan hakim dengan mendengar atau memanggil dengan sepatutnya keluarga sedarah atau periparan minderjarige;


(54)

4. Menerima warisan untuk seseorang minderjarige (perbuatan ini hanya diperbolehkan sesudah diadakan pencabutan boedel/=voorrechtvan boedelschrijving);

5. Menolak warisan barang untuk seseorang minderjarige (hanya diperbolehkan dengan persetujuan hakim);

6. Menerima hibah bagi seorang minderjarige (hanya diperbolehkan dengan persetujuan hakim). Ketentuan ini sebenarnya diadakan terhadap hibah – hibah dengan suatu beban ( schenkingen onder last);

7. Memajukan gugatan bagi minderjarige;

8. Membantu terlaksananya pemisahan dan pembagian harta kekayaan yang menjadi kepentingan minderjarige;

9. Mengadakan perdamaian di luar pengadilan (dading atau kompromi) bagi minderjarige. Dalam perbuatan ini diperlukan pula persetujuan pengadilan.54

F. Berakhirnya Perwalian

Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari 2 buah sudut seperti yang tertulis di bawah ini :

1. Dalam hubungan dengan keadaan si anak.

Dalam hubungan ini maka perwalian akan berakhir karena : a. Si anak menjadi meerderjarige;


(55)

b. Matinya minderjarige ( anak);

c. Timbulnya kembali ouderlijkemacht (kekuasaan orang tuanya); d. Pengesahan seorang anak luar kawin yang diakui.

2. Dalam hubungan dengan tugas wali Perwalian akan berakhir karena :

a. Ada pemecatan atau pembebasan (ontzetting of ontheffing) atas diri si wali;

b. Ada alasan pembebasan atau pemecatan dari perwalian (Pasal 380 KUHPerdata); sedang syarat utama untuk dipecat (ontzet) sebagai wali ialah karena disandarkan pada kepentingan minderjarige itu sendiri.

Dalam Pasal 380 KUHPerdata disebutkan 10 buah alasan yang merupakan alasan dapat dimintanya pemecatan (ontzetting) itu:

1. Jika wali itu berkelakuan buruk (slecht levensgeding);

2. Jika dalam menunaikan perwaliannya si wali menampakkan ketidakcakapannya atau menyalahgunakan kekuasaannya atau mengabaikan kewajibannya;

3. Jika wali itu telah dipecat dari perwalian lain berdasarkan no.a dan b di atas atau telah dipecat dari kekuasaan orang tua berdasarkan Pasal 319 a (2) no.1 dan 2 KUHPerdata;

4. Jika si wali berada dalam keadaan pailit;

5. Jika si wali untuk diri sendiri atau karena bapak si wali itu, ibunya, istrinya, suaminya, atau anak – anaknya mengajukan perkara di muka


(56)

hakim untuk melawan minderjarige yang menyangkut kedudukan minderjarige, harta kekayaannya, atau sebagian besar dari harta kekayaannya;

6. Jika wali itu dijatuhi pidana yang telah memperoleh kekuatan pasti, karena sengaja telah turut serta dalam suatu kejahatan terhadap seorang minderjarige yang ada di bawah perwaliannya;

7. Jika wali itu dijatuhi pidana yang telah memperoleh kekuatan pasti, karena sesuatu kejahatan yang tercantum dalam bab XIII, XIV,XV, XVIII,XIX, dan XX – buku II KUHP terhadap seorang minderjarige yang ada di bawah perwaliannya;

8. Jika si wali itu dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditiadakan lagi dengan pidana penjara selama dua tahun atau lebih. Disamping itu tuntutan untuk pemecatan dapat diajukan;

