Marginalisasi Permasalahan Marginalisasi, Subordinasi dan Streotipe sosial

Daulay, Buruh Perempuan… Berkenaan dengan masalah di atas maka yang akan menjadi persoalan di dalam pembahasan di tulisan ini adalah bagaimana kondisi buruh perempuan di industri manufaktur yang akan di lihat dari analisis dan kajian sensitif gender disebabkan banyaknya kondisi di pabrik yang berhubungan dengan persoalan ketidakadilan gender. PEMBAHASAN Sejalan dengan uraian di atas bahwa buruknya persoalan dan kondisi buruh perempuan disebabkan adanya suatu ketidakadilan gender. Gender adalah bangunan sosio kultural yang membedakan karakteristik maskulin dan feminim. Gender berbeda dari seks atau jenis kelamin, laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis More, 1988. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan sering dilekatkan pada gender maskulin dan feminim, namun kaitan antara jenis kelamin dan gender bukanlah merupakan korelasi yang absolut. Konsep gender sangat berhubungan dengan definisi suatu budaya tertentu. Dengan kata lain ciri maskulin dan feminim sangat bergantung kepada penafsiran dan kesepakatan sosial dari suatu konteks sosial budaya tertentu. Apakah gender ini menjadi suatu permasalahan yang mendasar yang harus di cermati? Sebenarnya konsep gender pada hakikatnya adalah menyangkut pembagian hak dan tugas antara laki-laki dan perempuan. Kondisi ini tidak akan menjadi polemik selama tidak menghasilkan kondisi ketidakadilan gender. Mansour Fakih 1996 mengklasifikasikan ketidakadilan gender yang termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan gender yaitu: 1. Marginalisasi dan proses pemiskinan ekonomi 2. Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik 3. Streotip atau pelabelan negatif 4. Kekerasan 5. Beban kerja di rumah tangga Berdasarkan analisisis ketidakadilan gender yang termanifestasi pada 5 kondisi di atas, bagaimana persoalan ketidakadilan gender pada konteks industri dengan kondisi buruh perempuan di pabrik industri manufaktur. Bagaimana pula kondisi pabrik sebagai sektor publik yang mempunyai perbedaan nilai yang berbeda dengan sektor domestik di rumah tangga. Satu hal lagi mengapa pembahasan ini difokuskan kepada pabrik-pabrik industri manufaktur, hal ini disebabkan kondisi buruh di sektor manufaktur di dominasi oleh buruh perempuan dan secara faktual telah terjadi feminisasi di sektor industri manufaktur. Usia yang relatif muda dan berstatus muda dan lajang merupakan status yang dominan dari buruh perempuan di pabrik-pabrik industri manufaktur yang memproduksi garmen, barang elektronik, sepatu sampai komponen ekspor lainnya. Kondisi ini memperlihatkan fenomena preferensi industri manufaktur terhadap buruh perempuan yang dikerahkan untuk menjalankan produksinya. Secara perhitungan ekonomis perusahaan memiliki buruh-buruh perempuan yang muda dan lajang dengan asumsi bahwa usia mereka akan produktif dan secara status mereka tidak mem- punyai beban domestik. Bila kita ingin melihat kondisi fakta maka kita dapat melihat pada industri di kota Bandung, di mana kesem- patan kerja di tingkat produksi diprioritaskan kepada gadis-gadis muda. Perusahaan menyisakan jenis-jenis pekerjaan yang tidak berarti dari sisi status dan penghasilan bagi perempuan berkeluarga Tjandraningsih, 1997: 259. Berikut ini adalah pembahasan buruh perempuan yang berkaitan dengan isu gender:

