Sistem Kekeluargaan Pada Pengelolaan Rumah Makan Tipe Sederhana (Studi Deskriptif Rumah Makan Minang di Daerah Kota Matsum IV Kec. Medan Area)

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

SI ST EM K EK ELU ARGAAN PADA

PEN GELOLAAN

RU M AH M AK AN T I PE SEDERH AN A

(St udi De sk ript if Rum a h M a k a n M ina ng di Da e ra h K ot a M a t sum I V K e c . M e da n Are a )

DI AJ U K AN OLEH :

SY AFRI N I RAH M AH

0 4 0 9 0 1 0 1 3

SOSI OLOGI

Guna M e m e nuhi Sa la h Sa t u Sya ra t M e m pe role h Ge la r Sa rja na

FAK U LT AS I LM U SOSI AL DAN I LMU POLI T I K

U N I V ERSI T AS SU M AT ERA U T ARA

M EDAN

2 0 0 8


(2)

ABSTRAKSI

Rumah Makan Minang atau “Lapau” berawal dari ditinggalkannya sektor pertanian dan kemudian beralih ke sektor perdagangan. “Lapau” dahulu merupakan usaha keluarga yang menjadi pekerjaan sampingan suami istri, namun dengan perkembangan zaman maka ada pula yang merekrut pekerja. Tradisi yang biasanya dimiliki masyarakat Minang yaitu “saling mengangkat” dalam arti mereka yang mapan membantu keluarga dari kampung untuk dipekerjakan. Soal rasa masakan yang tetap mempertahankan kekhasannya, faktor itulah yang membuat rumah makan Minang tetap terus berkembang di tengah beragam jajanan impor dan lokal serta restoran-restoran modern yang berjajar di mal-mal.

Jenis penelitian adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode studi deskriptif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dari apa yang telah diamati. Sedangkan Studi deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menggambarkan atau melukiskan sejumlah variable yang berkenaan dengan masalah yang diteliti tanpa mempersoalkan hubungan antar variabel. Lokasi penelitian berada di Kelurahan Kota Matsum IV Kecamatan Medan Area dengan unit analisis adalah para pemilik dan para pekerja rumah makan Minang.

Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap pemilik dan pekerja rumah makan Minang, dapat diketahui bahwa karakteristik sistem kekeluargaan pada rumah makan Minang yaitu bersifat demokratis dimana para pekerjanya diajak berdiskusi dan diperbolehkan menyampaikan keluhan atau kritik, umumnya dikelola sebagai suatu usaha keluarga dimana para pekerjanya terdiri dari anak, adik ipar, kemenakan dan lainnya. Adanya rasa kekeluargaan, keadilan yang semuanya dilandaskan pada kemampuan kerja. Yang menarik dari manajemen rumah makan Minang adalah para pekerja diberi upah dengan sistem gaji yang tidak berdasarkan pada jam kerja, tapi berdasar apa yang telah mereka hasilkan. Hal menarik lainnya yaitu pemilik rumah makan selalu memperlakukan pekerjanya sebagai kawan kerja atau mitra kerja dan bukannya sebagai pegawai.


(3)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ……… i

KATA PENGANTAR ………. ii

DAFTAR ISI ……… v

DAFTAR TABEL ……… vi

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ……… 1

1.2. Perumusan Masalah ……… 8

1.3. Tujuan Penelitian ……… 8

1.4. Manfaat Penelitian ………. 9

1.5. Defenisi Konsep ……… 10

BAB II. KAJIAN PUSTAKA Teori Wong : Familisme dan Kewiraswastaan ………. 11

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ………... 16

3.2. Lokasi Penelitian ……… 16

3.3. Unit Analisis dan Informan ……… 17

3.4. Teknik Pengumpulan Data ………. 17

3.5. Teknik Analisa Data ………... 18

3.6. Jadwal Kegiatan ………. 19

3.7. Keterbatasan Penelitian ……….. 19

BAB IV. DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1. Sejarah Kelurahan Kota Matsum IV ……… 20

4.1.2. Letak dan Keadaan Wilayah 4.1.2.1. Kondisi Iklim dan Letak Geografis ……... 21

4.1.2.2. Batas-Batas Wilayah ………. 21

4.1.2.3. Luas Wilayah ………. 21

4.1.3. Komposisi Penduduk 4.1.3.1. Komposisi Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin 22 4.1.3.2. Komposisi Penduduk berdasarkan Pendidikan 23 4.1.3.3. Komposisi Penduduk berdasarkan Mata Pencarian 24 4.1.3.4. Komposisi Penduduk berdasarkan Suku Bangsa 25 4.1.4. Sarana dan Prasarana 4.1.4.1. Sarana Ekonomi……… 27 4.1.4.2. Prasarana Organisasi Sosial Ekonomi Masyarakat 28


(4)

4.1.5. Sejarah Kedatangan Masyarakat Minangkabau Kota Medan 30

4.1.6. Kebudayaan Minangkabau ……….. 33

4.1.7. Sistem Kekerabatan ………. 36

4.2. Interpretasi Data

4.2.1. Sejarah Munculnya Rumah Makan Minang ……… 37

4.2.2. Sistem Kekeluargaan Pada Pengelolaan Rumah Makan 38

4.2.2.1. Hubungan Kerja ……… 44

4.2.2.2. Alih Usaha ……… 51

4.2.2.3. Pemasaran ………. 54

4.2.3. Pembagian Keuntungan / Sistem Pengupahan …… 56

4.2.4. Perekrutan Tenaga Kerja ………. 58

BAB V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan ……… 65

5.2. Saran ……….. 67

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(5)

ABSTRAKSI

Rumah Makan Minang atau “Lapau” berawal dari ditinggalkannya sektor pertanian dan kemudian beralih ke sektor perdagangan. “Lapau” dahulu merupakan usaha keluarga yang menjadi pekerjaan sampingan suami istri, namun dengan perkembangan zaman maka ada pula yang merekrut pekerja. Tradisi yang biasanya dimiliki masyarakat Minang yaitu “saling mengangkat” dalam arti mereka yang mapan membantu keluarga dari kampung untuk dipekerjakan. Soal rasa masakan yang tetap mempertahankan kekhasannya, faktor itulah yang membuat rumah makan Minang tetap terus berkembang di tengah beragam jajanan impor dan lokal serta restoran-restoran modern yang berjajar di mal-mal.

Jenis penelitian adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode studi deskriptif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dari apa yang telah diamati. Sedangkan Studi deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menggambarkan atau melukiskan sejumlah variable yang berkenaan dengan masalah yang diteliti tanpa mempersoalkan hubungan antar variabel. Lokasi penelitian berada di Kelurahan Kota Matsum IV Kecamatan Medan Area dengan unit analisis adalah para pemilik dan para pekerja rumah makan Minang.

Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap pemilik dan pekerja rumah makan Minang, dapat diketahui bahwa karakteristik sistem kekeluargaan pada rumah makan Minang yaitu bersifat demokratis dimana para pekerjanya diajak berdiskusi dan diperbolehkan menyampaikan keluhan atau kritik, umumnya dikelola sebagai suatu usaha keluarga dimana para pekerjanya terdiri dari anak, adik ipar, kemenakan dan lainnya. Adanya rasa kekeluargaan, keadilan yang semuanya dilandaskan pada kemampuan kerja. Yang menarik dari manajemen rumah makan Minang adalah para pekerja diberi upah dengan sistem gaji yang tidak berdasarkan pada jam kerja, tapi berdasar apa yang telah mereka hasilkan. Hal menarik lainnya yaitu pemilik rumah makan selalu memperlakukan pekerjanya sebagai kawan kerja atau mitra kerja dan bukannya sebagai pegawai.


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Daerah Sumatera Barat beserta masyarakatnya, kebudayaannya, hukum adat dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para cendikiawan dari berbagai bangsa untuk diteliti. Hal ini disebabkan karena Minangkabau dinilai mempunyai adat istiadat dan budaya yang istimewa dari pada suku bangsa Indonesia lainnya. Perbedaannya karena sistem kekerabatan yang menurut garis ibu atau matrilineal dan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat, pada dasarnya diatur oleh adat istiadat dan kebiasaan dengan sistem hubungan keluarga bilateral atau seasal.

Parsudi Suparlan (1982) menyatakan, sistem kekerabatan adalah serangkaian aturan-aturan yang mengatur penggolongan orang-orang yang sekerabat yang melibatkan adanya berbagai tingkat, hak dan kewajiban orang-orang yang sekerabat, yang membedakannya dengan orang-orang yang tergolong tidak sekerabat .

Sistem kekeluargaan yang dianut orang Minang ternyata mampu bertahan dan mampu menyebar ke luar wilayah budayanya sendiri dan dapat peka terhadap perubahan. Pola yang digunakan masyarakat Minang dalam berwirausaha adalah pola pembinaan “badunsanak”, dimana mereka memiliki rasa senasib sepenanggungan (rasa kebersamaan dan rasa kekeluargaan), menciptakan saling terbuka, saling percaya, saling menjaga, dan seiya sekata dengan pola “awak samo awak” dalam


(7)

mengembangkan suatu usaha yang dikelola oleh keluarga (http://www.Cimbuak.net/ content/view/494/5/cimbuak_net Minangkabau Community Portal, 30/04/2008).

Suku Minangkabau adalah suatu suku yang dikenal di Indonesia karena penduduknya yang taat beragama Islam, suka berdagang dan merantau, tiga ciri tersebut merupakan pembentuk keutuhan identitas orang Minang. Terlepas dari semua keunikan di atas, suku bangsa Minangkabau memang terkenal dengan tradisi merantaunya. Merantau dalam pengertian disini adalah meninggalkan kampung halaman mereka dan menetap di tempat lain yang dianggap dapat memberikan kehidupan yang layak (Amir, 1982 : 219).

Biasanya dalam periode di negeri orang inilah orang Minang yang merantau mulai mencari suatu bidang untuk dapat menghidupi dirinya. Bidang usaha yang ditekuni suku Minangkabau adalah berjualan makanan. Ini terlihat dari berdirinya “warung-warung padang” mulai dari restoran sampai pedagang nasi pinggir jalan.

Pepatah bijak mengatakan “Dimana bumi di pijak disana langit di junjung”. Karena kemampuannya menjalin tali silaturahmi maka orang minang diterima di seantero nusantara. Dimanapun kita berada, selalu ditemukan orang minang, dan dimanapun orang minang berada, disana selalu ada masakan Padang

Menurut Pelly, orang Minangkabau melihat hidup memburuh menduduki prestise yang paling rendah, karena itu sangat tidak populer di kalangan mereka, barulah pada generasi kedua para perantau banyak yang tertarik dengan lapangan kehidupan pegawai yang mempunyai pendidikan menengah keatas, sedangkan


(8)

mereka yang hanya memiliki ijazah sekolah dasar cenderung memilih okupasi buruh dan pedagang (Pelly, 1984: 47-48).

Rumah makan merupakan salah satu mata pencaharian orang Minang baik di kampung maupun di rantau. Dalam pendirian dan aktivitas di rumah makan, terdapat berbagai kesepakatan-kesepakatan yang dibicarakan secara bersama-sama antara pemilik dan karyawan.

Asal usul rumah makan sebagai salah satu mata pencaharian terbesar dari orang Minangkabau berawal dari ditinggalkannya sektor pertanian dengan kesadaran bahwa dengan bertani tidak akan menjadi kaya, sehingga mereka biasanya akan lari ke sektor perdagangan seperti tekstil, kelontong dan rumah makan

Lapau atau rumah makan juga merupakan bentuk usaha keluarga yang biasanya menjadi pekerjaan sampingan dari suami dan istri. Dengan demikian usaha rumah makan dikelola oleh keluarga sendiri. Tetapi dengan perkembangan ekonomi banyak juga yang merekrut karyawan dengan sistem upah yang berbeda-beda sesuai dengan ketentuan dari masing-masing pemilik rumah makan. Pada rumah makan minang biasanya bermula dari sebuah bisnis keluarga yang melibatkan sebagian anggota keluarga di dalam kepemilikan dan operasionalnya (Rudito,1991:46).

