Gambaran Perilaku Siswa dan Siswi SMA Negeri 5 Medan terhadap Infeksi Menular Seksual.
GAMBARAN PERILAKU SISWA DAN SISWI
SMA NEGERI 5 MEDAN
TERHADAP INFEKSI MENULAR SEKSUAL
Oleh :
ESTER A. J. PANGGABEAN 070100110
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2010
(2)
GAMBARAN PERILAKU SISWA DAN SISWI SMA NEGERI 5 MEDAN
TERHADAP INFEKSI MENULAR SEKSUAL
“ Karya Tullis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kedokteran ”
Oleh :
ESTER A. J. PANGGABEAN 070100110
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2010
(3)
LEMBAR PENGESAHAN
Gambaran Perilaku Siswa dan Siswi SMA Negeri 5 Medan terhadap Infeksi Menular Seksual
Nama : Ester A. J. Panggabean NIM : 070100110
Pembimbing Penguji I
(dr. Ramona Dumasari Lubis, Sp.KK) (dr. Yunilda Andriyani, MKT)
Penguji II
(dr. Elemeida Effendy, Sp.KJ)
Medan, 10 Desember 2010 Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
( Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH ) NIP: 19540220 198011 1 001
(4)
ABSTRAK
WHO memperkirakan telah terjadi 340 juta kasus baru Infeksi Menular Seksual (IMS) di seluruh dunia pada tahun 1999, dan kejadian terbanyak terjadi di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Remaja termasuk dalam populasi yang beresiko tinggi untuk tertular IMS. Penelitian Eaton (2008) mendapati bahwa 4,4% siswa SMA di Amerika Serikat sudah menggunakan ekstasi. Sebuah penelitian di kota Palembang, Kupang, Tasikmalaya, Cirebon dan Singkawang tahun 2005 menunjukkan bahwa 9,1 persen remaja telah melakukan hubungan seks sebelum menikah (BKKBN, 2006). Menurut penelitan Chiuman (2009) pada satu SMA di Medan ditemukan bahwa tingkat pengetahuan siswa/i mengenai IMS dalam kategori kurang baik (52,4%) dan sikap berada dalam kategori cukup baik (57,1%).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan siswa/i SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Jumlah sampel sebanyak 94 orang dengan tingkat kesalahan yang dapat ditolerir (d) sebesar 0,1. Pengambilan sampel menggunakan teknik
stratified random sampling. Sampel tersebut kemudian didistribusikan secara
proposional berdasarkan jenis kelamin dan tingkatan kelas. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif.
Hasil uji tingkat pengetahuan siswa/i SMA Negeri 5 Medan mengenai IMS dikategorikan cukup (80,9%). Sedangkan hasil uji sikap siswa/i SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS dikategorikan baik (45,7%), dan hasil uji tindakan siswa/i SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS dikategorikan baik (98,9%).
Dari hasil uji tersebut maka diharapkan pihak sekolah untuk dapat bekerja sama dengan pihak pelayanan kesehatan untuk dapat memberikan penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi, khususnya pencegahan IMS. Selain itu, diharapkan juga kepada orang tua siswa/i dapat memberikan informasi mengenai kesehatan reproduksi pada anak-anaknya.
Kata kunci : Infeksi Menular Seksual, Remaja, Pengetahuan, Sikap, Tindakan
(5)
ABSTRACT
WHO estimated that 340 million new cases of Sexual Transmitted Infections (STIs) have occured throughout the world in 1999 , and the largest number of new infections occurred in the region of South and Southeast Asia. Teenagers are involved in the high risk population who can be infected STIs. Based on a reseach by Eaton (2008), 4,4% high school students in United States have used ectasy. A research in Palembang, Kupang, Tasikmalaya, Cirebon, and Singkawang in 2005 shows that 9,1% teenagers has had sexual intercouse before marriage (BKKBN, 2006). According to a study by Chiuman (2009) in one of high school in Medan, it was found that the students’ level of knowledge towards STIs is categorized as insufficient (52,4%), and the students’ attitude is categorized as sufficient (57,1%).
This research aimed to find out the level of knowledge, attitude and practice of the students of SMA Negeri 5 Medan towards STIs. The research was a descriptive study. A total of 94 samples were collected with relatively accuracy (d) of 0,1. Sampling technique used was stratified random sampling and they were then distributed proportionally based on their gender and grade. The data were collected using questionnaires and analyzed using descriptive statistic method.
The result of this study shows that the level of knowledge for most of the students is categorized as sufficient (80,9%). However, the students’ attitude towards STIs is categorized as good (45,7%), and the students’ practice towards STIs is categorized as good (98,9%).
From the result of research, it is expected that the school administers work together with the health services to share the informations about the reproductive health to the students, especially about the prevention of STIs. Furthermore, it is recommended for parents to give the informations about reproductive health to their children.
Keywords: Sexual Transmitted Infections, Teenagers, Knowledge, Attitude, Practice
(6)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dari Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Karya tulis ilmiah ini berjudul “Gambaran Perilaku Siswa dan Siswi
SMA Negeri 5 Medan terhadap Infeksi Menular Seksual”. Selama pengerjaan
karya tulis ilmiah ini, penulis telah menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu dr. Ramona Dumasari Lubis, Sp.KK selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan masukan kepada penulis sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. Ibu dr. Yunilda Andriyani, MKT dan dr. Elmeida Effendy, Sp.KJ, selaku Dosen Penguji yang telah menyediakan waktunya untuk menilai karya tulis ilmiah ini sehingga dapat semakin sempurna.
4. Seluruh staf/pegawai Departemen Pendidikan Nasional yang telah mengeluarkan izin untuk melakukan penelitian.
5. Bapak Drs. Zulkifli Lubis selaku Pembantu Kepala Sekolah SMA Negeri 5 Medan, yang telah memberikan izin dan banyak bantuan kepada penulis dalam melakukan proses pengumpulan data di lokasi penelitian.
6. Seluruh siswa dan siswi SMA Negeri 5 Medan, atas bantuan dan partisipasinya dalam proses pengumpulan data penelitian ini.
(7)
7. Kedua orang tua penulis, Abidin Panggabean S.H. dan Elly Sianipar, serta adik-adik penulis, Hiskia dan Hilkia, atas dukungan yang selalu diberikan pada penulis dalam menjalani pendidikan hingga saat ini.
8. Boy Sandy Sianipar, atas semua motivasi, penghiburan, keceriaan, dan bantuan yang selalu diberikan kepada penulis, khususnya selama penelitian ini dikerjakan.
9. Segenap civitas akademika Fakultas Kedokteran USU, terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan.
Untuk seluruh bantuan baik moril maupun materiil yang diberikan kepada penulis selama ini, penulis ucapkan terima kasih dan semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan pahala yang sebasar-besarnya.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat berguna bagi kita semua.
Medan, Desember 2010 Penulis
Ester A. J. Panggabean NIM. 070100110
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan ... i
Abstrak ... ii
Abstract ... iii
Kata Pengantar ... vi
Daftar Isi ... vi
Daftar Tabel ... viii
Daftar Gambar ... x
Daftar Singkatan ... xi
Daftar Lampiran ... xii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 3
1.4. Manfaat Penelitian ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1. Infeksi Menular Seksual (IMS) ... 5
2.1.1. Pengertian IMS ... 5
2.1.2. Kelompok Perilaku Beresiko Tinggi ... 5
2.1.3. Epidemiologi ... 7
2.1.4. Jenis-jenis IMS ... 7
2.1.4.1. Gonore ... 7
2.1.4.2. Sifilis ... 8
2.1.4.3. Herpes Genitalis ... 9
2.1.4.4. AIDS ... 10
2.1.5. Komplikasi ... 11
2.1.6. Pencegahan ... 11
2.2. Teori Perilaku Kesehatan ... 12
2.3. Remaja ... 16
2.3.1. Definisi ... 16
2.3.2. Seksualitas Remaja ... 16
2.3.3. Pendidikan Seksual untuk Remaja ... 17
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 18
3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 18
(9)
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 22
4.1. Jenis Penelitian ... 22
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 22
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 23
4.3.1. Populasi ... 23
4.3.2. Sampel ... 23
4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 24
4.4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 24
4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 26
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27
5.1. Hasil Penelitian ... 27
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 27
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden ... 27
5.1.2.1. Jenis Kelamin ... 28
5.1.2.2. Usia ... 28
5.1.2.3. Kelas ... 29
5.1.3. Hasil Analisis Data ... 30
5.1.3.1. Pengetahuan ... 30
5.1.3.2. Sikap ... 35
5.1.3.3. Tindakan ... 40
5.2. Pembahasan ... 45
5.2.1. Tingkat Pengetahuan ... 45
5.2.2. Sikap ... 47
5.2.3. Tindakan ... 50
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 54
6.1. Kesimpulan ... 54
6.2. Saran ... 54
DAFTAR PUSTAKA ... 56 LAMPIRAN
(10)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 4.1. Distribusi Sampel ... 18
Tabel 4.2. Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner ... 19
Tabel 5.1. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin ... 28
Tabel 5.2. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan usia ... 28
Tabel 5.3. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan kelas .... 29
Tabel 5.4. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel pengetahuan... 30
Tabel 5.5. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel pengetahuan tentang komplikasi IMS ... 31
Tabel 5.6. Distribusi frekuensi pengetahuan ... 32
Tabel 5.7. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan jenis kelamin ... 32