1. Permasalahan Marginalisasi, Subordinasi dan Streotipe sosial

a. Marginalisasi

Berbicara pada konteks marginalisasi yang terjadi pada perempuan, pada konteks buruh perempuan, maka buruh perempuan diasosiasikan penempatannya pada pekerjaan- pekerjaan yang marginal. Asumsi bahwa buruh perempuan tepat pada pekerjaan-pekerjaan yang marginal. Asosiasi yang terbangun pada buruh perempuan yang mempunyai sifat halus dan telaten, sehingga pekerjaan yang diberikan juga pekerjaan yang kurang penting atau berupah rendah. Hal ini terjadi meskipun buruh perempuan tersebut mempunyai keterampilan yang lebih. Kalau kita mengkaitkan kondisi ini pada konsep deskilling, di mana adanya penghilangan akses ketrampilan atau proses produksi sebagai akibat fragmentasi kerja ke dalam bagian yang kecil-kecil yang tidak membutuhkan keterampilan atau banyak pengetahuan Taylorism. Jadi pada konteks ini, perempuan termarginalisasi pada konteks adanya 3 Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3 Deskilling, meskipun ia mempunyai keahlian tertentu, tidak berarti bahwa ia akan menda- patkan pekerjaan sesuai dengan bidang dan keahliannya. Ideologi dalam memandang perempuan sangat berpengaruh pada kondisi marginalisasi perempuan dalam konteks buruh perempuan di pabrik. Scott seperti di kutip Grijins, 1992 memandang segregasi pekerjaan berdasarkan jenis kelamin merupakan salah satu bagian dari marginalisasi. Marginalisasi adalah sebuah konsep yang penting untuk memahami hubungan antara industrialisasi dengan pekerja perempuan. Marginalisasi dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai proses perubahan hubungan kekuasaan antar manusia. Perubahan hubungan ini mengakibatkan akses salah satu kelompok ke sumber-sumber vital semakin terbatas. Sumber-sumber itu antara lain meliputi modal, pekerjaan, pendidikan, dan lain- lain. Sejalan dengan berlalunya waktu, sumber- sumber itu semakin dimonopoli oleh sekelom- pok kecil orang. Dalam proses ini perempuan lebih tersisih dibandingkan laki-laki. Sebagai konsekuensinya perempuan harus menyandarkan kehidupan mereka pada sumber-sumber marginal yang terletak di pinggiran ekonomi pasar. Disadari atau tidak marginalisasi pada buruh perempuan ini tidak saja terjadi di pabrik dengan sentuhan kapitalisme modern, tetapi terjadi juga dalam lingkup keluarga, masyarakat, kultur bahkan negara. Misalnya marginalisasi di dalam keluarga, anak perempuan selalu mendapatkan kesempatan kedua setelah anak laki-laki. Dampak marginalisasi ini di dalam keluarga mengimbas pada pekerjaan publik baca pabrik, yang mempekerjakan perempuan. Jika perempuan mengintegrasikan ke dalam industrialisasi, maka selayaknya ia mendapatkan peluang kerja setara dengan laki- laki bukan hanya bidang-bidang yang merupakan perpanjang tangan tugasnya di sektor domestik seperti pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan, ketelitian, dan kesabaran. Bila kita kritisi bahwa marginalisasi yang terjadi pada perempuan di pabrik berjalan seiring dengan eksploitasi. Hal ini dapat dijelaskan dengan 4 asumsi dasar yaitu: 1. Perempuan memegang peranan utama dalam produksi subsistem 2. Kegiatan subsistem menawarkan otonomi dan akses ke sumber daya 3. Status perempuan terkikis oleh perkembangan kapitalisme 4. Peranan perempuan yang utama adalah sebagai isteri sehingga peluang kerja yang disediakan sebagai yang bersifat “ keibuan “ sebagai perluasan dari pekerjaan ibu rumah tangga. Bila permasalahan marginalisasi ini dikaitkan dengan ketimpangan gender, Maka ada 2 hal yang dapat dijelaskan: 1. Pekerjaan-pekerjaan marginal yang dikerjakan oleh perempuan dapat dilihat sebagai akibat proses identifikasi perempuan terhadap apa-apa yang sesuai dengan sifat keperempuanannya yang telah dikonstruksikan secara sosial. Identifikasi ini merupakan proses pemaknaaan diri dan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan perempuan sehingga berbagai faktor diperhatikan di dalamnya. Keterlibatan dalam kegiatan ekonomi marginal karena itu merupakan hasil dari suatu proses interaksi dan negosiasi di mana perempuan sendiri aktif di dalamnya. 2. Berbagai proses telah mereproduksi sifat keperempunanan dan kenyataan tentang pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan sifat keperempuanan tersebut. Tingkat absensia perempuan yang tinggi karena cuti hamil dan melahirkan sering dijadikan alasan untuk tidak memilih tenaga kerja perempuan atau menempatkan perempuan dalam pekerjaan yang marginal. Abdullah, 1995: 9. Bila kita menganalisa mengapa terjadi marginalisasi, Boserup 1970 menunjukkan faktor budaya sebagai penyebabnya. Menurut pendapatnya, pertumbuhan penduduk menyebabkan peningkatan tekanan terhadap tanah dan sumber daya langka lainnya seperti teknologi. Marginalisasi berlangsung selama dan setelah masa penjajahan yang mencerminkan ideologi gender yang diperkuat nilai-nilai patriarkhi.

b. Subordinasi