57
BAB IV ANALISIS TERJEMAHAN AYAT-AYAT HUKUM WARIS
A. Analisis Metode Terjemahan M. Quraish Shihab
Menerjemahkan berarti berkomunikasi, maksudnya apa yang kita terjemahkan harus dapat dimengerti oleh orang-orang yang akan membaca
hasil terjemahan itu. Akan lebih baik lagi kalau para pembaca dapat mengerti dan menikmati hasil terjemahan itu, tanpa merasa bahwa karya tersebut
sebenarnya adalah hasil terjemahan. Untuk menghasilkan terjemahan yang demikian itu tidak mudah. Ada empat unsur yang terlibat dalam proses
terjemahan, yaitu: unsur isi, unsur pembaca, situasi dan kondisi pada saat berita atau massage itu diterima.
Setiap penerjemah perlu mempertimbangkan gaya bahasa dalam konteks penerjemahannya. Namun dalam penerjemahan buku-buku ilmiah,
biasanya para penerjemah tidak terlalu menghadapi kesulitan, sebab gaya bahasa yang dipergunakan pengarang sumbernya formal dan informtif,
sehingga informasi yang terkandung dalam buku itu dapat mudah dialihkan. Sementara penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia telah
banyak kita ketahui. Dengan banyaknya terjemahan yang kita ketahui, tidaklah serta merta terjemahna itu kita terima begitu saja, tanpa mengoreksi
dan menganalisisnya. Pada Bab ini penulis akan menganalisis metode penerjemahan ayat-ayat hukum waris yang terdapat pada Tafsir al-Misbah
karya M. Quraish Shihab mengacu pada dua penekanan pemilihan bahasa,
58
yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran. Artinya analisis yang akan penulis lakukan terhadap ayat-ayat hukum waris ini akan bersandar kepada kedua
penekanan tersebut, berdasarkan metode terjemah yang telah penulis paparkan pada Bab II. Adapun yang menjadi analisis metode terjemahan
adalah yang terdapat dalam surah an-Nisa’. Analisis akan dilakukan dengan cara menyertakan teks asli dan teks
terjemahannya sesuai yang tertulis pada Tafsir al-Misbah, tanpa adanya pengurangan atau pembetulan stuktur formal bahasa. Hal ini bertujuan agar
dapat diketahui dengan jelas analisis yang akan dilakukan pada Tafsir al-Misbah tersebut.
Ayat-ayat tersebut yaitu: Ayat pertama adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]: 7:
”Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabat, dan bagi wanita ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
para kerabat, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”
77
Pada ayat pertama ini terjemahan Shihab termasuk terjemahan yang dikategorikan terjemahan yang baik. hal ini dikarenakan pesan yang
disampaikan oleh teks asli bisa dipahami dengan mudah ketika membaca teks terjemahan. Namun untuk mengetahui metode yang digunakan oleh Quraish
77
M. Quraish Shihab,Tafsir al-Misbah;Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran Jakarta:Lentera Hati, 2000, Cet. 1, h. 335.
59
Shihab dalam menerjemahkan ayat ini, maka akan digunakan dua orientasi teks yaitu teks sumber dan teks sasaran.
Berdasarkan analisis penulis, terjemahan ayat pertama ini berorientasi pada teks sumber, maka terjemahan ayat ini penulis kategorikan sebagai
penerjemahan setia. Ini dapat dilihat dari terjemahan di atas merupakan terjemahan yang sangat setia terhadap teks sumber.
Kesetiaan digambarkan oleh ketaatan penerjemah terhadap aspek tata bahasa teks sumber, seperti urutan-urutan bahasa, bentuk frasa, dan bentuk
kalimat yang diterjemahkan apa adanya. Akibat yang sering muncul dari terjemahan ini adalah hasil terjemahannya menjadi saklek karena penerjemah
memaksakan aturan-aturan tata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan analisis ayat pertama ini bisa dilihat bahwa metode
penerjemahan yang digunakan oleh Shihab adalah metode penerjemahan setia. Artinya Shihab dalam menerjemahkan ayat pertama ini lebih
menekankan kepada teks bahasa sumber bukan teks bahasa sasaran. Ayat kedua adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:8:
”Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim, dan orang miskin, maka berilah mereka sebagian dari harta itu dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang baik”.
78
78
Ibid., h. 336.
60
Pada ayat ini penerjemah masih menekankan terjemahan pada teks sumber. Penerjemah berhasil menyampaikan pesan yang terkandung dalam
teks bahasa sumber tanpa harus mengabaikan teks sumber. Penulis berpendapat terjemahan pada ayat ini masih memakai metode penerjemahan
setia, karena masih berpegang teguh pada stuktur bahasa sumber walaupun tidak seketat pada penerjemahna harfiah.
