Apakah Al Quran Mengandung Mukjizat Sain

ESAI APAKAH QUR AN MENGANDUNG MUKJIZAT SAINTIFIK? PENDEKATAN BARU

MENYELARASKAN DAN MENDISKUSIKAN SAINS DALAM AL-QUR AN

Oleh

: Hamza Andreas Tzortzis

Penerjemah 1 : https://www.facebook.com/irfanhabibie Penerjemah 2 : www.hanifsoul.wordpress.com

APAKAH QUR AN MENGANDUNG MUKJIZAT SAINTIFIK? PENDEKATAN BARU MENYELARASKAN DAN MENDISKUSIKAN SAINS DALAM AL- QUR AN

Sejak tahun delapan puluhan tumbuh gerakan dari kalangan akademisi dan apologis Muslim yang menggunakan sains untuk meneguhkan karakter kemukjizatan dan kewahyuan pada wacana mengenai AlQur an. Pada tingkat akar rumput, umat Islam di seluruh dunia, terutama di Barat, mereka mencoba mengartikulasikan kebenaran Islam dengan menggunakan ayat-ayat yang mengisyaratkan sains sebagai bukti keilahian sumber al Al-Qur an itu. Internet dipenuhi dengan website, esai, video, dan tulisan tentang ayat-ayat saintifik dalam Al-Qur an. Sebuah pencarian Google dengan kata kunci "Al-Qur an dan sains" menghasilkan lebih dari 40 juta hasil pencarian.[1]

Gerakan ini memiliki asal-usul klasik dan modern. Tradisi keilmuan klasik Islam pernah masuk dalam perdebatan mengenai penggunakan sains sebagai alat tafsir ayat-ayat AlQur an. Pada masa modern, yaitu dekade delapan puluhan, ekspresi apologetis gerakan ini lahir. Saya berpendapat ada dua peristiwa utama yang mendorong munculnya gerakan ini. Yang pertama adalah penerbitan buku "Bible, the Qur n and Science" pada tahun 1976 yang ditulis Dr Maurice Bucaille, dan yang kedua adalah video tahun 1980 This is The Truth yang diproduseri Abdul Majid az-Zindani.

Dr Bucaille dalam bukunya berpendapat tidak ada kesalahan saintifik dalam Al-Qur an , sedang bible penuh ketidakakuratan saintifik. Buku Dr Bucaille menjadi best seller di dunia Muslim dan telah diterjemahkan ke banyak bahasa. Meskipun telah menghadapi kritik akademik[2], buku ini masih populer dibaca dan digunakan sebagai acuan bagi apologetika dan dakwah Islam.

Abdul Majid az-Zindani, pendiri Commission on Scientific Signs in the Qur n and Sunnah, memproduksi sebuah video berjudul "This is the Truth". Az-Zindani mengundang akademisi Barat terkemuka untuk menghadiri salah satu konferensi mereka. Pada konferensi tersebut, az-Zindani mengklaim sekelompok saintis non-Muslim terkemuka berbagai bidang membenarkan fakta adanya kemukjizatan saintifik dalam Al-Qur an.

Namun, komisi ini dikritik karena dianggap telah menyebarkan pernyataan di luar konteks dan menyesatkan demi membenarkan narasinya.[3] Baru-baru ini seorang blogger video dan komentator yang ateis menghubungi secara pribadi beberapa ilmuwan yang menghadiri konferensi dan melakukan wawancara dengan mereka. Wawancara itu direkam dan diunggah di YouTube. Semua ilmuwan yang diwawancarai menyatakan bahwa pernyataan mereka telah diambil di luar konteks, dan bahwa tidak ada mukjizat pada isyarat saintifik yang ada dalam wacana mengenai Al-Qur an.[4]

Berawal dari sana, jutaan buku dan pamflet yang mengklaim bahwa ada kemukjizatan saintifik dalam Al- Qur an dicetak, dan tak terhitung non-Muslim telah masuk Islam sebagai buahnya. Gerakan ini pun berkembang mempengaruhi dunia akademik, misalnya buku akademik diterbitkan oleh Curzon yang berjudul "Qur n Translation: Discourse, Texture and Exegesis" menampilkan beberapa halaman untuk topik ini.[5] Tokoh populer yang terkenal seperti Dr Zakir Naik[6] dan Yusuf Estes[7] juga menggunakan narasi kemukjizatan saintifik untuk membenarkan kewahyuan Al-Qur an.

Setelah rutin dipopulerkan selama beberapa dekade terakhir, kini berkembang gerakan perlawanan yang mencoba mengungkap apa yang disebut-sebut sebagai isyarat saintifik, dan argumen mereka tampaknya lebih mengena, begitu pula dengan popularitasnya yang terus tumbuh. Sejumlah besar orang yang keluar dari Islam (banyak di antara mereka berkomunikasi secara pribadi dengan saya) mengutip gagasan gerakan perlawanan tersebut sebagai alasan meninggalkan agama ini.

Namun demikian, saya percaya bahwa kemurtadan tidak sepenuhnya keputusan intelektual melainkan lebih pada masalah spiritual dan psikologis. Hal ini bisa mencakup pada kurangnya hubungan spiritual dengan Allah dan patah semangat berislam justru karena pengalaman buruk bersama Muslim lain dan masyarakat Muslim.

Sayangnya, narasi kemukjizatan saintifik telah mempermalukan para apologis Muslim secara intelektual, termasuk saya sendiri. Beberapa tahun yang lalu saya bersama beberapa aktivis pergi ke Irlandia untuk berinteraksi dengan para peserta dan pembicara World Atheist Convention. Sepanjang konvensi, kami membuka lapak di luar venue dan hasilnya kami berinteraksi secara positif dengan ratusan ateis, termasuk dengan akademisi ateis populer, Profesor PZ Myers dan Profesor Richard Dawkins.

Percakapan dadakan kami dengan Profesor Myers berakhir pada pembicaraan mengenai keberadaan Allah dan kewahyuan Al-Qur an. Topik embriologi pun tiba, Profesor Myers sebagai ahli pada bidangnya menantang narasi kami. Dia mengklaim bahwa Al-Qur an tidak mendahului kesimpulan saintifik modern pada masalah ini.

Sebagai hasil dari posting video[8] secara on-line, kami menghadapi kecaman intelektual besar-besaran. Kami menerima email yang tak terhitung dari Muslim dan non-Muslim. Banyak Muslim menjadi bingung dan bimbang, sedang non-Muslim justru geli dengan keseluruhan pendekatan. Karena itu, saya memutuskan untuk mengkompilasi dan menulis mengenai Al-Qur an dan embriologi dengan panjang lebar, dengan maksud menanggapi keberatan-keberatan itu, baik yang populer maupun akademis.[9]

Selama proses penulisan, saya mengandalkan para mahasiswa dan sarjana pemikiran Islam untuk memverifikasi referensi dan untuk memberikan umpan balik pada hal-hal yang saya harus bergantung pada sumber sekunder dan tersier. Sayangnya, mereka tidak memeriksanya secara teliti dan tampaknya mengandalkan kepercayaan pada apologis Muslim lainnya.

