Analisis Surfaktan Anionik (Deterjen) Pada Limbah Cair Domestik Menggunakan Spektrofotometer Metode MBAS

(1)

ANALISIS SURFAKTAN ANIONIK (DETERJEN) PADA LIMBAH CAIR DOMESTIK MENGGUNAKAN

SPEKTROFOTOMETER METODE MBAS TUGAS AKHIR

OLEH:

MAYA JUSTITIA 082410029

PROGRAM DIPLOMA III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

ANALISIS SURFAKTAN ANIONIK (DETERJEN) PADA LIMBAH CAIR DOMESTIK MENGGUNAKAN

SPEKTROFOTOMETER METODE MBAS

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya Pada Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Oleh:

MAYA JUSTITIA 082410029

Medan, Maret 2011 Disetujui Oleh: Dosen Pembimbing,

Dra. Saodah, MSc., Apt. NIP 194901131976032001

Disahkan Oleh:

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Adapun judul Tugas Akhir ini adalah “Analisis Surfaktan Anionik (Deterjen) Pada Limbah Cair Domestik Menggunakan Spektrofotometer Metode MBAS” yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Sumatera Utara.

Tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik dan pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU.

2. Ibu Dra. Saodah, MSc., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan nasehat serta perhatiannya hingga selesainya Tugas Akhir ini.

3. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., selaku koordinator program Diploma-III Analis Farmasi Dan Makanan USU.

4. Seluruh dosen dan seluruh staf Fakultas Farmasi USU.

5. Kakak Elly Nasution dan abang Fahmi Rasyid yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir.


(4)

6. Teman-teman saya Dina, Derma dan Juli yang telah bekerja sama sepenuhnya sehingga terselesaikannya praktek kerja lapangan.

7. Teman-teman terdekat saya Dwinanda, Niki, Sonanda, Anggita dan Adelia serta seluruh teman-teman kuliah angkatan 2008 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun tidak mengurangi arti keberadaan mereka.

Dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini, ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan sebelumnya. Namun berkat dorongan, semangat dan dukungan dari orang-orang tercinta, akhirnya Tugas Akhir ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Orangtua tersayang yaitu ayahanda Adarimizi dan Ibunda Cut Yunidar, dalam memacu semangat penulis agar tidak pernah berhenti berusaha untuk mewujudkan cita-cita yang diharapkan.

Sebagai seorang manusia dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang dikuasai, penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan penulisan dimasa yang akan datang.

Akhir kata penulis berharap semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca. Terima kasih.

Medan, Februari 2011


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ………... iii

DAFTAR TABEL ………... vi

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

1.1. Latar Belakang ……….. 1

1.2. Tujuan ……… 2

1.3. Manfaat ………. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….. 3

2.1. Air ……….... 3

2.2. Pencemaran Air ………... 3

2.3. Limbah Cair ………. 6

2.4. Surfaktan Anionik (Deterjen) ……….. 10

2.4.1. Deterjen Sintetis ……… 11

2.4.2. Toksisitas Deterjen ……… 14

2.5. Spektrofotometer menggunakan metode MBAS ………. 17

BAB III METODOLOGI ……….. 19


(6)

3.1.1. Peralatan ……….... 19

3.1.2. Bahan ……… 19

3.2. Prosedur ………... 20

3.2.1. Pembuatan Larutan Induk Surfaktan Anionik 1000 mg/L .. 20

3.2.2. Pembuatan Larutan Baku Surfaktan Anionik 100 mg/L … 20 3.2.3. Pembuatan Larutan Standar Surfaktan Anionik ……….. 20

3.2.4. Pembuatan Kurva Kalibrasi …... 21

3.2.5 Prosedur Uji ………... 23

3.3. Flowsheet ………... 25

3.3.1. Pembuatan Larutan Induk Surfaktan Anionik 1000 mg/L.. 25

3.3.2. Pembuatan Larutan Baku Surfaktan Anionik 100 mg/L … 25 3.3.3. Pembuatan Larutan Standar Surfaktan Anionik ………... 26

3.3.4. Pembuatan Kurva Kalibrasi ………... 27

3.3.5 Prosedur Uji ……… 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 32

4.1. Hasil ………. 32


(7)

BAB V KESIMPULAN DAN HASIL ………. 34

5.1. Kesimpulan ………... 34

5.2. Hasil ……….. 34

DAFTAR PUSTAKA ………. 35


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sifat-sifat fisik, kimia, biologis dan air limbah serta sumber

asalnya………. 7

Tabel 2. (Sambungan) ……… 8

Tabel 3. (Sambungan) ……… 9

Tabel 4. Hasil analisa surfaktan anionik (deterjen) ……… 32


(9)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Planet bumi sebagian besar terdiri atas air karena luas daratan memang lebih kecil dibandingkan dengan luas lautan. Makhluk hidup yang ada di bumi ini tidak dapat terlepas dari kebutuhan akan air. Air merupakan sumber utama bagi kehidupan manusia di bumi. Dimana air digunakan sebagai kegiatan rumah tangga, proses industri, pertanian, dan lain sebagainya (Wardhana, 1995) .

Dewasa ini air menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian yang seksama dan cermat. Untuk mendapatkan air yang baik, sesuai dengan standar tertentu, saat ini menjadi barang yang mahal karena air sudah banyak tercemar oleh bermacam-macam limbah dari hasil kegiatan manusia, baik limbah dari kegiatan rumah tangga, limbah dari kegiatan industri dan kegiatan-kegiatan lainnya (Wardhana, 1995).

Bahan buangan zat kimia termasuk pencemar yang berbahaya dan berpotensi merusak lingkungan. Bahan buangan zat kimia dapat masuk ke dalam air secara langsung atau melalui mediasi. Beberapa senyawa kimia yang umum dikenal sebagai pencemar diantaranya deterjen, insektisida, zat warna kimia, larutan penyamak kulit, dan lain-lain (Situmorang, 2007).