9. Jika wali itu alpa memberitahukan terjadinya perwalian kepada Balai Harta Peninggalan (Pasal 368 KUHPerdata);

10.Jika wali itu tidak mau memberikan perhitungan tanggung jawab kepada Balai Harta Peninggalan berdasarkan Pasal 372 KUHPerdata. Kemungkinan pembebasan sebagai wali (ontheffing) diatur dalam Pasal 382.c KUHPerdata, sedang alasan – alasannya hampir bersamaan dengan pembebasan dari kekuasaan orang tua.55


(57)

BAB III

KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK MENURUT UNDANG –

UNDANG NO.4 TAHUN 1979 dan UNDANG – UNDANG

NO.11 TAHUN 2009

A. Kesejahteraan Sosial Menurut Undang – Undang No.11 Tahun 2009 1. Kesejahteraan Sosial Pada Umumnya

Dalam memahami definisi mengenai kesejahteraan anak, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai konsep kesejahteraan sosial.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata kesejahteraan merupakan kata benda yang mempunyai arti hal atau keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan, dan ketentraman. Sedangkan kata sejahtera yang merupakan kata sifat memiliki arti aman sentosa dan makmur, selamat (terlepas dari segala macam gangguan).56 Dalam bahasa arab, kata sejahtera ini sering didengar ketika memberikan salam “Assalamu’alaikum”, yang artinya kedamaian,kesejahteraan.57

Definisi kesejahteraan dalam konsep dunia modern adalah sebuah kondisi dimana seseorang dapat memenuhi kebutuhan pokok, baik itu kebutuhan akan makanan, pakaian, tempat tinggal, air minum yang bersih serta kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dan memiliki pekerjaan yang memadai yang dapat

56 Sulkan Yasin dan Sunarto Hapsoyo, Kamus Bahasa Indonesia Praktis Populer Dan Kosa Kata Baru,Mekar, Malang,1990,hal.274.

57 Zainul Bahri, Kamus Umum Khususnya Bidang Hukum & Politik,Angkasa, Bandung,1996, hal.21.


(58)

menunjang kualitas hidupnya sehingga memiliki status sosial yang mengantarkan pada status sosial yang sama terhadap sesama warga lainnya.

Menurut Hak Asasi Manusia (HAM), definisi kesejahteraan kurang lebih berbunyi bahwa setiap laki – laki ataupun perempuan, pemuda dan anak kecil memilik hak untuk hidup layak baik dari segi kesehatan, makanan, minuman, perumahan, dan jasa sosial, jika tidak maka hal tersebut telah melanggar HAM.58

Menurut Suharto, kesejahteraan sosial adalah suatu institusi atau bidang kegiatan yang melibatkan aktifitas terorganisir yang diselenggarakan baik oleh lembaga – lembaga pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial dan peningkatan kualitas hidup individu, kelompok dan masyarakat.

Sedangkan sosial berasal dari kata “socius” yang berarti kawan, teman dan kerja sama. Orang yang sosial adalah orang yang dapat berelasi dengan orang lain dan lingkungannya dengan baik. Jadi kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai sutu kondisi dimana orang dapat memenuhi kebutuhannya dan dapat berelasi dengan lingkungannya secara baik.

59

Menurut Undang – Undang No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial , kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, Sedangkan sebagai suatu disiplin ilmu, maka kesejahteraan sosial adalah kajian tentang badan – badan atau lembaga – lembaga, program – program, personil, dan kebijakan – kebijakan yang berfokus pada pelaksanaan pelayanan sosial bagi individu - individu, kelompok – kelompok dan komunitas – kominutas.

58

diakses pada tanggal 6 Maret 2014, Pukul 21.17 Wib.


(59)

spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Menurut pandangan Midgley , kondisi kesejahteraan sosial mecerminkan tiga elemen dasar yaitu :

a. Ketika masyarakat dapat mengontrol dan mengatasi masalahnya;

b. Jika masyarakat dapat memenuhi kebutuhan – kebutuhan pokoknya untuk hidup layak;

c. Jika masyarakat memiliki kesempatan untuk mengembangkan taraf hidup dan potensi yang dimilikinya.60

2. Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial

Pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam penyelenggaraan kesejahteran sosial. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial ini ditujukan kepada perseorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Secara prioritas, penyelenggaraan ini ditujukan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial sebagai berikut :61

a. Kemiskinan; b. Ketelantaran; c. Kecacatan; d. Keterpencilan;

60

diakses pada tanggal 07 April 2014, Pukul.19.46 wib.


