Latar Belakang Kasus

3.1 Latar Belakang Kasus

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah atas nama kepentingan pembangunan telah membuka keran-keran investasi terutama dalam sektor pengelolaan sumber daya alam dan penyediaan infrastruktur. Namun, seiring dengan itu terjadi praktek perampasan sumber-sumber penghidupan rakyat secara semena-mena, dan terjadinya degradasi alam. Rakyat miskin terutama, harus menerima kenyataan dipaksa berhadapan dengan pengusaha, korporasi pemegang izin usaha, bahkan harus menghadapi alat represif negara,

seperti hukum, birokrasi, dan aparatus keamanan. 73

Sejak terjadi proses pengeksploitasian dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup atas nama pembangunan yang berakibat pada kehancuran dan kepunahan nilai-nilai ekologis yang terkandung di dalam alam. Dengan cepat terjadi penurunan daya dukung lingkungan serta kerusakan lingkungan, termasuk berkurang dan hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity). Menurut Muladi: Sumber daya alam menjadi aspek yang sangat penting karena Indo nesia adalah negara yang “basis ekonominya” tergantung dari sumber daya alam. Komoditas yang diekspor sebagian besar adalah sumber daya alam, baik berupa kayu, minyak, timah, biji besi dan bahan tambang lainnya. Pemanfaatan sumber daya alam selama ini lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi, sumber daya alam dipandang sebagai aset untuk mengeruk devisa sebesar-besarnya dengan kurang

memperdulikan kelestariannya. 74 Perlu diketahui bahwasannya, konsep perlindungan lingkungan bukan semata-mata

untuk manusia, tetapi juga makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan. Pengelolaan yang berorientasi hanya pada manusia dan bermotif ekonomi ternyata sangat merusak lingkungan hidup. Bahkan cenderung mengabaikan hak-hak makhluk hidup lain. Meskipun secara ekonomi ada keuntungan besar yang diperoleh namun dengan membiarkan kerusakan, alasan itu tak dapat dibenarkan. Alasan ekonomi tidak boleh dijadikan dasar

73 Press Release Solidaritas Makassar untuk Rembang, Makassar, 1 April 2015, hlm. 1. 74 ICEL, Demokrasi Pengelolaan Sumber Daya Alam: Reformasi Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya

Alam Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan serta Berbasis Kerakyatan; Urgensi dan Prioritas, (Jakarta, ICEL, 1999), hal. 2.

pandangan bahwa perlindungan lingkungan tidak perlu. Bahwa dalam kegiatan-kegiatan yang sangat beresiko, perlindungan lingkungan tetap harus dikedepankan. 75

Selain itu, efek dari aktivitas pertambangan tersebut tidak hanya kerugian ekonomi tetapi juga menimbulkan gejolak sosial yang meresahkan. Sebut saja meningkatnya eskalasi gesekan antara perusahan tambang dengan masyarakat, berubahnya pola agraris masyarakat menjadi masyarakat tambang dan yang terakhir yang selalu jadi bahan pembicaraan adalah rusaknya dan tercemarnya daerah sekitar tambang. Walaupun ada usaha untuk memperbaiki kerusakan atau pencemaran tersebut, tapi masih dirasa kurang

dan tidak menyentuh hal yang substantif. 76 Dalam beberapa tahun ke depan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam Indonesia

masih akan terus berlanjut, apalagi investasi merupakan hal fundamental dalam prioritas kerja pemerintahan Jokowi-JK. Bila mengacu ke kasus Rembang dan kasus-kasus pengelolaan SDA di berbagai daerah, maka besar kemungkinan masyarakat miskin harus terus berjuang agar tidak kehilangan hak atas sumber-sumber penghidupannya. Negara harus terus-menerus diingatkan akan kewajibannya dalam hal HAM warganya, baik pengakuan, perlindungan, penegakan, hingga pemenuhan. Oleh karena itu, solidaritas atas berbagai kasus dan konflik pengelolaan SDA antara korporasi dengan masyarakat miskin dan marginal juga harus-terus-menerus digalakkan. 77