Limbah domestik (Limbah rumah tangga) kerapkali mengandung sabun dan deterjen. Keduanya merupakan sumber potensial bagi bahan pencemar organik (Achmad, 2004).


(10)

Polusi atau pencemaran adalah keadaan dimana suatu lingkungan sudah tidak alami lagi karena telah tercemar oleh polutan. Polutan adalah zat atau substansi yang mencemari lingkungan. Air limbah deterjen termasuk polutan karena di dalamnya terdapat zat yang disebut Alkil Benzen Sulfonat yang merupakan deterjen golongan keras. Jenis deterjen ini banyak digunakan di rumah tangga. Lingkungan perairan yang tercemar limbah deterjen kategori keras ini dalam konsentrasi tinggi akan mengancam dan membahayakan kehidupan biota air dan manusia yang mengkonsumsi biota tersebut (Junior, 2009).

Berdasarkan hal-hal diatas tersebut diatas penulis ingin melakukan penelitian tentang pencemaran deterjen di dalam limbah cair domestik.

1.2. Tujuan

Untuk mengetahui kadar kandungan surfaktan anionik pada air limbah cair domestik.

1.3. Manfaat

Manfaat yang diperoleh, dapat mengetahui kadar surfaktan anionik dalam limbah cair domestik guna untuk meningkatkan kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan sumber air, berdasarkan baku mutu air Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001.


(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air

Menurut Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 82 Tahun 2001, Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya.

Air di bumi ini tidak pernah terdapat dalam keadaan murni bersih, tetapi selalu ada senyawa atau mineral (unsur) lain yang terlarut di dalamnya. Sebagai contoh, air hujan yang digunakan atau dimanfaatkan sebagai aki/air baterai dan air yang diambil dari mata air di pegunungan yang dapat langsung diminum (Wardhana, 1995).

2.2. Pencemaran Air

Menurut Achmad (2004), Definisi pencemaran air menurut Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor : KEP-02/MENKLH/I/1988 Tentang Penetapan Baku Mutu Lingkungan adalah : “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam air dan/atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau sudah tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya “ (Pasal 1).


(12)

Dalam pasal 2, air pada sumber air menurut kegunaan/peruntukannya digolongkan menjadi :

1. Golongan A, yaitu air yang dapat dipergunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu.

2. Golongan B, yaitu air yang dapat dipergunakan sebagai air baku untuk diolah sebagai air minum dan keperluan rumah tangga.

3. Golongan C, yaitu air yang dapat dipergunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan.

4. Golongan D, yaitu air yang dapat dipergunakan untuk keperluan pertanian, dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri dan listrik negara.

Menurut definisi pencemaran air tersebut di atas bila suatu sumber air yang termasuk dalam kategori golongan A, misalnya sebuah sumur penduduk kemudian mengalami pencemaran dalam bentuk rembesan limbah cair dari suatu industri maka kategori sumur tadi bukan golongan A lagi, tapi sudah turun menjadi golongan B karena air tadi sudah tidak dapat digunakan langsung menjadi air minum tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Dengan demikian air sumur tersebut menjadi kurang/tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya (Acmad, 2004).

Masing-masing golongan air mempunyai kriteria sendiri, yaitu parameter kualitas air untuk golongan A, B, C dan D. Suatu badan air dapat diketahui kualitas airnya (tercemar atau tidak) melalui analisis contoh air di laboratorium dan membandingkannya dengan baku mutu air (Manik, 2004).


(13)

Menurut Suriawiria (2005), sumber pencemar yang terdapat pada suatu badan air/air sungai berasal dari:

a. Sumber domestik (rumah-tangga, perhotelan, WC umum, pasar) dan sebagainya;

b. Sumber nondomestik (industri, pertanian, peternakan, perikanan serta sumber-sumber lainnya).

Secara langsung ataupun tidak langsung pencemar tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas air, baik untuk keperluan air minum, air industri ataupun keperluan lainnya (Suriawiria, 2005).

Pencemaran air dapat semakin luas, tergantung dari kemampuan badan air penerima polutan untuk mengurangi kadar polutan secara alami. Apabila kemampuan badan air tersebut rendah dalam mereduksi kadar polutan, maka akan terjadi akumulasi polutan dalam air sehingga badan air akan menjadi tercemar. (Fardiaz, 1992).

Menurut Gabriel (2001), akibat yang ditimbulkan oleh pencemaran air yaitu :

a. Terganggunya kehidupan organisme air. b. Pendangkalan dasar perairan.

c. Punahnya biota air seperti ikan.

d. Menjalarnya wabah penyakit seperti diare. e. Banjir akibat tersumbatnya saluran air.


(14)

2.3. Limbah Cair

Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-51/MENLH/10/1995, Limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh suatu kegiatan/industri yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Limbah cair terdiri dari limbah industri (industri skala besar dan skala kecil) dan limbah domestik.

Air limbah atau limbah cair industri adalah limbah yang dihasilkan pada setiap tahap produksi yang berupa air sisa, air bekas proses produksi atau air bekas pencucian peralatan industri (Hadi, 2005).

Menurut Ricki (2005), Air limbah industri umumnya terjadi sebagai akibat adanya pemakaian air dalam proses produksi. Dalam proses industri, air digunakan sebagai :

a. Untuk mentransportasikan produk atau bahan baku.

b. Sebagai air pendingin. Berfungsi untuk memindahkan panas yang terjadi dari proses industri.

c. Sebagai air proses, misalnya sebagai umpan boiler pada pabrik minuman. d. Untuk mencuci dan membilas produk, gedung atau instalasi.

Limbah domestik adalah semua buangan yang berasal dari kamar mandi, kakus, dapur, tempat cuci pakaian, cuci peralatan rumah tangga, apotek, rumah


(15)

sakit, rumah makan, dan sebagainya yang secara kuantitatif limbah tersebut terdiri atas zat organik dan zat anorganik (Sastrawijaya, 1991).