Ketika diterbitkan, tulisan tersebut ditempatkan di bawah mikroskop oleh para aktivis ateis.[10] Meskipun ada beberapa poin yang salah mengerti, namun mereka memunculkan beberapa bantahan yang penting. Sejak saat itu, saya telah menghapus tulisan tersebut dari website saya. Dalam perenungan jika hal ini tidak pernah terjadi, saya mungkin tidak akan menulis esai ini sekarang. Ini semua adalah kurva belajar, sebuah bagian penting dari pengembangan integritas intelektual.

Dari sisi ini, esai ini bertujuan memberikan perspektif rasional dan Islami tentang bagaimana memahami ayat-ayat saintifik dalam Al-Qur an. Sudah saatnya lebih banyak orang dari komunitas Muslim berbicara mengenai pendekatan bermasalah dalam membenarkan kemukjizatan Al-Qur an. Hal ini telah membuat Dari sisi ini, esai ini bertujuan memberikan perspektif rasional dan Islami tentang bagaimana memahami ayat-ayat saintifik dalam Al-Qur an. Sudah saatnya lebih banyak orang dari komunitas Muslim berbicara mengenai pendekatan bermasalah dalam membenarkan kemukjizatan Al-Qur an. Hal ini telah membuat

Esai ini bermaksud menjelaskan bagaimana narasi kemukjizatan saintifik itu bermasalah dan tidak koheren, dan saya bermaksud memperlihatkan pendekatan baru untuk mendamaikan dan mendiskusikan sains dalam Al-Qur an tersebut.

Harus dicatat bahwa saya tidak menyatakan Al-Qur an itu tidak akurat atau salah, atau bahwa tidak ada yang luar biasa dari ungkapan Al-Qur an mengenai fenomena alam. Saya hanya mencoba memperlihatkan bahaya klaim bahwa beberapa ayat Al-Qur an menjadi mukjizat karena mengandung pernyataan yang saintifik. Untuk alasan ini, saya menawarkan pendekatan baru untuk topik ini yang lebih mengena serta lulus ujian dan masalah intelektual yang dihadapi narasi kemukjizatan saintifik.

Ringkasan klaim mukjizat saintifik

Mukjizat saintifik Al-Qur an disajikan dengan berbagai cara berbeda tetapi memiliki implikasi filosofis yang sama, yaitu:

1. Nabi Muhammad tidak memiliki akses pengetahuan saintifik yang disebutkan Al-Qur an, karena itu pengetahuan tersebut pasti dari Tuhan.

2. Tak seorang pun di saat wahyu turun (pada abad ke-7) memiliki akses teknologi yang diperlukan untuk memahami atau memverifikasi pengetahuan saintifik dalam Al-Qur an, karena itu pengetahuan tersebut pasti dari Tuhan.

3. Ayat-ayat Al-Qur an turun pada masa sains masih primitif dan tidak ada manusia yang bisa mengungkapkan kebenaran yang ada dalam Al-Qur an, karena itu pengetahuan tersebut pasti dari Tuhan.

Ada berbagai alasan mengapa ekspresi kemukjizatan saintifik di atas bermasalah dan tidak koheren. Ini termasuk,

A. Kesalahan Pertengahan Tak Terdistribusi (The Fallacy of the Undistributed Middle)

B. Sejarah yang tak akurat

C. Tujuan penciptaan pada ayat-ayat Al-Qur an

D. Saintisme, Masalah Induksi dan Empirisme

E. Ayat yang tidak "Saintifik"

F. Mujizat, Kesederhanaan dan Catatan tentang tafsir Al-Qur an Masing-masing poin akan dijelaskan secara rinci.

A. KESALAHAN PERTENGAHAN TAK TERDISTRIBUSI

Klaim (adanya mukjizat) sains dalam Al-Qur an memiliki kesalahan logika yang disebut kesalahan pertengahan tak terdistribusi (the fallacy of the undistributed middle). Kesalahan ini terjadi di mana dua Klaim (adanya mukjizat) sains dalam Al-Qur an memiliki kesalahan logika yang disebut kesalahan pertengahan tak terdistribusi (the fallacy of the undistributed middle). Kesalahan ini terjadi di mana dua

1. Semua A adalah C

2. Semua B adalah C

3. Karena itu, semua A adalah B Kesalahan di atas ada pada kesimpulan. Walau A dan B berbagi kategori C bersama, tidak berarti bahwa

A sama dengan B. Contoh lain yaitu:

1. John membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup

2. Anjing saya membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup

3. Karena itu, John adalah anjing saya Seperti yang bisa dilihat di atas, basis pertengahan yang disalahgunakan adalah oksigen. Walaupun

benar pada dua tempat, yaitu baik John dan anjing saya membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup, tidak berarti bahwa John adalah anjing saya.

Sebagian besar argumen adanya sains dalam Al-Qur an melakukan kesalahan logika jenis ini. Di bawah ini adalah ringkasannya:

1. Deskripsi fakta saintifik mengenai A memiliki sifat C

2. Deskripsi Al-Qur an mengenai B memiliki sifat C

3. Karena itu, deskripsi Al-Qur an mengenai B sedang menggambarkan A Berikut ini beberapa contoh spesifik:

1. Salah satu fakta saintifik dalam embriologi adalah implantasi blastosis pada dinding uterus

(uterine wall). Implantasi tersebut dapat disifatkan sebagai tempat yang aman.

2. Al-Qur an menggunakan kata-kata qar rin[11] mak n[12], yang dapat berarti tempat yang aman.

3. Karena itu, Al-Qur an sedang menggambarkan fakta saintifik implantasi blastosis. Dalam silogisme di atas, tidak berarti bahwa kata-kata qar rin mak n (tempat yang aman) menyiratkan

proses implantasi hanya karena berbagi penyifatan sebagai suatu tempat yang aman. Argumen ini hanya akan valid jika semua deskripsi qar rin mak n menunjukkan dan menjelaskan proses implantasi. Karena qar rin mak n juga dapat menunjukkan makna rahim (womb)[13], yang merupakan pemahaman kata qar rin mak n abad ke-7, argumen ini jadi tidak valid. Korelasi antara kata dalam Al-Qur an dengan suatu proses atau deskripsi saintifik tertentu tidak dapat serta merta memastikan makna yang dituju dari ayat ini.

Contoh lain meliputi :

1. Adalah fakta saintifik bahwa atmosfer bumi membantu menghancurkan meteorit ketika mereka

mendekati bumi, menyaring sinar cahaya yang merusak, melindungi bumi dari suhu dingin angkasa, dan Van Allen Belt-nya bertindak seperti sebagai perisai melawan radiasi berbahaya. Atmosfer bumi dapat disifatkan sebagai atap pelindung.

