Analisis Finansial Budi Daya Kemenyan Rakyat dalam Sistem Agroforestry (Studi Kasus di Desa Pangurdotan, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara)

(1)

ANALISIS FINANSIAL BUDI DAYA KEMENYAN

RAKYAT DALAM SISTEM AGROFORESTRY

(Studi Kasus di Desa Pangurdotan, Kecamatan Pahae

Julu, Kabupaten Tapanuli Utara)

SKRIPSI

JOSUA K. GULTOM

041201030

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2 0 1 0


(2)

ABSTRAK

JOSUA K. GULTOM. Analisis Finansial Budi Daya Kemenyan Rakyat dalam Sistem Agroforestry (Studi Kasus di Desa Pangurdotan, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara). Di bawah bimbingan ODING AFFANDI dan EDY BATARA MULYA SIREGAR.

Analisis finansial merupakan suatu cara untuk mengetahui jumlah biaya yang dikeluarkan, manfaat dan keuntungan yang diperoleh, dan waktu untuk memperoleh pengembalian investasi pada tingkat suku bunga tertentu. Adanya perubahan lahan di Desa Pangurdotan dari lahan non agroforestry menjadi

agroforestry, menjadi dasar untuk melakukan analisis finansial di daerah tersebut.

Metode yang digunakan adalah Metode analisis deskriptif dan analisis finansial dengan menghitung besarnya Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab perubahan lahan non

agroforestry menjadi agroforestry dan membandingkan tingkat kelayakan finansial

kedua sistem tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab masyarakat mengubah lahan mereka dari non agroforestry menjadi agroforestry adalah karena secara finansial sistem agroforestry lebih menguntungkan. Nilai NPV yang diperoleh dengan sistem agroforestry adalah Rp. 21.837.109,- selama 15 tahun/ha, sedangkan dengan sistem non agroforestry adalah Rp. 20.526.290 selama 15 tahun/ha. Nilai BCR dan IRR untuk sistem agroforestry adalah 3,01 dan 52,63% dan untuk non agroforestry adalah 16,02 dan 49,86% dengan tingkat suku bunga yang berlaku, yaitu 6,5%. Kedua sistem tersebut adalah layak secara finansial, dan yang paling optimal adalah sistem agroforestry.


(3)

ABSTRACT

JOSUA K. GULTOM. Financial Analysis of Kemenyan Cultivation in

Agroforestry System (Study Case in Pangurdotan, Subdistrict of Pahae Julu, District of Tapanuli Utara). Under Supervision of ODING AFFANDI and

EDY BATARA MULYA SIREGAR.

Financial Analysis is a way to find out the amount of costs, benefits and profits obtained, and time to obtain the investment return at a certain rate. Conversion of land in Pangurdotan of non agroforestry into agroforestry became the basis for financial analysis in the area. The methode used are descriptive analysis and financial analysis by calculating Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR).

The purpose of this study is to determine the cause of changes non agroforestry into agroforestry and to compare feasibility level of financial of two systems. The result shows that the cause of the people to change their land is because it is financially more profitable. The NPV value of agroforestry system is Rp. 21.837.109,- for 15 years/ha, whereas with non agroforestry system, the NPV value is RP. 20.256.290,- for 15 years/ha. BCR and IRR value of agroforestry system are 3,01 and 52,63% and for non agroforestry system are 16,02 and 49,86% with the level of interest rate is 6,5%. Both of the two systems is financially feasible, and the most optimal is the agroforestry system.


(4)

RIWAYAT HIDUP

Josua K. Gultom dilahirkan di Taurutng pada tanggal 14 Juli 1986. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan T. L. Gultom dan H. Situmorang.

Pada tahun 2001 Penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Menengah Atas Swasta HKBP 2, Tarutung. Melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2004, Penulis masuk di Universitas Sumatera Utara, Fakultas Pertanian, Departemen Kehutanan, Program Studi Manajemen Hutan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi salah satu anggota organisasi HIMAS (Himpunan Mahasiswa Sylva). Pada tahun 2006 Penulis melaksanakan Praktek Pengelolaan dan Pembinaan Hutan (P3H) di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), Kecamatan Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan. Pada akhir studi penulis mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di HPHTI PT. Arara Abadi, Kabupaten Siak, Pekanbaru, Riau pada tanggal 15 Juni sampai 8 Agustus 2009. Untuk dapat menyelesaikan studi, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Analisis Finansial Budi Daya Kemenyan Rakyat Dalam Sistem Agroforestry (Studi Kasus di Desa Pangurdotan, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara)” dibawah bimbingan Bapak Oding Affandi, S. Hut., M. P.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya berupa kesehatan dan kesempatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “Analisis Finansial Budi Daya Kemenyan Rakyat Dalam Sistem Agroforestry (Studi Kasus di Desa Pangurdotan, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara)”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Oding Affandi, S.Hut, M.P dan Bapak Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS selaku

komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Medan, Desember 2010


(6)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman Kemenyan ... 5

Manfaat/Kegunaan Kemenyan ... 5

Pengertian dan Fungsi Agroforestry ... 8

Klasifikasi Sistem Agroforestry ... 10

Pola Kombinasi Komponen dalam Sistem Agroforestry... 12

Analisis Finansial Agroforestry ... 13

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 17

Pengumpulan Data ... 17

Pengolahan Data... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden... 21

Hal-hal yang Menyebabkan Terjadinya Perubahan Pengusahaan Lahan dari non agroforestry menjadi agroforestry ... 25

Analisis Finansial ... 26

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 30

Saran ... 30


(7)

DAFTAR TABEL

Hal.

1. Penyebaran responden berdasarkan umur ... 21

2. Penyebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga ... 22

3. Penyebaran responden berdasarkan pendidikan ... 23

4. Penyebaran responden berdasarkan jumlah tenaga kerja ... 24

5. Penyebaran responden berdasarkan luas lahan agroforestry... 24

6. Nilai NPV, BCR, dan IRR agroforestry dan non angroforestry Desa Pangurdotan selama 15 tahun ... 26


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal.

1. Kuisioner ... 33

2. Karakteristik dan pendapatan responden... 37

3. Tabulasi frekuensi ... 39

4. Analisis biaya dan manfaat sistem agroforestry di Desa Pangurdotan ... 43

5.Analisis biaya dan manfaat sistem non-agroforestry di Desa Pangurdotan ... 44

6.Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), dan Internal Rate Or Return (IRR) usaha kemenyan dalam sistem agroforestry di Desa Pangurdotan 45 7. Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), dan Internal Rate Or Return (IRR) usaha kemenyan dalam sistem non agroforestry di Desa Pangurdotan 46 8. Dokumentasi penelitian ... 47

9. Peta lokasi penelitian Desa Pangurdotan ... 52

10. Surat keterangan Kepala Desa pangurdaotan ... 53


(9)

ABSTRAK

JOSUA K. GULTOM. Analisis Finansial Budi Daya Kemenyan Rakyat dalam Sistem Agroforestry (Studi Kasus di Desa Pangurdotan, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara). Di bawah bimbingan ODING AFFANDI dan EDY BATARA MULYA SIREGAR.

Analisis finansial merupakan suatu cara untuk mengetahui jumlah biaya yang dikeluarkan, manfaat dan keuntungan yang diperoleh, dan waktu untuk memperoleh pengembalian investasi pada tingkat suku bunga tertentu. Adanya perubahan lahan di Desa Pangurdotan dari lahan non agroforestry menjadi

agroforestry, menjadi dasar untuk melakukan analisis finansial di daerah tersebut.

Metode yang digunakan adalah Metode analisis deskriptif dan analisis finansial dengan menghitung besarnya Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab perubahan lahan non

agroforestry menjadi agroforestry dan membandingkan tingkat kelayakan finansial

kedua sistem tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab masyarakat mengubah lahan mereka dari non agroforestry menjadi agroforestry adalah karena secara finansial sistem agroforestry lebih menguntungkan. Nilai NPV yang diperoleh dengan sistem agroforestry adalah Rp. 21.837.109,- selama 15 tahun/ha, sedangkan dengan sistem non agroforestry adalah Rp. 20.526.290 selama 15 tahun/ha. Nilai BCR dan IRR untuk sistem agroforestry adalah 3,01 dan 52,63% dan untuk non agroforestry adalah 16,02 dan 49,86% dengan tingkat suku bunga yang berlaku, yaitu 6,5%. Kedua sistem tersebut adalah layak secara finansial, dan yang paling optimal adalah sistem agroforestry.


(10)

ABSTRACT

JOSUA K. GULTOM. Financial Analysis of Kemenyan Cultivation in

Agroforestry System (Study Case in Pangurdotan, Subdistrict of Pahae Julu, District of Tapanuli Utara). Under Supervision of ODING AFFANDI and

EDY BATARA MULYA SIREGAR.