Limbah cair domestik biasanya menghasilkan senyawa organik berupa protein, lemak, karbohidrat dan asam nukleat (Ainul, 2004).

Baku mutu limbah cair adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau pencemar untuk dibuang dari sumber pencemar ke dalam air pada sumber air sehingga tidak mengakibatkan dilampauinya baku mutu air (Kristianto, 2002).

Tabel 1. Sifat-sifat Fisik, Kimia, Biologis dan Air Limbah serta sumber asalnya (Sugiharto, 1987).

Sifat-sifat air limbah Sumber asal air limbah

Sifat fisik :

Warna Air buangan rumah tangga dan

industri serta bangkai benda organis.

Bau Pembusukan air limbah dan limbah

industri.

Endapan Penyediaanair minum, air limbah

rumah tangga dan industri, erosi tanah, aliran air rembesan.


(16)

Tabel 2 (Sambungan). Sifat-sifat Fisik, Kimia, Biologis dan Air Limbah serta sumber asalnya (Sugiharto, 1987).

Sifat-sifat air limbah Sumber asal air limbah

Temperatur Air limbah rumah tangga dan

industri.

Kandungan bahan kimia :

Organik ;

Karbohidrat Air limbah rumah tangga,

perdagangan serta limbah industri.

Minyak, lemak, gemuk Air limbah rumah tangga, perdagangan serta limbah industri.

Pestisida Air limbah pertanian.

Fenol Air limbah industri.

Protein Air limbah rumah tangga,

perdagangan.

Deterjen Air limbah rumah tangga, industri.

Lain-lain Bangkai bahan organik alamiah.


(17)

Tabel 3 (Sambungan). Sifat-sifat Fisik, Kimia, Biologis dan Air Limbah serta sumber asalnya (Sugiharto, 1987).

Sifat-sifat air limbah Sumber asal air limbah

Anorganik :

Kesadahan Air limbah dan air minum rumah tangga serta rembesan air tanah.

Klorida Air limbah dan air minum rumah

tangga, rembesan air dan pelunak air.

Logam berat Air limbah industri.

Nitrogen Air limbah rumah tangga dan

pertanian.

Fosfor Air limbah rumah tangga dan industri serta pelimpahan air hujan.

Belerang Air limbah dan air minum rumah

tangga serta air limbah industri.

Bahan-bahan beracun Air limbah industri.


(18)

2.4. Surfaktan Anionik (Deterjen)

Surfaktan-zat aktif permukaan atau tensides- adalah zat yang menyebabkan turunnya tegangan permukaan cairan, khususnya air. Ini menyebabkan pembentukan gelembung dan pengaruh permukaan lainnya yang memungkinkan zat-zat ini bertindak sebagai zat pembersih atau penghambur dalam industri dan untuk tujuan rumah tangga (Connell, 1995).

Surfaktan atau surface active agent atau wetting agent merupakan bahan organik yang berperan sebagai bahan aktif pada deterjen, sabun dan shampoo. Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan sehingga memungkinkan partikel-partikel yang menempel pada bahan-bahan yang dicuci terlepas dan mengapung atau terlarut dalam air (Effendi, 2003).

Surfaktan dikelompokkan menjadi empat, yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amphoteric (zwitterionic) (Dean dan Bradley, 1984) dalam (Effendi, 2003).

Untuk keperluan rumah tangga digunakan kelompok surfaktan anionik (deterjen). Telah dikenal dua macam deterjen anionik, yakni alkil sulfonat linear dan alkil benzene sulfonat (Sastrawijaya, 1991).

Bentuk deterjen merupakan salah satu jenis bahan pembersih yang digunakan untuk mengurangi kotoran dari pakaian, piring, dan barang lainnya (Sawyer, 1967).


(19)

2.4.1. Deterjen Sintetis

Deterjen sintetis mempunyai sifat pembersih yang baik dan tidak membentuk endapan dengan ion-ion seperti kalsium dan magnesium di dalam air sadah. Deterjen termasuk garam yang berasal dari asam kuat sehingga tidak akan membentuk endapan di dalam larutan asam (Situmorang, 2007).

Unsur kunci dari deterjen adalah bahan surfaktan atau bahan aktif permukaan, yang beraksi dalam menjadikan air menjadi lebih basah (wetter) dan sebagai bahan pencuci yang lebih baik (Achmad, 2004).

Deterjen sintetis mempunyai bahan aktif yang disebut sebagai surfaktan yang berfungsi untuk menurunkan kekerasan air. Bahan surfaktan yang paling banyak digunakan adalah alkil benzene sulfonat (ABS) yang merupakan turunan benzene (Situmorang, 2007).

Gambar 1. Rumus bangun dari Alkil Benzene Sulfonat (ABS)

Sifat surfaktan bergantung pada suatu molekul yang memiliki sifat lipofilik dan hidrofilik. Pada batas antarfase (misalnya, lemak dan air), molekul surfaktan bergabung menyebabkan turunnya tegangan permukaan. Pada batas antarfase ini, keberadaan busa menyebabkan terbentuknya perluasan daerah antarfase dan dengan demikian terjadi akumulasi surfaktan dalam air busa dan


(20)

mengakibatkan penurunan kepekatan surfaktan dalam massa air. Dengan surfaktan ABS, batas ambang untuk pembentukan busa permanen adalah sekitar 0,3-0,4 mg/L. Suhu, pH, adanya zat-zat lainnya semuanya dapat mempengaruhi kepekatan pada busa permanen terjadi (Connell, 1995).

ABS sangat tidak menguntungkan karena ternyata sangat lambat terurai oleh bakteri penngurai disebabkan oleh adanya rantai bercabang pada strukturnya. Dengan tidak terurainya secara biologi deterjen ABS, lambat laun perairan yang terkontaminasi oleh ABS akan dipenuhi oleh busa (Achmad, 2004).