2. Al-Qur an menggunakan kata-kata saqfan ma f an, yang berarti atap pelindung.[14]

3. Karena itu, Al-Qur an sedang menjelaskan fungsi atmosfer bumi. Sekali lagi, silogisme di atas tidak valid. Tidak serta merta kata-kata saqfan ma f an, yang

menunjukkan makna atap pelindung, sedang menjelaskan fungsi atmosfer bumi. Hal ini karena saqfan ma f an juga dapat menunjukkan makna atap fisik. Beberapa tafsir Al-Qur an menjelaskan bahwa langit itu didirikan dengan pilar-pilar tak terlihat, dan bahwa suatu bagian dari langit atau angkasa dapat jatuh di Bumi, (lihat Al-Qur an 13:2 dan 34:9). Tafsir ini menunjukkan makna struktur seperti atap yang kokoh, sebagaimana yang ditegaskan ahli tafsir klasik Ibnu Katsir yang mengutip seorang seorang ulama yang menyebutkan, "langit seperti kubah di atas bumi".[15] Karena itu, kata-kata saqfan ma f an dapat juga merujuk atap fisik atau suatu struktur mirip kubah. Untuk alasan ini, argumen di atas hanya akan valid jika semua tafsir dan deskripsi saqfan ma f an memang sedang menggambarkan fungsi atmosfer bumi.

Dari sini ini, argumen bahwa Al-Qur an adalah mukjizat karena deskripsi kata-kata tertentu tampak berhubungan dengan deskripsi yang digunakan dalam fakta-fakta saintifik, secara logis, merupakan kesalahan. Klaim mukjizat saintifik hanya akan valid jika kita dapat menunjukkan tafsir kata-kata yang tampaknya berkorelasi dengan sains merupakan satu-satunya makna yang dituju. Prinsip-prinsip tafsir Al-Qur an menyatakan bahwa mustahil mencapai kepastian tersebut. (masalah ini akan dibahas pada bagian akhir).

Selain itu, ada segudang pertanyaan yang juga memperlihatkan inkoherensi narasi kemukjizatan saintifik. Misalnya: mengapa penjelasan dan makna ayat-ayat dalam Al-Qur an yang lebih sederhana diabaikan? Bagaimana dengan penafsiran alternatif ayat-ayat yang ternyata tidak saintifik atau biasa saja? Karena ambiguitas kata-kata membuat mustahil untuk mengetahui makna pasti yang dituju dari ayat-ayat tersebut, bagaimana bisa ada yang mengklaim bahwa ayat-ayat tersebut adalah mukjizat? Bagaimana dengan peradaban kuno yang memiliki prediksi akurat mengenai fenomena saintifik sebelum ditemukan oleh sains modern? Apakah itu menunjukkan peradaban kuno tersebut mendapat wahyu?

B. SEJARAH YANG TAK AKURAT

Untuk menguatkan argumennya, mereka yang menganjurkan narasi kemukjizatan saintifik menegaskan bahwa pengetahuan tentang sains yang diisyaratkan ayat-ayat Al-Qur an belum ada pada abad ke-7. Argumen ini biasanya muncul dalam dua bentuk:

I. Pengetahuan yang diisyaratkan ayat-ayat Al-Qur an belum ada atau ditemukan pada saat turunnya wahyu (abad ke-7).

II. Nabi Muhammad tidak memiliki akses terhadap pengetahuan yang diisyaratkan ayat-ayat Al- Qur an.

I. Pengetahuan yang diisyaratkan ayat-ayat Al-Qur an belum ada atau ditemukan pada saat turunnya wahyu

Mengenai pernyataan di atas, ketika merujuk pada sejarah, kita akan mengetahui bahwa pernyataan tersebut salah. Berikut ini beberapa contoh ayat yang menyebutkan pengetahuan yang sudah ada dan diketahui pada saat (atau sebelum) wahyu turun:

Mukjizat Turunnya Besi: Ambil contoh pernyataan bahwa Al-Qur an adalah mukjizat karena fakta Al-Qur an menyebutkan besi yang "diturunkan"[16] ( و أ ن ز ل ن ا ). Hal ini dapat merujuk pada kenyataan bahwa besi memang diturunkan dari luar angkasa, sesuatu yang telah terkonfirmasi secara saintifik.[17] Al-Qur an menyatakan, "Dan Kami turunkan besi..."[18]

Namun, bangsa Mesir Kuno 1400 tahun sebelum kenabian Muhammad telah menyebut besi sebagai ba-en-pet berarti "besi dari surga".[19] Orang Assyria dan Babilonia juga memiliki konsep yang serupa mengenai besi.

Mukjizat Bulan Meminjam Cahaya: Contoh lain adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan cahaya bulan. Kata yang digunakan adalah n ran[20] ( ن و ر ا ) yang berarti cahaya dipinjam atau dipantulkan.

"Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya (n ran) dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui."[21]

Klaim yang dibuat pendukung kemukjizatan saintifik adalah tidak ada satu orang pun pada saat itu, atau bahkan sebelumnya, yang tahu bahwa bulan tidak mengeluarkan cahaya sendiri. Dari sisi sejarah, ini tidak benar. Sekitar 500 SM atau 1200 tahun sebelum wahyu Al-Qur an, Thales sudah mengatakan, "Bulan diterangi oleh matahari."[22] Anaxagoras, dalam 400-500 SM menegaskan bahwa, "Bulan tidak memiliki cahaya sendiri, tapi cahaya dari matahari."[23]

Mukjizat Gunung Memiliki Akar: Pertimbangkan ayat-ayat berbicara tentang gunung yang memiliki pasak atau akar. Al-Qur an menyatakan, "Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai pasak? [24]

Pengetahuan mengenai hal ini sudah ada pada peradaban Ibrani kuno sebagaimana Perjanjian Lama secara gamblang menyebutkan akar pegunungan:

"Untuk akar ( י ֵב ְצ ִק ְל ) pegunungan yang aku tenggelamkan, bumi di bawah menahanku selamanya. Tapi kau membawa hidupku keluar dari lubang, ya Tuhanku. [25]

Kata kunci pada ayat ini adalah penggunaan kata Ibrani י ֵב ְצ ִק ְל yang berarti ujung. Ini merupakan penggambaran puitis mengenai dasar atau akar pegunungan.[26]

Mukjizat Big Bang: Al-Qur an menyebutkan penciptaan alam semesta dengan cara berikut, "Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?"[27]

Pengetahuan mengenai hal ini sudah ada pada kebudayaan sebelumnya, misalnya salah satu kisah penciptaan alam dari Mesir kuno yang juga membahas pemisahan langit dari bumi. Alan Alford, peneliti dan penulis independen, menulis tentang pandangan Mesir tentang penciptaan alam semesta, "Inilah mitos pemisahan langit dari bumi. Yang perlu diperhatikan adalah pemisahan tersebut merupakan bentuk bencana."[28]

Dalam literatur Sumeria, kita dapat menemukan konsep serupa dalam Epic of Gilgamesh, "Ketika langit dipisahkan dari bumi, ketika bumi dibatasi dari langit, ketika itulah kejayaan umat manusia tegak."[29]

Dari sisi ini, mengklaim ayat-ayat tersebut sebagai mukjizat tidak masuk akal dan tidak memperhitungkan kemungkinan Nabi Muhammad mengakses pengetahuan umum budaya lain dan tidak mempertimbangkan fakta bahwa peradaban sebelumnya membuat pernyataan yang sama.