Tabel 5.8. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan usia ... 33
Tabel 5.9. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan kelas ... 34
Tabel 5.10. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel sikap ... 35
Tabel 5.11. Distribusi frekuensi sikap... 36
Tabel 5.12. Distribusi frekuensi sikap berdasarkan jenis kelamin ... 36
Tabel 5.13. Distribusi frekuensi sikap berdasarkan usia ... 37
Tabel 5.14. Distribusi frekuensi sikap berdasarkan kelas ... 38
Tabel 5.15. Distribusi frekuensi sikap berdasarkan tingkat pengetahuan ... 39
(11)
Tabel 5.17. Distribusi frekuensi tindakan ... 41
Tabel 5.18. Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan jenis kelamin ... 41
Tabel 5.19. Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan usia ... 42
Tabel 5.20. Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan kelas ... 43
Tabel 5.21. Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan tingkat pengetahuan .... 44
(12)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 18
(13)
DAFTAR SINGKATAN
AIDS Acquired Immuno Deficiency Syndrome
BKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional CDC Centers for Disease Control and Prevention
HIV Human Immunodeficiency Virus
HSV-1 Herpes Simplex Virus type 1
HSV-2 Herpes Simplex Virus type 2
IgA Immunoglobulin A
IMS Infeksi Menular Seksual
IPA Ilmu Pengetahuan Alam
IPS Ilmu Pengetahuan Sosial IUD Intra Uterine Device
KB Keluarga Berencana
LGP Limfadenopati Generalisata Persisten OSIS Organisasi Siswa Intra Sekolah PID Pelvic Inflamatory Disease
PKBI Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PMR Palang Merah Remaja
PT Perseroan Terbatas
RI Republik Indonesia
SLTP Sekolah Menengah Tingkat Pertama SMP Sekolah Menengah Pertama
SPSS Statistic Package for Social Science
STIs Sexual Transmitted Infections
WHO World Health Organization
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 Lembar Penjelasan kepada Responden
Lampiran 3 Lembar Pernyataan Responden: Persetujuan setelah Penjelasan
Lampiran 4 Kuesioner Penelitian
Lampiran 5 Lembar Validitas Konten
Lampiran 6 Surat Izin Penelitian
(15)
ABSTRAK
WHO memperkirakan telah terjadi 340 juta kasus baru Infeksi Menular Seksual (IMS) di seluruh dunia pada tahun 1999, dan kejadian terbanyak terjadi di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Remaja termasuk dalam populasi yang beresiko tinggi untuk tertular IMS. Penelitian Eaton (2008) mendapati bahwa 4,4% siswa SMA di Amerika Serikat sudah menggunakan ekstasi. Sebuah penelitian di kota Palembang, Kupang, Tasikmalaya, Cirebon dan Singkawang tahun 2005 menunjukkan bahwa 9,1 persen remaja telah melakukan hubungan seks sebelum menikah (BKKBN, 2006). Menurut penelitan Chiuman (2009) pada satu SMA di Medan ditemukan bahwa tingkat pengetahuan siswa/i mengenai IMS dalam kategori kurang baik (52,4%) dan sikap berada dalam kategori cukup baik (57,1%).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan siswa/i SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Jumlah sampel sebanyak 94 orang dengan tingkat kesalahan yang dapat ditolerir (d) sebesar 0,1. Pengambilan sampel menggunakan teknik
stratified random sampling. Sampel tersebut kemudian didistribusikan secara
proposional berdasarkan jenis kelamin dan tingkatan kelas. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif.
Hasil uji tingkat pengetahuan siswa/i SMA Negeri 5 Medan mengenai IMS dikategorikan cukup (80,9%). Sedangkan hasil uji sikap siswa/i SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS dikategorikan baik (45,7%), dan hasil uji tindakan siswa/i SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS dikategorikan baik (98,9%).
Dari hasil uji tersebut maka diharapkan pihak sekolah untuk dapat bekerja sama dengan pihak pelayanan kesehatan untuk dapat memberikan penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi, khususnya pencegahan IMS. Selain itu, diharapkan juga kepada orang tua siswa/i dapat memberikan informasi mengenai kesehatan reproduksi pada anak-anaknya.
Kata kunci : Infeksi Menular Seksual, Remaja, Pengetahuan, Sikap, Tindakan
(16)
ABSTRACT
WHO estimated that 340 million new cases of Sexual Transmitted Infections (STIs) have occured throughout the world in 1999 , and the largest number of new infections occurred in the region of South and Southeast Asia. Teenagers are involved in the high risk population who can be infected STIs. Based on a reseach by Eaton (2008), 4,4% high school students in United States have used ectasy. A research in Palembang, Kupang, Tasikmalaya, Cirebon, and Singkawang in 2005 shows that 9,1% teenagers has had sexual intercouse before marriage (BKKBN, 2006). According to a study by Chiuman (2009) in one of high school in Medan, it was found that the students’ level of knowledge towards STIs is categorized as insufficient (52,4%), and the students’ attitude is categorized as sufficient (57,1%).
This research aimed to find out the level of knowledge, attitude and practice of the students of SMA Negeri 5 Medan towards STIs. The research was a descriptive study. A total of 94 samples were collected with relatively accuracy (d) of 0,1. Sampling technique used was stratified random sampling and they were then distributed proportionally based on their gender and grade. The data were collected using questionnaires and analyzed using descriptive statistic method.
The result of this study shows that the level of knowledge for most of the students is categorized as sufficient (80,9%). However, the students’ attitude towards STIs is categorized as good (45,7%), and the students’ practice towards STIs is categorized as good (98,9%).
From the result of research, it is expected that the school administers work together with the health services to share the informations about the reproductive health to the students, especially about the prevention of STIs. Furthermore, it is recommended for parents to give the informations about reproductive health to their children.
Keywords: Sexual Transmitted Infections, Teenagers, Knowledge, Attitude, Practice
(17)
BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
WHO memperkirakan telah terjadi 340 juta kasus baru Infeksi Menular Seksual (IMS) pada tahun 1999. Angka kejadian infeksi baru terbanyak terjadi di daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara (151 juta kasus), yang diikuti oleh Afrika Sub-Sahara (69 juta kasus) dan Amerika Latin (38 juta kasus) (WHO, 2001).
Melakukan hubungan seks yang tidak aman di luar nikah merupakan salah satu faktor risiko untuk tertular IMS. Dari berbagai hasil penelitian yang ada, peneliti mendapati bahwa remaja yang telah melakukan hubungan seks tidak aman di luar nikah memiliki persentase cukup tinggi. Dalam salah satu penelitian yang dilakukan di Kanada, dari 2376 orang pelajar tingkat 7 sampai tingkat 12 dari suku Aborigin yang dijadikan sebagai sampel, sebanyak 33,7% dari total 1140 orang anak laki-laki dan sebanyak 35% dari total 1336 orang anak perempuan pernah melakukan hubungan seks. Sebanyak 63,3% laki-laki dan 56,1% perempuan memiliki lebih dari satu partner seks; 21,4% laki-laki dan 40,5% perempuan tidak menggunakan kondom saat mereka terakhir kali melakukan hubungan seks (Devries et al, 2009). Sebuah survei yang dilakukan oleh Youth Risk Behavior Survey (YRBS) secara nasional di Amerika Serikat pada tahun 2007 mendapati bahwa 47,8% pelajar yang duduk di tingkat 9-12 telah melakukan hubungan seksual, 35% pelajar SMA telah aktif secara seksual dan 38,5% dari pelajar SMA tersebut tidak menggunakan kondom pada saat hubungan seksual yang terakhir kali dilakukan. Selain itu, 4,4% siswa SMA ternyata sudah menggunakan ekstasi (Eaton, 2008).
Hubungan seks tidak aman dan penggunaan obat-obatan terlarang di kalangan remaja membuat remaja berada dalam populasi yang berisiko tinggi untuk tertular IMS. Menurut Centers for Disease Control and Prevention tahun 2007, di Amerika Serikat kasus Klamidia dan Gonore menempati urutan tertinggi IMS yang diderita remaja pada populasi umum. Pada tahun 2006 kasus terbanyak
(18)
didapati pada wanita usia 15-19 tahun (terdapat 648 kasus per 100000) dan pada pria usia 20-24 tahun (454 per 100000) (Belenko et al, 2009).
Di Indonesia juga telah dilakukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan remaja dan perilaku seksual mereka. Hasil penelitian Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di kota Palembang, Kupang, Tasikmalaya, Cirebon dan Singkawang tahun 2005 menunjukkan bahwa 9,1 persen remaja telah melakukan hubungan seks sebelum menikah dan 85 persennya melakukan hubungan seks pertama mereka pada usia 13-15 tahun di rumah mereka dengan pacar (BKKBN, 2006).
Dalam penelitian yang dilakukan di PT. Flower Indonesia di Jawa Timur pada tahun 1999-2000, didapati bahwa tingkat pengetahuan pekerja remaja tentang IMS baru mencapai 50%, sikap mereka positif terhadap masalah-masalah yang terkait dengan IMS seperti ketidaksetujuannya terhadap hubungan seks pranikah, tetapi perilaku mengenai IMS baru mencapai kisaran 37% (Sarwanto dan Ajik S, 2004).
Sebagai negara dengan jumlah penduduk kedua terbanyak di Asia Selatan dan Asia Tenggara, Indonesia memiliki kontribusi yang signifikan mengenai jumlah kasus baru IMS di dunia. Namun, jumlah kasus IMS di Indonesia menurut Departemen Kesehatan Indonesia dalam Profil Kesehatan Indonesia 2008 masih belum jelas (Departemen Kesehatan RI, 2009). Hal tersebut juga ditemukan peneliti dalam Profil Kesehatan Propinsi Sumatera Utara 2007. Menurut data Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2007, penduduk Kota Medan yang berusia 14-44 tahun berjumlah 1.119.708 jiwa; para remaja termasuk di dalamnya (Dinas Kesehatan RI, 2007).