Financial Analysis is a way to find out the amount of costs, benefits and profits obtained, and time to obtain the investment return at a certain rate. Conversion of land in Pangurdotan of non agroforestry into agroforestry became the basis for financial analysis in the area. The methode used are descriptive analysis and financial analysis by calculating Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR).

The purpose of this study is to determine the cause of changes non agroforestry into agroforestry and to compare feasibility level of financial of two systems. The result shows that the cause of the people to change their land is because it is financially more profitable. The NPV value of agroforestry system is Rp. 21.837.109,- for 15 years/ha, whereas with non agroforestry system, the NPV value is RP. 20.256.290,- for 15 years/ha. BCR and IRR value of agroforestry system are 3,01 and 52,63% and for non agroforestry system are 16,02 and 49,86% with the level of interest rate is 6,5%. Both of the two systems is financially feasible, and the most optimal is the agroforestry system.


(11)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan rakyat merupakan salah satu model pengelolaan sumber daya alam yang berdasarkan inisiatif masyarakat. Hutan rakyat di Indonesia pada umumnya dikembangkan pada lahan milik masyarakat yang diakui pada tingkat lokal (tanah adat) maupun di tanah milik yang diakui secara formal oleh pemerintah. Dalam hutan rakyat diusahakan tanaman pohon-pohon yang hasil utamanya kayu: sengon (Paraserianthes falcataria), akasia (Accacia auriculiformis); hasil utamanya getah : kemenyan (Styrax benzoin), damar (Shorea javanica); maupun hasil utamanya buah: kemiri (Aleurites moluccana) dan bambu (Bambosaa spp) (Suharjito dan Darusman, 1998).

Pelestarian hutan, yang dewasa ini menjadi isu global, bukan bermaksud untuk melarang sama sekali manusia memanfaatkan hutan beserta hasilnya. Yang diinginkan oleh ide pelestarian hutan itu adalah bahwa hutan dimanfaatkan oleh manusia dengan cara yang arif. Yakni cara pemanfaatan hutan untuk kesejahteraan rakyat banyak, dengan senantiasa mengutamakan kesinambungan fungsi-fungsi ekonomi dan ekologi hutan. Cara-cara pemanfaatan hutan yang arif ini sebenarnya sudah dipraktikkan oleh rakyat di kebanyakan kampung-kampung hutan. Meski mereka memanfaatkan hutan untuk kepentingan ekonominya, namun mereka tetap mengindahkan kepentingan lingkungan dengan cara-cara yang jauh dari sifat tamak dan serakah. Tetapi karena praktik-praktik pengelolaan hutan tersebut tidak lahir dari hasil kajian 'ilmiah' maka seringkali "praktik orang kampung" itu direndahkan artinya oleh orang-orang dari luar kampung hutan; yaitu orang-orang yang selama


(12)

ini paling didengarkan seruannya oleh penguasa. Dia bisa menuduh dan membela diri saat ditemukan kesalahannya (Zuska, 2005).

Salah satu jenis tanaman yang terdapat pada hutan rakyat adalah kemenyan. Salah satu daerah pengembangan kemenyan ini adalah di Desa Pangurdotan. Pengembangan hutan rakyat kemenyan di Pangurdotan merupakan upaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di daerah tersebut, karena keberadaan hutan rakyat mempunyai arti penting bagi peningkatan keadaan sosial ekonomi masyarakat. Selain itu hutan rakyat mempunyai arti penting dalam upaya menjaga tata air, pemanfaatan lahan kering dan terlantar. Tanaman kemenyan merupakan jenis tanaman yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Pangurdotan dan secara turun temurun telah dipertahankan oleh masyarakat tersebut, sehingga komoditi ini menjadi ciri khas masyarakat Pangurdotan.

Sebelum sistem agroforestry diterapkan, masyarakat Desa Pangurdotan mengelola lahannya dengan sistem non agroforestry dengan kemenyan sebagai komoditi utama. Setelah Sistem agroforestry diterapkan, petani di Desa Pangurdotan mengkombinasikan tanaman kehutanan (kemenyan) dengan tanaman musiman (padi). Kombinasi tanaman kehutanan dengan musiman disebut juga dengan agroforestry tipe agrisilfikultur.

Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestry dianggap sebagai alternatif yang paling memungkinkan bagi pemilik lahan dalam upaya meningkatkan pendapatan ekonominya. Namun dalam kenyataan dilapangan, khususnya kondisi lahan di Desa Pangurdotan yang menjadi lokasi penelitian, penerapan proporsi kombinasi tanaman tidak seimbang (ada komponen yang dominan). Hal ini yang menjadi alasan peneliti melakukan penelitian di Desa Pangurdotan untuk


(13)

mengetahui penyebab masyarakat mengubah sistem pengelolaan lahan di desa tersebut dan kelayakan finansial budidaya kemenyan dengan penerapan sistem

agroforestry.

Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah mengapa petani di Desa Pangurdotan mengubah lahan non-agroforesty menjadi lahan agroforesty, Bagaimana tingkat kelayakan pengusahaan lahan secara finansial yang diusahakan petani dalam sistem non-agroforestry dibandingkan dengan sistem agroforestry?.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui penyebab terjadinya perubahan pengusahaan lahan di Desa Pangurdotan dan membandingkan kelayakan finansial pengusahaan lahan dalam sistem agroforestry dengan sistem non-agroforestry.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai informasi bagi masyarakat yang terdapat di Pangurdotan, agar dapat menerapkan pola kombinasi kemenyan dalam sistem agroforestry yang memberikan kelayakan secara finansial dan meningkatkan pengetahuan dan wawasan dari para pembaca tentang kelayakan finansial budi daya kemenyan dalam sistem agroforestry.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan ekosistem kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi daya semusim, peternakan, barang dan jasa, serta rekreasi alam (Awang dkk. 2002).

Salah satu solusi untuk mengurangi tekanan terhadap hutan dan mengatasi masalah kebutuhan lahan pertanian adalah dengan menerapkan sistem agroforestry. Agroforestry merupakan sistem pemanfaatan lahan secara optimal berasaskan kelestarian lingkungan dengan mengusahakan atau mengkombinasikan tanaman kehutanan dan pertanian (perkebunan, ternak) sehingga dapat meningkatkan perekonomian petani di pedesaan (Gautama, 2007).

Lembaga Penelitian IPB (1983) dalam Purwanto dkk. (2004) membagi hutan rakyat dalam tiga kelompok, yaitu:

1. Hutan rakyat murni (monoculture), yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam secara homogen atau monokultur.

2. Hutan rakyat campuran (polyculture), yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.

3. Hutan rakyat wana tani (agroforestry), yaitu yang mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti tanaman


(15)

pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan lain-lain yang dikembangkan secara terpadu.

Pengembangan hutan rakyat dengan komoditi tertentu dapat memperbaiki mutu lingkungan disamping meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan iklim mikro yang baik, memperbaiki struktur tanah, dan mengendalikan erosi. Hal tersebut menjadikan hutan rakyat merupakan salah satu teknik konservasi tanah dan air secara vegetatif (Purwanto, dkk. 2004). Pembangunan hutan rakyat secara swadaya merupakan alternatif yang dipilih untuk mengatasi masalah sosial ekonomi dan lingkungan hidup, selain itu pengaruh positif yang lain adalah terpeliharanya sumberdaya alam (konservasi tanah dan air) sehingga meningkatkan daya dukung lahan bagi penduduk dan ikut serta dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), mengurangi terjadinya kerusakan hutan akibat penebangan liar dan penyerobotan tanah. Kombinasi berbagai jenis tanaman memungkinkan pemetikan hasil secara terus menerus dan memungkinkan terbentuknya stratifikasi tajuk sehingga mencegah erosi tanah dan hempasan air hutan (Arief, 2001).

Deskripsi Tanaman Kemenyan

Kemenyan (Styrax spp.) termasuk jenis pohon berukuran besar yaitu dari famili Styracaceae. Adapun urutan sistematika kemenyan adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Superdivision : Spermatophyta

Division : Angiospermae

Class : Dikotil


(16)

Family : Styracaceae

Genus : Styrax

Species : Styrax sumatrana dan Styrax benzoin

Di Indonesia terdapat tujuh jenis atau varietas kemenyan (Styrax spp.) yang menghasilkan getah akan tetapi hanya dua jenis yang lebih umum dikenal dan diusahakan di Sumatera Utara, yaitu Styrax sumatrana J.J.SM yang disebut dengan kemenyan toba dan Styrax benzoin DRYAND yang disebut dengan kemenyan (haminjon) durame. Dari kedua jenis ini tersebut, jenis yang pertama lebih dominan karena memiliki kualitas getah yang lebih baik dan bernilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan jenis yang terakhir (Sasmuko, 2000).