Ini tidak berarti saya mengadopsi pandangan konyol bahwa Nabi Muhammad meminjam pengetahuan peradaban lain dan memasukkan pengetahuan tersebut ke dalam Al-Qur an, juga saya tidak percaya bahwa Al-Qur an merupakan representasi pengetahuan abad ke-7. Saya percaya Al-Qur an adalah akurat dan benar.

Poin utama saya di sini adalah bahwa klaim kemukjizatan ayat-ayat yang berbicara tentang fenomena alam tidak kebal uji intelektual. Karena itu, diperlukan pendekatan baru sesuatu yang akan saya bahas nanti pada tulisan ini.

Keberatan untuk pandangan di atas adalah bahwa penggunaan makna dasar dan pemahaman sederhana dari bahasanya yang digunakan, bukan makna lain yang bisa diselaraskan dengan kesimpulan saintifik modern. Pandangan ini mungkin benar, mungkin ada makna lain yang memang bisa menyelaraskan antara ayat-ayat dengan kesimpulan saintifik. Hanya saja, poin yang ditekankan di atas bukanlah bahwa ayat-ayat ini tidak dapat diselaraskan dengan sains modern, tapi poinnya di sini ingin menunjukkan bahwa makna dasar atau gamblang dari ayat-ayat yang mengisyaratkan pengetahuan meskipun tidak sepenuhnya akurat bisa saja diperoleh atau diketahui pada saat turunnya wahyu.

Dari sisi ini, mengklaim ayat-ayat tersebut sebagai mukjizat adalah salah. Dari sudut pandang rasional, jika ada penjelasan natural yang masuk akal, maka penjelasan tersebut akan diutamakan dibanding penjelasan supranatural. Kenyataan penjelasan natural yang masuk akal ternyata mungkin terjadi, menyiratkan tidak adanya mukjizat. Hal ini karena menurut definisi, mukjizat Dari sisi ini, mengklaim ayat-ayat tersebut sebagai mukjizat adalah salah. Dari sudut pandang rasional, jika ada penjelasan natural yang masuk akal, maka penjelasan tersebut akan diutamakan dibanding penjelasan supranatural. Kenyataan penjelasan natural yang masuk akal ternyata mungkin terjadi, menyiratkan tidak adanya mukjizat. Hal ini karena menurut definisi, mukjizat

II. Nabi Muhammad tidak memiliki akses terhadap pengetahuan yang diisyaratkan ayat-ayat Al- Qur an

Di mata seorang skeptik atau pencari kebenaran, pengetahuan tentang sejarah gagasan yang tersedia saat ini membuat pernyataan di atas tidak bisa diterima. Nabi Muhammad bisa memperoleh beberapa bentuk pengetahuan umum pada saat wahyu turun karena beliau sendiri sudah menyebut beberapa kebudayaan dan peradaban lainnya. Misalnya, mengenai izin berhubungan dengan istri yang menyusui, Nabi mempertimbangkan praktek yang terjadi di Romawi dan Persia. Di bawah ini hadits Nabi,

"Sungguh, aku ingin melarang kalian menggauli istri yang menyusui. Lalu aku melihat bangsa Romawi dan Persia di mana mereka melakukannya terhadap anak-anak mereka. Ternyata hal itu tidak membahayakan anak-anak mereka. [30]

[Harap dicatat bahwa ini tidak berarti Nabi menggunakan pengetahuan dari peradaban lain sebagai sumber wahyu. Sebaliknya, menurut pandangan teologi Islam hal-hal yang menyangkut urusan medis dan saintifik, disarankan mencari pendapat terbaik dan praktek terbaik, seperti yang dilakukan Nabi sendiri. Akses link berikut mendiskusikan penggunaan penyerbukan silang sebagai contohnya http://en.islamtoday.net/node/1691.]

Hadits shahih ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad memiliki akses terhadap praktek medis yang lazim di peradaban lain. Karena itu, di mata skeptis, bukan tidak mungkin beliau bisa memperoleh pengetahuan saintifik peradaban lain yang populer pada masa itu.

Penting dicatat bahwa kehidupan ekonomi Arab abad ke-7 berpusat seputar perdagangan dan perniagaan. Perjalanan ke Timur Jauh lazim terjadi. Karena itu, bukan tidak mungkin ada pertukaran praktik saintifik dan gagasan-gagasan populer. Sejarawan Ira M. Lapidus dalam bukunya A History of Islamic Societies, jelas menyatakan orang-orang Arab di Mekah adalah pedagang mapan yang biasa bepergian jauh dan ke mana-mana:

"Pada pertengahan abad keenam, sebagai pewaris Petra dan Palmyra, Mekkah menjadi salah satu kota kafilah penting di Timur Tengah. Orang Mekah pergi membawa rempah-rempah, kulit, obat-obatan, kain dan budak yang datang dari Afrika atau Timur Jauh ke Suriah, mereka pulang membawa uang, senjata, biji-bijian, dan anggur ke Arab."[31]

Karena itu, dalam pandangan skeptis atau pencari kebenaran, pernyataan bahwa Nabi Muhammad tidak bisa memperoleh pengetahuan yang tersirat pada ayat-ayat Al-Qur an adalah salah. Hal ini disebabkan fakta bahwa Nabi bertukar gagasan dan kebiasaan dengan budaya lain kemungkinannya lebih tinggi dibanding Nabi tidak mengakses pengetahuan tersebut. Karena itu, pendekatan baru diperlukan untuk mengatasi kendala intelektual ini, sesuatu yang akan saya bahas nanti.

C. TUJUAN PENCIPTAAN PADA AYAT-AYAT AL-QUR AN

Seluruh narasi kemukjizatan saintifik tampaknya mengabaikan atau melupakan tujuan teologis utama ayat-ayat ini. Ayat-ayat ini diturunkan sebagai arahan untuk merenung dan sampai pada kesimpulan bahwa Allah itu Ahad dan bahwa hanya Dia yang layak disembah. Alasan lain termasuk untuk membangkitkan pemahaman dan penghargaan terhadap Allah yang Maha Tinggi, Maha Kuasa, Maha Agung, Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Mempelajari buku penjelasan akidah yang populer, seperti kitab Aqidah Tahawiyyah, akan menguraikan alasan di atas. Sederhananya, ayat-ayat tersebut tidak bertujuan menyediakan rincian sains. Rincian sains bukan ruang lingkup ayat-ayat tersebut.

