2.2 Konsep Perencanaan Terhadap Gaya Gempa
2.2.1 Sejarah Penggunaan Gaya Horizontal Akibat adanya Gempa Ketika gempa bumi terjadi tanah akan bergetar dan bangunan akan
bergoyang-goyang. Setelah mengalami sejarah yang panjang, goyangan massa bangunan kemudian dianalogikan sebagai akibat dari adanya beban horizontal
dinamik yang bekerja pada massa bangunan yang bersangkutan. Hal ini seperti yang disajikan pada Gambar 2.1. Prinsip ini sudah diketahui sejak awal abad ke-20
tepatnya setelah gempa San Fransisco USA 1906 dan gempa Messina-Regio Italia 1908.
Pada saat itu efek beban dinamik pada struktur bangunan belum sepenuhnya dikuasai, terutama secara analitik. Suatu komisi yang terdiri para ahli yang bertugas
mempelajari perilaku bangunan gedung tahan gempa yang pada akhirnya menghasilkan dua rekomendasi yang berbeda yaitu bangunan diisolasi terhadap
tanah dengan dukungan roll sementara rekomendasi yang lain bangunan disatukan secara rigid dengan fondasi,yang pada akhirnya rekomendasi kedua inilah yang
diambil sebagai keputusan akhir. Efek beban dinamik terhadap bangunan kemudian disederhanakan yaitu menjadi beban ekivalen statik yang bekerja pada massa
bangunan yang bersangkutan. Kemudian pada tahun 1909 disetujui bahwa suatu bangunan harus didisain dengan beban horisontal paling tidak
dari berat total bangunan. Setelah terjadi pengembangan
Universitas Sumatera Utara
a. Struktur SDOF dengan beban gempa b. Struktur yang bergoyang
c. Beban horizontal ekuivalen Gambar 2.2 Representasi Beban Horizontal Akibat Gempa Bumi.
2.2.2 Analisis Beban Statik Ekivalen Perkembangan beban yang berkaitan dengan gempa bumi terus mengalami
banyak perubahan, setelah itu pula banyak gempa besar terjadi misalnya gempa El Centro 1994, gempa Taft 1952, gempa Perlu 1940, gempa Chile 1943, yang
mendorong untuk memperbaiki konsep beban horisontal akibat gempa. Beban ekivalen statik ini mempunyai karakter yang berbeda dengan beban statik. Intensitas
beban statik misalnya beban gravitasi, beban angin maupun beban salju ditentukan
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan nilai ratarata maksimum. Karakter-karakter tersebut berbeda pada beban ekivalen statik.
Beban ekivalen statik adalah suatu representasi dari beban gempa setelah disederhanakan dan dimodifikasi, yang mana gaya inersia yang bekerja pada suatu
massa akibat gempa disederhanakan menjadi ekivalen beban statik. Jadi beban ekivalen statik adalah beban yang equivalent dengan beban gempa yang membebani
bangunan dalam batas-batas tertentu sehingga tidak terjadi overstress pada bangunan yang bersangkutan. Sedangkan untuk tujuan pembebanan yang lebih teliti guna
memperoleh jaminan yang lebih besar, maka harus dipakai konsep beban yang lain, misalnya dengan cara dinamik analisis.
Bergetarnya bangunan akibat gempa kemudian disederhanakan seolah-olah terdapat gaya horisontal yang bekerja pada massa bangunan. Apabila bangunan
mempunyai banyak massa maka terdapat banyak gaya horisontal yang masing- masing bekerja pada massa-massa tersebut. Sesuai dengan prinsip keseimbangan
maka dapat dianalogikan seperti adanya gaya horisontal yang bekerja pada dasar bangunan yang kemudian disebut Gaya Geser Dasar, V. Gaya geser dasar ini secara
keseluruhan membentuk keseimbangan dengan gaya horisontal yang bekerja pada tiap-tiap massa bangunan tersebut.