Ciri khas kemenyan toba (Styrax sumatrana) adalah kandungan atau kadar asam sinamatnya cukup tinggi. Jelas bahwa jenis ini dapat menghasilkan getah kualitas pertama dengan ciri-ciri memiliki aroma yang lebih wangi, berwarna putih dan tidak lengket. Sedangkan ciri khas jenis kemenyan durame (Styrax benzoin) bahwa jenis ini dapat menghasilkan getah kemenyan seperti tahir yang memiliki kualitas getah lebih rendah dengan ciri-ciri berwarna hitam kecoklatan dan agak lengket.

Manfaat/Kegunaan Kemenyan

Penggunaan kemenyan untuk industri dalam negeri sampai saat ini masih terbatas, relatif kecil dan belum banyak diketahui serta diteliti kegunaannya, kecuali dibakar sebagai bahan dupa dalam penyelenggaraan upacara-upacara keagamaan dan dipakai pada upacara adat atau sesajian serta ramuan rokok.


(17)

Ekstraksi kimia getah kemenyan menghasilkan tincture dan benzoin resin yang digunakan sebagai fix active agent dalam industri parfum. Ekstraksi kemenyan juga dapat menghasilkan beberapa senyawa kimia yang diperlukan oleh industri farmasi antara lain asam balsamat, asam sinamat, benzyl benzoate, sodium benzoate, benzophenone, ester aromatis dan sebagainya. Di negara-negara industri maju seperti negara Eropa, kemenyan (Styrax spp.) dipergunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan asam benzoate atau asam sinamat dan ester-esternya, industri farmasi (obat-obatan), industri kosmetika dan bahan pembuatan parfum, pabrik porselin, sabun, plastik sintetis, bahan pengawet pada industri makanan dan sebagainya.

Penggunaan kemenyan dari segi pemakaiannya sebagai bahan kimia yaitu antara lain:

1. Pada bidang farmasi (obat-obatan)

Penggunaan kemenyan sebagai obat-obatan telah lama dipergunakan. Hal ini dibuktikan dari berbagai literatur kimia, yaitu:

- Antiseptik

- Obat mata bagi penyakit kataraks

- Expectorant (melegakan pernafasan)

2. Pada obat-obatan pertanian

Melalui proses esterifikasi, asam sinamat dipergunakan untuk membentuk ester-ester, seperti metil dan etil ester. Beberapa turunan kimianya dapat dipergunakan untuk pembuatan obat-obatan pertanian.


(18)

3. Pada parfum

Pada parfum dipergunakan sebagai fix active, yaitu untuk menahan aroma parfum lebih lama dan mempertemukan dua atau beberapa jenis parfum dari bahan yang berbeda untuk mendapatkan aroma parfum yang lebih baik.

4. Pada Kosmetik

5. Pabrik rokok dan pabrik porselin

6. Kegiatan religius/upacara agama (dupa) 7. Varnis

Berdasarkan uji coba pembutan varnish dari kemenyan ternyata kemenyan menghasilkan varnish yang bermutu tinggi (Edison (1983) dalam Yuniandra, 1998).

Pengertian dan Fungsi Agroforestry

Agroforestry adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan

lahan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, jenis-jenis palm, bambu, dan sebagainya) ditanam bersamaan dengan tanaman pertanian, dan/atau hewan, dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal, dan di dalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi diantara berbagai komponen yang bersangkutan (Nair (1989) dalam Hairiah, 2003).

Fungsi agroforestry terhadap aspek sosial, budaya dan ekonomi antara lain: (a) Kaitannya dengan aspek tenurial, agroforestry memiliki potensi di masa kini dan masa yang akan datang sebagai solusi dalam memecahkan konflik menyangkut lahan negara yang dikuasai oleh para petani penggarap; (b) Upaya


(19)

melestarikan identitas kultural masyarakat, pemahaman akan nilai-nilai kultural dari suatu aktivitas produksi hingga peran berbagai jenis pohon atau tanaman lainnya di lingkungan masyarakat lokal dalam rangka keberhasilan pemilihan desain dan kombinasi jenis pada bentuk-bentuk agroforestry modern yang akan diperkenalkan atau dikembangkan di suatu tempat; (c) Kaitannya dengan kelembagaan lokal, dengan praktik agroforestry lokal tidak hanya melestarikan fungsi dari kepala adat, tetapi juga norma, sanksi, nilai, dan kepercayaan (unsur-unsur dari kelembagaan) tradisional yang berlaku di lingkungan suatu komunitas; (d) Kaitannya dalam pelestarian pengetahuan tradisional, salah satu ciri dari

agroforestry tradisional adalah diversitas komponen terutama hayati yang tinggi

(polyculture). Sebagian dari tanaman tersebut sengaja ditanam atau dipelihara dari permudaan alam guna memperoleh manfaat dari beberapa bagian tanaman sebagai bahan baku pengobatan. Meskipun hampir di seluruh kecamatan di Indonesia sudah tersedia Puskesmas atau Puskesmas Pembantu (Pusban), tetapi masyarakat masih banyak yang memanfaatkan lingkungannya sebagai ‘tabib’ bilamana mereka sakit (Widianto dkk. 2003).

Fungsi agroforestry ditinjau dari aspek biofisik dan lingkungan pada skala bentang lahan (skala meso) adalah kemampuannya untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, khususnya terhadap kesesuaian lahan antara lain: (a) Memelihara sifat fisik dan kesuburan tanah; (b) Mempertahankan fungsi hidrologi kawasan; (c) Mempertahankan cadangan karbon; (d) Mengurangi emisi gas rumah kaca; dan (e) mempertahankan keanekaragaman hayati (Lahjie, 2004).


(20)

Klasifikasi Sistem Agroforestry

Berbagai tipe agroforestry telah banyak diinventarisir dan dikembangkan dengan bentuk yang beragam tergantung kondisi wilayah, lokasi dan tujuan

agroforestry itu sendiri. Namun demikian, keragaman agroforestry tersebut dapat

dikelompokkan ke dalam empat dasar utama (Sardjono dkk., 2003), yaitu:

(1) Berdasarkan strukturnya (Structural Basis) yang berarti penggolongan dilihat dari komposisi komponen-komponen penyusunnya (tanaman pertanian, hutan, pakan, dan/atau ternak). Agroforestry dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Agrisilvikultur (Agrisilvicultural Systems)

Sistem agroforestry yang mengkombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/woody plants) dengan komponen pertanian (atau tanaman non kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang (tree crops) dan tanaman non kayu dari jenis tanaman semusim (annual crops).

b. Silvopastura (Silvopastural Systems)

Sistem agroforestry yang meliputi komponen kehutanan (atau tanaman berkayu) dengan komponen peternakan (atau binatang ternak/pasture). Kedua komponen dalam silvopastura seringkali tidak dijumpai pada ruang dan waktu yang sama (misal: penanaman rumput hijauan ternak di bawah tegakan pinus, atau yang lebih ekstrim lagi adalah sistem ‘cut and carry’ pada pola pagar hidup/living fences of fodder hedges and shrubs; atau pohon pakan serbaguna/multipurpose fodder trees pada lahan pertanian yang disebut


(21)

c. Agrosilvopastura (Agrosilvopastural Systems)

Merupakan pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan/binatang pada unit manajemen lahan yang sama. Contoh: berbagai bentuk kebun pekarangan

(home-gardens), kebun hutan (forest-(home-gardens), ataupun kebun desa (village-forest-gardens), seperti sistem Parak di Maninjau (Sumatera Barat) atau Lembo dan Tembawang di Kalimantan.

(2) Berdasarkan sistem produksi, agroforestry dibedakan menjadi :

a. Agroforestry berbasis hutan adalah bentuk agroforestry yang diawali

dengan pembukaan sebagian areal hutan dan/atau belukar untuk aktivitas pertanian.

b. Agroforestry berbasis pada pertanian yaitu produk utama tanaman

pertanian dan atau peternakan tergantung sistem produksi pertanian dominan di daerah tersebut. Komponen kehutanan merupakan elemen pendukung bagi peningkatan produktivitas dan/atau sustainabilitas.

c. Agroforestry berbasis pada keluarga adalah agroforestry yang

dikembangkan di areal pekarangan rumah (homestead agroforestry).

(3) Berdasarkan masa perkembangannya, agroforestry dapat dibedakan menjadi : a. Agroforestry tradisional/klasik yaitu tiap sistem pertanian, dimana

pohon-pohonan baik yang berasal dari penanaman atau pemeliharaan tegakan/tanaman yang telah ada menjadi bagian terpadu, sosial ekonomi dan ekologis dari keseluruhan sistem (agroecosystem).

b. Agroforestry modern umumnya hanya melihat pengkombinasian antara


(22)

berbagai model tumpang sari (baik yang dilaksanakan oleh Perhutani di hutan jati di Jawa atau yang coba diperkenalkan oleh beberapa pengusaha Hutan Tanaman Industri/HPHTI di luar Jawa).