(60)

e. Keturunan sosial dan penyimpangan perilaku; f. Koban bencana; dan/atau

g. Korban tindak kekerasan, ekploitasi dan diskriminasi.

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial ini meliputi: a. Rehabilitasi sosial

Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.

b. Jaminan sosial

Jaminan sosial dimaksudkan untuk menjamin fakir miskin, anak yatim piatu terlantar, lanjut usia terlantar, penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, eks penderita penyakit kronis yang mengalami masalah ketidakmampuan sosial ekonomi agar kebutuhan dasarnya terpenuhi.

c. Pemberdayaan sosial

Pemberdayaaan sosial dimaksudkan untuk memberdayakan seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri.

d. Perlindungan sosial

Perlindungan sosial dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga,


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU - BUKU

Afandi, Ali.1997. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta: Bina Aksara.

Al-Bani, Nashiruddin.2008. Dalam Ringkasan Shahih Bukhari – Muslim , Jilid III. Bahri, Zainul.1996. Kamus Umum Khususnya Bidang Hukum & Politik, Bandung:

Angkasa.

Darmabrata,Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif.2004. Hukum Perkawinan dan Keluarga Di Indonesia, Cet.2, Jakarta: Penerbit Fakultas Hukum Indonesia.

Edi, Suharto.2011. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Bandung : Alfabeta

Gosita, Arif. 1989. Masalah Perlindungan Anak, Jakarta : Akademi Presindo. Hasan, Mustofa.2011. Pengantar Hukum Keluarga.Bandung: CV.Pustaka Setia. Jauhari,Iman.2003.Hak – Hak Anak Dalam Hukum Islam,Jakarta: Pustaka Bangsa. Kadushin.1995.Child Welfare,London : The Macmillan Company New York –

Collir. Mac millan Limited.

Kelsen,Hans.2007. Teori Hukum Murni, Cet III, Bandung : Nusamedia dan Nuansa.

Komariah.2001. Hukum Perdata (Edisi Revisi), Malang: UMM Press

Masdoeki, Arif dan M.H Tirta Hamidjaja.1963. Masalah Perlindungan Anak,Jakarta : Akademika Persindo.


(2)

Muhammad, Bushar. 2006. Pokok- Pokok Hukum Adat,Cet.Kesepuluh, Jakarta : PT.Pradnya Paramita

Prinst,Darwan.2003. Hukum Anak Indonesia,Cetakan II,Medan: PT. Citra Aditya Bakti.

Prawirohmijoyo Soetojo R dan Azis Safioedin , 1986, Hukum orang dan keluarga, Cetakan IV, Bandung: Penerbit Alumni.

Prodjohamidjojo,Martiman.2002. Hukum Perkawinan Indonesia,Jakarta : Indonesia Legal Center Publishing.

Prodjodikoro, Wirjono.1960. Hukum Perkawinan Di Indonesia,Jakarta : Sumur Bandung.

Rahardjo, Satjipto.Prof.SH.1972. Ilmu Hukum,Cet.VI, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Siregar Bismar., 1986, Hukum dan Hak – Hak Anak, CV. Rajawali, Jakarta,1986 Suyanto Bagong.,2010,Masalah Sosial Anak, Cetakan I, Kencana Prenada Media

Group,Jakarta.

Supramono, Gatot.2000. Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta : Djambatan. Subekti R dan Tjitrosudibjo.2008. Kitab Undang – Undang Hukum

Perdata,Cetakan 39, Jakarta: Pradnya Paramita.