ABS sangat sukar didegradasi oleh mikrorganisme karena ikatan dalam strukturnya, sehingga mencemari air, surfaktan lain yang tergolong biogradable adalah alkil linear sulfonat atau α-dodecanebenzene sulfonat (LAS) :

H3C-CH-CH2-CH2- CH2- CH2- CH2- CH2-CH-C-CH-CH3

O=S=O O-Na+

Gambar 2. Rumus bangun dari LAS (α-dodecanebenzene sulfonat)

LAS lebih mudah didegradasi oleh mikroorganisme dibanding dengan ABS karena gugus alkil dalam LAS tidak bercabang dan tidak memiliki atom karbon tersier. Penggunaan LAS dapat mengurangi pencemaran air (Situmorang, 2007).


(21)

Sejak LAS menggantikan penggunaan ABS dalam deterjen, masalah-masalah yang timbul seperti penutupan permukaan air oleh gumpalan busa dapat dihilangkan dan toksisitasnya terhadap ikan di perairan telah banyak dikurangi (Achmad, 2004).

Pada umumnya, deterjen mengandung bahan-bahan berikut :

a. Surfaktan (Surface active agent)

Zat aktif permukaan mempunyai ujung berbeda yaitu hydrophile (suka air) dan hydrophobe (suka lemak). Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan. Berupa anionik (Alkyl Benzene

Sulfonate/ABS, Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS, Alpha Olein Sulfonate/AOS), kationik (Garam Ammonium), Nonionik (Nonyl Phenol Polyethoxyle), Amfoterik (Acyl Ethylenediamines).

b. Builder (Pembentuk)

Zat yang berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara menon-aktifkan mineral penyebab kesadahan air. Berupa phosphates

(Sodium Tri Poly Phosphate/STTP). Asetat (Nitril Tri Acetate/NTA, Ethylene Diamine Tertra Acetate/EDTA) dan Sitrat (asam sitrat).

c. Filler (Pengisi)

Bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas atau dapat memadatkan dan memantapkan sehingga dapat menurunkan harga. Contoh: Sodium sulfate.


(22)

d. Additivies (Zat Tambahan)

Bahan suplemen/tambahan untuk membuat produk lebih menarik, misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan sebagainya yang tidak berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen. Additivies ditambahkan untuk maksud komersialisasi produk. Contoh : Enzyme, Borax, Sodium

chloride, Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dipakai agar kotoran yang

telah dibawa oleh deterjen ke dalam larutan tidak kembali ke bahan cucian pada waktu mencuci. Wangi-wangian atau parfum dipakai agar cucian berbau harum, sedangkan air sebagai bahan pelarut (Admin, 2010).

2..4.2. Toksisitas Deterjen

Kemampuan deterjen untuk menghilangkan berbagai kotoran yang menempel pada kain atau objek lain, mengurangi keberadaan kuman dan bakteri yang menyebabkan infeksi. Tanpa mengurangi makna manfaat deterjen dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, harus diakui bahwa bahan kimia yang digunakan pada deterjen dapat menimbulkan dampak negatif baik terhadap kesehatan maupun lingkungan. Dua bahan terpenting dari pembentuk deterjen yakni surfaktan dan builders, diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap manusia dan lingkungannya (Admin, 2010).

Deterjen ada yang bersifat kationik, anionik maupun nonionik. Kesemuanya membuat zat yang lipofilik mudah larut dan menyebar di perairan. Selain itu, ukuran zat lipofilik menjadi lebih halus sehingga mempertinggi


(23)

toksisitas racun. Deterjen juga mempermudah absorpsi racun melalui insang. Ada pula yang persisten sehingga terjadi akumulasi (Slamet, 1994).

Umumnyanya pada deterjen anionik ditambahkan zat aditif lain (builder) seperti golongan ammonium kuartener. Golongan ammonium kuartener ini dapat membentuk senyawa nitrosamine. Senyawa nitrosamine diketahui bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan kanker (Admin, 2010).

Kadar surfaktan 1 mg/liter dapat mengakibatkan terbentuknya busa diperairan. Meskipun tidak bersifat toksik, keberadaan surfaktan dapat menimbulkan rasa pada air dan dapat menurunkan absorpsi oksigen di perairan (Effendi, 2003).

Pengaruh lingkungan yang paling jelas adalah adanya busa pada aliran sungai. Hynes dan Roberts (1962), dalam studi aliran sungai di Inggris yang menerima limbah air mengandung surfaktan (2-4 ppm) tidak dapat mendeteksi perubahan apa pun dalam struktur komunitas biota air karena surfaktan (Connell, 1995).

Dalam laporan lain disebutkan deterjen dalam badan air dapat merusak insang dan organ pernafasan ikan yang mengakibatkan toleransi ikan terhadap badan air yang kandungan oksigennya rendah menjadi menurun. Keberadaan busa-busa dipermukaan air menjadi salah satu penyebab kontak udara dan air terbatas sehingga menurunkan oksigen terlarut. Dengan demikian akan menyebabkan organisme air kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian (Admin, 2010).


(24)

Deterjen keras berbahaya bagi ikan biarpun konsentrasinya kecil, misalnya natrium dodesil benzene sulfonat dapat merusak insang ikan, biarpun hanya 5 ppm. Tanaman air juga dapat menderita jika kadar deterjen tinggi. Kemampuan fotosintetis dapat terhenti (Sastrawijaya, 1991).

Menurut Wardhana (1995), Bahan buangan berupa deterjen di dalam air lingkungan akan mengganggu karena alasan berikut ini :

a. Deterjen yang menggunakan bahan non-fosfat akan menaikkan pH air sampai sekitar 10,5-11.

b. Bahan antiseptik yang ditambahkan ke dalam deterjen juga mengganggu kehidupan mikroorganisme di dalam air bahkan dapat mematikan.

c. Ada sebagian bahan deterjen yang tidak dapat dipecah (didegradasi) oleh mikroorganisme yang ada di dalam air. Keadaan ini sudah tentu akan merugikan lingkungan.