Perbedaan yang dapat dilihat dari bisnis yang menggunakan nilai-nilai kekeluargaan pada bisnis orang Minang dengan bisnis yang menggunakan nilai-nilai kekeluargaan modern pada bisnis orang Cina adalah sebagai berikut :

Nilai-nilai kekeluargaan yang ada pada bisnis orang Minang dicirikan sebagai berikut;


(9)

1. Etika-etika ekonomi orang Minangkabau berhubungan dengan sistem kekeluargaan, dalam kaitannya dengan proses sosial dan realitas ekonomi politik dan perubahan sosial yang lebih mencakupinya;

2. Kenyataan bahwa sebagian besar orang Minangkabau masih mendukung

ekonomi keluarga menurut garis keturunan ibu (matrilineal), terutama saudara perempuan dan anak dari saudara perempuan yang memacu mereka untuk melakukan akumulasi ekonomi;

3. Etika ekonomi orang Minang lebih bersifat kompetitif; memiliki orientasi

pada kemajuan yang lebih terarah pada keberhasilan ekonomi dan mobilitas yang lebih tinggi; dan menempatkan dirinya secara berbeda ke tahap yang lebih tinggi dalam usaha dagang kecil dan kegiatan kewirausahaan lainnya;

4. Di kalangan orang Minangkabau, para wanita sangat didukung untuk

kepemilikan dan pewarisan rumah, juga dalam mengelola sumber-sumber rumah tangga, dan mereka memainkan peran penting dalam kegiatan jual beli. Dalam konteks ini biasanya mereka terlibat dalam perdagangan kecil, pengelolaan kedai-kedai nasi atau rumah makan kecil dan sebagainya (Hefner, 1999 : 262-276) .

Sedangkan nilai-nilai kekeluargaan yang ada pada bisnis orang Cina dicirikan sebagai berikut;

1. Keluarga Cina dan perusahaan keluarga memiliki jaringan legendaris yang

menjelajahi Asia Tenggara, yang saling menjalin berbagai perekonomian dengan garis keturunan atau sesuku (clan) tempat mereka saling dukung segala bentuk perusahaan keluarga dengan tingkat kewirausahaan yang tinggi;

2. Rumah tangga Cina terlibat dalam pembaruan dan penciptaan kembali

(Patriakalisme) berbasiskan keluarga, dimana tuntutan keluarga perusahaan atas tenaga kerja dan upah anak yang dipekerjakan, terutama anak wanita;

3. Keluarga Cina lebih siap menghimpun pendapatan untuk memenuhi

keperluan keluarga, tunduk kepada otoritas keluarga, dan menyumbang banyak jam kerja tanpa bayaran kepada perusahaan keluarga yang dipandang sebagai perusahaan rumah tangga bersama;

4. Sistem kekeluargaan dan hubungan sosial Cina disusupi oleh ambivalensi

yang dicirikan oleh dinamika pembangunan yang tidak hanya kondusif dengan realisasi ambivalensi yang merusak kemungkinan dapat bertahannya bisnis keluarga yang berjangka panjang. (Hefner, 1999:180-260)

Pegelolaan dan bisnis keluarga biasanya berdasarkan kemitraan dimana semua saudara maupun anak adalah mitra, dan semuanya bergiliran dalam mengurus dan menangani segala urusan dan mengatur pembayaran bagi masing-masing anggota dan semuanya mendapat bagian sesuai dengan bagiannya (Walton, 1996 : 6-7).


(10)

Bisnis keluarga mempunyai karakteristik dengan kepemilikan atau keterlibatan antara dua orang atau lebih anggota keluarga yang sama dalam kehidupan dan fungsi bisnisnya. Kebanyakan bisnis keluarga berukuran kecil dikarenakan adanya pertimbangan keluarga menjadi hal yang penting (Longenecker, 2001: 34-36).

Keluarga dan bisnis muncul dengan alasan mendasar yang berbeda. Keluarga bertujuan untuk mengembangkan kesempatan dan penghargaan yang sama terhadap anggotanya, sedangkan tujuan bisnis adalah mencari keuntungan dan ketahanan hidup Banyak keuntungan yang berhubungan dengan keterlibatan keluarga diantaranya mereka akan terikat erat pada bisnis dalam keadaan susah dan senang, mereka juga terkadang dapat mengorbankan penghasilan demi berjalannya bisnis. Tetapi penurunan keuntungan bisnis bisa mengakibatkan karyawan yang bukan anggota keluarga mencari pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Para karyawan yang bukan anggota keluarga masih dipengaruhi oleh pertimbangan keluarga.

Rumah makan kemudian menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Dari situ terlihat mengenai sifat kewiraswastaan masyarakat Minang dengan kemungkinan mobilitas mereka, meskipun pada kenyataannya di kota-kota besar, tidak selamanya rumah makan Minang itu dimiliki atau pemiliknya adalah orang Minang sendiri (http:malindo23.blogspot.com/2008/01/rumahmakan Minangkabau.html,25/02/2008).

Dalam manajemen rumah makan Minang, tampak adanya rasa kekeluargaan, keadilan, yang semuanya dilandaskan pada kemampuan kerja dan profesionalisme. Pengelolaan rumah makan minang banyak yang menganut falsafah Minang yang demokratis, seperti “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Hubungan antara


(11)

anggota keluarga sangat dekat sekali, jadi sistem kekeluargaan atau kekerabatan memegang peranan penting dalam kesempatan kerja.

Pada rumah makan Minangkabau tercermin sistem ekonomi pancasila yang memiliki sifat kerjasama antara semua pihak, dimana tindakan ditujukan bagi kepentingan umum. Sistem Ekonomi Pancasila digambarkan sebagai suatu sistem yang khas Indonesia karena berasaskan pada sistem kekeluargaan (http://www.kompas.com/kompas.cetak/0305/latar/331202.htm>,.

Segi Positif dari rumah makan Minang yang melahirkan sistem kekeluargaan dalam suatu bisnis adalah sebagai berikut;

1. Sifat komunal dari orang Minangkabau merupakan faktor yang dapat

mendukung usaha kegiatan di perantauan. Dimana mereka dapat saling membantu baik dalam kehidupan sosial maupun kegiatan permodalan yang terjadi pada para perantau di perkotaan;

2. Selain bersifat komunal yang dapat memajukan kegiatan usaha orang

Minang, biasanya faktor lain yaitu adanya sifat keuletan dan agresifitas mereka dalam bekerja sama dalam suatu bisnis keluarga;

3. Suku Minang berkaitan erat dengan tradisi “Saling Mengangkat” dalam arti

mereka yang telah mapan di perantuan akan membiayai keluarga mereka yang merantau untuk mengajak keluarga mereka mengikuti jejak mereka dan dengan bantuan dana maupun modal untuk hidup mandiri;

4. Banyak kegiatan bisnis dilakukan tanpa didukung oleh jaminan surat

perjanjian, kontrak hukum dan bahkan secarik kertas karena mereka melakukan dengan rasa saling percaya, karena mereka merasa dari kampung halaman yang sama dan memiliki dialek bahasa yang sama;

5. Kebiasaan saling mengangkat berakar dari persepsi atau pandangan yang

dibentuk oleh adat. Persepsi tentang keluarga sebagai suatu satuan yang tidak bisa dipisahkan karena anggota keluarga berkewajiban untuk saling bantu, bahkan tidak hanya dalam lingkungan keluarga besar (extended family), namun meluas sampai ikatan suku, sekampung halaman, atau sesama orang minang. Kebiasaan saling mengangkat berakar juga pada sistem nilai matrilineal dari orang minangkabau, dan biasanya terdapat pada usaha rumah makan minang yang biasanya membutuhkan tenaga kerja dari orang sekampung maupun dari kenalan-kenalan dekat;

6. Jaringan bisnis orang minang merupakan jaringan bisnis yang didasarkan

pada ikatan kekeluargaan, ikatan kesukuan, kampung halaman atau kenalan-kenalan dekat yang sifatnya relatif longgar atau tidak mengikat para pekerjanya.


(12)

Sedangkan Segi Negatif dari rumah makan Minang yang melahirkan sistem kekeluargaan dalam suatu bisnis adalah sebagai berikut;

1. Dengan adanya bisnis keluarga yang pekerjanya berasal dari anggota

keluarga sendiri bisa menimbulkan terjadinya percekcokan antar keluarga yang menjalankan suatu usaha atau bisnis yang bisa mengganggu hubungan kekerabatan yang ada;

2. Orang Minang tidak seperti Cina yang memperluas jaringan sosialnya dengan membuat kelompok usaha dan pusat finansial yang meluas hingga mendunia;

3. Usaha etnis Minang cenderung tidak mau melakukan upaya kapitalis yang

tidak seperti Cina yang berusaha mencari laba sebesar-besarnya dengan meminta dukungan dari birokrasi pemerintahan;

4. Jaringan bisnis yang dimiliki orang Minang tidak seluas seperti Cina yang memiliki ikatan primordial yang kuat, karena jaringannya sangat sederhana yaitu antara orangtua dan anak atau hubungan dalam kekerabatan, karena jaringan bisnisnya memiliki komando yang didasarkan pada senioritas usia

Ideologi kekeluargaan yang menekankan kesetaraan diantara para anggota garis keturunan dan suku yang merintangi realisasi ketidaksetaraan kultural yang ditimbulkan oleh meningkatnya ketergantungan pada tanaman cepat yang menghasilkan uang dan integrasi yang lebih luas jangkauannya dalam ekonomi dunia.

Etika-etika ekonomi orang Minangkabau berhubungan dengan sistem kekeluargaan, dalam kaitannya dengan proses sosial dan realitas ekonomi politik dan perubahan sosial yang lebih mencakupinya. Kenyataan bahwa sebagian besar orang Minangkabau masih mendukung ekonomi keluarga menurut garis keturunan ibu, terutama saudara perempuan dan anak dari saudara perempuan yang memacu mereka untuk melakukan akumulasi ekonomi (Robert, 1999 : 273-276) .

Dilihat dari kenyataan tersebut, maka perlu kiranya kita mengkaji bagaimana corak usaha yang sama bisa berubah struktur maupun sistem pengelolaannya menurut ruang dan waktu walaupun eksistensinya tetap saja sama. Dalam proses perkembangannya, yang menjadi persoalan adalah sampai dimana sifat keaslian


(13)

masih dapat dirasakan pada prinsip kebersamaan dengan sistem kekeluargaan itu masih berjalan. Sejauh mana sebenarnya karakteristik sistem kekeluargaan mempengaruhi pengelolaan rumah makan minang. Serta bagaimana sebenarnya sistem perekrutan dan pengupahan yang ada pada rumah makan Minangkabau.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi perumusan masalah dari penelitian ini adalah : Bagaimanakah karakteristik sistem kekeluargaan pada pengelolaan rumah makan minang tipe sederhana ?

1.3.Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik sistem kekeluargaan pada

pengelolaan rumah makan minang sederhana.

2. Untuk mengetahui bagaimana sistem pengupahan secara kekeluargaan pada

pengelolaan rumah makan minang sederhana.

3. Untuk mengetahui bagaimana bentuk sistem perekrutan pekerja secara


(14)

1.4.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan rumah makan minang dengan sistem kekeluargaan yang ditujukan bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa sosiologi, masyarakat maupun wirausahawan.

2. Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi bagi hasil-hasil penelitian lainnya dan dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya. Dan khususnya bagi masyarakat minang yang memiliki usaha rumah makan untuk dapat meningkatkan pengetahuannya tentang pengelolaan rumah makan minang.


(15)

1.5.Defenisi Konsep

Untuk memperjelas maksud dan pengertian tentang konsep yang digunakan dalam tulisan ini, maka dibuat batasan konsep yang dipakai sebagai berikut :

1. Sistem Kekeluargaan / Familisme

Adalah segala sesuatu yang dilakukan bersama-sama untuk kepentingan yang ditujukan kepada keluarga. Dengan kata lain, pertimbangan kepentingan keluarga pada kepentingan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.

2. Pengelolaan

Adalah segala sesuatu hal yang bertujuan untuk mengurus suatu usaha atau , perusahaan maupun organisasi.

3. Rumah Makan Minang

Adalah sebagai suatu usaha rumah makan yang khusus menyajikan masakan Padang dan dikelola / dimiliki oleh Orang Padang atau Urang Awak.

4. Upah

Adalah uang yang biasanya dibayarkan sebagai pembalas jasa atau bayaran dari tenaga yang sudah dipakai.

