: Struktur dalam dari hewan lintah dibandingkan dengan Embrio
Gambar 2 : Struktur dalam dari hewan lintah dibandingkan dengan Embrio
Gambar 2A, diseksi Ventral menunjukkan struktur anatomi internal lintah. (Dari JG Nicholls dan D. Van Essen. The nervous system of the leech, 1974, Scientific American 230:38-48.) 2B, melihat punggung dari embrio 13-somite pada sekitar 24 hari, ukuran 3.0mm yang sebenarnya. (Dari Profesor Hideo Nishimura, Kyoto University, Kyoto, Jepang). Perhatikan kesamaan yang luar biasa dalam penampilan antara embrio manusia dan struktur internal lintah.
Namun demikian tidak berarti hal itu adalah sebuah mukjizat ilmiah, karena makna dari sebuah kata Alaqah ( ) tidaklah pasti, dan para skeptis pasti berargumen hal itu bisa saja hanya sebuah tebakan.[Ada juga masalah dari menginterprtasikan makna literal dari sebuah kata sebagai makna
metaforis. Hal tersebut di luar pembahasan dari essay ini, namun saya mengadopsi sebuah pandangan pemahaman komprehensif tentang Gaya bahasa Arab dan Al-Qur an yang membolehkan kata tersebut dapat dimaknai Mirip Lintah atau Mirip Cacing dan tidak bermaksud sama seperti Lintah atau Cacing secara harafiah]. Poin yang ingin ditekankan adalah bukan tentang Mukjizat Ilmiah Al-Qur an namun lebih kepada mengartikulasi pandangan bahwa Al-Qur an itu Majemuk- MultiLayered, dengan demikian bisa menimbulkan perspektif dan interpretasi yang variatif.
3. Perspektif abadi di luar Ilmu Sains : Lintah bersifat parasit, Lintah menempel pada inangnya kemudian menghisap darahnya. Embrio juga bisa disamakan dengan parasit yang menguras sumber energi dari Induknya. Oleh karena itu, kita harus merendahkan hati dan rahmat kasih sayang kepada Orang Tua kita, terutama Ibu kita, karena mereka rela berkorban agar kita bisa hidup seperti sekarang ini. Peristiwa ini memunculkan persepektif bahwa kita tidaklah benar benar makhluk Independen, mandiri atau bebas, seperti perkembangan kita di dalam rahim Ibu kita, bergantung pada Ibu kita. Perspektif ini juga harus menanamkan rasa kerendahan hati dan pemahaman bahwa 3. Perspektif abadi di luar Ilmu Sains : Lintah bersifat parasit, Lintah menempel pada inangnya kemudian menghisap darahnya. Embrio juga bisa disamakan dengan parasit yang menguras sumber energi dari Induknya. Oleh karena itu, kita harus merendahkan hati dan rahmat kasih sayang kepada Orang Tua kita, terutama Ibu kita, karena mereka rela berkorban agar kita bisa hidup seperti sekarang ini. Peristiwa ini memunculkan persepektif bahwa kita tidaklah benar benar makhluk Independen, mandiri atau bebas, seperti perkembangan kita di dalam rahim Ibu kita, bergantung pada Ibu kita. Perspektif ini juga harus menanamkan rasa kerendahan hati dan pemahaman bahwa
Menariknya, perbandingan antara Lintah dan Embrio juga dibuat oleh Lord Robert Winston, Profesor Ilmu Sains dan Sosial dan Emeritus Profesor Ilmu Kesuburan di Imperial College :
[Lintah] mengambil apa yang dibutuhkan untuk hidup dengan menghisap darah apapun yang dapat menempel padanya; Seperti Saya. Seperti menghisap darah saya, Lintah mengambil apapun yg dibutuhkan untuk hidup, Lintah benar benar menggantungkan hidupnya dari saya, dan seluruh peristiwa Kehamilan itu mirip bentuknya seperti hubungan parasit. Tidak seperti Lintah, perkembangan Embrio tidaklah menghisap darah Induknya, namun mencari darah induknya untuk dijadikan bahan dasar embrio untuk tumbuh. Dengan kata lain baik Lintah maupun Embrio mereka menghisap untuk kepentingan diri sendiri. [60]
4. Petunjuk Untuk Penemuan Ilmu Pengetahuan di masa depan : Jika tidak adanya hubungan makna makna yang dikandung di dalam Ayat Qur an dengan Kesimpulan Ilmu Sains, maka Makna kata tersebut bisa digunakan sebagai petunjuk untuk memotivasi menemukan data baru dan mengembangkan inovasi solusi Ilmu sains.