Pemikir dan ulama anak benua Am n A san I l dalam bukunya Tadabbur-e-Qur n menguraikan tentang hal ini:

"Penyebutan penciptaan langit dan bumi menunjukkan serta memperlihatkan kekuatan dan keperkasaan Penciptanya yang luar biasa. Cara langit dan bumi dibentuk memperlihatkan keunikan karya dan kebijaksanaan-Nya yang menakjubkan. Hal ini juga mengacu pada sifat kemanfatan pada penciptaan serta keharmonisannya dengan kehidupan dan kebutuhan manusia, yaitu manfaat dan keuntungan yang kita peroleh dan sandari darinya. Semua ini merupakan tanda rahim dan rahman Sang Pencipta dan penjagaan-Nya atas hamba-hamba- Nya.

Selain itu, ini juga jelas menunjukkan ada tujuan yang lebih tinggi di balik penciptaan kehidupan dan alam semesta ini. Tentunya, alam semesta begitu luar biasa, harmonis dan penuh dengan perwujudan kearifan, tidak mungkin tanpa tujuan penciptaan, tanpa arah serta tujuan yang lebih tinggi. Memang, alam diciptakan untuk tujuan luhur, kata Al-Qur an, dan hari selalu tetap agar tugasnya selalu selesai.

Keharmonisan antara langit dan bumi jelas menunjukkan keduanya memiliki Pencipta yang satu dan sama, yang tidak hanya menciptakan mereka, tetapi juga menjalankan dan mengurusnya. Dan hanya ini rencana dan hukum-Nya yang berlaku di dalamnya, tidak ada kekuatan lain yang bisa dengan berbagai cara atau gaya mencampuri keputusan-Nya "[32].

Mirip dengan gagasan di atas, profesor filsafat Shabbir Akhtar dalam bukunya The Qur n and the Secular Mind: A Philosophy of Islam menjelaskan tujuan ayat-ayat Al-Qur an menyebut fenomena alam

adalah untuk menunjuk ke suatu tatanan non-material yang tersembunyi: "Harmoni alam yang sempurna serta keceriaan dan peran lingkungan sekitar manusia, dengan

beragam dan halusnya hubungan, ditanamkan dengan makna keagamaan. Alam ciptaan adalah kriptogram realitas yang mentransendensikannya: alam adalah teks yang harus diuraikan (kode- beragam dan halusnya hubungan, ditanamkan dengan makna keagamaan. Alam ciptaan adalah kriptogram realitas yang mentransendensikannya: alam adalah teks yang harus diuraikan (kode-

Referensi akademik Encyclopedia of the Qur n, pada bab Science and the Qur n menyatakan bahwa sebagian besar tafsir klasik mengenai ayat yang menyebut fenomena alam menyatakan bahwa fenomena alam itu ada untuk mengantar manusia merenungkan hikmah penciptaan, bukan untuk menyatakan fakta saintifik tertentu:

"Keajaiban penciptaan adalah tema berulang pada tafsir-tafsir Al-Qur an. Ini keajaiban ini dipandang sebagai tanda-tanda Allah dan bukti Allah itu ada, Mahakuat dan Maha Mengetahui, dan merupakan Pencipta semua makhluk. Pada tingkat dasar, perenungan ini mengarahkan pada kesimpulan bahwa ada tatanan dan hikmah dalam penciptaan, yang pada gilirannya berarti bahwa pembuat hikmah itu harus menciptakannya. Puncaknya, ketika manusia merenungkan langit dan bumi, mereka akan menyadari bahwa Pencipta mereka tidak menciptakan mereka dengan sia-sia tetapi untuk hikmah yang agung dan rahasia besar yang akal tidak mampu memahaminya.

Ini berarti tujuan akhir dari perenungan adalah untuk menetapkan batasan pengetahuan manusia dan ketidakmampuannya memahami proses penciptaan, bukan untuk menyatakan fakta saintifik dan memperlihatkan hubungannya dengan Al-Qur an. Al-Qur an, menurut tafsiran ini, mengarahkan orang merenungkan hikmah penciptaan alam, tidak memberikan rincian tentang tatanan alam atau cara menguraikannya. Rincian sains ini, jika dan ketika muncul dalam tafsir Al-Qur an klasik, diambil dari pengetahuan saintifik yang berlaku saat itu."[34]

Karena itu, ayat-ayat ini harus dijadikan bahan renungan dan digunakan sebagai kesempatan membuka jendela intelektual dan spiritual mencapai pemahaman tentang keesaan, kekuasaan dan transendensi Allah. Tidak mengherankan mengapa ulama abad ke-14 Asy- Syatibi menentang penggunaan sains karena dianggap menjauhkan pembaca dari kewajiban perenungan ini:

"Banyak orang melewati batas dan membuat klaim yang tidak semestinya tentang Al-Qur an ketika mereka memasukkan ke dalam Al-Qur'an semua jenis pengetahuan masa lalu dan masa kini, seperti ilmu alam, matematika dan logika."[35]

Dari perspektif empiris atau saintifik, ayat-ayat ini juga dapat memberikan rangsangan intelektual yang mendorong pendengar atau pembacanya mencari prinsip-prinsip kesalingterkaitan pada alam, dan untuk mengeksplorasi dimensi batin dari realitas. Jadi, ketika Allah berfirman dalam Al-Qur an, "Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya... ", para saintis yang beriman terdorong mencari jawaban tentang asal-usul alam semesta dan mencari petunjuk mengenai awal kosmik. Jadi bukannya memberi kita jawaban (atas permasalahan sains), Al-Qur an malah mendorong kita mencarinya.

D . SAINTISME, MASALAH INDUKSI DAN EMPIRISME

Jalees Rehman, seorang teman kardiolog di Indiana University School of Medicine, mengatakan secara tepat dan ringkas masalah besar tentang narasi mukjizat ilmiah. Dia menulis :

"Salah satu bahaya dari usaha untuk mengkorelasikan ilmu pengetahuan modern dengan Qur'an adalah bahwa usaha tersebut membuat hubungan antara kebijaksanaan abadi dan kebenaran Qur'an dengan ide-ide sementara ilmu pengetahuan modern." [36]

Apa yang ingin dihindari oleh Rehman di sini adalah isu filosofis yang menegaskan kemukjizatan ayat- ayat Al-Qur an. Masalahnya adalah ilmu Sains tidak pernah mengklaim kepastian atau kebenaran 100%, dan menggunakan ilmu Sains sebagai metode untuk menetapkan sifat mutlak kebenaran Al-Qur'an adalah keliru. Ilmu sains sifat dasarnya adalah tidak statis, alias dinamis. Kesimpulan Ilmu Sains berubah seiring waktu, bahkan barangkali yang kita pikir sudah menjadi fakta yang mapan. Sebuah asumsi tersembunyi di balik narasi keajaiban ilmiah adalah bahwa ilmu Sains adalah satu-satunya cara untuk menentukan kepastian kebenaran tentang dunia dan realitas - proposisi tersebut dikenal sebagai Saintisme .