5. Pekerja

Adalah seseorang yang bekerja di sebuah tempat usaha baik itu di rumah makan, di pabrik, maupun badan usaha lainnya dan menawarkan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk menyediakan barang dan jasa.

6. Pemilik

Adalah orang yang memiliki bisnis atau usaha yang menanamkan uang atau barangnya dengan mengharapkan adanya pendapatan atau keuntungan.


(16)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Teori Wong : Familisme dan Kewiraswastaan

Sistem Kekeluargaan atau Family System secara umum memiliki pengertian bahwa segala sesuatu itu dilakukan untuk kepentingan yang ditujukan kepada keluarga. Dengan kata lain, pertimbangan kepentingan keluarga lebih utama dari pada kepentingan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.

Keluarga disini memiliki dua pengertian yaitu dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Keluarga dalam arti sempit, berarti keluarga inti (Nuclear Family), sedangkan dalam arti luas, berarti Extended Family. Peranan Extended Family berfungsi sebagai social control terhadap nilai-nilai yang dijalankan oleh keluarga inti. Keluarga inti atau pelaku yang bersangkutan akan malu dan terpencil apabila melanggar nilai-nilai familisme (Hariyono, 1993:78-79).

Tempat seorang individu tidak begitu penting, dibandingkan dengan kepentingan keluarga atau clannya. Keluarga besar atau clan merupakan struktur dasar sosial. Kewajiban seseorang bukan langsung untuk dirinya sendiri, akan tetapi hanya diperuntukkan bagi keluarga besar. Demikian asas Familisme mengajarkan.

Wong di dalam buku (Suwarsono,1991:58-61) kemudian hadir dalam memberi kritik terhadap interpretasi para pakar teori modernisasi klasik tentang pemahaman dan penafsiran pranata famili (keluarga) tradisional Cina.


(17)

Teori Modernisasi Klasik menyatakan bahwa pranata famili di Cina sebagai kekuatan dahsyat tradisional yang menimbulkan nepotisme, merendahkan disiplin kerja, menghalangi proses seleksi tenaga kerja di pasar bebas, mengurangi insentif individual untuk investasi, menghalangi timbulnya proses berpikir rasional dan merintangi timbulnya norma-norma bisnis universal.

Berdasarkan penelitiannya mengenai bisnis Cina di Hongkong dan Asia Tenggara, Wong Siu-Lun (1985) mengembangkan sebuah model teoritis perusahaan Cina yang memasukkan dinamika-dinamika kelembagaan sistem kekeluargaan patrilineal.

Wong kemudian menjelajahi dan menguji secara tekun pengaruh pranata keluarga terhadap organisasi internal dari berbagai badan usaha milik etnis Cina di Hongkong, khususnya melalui ideologi dan praktek manajemen paternalistik, tenaga kerja keluarga, dan pemilikan keluarga. Wong hendak menunjukkan bahwa pranata keluarga memiliki efek positif terhadap pembangunan ekonomi berikut ini.

Pertama, Wong menunjukkan adanya praktek manajemen paternalistik di banyak badan usaha di Hongkong. Wong menunjukkan bahwa metafora pranata keluarga telah cukup memberikan alasan untuk absahnya hubungan patron-klien antara pekerja dan pemilik usaha. Secara ekonomis, hubungan paternalisme yang penuh kebajikan ini telah membantu usahawan untuk menarik dan mempertahankan tenaga kerja yang ada dalam industri yang sangat fluktuatif.

Kedua, nepotisme mungkin memberikan andil terhadap keberhasilan berbagai badan usaha Hongkong. Wong melihat, bahwa kebanyakan etnis cina hanya akan meminta bantuan tenaga kerja keluarga pada saat yang amat kritis, dan hubungan


(18)

kekeluargaan pada umumnya hanya menjadi bagian kecil dari keseluruhan yang menganut nepotisme. Pada perusahaan kecil, anggota utama keluarga dan sanak keluarga yang lain berfungsi sebagai tenaga kerja murah dan cakap. Bahkan tenaga kerja keluarga ini diharapkan untuk bekerja dengan keras tetapi dengan upah yang lebih rendah.

Ketiga, adanya mode pemilikan keluarga yang membantu keberhasilan usaha etnis Cina di Hongkong. Jika terjadi perselisihan keluarga, bentuk akhir yang dipilihnya lebih cenderung pada pembagian keuntungan dibandingkan dengan perpecahan fisik antar hubungan keluarga. Wong mengatakan bahwa satu kepercayaan antara anggota keluarga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditemukan diantara rekanan usaha mereka yang tidak kenal secara baik satu sama lain.

Trust disepadankan dengan istilah kepercayaan, didefenisikan oleh Fukuyama (1995), sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh anggota-anggota komunitas itu.

Di dalam bisnis, trust bisa direduksi atau bahkan mengeleminasi kekakuan-kekakuan yang mungkin terjadi dalam sebuah perumusan kontrak perjanjian, mengurangi keinginan menghindari situasi yang tak terduga, mencegah pertikaian dan sengketa dan meminimalisasi keharusan akan proses hukum seandainya terjadi pertikaian. Dengan trust, orang-orang bisa bekerjasama secara lebih efektif. Hal ini dimungkinkan karena ada kesediaan diantara mereka untuk menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu.


(19)

Banyak kegiatan bisnis dilakukan tanpa didukung oleh jaminan surat-surat perjanjian, kontrak hukum atau bahkan secarik kertas. Mereka melakukannya berdasarnya rasa saling percaya, karena mereka berasal dari kampung halaman yang sama, berbahasa yang sama, atau berdialek yang sama, memiliki norma keluarga yang sama, atau dari keturunan yang sama. Pada kelompok etnik minangkabau terdapat persatuan yang tersembunyi yang dikuatkan oleh kepercayaan bahwa mereka berasal dari nenek moyang yang sama dalam lingkungan keluarga.

Para ahli yang mempelajari organisasi bisnis Cina menekankan pentingnya etika keluarga-sentris dan peranannya dalam mempermudah kegiatan ekonomi. Wong Siu-Lun dalam penelitiannya tentang keluarga dan bisnis Hongkong yaitu tentang pemanfaatan sumber daya manusia dan material, untuk mencapai “kemajuan bersama” keluarga (Siu-Lun, 1991 : 21).

Kemajuan keluarga adalah sasaran mendesak dari sebagian besar keluarga mengabdikan diri mereka pada tujuan tersebut. Akibatnya, keluarga-keluarga menghargai penciptaan kekayaan karena hal itu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kemajuan keluarga.

Wong tidak memberlakukan pranata keluarga sebagai faktor yang menghambat pembangunan ekonomi. Ia justru berpendapat sebaliknya, bahwa pranata keluarga tradisional justru akan mampu membentuk etos kerja ekonomi yang dinamis dengan apa yang ia sebut sebagai “etos usaha keluarga”. Etos ini melihat keluarga sebagai unit dasar kompetisi ekonomi, yang akan memberikan landasan untuk terjadinya proses inovasi dan kemantapan pengambilan resiko.


(20)

Menurut Wong, ada tiga karakteristik pokok dari etos usaha keluarga yaitu sebagai berikut :

• Pertama, konsentrasi yang sangat tinggi dari proses pengambilan keputusan.

• Kedua, otonomi dihargai sangat tinggi dan bekerja secara mandiri lebih

disukai. Pekerja akan lebih mendasarkan diri pada bentuk hubungan kerja yang paternalistik.

• Ketiga, usaha keluarga jarang berjangka panjang, dan selalu ajeg berada

dalam posisi tidak stabil. Disamping itu, bentuk badan usaha keluarga yang demikian akan jarang terlibat dalam usaha-usaha kolusi, karena adanya penghargaan yang tinggi dan penjagaan yang ketat pada sifat otonomi.

Familisme ternyata tidak selalu menjadi tembok penghalang bagi industrialisasi maupun pertumbuhan ekonomi. Namun, familisme benar-benar bisa mempengaruhi karakter pertumbuhan tipe organisasi ekonomi yang di dalamnya masyarakatnya bekerja.


(21)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang ada pada proposal ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan Kualitatif dapat diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dari apa yang telah diamati (Faisal, 1995 : 22).

Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha untuk menggambarkan atau melukiskan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah yang diteliti tanpa mempersoalkan hubungan antar variabel.

Penelitian deskriptif dipilih karena penelitian ini hanya terbatas pada usaha untuk mengungkapkan suatu permasalahan, keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar mengungkapkan fakta yang terjadi dalam proses sosialisasi.

3.2 Lokasi Penelitian

Peneliatian ini dilakukan di Kelurahan Kota Matsum IV Kecamatan Medan Area Medan. Adapun alasan dipilihnya kawasan ini adalah karena Kecamatan Medan Area merupakan salah satu tujuan perantau suku bangsa Minangkabau yang berasal dari berbagai macam daerah di Sumatera Barat. Dan mayoritas penduduk yang menetap di Kelurahan Kota Matsum IV tersebut rata-rata merupakan masyarakat


(22)

suku minangkabau. Sebagian dari suku bangsa Minangkabau tersebut menetap dan membuka usaha rumah makan minang di daerah kecamatan Medan Area tersebut.

3.3. Unit Analisa dan Informan

• Unit Analisa

Adapun yang menjadi unit analisa dalam penelitian ini adalah pemilik rumah makan , serta para karyawan dari rumah makan tersebut.

• Informan

Mengingat jumlah unit analisa cukup banyak, maka data yang diambil beberapa dijadikan sebagai sumber informan. Dalam penelitian ini, terdapat dua jenis informan yaitu informan utama dan informan tambahan.

1. Informan utama adalah seseorang yang terlibat langsung dalam

kegiatan yang diteliti. Yang menjadi informan utama adalah pemilik rumah makan sederhana.

2. Informan biasa adalah seseorang yang dapat memberi informasi

walaupun tidak langsung terlibat dalam kegiatan yang diteliti. Yang menjadi informan tambahan adalah karyawan rumah makan sederhana.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu data primer dan data sekunder. Dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data :


(23)

a. Data Primer

• Observasi partisipatif adalah peneliti ikut dalam proses pengambilan data, dan peneliti mengadakan pengamatan secara langsung.

• Wawancara mendalam adalah wawancara yang dilakukan oleh peneliti

kepada orang yang menjadi objek penelitian atau informan secara langsung. Agar wawancara terarah maka digunakan pedoman wawancara (interview guide).

b. Data Sekunder

• Studi Kepustakaan adalah suatu sumber yang diambil berupa buku

referensi yang memperkuat teori dan pembahasan yang ada. Bahan juga bisa bersumber dari internet, surat kabar yang berkaitan langsung dan dianggap relevan dengan penelitian.

3.5. Teknik Analisa Data

Analisa data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Maleong, 1993 : 103).

Setiap data yang didapatkan direkam, dalam catatan lapangan, baik itu data utama hasil wawancara maupun data penunjang lainnya. Setelah data terkumpul, maka dilakukan analisis data dan diinterpretasikan dengan mengacu pada tinjauan pustaka. Sedangkan hasil observasi diuraikan dan dinarasikan untuk memperkaya hasil wawancara sekaligus melengkapi data. Setiap data yang diperoleh


(24)

diinterpretasikan untuk menggambarkan secara jelas keadaan melalui kata berdasarkan dukungan teori dan tinjauan pustaka.

3.6. Jadwal Kegiatan

No Jenis Kegiatan Bulan

2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Pra Observasi

2 ACC Judul X

3 Penyusunan Proposal Penelitian X X

4 Seminar Penelitian X

5 Revisi Proposal Penelitian X

6 PenyerahanHasil Seminar penelitian X

7 Operasioanal Penelitian X

8 Bimbingan X X X X

9 Penulisan Laporan Akhir X

10 Sidang Meja Hijau

3.7. Keterbatasan Penelitian

1. Keterbatasan dana yang dimiliki peneliti akan membuat penelitian ini kurang mendalam.

2. Kesibukan para informan dalam menyelesaikan pekerjaannya membuat

penelitian yang dilakukan kurang mendalam.

3. Lokasi penelitian yang cenderung rawan kejahatan, sehingga penelitian

dilakukan hanya siang hari sehingga aktivitas informan dalam keluarga dan tempat tinggal kurang tereksplor.