Beban geser nominal, V yang bekerja pada bangunan menurut SNI 03-1726- 2003 dapat dihitung dengan :
Dimana : V = Beban geser nominal static ekivalen
= Nilai faktor respon spectrum I = Faktor keutamaan bangunan
Universitas Sumatera Utara
= Berat total bangunan. R = Faktor reduksi gempa
Dinamik karakteristik bangunan adalah massa, kekakuan dan redaman. Dalam konsep ekivalen statik hanya massa yang diperhitungkan, dan inilah yang
menjadi perbedaan utama antara konsep statik dan konsep dinamik. Apabila terdapat simpangan horisontal akibat gempa sebagaimana tampak pada Gambar 2.2.a, maka
simpangan horisontal y tersebut seolah-olah adalah akibat dari adanya gaya horisontal H. Konsep adanya gaya horizontal H akibat gempa kemudian menjadi
lebih jelas pada stick model seperti pada Gambar 2.2.c. Pada gambar tersebut terdapat keseimbangan antara gaya geser dasar V dengan gaya horisontal H yang
bekerja pada massa.
a. Struktur SDOF b. Gaya Geser
c. Stick Model Gambar 2.3 Gaya Geser Dasar.
Di setiap tempat lokal maupun global biasanya mempunyai kondisi geologi, topografi dan kondisi tanah yang berbeda. Pada tempat-tempat tersebut juga
mempunyai frekuensi kejadian, mekanisme kejadian, ukuran gempa dan kemungkinan daya rusak gempa yang berbeda-beda. Hal-hal tersebut adalah faktor
pertama yang mempengaruhi koefisien gempa dasar C. Apabila terjadi gempa, maka
Universitas Sumatera Utara
daerah tersebut akan mempunyai respon dan juga resiko gempa yang berbeda pula. Faktor yang kedua adalah berhubungan dengan kondisi tanah setempat tanah lokal.
Pengalaman dari beberapa kejadian gempa bumi menunjukkan bahwa kondisi tanah lokalyang ditunjukkan oleh jenis, properti dan tebal lapisan tanah berpengaruh
terhadap respon tanah dan kerusakan bangunan. Jenis tanah menurut SNI 03-1726- 2002 adalah tanah keras dan tanah lunak, yang kedua-duanya mempunyai definisi
yang jelas. Untuk semua daerah gempa, kedua jenis tanah tersebut akan berpengaruh terhadap nilai koefisien gempa dasar C. Faktor ketiga yang mempengaruhi koefisien
gempa dasar C adalah periode getar T struktur. Dengan demikian untuk memperoleh koefisien gempa dasar C umumnya terdapat tiga pertanyaan yang harus dijawab yaitu
dimana bangunan akan dibangun, jenis tanah dimana bangunan akan didirikan, dan periode getar struktur.
Agar perencanaan struktur beton dapat dilakukan dengan cara yang sederhana analisis statis ekivalent tanpa melakukan analisis yang rumit analisis dynamis dan
prilaku struktur diharapkan sangat baik bila dilanda gempa, maka tata letak struktur sangat penting untuk diatur. Tentunya tidak ada suatu bentuk struktur yang sangat
ideal memenuhi semua syarat-syarat yang diijinkan tetapi beberapa pedoman dasar dibawah ini dapat dipakai sebagai acuan dalam merencanakan tata letak struktur.
1. Bangunan harus mempunyai bentuk yang sederhana 2. Bentuk yang simetris
3. Tidak terlalu langsing baik pada denahnya maupun potongannya 4. Distribusi kekuatan sepanjang tinggi bangunan seragam dan menerus
5. Kekakuan yang cukup
Universitas Sumatera Utara
6. Terbentuknya sendi plastis harus terjadi pada elemen-elemen horisontal lebih dahulu dibandingkan dengan elemen vertikal.