Jadi ada 3 hal untuk membahas di sini :

a. Sains tidak mengklaim kepastian atau kebenaran 100 % .

b. Sains itu dinamis oleh karena itu mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

c. Sains bukanlah satu-satunya jalan untuk menemukan kebenaran tentang dunia dan realitas .

a. Sains tidak mengklaim kepastian atau kebenaran 100 %

Filsafat ilmu sains adalah bidang studi tentang bagaimana kita memperoleh pengetahuan dari eksperimen ilmiah dan data empiris. Masalah utama dalam filsafat ilmu sains meliputi induksi dan empirisme, karena keduanya memiliki keterbatasan dan ruang lingkup terbatas. Memahami masalah utama ini akan memungkinkan kita untuk berkesimpulan bahwa fakta-fakta ilmiah tidak 100 % benar dan selalu ada kemungkinan untuk mempertanyakannya kembali.

Induksi: Induksi adalah proses berpikir seseorang untuk membuat kesimpulan dengan cara bergerak dari khusus ke umum. Argumen yang didasarkan pada induksi, probabilitas kebenarannya bisa dari sangat rendah sampai sangat tinggi, tapi selalu kurang dari 100 %.

Berikut adalah contoh dari induksi : "Saya telah mengamati bahwa meninju samsak dengan sarung tinju tidak akan menyebabkan cedera.

Oleh karena itu tidak ada yang akan terluka meninju samsak dengan sarung tinju." Seperti contoh di atas, induksi menghadapi masalah utama yang merupakan ketidakmampuan untuk

menjamin kesimpulan, karena generalisasi tidak dapat dibuat dari sejumlah pengamatan terbatas. kesimpulan terbaik yang dapat dilakukan adalah probabilitas, mulai dari probabilitas rendah sampai menjamin kesimpulan, karena generalisasi tidak dapat dibuat dari sejumlah pengamatan terbatas. kesimpulan terbaik yang dapat dilakukan adalah probabilitas, mulai dari probabilitas rendah sampai

Oleh karena itu, masalah induksi adalah tidak dapat menghasilkan kepastian. Masalah tersebut mengemuka pada abad ke-18 oleh filsuf Skotlandia David Hume dalam bukunya, An Enquiry Concerning Human Understanding. Hume mengemukakan bahwa penalaran induktif tidak pernah bisa menghasilkan kepastian. Dia menyimpulkan bahwa pindah dari satu pengamatan fenomena terbatas menjadi satu kesimpulan untuk pengamatan fenomena tak terbatas adalah di luar dari panca indera kita, dan di luar pikiran kita.[37]

Dari perspektif ilmiah praktis, generalisasi dibuat untuk keseluruhan kelompok atau untuk penelitian selanjutnya dalam kelompok itu, berdasarkan data yang terbatas tidak akan pernah pasti. Ambil contoh berikut, seorang ilmuwan melakukan perjalanan ke Wales dan ingin mengetahui warna domba (dengan asumsi dia tidak tahu warna domba). Dia mulai mengamati domba dan dicatat apa warna mereka. Setelah mengamati 150 Domba ia menemukan semua domba berwarna putih. Ilmuwan menyimpulkan, dengan menggunakan induksi, berkesimpulan bahwa semua domba berwarna putih. Ini salah satu contoh masalah utama dari proses induksi, seperti yang kita tahu domba juga bisa berwarna hitam. Kepastian menggunakan induksi tidak akan tercapai, karena selalu ada kemungkinan pengamatan baru merusak kesimpulan sebelumnya.

Profesor Alex Rosenberg dalam buku Philosophy of Science: A Contemporary Introduction menyimpulkan bahwa ini adalah masalah utama yang dihadapi ilmu Sains, ia menulis:

"Di sini kita telah menjelajahi masalah lain yang dihadapi empirisme sebagai epistemologi ilmu resmi : permasalahan induksi, yang akan kembali ke Hume, dan ditambahkan ke dalam daftar masalah Sains yaitu empiris dan rasionalis."[38]

Empirisme : Empirisme mengklaim bahwa kita tidak memiliki sumber pengetahuan terhadap subjek atau konsep yang kita gunakan dalam sebuah topik selain dari pengalaman panca indra. Filsuf Elliot Sober di esainya : Empiricism menjelaskan tesis empiris ini :

"Empiris menyangkal bahwa itu pernah rasional dan wajib untuk percaya bahwa teori menyediakan deskripsi yang benar untuk realitas yang tidak bisa diobeservasi ... Untuk empiris , jika teori secara logis konsisten , pengamatan adalah satu-satunya sumber informasi tentang apakah teori ini secara empiris memadai atau tidak."[39]

Empirisme menderita keterbatasan dan masalah logis. Salah satu bentuk empirisisme - yang akan saya sebut empirisme yang kuat - yang terbatas pada hal-hal yang hanya dapat diamati. Bentuk empirisme menghadapi berbagai macam masalah logis. Masalah utama dengan empirisme yang kuat adalah bahwa ia hanya dapat mendasarkan kesimpulannya pada realitas yang diamati dan tidak dapat membuat kesimpulan tentang realitas yang tidak bisa diamati. Elliot Sober menjelaskan masalah ini :

"Empiris perlu mengatasi masalah dalam filsafat persepsi. Hantaman pertama yang paling jelas mengatakan, objek yang terlihat merupakan penjelasan jalannya cahaya dari objek yang masuk "Empiris perlu mengatasi masalah dalam filsafat persepsi. Hantaman pertama yang paling jelas mengatakan, objek yang terlihat merupakan penjelasan jalannya cahaya dari objek yang masuk

Dengan menggunakan contoh dari Sober, bayangkan Anda mengamati kucing putih berjalan di luar rumah menuju ke arah badai salju, Anda dapat melihat kucing berjalan ke badai salju dan kemudian Anda tidak bisa lagi melihat kucing. Sebuah account empiris yang kuat akan menyangkal bahwa ada kucing dalam badai salju, atau setidaknya menangguhkan semua klaim pengetahuan. Namun, berdasarkan sarana intelektual lainnya yang bisa anda terima, Anda akan menyimpulkan bahwa ada kucing putih dalam badai salju terlepas dari bisa atau tidak teramatinya kucing tersebut.