Pola Kombinasi Komponen dalam Sistem Agroforestry

Secara sederhana agroforestry merupakan pengkombinasian komponen tanaman berkayu/kehutanan (baik berupa pohon, perdu, palem-paleman, bambu, dan tanaman berkayu lainnya) dengan tanaman pertanian (tanaman semusim) dan/atau hewan (peternakan), baik secara tata waktu ataupun secara tata ruang. Kombinasi yang ideal terjadi bila seluruh komponen agroforestry secara terus menerus berada pada lahan yang sama. Pengkombinasian dalam sistem

agroforestry dapat menghasilkan berbagai reaksi, yang masing-masing atau bahkan

sekaligus dapat dijumpai pada satu unit manajemen yaitu persaingan, melengkapi, dan ketergantungan (Sardjono dkk. 2003).

Sardjono dkk. (2003) juga mengatakan bahwa pengkombinasian secara tata waktu dimaksudkan sebagai durasi interaksi antara komponen kehutanan dengan pertanian dan atau peternakan. Kombinasi tersebut tidak selalu tampak di lapangan, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman bahwa suatu bentuk pemanfaatan lahan tidak dapat dikategorikan agroforestry. Secara sederhana kombinasi menurut tata waktu dapat dibagi dua yaitu kombinasi permanen dan sementara. Kombinasi secara tata ruang dapat secara horizontal dan vertikal. Penyebaran menurut tata ruang juga dapat bersifat penyebaran merata atau penyebaran tidak merata.


(23)

Analisis Finansial Agroforestry

Menurut Widianto dkk (2003) bahwa keberadaan pohon dalam agroforestry mempunyai dua peranan utama. Pertama, pohon dapat mempertahankan produksi tanaman pangan dan memberikan pengaruh positif pada lingkungan fisik, terutama dengan memperlambat kehilangan hara dan energi, dan menahan daya perusak air dan angin. Kedua, hasil dari pohon berperan penting dalam ekonomi rumah tangga petani. Pohon dapat menghasilkan: (1) Produk yang digunakan langsung seperti pangan, bahan bakar, bahan bangunan; (2) Input untuk pertanian seperti pakan ternak, mulsa; serta (3) Produk atau kegiatan yang mampu menyediakan lapangan kerja atau penghasilan kepada anggota rumah tangga. Sistem produksi agroforestry memiliki suatu kekhasan (Suharjito dkk. 2003), di antaranya:

a. Menghasilkan lebih dari satu macam produk

b. Pada lahan yang sama ditanam paling sedikit satu jenis tanaman semusim dan satu jenis tanaman tahunan/pohon

c. Produk-produk yang dihasilkan dapat bersifat terukur (tangible) dan tak terukur (intangible)

d. Terdapat kesenjangan waktu (time lag) antara waktu penanaman dan pemanenan produk tanaman tahunan/pohon yang cukup lama

Sistem agroforestry menghasilkan bermacam-macam produk yang jangka waktu pemanenannya berbeda, dimana paling sedikit satu jenis produknya membutuhkan waktu pertumbuhan yang lebih dari satu tahun. Untuk melihat sejauh mana suatu usaha agroforestry memberikan keuntungan, maka analisis yang paling sesuai untuk dipakai adalah analisis proyek yang berbasis finansial. Menurut Lahjie (2004), bahwa analisis finansial pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui


(24)

seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat. Melalui cara berpikir seperti itu maka harus ada ukuran-ukuran terhadap kinerjanya. Ukuran-ukuran yang digunakan umumnya adalah :

a. Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) yaitu nilai saat ini yang mencerminkan nilai

keuntungan yang diperoleh selama jangka waktu pengusahaan dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang atau time value of money. Karena jangka waktu kegiatan suatu usaha agroforestry cukup panjang, maka tidak seluruh biaya bisa dikeluarkan pada saat yang sama, demikian pula hasil yang diperoleh dari suatu usaha agroforestry dapat berbeda waktunya. Untuk mengetahui nilai uang di masa yang akan datang dihitung pada saat ini, maka baik biaya maupun pendapatan

agroforestry di masa yang akan datang harus dikalikan dengan faktor diskonto

yang besarnya tergantung kepada tingkat suku bunga bank yang berlaku di pasaran. Dengan model formulasi sebagai berikut (Suharjito dkk., 2003) :

NPV =

=

= +

n t

t

t

i Ct Bt 0 (1 )

Dimana:

NPV = Nilai bersih sekarang

Bt = Benefit (aliran kas masuk pada periode-t) Ct =Cost/ Biaya total

i = Interest (tingkat suku bunga bank yang berlaku) t = Periode waktu


(25)

Dengan kriteria apabila NPV > 0 berarti usaha tersebut menguntungkan, sebaliknya jika NPV < 0 berarti usaha tersebut tidak layak diusahakan.

b. Benefit Cost Ratio (BCR)

Benefit Cost Ratio (BCR) yaitu perbandingan antara pendapatan dan

pengeluaran selama jangka waktu pengusahaan (dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang atau time value of money). Dengan model formulasi sebagai berikut (Suharjito dkk. 2003) :

BCR =

= = = = +− +− n t t t n t t t i Ct Bt i Ct Bt 0 0 ) 1 ( ) 1 ( Dimana :

BCR = Perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran Bt = Benefit (aliran kas masuk pada periode-t)

Ct = Cost/ Biaya total

i = Interest (tingkat suku bunga bank yang berlaku) t = Periode waktu

Dengan kriteria BCR > 1 dinyatakan usaha tersebut layak diusahakan dan sebaliknya jika BCR < 1 berarti usaha tersebut tidak layak diusahakan.

c. Internal Rate of Returns (IRR)

Internal Rate of Returns (IRR) menunjukkan tingkat suku bunga maksimum

yang dapat dibayar oleh suatu proyek/usaha atau dengan kata lain merupakan kemampuan memperoleh pendapatan dari uang yang diinvestasikan. Dalam perhitungan, IRR adalah tingkat suku bunga apabila BCR yang terdiskonto sama dengan nol. Usaha agroforestry akan dikatakan layak apabila nilai IRR lebih besar

Bt – Ct > 0


(26)

dari tingkat suku bunga yang berlaku di pasar pada saat tersebut. Dengan rumus sebagai berikut (Suharjito dkk. 2003) :

IRR = i1 + 2 1 1

2 1

i i NPV NPV

NPV

− × −

Dimana :

IRR = Suku bunga maksimum yang dapat dibayar oleh suatu proyek

NPV1 = Nilai NPV yang positif pada tingkat suku tertentu

NPV2 = Nilai NPV yang negatif pada tingkat suku bunga tertentu i1 = Discount Factor (tingkat bunga) pertama dimana diperoleh

NPV Positif

i2 = Discount Factor (tingkat bunga) kedua dimana diperoleh NPV Negatif


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan ekosistem kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi daya semusim, peternakan, barang dan jasa, serta rekreasi alam (Awang dkk. 2002).

Salah satu solusi untuk mengurangi tekanan terhadap hutan dan mengatasi masalah kebutuhan lahan pertanian adalah dengan menerapkan sistem agroforestry. Agroforestry merupakan sistem pemanfaatan lahan secara optimal berasaskan kelestarian lingkungan dengan mengusahakan atau mengkombinasikan tanaman kehutanan dan pertanian (perkebunan, ternak) sehingga dapat meningkatkan perekonomian petani di pedesaan (Gautama, 2007).

Lembaga Penelitian IPB (1983) dalam Purwanto dkk. (2004) membagi hutan rakyat dalam tiga kelompok, yaitu:

1. Hutan rakyat murni (monoculture), yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam secara homogen atau monokultur.

2. Hutan rakyat campuran (polyculture), yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.

3. Hutan rakyat wana tani (agroforestry), yaitu yang mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti tanaman


(28)

pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan lain-lain yang dikembangkan secara terpadu.

Pengembangan hutan rakyat dengan komoditi tertentu dapat memperbaiki mutu lingkungan disamping meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan iklim mikro yang baik, memperbaiki struktur tanah, dan mengendalikan erosi. Hal tersebut menjadikan hutan rakyat merupakan salah satu teknik konservasi tanah dan air secara vegetatif (Purwanto, dkk. 2004). Pembangunan hutan rakyat secara swadaya merupakan alternatif yang dipilih untuk mengatasi masalah sosial ekonomi dan lingkungan hidup, selain itu pengaruh positif yang lain adalah terpeliharanya sumberdaya alam (konservasi tanah dan air) sehingga meningkatkan daya dukung lahan bagi penduduk dan ikut serta dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), mengurangi terjadinya kerusakan hutan akibat penebangan liar dan penyerobotan tanah. Kombinasi berbagai jenis tanaman memungkinkan pemetikan hasil secara terus menerus dan memungkinkan terbentuknya stratifikasi tajuk sehingga mencegah erosi tanah dan hempasan air hutan (Arief, 2001).