2.2.3 Wilayah Gempa Indonesia Indonesia merupakan zona patahan lempeng bumi, dimana lempeng tersebut
sering terjadi patahan, lipatan, yang mengakibatkan terjadinya getaran sehingga menjadikan Indonesia daerah yang rawan gempa. Namun tidak semua daerah
Indonesia memiliki kekuatan getaran gempa yang sama. Oleh karena itu, di Indonesia dibagi menjadi enam wilayah gempa, mulai dari wilayah yang gempa
paling rendah hingga wilayah gempa yang paling tinggi. Pembagian gempa menurut SNI 03-1726-2003 adalah sebagai berikut:
Gambar 2.4 Pembagian wilayah gempa indonesia
Universitas Sumatera Utara
Grafik 2.1 Respon Spektrum Gempa Rencana
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Kondisi Tanah Indonesia terletak pada daerah patahan aktif, akibat terjadnya patahan pada
lempeng bumi Indonesia menjadi kawasan yang rawan gempa. Tiap-tiap wilayah gempa mempunyai spektrum respons sendiri-sendiri sebagaimana yang tampak pada
Gambar 2.4. Pada Gambar 2.4 tersebut terdapat 6 spektrum respon masing-masing untuk tiap wilayah gempa. Tampak bahwa absis spektrum menunjukkan periode
getar struktur T dalam detik sedangkan ordinatnya merupakan nilai koefisien gempa dasar C tidak berdimensi. Pada setiap gambar tersebut juga tampak spektrum
respon untuk tanah keras, tanah sedang dan tanah lunak. Berdasarkan SNI 03-1726-2003 jenis tanah ditetapkan sebagai Tanah Keras,
Tanah Sedang dan Tanah Lunak, apabila untuk lapisan setebal maksimum 30 m paling atas dipenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Tabel dibawah ini.
Tabel 2.2 Jenis-jenis tanah
Universitas Sumatera Utara
Dimana untuk menentukan
Dengan : t
i
= tebal lapisan tanah ke-i N
i
= nilai hasil test penetrasi standart ke-i Nilai N didapat dari tes penetrasi standar. Berbeda dengan Amerika Serikat
yang menggunakan SPT Standart Penetration Test untuk mendapatkan nilai perlawanan tanah, di Indonesia percobaan SPT jarang digunakan, umumnya yang
digunakan adalah alat Sondir Dutch Penetrometer Test, karena lebih sesui dengan kondisi tanah di Indonesia dan juga hasilnya lebih dapat dipercaya. Untuk itu,
diperlukan adanya suatu konversi dari nilai hasil sondir ke N-SPT. Menurut prof. weasley dalam bukunya yang berjudul mekanika tanah, dinyatakan bahwa nilai N-
SPT = q
c
4, dimana q
c
= perlawanan penetrasi konus nilai sondir, seperti pada gambar berikut.
Grafik 2.2 Konversi Nilai Sondir ke N-SPT
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan SKBI-1.3.53.1987 menyebutkan bahwa untuk pemakaian pedoman ini suatu struktur gedung harus dianggap berdiri di atas tanah bawah yang
lunak, apabila struktur gedung tersebut terletak di atas endapan-endapan tanah dengan kedalaman-kedalaman yang melampaui nilai-nilai yang disebut dibawah ini :
a. Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap rata-rata
tidak lebih dari 0,5 kgcm2 : 6 m b.
Untuk setiap tempat dimana lapisan yang menutupinya terdiri dari tanah kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap ratarata tidak lebih dari 1
kgcm2 atau terdiri dari tanah butiran yang sangat padat : 9 m c.
Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap rata-rata tidak lebih dari 2 kgcm2 : 12 m
d. Untuk tanah butiran terikat yang sangat padat : 20 m
Kedalaman harus diukur dari tingkat dimana tanah mulai memberikan penjepitan lateral yang efektif kepada struktur gedung. Tanah bawah yang lebih
dangkal dari pembatasan-pembatasan di atas harus dianggap sebagai tanah keras. Analisis beban statik ekivalen juga dipengaruhi atas beberapa faktor, yaitu sebagai
berikut : 1. Faktor Keutamaan Bangunan I
Setiap bangunan umumnya didirikan dengan maksud pemakaian tertentu. Pada tiap-tiap jenis pemakaian, suatu bangunan harus mempunyai kemampuan
minimum untuk melindungi pemakainya. Mengingat hal tersebut, maka pengamanan bangunan dengan cara mengurangi resiko terhadap kerusakan
bangunan merupakan sesuatu yang penting. Pengamanan bangunan tersebut diakomodasikan dengan menggunakan faktor keutamaan bangunan I. factor
Universitas Sumatera Utara
keutamaan bangunan I unutk berbagai jenis bangunan menurut SNI 03-1726- 2003 adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3 Faktor keutamaan I untuk berbagai kategori gedung dan bangunan
2. Faktor Reduksi Gempa R Faktor reduksi gempa adalah untuk menjadikan beban gempa tersebut
menjadi beban gempa nominal sesuai dengan faktor daktalitas yang dipilih untuk struktur bangunan tersebut. Adapun persamaan faktor reduksi gempa sebagai
berikut: 2,2
≤ R = µ . ≤ Dalam persamaan diatas, R = 2,2 adalah faktor reduksi gempa untuk
bangunan gedung yang berprilaku elastik, sedangkan adalah faktor reduksi
gempa maksimum yang terdapat dalam tabel 2.3. Nilai
≈ 1,6 Dimana adalah faktor tahanan lebih beban dan bahan yang terkandung dalam
struktur bangunan gedung. Dan µ merupakan nilai faktor daktalitas struktur bangunan gedung. Dalam perencanaan struktur bangunan gedung dapat dipilih
menurut kebutuhan, tetapi tidak boleh diambil melebihi nilai factor daktalitas
Universitas Sumatera Utara
maksimum yang dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau
subsistem struktur bangunan gedung seperti yang dijelaskan dalam tabel 2.3.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 Faktor daktalitas maksimum, faktor reduksi gempa maksimum dan faktor tahanan lebih total beberapa system dan subsistem bangunan gedung.
Universitas Sumatera Utara
2.2.5 Analisis Dinamik Untuk gedung yang tidak beraturan dan bertingkat banyak, digunakan
perencanaan analisis dinamik, Banyak metode yang digunakan dalam perencanaan struktur gedung dalam analisis dinamik, diantarnya adalah :
1. Analisis Ragam Spektrum respons
Pada metode analisis ini kita menggunakan spectrum respons gempa rencana sebagai dasar untuk menetukan responsnya. dalam hal ini, analisis
respons spektrum hanya dipakai unutk menentukan gaya geser tingkat nominal dinamik akibat pengaruh gempa rencana. Gaya-gaya internal dalam
unsur struktur gedung didapat dari analisis 3 dimensi biasa berdasarkan beban-beban gempa statik ekuivalen.
2. Analisis Respons Dinamik Riwayat Waktu
Dalam analisis ini, faktor I adalah untuk memperhitungkan kategori gedung yang ada, sedangkan faktor R adalah untuk menjadikan pembebanan
gempa tersebut menjadi pembebanan gempa nominal. Yang lebih ditekankan pada percepatan tanah yang disimulasikan sebagai gerakan gempa.
2.2.6 Eksentrisitas rencana Pusat massa lantai tingkat suatu struktur merupakan titik tangkap resultan
beban-beban yang bekerja pada lantai tingkat struktur tesebut. Pusat rotasi lantai tingkat suatu struktur adalah suatu titik pada lantai tingkat tersebut yang bila terjadi
gaya horizontal, gaya tersebut tidak berotasi tetapi hanya bertranslasi. Antara pusat massa dan pusat rotasi lantai tingkat harus ditinjau suatu
eksentrisitas rencana e
d.
apabila ukuran horizontal terbesar denah struktur gedung
Universitas Sumatera Utara
pada lantai tingkat itu diukur tegak lurus arah pembebanan gempa, dinyatakan dengan b, maka eksentrisitas rencana e
d
harus ditentukan sebagai berikut : 1. Untuk 0 e
≤ 0,3 b e
d
= 1,5 e + 0,005 b atau
e
d
= e – 0,05 b dan pilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk
unsure subsistem struktur gedung yang ditinjau. 2.
Untuk e 0,3 b e
d
= 1,33 e + 0,1 b atau
e
d
= 1,17 e – 0,1 b serta pilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsure
subsistem struktur gedung yang ditinjau.
2.3 Konsep Strong Column Weak Beam