Permasalahan juga ditimbulkan oleh deterjen yang mengandung banyak polifosfat yang merupakan penyusun deterjen yang masuk ke badan air. Poliposfat dari deterjen ini diperkirakan memberikan kontribusi sekitar 50 % dari seluruh fosfat yang terdapat diperairan. Keberadaan fosfat yang berlebihan menstimulir terjadinya eutrofikasi (pengkayaan) perairan (Effendi, 2003).

Fosfat tidak memiliki daya racun, bahkan sebaliknya merupakan salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan makhluk hidup. Tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak, fosfat dapat menyebabkan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air sehingga badan air kekurangan oksigen akibat dari


(25)

pertumbuhan algae (phytoplankton) yang berlebihan yang merupakan makanan bakteri (Admin, 2010).

Populasi bakteri yang berlebihan akan menggunakan oksigen yang terlarut dalam air sampai suatu saat terjadi kekurangan oksigen di badan air dan pada akhirnya justru membahayakan kehidupan makhluk air dan sekitarnya. Di beberapa Negara penggunaan fosfat dalam deterjen telah dilarang. Sebagai alternatif telah dikembangkan zeolite dan citrate sebagi builder dalam deterjen (Admin, 2010).

2.5. Spektrofotometer menggunakan metode MBAS (Methylene Blue Anionic Surfaktan)

Analisis spektrofotometri UV/Vis merupakan salah satu teknik analisis spetroskopi yang telah lama dikenal dan banyak digunakan di berbagai laboratorium (Anonim, 1979).

Spektrofotometer UV-Visible adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar Ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm, sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm. Elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif (Dachriyanus, 2004).

Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan (larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya.


(26)

Radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap jika tidak ada spesies penyerap lainnya. Intensitas atau kekuatan radiasi cahaya sebanding dengan jumlah foton yang melalui satu satuan luas penampang perdetik (Rohman, 2007).

Prinsip yang digunakan adalah suatu molekul zat yang dapat menyerap ultraviolet dan cahaya tampak dengan kemungkinan bahwa elektron molekul zat akan terkesitasi ke tingkat energi yang tinggi. Bertujuan untuk menentukan kadar zat secara spektrofotometri serapan pada daerah ultraviolet dan cahaya tampak (Anonim, 1979).

Methylene Blue digunakan untuk uji coba bahan pewarna organik. Bahan

pewarna organik yang berwarna biru tua ini, akan menjadi tidak berwarna apabila oksigen pada sampel (air yang tercemar yang sedang dianalisis) telah habis dipergunakan (Mahida, 1981).

Surfaktan anionik bereaksi dengan warna biru metilen membentuk pasangan ion baru yang terlarut dalam pelarut organik, intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 652 nm. Serapan yang diukur setara dengan kadar surfaktan anionik (Anonim, 2009).


(27)

BAB III METODOLOGI 3.1. Peralatan dan Bahan

3.1.1 Peralatan

• Spektrofotometer

• Timbangan analitik

• Corong pemisah 250 ml

• Labu ukur 100 ml; 500 ml dan 1000 ml

• Gelas piala 200 ml

• Pipet volumetrik 1,0 ml; 2,0 ml; 3,0 ml dan 5,0 ml

• Pipet ukur 5 ml dan 10 ml 3.1.2. Bahan

• Serbuk Alkil Sulfonat Linier (LAS) atau natrium lauril sulfat (C12H25OSO3Na)

• Larutan indikator fenolftalein

• Larutan natrium hidroksida (NaOH) 1N

• Larutan sulfat (H2SO4) 1N

• Larutan biru metilen

• Kloroform (CHCl3) p.a

• Larutan pencuci


(28)

• Isopropil alkohol (i-C3H7OH)

Serabut kaca (glass wool)

• Air suling

• Sampel limbah cair domestik 3.2. Prosedur

3.2.1. Pembuatan larutan induk surfaktan anionik 1000 mg/L

Dilarutkan 1,000 gr LAS 100 % aktif atau natrium lauril sulfat (C12H25OSO3Na) dengan 100 ml air suling dalam labu ukur 1000 ml kemudian ditambahkan air suling hingga tepat tanda tera dan dihomogenkan.

CATATAN : Simpan larutan induk surfaktan anionik di dalam lemari pendingin untuk mengurangi biodegradasi. Bila terbentuk endapan, larutan ini tidak dapat digunakan.

3.2.2 Pembuatan larutan baku surfaktan anionik 100 mg/L

Dipipet 10 ml larutan induk surfaktan anionik 1000 mg/l dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, kemudian ditambahkan air suling hingga tepat tanda tera dan dihomogenkan.

3.2.3 Pembuatan larutan standar surfaktan anionik

a. Dipipet 1,0 ml; 2,0 ml; 3,0ml dan 5,0 ml larutan baku surfaktan anionik 100 mg/l dan dimasukkan masing – masing ke dalam labu ukur 250 ml. b. Ditambahkan air suling sampai tepat pada tanda tera sehingga diperoleh


(29)

CATATAN : Larutan standar dapat dibuat dari larutan baku surfaktan siap

pakai yang diperdagangkan.

3.2.4. Pembuatan kurva kalibrasi

a. Dioptimalkan alat spektrofotometer sesuai dengan petunjuk alat untuk pengujian kadar surfaktan anionik.

b. Diambil masing – masing 100 ml larutan blanko dan larutan standar dengan kadar surfaktan anionik 0,4 mg/l; 0,8 mg/l; 1,2 mg/l dan 2,0 mg/l kemudian masing – masing dimasukkan ke dalam corong pemisah 250 ml.

c. Ditambahkan masing – masing larutan biru metilen sebanyak 25 ml.

d. Ditambahkan masing – masing 10 ml kloroform, kocok kuat – kuat selama 30 detik sekali – kali dibuka tutup corong agar gas keluar.

e. Dibiarkan hingga terjadi pemisahan fasa, digoyangkan corong pemisah perlahan – lahan, jika terbentuk emulsi ditambahkan sedikit isopropil alkohol sampai emulsinya hilang.

f. Dipisahkan lapisan bawah (Fasa kloroform) dan ditampung dalam corong pemisah yang lain.

g. Diekstraksi kembali fasa air dalam corong pemisah dengan mengulangi langkah a sampai f sebanyak 2 kali dan disatukan semua fasa kloroform.

h. Ditambahkan 50 ml larutan pencuci ke dalam fasa kloroform gabungan dan dikocok kuat – kuat selama 30 detik.