Deskripsi Tanaman Kemenyan

Kemenyan (Styrax spp.) termasuk jenis pohon berukuran besar yaitu dari famili Styracaceae. Adapun urutan sistematika kemenyan adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Superdivision : Spermatophyta

Division : Angiospermae

Class : Dikotil


(29)

Family : Styracaceae

Genus : Styrax

Species : Styrax sumatrana dan Styrax benzoin

Di Indonesia terdapat tujuh jenis atau varietas kemenyan (Styrax spp.) yang menghasilkan getah akan tetapi hanya dua jenis yang lebih umum dikenal dan diusahakan di Sumatera Utara, yaitu Styrax sumatrana J.J.SM yang disebut dengan kemenyan toba dan Styrax benzoin DRYAND yang disebut dengan kemenyan (haminjon) durame. Dari kedua jenis ini tersebut, jenis yang pertama lebih dominan karena memiliki kualitas getah yang lebih baik dan bernilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan jenis yang terakhir (Sasmuko, 2000).

Ciri khas kemenyan toba (Styrax sumatrana) adalah kandungan atau kadar asam sinamatnya cukup tinggi. Jelas bahwa jenis ini dapat menghasilkan getah kualitas pertama dengan ciri-ciri memiliki aroma yang lebih wangi, berwarna putih dan tidak lengket. Sedangkan ciri khas jenis kemenyan durame (Styrax benzoin) bahwa jenis ini dapat menghasilkan getah kemenyan seperti tahir yang memiliki kualitas getah lebih rendah dengan ciri-ciri berwarna hitam kecoklatan dan agak lengket.

Manfaat/Kegunaan Kemenyan

Penggunaan kemenyan untuk industri dalam negeri sampai saat ini masih terbatas, relatif kecil dan belum banyak diketahui serta diteliti kegunaannya, kecuali dibakar sebagai bahan dupa dalam penyelenggaraan upacara-upacara keagamaan dan dipakai pada upacara adat atau sesajian serta ramuan rokok.


(30)

Ekstraksi kimia getah kemenyan menghasilkan tincture dan benzoin resin yang digunakan sebagai fix active agent dalam industri parfum. Ekstraksi kemenyan juga dapat menghasilkan beberapa senyawa kimia yang diperlukan oleh industri farmasi antara lain asam balsamat, asam sinamat, benzyl benzoate, sodium benzoate, benzophenone, ester aromatis dan sebagainya. Di negara-negara industri maju seperti negara Eropa, kemenyan (Styrax spp.) dipergunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan asam benzoate atau asam sinamat dan ester-esternya, industri farmasi (obat-obatan), industri kosmetika dan bahan pembuatan parfum, pabrik porselin, sabun, plastik sintetis, bahan pengawet pada industri makanan dan sebagainya.

Penggunaan kemenyan dari segi pemakaiannya sebagai bahan kimia yaitu antara lain:

1. Pada bidang farmasi (obat-obatan)

Penggunaan kemenyan sebagai obat-obatan telah lama dipergunakan. Hal ini dibuktikan dari berbagai literatur kimia, yaitu:

- Antiseptik

- Obat mata bagi penyakit kataraks

- Expectorant (melegakan pernafasan)

2. Pada obat-obatan pertanian

Melalui proses esterifikasi, asam sinamat dipergunakan untuk membentuk ester-ester, seperti metil dan etil ester. Beberapa turunan kimianya dapat dipergunakan untuk pembuatan obat-obatan pertanian.


(31)

3. Pada parfum

Pada parfum dipergunakan sebagai fix active, yaitu untuk menahan aroma parfum lebih lama dan mempertemukan dua atau beberapa jenis parfum dari bahan yang berbeda untuk mendapatkan aroma parfum yang lebih baik.

4. Pada Kosmetik

5. Pabrik rokok dan pabrik porselin

6. Kegiatan religius/upacara agama (dupa) 7. Varnis

Berdasarkan uji coba pembutan varnish dari kemenyan ternyata kemenyan menghasilkan varnish yang bermutu tinggi (Edison (1983) dalam Yuniandra, 1998).

Pengertian dan Fungsi Agroforestry

Agroforestry adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan

lahan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, jenis-jenis palm, bambu, dan sebagainya) ditanam bersamaan dengan tanaman pertanian, dan/atau hewan, dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal, dan di dalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi diantara berbagai komponen yang bersangkutan (Nair (1989) dalam Hairiah, 2003).

Fungsi agroforestry terhadap aspek sosial, budaya dan ekonomi antara lain: (a) Kaitannya dengan aspek tenurial, agroforestry memiliki potensi di masa kini dan masa yang akan datang sebagai solusi dalam memecahkan konflik menyangkut lahan negara yang dikuasai oleh para petani penggarap; (b) Upaya


(32)

melestarikan identitas kultural masyarakat, pemahaman akan nilai-nilai kultural dari suatu aktivitas produksi hingga peran berbagai jenis pohon atau tanaman lainnya di lingkungan masyarakat lokal dalam rangka keberhasilan pemilihan desain dan kombinasi jenis pada bentuk-bentuk agroforestry modern yang akan diperkenalkan atau dikembangkan di suatu tempat; (c) Kaitannya dengan kelembagaan lokal, dengan praktik agroforestry lokal tidak hanya melestarikan fungsi dari kepala adat, tetapi juga norma, sanksi, nilai, dan kepercayaan (unsur-unsur dari kelembagaan) tradisional yang berlaku di lingkungan suatu komunitas; (d) Kaitannya dalam pelestarian pengetahuan tradisional, salah satu ciri dari

agroforestry tradisional adalah diversitas komponen terutama hayati yang tinggi

(polyculture). Sebagian dari tanaman tersebut sengaja ditanam atau dipelihara dari permudaan alam guna memperoleh manfaat dari beberapa bagian tanaman sebagai bahan baku pengobatan. Meskipun hampir di seluruh kecamatan di Indonesia sudah tersedia Puskesmas atau Puskesmas Pembantu (Pusban), tetapi masyarakat masih banyak yang memanfaatkan lingkungannya sebagai ‘tabib’ bilamana mereka sakit (Widianto dkk. 2003).

Fungsi agroforestry ditinjau dari aspek biofisik dan lingkungan pada skala bentang lahan (skala meso) adalah kemampuannya untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, khususnya terhadap kesesuaian lahan antara lain: (a) Memelihara sifat fisik dan kesuburan tanah; (b) Mempertahankan fungsi hidrologi kawasan; (c) Mempertahankan cadangan karbon; (d) Mengurangi emisi gas rumah kaca; dan (e) mempertahankan keanekaragaman hayati (Lahjie, 2004).


(33)

Klasifikasi Sistem Agroforestry

Berbagai tipe agroforestry telah banyak diinventarisir dan dikembangkan dengan bentuk yang beragam tergantung kondisi wilayah, lokasi dan tujuan

agroforestry itu sendiri. Namun demikian, keragaman agroforestry tersebut dapat

dikelompokkan ke dalam empat dasar utama (Sardjono dkk., 2003), yaitu:

(1) Berdasarkan strukturnya (Structural Basis) yang berarti penggolongan dilihat dari komposisi komponen-komponen penyusunnya (tanaman pertanian, hutan, pakan, dan/atau ternak). Agroforestry dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Agrisilvikultur (Agrisilvicultural Systems)

Sistem agroforestry yang mengkombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/woody plants) dengan komponen pertanian (atau tanaman non kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang (tree crops) dan tanaman non kayu dari jenis tanaman semusim (annual crops).

b. Silvopastura (Silvopastural Systems)

Sistem agroforestry yang meliputi komponen kehutanan (atau tanaman berkayu) dengan komponen peternakan (atau binatang ternak/pasture). Kedua komponen dalam silvopastura seringkali tidak dijumpai pada ruang dan waktu yang sama (misal: penanaman rumput hijauan ternak di bawah tegakan pinus, atau yang lebih ekstrim lagi adalah sistem ‘cut and carry’ pada pola pagar hidup/living fences of fodder hedges and shrubs; atau pohon pakan serbaguna/multipurpose fodder trees pada lahan pertanian yang disebut


(34)

c. Agrosilvopastura (Agrosilvopastural Systems)

Merupakan pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan/binatang pada unit manajemen lahan yang sama. Contoh: berbagai bentuk kebun pekarangan

(home-gardens), kebun hutan (forest-(home-gardens), ataupun kebun desa (village-forest-gardens), seperti sistem Parak di Maninjau (Sumatera Barat) atau Lembo dan Tembawang di Kalimantan.