Jika analisis multi-level atau multyilayered belum menghasilkan sesuatu yang bermakna, maka penelitian dan kesimpulan Ilmiah masa depan harus membuka jendela kesempatan untuk memberikan analisis bermakna. Ini memperlihatkan aksioma bahwa Al-Qur an tidaklah tidak akurat atau salah. Ini bukanlah pembenaran asumsi, karena ada banyak sekali atau ada argumentasi yang menunjukkan bahwa Al-Qur an adalah sebuah tanda tanda supernatural, dengan kata lain dari Illahi. Meskipun tidak dibahas dalam ruang lingkup essay ini untuk didiskusikan secara mendetail, salah satu contoh fakta bahwa Al-Qur an dari Allah SWT adalah bahasa lingusitik-Nya yang tidak bisa di tiru makhluk.[61]
Bagaimana mengartikulasikan hal ini dengan cara sederhana
Bagi yang berminat tentang bagaimana mengartikulasikan hal ini dengan mudah, saya sarankan proses sederhana :
1. Ketika membahas tentang wahyu Illahi, maka pembahasannya tentang : • Fakta bahwa ada statemen sejarah di dalam Al-Qur an yang belum diketahui pada saat itu • Mukjizat Linguistik dan Sastra Literal Al-Qur an
• Fakta bahwa Al-Qur an terpelihara • Makna dan Pesan di dalam Al-Qur an • Konsep Teologi Ketuhanan di dalam Al-Qur an • Fitur luar biasa lainnya yang diketemukan di dalam Al-Qur an
2. Setelah membangun pembahasan yang masuk akal bahwa Al-Qur an itu berasal dari Allah SWT, kita bisa melanjutkan pembahasan dengan pendekatan baru Multi-level atau Multilayered Al-Qur an yang telah kita bahas di atas. Contoh tersebut meliputi :
Kau tahu apa yang menarik tentang Al-Qur an? Nah. Al-Qur an tampaknya ingin mengatasi berbagai tingkat kecerdasan dan tingkat pemahaman pada periode yang berbeda dalam sejarah manusia. Misalnya dalam QS Mukmin 23:14, menyebutkan kata alaqah untuk menggambarkan tahapan perkembangan embrio manusia. Kata ini dapat bermakna gumpalan darah beku, sesuatu yang menempel, hewan lintah atau cacing. Pengetahuan yang ada di abad ke-7 masehi menyatakan bahwa embrio itu seperti gumpalan darah beku dan sesuatu yang menempel. Menariknya di abad ke-21 embrio pada tingkat mikrokospis tampak mirip seperti Lintah, bahkan struktur dalam Lintah terlihat seperti embrio sekitar 4 minggu dalam perkembangannya. Kata Lintah juga dapat berarti ketika kita masih menjadi Embrio, kita menguras sumber energi dari Ibu kita, seperti yang dilakukan Lintah terhadap Inangnya, jadi kita harus rendah hati dan mengasihi lebih banyak kepada Ibu kita, karena mereka rela berkorban untuk kita. Ini adalah aspek yang sangat menarik dalam Al-Qur an, yang tampaknya dapat mengatasi pemahaman di berbagai waktu dan berbagai tingkatannya. Jika ada beberapa pemahaman yang tidak sejalan dengan Ilmu Pengetahuan, maka ilmu Pengetahuan akan menyusul. Saya telah menunjukkan bagaimana Al-Qur an bisa berasal dari Allah SWT tanpa menggunakan Ilmu Sains, dan karena itu kita dapat menyimpulkan bahwa apa yang dikatakan Allah SWT itu benar. Juga, seperti yang anda ketahui, Ilmu Sains tidaklah mutlak, dapat berubah seiring dengan waktu dan bahwa ada selalu terbuka kemungkinan pengamatan baru dan temuan data baru.
Bagaimana membangun Mukjizat Ilmiah Al-Qur an?