(25)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1.Sejarah Kelurahan Kota Matsum IV

Sejarah awal mula terbentuknya Kelurahan Kota Matsum IV yaitu tepatnya pada tahun 1986. Dimana sebelumnya daerah kota Matsum IV ini menjadi bagian di dalam kota Matsum II. Kemudian seiring berjalannya perkembangan kota maka Kota Matsum I dan II dikembangkan menjadi 4 wilayah Kelurahan yaitu Kelurahan Kota Matsum I, II, III dan Kota Matsum IV. Pada awalnya mayoritas masyarakat yang tinggal di Kota Matsum adalah masyarakat yang bersuku bangsa Melayu Deli. Sebelumnya sejak masa penjajahan Belanda, daerah ini merupakan bagian dari wilayah perkebunan karet. Tetapi setelah kemerdekaan RI kota Medan semakin berkembang dan terbuka. Kemudian menjadi pusat perdagangan dan wirausaha dengan banyaknya masyarakat pendatang dari daerah atau suku lain yang datang diantaranya suku bangsa Minangkabau yang kebanyakan menetap di daerah Kota Matsum, khususnya Kota Matsum IV yaitu di sekitar jalan Halat, Amaliun dan lainnya karena para perantau Minang tersebut biasanya sering dijumpai kecenderungan melakukan pengelompokan di satu kawasan pemukiman tertentu.

Daerah Kota Matsum IV itu dijadikan pusat segala bentuk usaha kerajinan maupun usaha perdagangan seperti misalnya terdapat banyak pengusaha konveksi baik pembuatan baju, sepatu, tas dan lainnya, dan juga banyak pedagang seperti


(26)

pedagang kaki lima, pedagang pengecer dan penjual nasi atau rumah makan Minang yang tinggal & membuka usaha mereka di daerah Kota Matsum IV tersebut.

4.1.2. Letak dan keadaan Wilayah

4.1.2.1. Kondisi iklim dan letak geografis

Lokasi Kelurahan Kota Matsum IV Kecamatan Medan Area berada di tengah Kota Medan. Jika dilihat dari letak wilayahnya lokasi ini berpenduduk padat. Kelurahan Kota Matsum IV ini termasuk beriklim sedang dengan curah hujan yang jatuh pada bulan Agustus, September, dan Oktober.

4.1.2.2. Batas-Batas Wilayah

• Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Kota Matsum III

• Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Kota Matsum I

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Pasar Merah Barat

• Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Kota Matsum II

4.1.2.3. Luas wilayah

• Luas Wilayah yang ada di Kelurahan Kota Matsum IV Kecamatan

Medan Area adalah 27 Ha

• Terdiri dari 17 Lingkungan di Kelurahan Kota Matsum IV Kecamatan

Medan Area


(27)

4.1.3. Komposisi Penduduk

4.1.3.1. Komposisi penduduk berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel I

Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No Keterangan Jumlah Persentase

1 Laki-laki 7.755 50,41 %

2 Perempuan 7.630 49,59 %

Jumlah 15.385 100 %

Sumber dari : Data Kelurahan Kota Matsum IV Tahun 2008

Dari data pada tabel I di atas dapat diketahui bahwa komposisi penduduk di Kelurahan Kota Matsum IV memiliki jumlah penduduk sebanyak 15.385 jiwa, berdasarkan jenis kelamin jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada penduduk yang berjenis kelamin perempuan. Jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 7.755 jiwa dengan persentase sebesar 50,41 %, sedangkan jumlah jenis kelamin perempuan sebanyak 7.630 jiwa dengan persentase sebesar 49,59 %. Ini berarti antara jumlah laki-laki dan perempuan bisa dikatakan sebanding, walaupun jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih besar dari pada jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempuan.


(28)

4.1.3.2.Komposisi penduduk berdasarkan Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan terpenting dalam setiap diri manusia, karena tingkat pendidikan sangat berkaitan erat dengan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat. Tingkat pendidikan yang tinggi pada umumnya akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan dan kesejahteraan yang lebih baik.

Tabel II

Komposisi Penduduk berdasarkan Pendidikan

No Keterangan Jumlah Persentase

1 Belum Sekolah 2.236 18,52 %

2 Tidak Tamat 553 4,57 %

3 SD 2.163 17.90 %

4 SLTP 3.087 25,55 %

5 SMU 3.142 26,02 %

6 D1 s/d D3 846 7,00 %

7 S1 s/d S3 52 0,44 %

Jumlah 12.079 100 %

Sumber dari : Data Kelurahan Kota Matsum IV Tahun 2008

Dari data pada tabel II di atas dapat diketahui bahwa komposisi penduduk berdasarkan pendidikan di Kelurahan Kota Matsum IV berjumlah 12.079 jiwa. Dengan jumlah pendidikan terbanyak yaitu penduduk yang berpendidikan SMU sebesar 3.142 jiwa dengan persentase berjumlah 26,02 %, kemudian disusul oleh penduduk yang berpendidikan SLTP sebesar 3.087 jiwa dengan persentase berjumlah 25,55 %, selanjutnya jumlah penduduk yang masih belum bersekolah sebesar 2.236 jiwa dengan persentase 18,52 %, kemudian disusul oleh penduduk yang


(29)

berpendidikan SD sebesar 2.163 jiwa dengan persentase sebesar 17,90 %, kemudian penduduk yang berpendidikan D1 s/d D3 sebesar 846 jiwa dengan persentase sebesar 7,00 %, selanjutnya penduduk yang tidak berhasil menamatkan sekolah sebesar 553 jiwa dengan persentase sebesar 4,57 %, dan terakhir yang merupakan jumlah paling terkecil yaitu penduduk dengan pendidikan S1 sd/ S3 sebesar 52 jiwa dengan persentase terkecil yaitu 0,44 %.

4.1.3.3. Komposisi penduduk berdasarkan Mata Pencaharian

Mata pencaharian adalah merupakan sumber utama pendapatan dari setiap manusia untuk tetap dapat bertahan hidup. Tingkat pekerjaan menengah ke bawah pada umumnya hanya akan memperoleh pendapatan yang menengah ke bawah pula. Terdapat berbagai macam mata pencaharian penduduk yang tinggal di wilayah Kota Matsum IV ini yaitu dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel III

Komposisi Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian

No Keterangan Jumlah Persentase

1 PNS 547 6,44 %

2 Pedagang 6.527 76,87 %

3 Penjahit 1.120 13,19 %

4 Tukang Batu 4 0.05 %

5 Dokter 49 0,58 %

6 Supir 175 2,06 %

7 Penarik Becak 24 0,28 %

8 TNI / Polri 45 0,53 %


(30)

Sumber dari : Data Kelurahan Kota Matsum IV Tahun 2008

Dari data pada tabel III di atas dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk Kota Matsum IV yang memiliki Mata Pencaharian yang terbesar jumlahnya adalah penduduk yang berprofesi sebagai Pedagang dengan jumlah 6.527 jiwa dengan persentase sebesar 76,87 %, selanjutnya mata pencaharian kedua terbanyak adalah penduduk yang berprofesi sebagai Penjahit sebanyak 1.120 jiwa dengan persentase sebesar 13,19 %, kemudian penduduk yang berprofesi sebagai PNS sebanyak 547 jiwa dengan persentase sebesar 6,44 %, selanjutnya penduduk yang berprofesi sebagai Supir sebanyak 175 jiwa dengan persentase sebesar 2,06 %, kemudian penduduk yang penduduk yang berprofesi sebagai Dokter sebanyak 49 jiwa dengan persentase 0,58 jiwa, penduduk yang berprofesi sebagai TNI / POLRI sebesar 45 jiwa dengan persentase sebesar 0,53 %, dan jumlah terakhir dan yang paling kecil adalah penduduk yang berprofesi sebagai Tukang Batu sebanyak 4 jiwa dengan persentase sebesar 0,05 %.

4.1.3.4.Komposisi penduduk berdasarkan Suku bangsa

Indonesia memiliki keragaman Suku Bangsa yang terbentang dari Sabang sampai ke Marauke, dimana setiap suku bangsa menetap di setiap daerah yang ada di wilayah Indonesia. Ini dapat terlihat dari suku bangsa yang tinggal di suatu wilayah atau kawasan seperti di Kota Matsum IV Kecamatan Medan Area. Berbagai macam suku bangsa yang menetap di wilayah Kota Matsum IV dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(31)

Tabel IV

Komposisi Penduduk berdasarkan Suku Bangsa

No Keterangan Jumlah Persentase

1 Minang 8.665 56,32 %

2 Mandailing 1.011 6,57 %

3 Jawa 2.099 13,65 %

4 Melayu 1.603 10,41 %

5 Lainnya 2007 13,05 %

Jumlah 15.385 100 %

Sumber dari : Data Kelurahan Kota Matsum IV Tahun 2008

Dari data pada tabel IV di atas dapat diketahui bahwa masyarakat Kota Matsum IV adalah masyarakat yang heterogen dengan beragam suku bangsa diantaranya Minang, Mandailing, Jawa, Melayu dan lain-lain.

Dari data di atas diketahui bahwa suku Minangkabau adalah suku yang paling dominan di wilayah Kota Matsum IV ini dengan jumlah sebanyak 8.665 jiwa dengan persentase sebesar 56,32 %, sedangkan penduduk dengan suku bangsa terbesar kedua adalah suku Jawa sebanyak 2.099 jiwa dengan persentase sebesar 13,65 %, kemudian disusul oleh suku Melayu sebanyak 1.603 jiwa dengan persentase sebesar 10,41 %, dan suku Mandailing sebanyak 1.011 jiwa dengan persentase sebesar 6,57 %, dan yang terakhir adalah suku-suku lainnya yang berjumlah 2007 jiwa dengan persentase sebesar 13,05 %.


(32)

4.1.4. Sarana dan Prasarana

Sarana merupakan hal yang amat penting bagi pencapaian tujuan. Bagaimana baiknya suatu rencana tanpa didukung oleh adanya sarana dan prasarana, maka tujuan dari perencanaan itu akan sulit tercapai. Untuk mendukung tugas pelayanan terhadap masyarakat, maka di Kelurahan Kota Matsum IV Kecamatan Medan Area tersedia berbagai macam sarana dan prasarana, seperti sarana di bidang peribadatan, pendidikan, kesehatan, sarana air bersih dan sarana ekonomi. Untuk lebih jelas lagi berikut akan dipaparkan mengenai sarana-sarana tersebut.

4.1.4.1. Sarana Ekonomi

Sarana Ekonomi merupakan alat masyarakat untuk mencari kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagian besar penduduk kelurahan Kota Matsum IV Kecamatan Medan Area hidup dengan berdagang baik kios kelontong maupun warung makan. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada keterangan pada tabel di bawah ini.

Tabel V Sarana Ekonomi

No Keterangan Jumlah Persentase

1 Warung Makan 10 20,40 %

2 Kios Kelontong 20 40,82 %

3 Industri Kerajinan 15 30,62 %

4 Percetakan / Sablon 1 2.04 %

5 Bengkel 3 6,12 %

Jumlah 49 100 %


(33)

Dari data pada tabel V di atas dapat diketahui bahwa masyarakat Kota Matsum IV memiliki berbagai macam sarana ekonomi seperti warung makan, kios kelontong, industri kerajinan, percetakan / sablon dan Bengkel.

Sarana Ekonomi yang paling banyak yang ada di wilayah Kota Matsum IV adalah sarana Kios Kelontong sebanyak 20 unit dengan persentase sebesar 40,82 %, kemudian sarana kedua terbanyak adalah sarana Industri Kerajinan sebanyak 15 unit dengan persentase sebesar 30,62 %, sarana ketiga terbanyak adalah sarana Warung Makan sebanyak 10 unit dengan persentase sebesar 20,40 %, kemudian sarana ekonomi Bengkel sebanyak 3 unit dengan persentase sebesar 6,12 %, dan yang terakhir adalah sarana ekonomi Percetakan / Sablon sebanyak 1 unit dengan persentase sebesar 2,04 %.