(2) Berdasarkan sistem produksi, agroforestry dibedakan menjadi :

a. Agroforestry berbasis hutan adalah bentuk agroforestry yang diawali

dengan pembukaan sebagian areal hutan dan/atau belukar untuk aktivitas pertanian.

b. Agroforestry berbasis pada pertanian yaitu produk utama tanaman

pertanian dan atau peternakan tergantung sistem produksi pertanian dominan di daerah tersebut. Komponen kehutanan merupakan elemen pendukung bagi peningkatan produktivitas dan/atau sustainabilitas.

c. Agroforestry berbasis pada keluarga adalah agroforestry yang

dikembangkan di areal pekarangan rumah (homestead agroforestry).

(3) Berdasarkan masa perkembangannya, agroforestry dapat dibedakan menjadi : a. Agroforestry tradisional/klasik yaitu tiap sistem pertanian, dimana

pohon-pohonan baik yang berasal dari penanaman atau pemeliharaan tegakan/tanaman yang telah ada menjadi bagian terpadu, sosial ekonomi dan ekologis dari keseluruhan sistem (agroecosystem).

b. Agroforestry modern umumnya hanya melihat pengkombinasian antara


(35)

berbagai model tumpang sari (baik yang dilaksanakan oleh Perhutani di hutan jati di Jawa atau yang coba diperkenalkan oleh beberapa pengusaha Hutan Tanaman Industri/HPHTI di luar Jawa).

Pola Kombinasi Komponen dalam Sistem Agroforestry

Secara sederhana agroforestry merupakan pengkombinasian komponen tanaman berkayu/kehutanan (baik berupa pohon, perdu, palem-paleman, bambu, dan tanaman berkayu lainnya) dengan tanaman pertanian (tanaman semusim) dan/atau hewan (peternakan), baik secara tata waktu ataupun secara tata ruang. Kombinasi yang ideal terjadi bila seluruh komponen agroforestry secara terus menerus berada pada lahan yang sama. Pengkombinasian dalam sistem

agroforestry dapat menghasilkan berbagai reaksi, yang masing-masing atau bahkan

sekaligus dapat dijumpai pada satu unit manajemen yaitu persaingan, melengkapi, dan ketergantungan (Sardjono dkk. 2003).

Sardjono dkk. (2003) juga mengatakan bahwa pengkombinasian secara tata waktu dimaksudkan sebagai durasi interaksi antara komponen kehutanan dengan pertanian dan atau peternakan. Kombinasi tersebut tidak selalu tampak di lapangan, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman bahwa suatu bentuk pemanfaatan lahan tidak dapat dikategorikan agroforestry. Secara sederhana kombinasi menurut tata waktu dapat dibagi dua yaitu kombinasi permanen dan sementara. Kombinasi secara tata ruang dapat secara horizontal dan vertikal. Penyebaran menurut tata ruang juga dapat bersifat penyebaran merata atau penyebaran tidak merata.


(36)

Analisis Finansial Agroforestry

Menurut Widianto dkk (2003) bahwa keberadaan pohon dalam agroforestry mempunyai dua peranan utama. Pertama, pohon dapat mempertahankan produksi tanaman pangan dan memberikan pengaruh positif pada lingkungan fisik, terutama dengan memperlambat kehilangan hara dan energi, dan menahan daya perusak air dan angin. Kedua, hasil dari pohon berperan penting dalam ekonomi rumah tangga petani. Pohon dapat menghasilkan: (1) Produk yang digunakan langsung seperti pangan, bahan bakar, bahan bangunan; (2) Input untuk pertanian seperti pakan ternak, mulsa; serta (3) Produk atau kegiatan yang mampu menyediakan lapangan kerja atau penghasilan kepada anggota rumah tangga. Sistem produksi agroforestry memiliki suatu kekhasan (Suharjito dkk. 2003), di antaranya:

a. Menghasilkan lebih dari satu macam produk

b. Pada lahan yang sama ditanam paling sedikit satu jenis tanaman semusim dan satu jenis tanaman tahunan/pohon

c. Produk-produk yang dihasilkan dapat bersifat terukur (tangible) dan tak terukur (intangible)

d. Terdapat kesenjangan waktu (time lag) antara waktu penanaman dan pemanenan produk tanaman tahunan/pohon yang cukup lama

Sistem agroforestry menghasilkan bermacam-macam produk yang jangka waktu pemanenannya berbeda, dimana paling sedikit satu jenis produknya membutuhkan waktu pertumbuhan yang lebih dari satu tahun. Untuk melihat sejauh mana suatu usaha agroforestry memberikan keuntungan, maka analisis yang paling sesuai untuk dipakai adalah analisis proyek yang berbasis finansial. Menurut Lahjie (2004), bahwa analisis finansial pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui


(37)

seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat. Melalui cara berpikir seperti itu maka harus ada ukuran-ukuran terhadap kinerjanya. Ukuran-ukuran yang digunakan umumnya adalah :

a. Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) yaitu nilai saat ini yang mencerminkan nilai

keuntungan yang diperoleh selama jangka waktu pengusahaan dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang atau time value of money. Karena jangka waktu kegiatan suatu usaha agroforestry cukup panjang, maka tidak seluruh biaya bisa dikeluarkan pada saat yang sama, demikian pula hasil yang diperoleh dari suatu usaha agroforestry dapat berbeda waktunya. Untuk mengetahui nilai uang di masa yang akan datang dihitung pada saat ini, maka baik biaya maupun pendapatan

agroforestry di masa yang akan datang harus dikalikan dengan faktor diskonto

yang besarnya tergantung kepada tingkat suku bunga bank yang berlaku di pasaran. Dengan model formulasi sebagai berikut (Suharjito dkk., 2003) :

NPV =

=

= +

n t

t

t

i Ct Bt 0 (1 )

Dimana:

NPV = Nilai bersih sekarang

Bt = Benefit (aliran kas masuk pada periode-t) Ct =Cost/ Biaya total

i = Interest (tingkat suku bunga bank yang berlaku) t = Periode waktu


(38)

Dengan kriteria apabila NPV > 0 berarti usaha tersebut menguntungkan, sebaliknya jika NPV < 0 berarti usaha tersebut tidak layak diusahakan.

b. Benefit Cost Ratio (BCR)

Benefit Cost Ratio (BCR) yaitu perbandingan antara pendapatan dan

pengeluaran selama jangka waktu pengusahaan (dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang atau time value of money). Dengan model formulasi sebagai berikut (Suharjito dkk. 2003) :

BCR =

= = = = +− +− n t t t n t t t i Ct Bt i Ct Bt 0 0 ) 1 ( ) 1 ( Dimana :

BCR = Perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran Bt = Benefit (aliran kas masuk pada periode-t)

Ct = Cost/ Biaya total

i = Interest (tingkat suku bunga bank yang berlaku) t = Periode waktu

Dengan kriteria BCR > 1 dinyatakan usaha tersebut layak diusahakan dan sebaliknya jika BCR < 1 berarti usaha tersebut tidak layak diusahakan.

c. Internal Rate of Returns (IRR)

Internal Rate of Returns (IRR) menunjukkan tingkat suku bunga maksimum

yang dapat dibayar oleh suatu proyek/usaha atau dengan kata lain merupakan kemampuan memperoleh pendapatan dari uang yang diinvestasikan. Dalam perhitungan, IRR adalah tingkat suku bunga apabila BCR yang terdiskonto sama dengan nol. Usaha agroforestry akan dikatakan layak apabila nilai IRR lebih besar

Bt – Ct > 0


(39)

dari tingkat suku bunga yang berlaku di pasar pada saat tersebut. Dengan rumus sebagai berikut (Suharjito dkk. 2003) :

IRR = i1 + 2 1 1

2 1

i i NPV NPV

NPV

− × −

Dimana :

IRR = Suku bunga maksimum yang dapat dibayar oleh suatu proyek

NPV1 = Nilai NPV yang positif pada tingkat suku tertentu

NPV2 = Nilai NPV yang negatif pada tingkat suku bunga tertentu i1 = Discount Factor (tingkat bunga) pertama dimana diperoleh

NPV Positif

i2 = Discount Factor (tingkat bunga) kedua dimana diperoleh NPV Negatif


(40)

III. METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pangurdotan, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara. Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan Juni - Juli 2010.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di Desa Pangurdotan sebanyak 178 KK, sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah 39 orang dengan kriteria memiliki lahan lebih dari 1 Ha dan mengelola lahannya dengan sistem agroforestry atau non agriforestry.

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah : 1. Data primer

Data primer yang diperlukan adalah :

a. Karakteristik responden : nama, umur, mata pencaharian, jumlah anggota keluarga, dan pendidikan

b. Jenis-jenis komoditi atau tanaman yang ditanam petani dengan kemenyan

c. Komponen-komponen biaya (cost) dan manfaat (benefit) dari budidaya kemenyan dalam sistem agroforestry


(41)

2. Data Sekunder

Data sekunder yang diperlukan adalah data umum yang ada pada instansi pemerintah desa, kecamatan, dinas kehutanan dan perkebunan, Badan Pusat Statistik dan lembaga-lembaga lain yang terkait.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara : 1. Kuisioner

Kuisioner (Lampiran 2) merupakan suatu set pertanyaan yang ditujukan kepada seluruh sampel dalam penelitian. Data yang diperlukan adalah data primer.