Dalam konflik antara masyarakat petani rembang dengan PT. Semen Indonesia di lapangan, semakin berlarut-larut karena diabaikannya rekomendasi Komnas HAM. Komnas HAM menyimpulkan bahwa dalam AMDAL yang telah disusun oleh PT. Semen Indonesia diduga tidak memasukan tentang ponor serta fungsi kawasan karts dan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih sebagai kawasan lindung sumber daya air yang telah dimanfaatkan untuk masyarakat memenuhi kebutuhan air minum, sanitasi, dan irigasi. Rekomendasi ini telah disampaikan melalui surat Nomor: 0.679/K/PMT/II/2015 tertanggal

4 Februari 2015. Dengan adanya rekomendasi tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menjaga kelestarian akuifer CAT Watuputih, sehingga kegiatan penambangan di batu gamping tersebut dilarang. Hal itu, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun

75 Kesimpulan dalam Perkara Tata Usaha Negara Nomor: 064/G/2014/PTUN Smg, Tim Advokasi Peduli Lingkungan Jalan Jomblangsari IV Nomor 17, Semarang, 2 April 2015, hlm. 4.

76 Franky Butar Butar, “Penegakkan Hukum Lingkungan di Bidang Pertambangan,” Jurnal Yuridika: Vol. 25 No. 2 (Mei-Agustus 2010), hlm. 187.

77 Press Release Solidaritas Makassar untuk Rembang, Makassar, 1 April 2015 hlm. 2.

2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah Indonesia. Namun, rekomendasi pelarangan ini tidak mendapat tindak lanjut yang memadai. 78

Dari awal masyarakat petani telah menyatakan menolak mengenai pembangunan pabrik semen di kabupaten Rembang. Hal ini tentu sangat mendasar dalam konteks HAM. Warga di lokasi membutuhkan ketenangan, rasa aman dan nyaman, serta kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan pemenuhan hak atas keadilan yang dijamin dalam Pasal 17 (UU No. 39 Tahun 1999) serta untuk menjaga terjaganya kondisi dan kualitas lingkungan

hidup yang dijamin dalam Pasal 9 Ayat (3). 79 Secara kultural, masyarakat Rembang yang akan terdampak pembangunan pabrik PT.

Semen Indonesia, mayoritas bekerja sebagai petani. Sudah barang tentu ketika pabrik semen tersebut berdiri, maka akan sangat berpengaruh terhadap kondisi pertanian masyarakat, salah satu dampak nyata yang dirasakan oleh masyarakat adalah berkurangnya sumber mata air. Adanya penambangan batu kapur disekitar pabrik, secara otomatis akan mematikan sumber mata air yang digunakan oleh masyarakat untuk melakukan irigasi pada areal persawah. Dengan demikian berdampak pula terhadap area persawahan yang di garap oleh para petani. Perlu diperhatikan pula, tuntutan normatif untuk memperhatikan kearifan, nilai-nilai, dan hak-hak tradisional masyarakat adalah amanat konstitusi sebagaimana dituangkan dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Pasal 18B ayat (2) UUD 19 45 mengatur: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang- undang.” Sedangkan Pasal 28I ayat (3) UUD 45 mengatur: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Berdasarkan ketentuan dua pasal UUD 1945 di atas maka jelaslah kiranya bahwa secara konstitusional adalah kewajiban siapa saja, termasuk Pemerintah maupun korporasi, untuk menghormati hak-hak tradisional sebuah kesatuan masyarakat hukum adat dan atau masyarakat tradisional. 80

78 Ringkasan Eksekutif Pelestarian Ekosistem Karst dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, Jakarta 5 Agustus 2016, hlm. 7.

79 Ibid. 80 Amicus Curiae atas Peninjauan Kembali terkait putusan PTUN Semarang No. 064/G/2015/PTUN.SMG (Joko

Prianto dkk. v. I. Gubernur Jawa Tengah; II. PT. Semen Gresik) dan Putusan PTTUN Surabaya No. 135/B/2015/PT.TUN.SBY. hlm. 23.

Dari apa yang telah diuraikan, terlihat bahwa pemerintah negara belum sepenuhnya menjalankan amanah konstitusionalnya, terutama dalam melindungi hak warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ironisnya, negara baik langsung maupun tidak langsung mengambil bagian dari perampasan sumber penghidupan

warga negara. 81