(30)

i. Dibiarkan terjadi pemisahan fasa, digoyangkan perlahan – lahan.

j. Dikeluarkan lapisan bawah (kloroform) melalui glass wool dan ditampung ke dalam labu ukur pada langkah j.

k. Ditambahkan 10 ml kloroform ke dalam fasa air hasil pengerjaan pada langkah j; dikocok kuat – kuat selama 30 detik.

l. Dibiarkan terjadi pemisahan fasa, digoyangkan perlahan – lahan.

m. Dikeluarkan lapisan bawah (kloroform) melalui glass wool dan ditampung ke dalam labu ukur pada langkah j.

n. Diekstraksi kembali fasa air dalam corong pemisah dengan mengulangi langkah k sampai m dan disatukan semua fasa kloroform dalam labu ukur pada langkah j.

o. Dicuci glass wool dengan kloroform sebanyak 10 ml dan digabungkan dengan fasa kloroform dalam labu ukur pada langkah j.

p. Ditepatkan isi labu ukur pada langkah j; hingga tanda tera dengan kloroform.

q. Diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 652 nm dan dicatat serapannya.


(31)

3.2.5. Prosedur uji

a. Diukur contoh uji sebanyak 50 ml dan dimasukkan ke dalam corong pemisah 250 ml.

b. Ditambahkan 5 tetes H2O2.

c. Ditambahkan 3 tetes sampai dengan 5 tetes indikator fenoloftalein dan larutan NaOH 1N tetes demi tetes ke dalam contoh uji sampai timbul warna merah muda, kemudian dihilangkan dengan menambahkan H2SO4 1N tetes demi tetes.

d. Ditambahkan larutan biru metilen sebanyak 12,5 ml ke dalam contoh uji.

e. Ditambahkan 5 ml kloroform ke dalam contoh uji, dikocok kuat – kuat selama 30 detik sekali – kali dibuka tutup corong agar gas keluar.

f. Dibiarkan hingga terjadi pemisahan fasa, digoyangkan corong pemisah perlahan – lahan.

g. Dipisahkan lapisan bawah (Fasa kloroform) dan ditampung dalam corong pemisah yang lain.

h. Diekstraksi kembali fasa air dalam corong pemisah dengan mengulangi langkah a sampai f sebanyak 2 kali dan disatukan semua fasa kloroform.

i. Ditambahkan 25 ml larutan pencuci ke dalam fasa kloroform gabungan dan dikocok kuat – kuat selama 30 detik.


(32)

k. Dikeluarkan lapisan bawah (kloroform) melalui glass wool dan ditampung ke dalam labu ukur pada langkah j.

l. Ditambahkan 5 ml kloroform ke dalam fasa air hasil pengerjaan pada langkah j; dikocok kuat – kuat selama 30 detik.

m. Dibiarkan terjadi pemisahan fasa, digoyangkan perlahan – lahan.

n. Dikeluarkan lapisan bawah (kloroform) melalui glass wool dan ditampung ke dalam labu ukur pada langkah j.

o. Diekstraksi kembali fasa air dalam corong pemisah dengan mengulangi langkah k sampai m dan disatukan semua fasa kloroform dalam labu ukur pada langkah j.

p. Dicuci glass wool dengan kloroform sebanyak 5 ml dan digabungkan dengan fasa kloroform dalam labu ukur pada langkah j.

q. Ditepatkan isi labu ukur pada langkah j; hingga tanda tera dengan kloroform.

r. Diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 652 nm dan dicatat serapannya.


(33)

3.3. Flowsheet

3.3.1. Pembuatan Larutan Induk Surfaktan Anionik 1000 mg/L 100 gr LAS 100% aktif/

Na. Lauril Sulfat (C12H25OSO3Na)

Dilarutkan dengan 100 ml air suling dalam labu ukur 100 ml Ditambahkan air suling hingga tepat tanda tera

Dihomogenkan

Hasil akhir

3.3.2 Pembuatan Larutan Baku Surfaktan Anionik 100 mg/L Larutan induk

Surfaktan anionik 1000 mg/L

Dipipet sebanyak 10 ml

Dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml

Ditambahkan air suling hingga tepat tanda tera

Dihomogenkan


(34)

3.3.3. Pembuatan Larutan Standar Surfaktan Anionik Larutan baku

surfaktan anionik 100 mg/L

Dipipet 1,0 ml; 2,0 ml; 3,0 ml dan 5,0 ml

Dimasukkan masing-masing ke dalam labu ukur 250 ml

Ditambahkan air suling sampai tepat pada tanda tera sehingga diperoleh kadar surfaktan anionik 0,4 mg/L; 0,8 mg/L; 1,2 mg/L dan 2,0 mg/L MBAS


(35)

3.3.4. Pembuatan Kurva Kalibrasi

Larutan standar surfaktan anionik

Dioptimalkan alat spektrofotometer sesuai dengan petunjuk alat untuk

pengujian kadar surfaktan

anionik

Diambil masing-masing 100 ml dengan kadar surfaktan anionik 0,4 mg/L; 0,8 mg/L; 1,2 mg/L dan 2,0 mg/L*

Dimasukkan masing-masing ke dalam corong pemisah 250 ml Ditambahkan masing-masing 25 ml larutan biru metilen

Ditambahkan masing-masing 10 ml kloroform(3x)

