Deskripsi Lokasi Penelitian

2. Luas

Luas Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah 1,24 Km 2 . Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat terbagi menjadi tiga kelurahan, yaitu Kelurahan

Baluwarti, Kelurahan Kauman dan Kelurahan Kedunglumbu. Luas masing-masing kelurahan dan termasuk keraton dipresentasikan dalam Tabel 8.

Tabel 2. Luas Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat No 2 Kelurahan Luas (Km )

1. Baluwarti 0,54

2. Kedunglumbu 0,21

2. Kauman 0,59 Jumlah 1,24

Sumber : Hasil pengolahan Peta Rupa Bumi Indonesia lembar 1403-343

3. Curah Hujan

Data curah hujan diambil dari stasiun meteorologi Pabelan. Data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan periode1997-2007, yaitu :

Tabel 3. Curah Hujan Maksimum Bulanan Kota Surakarta Periode 1997-2007

Jumlah

No Bulan

Curah hujan (mm)

(mm) Rata- rata

Jumlah Bulan Basah

Jumlah Bulan Lembab

Jumlah Bulan Kering

Sumber : Stasiun Meteorologi Pabelan Penentuan tipe curah hujan di lokasi penelitian berdasarkan metode Schmidt

dan Ferguson. Klasifikasi tipe curah hujan berdasarkan metode ini adalah dengan berdasarkan pada perbandingan rata-rata jumlah bulan basah dan rata-rata jumlah Bulan kering. Kriteria untuk menentukan bulan basah dan kering berdasarkan klasifikasi dari Mohr yaitu :

1) Bulan basah yaitu suatu bulan yang curah hujannya lebih dari 100 mm. Pada

bulan basah, curah hujan lebih besar dari penguapan yang terjadi.

2) Bulan lembab yaitu suatu bulan yang curah hujannya lebih besar dari 60 mm

tetapi kurang dari 100 mm. Pada bulan ini, curah hujan kurang lebih sama dengan penguapan yang terjadi.

3) Bulan kering yaitu suatu bulan dengan curah hujan kurang dari 60 mm. Pada

bulan basah, curah hujan lebih kecil dari penguapan yang terjadi. (Wisnubroto,

Penggolongan tipe curah hujan menurut Schmidt dan Ferguson berdasarkan pada nilai Q yaitu :

Q Rata-rata jumlah bulan kering 

x 100 %

Rata-rata jumlah bulan basah Berdasarkan besarnya nilai Q, tipe curah hujan di Indonesia dibagi menjadi 8

golongan yaitu : Tabel 4. Klasifikasi Tipe Curah Hujan menurut Schmidt dan Ferguson No. Tipe Nilai Sifat

1. A 0,000 ≤ Q < 0,143 Sangat basah (very wet)

2. B 0,143 ≤ Q < 0,333 Basah (wet)

3. C 0,333 ≤ Q < 0,600 Agak basah (fairly wet)

4. D 0,600 ≤ Q < 1,000 Sedang (fair)

5. E 1,000 ≤ Q < 1,670 Agak kering (fairly dry)

6. F 1,670 ≤ Q < 3,000 Kering (dry)

7. G 3,000 ≤ Q < 7,000 Sangat kering (very dry)

8. H 7,000 ≤ Q Luar biasa kering (extremely dry) Sumber : Wisnubroto, 1983 : 75 Data curah hujan dari Stasiun Meteorologi Pabelan dipakai untuk mewakili

curah hujan di lokasi penelitian (dipresentasikan pada Tabel 3). Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui jumlah curah hujan tertinggi adalah pada Tahun 1998 sebesar 1954 mm. Rata-rata curah hujan tertinggi adalah pada Bulan Desember yaitu sebesar 358,2 mm. Rata-rata curah hujan terendah adalah pada Bulan Agustus yaitu sebesar 25,1 mm. Jumlah bulan basah paling banyak berada pada Tahun 1998 yaitu sebanyak 10 bulan. Adapun jumlah bulan kering paling banyak pada Tahun 2002 dan 2003 yaitu sebanyak 7 bulan.

Penentuan tipe curah hujan menurut metode Schmidt-Ferguson dapat dihitung sebagai berikut :

X 100 %

7 , 4 = 66,21 % = 0,66

Dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan tipe curah hujan Kota Surakarta menurut Schmidt dan Ferguson termasuk curah hujan tipe D karena berada pada kisaran antara 0,600  Q < 1,000. Hasil perhitungan dipresentasikan pada Gambar

2.