4.1.4.2. Prasarana berbentuk Organisasi Sosial Ekonomi masyarakat Minangkabau Masyarakat Minang terutama di Lingkungan Kota Matsum IV memiliki beberapa Organisasi Sosial Ekonomi Kemasyarakatan khusus untuk masyarakat Minang yang sifatnya sosial dan ekonomi masyarakat. Anggota-anggotanya adalah seluruh warga minang yang berminat menjadi anggota dan juga para pengusaha dibidang kewiraswastaan seperti konveksi, pedagang maupun pemilik usaha rumah makan Minang.

Perkumpulan-perkumpulan masyarakat Minang yang mendirikan pusat finansial untuk menunjang kegiatan usaha mereka seperti GEMPPAR (Gerakan Masyarakat Padang Pariaman) dan ada pula perkumpulan yang bernama GEBU (Gerakan Seribu) yang membantu mengelola keuangan masyarakat. Gebu berawal


(34)

dari masyarakat Minang yang berinisiatif mengumpulkan dan menggalang dana dari anggota masyarakat Minang berjumlah Rp.1000,- per hari per orang sehingga disebut namanya dengan gerakan seribu rupiah masyarakat Minang. Dari sinilah terbentuk simpan pinjam dan Bank Gebu Minang. Ada lagi Kelompok Koperasi Syariah Bersama Kota Medan, dimana mereka memberikan pinjaman-pinjaman kepada para anggotanya yang ingin menambah dan mengembangkan usaha dengan bunga dan syarat-syarat yang ringan.

Ada pula perkumpulan atau organisasi lain yang dibentuk berdasarkan ikatan keluarga seperti ikatan keluarga Panyalai (suku Panyalai), Keluarga Ulakan Tapakih Kataping (nama kampung halaman), Banu Ampu (nama kampung halaman) atau ikatan Keluarga Guci Sandi Mulia (suku Guci), namun kesemua organisasi ini tidak mampu memajukan usaha karena dibentuk bukan untuk tujuan bisnis.


(35)

4.1.5. Sejarah Kedatangan Masyarakat Minangkabau ke Kota Medan

Semuanya bermula pada akhir abad ke-19 yang mana Kota Medan sudah mulai mengalami perkembangan di berbagai bidang. Perkebunan-perkebunan dalam skala besar, industri pertanian disertai dengan lancarnya jalur komunikasi membuat kota Medan menarik tumbuhnya lembaga-lembaga perdagangan dan kegiatan-kegiatan dalam berbagai macam ragam jasa. Dengan alasan tersebut para migran mulai berdatangan dari luar Kota Medan termasuk di dalamnya perantau Minangkabau.

Suku bangsa Minangkabau dikenal sebagai bangsa perantau. Pada saat itu mereka sudah menempati sebagian besar pelosok tanah air, bahkan ada yang tinggal dan menetap di luar negara kesatuan Indonesia. Masyarakat Minangkabau dapat dijumpai di berbagai daerah baik daerah yang dapat diukur secara administrasi besar, sedang maupun kecil, ataupun dapat dijumpai di kota-kota besar maupun kota-kota kecil.

Kedatangan orang Minangkabau ini adalah untuk berdagang, namun pada saat itu perdagangan dilakukan antar perkebunan saja, sebagian kecil ada juga yang menetap di kota Medan, disana mereka juga bergerak dalam bidang perdagangan.

Kota Medan merupakan salah satu daerah tujuan perantau masyarakat Minangkabau. Besarnya migrasi orang Minangkabau ke kota Medan pada tahun permulaan tidak pernah didata secara pasti. Namun data sensus pada tahun 1930 menyatakan bahwa angka migrasi orang Minangkabau adalah sebanyak 5.408 jiwa di


(36)

kota Medan dan 50 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1980 perantau minangkabau menunjukkan kenaikan dengan jumlah 141.507 jiwa.

Kedatangan orang Minangkabau ke Kota Medan ini pada awal tahun ke tahun jumlahnya tidak tetap karena dipengaruhi oleh keadaan atau situasi politik pada saat itu baik di daerah rantau ataupun di kampung halaman. Misalnya pada masa perang dunia II dan perang kemerdekaan RI, kebanyakan para perantau kembali ke kampungnya. Pada saat terjadi pemberontakan PRRI jumlah perantau ke kota Medan kembali meningkat. Data statistik menunjukkan bahwa angka rata-rata kenaikan perantau Minangkabau sejalan dengan kenaikan rata-rata penduduk kota Medan secara keseluruhan.

Pada masa kemerdekaan okupasi perantau Minangkabau di kota Medan masih dalam bidang perdagangan mengalami perkembangan dan semakin beragam. Perdagangan dilakukan bukan hanya antar perkebunan saja tetapi mereka sudah mulai merambat di kota-kota. Ada yang berdagang di emper-emper toko sebagai pedagang kaki lima dan ada pula yang telah memiliki toko sendiri dan menjadi pengecer.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mochtar Naim diperoleh data bahwa sekitar 80 % atau lebih dari keseluruhan pedagang pengecer di pusat pasar adalah masyarakat Minangkabau dan beberapa lainnya juga mendominasi seperti usaha penjahitan yang dikuasai rata-rata oleh orang Minangkabau, selain itu juga masyarakat Minangkabau banyak yang membuka usaha warung makan Padang mulai dari restoran besar hingga pedagang nasi pinggir jalan.

Proses penyesuaian diri orang Minangkabau lebih mudah dari pada etnis lainnya. Biasanya mereka menumpang dan bekerja dengan membantu usaha saudara


(37)

dan teman-teman sekampung yang lebih dahulu datang. Selain itu mereka juga sering melakukan perkumpulan untuk menanggulangi masalah atau musibah serta acara keagamaan dan lainnya. Kecendrungan masyarakat minangkabau lebih menyukai hidup berkelompok dan biasanya mereka memilih tinggal di dekat pusat pasar dan pusat kota.

Gambaran okupasional perantau Minangkabau umumnya terbagi tiga strata ekonomi yaitu strata ekonomi bawah, menengah, dan atas. Status ekonomi ini dapat dilihat dari tipe rumah dan daerah tempat tinggal yang mereka huni. Misalnya daerah Kota Matsum yang kebanyakan dihuni oleh suku Minangkabau yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima, pedagang rumah makan dan penjahit. Sedangkan kelas menengah ke atas lebih banyak memilih tinggal di daerah elit seperti Medan Baru dan daerah-daerah elit lainnya.


(38)

4.1.6. Kebudayaan Minangkabau

Menurut legenda Minangkabau yang diberitakan dalam tambo, nama Minangkabau berasal dari peristiwa adu kerbau. Dalam legenda diceritakan secara turun temurun oleh nenek moyang orang Minangkabau kepada anak cucunya, yaitu pada saat menghadapi tentara Jawa yaitu dengan mengadakan adu kerbau. Jika kerbau Jawa yang menang maka rakyat Minang akan tunduk pada mereka, tetapi jika kerbau Jawa yang kalah maka mereka harus meninggalkan daerah Minangkabau.

Orang Minangkabau biasanya dikenal dengan ciri-ciri sosial yaitu : 1. Taat beragama Islam

2. Berpegang teguh kepada Sistem Kekeluargaan berdasarkan jenis keturunan

ibu (matrilinial). 3. Suka merantau.

Mahyuddin (2002:11) menjelaskan menurut tambo adat alam Minangkabau, tempat tinggal pertama dari suku bangsa Minangkabau adalah Pariangan Padang Panjang yang terletak di Lereng Gunung Merapi. Oleh karena perkembangan penduduk yang semakin padat, yang tidak mungkin bagi mereka untuk memperluas tanah pertanian, maka sebagian mereka mulai mencari tempat tinggal yang baru, yang memungkinkan mereka dapat hidup. Mereka mulai berpindah ke lereng-lereng dan lembah Gunung Singgalang dan Sago.

Jalur perhubungan pada saat itu sangat sulit, maka terjadilah perpisahan antara rombongan dengan rombongan lain secara fisik dan rohaniah. Keadaan inilah yang menimbulkan kesatuan geografis, politis, sosial baru yang dinamakan demgan luhak.


(39)

Ada tiga luhak yang melilit Gunung Merapi yang disebut dengan Luhak Nan Tigo. Luhak Nan Tigo ini juga dikenal sebagai wilayah inti Minangkabau yang disebut daerah darek. Selain dari Luhak Nan Tigo itu wilayah Minangkabau disebut dengan daerah rantau.

Luhak berasal dari kata luak, luak dapat berarti kurang atau sumur kecil. Dari arti kata luak ini, menunjukkan daerah luhak merupakan daerah yang bergunung-gunung. Di Luhak Nan Tigo inilah nenek moyang masyarakat Minangkabau berkembang dan mulai turut serta membentuk adat dan limbago atau lembaga. Dari luhak nan tigo inilah bermulanya ekspansi ke daerah-daerah di sekitarnya. Hasil dari ekspansi ini menghasilkan daerah rantau. Oleh karena itu daerah rantau adalah daerah yang terletak di sekitar daerah inti. Dengan kata lain daerah rantau juga merupakan daerah pinggiran atau pesisir.

Mahyuddin (2002:11) menjelaskan, Luhak Nan Tigo yang menjadi inti alam Minangkabau merupakan perwujudan dari tiga luhak yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Koto. Luhak Tanah Datar terletak di lereng dan lembah kaki gunung merapi, Singgalang dan Tandikat. Luhak tanah datar adalah Luhak Nan Tuo atau luhak tertua, yang terletak disekitar daerah Batu Sangkar. Luhak Agam terletak sekitar Gunung Singgalang dan Gunung Merapi. Luhak Agam juga sering disebut dengan luhak nan tangah atau luhak yang tengah. Luhak ini terletak di sekitar daerah Bukuittinggi. Luhak lima puluh koto disebut juga dengan luhak nan mudo atau luhak yang termuda. Luhak ini terletak di sekitar daerah Payakumbuh. Dapat dilihat bahwa ketiga luhak ini terletak di kaki-kaki gunung, dipunggung jajaran


(40)

pegunungan Bukit Barisan yang membujur dari ujung Utara pulau Sumatera sampai ujung Selatan dengan ketinggian rata-rata 1000-3000 m di atas permukaan laut.

Dari ketiga luhak ini berhulu beberapa sungai yang mengalir dan bermuara di pantai Timur dan pantai Barat Sumatera. Dari Luhak Lima Puluh Koto berhulu Sungai Siak, Sungai Kampar dan Sungai Sinamar atau Sungai Indragiri. Dari Luhak Tanah Datar berhulu Sungai Kiantan dan Sungai Batanghari. Semua sungai ini bermuara ke pantai Timur. Sedangkan ke Pantai Barat mengalir Sungai Batang Masang dan Batang Antokan dari luhak Agam.

Wilayah Luhak Nan Tigo terletak di daerah yang relatif cukup subur mengakibatkan sebagian besar masyarakatnya bergerak dalam lapangan pertanian untuk memenuhi kehidupannya. Selain menanam padi sebagai makanan utama, sampai pada awal abad ke-19 hasil utama Luhak Nan Tigo adalah kopi dan lada. Hasil bumi tersebut diperdagangkan oleh saudagar-saudagar Minangkabau. Rute perdagangan mereka adalah pantai Timur. Hal ini bisa berkembang karena tersedia sarana transportasi sungai yang memudahkan gerak perpindahan.

Daerah rantau terletak di sekeliling Luhak Nan Tigo, karena Luhak Nan Tigo terletak di daratan tinggi di bagian tengah pulau Sumatera, serta dipengaruhi oleh kondisi alam seperti tersedianya sarana transportasi aliran sungai. Daerah rantau mengandung dua makna, pertama daerah baru yang dibuka oleh masyarakat Minangkabau dari tiga luhak yang disebabkan oleh pertambahan penduduk dan kepentingan ekonomi. Kedua, daerah yang pernah menjadi bawahan Kerajaan Pagaruyung.


(41)

4.1.7. Sistem Kekerabatan

Koentjaraningrat (1992:132) menjelaskan, tiap individu yang hidup dalam suatu masyarakat secara biologis dapat menyebut kerabat semua orang sesamanya yang mempunyai hubungan “darah” atau genes melalui ibu maupun ayahnya. Dipandang secara biologis, artinya dipandang dari sudut hubungan genes saja, jumlah kerabat dari seseorang individu itu amat besar. Dalam kenyataan tidak ada orang yang dapat mengetahui, semua orang sesamanya yang secara biologis merupakan kaum kerabatnya. Dengan demikian prinsip keturunan itu juga mempunyai fungsi sebagai prinsip untuk menentukan keanggotaan dalam kelompok-kelompok kekerabatan yang bersifat lineal misalnya pada masyarakat Minangkabau.