Soekanto, Soerjono.2008. Hukum Adat Indonesia,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji.2003. Penelitian Hukum Normatif , Suatu Tinjauan Singkat ,Jakarta :PT.Raja Grafindo Persada.

Sunggono, Bambang.2010. Metodologi Penelitian Hukum.Jakarta: Raja Grafindo Persada.


(3)

Sunggono, Bambang.2001. Metodologi Penelitian Hukum.Jakarta: Raja Grafindo Persada

Summa, Muhammad Amin.2001.Hukum keluarga Islam Di Keluarga Islam,Jakarta: PT.Raja Grafindo.

Subekti.1953. Pokok – Pokok Hukum Perdata,Cetakan 9, Makassar: PT.Pembimbing Masa.

Sarjono,R.1979. Masalah Perceraian,Cetakan I, Jakarta: Academica.

Usman, Datuk, DKK.1975. Diktat Hukum Adat II, Medan: Fakultas Hukum USU. UNICEF.1989. Rangkuman Analisa Situasi Anak dan Wanita Di

Indonesia,Jakarta:Pemerintah Republik Indonesia.

Wignjodipuro Surojo.1973, Pengantar dan Azas – Azas Hukum Adat, Bandung: Alumni

Wadong, Maulana Hasan.2000. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,Jakarta : Grasindo.

Yasin, Sulkan dan Sunarto Hapsoyo.1990. Kamus Bahasa Indonesia Praktis Populer Dan Kosa Kata Baru,Malang: Mekar

Zuhdi, Sulaiman.1999. Kekerasan Terhadap Anak Dalam Wawancara dan Realita, Medan : Pusat Perlindungan Anak (PKPA).

PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

Undang – Undang Dasar 1945 Amandemen I- IV

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata;

Undang – Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


(4)

Undang – Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;

Undang – Undang No.11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial;

Kompilasi Hukum Islam;

Qanun Aceh No.11 Tahun 2008 Tentang Perlindungan Anak;

Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah.

KARYA ILMIAH

Imam Jauhari, Hak – Hak Anak dan Penerapannya ( Penelitian di Kota Binjai, Kota Medan , dan Kabupaten Deli Serdang ), Disertasi, FH.USU,Medan,2005.

Yudhi Marza, Tangggung Jawab Wali Terhadap Anak yang Berada Di Bawah Perwaliannya (Suatu Penelitian Di Kota Banda Aceh), Tesis pada Mkn, FH.USU, Medan, 2013

Siti Hafsah Ramadhany, Tanggung Jawab Balai Harta Peninggalan Selaku Wali Pengawas Terhadap Harta Anak Dibawah Umur (Study Mengenal Eksistensi Balai Harta Peninggalan Medan Sebagai Wali Pengawas), Tesis,Sps-USU, Medan, 2004

Asrul, Tinjauan Hukum Perdata Mengenai Tugas dan Kewajiban Wali Dalam Perwalian, Skripsi , FH.UISU, Medan, 1986, hal.20

INTERNET

terakhir


(5)

Abdul Manan Hasyim, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh Maret 2014, Pukul. 22.27 Wib.

Sunarto Edi Wibowo, Perwalian Menurut KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974, didownload dari

pada tanggal 20 Februari 2014

Chairul Fahmi, Perwalia diakses tanggal 11 Maret 2014 Pukul 22.10 Wib.

Glossary of Islam. Glossary of the Middle East, terakhir diakses 12 Maret 2014 Pukul. 22.08 Wib

Wib.

2014, Pukul 21.20 Wib.

terakhir diakses pada tanggal 6 Maret 2014, Pukul 21.17 Wib

tanggal 6 Maret 2014, Pukul 22.15 Wib.

diakses tanggal 6 Maret 2014, Pukul 23.29 Wib.


(6)

Pukul 10.02 Wib.

terakhir diakses pada tanggal 08 April 2014, Pukul 00.30 Wib.

WIB.