Gambar 2. Tipe Curah Hujan Lokasi Penelitian

4. Tanah

Persebaran tanah di lokasi penelitian ditunjukkan oleh Peta Tanah Tinjau skala 1 : 250.000 yang disusun oleh Supraptoharjo dkk (1966) dalam Baiquni (1988 : 32). Berdasarkan Peta Tanah Tinjau tersebut, macam tanah di lokasi penelitian meliputi :

- Mediteran Coklat Tua Tanah ini berada di bagian timur laut Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Bahan induknya adalah tuf vulkan intermediair dan berada pada fisiografi vulkan dan bukit lipatan.

- Aluvial Coklat Kekelabuan Tanah ini berada di bagian tenggara Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Bahan induknya adalah endapan liat yang menempati fisiografi dataran. Tanah ini termasuk jenis tanah aluvial yang salah satu sifatnya tergantung dari asal tanah itu diendapkan sehingga kesuburannya ditentukan oleh keadaan bahan asalnya.

- Regosol Kelabu Tanah ini berada di bagian barat dan selatan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Bahan induknya tanah ini adalah abu/pasir vulkan intermidiair yang menempati fisiografi vulkan.

Agihan tanah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dipresentasikan pada Peta 2 pada halaman 31.

5. Penduduk

a. Kepadatan Penduduk Data kependudukan diperoleh dari monografi dinamis tiga bulanan Kecamatan di Kota Surakarta. Monografi dinamis yang dipakai adalah monografi periode Januari - Maret 2008 dari masing-masing kecamatan. Data tersebut direkapitulasi sebagai berikut ini :

Tabel 5. Kependudukan Kota Surakarta Tahun 2008

Luas Kepadatan

laki

(Km 2 ) (Jiwa/Km 2 )

0,54 13.053 b. Kauman

a. Baluwarti

0,21 18.245 c. Kedunglumbu

Sumber : Monografi dinamis Kecamatan Pasar Kliwon Tahun 2008 dan hasil perhitungan Kepadatan penduduk Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Tahun

2008 dapat diketahui dari jumlah penduduk dibagi luas kelurahan. Dengan hasil 2008 dapat diketahui dari jumlah penduduk dibagi luas kelurahan. Dengan hasil

kepadatan paling rendah berada pada kelurahan Kedunglumbu dengan kepadatan 8.195 Jiwa/Km 2. Unit kelurahan disajikan pada

Tabel 5 kolom ketujuh.

b. Komposisi Penduduk Komposisi penduduk adalah pengelompokan penduduk berdasarkan kriteria tertentu. Penduduk dapat diklasifikasikan berdasarkan kondisi biologis, sosial, ekonomis dan geografis sesuai dengan kebutuhan penggolongan. Dalam kajian ini penduduk akan diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin, pendidikan dan mata pencaharian yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam analisis penyesuaian diri terhadap bahaya banjir. Adapun klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut ini :

1) Menurut Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan karakteristik penduduk yang pokok. Struktur ini mempunyai pengaruh penting terhadap tingkah laku demografis maupun sosial ekonomi. Berdasarkan Tabel 6 dapat disajikan komposisi penduduk menurut jenis kelamin per kecamatan di Kota Surakarta yaitu sebagai berikut ini:

Tabel 6. Komposisi Penduduk menurut Jenis Kelamin

No Kelurahan

Laki-laki

Perempuan

Jumlah Sex ratio

Sumber : Tabel 5 dan hasil perhitungan

2) Menurut Pendidikan Tingkat pendidikan penduduk dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi dan budaya penduduk. Komposisi penduduk Kota Surakarta disajikan dalam tabel berikut ini :

Tabel 7. Komposisi Penduduk menurut Jenjang Pendidikan

Kelurahan

No Pendidikan

1 Tamat Akademi /perguruan tinggi

594 2 Tamat SLTA

529 3 Tamat SLTP

479 4 Tamat SD

274 5 Tidak tamat SD

210 6 Belum tamat SD

357 7 Tidak sekolah

Sumber : Monografi dinamis Kecamatan Pasar Kliwon Tahun 2008

3) Menurut Mata Pencaharian Mata pencaharian berbeda-beda antara penduduk satu dengan lainnya. Berdasarkan mata pencaharian dapat diidentifikasi kondisi ekonomi penduduk terutama terkait dengan besarnya pendapatan. Komposisi penduduk berdasarkan kriteria mata pencaharian disajikan dalam tabel berikut ini :