Sistem istilah kekerabatan itu mempunyai sangkut paut yang erat dengan sistem kekerabatan dalam masyarakat. Batas hubungan kekerabatan seringkali juga amat berbeda dengan batas pengetahuan tentang kerabat dan dengan batas pergaulan kekerabatan. Hubungan kekerabatan menghubungkan sejumlah kerabat yang bersama-sama memegang suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak disini misalnya hak untuk menempati suatu kedudukan, sedangkan kewajiban yaitu dengan melakukan aktivitas produktif bersama.


(42)

4.2. Interpretasi Data

4.2.1. Sejarah Munculnya Rumah Makan Minang

Sejarah munculnya rumah makan Minang yang secara tradisional lebih dikenal dengan sebutan “lapau”. Pada mulanya rumah makan minang ini bukanlah berbentuk usaha dalam pengertian untung dan rugi saja. Di desa-desa yang jarak antara satu dengan lainnya cukup jauh kita sering melihat adanya “lapau” nasi atau rumah makan Minang. Begitu juga di pinggir jalan yang kemungkinan besar para pejalan kaki atau pengemudi membutuhkan istirahat dan makan.

“Lapau” atau kedai nasi didirikan dengan dua segi pelayanan. Orang-orang yang menyinggahi kedai nasi boleh minta nasi dengan lauk-pauknya bila membutuhkan makan, atau juga sekedar beristirahat di “lapau” atau di kedai nasi itu, dan kemudian melanjutkan perjalanannya. Bila kebetulan kemalaman, para pengunjung rumah makan ini bisa dengan gratis bermalam di rumah makan tersebut. Karena itu lapau nasi menyediakan sebagian ruangannya untuk tempat tidur, yang dikenal dengan balai-balai atau bangku-bangku yang mampu memuat belasan orang.

Dari kenyataan ini dapat kita ambil suatu pengertian bahwa lapau tidak hanya menjual nasi untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga memberikan pertolongan bagi orang yang membutuhkannya. Bagi penduduk desa atau kawasan mana “lapau” itu berdiri, lapau nasi juga dijadikan tempat berbincang-bincang sambil minum kopi di sore hari. Berbagai pembicaraan dan percakapan dapat pula dilakukan di “lapau”. Dalam keadaan demikian “lapau” dapat pula menjadi pusat informasi di desa.


(43)

“Lapau” atau rumah makan sebagai pusat informasi, selain karena tempatnya yang strategis, sekarang dilengkapi pula oleh media massa seperti surat kabar atau selebaran-selebaran iklan. Dengan demikian bahan pembicaraan dan informasi semakin meluas.

Disegi lain, “lapau” juga merupakan usaha keluarga yang menjadi sampingan atau juga bahkan menjadi pekerjaan utama antara suami dan istri. Jika antara suami dan istri yang ada di desa turun ke sawah, maka dengan demikian usaha lapau juga bisa dikelola oleh anggota keluarga sendiri. Dan dalam perkembangannya rumah makan minang tetap saja mengambil karyawan dari kalangan keluarga sendiri, orang sesuku atau sedaerah.

Dalam perkembangan berikutnya, lapau nasi yang menyediakan tempat tidur bagi pengunjung selain di desa-desa yang melayani pedagang keliling, kini berkembang pula di pinggir jalan raya antar daerah antar propinsi misalnya rute Padang-Medan. Selain itu juga biasanya tersedia tempat sembahyang dan WC yang dilengkapi dengan air bersih.

4.2.2. Sistem Kekeluargaan Pada Pengelolaan Rumah Makan Minang

Kekeluargaan adalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah, keluarga, salah satu hal yang pertama kali harus diperhatikan mengenai kekeluargaan ialah bahwa ini merupakan suatu sistem hubungan-hubungan.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Radchiffe Brown di dalam buku Mittchell, 1984 mengatakan bahwa satu dugaan dapat dibuat apabila kita berbicara tentang


(44)

sistem-sistem kekeluargaan, yaitu bahwa ada hubungan yang saling ketergantungan dan kompleks antara anggota-anggotanya.

Karakteristik sistem kekeluargaan yang dapat kita lihat pada pengelolaan Rumah Makan Minang yang ada di wilayah Kota Matsum IV adalah bahwa anggota keluarga memiliki keterlibatan khusus dalam suatu usaha rumah makan, seperti ada yang merekrut suami atau istri, anak dan keponakan, tetapi ada juga yang merekrut pekerja dari luar keluarga, selain itu masyarakat Minang juga memiliki sikap saling mengangkat, gotong royong diantara pemilik dengan pekerjanya, hal ini merupakan ciri “Komunalisme” masyarakat Minang yang terletak pada kuatnya ikatan kekerabatan ataupun kesukuan, dimana pada pengelolaan rumah makan Minang mereka biasanya merekrut pekerja dari kampung halaman sendiri atau seasal sedaerah.

Karakteristik lainnya yaitu besarnya rasa kepercayaan pekerja dalam bekerja dengan diberikannya kesadaran seolah-olah pekerjaan itu adalah untuk dirinya sendiri, contoh lainnya yang dipaparkan oleh para informan peneliti mengenai karakteristik sistem kekeluargaan pada rumah makan Minang seperti adanya kerja sama yang baik sebagai sebuah tim tanpa memilih-milih pekerjaan yang ada dengan saling bantu membantu misalnya seperti dikatakan oleh Pak Syafri :

“Biasanya para pekerja yang bekerja di rumah Makan Minang ini, bekerja tanpa diberi aba-aba, dan jika ada pekerjaan yang belum sempat diselesaikan oleh pekerja maka pekerja lain atau saya sebagai pemilik bisa saja mengambil alih pekerjaan karena adanya rasa kegotong royongan dan musyawarah di dalam mengelola Rumah Makan Minang, dan biasanya pekerja yang bekerjasama tanpa terikat hanya pada satu jenis pekerjaan saja.”


(45)

Rumah Makan Minang dalam hal usaha keluarga memiliki karakteristik dengan kepemilikan atau keterlibatan dari dua orang atau lebih anggota keluarga yang sama dalam kehidupan dan fungsi bisnisnya. Biasanya usaha keluarga berukuran kecil dikarenakan pertimbangan keluarga menjadi hal yang penting. Seperti contohnya dalam restoran kecil, seorang istri / suami dapat bekerja sebagai pemilik sementara anak-anak mereka dapat bekerja di dapur atau sebagai pelayan (Longenecker, 2001:34).

Sikap saling gotong royong disini dapat diartikan sebagai suatu sistem pengerahan tenaga seperti bersifat usaha kecil dan terbatas. Konsep nilai gotong royong merupakan nilai-nilai budaya mengenai dasar hakekat hubungan manusia dengan sesamanya (Koentjaraningrat, 1983).

Proses musyawarah berdasarkan sistem kekeluargaan antara pemilik dan pekerja apabila terdapat suatu kendala di dalam mengelola rumah makan yaitu rata-rata informan menjawab yaitu dilakukan dengan cara tukar pikiran, musyawarah dan berdiskusi, selain itu ada juga yang menjawab yaitu dengan memberikan pengarahan dan nasehat-nasehat demi kelancaran rumah makan yang kemungkinan bisa saja dilakukan seminggu sekali karena mereka ada yang tinggal serumah, atau pekerja juga boleh menyampaikan keluhan dan kritik terhadap hasil dan cara kerja

Menurut para pekerja yang peneliti wawancarai mengatakan bahwa sistem kekeluargaan yang ada pada pengelolaan rumah makan Minang di tempat mereka bekerja menurut mereka sangat baik karena adanya rasa “badunsanak” atau bersaudara, adanya gotong royong dan kerjasama yang baik antara pemilik dan pekerja. Dengan adanya sistem kekeluargaan yang terdapat di tempat mereka bekerja


(46)

maka mereka merasa saling memiliki dan semakin dekat dengan pemilik rumah makan tanpa ada perbedaan status.

Kata “Badunsanak” dalam bahasa Indonesia adalah bersahabat atau berkerabat. Terciptanya rasa senasib sepenanggungan di antara kelompok di dalam suatu kegiatan usaha yaitu dengan memiliki rasa kebersamaan, rasa kekeluargaan, saling membelajarkan, saling terbuka terhadap pembaharuan dan perubahan, saling percaya, seiya sekata, saling menyadari kelebihan dan kekurangandan saling menguntungkan. Dalam berkerabat tidak ada rasa saling curiga, keberhasilan anggota keluarga juga merupakan keberhasilan dari keluarga yang dapat membawa kebanggaan keluarga (Jamaris, 1996 : 84).

Sistem kekerabatan atau kekeluargaan dikatakan sebagai unsur pengikat di dalam suatu hubungan kerja dikarenakan beberapa hal yaitu tidak adanya perbedaan status antara pemilik dan pekerja, karena pekerja merasa memiliki status yang disamakan, pekerja juga dianggap sebagai patner atau kawan kerja dan bukannya sebagai pegawai, dan adanya rasa saling memiliki . Dengan adanya sistem kekeluargaan di Rumah Makan ini maka hubungan antara pemilik dan pekerja semakin dekat secara kekeluargaan seperti yang diungkapkan salah satu informan yaitu pak Budi.

“Sistem kekerabatan memang menjadi unsur pengikat dalam hubungan kerja karena menurut saya dengan adanya rasa kekeluargaan itu maka antara pemilik dan pekerja tidak ada perbedaan status karena semua dianggap sama, selain itu juga terdapat saling memiliki satu sama lainnya”.

Kerukunan merupakan hal yang amat penting dalam suatu masyarakat, dalam hal ini menuntut orang untuk mencegah segala tindakan yang bisa menimbulkan


(47)

konflik terbuka. Suatu keadaan sosial disebut rukun apabila semua pihak dalam kelompok berdamai satu sama lain, keadaan rukun hanya dapat dicapai kalau masyarakat berperilaku atau bertindak sesuai dengan norma yang berlaku.

Hubungan yang terjalin antara pemilik dan pekerja yang masih memiliki ikatan kekerabatan dalam pengelolaan rumah makan Minang yaitu memiliki hubungan yang semakin dekat dan cukup baik karena mereka berusaha untuk menjaga kerukunan dan ketentraman, meskipun sesekali tetap terjadi permasalahan diantara mereka yang disebabkan hal-hal tertentu yang kemudian dapat dibicarakan dan dimusyawarahkan bersama antara pemilik dengan pekerja rumah makan.

Sedangkan hubungan yang terjalin antara pemilik dan pekerja yang tidak memiliki ikatan kekerabatan dalam pengelolaan rumah makan Minang yaitu biasanya pemilik menganggap pekerja itu sebagai bagian dari anggota keluarga sendiri tanpa membeda-bedakan status karena semua disamakan sehingga pekerja merasa betah dan nyaman bekerja di rumah makan Minang dan setiap ada masalah dapat dibicarakan bersama.

Mata pencaharian adalah merupakan sumber utama bagi setiap masyarakat untuk dapat mempertahankan hidupnya dan menjadi manusia yang lebih sempurna. Dari beberapa informan yang saya wawancarai mengatakan bahwa usaha Rumah Makan Minang ini dijadikan sebagai mata pencaharian utama keluarga mereka seperti yang dikatakan oleh bu Zurmi .

“Saya, suami dan anak-anak saya menjadikan usaha Rumah Makan Minang ini menjadi sumber mata pencaharian utama keluarga kami, karena hanya usaha inilah yang mampu kami kerjakan”


(48)

Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa usaha rumah makan minang hanya sebagai usaha sampingan keluarga saja seperti yang dikatakan oleh bu Marnita :

“ Sebenarnya usaha Rumah Makan Minang ini adalah usaha tambahan keluarga kami karena suami saya juga mempunyai usaha sendiri yaitu membuka bengkel sendiri.”