Dari penjelasan di atas, Muslim yang mengadopsi narasi Ilmu Sains di dalam Al-Qur an mungkin berpendapat bahwa apa yang saya presentasikan bersifat pesimis. Beberapa muslim juga menegaskan bahwa saya belum memberikan metode atau kriteria tentang cara untuk menilai apakah suatu ayat dapat digambarkan sebagai Mukjizat Ilmiah. Alasan primer mengapa saya menemukan metode narasi
mukjizat ilmiah di dalam Al-Qur an membingungkan atau tidak koheren karena alasan Filsafat Ilmu Sains. Namun, hal itu dapat dikatakan bahwa ayat Al-Qur an bisa dianggap tidak berasal dari abad ke-7 Arab, jika berpegang pada kriteria ketat sebagai berikut:
- Ayat ini harus memiliki makna/tafsiran yang berhubungan dengan fakta Ilmiah - Makna/tafsiran interpretasi harus jelas dan tidak ambigu [dimungkinkan secara sengaja tidak
membuat makna njlimet rumit, sehingga para penonton langsung bisa menghargai Al-Qur an] - Fakta Ilmu Sains harus berada dalam ruang lingkup makna-makna/interpretasi ayat Al-Qur an - Hubungan Fakta Ilmu Sains dan makna-makna/interpretasi ayat Al-Qur an haruslah memiliki
hubungan yang kuat. Dengan kata lain, hal itu tidak boleh ada hubungan yang lemah. - Sains yang ada di dalam ayat Al-Qur an sebisa mungkin harus dekat dengan fakta-fakta sains sebanyak mungkin, dengan kata lain terhindar dan tidak bekerja dalam Teori Sains yang baru berkembang. Fakta ilmiah harus ditetapkan sebagai konklusif atau faktual di dalam komunitas Ilmiah.
- Harus dapat dipertunjukan bahwa tidak ada penjelasan alamiah lainnya (kesempatan lainnya) yang dapat menjelaskan hubungan antara makna/interpretasi ayat Al-Qur an dan dengan kesimpulan Ilmu Sains. Dengan kata lain, harus ada studi penelitian menyeluruh dan melelahkan dari sejarah ilmu sains untuk menetapkan bahwa ilmu pengetahuan tersebut tidak mungkin dapat diteliti dan - Harus dapat dipertunjukan bahwa tidak ada penjelasan alamiah lainnya (kesempatan lainnya) yang dapat menjelaskan hubungan antara makna/interpretasi ayat Al-Qur an dan dengan kesimpulan Ilmu Sains. Dengan kata lain, harus ada studi penelitian menyeluruh dan melelahkan dari sejarah ilmu sains untuk menetapkan bahwa ilmu pengetahuan tersebut tidak mungkin dapat diteliti dan
- Jika Ilmu Sains sudah tersedia dan dapat diakses, maka studi dan penelitian yang melelahkan tentang sejarah Rasul SAW dan Arab harus dilakukan untuk membangun ketidakmungkinan Nabi Muhammad SAW atau siapapun orang yang dapat mengakses informasi tersebut di abad ke-7.
- Jika ayat Al-Qur an yang dibahas mempunyai alternatif interpretasi yang mudah dan valid namun belum bersifat Ilmiah. Maka analisis probabilitas kemungkinan terhadap ayat tersebut harus dilakukan. Untuk menyatakan bahwa kemukjizatan ayat Al-Qur an mendahului Ilmu Sains, Analisis kemungkinan harus dapat menunjukkan bahwa interpretasi alternatif tersebut tidak bersumber dari informasi dari orang-orang yang hidup di abad ke-7 Masehi (dalam konteks sejarah, kultur, dan bahasa). Analisis probabilitas kemungkinan dapat mempertimbangkan bahwa hal itu sesuatu yang lua biasa karena beberapa makna/interpretasi alternatif yang masuk akal sesuai dengan fakta ilmu sains.
Walaupun kriteria ketat yang dipaparkan di atas untuk menyelamatkan Ilmu sains di dalam narasi Al- Qur an masih dalam tahap pengembangan, saya pribadi menemukan hampir mustahil untuk menerapkan seluruh kriteria di atas. Para Ulama, Cendikiawan, Pemikir dan Da i harus mengembangkan ini lebih lanjut.