Tabel 8. Komposisi Penduduk menurut Jenis Pekerjaan

Kelurahan

No Pekerjaan

Baluwarti

Kauman

Kedunglumbu

1 Petani 0 0 0 2 Buruh tani

0 0 0 3 Pengusaha

149 4 Buruh industri

201 5 Buruh bangunan

65 99 8 Pegawai negeri

Sumber : Monografi dinamis Kecamatan Pasar Kliwon Tahun 2008

6. Perkembangan dan Fungsi Kota

Morfologi Kota Surakarta pada tahun 1500-2000 telah tumbuh membentuk berbagai formasi, yaitu memusat, mengelompok dan organik. Elemen „daging‟ telah tumbuh secara horisontal, vertikal dan interestisial. Sementara elemen „darah‟ telah berkembang dari orang-orang pribumi (Jawa, Madura, Banjar) bertambah dengan orang- orang pendatang (Cina, Arab, India, Belanda), dengan mata pencaharian dari agricultural ke non-agricultural. Temuan penting lainnya adalah Kota Surakarta tersusun oleh tiga konsep yang berlainan yang saling tumpang tindih, yaitu konsep organik oleh masyarakat pribumi, konsep kolonial oleh masyarakat Belanda dan konsep kosmologi oleh masyarakat Keraton Jawa. (Prayitno 2007)

Kota Surakarta pada tahun 1500-1750 masih berupa kota tepian sungai di Bengawan Solo, kemudian pada tahun 1750-1850 berkembang menjadi kota campuran antara kota perairan dan daratan. Sejak tahun 1850an, Kota Surakarta mulai meninggalkan lalulintas sungai dan berganti ke lalu lintas daratan, sehingga menjadi kota daratan. Apalagi sejak tahun 1900an, setelah dibangun teknologi baru pada sarana transportasi dan utilitas kota, yaitu jalur rel kereta api, jalur trem, jaringan listrik dan Kota Surakarta pada tahun 1500-1750 masih berupa kota tepian sungai di Bengawan Solo, kemudian pada tahun 1750-1850 berkembang menjadi kota campuran antara kota perairan dan daratan. Sejak tahun 1850an, Kota Surakarta mulai meninggalkan lalulintas sungai dan berganti ke lalu lintas daratan, sehingga menjadi kota daratan. Apalagi sejak tahun 1900an, setelah dibangun teknologi baru pada sarana transportasi dan utilitas kota, yaitu jalur rel kereta api, jalur trem, jaringan listrik dan

Pembentukan Kota Surakarta diawali dengan pemindahan ibukota Kerajaan Mataram Islam dari Kartosuro ke Desa Sala sekitar tahun 1745 atau pada zaman pemerintahan Sultan Pakoe Boewono II. Perkembangan kota pada mulanya berorientasi pada Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Mangkunegaran.

Perkembangan selanjutnya terbentuk jaringan-jaringan jalan yang membuka hubungan dengan daerah lain seperti ke barat menuju Yogyakarta dan Semarang melalui Kartosuro, ke utara melalui Purwodadi, ke timur menuju Madiun dan ke selatan menuju Wonogiri. Jaringan jalan ini mempunyai peranan yang cukup penting terhadap perkembangan Kota Surakarta.

Keterbatasan ruang di bagian timur, selatan dan barat Kota Surakarta memaksa perkembangan Kota Surakarta ke arah bagian utara kota yang ditandai dengan berdirinya komplek perumnas dan komplek kampus pada wilayah yang berbukit-bukit tersebut (Baiquni, 1988 : 33).

Perkembangan Kota Surakarta tidak luput dengan fungsi dan peranan kota sebagai kota madya. Menurut Hary Subandriya (1986) dalam Baiquni (1988 : 33), peranan dan fungsi Kota Surakarta terhadap daerah sekitarnya adalah sebagai berikut ini :

- Sebagai pusat pengembangan budaya dan kepariwisataan Jawa Tengah bagian selatan. - Sebagai kota pusat perdagangan dan industri. - Sebagai daerah yang representatif bagi perkembangan penduduk. - Sebagai kota transito bagi pengunjung dari Jawa Barat, Yogyakarta dan Jawa Timur. - Sebagai kota yang giat melaksanakan pembangunan. - Sebagai kota pengembangan pendidikan.

Kegiatan-kegiatan tersebut tidak berdiri sendiri, namun terkait dengan daerah- daerah di sekitarnya yaitu Kabupaten Karanganyar, Boyolali, Sragen, Sukoharjo, Wonogiri dan Klaten. Kegiatan-kegiatan antar daerah tersebut terutama dalam bidang Kegiatan-kegiatan tersebut tidak berdiri sendiri, namun terkait dengan daerah- daerah di sekitarnya yaitu Kabupaten Karanganyar, Boyolali, Sragen, Sukoharjo, Wonogiri dan Klaten. Kegiatan-kegiatan antar daerah tersebut terutama dalam bidang

Faktor utama yang menentukan dalam peningkatan hubungan ekonomis Kota Surakarta adalah terselenggaranya sistem pengangkutan darat yang membentuk jalur radial antara Kota Surakarta dengan kabupaten-kabupaten di sekitarnya (Bappeda, 1985 dalam Baiquni, 1988 : 34).