Struktur organisasi yang ada pada pengelolaan Rumah Makan Minang adalah bahwa di dalam pengelolaan ada yang memiliki pembagian tugas seperti salah satu informan peneliti yang mengatakan bahwa pekerjanya ada yang bertugas memasak di dapur, mencuci piring dan ada juga yang melayani, tapi walaupun ada pembagian tugas tidak menutup kemungkinan jika pada saat ramai mereka semua dapat terjun langsung tanpa fokus pada satu pekerjaan saja, tetapi ada juga beberapa informan yang mengatakan tidak terdapat jenjang penugasan secara jelas dari atas ke bawah di rumah makannya, karena pembagian tugasnya longgar dan terdapat sikap saling kerjasama dan saling bantu.

Bentuk-bentuk kerjasama yang ada pada pengelolaan rumah makan minang seperti pekerja mengerjakan pekerjaan yang ada tanpa harus diperintahkan terlebih dahulu, selain itu jika ada pekerjaan yang kosong seperti dalam melayani pembeli, mencuci piring, maka langsung saja dibantu dan digantikan pekerja lainnya dan semuanya saling mendukung satu sama lain.

Pengawasan merupakan salah satu bentuk dari perhatian pemilik terhadap para pekerjanya agar setiap pekerjaan berjalan lancar. Cara melakukan pengawasan kepada para pekerja rumah makan Minang yaitu hanya dilakukan sewaktu-waktu, karena masing-masing saling mengontrol dan saling mengingatkan dan memberikan


(49)

kepercayaan kepada masing pekerja dalam mengerjakan tugasnya masing-masing, seperti pendapat dari informan yang bernama pak Syafri.

“Pengawasan di Rumah Makan Minang saya sangat longgar, tetapi tetap diberi kepercayaan terhadap tugasnya masing-masing”.

Di dalam Teori Modernisasi Wong mengatakan bahwa satu kepercayaan antara anggota keluarga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditemukan diantara rekanan usaha mereka yang tidak kenal secara baik satu sama lain.

Terkadang di dalam pengelolaan rumah makan Minang terdapat perselisihan pada pekerja dari keluarga dan pekerja dari luar keluarga yang dapat menimbulkan persaingan. Maka cara untuk mempertahankan usaha rumah makan ini agar tetap utuh dan tidak mengalami kebangkrutan dan perselisihan yaitu dengan cara dikerjakan dengan mengutamakan kejujuran, dikelola dengan baik dan profesional serta juga memperhatikan mutu masakan serta memperhitungkan untung dan rugi yang didapatkan.

4.2.2.1. Hubungan Kerja

Para pelaku usaha rumah makan baik pemilik maupun pekerja menjalin hubungan yang baik satu sama lain dikarenakan adanya hubungan diantara mereka yang didasari oleh hubungan kekeluargaan yang akan semakin memperkuat untuk dapat mempertahankan hubungan kerja yang ada diantara mereka. Kebanyakan pemilik dan pekerja rumah makan memiliki ikatan kekerabatan, baik yang tergolong


(50)

kerabat dekat maupun kerabat jauh, namun ada pula pekerja yang bukan merupakan kerabat namun sudah dianggap sebagai keluarga sendiri oleh pemilik rumah makan.

Hubungan kerja antara pemilik usaha dengan pekerja rumah makan Minang memiliki ikatan kekerabatan yang tidak hanya merupakan hubungan kerja saja yang didasari oleh adanya kepentingan-kepentingan bisnis semata, sehingga dalam kehidupan mereka tidak ada batasan-batasan tertentu yang dibuat kecuali dalam pekerjaan. Sebagian pemilik ada yang menganggap pekerja yang bekerja bersamanya sebagai anggota keluarga sendiri meskipun tidak memiliki ikatan kekeluargaan yang mendasarinya, dimana pekerja yang masih muda dianggap sebagai saudara sendiri jika ia telah lama bekerja dan tidak pernah membuat masalah dengan pemilik.

Selain itu hubungan yang terbentuk antara pemilik dan pekerja merupakan hubungan patron-klien, dimana hubungan ini diciptakan karena ingin memiliki relasi dengan orang atau pihak lain. Dalam hubungan seperti ini terkandung kepentingan-kepentingan tertentu misalnya ketergantungan ekonomi pekerja terhadap pemilik. Hubungan antara pemilik dan pekerja merupakan bentuk hubungan yang saling menguntungkan dan saling tergantung satu sama lainnya, pengusaha membutuhkan pekerja untuk menjalankan kelangsungan rumah makan untuk memperoleh keuntungan, sedangkan pekerja membutuhkan pekerjaan untuk upah atau gaji sebagai jaminan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pola hubungan kerja yang terjalin secara kekeluargaan yang tercipta antara pemilik usaha dengan para pekerjanya di dalam mengelola rumah makan minang biasanya dengan membina hubungan baik yaitu dengan sikap saling percaya satu dengan yang lainnya serta mau bekerjasama secara bersama sama. Adanya rasa


(51)

keadilan, kebebasan, dan keterbukaan yang diberikan pemilik rumah makan kepada pekerjanya sehingga hubungan kerja semakin baik, harmonis dan semakin berjalan dengan lancar tanpa ada dominasi pemilik kepada pekerjanya

Para informan juga menjelaskan bahwa adanya rasa kepercayaan yang timbul di dalam mengelola rumah makan minang antara pemilik dengan pekerja, contoh dari kepercayaan misalnya pekerja dipercaya untuk memegang laci atau kotak uang, serta memiliki sikap saling jujur dan mengerti, contoh lain misalnya jika ada satu piring pecah, maka akan menjadi beban semuanya, sehingga mereka saling mengingatkan dan memiliki budaya kontrol pada diri sendiri yang semakin kuat.

Fukuyama memberikan defenisi kepercayaan atau trust adalah merupakan keteraturan, kejujuran dan perilaku yang muncul dari satu komunitas yang didasarkan pada norma yang dianut bersama oleh anggota masyarakat. Dengan adanya kepercayaan, maka orang-orang bisa bekerjasama secara efektif. Hal ini dikarenakan mereka lebih mementingkan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu.

Jika terdapat suatu kendala atau masalah biasanya pemilik dan pekerja selalu membicarakannya secara bersama-sama agar dapat dicarikan jalan keluar yang terbaik. Seperti yang dapat kita lihat dari teori Wong di dalam buku (Suwarsono,1991:60) yaitu adanya mode pemilikan keluarga yang membantu keberhasilan usaha. Jika terjadi perselisihan keluarga, bentuk akhir yang dipilihnya lebih cenderung pada pembagian keuntungan dibandingkan dengan perpecahan fisik antar hubungan keluarga.


(52)

Pembagian tugas yang dilakukan di masing-masing rumah makan berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa di rumah makannya terdapat pembagian tugas seperti yang dikatakan oleh Bu Marnita :

“ Pembagian tugas yang ada di kedai nasi saya ini beragam, ada yang bertugas sebagai tukang masak, ada yang belanja ke pajak, ada yang menghidang, dan ada juga yang mencuci piring dan semuanya telah diatur dengan baik.

Sedangkan informan lainnya ada juga yang mengatakan bahwa di Rumah makan milik mereka sama sekali tidak terdapat pembagian tugas karena semuanya dilakukan secara bersama tanpa memilih-milih pekerjaan dari yang bagian dapur hingga yang menghidang semuanya turut serta dalam mengerjakannya.

Di beberapa rumah makan yang sudah saya wawancarai ternyata tidak terdapat perjanjian kerja sebelum mereka mempekerjakan pekerjanya. Seperti pernyataan dari Pak Budi yang mengatakan :

“ Di rumah makan saya ini biasanya memang tidak pernah ada perjanjian apapun, kalaupun ada itu hanyalah berbentuk lisan dan bukan berbentuk tulisan atau tanpa hitam di atas putih, karena menurut saya semua itu tidaklah penting”.

Kegiatan usaha rumah makan Minang dilakukan tanpa adanya jaminan surat perjanjian, kontrak hukum maupun secarik kertaspun. Mereka melakukannya berdasarkan rasa saling percaya, karena mereka berasal dari kampung halaman yang sama, berbahasa dan berdialek yang sama dan memiliki kesamaan identitas dasar untuk saling mempercayai satu sama lain antara pemilik dan pekerja.

Tidak adanya syarat untuk dapat bekerja di rumah makan Minang ini menjadikan salah satu faktor penarik bagi angkatan kerja untuk memasuki sektor ini, dan akhirnya tingkat pengangguran yang disebabkan faktor rendahnya tingkat pendidikan calon pekerja melalui sektor ini dapat dikurangi.


(53)

Kesepakatan jam kerja yang dimiliki rumah makan tipe sederhana ini berlaku lebih fleksibel, tidaklah sama dengan jam kerja yang ditetapkan pada restoran besar, dimana kalau restoran besar biasanya memiliki penetapan jam kerja kepada pekerjanya seperti mempergunakan sistem “sift” kepada pekerjanya. Sedangkan pada rumah Rumah Makan tipe sederhana biasanya jam kerja tanpa penetapan waktu dan dibicarakan secara bersama antara pemilik rumah makan dan pekerja yang biasanya dimulai selama jam buka rumah makan hingga sampai jam tutup atau sampai tidak ada lagi makanan yang dapat dijual atau telah habis terjual.

Usaha Rumah Makan tipe sederhana tidaklah sama dengan Rumah Makan tipe Besar yang memiliki struktur dan peraturan tentang sistem kerja misalnya dalam penetapan jam kerja. Dalam kegiatan usaha Rumah Makan tipe sederhana ini para pemilik usaha tidak pernah menetapkan waktu yang harus dijalani oleh pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya dalam suatu hari, karena bagi mereka yang terpenting adalah pekerja dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Rasa kepercayaan yang timbul dalam hubungan kerja antara pemilik usaha dengan pekerja adalah seperti yang diungkapkan oleh bu Dahlia .

“Kepercayaan yang ada biasanya merupakan sikap saling memiliki antara pemilik usaha dengan pekerja, serta adanya kepercayaan dalam hal mengelola keuangan serta tidak adanya perjanjian kerja sebelum memulai kerja.”

Masyarakat terikat satu sama lain berdasarkan relasi sosial yaitu lewat ikatan kekeluargaan, dekatnya letak geografis, serta adanya rasa kepercayaan yang merupakan budaya dari usaha keluarga dan rasa gotong royong yang merupakan manifes dari solidaritas yang memiliki rasa bersatu.


(54)

Terkadang tak jarang pula timbul konflik berupa percekcokan , selain itu juga terdapat persaingan di dalam usaha keluarga. Masalah-masalah ini cenderung menimbulkan persaingan sehingga mempengaruhi pekerja yang merupakan anggota keluarga maupun pekerja yang bukan anggota keluarga. Persaingan merupakan hal yang wajar terjadi untuk mencapai tujuan dalam kegiatan ekonomi, namun terkadang seringkali persaingan ini menjadi hal yang tidak wajar yang akhirnya menimbulkan konflik seperti persaingan antar pekerja.

Kompetisi atau persaingan merupakan proses sosial yang mengandung perjuangan untuk memperebutkan tujuan-tujuan tertentu yang sifatnya terbatas, yang semata-mata bermanfaat untuk mempertahankan suatu kelestarian hidup.

Banyak keputusan yang mempengaruhi usaha keluarga, misalnya kinerja orangtua sebagai bos dan anak sebagai bawahan. Evaluasi keberadaan hubungan keluarga dapat menambah tekanan emosional yang semakin mempersulit proses pengelolaan rumah makan.

Antara pekerja dengan pemilik usaha jarang terjadi permasalahan yang disebabkan oleh masalah penetapan upah, karena permasalahan antara mereka muncul lebih dikarenakan pekerja merasa tidak puas dengan tindakan pemilik terhadap pekerja. Jika terjadi ketidakpuasan dan permasalahan antara pekerja dan pemilik usaha, maka biasanya lebih memilih untuk berhenti dan mencari peluang pekerjaan di tempat lain sehingga hal tersebut tidak akan mengganggu kelangsungan kegiatan usaha.

Perhatian yang tidak sama antara pekerja yang merupakan anggota keluarga dan pekerja yang bukan merupakan anggota keluarga juga dapat menimbulkan


(55)

konflik antar pekerja tersebut. Selain itu juga tidak adanya rasa keadilan, kebebasan dan keterbukaan yang diberikan pemilik rumah makan kepada para pekerjanya dapat pula memicu konflik. Hubungan komunikasi dan interaksi yang terjalin diantara keduanya kurang baik sehingga dapat mengakibatkan terganggunya kegiatan usaha.