Di Indonesia, usia risiko tinggi terkena IMS pada umumnya masih menjalani pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) dan universitas, sedangkan perilaku seks bebas umumnya sudah dimulai sejak sekolah Menengah Pertama (SMP). Salah satu cara pencegahan IMS adalah dengan memiliki perilaku yang baik dan benar tentang kesehatan reproduksi khususnya IMS. Dalam suatu penelitan di salah satu SMA swasta di kota Medan ditemukan bahwa tingkat pengetahuan siswa/i mengenai IMS dalam kategori kurang baik (52,4%)
(19)
sedangkan sikap siswa/i terhadap IMS berada dalam kategori cukup baik (57,1%) (Chiuman, 2009).
Penulis sebagai seorang mahasiswa, anggota masyarakat, dan calon petugas kesehatan ingin tahu mengenai sejauh mana perilaku pelajar berusia remaja khususnya yang sedang menuntut ilmu di SMA Negeri 5 Medan sebagai salah satu SMA di kota Medan yang memiliki reputasi baik dan berprestasi. Data yang nanti didapatkan diharapkan dapat dijadikan pegangan baik oleh siswa, guru, petugas kesehatan, dan masyarakat pada untuk mencegah IMS.
1. 2. Rumusan Masalah
Uraian dalam latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
Bagaimana gambaran perilaku siswa dan siswi SMA Negeri 5 Medan terhadap Infeksi Menular Seksual?
1. 3. Tujuan Penelitian
1. 3. 1. Tujuan umum
Mengetahui gambaran perilaku siswa dan siswi SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS.
1. 2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui tingkat pengetahuan mengenai IMS pada siswa dan siswi SMA Negeri 5 Medan.
2. Mengetahui sikap siswa dan siswi SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS.
3. Mengetahui tindakan siswa dan siswi SMA Negeri 5 Medan untuk mencegah IMS.
(20)
1. 4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi para petugas kesehatan untuk merencanakan strategi pelayanan preventif seperti penyuluhan ke sekolah-sekolah
2. Sebagai bahan masukan bagi para guru untuk memberikan pendidikan seks khususnya mengenai pencegahan IMS kepada para siswanya. 3. Siswa dan siswi SMA Negeri 5 Medan memiliki perilaku yang benar
dalam hal pencegahan IMS.
4. Peneliti sebagai calon dokter dapat mengembangkan kemampuan meneliti sebagai area keenam dari tujuh area kompetensi dokter menurut Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
(21)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS)
2.1.1. Pengertian IMS
IMS adalah penyakit yang penularannya terutama melalui hubungan seksual. Meskipun demikian tidak berarti bahwa semuanya harus melalui hubungan kelamin, tetapi beberapa ada yang dapat juga ditularkan melalui kontak langsung dengan alat-alat, handuk, termometer, dan sebagainya (Djuanda, 2008).
2.1.2. Kelompok Perilaku Berisiko Tinggi
Dalam IMS yang dimaksud dengan perilaku risiko tinggi ialah perilaku yang menyebabkan seseorang mempunyai risiko besar terserang penyakit. Yang tergolong kelompok risiko tinggi adalah:
1. Usia
a) 20-34 tahun pada laki-laki b) 16-24 tahun pada wanita
c) 20-24 tahun pada kedua jenis kelamin 2. Pelancong
3. Pekerja seksual komersial atau wanita tuna susila 4. Pecandu narkotik
5. Homoseksual (Daili, 2003).
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam penularan IMS antara lain: 1. Faktor dasar
a) Adanya penularan penyakit b) Berganti-ganti pasangan seksual 2. Faktor medis
a) Gejala klinis pada wanita dan homoseksual yang asimtomatis, b) Pengobatan modern,
(22)
c) Pengobatan yang mudah, murah, cepat, dan efektif, sehingga risiko resistensi tinggi, dan bila disalahgunakan akan meningkatkan risiko penyebaran infeksi,
3. IUD dan pil KB hanya bermanfaat bagi pencegahan kehamilannya saja, berbeda dengan kondom yang juga dapat digunakan sebagai alat pencegahan terhadap penularan infeksi IMS,
4. Faktor sosial seperti mobilitas penduduk, prostitusi, waktu yang santai, kebebasan individu, dan ketidaktahuan (Daili, 2003).
Berdasarkan faktor-faktor risiko di atas, peneliti mendapati bahwa pada zaman sekarang ini, remaja adalah kelompok usia dengan tingkat risiko yang sangat tinggi untuk terjangit IMS, karena gaya hidup remaja sudah cenderung menyimpang ke arah kebiasaan-kebiasaan yang negatif. Dalam salah satu penelitian yang dilakukan di Kanada, dari 2376 orang pelajar tingkat 7 sampai tingkat 12 dari suku Aborigin yang dijadikan sebagai sampel, sebanyak 33,7% dari total 1140 orang anak laki-laki dan sebanyak 35% dari total 1336 orang anak perempuan pernah melakukan hubungan seks. Sebanyak 63,3% laki-laki dan 56,1% perempuan memiliki lebih dari satu partner seks; 21,4% laki-laki dan 40,5% perempuan tidak menggunakan kondom saat mereka terakhir kali melakukan hubungan seks (Devries et al, 2009). Sebuah survei yang dilakukan oleh Youth Risk Behavior Survey (YRBS) secara nasional di Amerika Serikat pada tahun 2007 mendapati bahwa 47,8% pelajar berusia yang duduk di tingkat 9-12 telah melakukan hubungan seksual, 35% pelajar SMA telah aktif secara seksual dan 38,5% dari pelajar SMA tersebut tidak menggunakan kondom pada saat hubungan seksual yang terakhir kali dilakukan. Selain itu, 4,4% siswa SMA ternyata sudah menggunakan ekstasi (Eaton, 2008).
Di Indonesia juga telah dilakukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan remaja dan perilaku seksual mereka. Hasil penelitian Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di kota Palembang, Kupang, Tasikmalaya, Cirebon dan Singkawang tahun 2005 menunjukkan bahwa 9,1 persen remaja telah melakukan hubungan seks sebelum menikah dan 85 persennya melakukan
(23)
hubungan seks pertama mereka pada usia 13-15 tahun di rumah mereka dengan pacar (BKKBN, 2006).
2.1.3. Epidemiologi
WHO memperkirakan telah terjadi 340 juta kasus baru Penyakit Menular Seksual (IMS) pada tahun 1999. Angka kejadian infeksi baru terbanyak terjadi di daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara (151 juta kasus), yang diikuti oleh Afrika Sub-Sahara (69 juta kasus) dan Amerika Latin (38 juta kasus) (WHO, 2001). Menurut Centers for Disease Control and Prevention tahun 2007, di Amerika Serikat kasus Klamidia dan Gonorrhea menempati urutan tertinggi IMS yang diderita remaja pada popolasi umum. Pada tahun 2006 kasus terbanyak didapati pada wanita usia 15-19 tahun (terdapat 648 kasus per 100000) dan pada pria usia 20-24 tahun (454 per 100000) (Belenki et al, 2009).
2.1.4. Jenis-jenis IMS 2.1.4.1. Gonore
A. Definisi dan Etiologi
Gonore mencakup semua penyakit yang disebabkan oleh Neisseria
gonorrheae. Daerah yang paling mudah terinfeksi ialah daerah dengan mukosa
epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang (immatur) (Daili, 2003).
B. Gejala Klinis
Penularan terjadi melalui kontak seksual dengan penderita gonore. Masa tunas penyakit berkisar antara 2-5 hari (1-14 hari). Gejala yang didapati pada laki-laki antara lain keluhan (sakit) waktu kencing, orifisium uretra yang oedem dan eritematus, dan sekret uretra yang purulen. Sebagian besar wanita yang menderita gonore asimtomatik. Gonore pada wanita sering mengenai serviks sehingga terjadi servisitis dengan gejala keputihan (Barakbah, 2008).
(24)
2.1.4.2. Sifilis
A. Definisi dan Etiologi
Sifilis ialah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum; sangat kronik dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin (Djuanda, 2008).
B. Gejala Klinis
1
1. . Stadium I (Sifilis Primer)
Timbul suatu ulkus yang disebut ulkus durum yang mempunyai sifat khusus, antara lain tidak nyeri (indolen), sekitar ulkus teraba keras (indurasi), dasar ulkus bersih dan bewarna merah seperti plak, dan soliter (biasanya hanya 1-2 ulkus). Lokasi ulkus ini pada laki-laki biasanya terdapat pada preputium, ulkus koronarius, batang penis dan skrotum. Pada wanita di labium mayora dan minora, klitoris dan serviks. Ulkus bisa terdapat ekstra genital misalnya pada anus, rektum, bibir, mulut, lidah, tonsil, jari, dan payudara (Barakbah, 2008).
2
2. . Stadium II (Sifilis Sekunder)
Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh. Dapat disertai demam, malaise. Juga adanya kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papul, folikulitis, papulaskuomosa, dan pustul. Jarang dijumpai keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis kongenital. Pada sifilis sekunder yang mengalami relaps, lesi sering unilateral dan berbentuk arsiner. Pada kulit kepala dijumpai alopesia yang disebut moth-eaten alopecia yang dimulai pada daerah oksipital (Daili, 2003).
3
3. . Sifilis Laten
Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis, akan tetapi pemeriksaan serologis positif (Barakbah, 2008).
(25)
4
4. . Stadium III (Sifilis Lanjut)
Kecuali gumma, lesi sifilis lanjut berupa endarteritis obliterans pada bagian ujung arteriol dan pembuluh darah kecil yang menyebabkan peradangan dan nekrosis (Daili, 2003). Pross gumma juga terjadi pada laring, paru, gastrointestinal, hepar, dan testis. Pada kardiovaskuler, sifilis III menyebabkan miokarditis, gangguan katup jantung dan aneurisma aorta (Barakbah, 2008).