Masalah yang dihadapi oleh empirisme kuat belumlah terselesaikan oleh empiris. Mereka telah merespon dengan melemahkan definisi mereka untuk empirisme dengan mendefinisikan ulang empirisisme bahwa kita hanya dapat mengetahui sesuatu jika dikonfirmasi atau didukung oleh pengalaman indrawi - saya sebut ini empirisme lemah. Sedangkan yang lainnya telah terdogmatis mempertahankan pandangan bahwa satu-satunya cara untuk menemukan kebenaran melalui observasi langsung dan didukung oleh hasil observasi adalah tidaklah cukup baik. Respon ini telah menciptakan dilema yang belum terselesaikan bagi empiris. Filsuf John Cottingham mengekspos masalah ini dalam buku Rationalism :

"Tapi bagaimana dengan 'semua air yang mendidih diberikan tekanan atmosfer pada 100 derajat Celcius' ? Karena pernyataan ini memiliki bentuk generalisasi universal yang tak terbatas, maka tidak ada pengamatan yang terbatas dapat menyimpulkan kebenaran secara meyakinkan. Ditambah lagi dan mungkin bahkan lebih mengkhawatirkan lagi dari masalah yang dihadapi adalah bahwa ketika kita mencapai tingkat yang lebih tinggi dari ilmu Sains... kita cenderung untuk menemukan struktur dan badan yang tidak diamati secara langsung oleh Panca Indera. Atom, molekul, elektron, foton dan sejenisnya merupakan konstruksi teoritis yang sangat kompleks ... di sini tampaknya kita sangat jauh dari dunia 'pengamatan empiris' langsung ... Aliran positivis cenderung untuk menanggapi kesulitan ini dengan melemahkan kriteria makna maknanya ... itu diusulkan bahwa pernyataan itu bermakna jika bisa dikonfirmasi atau didukung oleh pengalaman indrawi . Namun, ini kriteria yang lebih lemah yang membuat tidak nyaman dan kabur ... Laporan tentang adanya Tuhan atau Kebebasan, atau sifat Zat, atau Mutlak, mungkin tidak bisa dikonfirmasi lewat Eksperimen ... Aliran positivis dengan demikian tampaknya harus dihadapi dilema yang fatal : entah ia harus membuat kriteria -nya yang ketat bahwa ia akan mengecualikan generalisasi dan pernyataan teoritis ilmu Sains, atau dia harus melemahkan kriteria nya cukup untuk membuka pintu untuk spekulasi metafisika. Dilema ini tetap belum terselesaikan sampai hari ini ..."[41]

Dari pencerahan di atas, karena induksi dan empirisme yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan dari data ilmiah maka, ilmu sains tidak bisa mengklaim suatu kepastian. Ada masalah yang jelas teramati dan ketidakmampuan untuk menjamin bahwa penelitian berikutnya akan sama dengan penelitian sebelumnya. Penelitian kita tidak mencakup semua fenomena, karena ilmu pengetahuan bersifat tentatif. Dengan kata lain dapat berubah berdasarkan pengamatan di masa depan. Jika ilmu

Sains ingin jawaban pasti, maka semua fenomena alam harus telah diamati. Dan Hal tersebut tidak mungkin .

Oleh karena itu jika menggunakan metode ilmiah , yang tidak bisa memberikan kepastian , untuk menjustifikasi kebenaran sebuah buku dengan kepastian, jelas bermasalah dan tidak koheren .

b. Sains bersifat dinamis dan oleh karena itu mengalami perubahan dari waktu ke waktu

Untuk itu, mengklaim bahwa ada keajaiban ilmiah ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur'an menjadi inkoheren. Hal ini karena ilmu sains dapat berubah seiring dengan pengamatan dan studi baru. Oleh karena itu, bagi seseorang yang mengklaim adanya mukjizat ilmiah dalam ayat Al-Qur an tertentu, berarti orang yang membuat klaim tersebut dapat menjamin bahwa ilmu sains tidak akan pernah berubah. Untuk membuat jaminan seperti itu menyiratkan ketidaktahuan. Ketidaktahuan akan fakta bahwa ilmu sains berubah dan tentatif karena permasalahan tentang induksi dan empirisme. Masalah induksi dan empirisme (seperti pembahasan sebelumnya) menjelaskan alasan sifat dinamis dalam ilmu Sains. Singkatnya, masalah observasi baru dapat dibuatkan, atau data baru dapat ditemukan. Oleh karena itu, menurut definisi, kita tidak pernah bisa mengklaim bahwa ada sebuah kemukjizatan sains ayat tertentu, karena untuk membuat pernyataan seperti itu berarti ilmu Sains adalah tetap. Ini tidak mungkin bisa dipertahankan terus menerus.

Untuk memperjelas point ini, mempertimbangkan, Muslim yang hidup di abad ke-19. Ilmu Sains dan akademisi pada saat itu menegaskan bahwa alam semesta bersifat statis dan tanpa permulaan, dikenal sebagai The Steady State theory. Karena Qur'an berpendapat bahwa alam semesta memiliki permulaan, apakah itu berarti Qur'an harus ditolak oleh Muslim yang tinggal di abad ke-19? Tentu saja tidak, karena semua Muslim percaya Qur'an itu dari Illahi, dan Illahi tidak bisa salah. Ini memperlihatkan asumsi tersembunyi: Qur'an itu dari Tuhan dan ilmu sains di beberapa titik menunjukkan bagaimana ayat-ayat Qur an sesuai dengan kenyataan. Asumsi tersembunyi ini menunjukkan adanya narasi mukjizat ilmiah, karena mensyaratkan Al-Qur'an dari Illahi.

Namun Asumsi tersembunyi ini tidak bermasalah, karena membawa kita pada pendekatan baru. Pendekatan baru ini akan membantu kita untuk menghindari menggunakan ayat-ayat Qur an pada fenomena alam dengan cara yang lebih bernuansa dan seimbang.

c. Sains bukanlah satu-satunya cara untuk membuat kebenaran tentang dunia dan realitas

Asumsi tersembunyi lainnya di balik narasi mukjizat ilmiah adalah Ilmu sains merupakan satu-satunya cara atau metode untuk menemukan kebenaran tentang dunia dan realitas. Pernyataan ini dikenal sebagai saintisme. Sederhananya, saintisme mengklaim bahwa semua pernyataan tidak benar jika tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Dengan kata lain jika sesuatu yang tidak dapat ditampilkan untuk menjadi kenyataan melalui metode ilmiah, maka itu adalah palsu. Ada beberapa masalah dengan saintisme, misalnya :

1. Saintisme menghancurkan diri sendiri (self-defeating). Saintisme mengklaim bahwa proposisi adalah tidak benar jika tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Tapi proposisi saintisme itu sendiri 1. Saintisme menghancurkan diri sendiri (self-defeating). Saintisme mengklaim bahwa proposisi adalah tidak benar jika tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Tapi proposisi saintisme itu sendiri

