Agen Virus Hepatitis C

8 Sumber: http:pphi-online.orgalpha?p=533

2. Kontak Seksual

Hubungan seksual dapat menularkan virus hepatitis C, hal ini dapat terjadi jika seseorang melakukan perilaku seks yang berisiko, walaupun persentase penularan melalui kontak seksual ini tidak terlalu besar yaitu sekitar 15 . Perilaku seks berisiko tersebut adalah sebagai berikut: 1 Pengguna jasa PSK 2 Luka karena seks kurangnya pelicin pada vagina dapat meningkatkan penularan melalui darah 3 Memiliki lebih dari satu pasangan 4 Pria suka pria homoseksual. 13

3. Transfusi Darah

Di Amerika Serikat sebelum tahun 1986 kejadian Hepatitis C paska transfusi berkisar 5 sampai 13. Dengan adanya pemeriksaan anti HCV untuk skrining donor yang diperkenalkan tahun 1990-1992, angka kejadian Hepatitis C setelah transfusi mengalami penurunan menjadi 0,1 pada awalnya dan akhirnya menjadi 0,1 . 11,13

4. Penularan Vertikal dari Ibu ke Bayi

Penularan transmisi vertikal HCV dari ibu kepada bayinya relatif lebih jarang terjadi dari pada penularan VHB, karena titer VHC secara umum lebih rendah dari pada VHB. Pada bayi yang lahir dari ibu dengan anti VHC positif, didapatkan angka 5 antara 3-6. Namun bila Ibu menderita infeksi HIV bersama dengan VHC, maka kemungkinan tertular bagi bayi yang lahir akan lebih besar yaitu 14 antara 5-36 dari pada Ibu yang hanya menderita VHC saja. 13

2.1.4 Diagnostik Hepatitis C

9 Infeksi oleh VHC dapat diidentifikasi dengan memeriksa antibodi yang dibentuk tubuh terhadap VHC bila virus ini menginfeksi pasien. Antibodi ini akan terbentuk dan bertahan lama setelah terjadi. Deteksi antibodi terhadap VHC dilakukan umumnya dengan teknik enzyme immuno assay EIA. EIA generasi ketiga yang banyak digunakan saat ini mengandung protein core dan protein struktural yang dapat mendeteksi antibodi terhadap VHC dalam waktu minggu ke 4-10 infeksi, dengan sensitifitas mencapai 99 dan spesifisitas lebih dari 90. 6,11 Selain pemeriksaan Anti-HCV dapat dilakukan pemeriksaan VHC RNA untuk mengetahui adanya virus dalam tubuh pasien terutama dalam serum sehingga memberikan gambaran infeksi sebenarnya. Jumlah VHC dalam serum maupun hati relatif sangat kecil sehingga diperlukan teknik amplifikasi agar terdeteksi salah satunya menggunakan teknik PCR polymerase chain reaction. 11 2.2 NAPZA Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Lain 2.2.1 Narkotika Dalam buku UU RI NO 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. Menurut potensinya yang menyebabkan ketergantungan Narkotika diklasifikasikan menjadi 3 golongan :

1. Narkotika golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

2. Narkotika golongan II : Narkotika yang berkhasiat pengobatan,

digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi 10 danatau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

3. Narkotika golongan III : Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan

banyak digunakan dalam terapi danatau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. 14

2.2.2 Psikotropika

Menurut Undang-undang RI No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika dibedakan dalam golongan-golongan sebagai berikut.

1. Psikotropika Golongan I :

Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : ekstasi, shabu, LSD

2. Psikotropika Golongan II :

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, danatau tujuan ilmu pengetahuan serta menpunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan . Contoh amfetamin, metilfenidat atau ritalin

3. Psikotropika Golongan III :

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi danatau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan Contoh : pentobarbital, Flunitrazepam

4. Psikotropika Golongan IV :