Dominasi-dominasi yang dilakukan pemilik kepada pekerja dapat pula memicu konflik seperti misalnya, adanya tekanan baik fisik maupun mental, tekanan fisik seperti pekerja diharuskan bekerja dengan waktu jam kerja yang cukup panjang lebih kurang 14 jam per hari sehingga pekerja merasa tertekan. Sedangkan tekanan mental yaitu pemilik merasa kurang puas dengan hasil kerja dari pekerja, ini dipengaruhi pada saat timbul kejenuhan dari pekerja. Atau mungkin saja pekerja sedang mengalami masalah dengan keluarga.

Untuk dapat menangani konflik baik antara pemilik dengan pekerja maupun konflik antar pekerja dengan pekerja, maka diperlukan suatu pemecahan masalah seperti misalnya permasalahan dapat dibicarakan secara kekeluargaan yaitu dengan pemeliharaan nilai dan norma-norma yang tertanam dalam diri setiap individu, dimana nilai-nilai diperoleh melalui lembaga pendidikan dan agama sehingga keseimbangan dapat terpelihara.

Bentuk sikap saling tolong menolong dan gotong royong yang ada dalam mengelola rumah makan minang beragam misalnya jika ada pekerjaan yang kosong maka semuanya akan ikut terlibat dalam membantu dan tidak hanya fokus pada satu pekerjaan tertentu saja karena semuanya dikerjakan secara bersama-sama.

Pekerja yang bekerja pada rumah makan yang sedang saya teliti biasanya disediakan tempat tinggal atau penginapan seperti salah satu informan saya yaitu


(1)

1. Nama : Yenri 2. Umur : 25 tahun 3. Jenis Kelamin : Laki-laki

4. Status : Belum Menikah 5. Daerah Asal : Pauhkamba

6. Alamat : Jln. Utama gg. Johar 7. Pendidikan : SLTP

8. Pekerjaan : Pekerja Rumah Makan 9. Tempat Usaha : Jln. Utama

10.Lama Bekerja : 4 tahun

1. Apa alasan anda sehingga memilih lapangan pekerjaan di rumah makan minang ? Belum mendapatkan pekerjaan lain yang sesuai

2. Dari mana anda mendapatkan informasi sehingga anda dapat bekerja di rumah makan minang ? Dari lingkungan keluarga karena pemilik rumah makan adalah paman sendiri

3. Bagaimana bentuk pelayanan yang anda berikan kepada pembeli atau konsumen ? Berusaha ramah, sopan dan sabar

4. Apakah anda hanya terlibat pada satu jenis pekerjaan saja meskipun sibuk ? Tidak, karena bisa membantu pekerjaan yang lain

5. Menurut anda bagaimana sistem kekeluargaan yang ada pada pengelolaan rumah makan minang tempat anda bekerja ? Musyawarah dan gotong royong, kerjasama yang baik

6. Dengan sistem kekeluargaan di rumah makan ini, apakah anda semakin dekat secara kekeluargaan dengan pemilik dan pekerja lainnya ? Ya, saya semakin dekat

7. Sebagai pekerja, apakah anda direkrut oleh pemilik karena adanya suatu hubungan keluarga ? Ya, pemilik rumah makan adalah paman sendiri

8. Apakah ada perbedaan upah atau gaji yang sesuai dengan pekerjaannya masing-masing ? Ada, tergantung besarnya bobot dan tanggung jawab


(2)

dengan sistem “babagi” atau berbagi keuntungan sesuai dengan persentase yang berimbang / sesuai dengan standar bagi hasil

10.Bila terjadi pemecatan kepada anda, apakah diselesaikan dengan jalan musyawarah atau dengan jalan lain ? Biasanya disampaikan dengan musyawarah kekeluargaan, dengan menjelaskan alasan yang dapat diterima 11.Adakah suatu kesepakatan apabila anda ingin berhenti untuk sementara waktu

dalam pekerjaan anda di rumah makan minang ? Biasanya tidak ada kesepakatan berhenti sementara, kalaupun berhenti ya total berhenti

12.Pernahkah anda mendapatkan tawaran dari pemilik untuk membuka usaha yang sama dengan bantuan modal dari pemilik tempat anda bekerja ? Pernah, tapi belum punya keberanian untuk mencobanya

13.Menurut anda sebagai pekerja adakah rasa keadilan, kebebasan dan keterbukaan yang diberikan pemilik kepada anda ? Ada, tetapi tentunya pada batas-batas tertentu

14.Adakah dominasi yang dilakukan pemilik rumah makan kepada anda sebagai seorang pekerja ? Ada

15.Dominasi seperti apa yang biasanya dilakukan pemilik rumah makan kepada anda sebagai seorang pekerja ? Masuk kerja dan jam kerja sesuai dengan kesepakatan walaupun saya adalah keponakan pemilik

16.Menurut anda adakah rasa kepercayaan yang timbul di dalam mengelola rumah makan minang antara pemilik dan pekerja ? Ada, untuk memupuk kebersamaan harus ada rasa saling percaya antara pemilik dan pekerja

17.Coba anda berikan contoh seperti apa bentuk kepercayaan yang biasanya diberikan pemilik usaha kepada anda sebagai pekerja ? Seperti kepercayaan dalam mengatur dan menata makanan, dan kepercayaan dalam menentukan variasi menu makanan


(3)

1. Nama : Niar 2. Umur : 37 tahun 3. Jenis Kelamin : Perempuan 4. Status : Sudah Menikah 5. Daerah Asal : Bukit Tinggi

6. Alamat : Jln. Utama Lingkungan 14 7. Pendidikan : SLTP

8. Pekerjaan : Pekerja Rumah Makan 9. Tempat Usaha : Jln. Halat

10.Lama Bekerja : 5 tahun

1. Apa alasan anda sehingga memilih lapangan pekerjaan di rumah makan minang ? Karena ingin membantu suami mengelola rumah makan secara bersama-sama

2. Dari mana anda mendapatkan informasi sehingga anda dapat bekerja di rumah makan minang ? Dari suami karena ini adalah usaha keluarga kami

3. Bagaimana bentuk pelayanan yang anda berikan kepada pembeli atau konsumen ? Pelayanan yang memuaskan seperti ramah, bersikap terbuka, jujur, bersih dan lain

4. Apakah anda hanya terlibat pada satu jenis pekerjaan saja meskipun sibuk ? Tidak, karena saya mengerjakan semua pekerjaan yang dapat saya lakukan 5. Menurut anda bagaimana sistem kekeluargaan yang ada pada pengelolaan

rumah makan minang tempat anda bekerja ? Adanya rasa percaya, kerjasama, keterbukaan dan saling memiliki tanpa membedakan status

6. Dengan sistem kekeluargaan di rumah makan ini, apakah anda semakin dekat secara kekeluargaan dengan pemilik dan pekerja lainnya ? Ya, tentu semakin dekat

7. Sebagai pekerja, apakah anda direkrut oleh pemilik karena adanya suatu hubungan keluarga ? Ya, karena saya adalah istri dari pemilik rumah makan 8. Apakah ada perbedaan upah atau gaji yang sesuai dengan pekerjaannya


(4)

9. Sebagai pekerja menurut anda bagaimana pengupahan yang sesuai dengan sistem kekeluargaan pada rumah makan minang ? Pengupahan yang sesuai yaitu pembagian keuntungan yang bersifat berbagi

10.Bila terjadi pemecatan kepada anda, apakah diselesaikan dengan jalan musyawarah atau dengan jalan lain ? Iya, pasti diselesaikan dengan musyawarah

11.Adakah suatu kesepakatan apabila anda ingin berhenti untuk sementara waktu dalam pekerjaan anda di rumah makan minang ? Kesepakatan selalu ada karena pemilik memberikan hak kebebasan kepada para pekerjanya

12.Pernahkah anda mendapatkan tawaran dari pemilik untuk membuka usaha yang sama dengan bantuan modal dari pemilik tempat anda bekerja ? Tidak karena modal yang dimiliki suami hanya sedikit, sehingga belum bisa membuka usaha baru

13.Menurut anda sebagai pekerja adakah rasa keadilan, kebebasan dan keterbukaan yang diberikan pemilik kepada anda ? Tentu ada

14.Adakah dominasi yang dilakukan pemilik rumah makan kepada anda sebagai seorang pekerja ? Tidak pernah ada dominasi

15.Dominasi seperti apa yang biasanya dilakukan pemilik rumah makan kepada anda sebagai seorang pekerja ?

16.Menurut anda adakah rasa kepercayaan yang timbul di dalam mengelola rumah makan minang antara pemilik dan pekerja ? Kepercayaan selalu ada 17.Coba anda berikan contoh seperti apa bentuk kepercayaan yang biasanya

diberikan pemilik usaha kepada anda sebagai pekerja ? Kepercayaan seperti saya dipercaya suami yang merupakan pemilik untuk mengelola ketika suami sedang tidak berada di rumah makan, selain itu saya dipercaya penuh untuk memegang uang yang ada di laci.


(5)

1. Nama : Era 2. Umur : 30 tahun 3. Jenis Kelamin : Perempuan 4. Status : Sudah Menikah 5. Daerah Asal : Bukit Tinggi 6. Alamat : Jln. Ciknoni 7. Pendidikan : SMA

8. Pekerjaan : Pekerja Rumah Makan 9. Tempat Usaha : Jln. Amaliun

10.Lama Bekerja : 12 tahun

1. Apa alasan anda sehingga memilih lapangan pekerjaan di rumah makan minang ? Karena alasan ekonomi

2. Dari mana anda mendapatkan informasi sehingga anda dapat bekerja di rumah makan minang ? Saudara, karena pemilik rumah makan adalah sepupu saya sendiri

3. Bagaimana bentuk pelayanan yang anda berikan kepada pembeli atau konsumen ? Pelayanan dengan ramah tamah serta berpenampilan bersih

4. Apakah anda hanya terlibat pada satu jenis pekerjaan saja meskipun sibuk ? Ya, hanya satu pekerjaan saja

5. Menurut anda bagaimana sistem kekeluargaan yang ada pada pengelolaan rumah makan minang tempat anda bekerja ? Adanya sikap saling percaya 6. Dengan sistem kekeluargaan di rumah makan ini, apakah anda semakin dekat

secara kekeluargaan dengan pemilik dan pekerja lainnya ? Ya, saya semakin dekat

7. Sebagai pekerja, apakah anda direkrut oleh pemilik karena adanya suatu hubungan keluarga ? Tentu, karena saya adalah sepupu dari pemilik rumah makan

8. Apakah ada perbedaan upah atau gaji yang sesuai dengan pekerjaannya masing-masing ? Ada perbedaan sesuai dengan pekerjaan


(6)

10.Bila terjadi pemecatan kepada anda, apakah diselesaikan dengan jalan musyawarah atau dengan jalan lain ? Biasanya dengan musyawarah terlebih dulu

11.Adakah suatu kesepakatan apabila anda ingin berhenti untuk sementara waktu dalam pekerjaan anda di rumah makan minang ? Tidak pernah ada kesepakatan

12.Pernahkah anda mendapatkan tawaran dari pemilik untuk membuka usaha yang sama dengan bantuan modal dari pemilik tempat anda bekerja ? Belum ada tawaran untuk membuka usaha baru

13.Menurut anda sebagai pekerja adakah rasa keadilan, kebebasan dan keterbukaan yang diberikan pemilik kepada anda ? Tentu ada

14.Adakah dominasi yang dilakukan pemilik rumah makan kepada anda sebagai seorang pekerja ? Tidak pernah ada dominasi

15.Dominasi seperti apa yang biasanya dilakukan pemilik rumah makan kepada anda sebagai seorang pekerja ?

16.Menurut anda adakah rasa kepercayaan yang timbul di dalam mengelola rumah makan minang antara pemilik dan pekerja ? Rasa kepercayaan selalu ada

17.Coba anda berikan contoh seperti apa bentuk kepercayaan yang biasanya diberikan pemilik usaha kepada anda sebagai pekerja ? Dipercaya mengawasi pekerja lainnya jika pemilik tidak berada di tempat