2.1.4.3. Herpes Genitalis A. Definisi dan Etiologi
Herpes genitalis adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh Herpes
Simplex Virus tipe 1 (HSV-1) atau tipe 2 (HSV-2) (CDC, 2007). Tipe 1
merupakan tipe klasik yang berhubungan dengan sariawan (cold sore/stomatitis) pada bibir dan muka, dan tipe 2 berhubungan dengan herpes genitalis (Graham-Brown, 2005).
B. Gejala Klinis
Manifestasi klinik dapat dipengaruhi oleh faktor hospes, pajanan terdahulu dari HSV, episode terdahulu dan tipe virus. Masa inkubasi umumnya berkisar antara 3-7 hari, tetapi dapat lebih lama. Gejala yang timbul dapat bersifat berat, tetapi bisa juga asimtomatik terutama bila lesi ditemukan pada daerah serviks (Daili, 2003).
Lesi primer dapat asimtomatis, gejala prodormal berupa rasa panas (terbakar) dan gatal, timbul lesi berupa vesikula yang mudah pecah/erosi/ulkus dangkal bergerombol diatas dasar eritem dan disertai rasa nyeri, setelah timbul lesi dapat terjadi demam, malaise dan nyeri otot. Kelenjar limfe regional membesar dan nyeri pada perabaan (Barakbah, 2008).
Lesi dapat rekuren dengan gejala yang lebih ringan, lesi bersifat lokal, unilateral, berupa lesi vesikuloulseratif dan dapat menghilang dalam waktu 5 hari. Permulaan lesi didahului oleh rasa gatal, panas dan nyeri. Riwayat pernah berulang, dan terdapat faktor pencetus (Barakbah, 2008).
(26)
2.1.4.4. AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) A. Definisi dan Etiologi
AIDS adalah sindrom dengan gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Daili, 2003). Penularan utama HIV adalah melaui 3 jalur yang melibatkan cairan tubuh tersebut, yaitu jalur hubungan seksual (homoseksual/heteroseksual), jalur pemindahan darah atau produk darah seperti jalur transplantasi alat tubuh, dan jalur transplasental (janin dalam kandungan ibu hamil; dengan infeksi HIV dan infeksi perinatal) (Barakbah, 2008).
B. Gejala Klinis
Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya infeksi HIV menjadi AIDS belum diketahui jelas. Bukti-bukti menunjukkan menurunnya hitungan sel CD4 di bawah 200/ml, serta peningkatan B2 mikro globulin, p24 (antibodi terhadap protein core) dan peningkatan IgA menunjukkan perkembangan yang semakin memburuk. CDC menetapkan klasifikasi infeksi HIV pada orang dewasa sebagai berikut:
Kelompok I : Infeksi akut
Kelompok I I : Infeksi asimtomatis
Kelompok III : Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP) Kelompok IV : Penyakit-penyakit lain
Kelompok Iva : Penyakit konstitusi (panas, diare, kehilangan berat badan)
Kelompok Ivb : Penyakit-penyakit neurologis (ensefalitis, demensia) Kelompok Ivc : Penyakit-penyakit infeksi sekunder (Pneumocystis
carinii, Cytomegalo virus)
Kelompok Ivd: Kanker sekunder (sarkoma Kaposi, limfoma non-Hodgkin)
(27)
2.1.5. Komplikasi
IMS dapat meyebabkan berbagai komplikasi kepada penderita, terutama apabila penyakit ini dibiarkan berlama-lama tanpa dilakukan penanganan segera. Herpes simpleks dapat menyebabkan luka di daerah genital yang berulang dan nyeri, dan infeksi herpes dapat menjadi sangat berat pada orang dengan kekebalan tubuh yang rendah. Selain itu, orang yang mengetahui dirinya terinfeksi herpes dapat mengalami stress dan gangguan psikologis (CDC, 2007). Pada wanita, gonore adalah penyebab umum dari Pelvic Inflammatory Disease
(PID), dengan gejala-gejala yang ringan atau dapat juga sangat berat, seperti
nyeri abdomen dan demam. PID dapat mengakibatkan abses internal dan nyeri pelvis yang kronis dan lama. PID dapat merusak tuba fallopi dan menyebabkan infertilitas atau meningkatkan risiko kehamilan ektopik (CDC, 2007). Selain itu, gonore dapat juga menyebabkan bartolinitis (Barakbah, 2008).
Pada pria, gonore dapat menyebabkan epididimitis. Gonore dapat menyebar ke dalam darah dan jaringan sendi, yang dapat mengancam jiwa (CDC, 2007). Komplikasi sistemik dapat berupa meningitis, endokarditis, arthritis, tenosynovitis dan dermatitis (Barakbah, 2008). Sebagai tambahan, penderita gonore lebih gampang mengidap HIV (CDC, 2007).
2.1.6. Pencegahan
2.1.6.1. Pencegahan Primer
Tujuan dari pencegahan primer adalah untuk mencegah penularan penyakit. Pencegahan primer adalah cara satu-satunya yang dapat dilakukan untuk mengatasi infeksi virus yang tidak dapat diobati. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan promosi:
1. Perilaku seksual yang lebih aman.
2. Penggunaan kondom untuk tindakan-tindakan seksual yang melakukan penetrasi.
(28)
2.1.6.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder memerlukan cara-cara khusus untuk mengobati dan merawat orang-orang yang sudah terinfeksi dan menderita IMS. Berbagai aktivitas yang dapat dilakukan antara lain:
1. Promosi kesehatan dengan menyelidiki kebiasaan dan perilaku, bukan hanya kepada orang-orang yang sudah positif terinfeksi IMS, tapi juga kepada orang-orang yang memiliki risiko tinggi untuk tertular IMS. 2. Pelayanan kesehatan yang terjangkau, dapat diterima dan efektif, dan
menawarkan jasa diagnosis dan pengobatan yang efektif baik untuk IMS yang simptomatik dan asimptomatik, dan pasangan seksual mereka.
3. Memberi dukungan dan pelayanan konseling untuk pasien IMS (WHO, 2006).
2.2. TEORI PERILAKU KESEHATAN
Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap
stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan (Notoatmodjo, 2007).
Domain perilaku kesehatan terdiri dari: a) ranah kognitif (cognitive
domain), b) ranah afektif (affective domain), dan c) ranah psikomotor
(psychomotor domain). Untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari:
A. Pengetahuan
Pengetahuan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan mempunyai enam tingkat, yaitu:
1) Tahu (know): diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ‘tahu’ ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa
(29)
yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
2) Memahami (comprehension): diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3) Aplikasi (application): diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4) Analisis (analysis): adalah suatu objek kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
5) Sintesis (synthesis): menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
6) Evaluasi (evaluation): berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2007).
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
(30)
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas (Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan remaja mengenai IMS masih mengkhawatirkan. Banyak remaja merasa bahwa dirinya tidak akan pernah terinfeksi HIV/AIDS karena pertahanan tubuhnya cukup kuat (Notoatmodjo, 2007). Dari sebuah penelitian di Jawa Timur, pengetahuan remaja tentang IMS d\termasuk HIV/AIDS tergolong masih rendah, baru mencapai 50 % (Sarwanto, 2004).
B. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap terdiri dari beberapa tingkatan, yakni:
1) Menerima (receiving): menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
2) Merespons (responding): memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas dari pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut. 3) Menghargai (valuing): mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4) Bertanggung jawab (responsible): bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2007).
Pengukuran sikap dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden. Misalnya, apabila rumah ibu luas, apakah boleh dipakai untuk kegiatan Posyandu (Sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju) (Notoatmodjo, 2007).
(31)
Dari penelitian di Jawa Timur tersebut di atas, sikap para pekerja remaja positif terhadap maslah-masalah yang terkait dengan IMS termasuk HIV/AIDS, khusunya dalam hal ketidaksetujuannya terhadap hubungan seks pranikah, ganti-ganti pasangan, pengguguran kandungan, dan hubungan seks dengan sesama jenis kelamin (Sarwanto, 2004).
C. Tindakan
Tindakan adalah perwujudan dari sikap. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu tindakan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Tingkatan sikap (praktik) antara lain:
1) Persepsi (perception): mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktik tingkat pertama.
2) Respon terpimpin (guided respons) : dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah indikator praktik tingkat dua.
3) Mekanisme (mechanism): apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.
4) Adaptasi (adaptation): adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya, tindakan tersebut sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2007).
(32)
Menurut sebuah penelitian di Jawa Timur, gambaran tindakan terhadap IMS dan HIV/AIDS diantara para pekerja remaja masih tergolong buruk, baru mencapai angka 37% dan di antara pekerja remaja sebanyak 5 orang dari 400 responden telah melakukan hubungan seks pranikah (Sarwanto, 2004).
2.3. REMAJA 2.3.1. Definisi
Adolescentia berasal dari istilah Latin, adolescentia, yang berarti masa
muda yang terjadi antara 17-30 tahun ( Dariyo, 2004). Menurut World Health Organization (2006), remaja adalah periode transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa, dimana usia yang dikategorikan sebagai remaja adalah 10-19 tahun.
Menurut Thornburg, penggolongan remaja terbagi 3 tahap, yaitu (a) remaja awal (usia 13-14 tahun), (b) remaja tengah (usia 15-17 tahun), (c) remaja akhir (usia 18-21 tahun). Pada masa remaja awal, umumnya individu telah memasuki pendidikan di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), sedangkan masa remaja tengah, individu sudah duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemudian, mereka yang tergolong remaja akhir, umumnya sudah memasuki dunia perguruan tinggi atau lulus SMA dan mungkin sudah bekerja (Dariyo, 2004).
2.3.2. Seksualitas Remaja
Remaja memasuki usia subur dan produktif. Artinya secara fisiologis, mereka telah mencapai kematangan organ-organ reproduksi, baik remaja laki-laki maupun remaja wanita. Kematangan organ reproduksi tersebut, mendorong individu untuk melakukan hubungan sosial baik dengan sesama jenis maupun dengan membentuk teman sebayanya (peer-group) (Dariyo, 2004).