Dikocok kuat-kuat selama 30 detik sekali-kali dibuka tutup corong untuk mengeluarkan gas**

Lapisan air I Lapisan kloroform I

Ditampung

pada corong pemisah lain

Ditambahkan 50 ml larutan pencuci

Dikocok kuat-kuat selama 30 detik


(36)

Lapisan air I Lapisan kloroform I

Ditampung

pada corong pemisah lain

Ditambahkan 50 ml larutan pencuci

Dikocok kuat-kuat selama 30 detik

Lapisan air II Lapisan kloroform II Diekstraksi dengan Ditampung 10 ml CHCl3sebanyak 2 x dalam labu Dikocok kuat-kuat ukur 50 ml selama 30 detik Hasil akhir

Digabung Lapisan air III Lapisan kloroform III

Ditampung dalam labu ukur 50 ml

Ditepatkan isi labu ukur dengan kloroform hingga garis tanda

Diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 652 nm Dicatat serapannya


(37)

3.3.5. Prosedur Uji

Larutan contoh uji *

Diukur sebanyak 50 ml

Dimasukkan ke dalam corong pemisah 250 ml

Ditambahkan 5 tetes H2O2

Ditambahkan 3-5 tetes indikator fenolftalein dan larutan NaOH 1N tetes demi tetes

Warna merah muda

Dihilangkan dengan

menambahkan H2SO4 1N tetes demi tetes

Larutan bening

Ditambahkan masing-masing 12,5 ml larutan biru metilen

Ditambahkan masing-masing 5 ml kloroform

Dikocok kuat-kuat selama 30 detik sekali-kali dibuka tutup corong untuk mengeluarkan gas**

Lapisan air I Lapisan Kloroform I

Ditampung

pada corong pemisah lain

Ditambahkan 25 ml larutan pencuci

Dikocok kuat-kuat selama 30 detik


(38)

Lapisan air I Lapisan kloroform I

Ditampung

pada corong pemisah lain

Ditambahkan 25 ml larutan pencuci

Dikocok kuat-kuat selama 30 detik

Lapisan air II Lapisan kloroform II Diekstraksi dengan Ditampung 5 ml CHCl3sebanyak 2 x dalam labu Dikocok kuat-kuat ukur 50 ml selama 30 detik Hasil akhir

Digabung Lapisan air III Lapisan kloroform III

Ditampung dalam labu ukur 50 ml

Ditepatkan isi labu ukur dengan kloroform hingga garis tanda

Diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 652 nm Dicatat serapannya


(39)

Keterangan:

* Dibuat blanko

** Dibiarkan hingga terjadi pemisahan fasa, digoyangkan corong pemisah

perlahan – lahan, jika terbentuk emulsi ditambahkan sedikit isopropil alkohol sampai emulsinya hilang.


(40)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil

Dari hasil pemeriksaan sampel pada limbah cair domestik yang dilaksanakan di UPT. Laboratorium Badan Lingkungan Hidup Sumatera Utara, dapat dilihat pada:

Tabel 4. Hasil analisa surfaktan anionik (deterjen)

Sampel Hasil UV Pengenceran Hasil (mg/L) Blanko -0,1266

Sampel 1 0,4415 - 0,4415

Sampel 2 0,2481 - 0,2481

Keterangan : Hasil tersebut dapat dibaca pada alat spektrofotometer

Kurva analisa surfaktan anionik (deterjen) Terlampir

Tabel 5. Tabel larutan standar surfaktan anionik (deterjen) Terlampir

Kurvar larutan standar surfaktan anionik (deterjen) Terlampir


(41)

4.2. Pembahasan

Dari hasil analisa surfaktan anionik (deterjen) pada sampel 1 dan sampel 2 diperoleh kadar surfaktan anionik (deterjen) 0,4415 mg/L dan 0,2481 mg/L. Hasil tersebut memenuhi persyaratan baku mutu air karena kadar surfaktan anionik (deterjen) masih di bawah batas maksimum yaitu 200 mg/L.

Hal ini berarti bahwa kadar surfaktan anionik (deterjen) di dalam limbah cair domestik dapat dibuang ke lingkungan sebab dalam rentang kadar tersebut deterjen belum mencemari lingkungan, khususnya sungai. Sehingga biota air yang hidup di sungai tersebut masih dapat menerima kadar dari surfaktan anionik (deterjen) yang terdapat di dalam limbah cair domestik dan air sungai tersebut dapat dikategorikan aman untuk digunakan oleh masyarakat yang bermukim di sekitar sungai tersebut.

Sesuai dengan waktu ketahanan surfaktan yang cukup singkat dalam daerah perairan, surfaktan tidak diakumulasikan sampai batas terentu jika tidak terjadi biomagnifikasi (peningkatan konsentrasi substansi atau senyawa) dalam rantai makanan. Meskipun demikian, akumulasi mungkin dapat terjadi sampai batas tertentu dengan produk degradasi. Sulit untuk menandai perubahan yang disebabkan oleh surfaktan dalam daerah perairan, hal ini disebabkan oleh adanya pencemar yang lain. Karena surfaktan biasanya terdapat dalam gabungan dengan zat pencemar lainnya (Connell, 1995).


(42)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Dari hasil analisa surfaktan anionik (deterjen) pada sampel 1 dan sampel 2 diperoleh kadar surfaktan anionik (deterjen) 0,4415 mg/L dan 0,2481 mg/L. Hasil tersebut memenuhi persyaratan baku mutu air karena kadar surfaktan anionik (deterjen) masih dibawah batas maksimum yaitu 200 mg/L. Maka dapat disimpulkan bahwa hasil analisa surfaktan anionik (deterjen) memenuhi persayaratan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001.

5.2. Saran

Disarankan kepada penulis lain untuk menganalisa surfaktan anionik (deterjen) pada limbah cair domestik dengan menggunakan prosedur JIS (Japanese Industrial Standard).