7. Pemerintahan

Ditinjau dari segi pemerintahanya, Kota Surakarta mengalami beberapa periode, mulai dari masa pemerintahan kolonial Belanda, masa penjajahan Jepang dan masa kemerdekaan atau periode pemerintahan republik Indonesia. Secara ringkas periode pemerintahan tersebut seperti berikut.

Periode pemerintahan kolonial Belanda. Solo merupakan derah swapraja yang terbagi menjadi dua bagian yaitu Swapraja Kasunanan (di bawah Paku Buwono) dan Swapraja Mangkunegaran (di bawah Mangkunegara). Kedua daerah Swaparaja ini dikuasai oleh seorang gubernur Hindia Belanda.

Periode Pemerintahan Kota Surakarta. Periode Pemerintahan Kota Surakarta dimulai dari saat terbentuknya dan berakhir sampai dengan ditetapkan Undang-undang No.16 tahun 1974 tentang pembentukan Haminte kota Surakarta, yang mulai berlaku pada tanggal 5 Juni 1947.

Periode Haminte Kota Surakarta. Kata Haminte kota berasal dari bahasa belanda “Stadsgemeente” (Stads = kota, Gemeente dibaca menjadi Haminte). Pada permulaan Haminte kota Surakarta mengambil alih dinas-dinas Kasunanan dan Mangkunegaran yang berada di wilayahnya. Berpedoman pada Stadsgemeenta Ordonantie, maka Walikota disamping sebagai alat pemerintahan pusat juga merupakan alat pemerintahan daerah sebagai alat pemerintah daerah, walikota menjabat sekaligus kepala Daerah, ketua merangkap Anggota Dewan Pemerintah Kota dan Dewan Kota. Hal tersebut dinilai tidak sesuai dengan perkembangan pemerintah daerah yang Demokratis, sehingga jabatan- Periode Haminte Kota Surakarta. Kata Haminte kota berasal dari bahasa belanda “Stadsgemeente” (Stads = kota, Gemeente dibaca menjadi Haminte). Pada permulaan Haminte kota Surakarta mengambil alih dinas-dinas Kasunanan dan Mangkunegaran yang berada di wilayahnya. Berpedoman pada Stadsgemeenta Ordonantie, maka Walikota disamping sebagai alat pemerintahan pusat juga merupakan alat pemerintahan daerah sebagai alat pemerintah daerah, walikota menjabat sekaligus kepala Daerah, ketua merangkap Anggota Dewan Pemerintah Kota dan Dewan Kota. Hal tersebut dinilai tidak sesuai dengan perkembangan pemerintah daerah yang Demokratis, sehingga jabatan-

Periode Kota Besar Surakarta, Kota Besar Surakarta baru dikenal dan dipergunakan setelah UU No.20 tahun 1943 tentang Pemerintah daerah yang ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 20 juni 1948 (akan tetapi karena adanya Clash II baru dijalankan tahun 1950). Pada pertengahan 1949 di Solo dibentuk pemerintahan Illegal yang kemudian disahkan oleh pemerintah pusat. Pemerintahan Illegal tersebut dikuasai oleh pelajar, Mahasiswa dan pemuda-pemuda pada umumnya. Hampir bersamaan dengan itu pula pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran dengan bantuan dan perlindungan Belanda juga menyusun pemerintahan, akan tetapi dalam prakteknya tidak dapat berjalan karena kurang mendapat sambutan dari masyarakat.

Periode Kotapraja Surakarta. Periode ini berawal dari tertibnya Undang-undang No.1 tahun 1957 yang mulai berlaku pada tanggal 18 Januari 1957. Perubahan nama ini membawa banyak perubahan dalam bentuk, susunan kekuasaan, tugas dan kewajiban pemerintah daerah Kotapraja Surakarta. Berdasarkan hasil pemilihan umum, maka di kotapraja Surakarta dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah peralihan.

Periode Kotamadya Surakarta, periode ini dimulai dari adanya Undang-Undang No. 18 tahun 1965 tentang “Pokok-pokok Pemerintahan Daerah”, yang berlaku dari tanggal 1 September 1965 sampai sekarang. Dengan meletusnya pemberontakan PKI tahun 1965, karena daerah Surakarta secara rahasia dijadikan salah satu basisnya, maka Pemerintah Daerah Kotamadya Surakarta lumpuh selama beberapa waktu. Karena Walikota Kepala Daerah Otoemo Ramelan termasuk salah seorang tokoh PKI, akan tetapi dalam waktu yang relatif singkat keadaan semakin pulih. (Budiharjo Eko 1989)

8. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebagian besar berupa lahan terbangun. Lahan terbangun tersebut berupa permukiman umum, dalem pangeran, kantor administrasi dan fasilitas umum. Sebaliknya keberadaan lahan belum terbangun berupa lahan kosong sangat terbatas yaitu taman dan halaman.