Menurut Freud, saat pubertas tubuh berubah sangat pesat. Ciri-ciri seksual primer dan sekunder mulai muncul. Dorongan libidinal akan meningkat dengan pesat. Dorongan libidinal tidak lagi dapat ditekan dengan mudah seprti
(33)
saat masa latent, sehingga potensial menimbulkan berbagai gejolak dan konflik (Arif, 2006).
Seorang remaja yang tidak mampu mengendalikan diri dapat terlibat dalam kehidupan seksual secara bebas (di luar aturan norma sosial), misalnya seks pranikah, kumpul kebo (sommon leven), prostitusi, akan berakibat negatif, seperti terjangkit IMS, kehamilan, drop-out dari sekolah. Biasanya merekalah yang memiliki ketidak-konsistenan antara pengetahuan, sikap, dan perilakunya (Dariyo, 2004). Aktivitas seksual selama masa remaja ( di dalam atau di luar pernikahan) menempatkan remaja dalam risiko untuk terlibat maslah seksual dan kesehatan reproduksi, seperti kehamilan dini, aborsi yang tidak aman, IMS termasuk HIV, dan kekerasan seksual (WHO, 2006).
2.3.3. Pendidikan Seksual untuk Remaja
Banyak media massa, seperti internet, televisi, koran atau majalah yang menyampaikan informasi secara bebas kepada remaja. Sementara itu, walaupun remaja telah mencapai kematangan kognitif, namun dalam kenyataannya mereka belum mampu mengolah informasi yang diterima tersebut secara benar. Untuk itu, peran sekolah, orang tua, media massa maupun pemerintah adalah memikirkan dan membuat program pendidikan seksual untuk remaja. Hal-hal yang perlu diberikan dalam pendidikan seksual seperti: (a) perubahan dan fungsi organ-organ reproduksi selama remaja, (b) perubahan kondisi psikologis-emosional selama masa pubertas, (c) dampak positif-negatif media massa bebas terhadap perilaku seksual remaja, (d) fungsi dan kegunaan alat-alat kontrasepsi, seperti kondom, (e) cara mencegah dan mengatasi terjadinya hubungan bebas di kalangan remaja (Dariyo, 2004).
(34)
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:
vb
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
3.2. Definisi Operasional
Semua konsep yang ada dalam penelitian harus dibuat batasan dalam istilah yang operasional. Maksudnya adalah agar tidak ada makna ganda dari istilah yang digunakan dalam penelitian tersebut, karena pelbagai pengertian dalam ilmu kedokteran sangat bervariasi (Sastroasmoro, 2010).
1. Perilaku
Perilaku adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan.Domain perilaku terdiri dari: a) ranah kognitif (cognitive
domain), b) ranah afektif (affective domain), dan c) ranah psikomotor
Pengetahuan Siswa SMA
Sikap Siswa SMA
Tindakan Siswa SMA
Infeksi Menular Seksual
(35)
(psychomotor domain) (Notoatmodjo, 2007). Untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari :
A. Pengetahuan
Pengetahuan adalah apa yang diketahui siswa tentang nama dan istilah dari berbagai jenis infeksi menular seksual,penyebab, cara penularan, gejala klinis, pencegahan, dan komplikasi IMS. Pengukuran tingkat pengetahuan remaja mengenai IMS dilakukan berdasarkan jawaban pertanyaan yang diberikan oleh responden. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner dengan jumlah pertanyaan sebanyak 9 pertanyaan dengan total skor 14. Bila jawaban responden benar akan diberi nilai 1, jika jawaban dan tidak tahu akan diberi nilai 0. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala kategorikal yaitu skala ordinal. Hasil ukur diperoleh sistem skoring dengan memakai skala menurut Nawawi (1992) dan Arikunto (1995) sebagai berikut:
a. Baik, apabila skor yang diperoleh responden antara 67-100% dari skor maksimum, yaitu 10-14.
b. Cukup, apabila skor yang diperoleh responden antara 34-67% dari skor maksimum, yaitu 5-9.
c. Kurang, apabila skor yang diperoleh responden antara 0-33% dari skor maksimum, yaitu 0-4.
B. Sikap
Sikap adalah pendapat siswa mengenai masalah-masalah yang terkait dengan IMS. Pengukuran tingkat sikap remaja mengenai IMS dilakukan berdasarkan tanggapan atas pernyataan yang diberikan oleh responden. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner dengan jumlah pernyataan sebanyak 6 pernyataan dengan total skor 6. Bila sikap responden benar akan diberi nilai 1, jika sikap responden dianggap salah maka akan diberi nilai 0. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala kategorikal yaitu skala ordinal. Hasil ukur diperoleh sistem skoring dengan memakai skala menurut Nawawi (1992) dan Arikunto (1995) sebagai berikut:
(36)
a. Baik, apabila skor yang diperoleh responden antara 67-100% dari skor maksimum, yaitu 5-6.
b. Cukup, apabila skor yang diperoleh responden antara 34-67% dari skor maksimum, yaitu 3-4.
c. Kurang, apabila skor yang diperoleh responden antara 0-33% dari skor maksimum, yaitu 0-2.
C.Tindakan
Tindakan adalah hal-hal yang telah dilakukan siswa dalam rangka pencegahan IMS. Pengukuran tingkat tindakan remaja mengenai IMS dilakuka n berdasarkan tanggapan pernyataan yang diberikan oleh responden. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner dengan jumlah pernyataan sebanyak 6 pernyataan dengan total skor 6. Bila tanggapan responden mencerminkan tindakan yang baik akan diberi nilai 1, jika tindakan responden dianggap tidak baik maka akan diberi nilai 0. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala kategorikal yaitu skala ordinal. Hasil ukur diperoleh sistem skoring dengan memakai skala menurut Nawawi (1992) dan Arikunto (1995) sebagai berikut:
a. Baik, apabila skor yang diperoleh responden antara 67-100% dari skor maksimum, yaitu 5-6.
b. Cukup, apabila skor yang diperoleh responden antara 34-67% dari skor maksimum, yaitu 3-4.
c. Kurang, apabila skor yang diperoleh responden antara 0-33% dari skor maksimum, yaitu 0-2.
2. Siswa dan Siswi SMA
Siswa dan siswi SMA adalah pelajar berjenis kelamin laki-laki dan perempuan yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, mulai dari kelas X hingga kelas XII; Siswa dan siswi SMA tergolong dalam kelompok usia remaja (13-19 tahun).
(37)
3. Infeksi Menular Seksual
Infeksi Menular Seksual adalah penyakit yang penularannya terutama melalui hubungan seksual. Meskipun demikian tidak berarti bahwa semuanya harus melalui hubungan kelamin, tetapi beberapa ada yang dapat juga ditularkan melalui kontak langsung dengan alat-alat, handuk, termometer, dan sebagainya.
(38)
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan untuk memberi gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena (Prasetyo, 2006; Alatas, 2010)), yaitu gambaran perilaku siswa/i SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS. Desain penelitian adalah penelitian observasional dengan studi cross-sectional, yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek-aspek terkait dalam suatu waktu tertentu (Prasetyo, 2005).
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 9 bulan dimulai dari bulan Februari 2010 sampai dengan Desember 2010. Penelitian ini dimulai dari konsultasi dengan dosen pembimbing, pencarian dan penentuan judul, penelusuran daftar pustaka, survei pendahuluan, penyusunan proposal penelitian, seminar proposal dan direncanakan untuk dilanjutkan dengan penelitian lapangan untuk uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian, mengumpulkan data, pengolahan dan analisis data, penyusunan laporan hasil penelitian, serta seminar hasil penelitian.
Penelitian ini akan diadakan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 5
Medan, yang berlokasi di Jalan Pelajar Nomor 17, Kelurahan Teladan Timur, Kecamatan Medan Kota, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Pemilihan tempat ini adalah karena SMA Negeri 5 Medan merupakan salah satu SMA negeri yang termasuk kategori baik dan berprestasi di kota Medan, serta memiliki sisw/i dengan berbagai latar belakang suku, agama, dan daerah, sehingga peneliti menganggap hasil penelitian IMS di sekolah ini akan dapat memberi gambaran perilaku secara umum terhadap IMS oleh siswa dan siswi seluruh SMA di kota Medan. Selain itu, belum pernah dilakukan penelitian mengenai IMS di SMA Negeri 5 Medan, sehingga belum ada data mengenai gambaran perilaku siswa/i SMA Negeri 5 Medan terhadap IMS.
(39)
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi
Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah seluruh siswa/i SMA Negeri 5 Medan dengan jumlah total sebanyak 1257 orang.
4.3.2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan menggunakan rumus Populasi Finit (terbatas) (Wahyuni, 2007), yaitu:
N.Z2 n=
1-α/2.p. (1-p)
(N-1) d2 + Z21-α/2.p. (1-p)
Dengan:
n = besar sampel minimum Z2
P = harga proporsi di populasi
1-α/2 = nilai distribusi normal baku pada α tertentu
d = kesalahan (absolut) yang dapat ditolerir N = jumlah populasi
Dengan tingkat kesalahan yang dapat ditolerir (d) sebesar 10%, harga proporsi (P) sebesar 0,5, dan nilai distribusi normal baku sebesar 1,96 pada tingkat kepercayaan 95% sesuai dengan Tabel Dsitribusi Z, maka berdasarkan rumus di atas diperoleh jumlah sampel minimum adalah 90 orang. Pemilihan sampel dilakukan dengan cara stratified random sampling ( Sastroasmoro, 2010), yaitu dengan menggunakan variabel jenis kelamin dan tingkatan kelas.