Jika kita perhatikan dari semua bahasa yang terdapat dalam konteks bahasa sumber di atas, penerjemah telah mencantumkan makna asli dalam
penerjemahannya, meskipun terdapat penyesuian makna dalam bahasa sasaran.
Ayat ketiga adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:11:
“Allah mewasiatkan kamu untuk anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak
itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh setengah. Dan untuk dua orang ibu-bapaknya, bagi masing- masing dari keduanya seperenam dari yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak;
jika ia tidak mempunyai anak dan ia
61
diwarisi oleh ibu-bapaknya saja, maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. pembagian pembagian tersebut sesudah dipenuhi wasiat atau hutangnya. Orang tua kamu dan anak-anak kamu, kamu tidak mengetahui
siapa diantara mereka yang lebih dekat manfaatnya bagi kamu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.
79
Jika dilihat dari keseluruhan pada ayat ini, terjemahan ayat di atas, masih berorientasi pada teks sumber. Penerjemah masih menggunakan
metode penerjemahan setia dengan mereproduksi makna kontekstual, tetapi masih dibatasi oleh stuktur gramatikal.
Ayat keempat adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:12:
”
Dan bagi kamu seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri- isteri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika Isteri-isteri kamu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang mereka tinggalkan sesudah wasiat yang mereka wasiatkan atau dan hutang. Para
isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
79
Ibid., h. 342.
62
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang
kamu buat atau dan sesudah dibayarkan hutang kamu. Jika seseorang lelaki mati, tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, atau
perempuan tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenah
harta. Tetapi jika saudara-saudar seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, dengan tidak memberi mudharat. Itulah
wasiat dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.
80
Metode yang digunakan pada terjemahan ayat di atas, adalah metode penerjemahan setia. Kalimat tersebut diterjemahkan apa adanya oleh
penerjemah. Penerjemah
telah mencantumkan
makna asli
dalam terjemahannya, meskipun terdapat penyesuaian dalam bahasa sasaran. Hal ini
dilakukan agar terjemahan terasa lebih enak dibaca dalam bahasa sasaran. Ayat kelima adalah firman Allah dalam surah an-Nisa [4 ]:33:
”Bagi setiap harta peninggalan yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan orang-orang yang
kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah mereka bagian mereka. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
81
Terjemahan di atas merupakan ragam terjemahan setia. Masih berpegang teguh pada maksud dan tujuan teks sumber sehingga agak kaku
dan terasa asing, dan tidak berkompromi dengan teks sasaran. Terlihat juga masih mereproduksi makna kontekstual, tetapi masih dibatasi oleh stuktur
gramatikalnya.
80
Ibid., h. 347.
81
M. Quraish Shihab,Tafsir al-Misbah;Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran Jakarta:Lentera Hati, 2007, Cet. X, h. 420.
63
Ayat keenam adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:176:
“Mereka meminta fatwa kepadamu. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepada kamu tentang kalalah: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka baginya seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakainya, jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan. Dan jika mereka saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan kepada kamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
82
Pada ayat ini
penerjemah masih tetap menggunakan metode penerjemahan setia. Jika diperhatikan dalam semua kata yang ada dalam
konteks bahasa sumber tersebut, penerjemah telah mencantumkan bahasa asli dalam penerjemahannya, meski terdapat penyesuaian kata dalam bahasa
sasaran. Berdasarkan analisis dari keenam ayat hukum waris tersebut, bisa
dilihat bahwa metode penerjemahan yang digunakan oleh Shihab adalah metode penerjemahan setia. Artinya Shihab dalam menerjemahkan ayat-ayat
hukum waris lebih menekankan kepada teks bahasa sumber bukan teks bahasa sasaran. Terjemahan setia diperlukan untuk menjaga keutuhan makna
82
Ibid., h. 683.
64
bahasa asli. Dengan alasan yang mendasar inilah penerjemah menerjemahkan dengan metode tersebut.
Dari semua uraian di atas tentang terjemahan ayat-ayat al-Qur’an mengenai hukum waris dalam Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab
terlihat jelas bahwa setiap huruf atau kata yang terdapat dalam bahasa sumber tidaklah harus diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa sasaran. Karena
huruf atau kata itu harus dilihat terlebih dahulu apakah dapat diterjemahkan sesuai dengan isi dari bahasa sumber dan untuk menghindari kalimat-kalimat
kaku atau tidak enak dibaca. Hal tersebut menunjukan bahwa setiap makna yang terdapat dalam bahasa sumber harus relevan dalam peletakannya pada
bahasa sasaran. Tetapi yang terpenting adalah isi atau pesan dalam bahasa sumber tidak melenceng dalam penerjemahan ke dalam bahasa sasaran.
B. Analisis Gramatikal Terjemahan M. Quraish Shihab