2. Saintisme tidak dapat membuktikan kebenaran yang diperlukan seperti matematika dan logika. Sebagai contoh , Jika P, maka Q. P. Oleh karena itu, Q [43] dan 3 + 3 = 6 adalah kebenaran yang diperlukan dan bukan hanya untuk generalisasi empiris.[44]

3. Saintisme tidak dapat membuktikan kebenaran moral dan estetika. Misalnya cinta, keindahan, benar dan salah.

4. Sains tidak bisa membuktikan sumber-sumber pengetahuan lainnya. Misalnya keyakinan dibenarkan melalui 'kesaksian otentik' (authentic testimony). Masalah utama dengan saintisme adalah bahwa ada kebenaran bisa dibentuk dari luar paradigma ilmiah saintisme. Seperti disebutkan di atas, kesaksian otentik merupakan sumber pengetahuan yang valid dimana para epistemologists berpendapat panjang lebar menjelaskan bahwa mengatakan apa yang dikatakan orang lain dapat -dalam kriteria tertentu- memberikan dasar untuk kebenaran.

Epistemologi Kesaksian merupakan cabang dari teori pengetahuan "berkaitan dengan bagaimana kita memperoleh pengetahuan dan keyakinan yang benar dari perkataan kesaksian orang lain."[45] Oleh karena itu, salah satu pertanyaan kunci yang perlu didapatkan jawabannya adalah "Bagaimana kita berhasil memperoleh keyakinan yang benar atau pengetahuan atas dasar apa yang orang lain katakan kepada kita."[46]

Banyak kebenaran yang kita pegang adalah atas dasar kesaksian otentik, karena kita percaya laporan orang lain dan kita tidak memiliki alasan bagus untuk menolak apa yang mereka katakan. Terutama, jika hal ini terjadi ketika kita memiliki banyak orang mengatakan kepada kita informasi yang sama melalui berbagai rantai periwayatan -chains of transmission- informasi yang berbeda-beda (dikenal sebagai laporan tawattur-mutawatir dalam pemikiran Islam). Profesor CAJ Coady menyoroti beberapa kebenaran yang dapat kita terima berdasarkan kesaksian orang lain, ia menulis :

"Banyak dari kita belum pernah melihat bayi lahir, juga sebagian besar dari kita tidak mengamati sirkulasi darah..."[47]

Asisten Profesor Benjamin McMyler memberikan Kesaksian dalam bukunya, Testimony, Truth and Authority, menjelaskan bahwa beberapa informasi yang dia tahu adalah karena bersumber dari

kesaksian: "Berikut ini adalah beberapa informasi yang saya tahu. Saya tahu bahwa Copperhead adalah

ular berbisa yang paling umum di daerah Houston yang lebih besar. Saya tahu bahwa Napoleon kalah Pertempuran Waterloo. Aku tahu itu, ketika saya menulis, harga rata-rata untuk bensin di AS adalah $4,10/galon. Dan saya tahu bahwa orang tua saya baru saja kembali pulang dari perjalanan ke Kanada. Semua informasi tersebut di atas, saya tahu berdasarkan apa yang disebut sebagai epistemologists kesaksian, atas dasar informasi yang diberitahukan oleh mereka, orang lain atau sekelompok orang kepada saya."[48]

Meskipun ini adalah topik yang luas, ada konsensus umum bahwa kesaksian otentik merupakan sumber pengetahuan. Namun, ada perbedaan pendapat antara ahli epistemologists pada bagaimana kita memvalidasi transmisi pengetahuan melalui kesaksian. Bahkan para ilmuwan saintis membutuhkan kesaksian sebagai sumber pengetahuan untuk memahami ilmu sains itu sendiri. Misalnya, ada banyak asumsi dalam ilmu yang murni berdasarkan perkataan dari ilmuwan lainnya.

Apapun diskusi yang ada di sekitar Kesaksian, titik kunci yang perlu diajukan di sini adalah bahwa itu adalah sumber pengetahuan yang valid. Oleh karena itu, pandangan bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya cara untuk menemukan kebenaran, adalah palsu. Profesor Keith Lehrer merangkum keabsahan kesaksian sebagai sumber pengetahuan :

"Inilah pertanyaan terakhir yang muncul tentang penerimaan kita terhadap kesaksian. Apa yang dapat mengubah penerimaan kita terhadap kesaksian orang lain itu menjadi sebuah pengetahuan? Jawaban pertama adalah bahwa kita harus dapat dipercaya tentang evaluasi kita terhadap orang lain yang kita percayai, dan kita harus menerima bahwa begitulah apa yang dikatakan. Selain itu, kepercayaan kita tentang kebenaran harus berhasil saling terhubung, yaitu, yang lain harus, pada kenyataannya, dapat dipercaya dan kepercayaan mereka harus benar - saling terhubung. Kita harus menerimanya begitu. Singkatnya, penerimaan kita terhadap testimoni orang lain harus dibenarkan dengan cara yang tidak disangkal atau dikalahkan oleh berbagai kesalahan dalam mengevaluasi mereka yang terpercaya dan kesaksian mereka. Penerimaan dibenarkan jika kesaksian orang lain tak terkalahkan atau tak terbantahkan adalah pengetahuan."[49]

Hal di atas secara otomatis membuat logis tentang ilmu sains bukanlah satu-satunya cara untuk mencapai kesimpulan tentang semua hal, maka kita harus menyuguhkan kemungkinan jalan lain untuk mendapatkan pengetahuan. Oleh karena itu, dengan asumsi ilmu sains menjadi satu-satunya tolok ukur untuk menetapkan kebenaran Qur'an adalah palsu.

E. AYAT AYAT QUR AN YANG TIDAK ILMIAH

Di dalam diskursus Qur an ada beberapa ayat yang terlihat tidak ilmiah . Namun bukan berarti Al- Qur an itu salah atau bukan dari Allah SWT (seperti yang sudah didiskusikan sebelumnya bahwa Sains bukanlah satu satunya jalan untuk menemukan Kebenaran tentang dunia dan realita, dan itulah masalah yang dihadapi untuk mendapatkan kebenaran lewat data empiris), melainkan menunjukkan bahwa Ilmu pengetahuan manusia itu terbatas dan belum mencapai kesimpulan yang benar. Alasan utama mengapa saya membahas Ayat Al-Qur an yang tidak ilmiah untuk menekankan tidak konsistennya argumentasi metodologi mukjizat Ilmiah Al-Qur an . Tidak konsistennya adalah jika Sains menjadi tolak ukur yang dipakai untuk memverifikasi kebenaran isi Al-Qur an dari Allah SWT, maka seluruh ayat ayat Al-Qur an juga harus sejalan dengan kesimpulan Ilmu Sains.