(40)
Tabel 4.1. Distribusi Sampel Tingkatan Kelas Jenis Kelamin Kelas X Kelas XI IPA Kelas XI IPS Kelas XII IPA Kelas XII IPS Total siswa
Laki-laki 15
orang 8 orang 8 orang 8 orang 8 orang 47 orang
Perempuan 15
orang
8 orang
8 orang
8 8
orang
47 orang
Total siswa 30
orang
16 orang
16 orang
16 16
orang
94 orang
Kriteria inklusi sampel:
1. Siswa dan siswi SMA Negeri 5 Medan berusia 13-19 tahun
2. Sedang berada di lingkungan SMA Negeri 5 Medan pada saat penelitian berlangsung
3. Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani Persetujuan Setelah Tindakan (Informed Consent)
Kriteria ekslusi sampel:
1. Siswa dan siswi yang sedang mengikuti kegiatan ujian di kelas pada saat penelitian berlangsung
2. Siswa dan siswi yang menolak mengisi kuesioner dengan lengkap
4.4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yakni menggunakan data
primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden dimana rencana pengumpulan data dilakukan dengan metode angket.
(41)
Sedangkan data sekunder adalah data yang didapatkan dari pihak sekolah yang berhubungan dengan jumlah dan karakteristik siswa/i di SMA Negeri 5 Medan.
4.4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas
Untuk mengetahui keandalan instrumen kuesioner yang digunakan maka
peneliti telah melakukan uji validitas dan reliabilitas pada pertanyaan dan pernyataan yang ditujukan untuk mengukur Pengetahuan dan Sikap dengan menggunakan metode korelasi produk momen (Moment product
correlation/pearson correlation) dan uji Cronbanch (Cronbanch Alpha) yang
terkomputerisasi. Sampel yang digunakan dalam uji validitas dan reliabilitas ini memiliki karakteristik yang hampir sama dengan sampel dalam penelitian, dengan jumlah sampel sebanyak 60 orang. abilitas Setelah uji validitas dilakukan, hanya soal-soal yang valid saja yang selanjutnya diuji reliabilitasnya. Hasil uji validitas dan reliabilitas dapat dilihat pada tabel 4.2.
(42)
Tabel 4.2. Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner
Variabel No. Total Pearson
Correlation Status Alpha Status
Pengetahuan 1 0,405 Valid 0,438 Reliabel
3 0,487 Valid Reliabel
4 0,440 Valid Reliabel
5 0,419 Valid Reliabel
6 0,313 Valid Reliabel
7 0,561 Valid Reliabel
8 0,607 Valid Reliabel
9 0,447 Valid Reliabel
10 0,448 Valid Reliabel
Sikap 4 0,405 Valid 0,433 Reliabel
5 0,309 Valid Reliabel
6 0,517 Valid Reliabel
7 0,727 Valid Reliabel
8 0,461 Valid Reliabel
10 0,442 Valid Reliabel
Pengujian terhadap pertanyaan tentang Tindakan dilakukan dengan uji validitas isi (content validity) (Nawawi, 1995) yaitu dengan persetujuan dosen pembimbing dan hasil seminar proposal (Nawawi, 1995).
4.4. Metode Pengolahan dan Analisa Data
Data yang terkumpul diperiksa kelengkapannya , kemudian data tersebut
dimasukkan ke dalam komputer oleh peneliti. Analisa data dilakukan dengan statistik deskriptif yang terkomputerisasi. Selanjutnya analisa dan pembahasan data dijabarkan dalam bentuk tabel-tabel dan narasi.
(43)
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
SMA Negeri 5 Medan berdiri pada tahun 1960, dimana pada awalnya SMA Negeri 5 Medan adalah SMA Negeri 3 Medan yang didirikan oleh pemerintah pada tahun 1959 di Jalan Seram Medan, dan pada tahun 1960 SMA Negeri 3 Medan dipecah menjadi dua, yaitu yaitu SMA Negeri 3 Medan dan SMA Negeri 5 Medan. SMA Negeri 5 Medan berada di Jalan Pelajar Nomor 17, Kelurahan Teladan Timur, Kecamatan Medan Kota, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara. SMA ini memiliki 28 ruang kelas dimana 2 kelas merupakan 1 ruang aula serba guna, 3 ruang laboratorium, 1 ruang perpustakaan, halaman/lapangan olah raga, 2 kantin, ruang tata usaha, ruang guru, ruang kepala sekolah, ruang pembantu kepala sekolah, ruang OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), ruang PMR (Palang Merah Remaja), dan 1 musholla, serta memiliki siswa sebanyak 1257 orang.
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden
Karakteristik responden dalam penelitian ini merupakan hal yang penting. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini juga ingin dilihat gambaran responden apakah sesuai dengan yang diharapkan peneliti. Dalam penelitian ini responden yang terpilih sebanyak 94 siswa yang terdiri dari 30 siswa kelas X, 32 siswa kelas XI dan 32 siswa kelas XII. Dari keseluruhan responden gambaran karakteristik responden yang diamati meliputi jenis kelamin, usia, dan kelas.
(44)
5.1.2.1. Jenis Kelamin
Data lengkap bila ditinjau dari segi jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase (%)
Laki-laki Perempuan
47 47
50 50
Jumlah 94 100
Dari tabel di atas terlihat bahwa kelompok laki-laki jumlahnya seimbang dengan kelompok perempuan, yaitu sama-sama berjumlah 50%.
5.1.2.2. Usia
Data lengkap bila ditinjau dari segi kelompok usia dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan usia
Usia (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)
13-14 15-17 18-19
8 85
1
8,5 90,4
1,1
Jumlah 94 100
Dari tabel di atas terlihat bahwa kelompok terbesar pada usia 15-16 tahun yaitu sebanyak 85 orang (90,4%) dan terendah pada kelompok usia 18-19 tahun yaitu 1 orang (1,1%).
(45)
5.1.2.3. Kelas
Data lengkap bila ditinjau dari segi kelas dapat dilihat pada tabel 5.3.
Tabel 5.3. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan kelas
Kelas Jumlah (orang) Persentase (%)
X XI IPA XI IPS XII IPA XII IPS
30 16 16 16 16
31,9 17 17 17 17
Jumlah 94 100
Dari tabel di atas terlihat bahwa kelompok terbesar pada kelompok kelas XI dan kelas XII yaitu masing-masing sebanyak 34%, dimana kelompok kelas XI dan kelas XII berasal dari jurusan IPA dan IPS yang jumlahnya juga seimbang, yaitu masing-masing sebanyak 17%. Jumlah terendah adalah pada kelompok kelas X sebanyak 31,9%.
(46)
5.1.3. Hasil Analisis Data 5.1. 3.1.Pengetahuan
Data lengkap distribusi frekuensi jawaban kuesioner responden pada variabel pengetahuan dapat dilihat pada tabel 5.4.
Tabel 5.4. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel pengetahuan
No. Pertanyaan/Pernyataan
Jawaban Responden Benar Salah
N % N %
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pernah mendengar istilah Infeksi Menular Seksual (IMS).
Salah satu penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual adalah Herpes Simplex. "Raja Singa" adalah istilah awam dari Sifilis AIDS adalah singkatan dari Acquired
Immune Deficiency Syndrome.
Penyakit infeksi HIV/AIDS adalah penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual dan transfusi darah.
Gonore adalah penyakit seksual yang memiliki ciri khas berupa nanah di kemaluan.
Gejala-gejala pada penderita IMS dapat tidak terlihat pada wanita.
Pencegahan IMS dapat dilakukan dengan memiliki pasangan seksual tunggal. Komplikasi IMS berupa kemandulan, orofaringitis, radang panggul, meningitis, arthritis, endokarditis. 73 59 64 79 87 61 19 74 93 77,7 62,8 68,1 84 92,6 64,9 20,2 78,7 98,9 21 35 30 15 7 33 75 20 1 22,3 37,2 31,9 16 7,4 35,1 79,8 21,3 1,1
(47)
Berdasarkan tabel di atas, pertanyaan/pernyataan yang paling banyak benar adalah pada nomor 9 yaitu sebanyak 93 orang (98,9%). Sedangkan yang paling dijawab dengan salah adalah pada pertanyaan/pernyataan nomor 7 yaitu sebanyak 75 orang (79,8%).
Pertanyaan/pernyataan nomor 9 memiliki cara penilaian yang berbeda dengan pertanyaan/pernyataan nomor 1 sampai dengan 8, dimana pilihan jawaban yang benar tersedia lebih dari satu, yaitu 6 jawaban. Data lengkap distribusi frekuensi jawaban kuesioner responden pada variabel pengetahuan nomor 9 tentang komplikasi IMS dapat dilihat pada tabel 5.5.
Tabel 5.5. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel pengetahuan tentang komplikasi IMS
Komplikasi Jumlah (orang) Persentase (%)
Kemandulan Orofaringitis Radang panggul
Meningitis Arthritis Endokarditis
79 7 49 24 23 10
84 7,4 52,1 25,5 24,5 10,6
Berdasarkan tabel di atas, komplikasi IMS yang paling banyak diketahui oleh responden adalah kemandulan, yaitu sebanyak 79 orang (84%). Sedangkan komplikasi IMS yang paling sedikit diketahui oleh responden adalah orofaringitis, yaitu sebanyak 7 orang (7,4%).
(48)
Berdasarkan hasil uji tersebut maka tingkat pengetahuan seputar IMS dapat dikategorikan pada tabel 5.6.
Tabel 5.6. Distribusi frekuensi pengetahuan
Tingkat Pengetahuan Jumlah (orang) Persentase (%)
Kurang Cukup Baik 6 76 12 6,4 80,9 12,8
Jumlah 94 100
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan dengan kategori cukup memiliki persentase paling besar yaitu sebanyak 76 orang (80,9%), diikuti oleh tingkat pengetahuan yang dikategorikan baik sebanyak 12 orang (12,8%), dan tingkat pengetahuan yang dikategorikan kurang sebanyak 6 orang (6,4%).
Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji pengetahuan berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5.7.
Tabel 5.7. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin
Pengetahuan Jumlah
Kurang Cukup Baik
N % N % N % N %
Laki-laki Perempuan 3 3 6,4 6,4 38 38 80,9 80,9 6 6 12,8 12,8 47 47 100 100
Jumlah 6 6,4 76 80,9 12 12,8 94 100
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok laki-laki yang memiliki pengetahuan yang kurang ada sebanyak 3 orang (6,4%), pengetahuan yang cukup
(49)
sebanyak 38 orang (80,9%), dan pengetahuan yang baik sebanyak 6 orang (12,8%). Hasil yang sama persis juga terlihat pada kelompok perempuan.
Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji pengetahuan berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 5.8.
Tabel 5.8. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan usia Usia
(tahun)
Pengetahuan Jumlah
Kurang Cukup Baik
N % N % N % N %
13-14 15-17 18-19 0 6 0 0 7,1 0 7 69 0 87,5 81,2 0 1 10 1 12,5 11,8 100 8 85 1 100 100 100
Jumlah 6 6,4 76 80,9 12 12,8 94 100
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok usia 13-14 tahun yang memiliki pengetahuan yang cukup sebanyak 7 orang (87,5%), dan pengetahuan yang baik sebanyak 1 orang (12,5%). Pada kelompok usia 15-17 tahun, yang memiliki pengetahuan yang baik sebanyak 6 orang (7,1%), pengetahuan yang cukup sebanyak 69 orang (81,2%), dan pengetahuan yang baik sebanyak 10 orang (11,8%). Pada kelompok usia 18-19 tahun, yang memiliki pengetahuan yang baik sebanyak 1 orang (100%).
(50)
Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji pengetahuan berdasarkan kelas dapat dilihat pada tabel 5.9.
Tabel 5.9. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan berdasarkan kelas
Kelas
Pengetahuan Jumlah
Kurang Cukup Baik
N % N % N % N %
X XI IPA XI IPS XII IPA XII IPS 1 2 3 0 0 3,3 12,5 18,8 0 0 27 12 12 10 15 90 75 75 62,5 93,8 2 2 1 6 1 6,7 12,5 6,3 37,5 6,3 30 16 16 16 16 100 100 100 100 100
Jumlah 6 6,4 76 80,9 12 12,8 94 100
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok kelas X yang memiliki pengetahuan yang kurang ada sebanyak 1 orang (3,3%), pengetahuan yang cukup sebanyak 27 orang (90%), dan pengetahuan yang baik sebanyak 2 orang (6,7%). Pada kelompok kelas XI IPA, yang memiliki pengetahuan yang kurang ada sebanyak 2 orang (12,5%), pengetahuan yang cukup sebanyak 12 orang (75%), dan pengetahuan yang baik sebanyak 2 orang (12,5%). Pada kelompok kelas XI IPS, yang memiliki pengetahuan yang kurang ada sebanyak 3 orang (18,8%), pengetahuan yang cukup sebanyak 12 orang (75%), dan pengetahuan yang baik sebanyak 1 orang (6,3%). Pada kelompok kelas XII IPA, yang memiliki pengetahuan yang cukup sebanyak 10 orang (62,5%), dan pengetahuan yang baik sebanyak 6 orang (37,5%). Pada kelompok kelas XII IPS, yang memiliki pengetahuan yang cukup sebanyak 15 orang (93,8%), dan pengetahuan yang baik sebanyak 1 orang (6,3%).
(51)
5. 1.3.2. Sikap
Data lengkap distribusi frekuensi jawaban kuesioner responden pada variabel sikap dapat dilihat pada tabel 5.10.
Tabel 5.10. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel sikap
No. Pernyataan
Jawaban Responden Benar Salah
N % N %
1. 2. 3. 4. 5. 6.
IMS hanya akan diderita oleh pekerja seks
IMS dapat dihindari dengan menggunakan kondom
Sifilis adalah penyakit yang ringan, cepat sembuhnya bahkan tanpa diobati, serta tidak ada efek buruk di masa depan Penyakit kencing nanah adalah penyakit yang wajar dialami oleh remaja dan tidak mempunyai akibat khusus pada kesehatan
HIV/AIDS adalah penyakit yang hanya menyerang orang yang telah melakukan hubungan seksual
Menjauhi para pecandu narkoba menurunkan risiko tertular IMS
48 68 80 85 71 62 51.1 72.3 85.1 90.4 75.5 66 46 26 14 9 23 32 48,9 27,7 14,9 9,6 24,5 34
Berdasarkan tabel di atas pada pernyataan yang paling banyak dijawab dengan benar adalah pada nomor 4 yaitu sebanyak 85 orang (90,4%). Sedangkan yang pertanyaan paling banyak dijawab dengan salah adalah pada pernyataan nomor 1 yaitu sebanyak 46 orang (48,9%).
(52)
Berdasarkan hasil uji tersebut maka tingkat sikap seputar IMS dapat dikategorikan pada tabel 5.11.
Tabel 5.11. Distribusi frekuensi sikap
Sikap Jumlah (orang) Persentase (%)
Kurang Cukup Baik 5 43 46 5,3 45,7 48,9
Jumlah 94 100
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat sikap dengan kategori baik memiliki persentase paling besar yaitu sebanyak 46 orang (46,9%), diikuti oleh tingkat sikap yang dikategorikan cukup sebanyak 43 orang (45,7%), dan tingkat sikap yang dikategorikan kurang sebanyak 5 orang (5,3%).
Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5.12.
Tabel 5.12. Distribusi frekuensi sikap berdasarkan jenis kelamin Jenis
Kelamin
Sikap Jumlah
Kurang Cukup Baik
N % N % N % N %
Laki-laki Perempuan 1 4 2,1 8,5 18 25 38,3 53,2 28 18 59,6 38,3 47 47 100 100
Jumlah 5 5,3 43 45,7 46 48,9 94 100
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok laki-laki yang memiliki sikap yang kurang ada sebanyak 1 orang (2,1%), sikap yang cukup sebanyak 18 orang (38,3%), dan sikap yang baik sebanyak 28 orang (59,6%). Pada kelompok
(53)
perempuan, yang memiliki sikap yang kurang ada sebanyak 4 orang (8,5%), sikap yang cukup sebanyak 25 orang (53,2%), dan sikap yang baik sebanyak 18 orang (38,3%).
Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 5.13.
Tabel 5.13. Distribusi frekuensi sikap berdasarkan usia Usia
(tahun)
Sikap Jumlah
Kurang Cukup Baik
N % N % N % N %
13-14 15-17 18-19 0 5 0 0 5,9 0 4 39 0 50 45,9 0 4 41 1 50 48,2 100 8 85 1 100 100 100
Jumlah 5 5,3 43 45,7 46 48,9 94 100
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok usia 13-14 tahun yang memiliki sikap yang cukup dan baik masing-masing sebanyak 4 orang (50%). Pada kelompok usia 15-17 tahun, yang memiliki sikap yang baik sebanyak 5 orang (5,9%), sikap yang cukup sebanyak 39 orang (45,9%), dan sikap yang baik sebanyak 41 orang (48,2%). Pada kelompok usia 18-19 tahun, yang memiliki sikap yang baik sebanyak 1orang (100%).
(54)
Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan kelas dapat dilihat pada tabel 5.14.
Tabel 5.14. Distribusi frekuensi sikap berdasarkan kelas
Kelas
Sikap Jumlah
Kurang Cukup Baik
N % N % N % N %
X XI IPA XI IPS XII IPA XII IPS 3 0 1 0 1 10 0 6,3 0 6,3 17 7 6 6 7 56,7 43,8 37,5 37,5 43,8 10 9 9 10 8 33,3 56,3 56,3 62,5 50 30 16 16 16 16 100 100 100 100 100
Jumlah 5 5,3 43 45,7 46 48,9 94 100
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok kelas X yang memiliki sikap yang kurang ada sebanyak 3 orang (10%), sikap yang cukup sebanyak 17 orang (56,8%), dan sikap yang baik sebanyak 10 orang (33,3%). Pada kelompok kelas XI IPA, yang memiliki sikap yang cukup sebanyak 7 orang (43,7%), dan sikap yang baik sebanyak 9 orang (56,3%). Pada kelompok kelas XI IPS, yang memiliki sikap yang kurang ada sebanyak 1 orang (6,3%), sikap yang cukup sebanyak 6 orang (37,5%), dan sikap yang baik sebanyak 9 orang (56,3%). Pada kelompok kelas XII IPA, yang memiliki sikap yang cukup sebanyak 6 orang (37,5%), dan sikap yang baik sebanyak 10 orang (62,5%). Pada kelompok kelas XII IPS, yang memiliki sikap yang kurang sebanyak 1 orang (6,3%), sikap yang cukup sebanyak 7 orang (43,8%), dan sikap yang baik sebanyak 8 orang (50%).
(55)
Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji sikap berdasarkan tingkat pengetahuan dapat dilihat pada tabel 5.15.
Tabel 5.15. Distribusi frekuensi sikap berdasarkan tingkat pengetahuan Tingkat
Pengetahuan
Sikap Jumlah
Kurang Cukup Baik
N % N % N % N %
Kurang Cukup
Baik
0 5 0
0 6,6
0
4 37
2
66,7 48,7 16,7
2 34 10
33,3 44,7 83,3
6 76 12
100 100 100
Jumlah 5 5,3 43 45,7 46 48,9 94 100
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok responden yang memiliki pengetahuan yang kurang dengan sikap yang cukup ada sebanyak 4 orang (66,7%), dan sikap yang baik sebanyak 2 orang (33,3%). Kelompok responden yang memiliki pengetahuan yang cukup dengan sikap yang baik ada sebanyak 5 orang (6,6%), sikap yang cukup sebanyak 37 orang (48,7%), dan sikap yang baik sebanyak 34 orang (44,7%). Kelompok responden yang memiliki pengetahuan yang baik dengan sikap yang cukup ada sebanyak 2 orang (16,7%), dan sikap yang baik sebanyak 10 orang (83,3%).