(43)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Dr. Rukaesih M.Si. (2004). Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Andi Offsett. Hal 92, 93, 110-113.

Admin. (2010). Surfaktan, deterjen, sabun (Revisi)

2010/08/28/surfaktan-deterjen-sabun-revisi/.html. Tgl 28 Agustus 2010.

Ainul. (2004). Mewaspadai Bahaya Limbah Domestik Di Kali Mas.

Anonim. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Hal 772-773.

Anonim. (2009). Analisis Deterjen

analisis-deterjen.html. Tgl 17 April 2006.

Connell, Des W and Gregory J. Miller. 1995. Kimia dan (Eko)Toksikologi

Pencemaran. Jakarta: UI-PRESS. Hal 330-332, 336.

Dachriyanus. (2004). Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi,

Cetakan Pertama. Padang: Andalas Universitas Press. Hal 1-8.

Effendi, H. (2003). Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Kanisius. Hal 11, 27-28.


(44)

Gabriel, J.F. (2001). Fisika Lingkungan, Cetakan Pertama. Jakarta: Hipokrates. Hal: 79-87.

Hadi, Anwar. (2005). Prinsip Pengelolaan Sampel Lingkungan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 81.

Junior, Rendi Bambang. (2009). Mengetahui Dampak Air Limbah Deterjen

Terhadap Organisme Air

Mengetahui-dampak-air-limbah-detergen.html. Tgl 16 Oktober 2009.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: KEP-51/MENLH/10/1995 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri.

Kristianto, P. (2002). Ekologi Industri. Yogyakarta: Andi Offset. Hal 71-76.

Mahida, U.N. (1981). Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Jakarta: C.V. Rajawali. Hal 27-28.

Manik, K.E.S. (2004). Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Djambatan. Hal 113 dan 143.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemar Air.

Rohman, Abdul M.Si., Apt. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 240.

Ricki, M. (2005). Kesehatan Lingkungkan, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal 46-71.


(45)

Sastrawijaya, A.Tresna M.Sc. (1991). Pencemar Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta. Hal 103-105.

Sawyer, Clair N, et all. (1967). Chemsitry For Environmental Engineering and

Science, Fifth Edition. Singapore: Mc. Graw Hill. Hal 275.

Situmorang, Manihar. (2007). Kimia Lingkungan. Medan: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNIMED. Hal 114-115.

Slamet, Juli Soemirat. (1994). Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Hal 119.

Sugiharto. (1987). Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta: UI-PRESS. Hal 20.

Suriwiria, Prof. Drs. Unus. (2005). Air Dalam Kehidupan dan Lingkungan yang

Sehat. Bandung: PT ALUMNI. Hal 40.

Wardhana, Wisnu Arya. (1995). Dampak Pencemaran Lingkungan, Cetakan


(46)

LAMPIRAN Lampiran pertama


(47)

Lampiran Kedua

Tabel 5. Tabel larutan standar surfaktan anionik (deterjen)

Lampiran Ketiga


(48)

Lampiran Keempat


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Dr. Rukaesih M.Si. (2004). Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Andi Offsett. Hal 92, 93, 110-113.

Admin. (2010). Surfaktan, deterjen, sabun (Revisi)

2010/08/28/surfaktan-deterjen-sabun-revisi/.html. Tgl 28 Agustus 2010.

Ainul. (2004). Mewaspadai Bahaya Limbah Domestik Di Kali Mas.

Anonim. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Hal 772-773.

Anonim. (2009). Analisis Deterjen

analisis-deterjen.html. Tgl 17 April 2006.

Connell, Des W and Gregory J. Miller. 1995. Kimia dan (Eko)Toksikologi Pencemaran. Jakarta: UI-PRESS. Hal 330-332, 336.

Dachriyanus. (2004). Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi, Cetakan Pertama. Padang: Andalas Universitas Press. Hal 1-8.

Effendi, H. (2003). Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Kanisius. Hal 11, 27-28.


(2)

Gabriel, J.F. (2001). Fisika Lingkungan, Cetakan Pertama. Jakarta: Hipokrates. Hal: 79-87.

Hadi, Anwar. (2005). Prinsip Pengelolaan Sampel Lingkungan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 81.

Junior, Rendi Bambang. (2009). Mengetahui Dampak Air Limbah Deterjen Terhadap Organisme Air

Mengetahui-dampak-air-limbah-detergen.html. Tgl 16 Oktober 2009.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: KEP-51/MENLH/10/1995 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri.

Kristianto, P. (2002). Ekologi Industri. Yogyakarta: Andi Offset. Hal 71-76.

Mahida, U.N. (1981). Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Jakarta: C.V. Rajawali. Hal 27-28.

Manik, K.E.S. (2004). Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Djambatan. Hal 113 dan 143.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemar Air.

Rohman, Abdul M.Si., Apt. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 240.

Ricki, M. (2005). Kesehatan Lingkungkan, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal 46-71.


(3)

Sastrawijaya, A.Tresna M.Sc. (1991). Pencemar Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta. Hal 103-105.

Sawyer, Clair N, et all. (1967). Chemsitry For Environmental Engineering and Science, Fifth Edition. Singapore: Mc. Graw Hill. Hal 275.

Situmorang, Manihar. (2007). Kimia Lingkungan. Medan: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNIMED. Hal 114-115.

Slamet, Juli Soemirat. (1994). Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Hal 119.

Sugiharto. (1987). Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta: UI-PRESS. Hal 20.

Suriwiria, Prof. Drs. Unus. (2005). Air Dalam Kehidupan dan Lingkungan yang Sehat. Bandung: PT ALUMNI. Hal 40.

Wardhana, Wisnu Arya. (1995). Dampak Pencemaran Lingkungan, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Andi Offsett. Hal 71-85.


(4)

LAMPIRAN Lampiran pertama


(5)

Lampiran Kedua

Tabel 5. Tabel larutan standar surfaktan anionik (deterjen)

Lampiran Ketiga


(6)

Lampiran Keempat