(56)
5. 1. 3. 3. Tindakan
Data lengkap distribusi frekuensi jawaban kuesioner responden pada variabel tindakan dapat dilihat pada tabel 5.16.
Tabel 5.16. Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel tindakan
No. Pernyataan
Jawaban Responden Negatif Positif
N % N %
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Melakukan hubungan seksual sebelum menikah
Melakukan hubungan seksual dengan Pekerja Seks Komersial
Memiliki lebih dari satu pasangan seks (suka berganti pasangan)
Tertarik secara seksual kepada sesama jenis
Bergaul akrab dengan pecandu narkoba dan/atau memakai narkoba
Memastikan untuk selalu menggunakan jarum suntik sekali pakai (disposible) jika disuntik atau mendapat imunisasi (misalnya: bertanya kepada dokter/suster yang menyuntik) 1 0 0 2 3 15 1.1 0 0 2.1 3.2 16 93 94 94 92 91 79 98,9 100 100 97,9 96,8 84
Berdasarkan tabel di atas pada pernyataan yang paling banyak dijawab dengan tindakan yang positif adalah pada nomor 2 dan nomor 3 yaitu sebanyak 94 orang (100%). Sedangkan yang pertanyaan paling banyak dijawab dengan tindakan yang negatif adalah pada pernyataan nomor 6 yaitu sebanyak 15 orang (16%).
(57)
Berdasarkan hasil uji tersebut maka tingkat tindakan responden seputar IMS dapat dikategorikan pada tabel 5.17.
Tabel 5.17. Distribusi frekuensi tindakan
Tindakan Jumlah (orang) Persentase (%)
Kurang Cukup Baik 0 1 93 0 1,1 98,9
Jumlah 94 100
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat sikap dengan kategori baik memiliki persentase paling besar yaitu sebanyak 93 orang (98,9%), diikuti oleh tingkat sikap yang dikategorikan cukup sebanyak 1 orang (1,1%).
Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji tindakan berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5.18.
Tabel 5.18. Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan jenis kelamin Jenis
Kelamin
Tindakan Jumlah
Kurang Cukup Baik
N % N % N % N %
Laki-laki Perempuan 0 0 0 0 0 1 0 2,1 47 46 100 97,9 47 47 100 100
Jumlah 0 0 1 1,1 93 98,9 94 100
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok laki-laki yang memiliki tindakan yang baik sebanyak 47 orang (100%). Pada kelompok perempuan, yang memiliki tindakan yang cukup sebanyak 1 orang (2,1%), dan tindakan yang baik sebanyak 46 orang (97,9%).
(58)
Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji tindakan berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 5.19.
Tabel 5.19. Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan usia Usia
(tahun)
Tindakan Jumlah
Kurang Cukup Baik
N % N % N % N %
13-14 15-17 18-19
0 0 0
0 0 0
0 1 0
0 1,2
0
8 84
1
100 98,8 100
8 85
1
100 100 100
Jumlah 0 0 1 1,1 93 98,9 94 100
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok usia 13-14 tahun yang memiliki tindakan yang baik sebanyak 8 orang (100%). Pada kelompok usia 15-17 tahun, yang memiliki tindakan yang cukup sebanyak 1 orang (1,2%), dan tindakan yang baik sebanyak 84 orang (98,8%). Pada kelompok usia 18-19 tahun, yang memiliki tindakan yang baik sebanyak 1orang (100%).
(59)
Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji tindakan berdasarkan kelas dapat dilihat pada tabel 5.20.
Tabel 5.20. Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan kelas
Kelas
Tindakan Jumlah
Kurang Cukup Baik
N % N % N % N %
X XI IPA XI IPS XII IPA XII IPS 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 6,3 30 16 16 16 15 100 100 100 100 93,8 30 16 16 16 16 100 100 100 100 100
Jumlah 0 0 1 1,1 93 98,9 94 100
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok kelas X yang memiliki tindakan yang baik ada sebanyak 30 orang (100%). Pada kelompok kelas XI IPA, yang memiliki tindakan yang baik sebanyak 16 orang (100%). Pada kelompok kelas XI IPS, yang memiliki tindakan tindakan yang baik sebanyak 16 orang (100%). Pada kelompok kelas XII IPA, yang memiliki tindakan yang baik sebanyak 16 orang (100%). Pada kelompok kelas XII IPS, yang memiliki tindakan yang cukup sebanyak 1 orang (6,3%), dan tindakan yang baik sebanyak 15 orang (93,8%).
(60)
Data lengkap distribusi frekuensi hasil uji tindakan berdasarkan tingkat pengetahuan dapat dilihat pada tabel 5.21.
Tabel 5.21. Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan tingkat pengetahuan Tingkat
Pengetahuan
Tindakan Jumlah
Kurang Cukup Baik
N % N % N % N %
Kurang Cukup Baik 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1,3 0 6 75 12 100 98,7 100 6 76 12 100 80,9 100
Jumlah 0 0 1 1,1 93 98,9 94 100
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok responden yang memiliki pengetahuan yang kurang dengan tindakan yang baik ada sebanyak 6 orang (100%). Kelompok responden yang memiliki pengetahuan yang cukup dengan tindakan yang cukup ada sebanyak 1 orang (1,3%), dan tindakan yang baik sebanyak 75 orang (98,7%). Kelompok responden yang memiliki pengetahuan yang baik dengan tindakan yang baik ada sebanyak 12 orang (100%).
Data lengkap distribusi frekuensi
Tabel 5.22. Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan sikap
hasil uji tindakan berdasarkan tingkat sikap dapat dilihat pada tabel 5.22.
Sikap
Tindakan Jumlah
Kurang Cukup Baik
N % N % N % N %
Kurang Cukup Baik 0 0 0 0 0 0 1 0 0 20 0 0 4 43 46 80 100 100 5 43 46 100 100 100
(1)
Hasil Uji Validitas Kuesioner Sikap
Correlations
s1 s2 s3 s4 s5 s6 s7
s1 Pearson Correlation .a .a .a .a .a .a
Sig. (2-tailed) . . . . .
N 60 60 60 60 60 60
s2 Pearson Correlation .a 1 -.024 .139 .174 .323*
-Sig. (2-tailed) . .855 .289 .184 .012
N 60 60 60 60 60 60
s3 Pearson Correlation .a -.024 1 -.065 -.139 -.035
-Sig. (2-tailed) . .855 .621 .289 .792
N 60 60 60 60 60 60
s4 Pearson Correlation .a .139 -.065 1 .050 .367**
Sig. (2-tailed) . .289 .621 .704 .004
N 60 60 60 60 60 60
s5 Pearson Correlation .a .174 -.139 .050 1 -.018
-Sig. (2-tailed) . .184 .289 .704 .892
N 60 60 60 60 60 60
s6 Pearson Correlation .a .323* -.035 .367** -.018 1 . Sig. (2-tailed) . .012 .792 .004 .892
N 60 60 60 60 60 60
s7 Pearson Correlation .a -.043 -.030 .268* -.092 .552** Sig. (2-tailed) . .747 .821 .039 .485 .000
N 60 60 60 60 60 60
s8 Pearson Correlation .a .200 -.051 .417** .072 .485** . Sig. (2-tailed) . .125 .698 .001 .584 .000
N 60 60 60 60 60 60
s9 Pearson Correlation .a -.024 1.000** -.065 -.139 -.035 -Sig. (2-tailed) . .855 .000 .621 .289 .792
(2)
s10 Pearson Correlation .a -.180 .135 -.150 .103 .143 Sig. (2-tailed) . .170 .305 .252 .436 .277
N 60 60 60 60 60 60
Total Skor Pearson Correlation .a .234 .120 .405** .309* .517** . Sig. (2-tailed) . .072 .361 .001 .016 .000
N 60 60 60 60 60 60
a. Cannot be computed because at least one of the variables is constant. *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner Pengetahuan
Case Processing Summary
N
%
Cases
Valid
60
100.0
Excluded
a0
.0
Total
60
100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
(3)
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
.438
9
Item Statistics
Mean
Std. Deviation
N
p1
.85
.360
60
p3
.62
.490
60
p4
.83
.376
60
p5
.93
.252
60
p6
.92
.279
60
p7
.85
.360
60
p8
.27
.446
60
p9
.88
.324
60
p10
1.92
.926
60
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item
Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected
Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
p1
7.22
2.817
.195
.407
p3
7.45
2.557
.245
.382
p4
7.23
2.724
.255
.387
p5
7.13
2.863
.300
.393
(4)
p7
7.22
2.579
.409
.339
p8
7.80
2.434
.395
.324
p9
7.18
2.762
.292
.382
p10
6.15
2.536
-.072
.654
Scale Statistics
Mean
Variance
Std. Deviation
N of Items
8.07
3.182
1.784
9
Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner Sikap
Case Processing Summary
N
%
Cases
Valid
60
100.0
Excluded
a0
.0
Total
60
100.0
a. Listwise deletion based on all
variables in the procedure.
(5)
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
.433
6
Item Statistics
Mean
Std. Deviation
N
s4
.80
.403
60
s5
.47
.503
60
s6
.93
.252
60
s7
.95
.220
60
s8
.87
.343
60
s10
.52
.504
60
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected
Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
s4
3.73
1.046
.238
.371
s5
4.07
1.080
.069
.503
s6
3.60
1.092
.477
.293
s7
3.58
1.162
.411
.335
s8
3.67
1.040
.356
.310
(6)