2. Wawancara Mendalam (Deep Interview)

Wawancara ditujukan untuk melengkapi data lainnya yang berkaitan dengan penelitian.

3. Observasi

Survey langsung ke lapangan dengan melihat kehidupan sehari-hari

masyarakat dan kondisi lahan agroforestry. 4. Studi Pustaka

Dilakukan untuk mendapatkan data-data sekunder yang diperlukan dalam penelitian.

Pengolahan Data

Analisis-analisis yang digunakan adalah : 1. Analisis Deskriptif

Menurut Nazir (1988), metode deskriptif digunakan untuk mengetahui dan menganalisis data yang terkumpul dari hasil kuisioner, wawancara


(42)

mendalam, observasi dan studi pustaka. Data yang terkumpul dari hasil kuisioner dinyatakan dalam bentuk tabel (tabulasi) frekuensi silang yang berupa data karakteristik responden yang meliputi umur, mata pencaharian, jumlah anggota keluarga dan pendidikan serta data pengelolaan berupa luas lahan, jumlah tenaga kerja, sistem kepemilikan lahan, dan sistem

agroforestry, dianalisis secara deskriptif berdasarkan tabulasi.

2. Analisis Finansial

Analisis finansial pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat.

Data yang diperoleh dari kuisioner dan wawancara mendalam yang meliput i pola kombinasi, biaya produksi, produksi/volume hasil, harga jual komoditi, dan pendapatan dari kemenyan dalam sistem agroforestry dinyatakan dalam bentuk tabulasi. Kemudian dianalisis kelayakan finansialnya berdasarkan masing-masing pola dengan menghitung besarnya nilai NPV, BCR dan IRR dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Suharjito dkk. 2003) :

1. Net Present Value (NPV) =

= = + − n t t t i Ct Bt 0 (1 )

2. Benefit Cost Ratio (BCR) =

= = = = +− +− n t t t n t t t i Ct Bt i Ct Bt 0 0 ) 1 ( ) 1 (

3. Internal Rate of Returns (IRR) = i1 + 2 1 1 2 1 i i NPV NPV NPV − × −

Bt – Ct > 0


(43)

Dimana:

NPV = Nilai bersih sekarang

BCR = Perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran Bt = Benefit (aliran kas masuk pada periode-t)

Ct = Cost/Biaya total

i dan t = Interest (tingkat suku bunga bank yang berlaku) dan peride waktu IRR = Suku bunga maksimum yang dapat dibayar oleh suatu proyek NPV1 = Nilai NPV yang positif pada tingkat suku tertentu

NPV2 = Nilai NPV yang negatif pada tingkat suku bunga tertentu

i1 = Discount factor (tingkat bunga) pertama dimana diperoleh NPV positif. i2 = Discount factor (tingkat bunga) kedua dimana diperoleh NPV negatif.


(44)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden Analisis Deskriptif

Data yang memberi pengaruh penting dalam mempengaruhi kelayakan sistem agroforestry adalah karakteristik responden. Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah nama, umur, mata pencarian, jumlah anggota keluarga, pendidikan, sistem kepemilikan lahan, dan sistem agroforestry yang dianalisis secara deskriptif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nazir (1988) bahwa data yang terkumpul dari hasil kuisioner dianalisis secara deskriptif berdasarkan tabulasi. Penyebaran responden berdasarkan umur ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Penyebaran responden berdasarkan umur

No. Kelompok umur (Tahun) Frekuensi Persentase (%)

1 20 – 30 1 2,56

2 31 – 40 4 10,26

3 41 – 50 19 48,72

4 51 – 60 14 35,90

5 ≥ 61 1 2,56

Jumlah 39 100

Umur menyatakan tingkat keproduktifan seseorang dalam melaksanakan suatu kegiatan. Tabel 1 di atas menyatakan bahwa konsentrasi umur responden adalah pada kelompok umur 41 – 50 tahun dengan persentase 48,72%. Kemudian disusul dengan kelompok umur 51 – 60 tahun (35,90%), kelompok umur 31 – 40 tahun (10,26%), dan yang terakhir adalah kelompok umur 20 – 30 tahun dan kelompok umur ≥ 61 tahun dimana keduanya memiliki frekuensi yang sama.


(45)

berumur 20-40 tahun mengelola lahannya dengan sistem agroforestry. Hal ini menunjukkan bahwa faktor usia mempengaruhi tingkat keproduktifan seseorang dalam mengelola lahan. Masyarakat yang berumur diatas 50 tahun mengelola lahannya dengan sistem agroforestry. Gologan umur ini dapat mengelola lahannya dengan sisten agroforestry karena adanya peran serta anggota keluarga yang produktif.

Responden dalam penelitian ini rata-rata memiliki jumlah anggota keluarga rata-rata 4 – 6 orang (69,23%). Tabel 2 menyajikan penyebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga.

Tabel 2. Penyebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga

No. Jumlah anggota keluarga (Orang) Frekuensi Persentase (%)

1 1 – 3 5 12,82

2 4 – 6 27 69,23

3 7 – 9 5 12,82

4 ˃ 9 2 5,13

Jumlah 39 100

Pada umumnya, masyarakat dengan jumlah anggota keluarga 1- 6 orang mengelola lahannya dengan sistem non agroforestry dan masyarakat dengan jumlah anggota keluarga lebih dari 5 orang menggunakan sistem agroforestry. Jumlah anggota keluarga memiliki peran dalam pengelolaan tanaman. Karena jika anggota keluarga ikut dalam pengelolaannya, maka akan mengurangi pembiayaan tenaga kerja di luar anggota keluarga. Semakin banyak anggota keluarga yang berperan dalam pengelolaan tanaman, maka semakin sedikit biaya yang diperlukan.

Masyarakat responden di Desa Pangurdotan rata-rata memiliki pendidikan Sekolah Dasar (SD), yaitu sebanyak 20 orang responden (51,28%). Kemudian Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebanyak 10 orang (25,64%), disusul


(46)

dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 8 orang (20,52%), dan yang tidak bersekolah hanya 1 orang (2,56%). Sedangkan untuk tamatan perguruan tinggi, tidak satupun masyarakat responden yang memiliki pendidikan tersebut. Penyebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Penyebaran responden berdasarkan pendidikan

No. Tingkat pendidikan Frekuensi Persentase (%)

1 Tidak Sekolah 1 2,56

2 SD/SR 20 51,28

3 SLTP/SMP 10 25,64

4 SLTA/SMU/SMK 8 20,52

5 PT 0 0

Jumlah 39 100

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat di Desa Pangurdotan terbilang rendah. Karena sebagian besar masyarakatnya didominasi oleh pendidikan SD. Tingkat pendidikan tentu saja berpengaruh pada cara masyarakat mengembangkan lahan agroforestry maupun non agroforestry.

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin baik pola pikirnya untuk memikirkan banyak cara dalam proses pengembangan pengelolaan tanaman karena akan semakin banyak informasi yang diperoleh. Jika informasi tersebut diterapkan dengan baik dalam proses pengelolaan tanaman, maka akan memberikan hasil yang baik pula.

Para petani responden biasanya menggunakan tenaga kerja sebanyak 3 – 4 orang. Sebagian tenaga kerja yang digunakan adalah anggota keluarga, namun biasanya tetap memerlukan tenaga kerja lain. Penyebaran responden dilihat dari jumlah tenaga kerja yang diperlukan ditunjukkan pada Tabel 4.


(47)

No. Jumlah tenaga kerja (Orang) Frekuensi Persentase (%)

1 1 – 2 12 30,77

2 3 – 4 24 61,53

3 ˃ 4 3 7,70

Jumlah 39 100

Tabel 4 menunjukkan bahwa masyarakat responden paling banyak memerlukan jumlah tenaga kerja adalah 3 – 4 orang, yaitu terdapat 24 orang dari keseluruhan responden (61,53%). Terdapat 12 (30,77%) dari responden tersebut hanya memerlukan 1 – 2 orang tenaga kerja dan yang paling sedikit adalah masyarakat responden yang memerlukan tenaga kerja berjumlah lebih dari 4 orang, yaitu hanya 3 responden (7,70%). Tentu saja hal ini akan berpengaruh pada hasil akhir pengelolaan. Semakin banyak tenaga yang diperlukan, maka akan semakin besar biaya yang akan dikeluarkan, termasuk memberi upah kepada para tenaga kerja.

Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kelayakan budi daya kemenyan dalam sistem agroforestry adalah luas lahan yang dimiliki masyarakat responden. Penyebaran responden berdasarkan luas lahan yang dimilikinya disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Penyebaran responden berdasarkan luas lahan agroforestry

No. Luas lahan (Ha) Frekuensi Persentase (%)

1 1 – 2 26 66,67

2 > 2 13 33,33

Jumlah 39 100

Responden yang memiliki luas lahan 1 – 2 ha adalah sebanyak 26 orang responden (66,67%). Kemudian disusul dengan responden yang memiliki luas lahan > 2 ha, yaitu sebanyak 13 orang (33,33%), atau sama dengan setengah dari jumlah masyarakat responden dengan frekuensi terbanyak. Masyarakat yang


(48)

memiliki luas 1 – 2 ha terdapat 10 orang yang mengelola lahannya secara non

agroforestry dan 16 orang yang mengelola lahannya secara agroforestry.

Sedangkan masyarakat yang memiliki luas lahan > 2 ha mengelola lahannya dengan sistem agroforestry. Semakin luas lahan yang dikelola seseorang, maka akan semakin banyak hasil yang diperoleh dari lahan tersebut. Dan tentu saja jika didukung dengan pengelolaan yang baik.

B. Hal-hal yang Menyebabkan Terjadinya Perubahan Pengusahaan Lahan dari non agroforestry menjadi agroforestry

Pola kombinasi sistem agroforestry di Desa Pangurdotan adalah Sistem

Agrisilvikultur. Pola tanaman yang diterapkan adalah kemenyan sebagai tanaman

kehutanan dan sebagai tanaman musimannya adalah padi dan cokelat. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan, ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perubahan pengusahaan lahan dari non agroforestry msnjadi

agroforestry, diantaranya :

- Tanaman kemenyan dengan sistem monokultur tidak menghasilkan produksi getah secara maksimal sehingga nilai ekonomi yang diperoleh juga tidak maksimal;

- Maraknya pencurian getah kemenyan sehingga pemilik lahan mengalami kerugian;

- Kurangnya peranan pemerintah khususnya dalam memberikan perhatian


(49)

C. Analisis Finansial

Setiap usaha yang dilakukan oleh setiap orang perlu diketahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungannya, dan kapan investasinya akan kembali. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah suatu usaha memiliki kelayakan sebagai suatu usaha. Usaha budi daya kemenyan dalam sistem agroforestry dan non agroforestry di Desa Pangurdotan juga dapat diketahui tingkat kelayakannya sebagai suatu usaha.

Analisis biaya dan manfaat dapat dilihat dalam beberapa kriteria, yaitu NPV, BCR, dan IRR pada tingkat suku bunga yang berlaku, yaitu 6,5%. Nilai dari masing-masing kriteria tersebut ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai NPV, BCR, dan IRR agroforestry dan non angroforestry Desa Pangurdotan selama 15 tahun.

Pola Kombinasi NPV (Rp/Ha) BCR IRR (%)

agroforestry 21.837.109 3,01 52,63

non agroforestry 20.526.290 16,02 49,86

Tabel 6 menunjukkan besarnya NPV, BCR, dan IRR pada lahan

agroforestry dan non agroforestry di Desa Pangurdotan selama 15 tahun.

Perhitungan nilai NPV, BCR, dan IRR di atas lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 4, 5, 6, dan 7. Seperti pernyataan Suharjito, dkk. (2003) bahwa nilai saat ini yang mencerminkan nilai keuntungan yang diperoleh selama jangka waktu pengusahaan dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang, maka Tabel 6 di atas juga menunjukkan besarnya nilai keuntungan yang diperoleh dari sistem

agroforestry dan non agroforestry. Dengan pola kombinasi agroforestry,

keuntungan yang diperoleh adalah sebanyak Rp. 21.837.109,- selama 15 tahun/ha dan dengan pola non agroforestry diperoleh keuntungan Rp. 20.526.290,- selama


(50)

15 tahun/ha. Artinya bahwa pola kombinasi agroforestry lebih menguntungkan dibandingkan dengan pola non agroforestry.

Benefit Cost Ratio (BCR) adalah perbandingan besarnya pendapatan dengan

pengeluaran selama jangka waktu tertentu, dalam hal ini adalah 15 tahun. Untuk pola agroforestry, nilai BCR yang diperoleh adalah sebesar 3,01. Artinya adalah modal yang diinvestasikan akan kembali sebesar 3,01 kali lipat. Sedangkan untuk pola non agroforestry, nilai BCR yang diperoleh adalah 16,02. Kedua pola kombinasi di atas merupakan nilai yang layak untuk kategori BCR. Kedua pola menghasilkan nilai BCR > 1, pola non agroforestry memiliki BCR lebih besar daripada BCR agroforestry, artinya bahwa pola non agroforestry memiliki nilai yang lebih optimal untuk diusahakan.

Internal Rate of Returns (IRR) adalah nilai yang menunjukkan berapa

manfaat yang diperoleh dari suatu usaha dimana seseorang menginvestasikan uangnya. Menurut Suharjito dkk. (2003), IRR adalah tingkat suku bunga apabila BCR yang terdiskonto sama dengan nol. Usaha agroforestry akan dikatakan layak apabila nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku di pasar pada saat tersebut. Besarnya nilai IRR pada pola agroforestry adalah sebesar 52,63% dan pola non agroforestry adalah sebesar 49,86%. Hal ini menunjukkan bahwa budi daya secara agroforestry dan non agroforestry layak karena IRR yang diperoleh lebih besar dari besarnya tingkat suku bunga yang berlaku, yaitu 6,5%.

Nilai NPV pada sistem agroforestry memiliki nilai yang lebih besar daripada sistem non agroforestry. Namun, nilai BCR dan IRR lebih besar pada praktek sistem non agroforestry daripada sistem agroforestry. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan waktu menghasilkan dari jenis produk yang ditanam. Pada tahun


(51)

pertama hingga tahun ke-5, tanaman pada pola non agroforestry belum mendapatkan keuntungan, namun tetap memerlukan biaya pengeluaran untuk biaya pemeliharaan tanaman. Sedangkan pada sistem agroforestry, tanaman mulai menghasilkan pada tahun ke-2. Hal ini terjadi karena adanya berbagai jenis tanaman yang ditanam pada pola agroforestry. Sehingga, sebelum tanaman kemenyan menghasilkan, terdapat tanaman lain yang telah lebih dahulu menghasilkan karena kondisi pertumbuhan tanaman yang selalu berkesinambungan.

Sistem agroforestry (Rp. 21.837.109,-) menghasilkan keuntungan yang lebih besar jika dibandingkan dengan sistem non agroforestry (Rp. 20.526.290,-) selama 15 tahun/ha. Hal ini membuat masyarakat berkeinginan untuk mengubah sistem tanam mereka, yaitu dari sistem non agroforestry menjadi sistem

agroforestry. Tingkat pendidikan masyarakat responden di Desa Pangurdotan ini

terbilang cukup rendah, karena didominasi tamatan SD, namun mereka mencoba untuk mengubah pengusahaan lahan mereka menjadi sistem non agroforestry. Hal ini terjadi bukan karena memiliki pendidikan yang tinggi sehingga dapat mengakses cara dengan memanfaatkan pendidikan ataupun teknologi yang tinggi, namun semua adalah berdasarkan pada pengalaman para petani responden dalam mengelola usahanya.

Kondisi tanaman yang pertumbuhannya berkesinambungan juga memberikan dampak yang positif pada kondisi tanah. Menurut Lahjie (2004), bahwa fungsi agroforestry jika ditinjau dari aspek biofisik dan lingkungan pada skala bentang lahan (skala meso) adalah mampu menjaga dan mempertahankan kelertarian sumber daya alam dan lingkungan. Salah satu fungsinya adalah dapat


(52)

memelihara sifat fisik dan kesuburan tanah. Menurut Widianto, dkk. (2003), keberadaan pohon dalam agroforestry dapat memperlambat kehilangan unsur hara dan energi, serta dapat menahan daya perusak air dan angin. Dan tentunya dapat memperlambat terjadinya proses erosi. Jadi, sistem agroforestry tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga menguntungkan dari segi biofisik dan lingkungan.


(53)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Penyebab masyarakat responden di Desa Pangurdotan melakukan perubahan pengusahaan lahan dari non agroforestry menjadi agroforestry, diantaranya : tanaman kemenyan dengan sistem monokultur tidak menghasilkan produksi getah secara maksimal sehingga nilai ekonomi yang diperoleh juga tidak maksimal, maraknya pencurian getah kemenyan sehingga pemilik lahan mengalami kerugian, dan kurangnya peranan pemerintah khususnya dalam memberikan perhatian kepada para petani kemenyan;

2. Sistem agroforestry dan non agroforestry di Desa Pangurdotan, berdasarkan kriteria NPV, BCR, dan IRR adalah layak secara finansial dan sistem

agroforestry adalah sistem yang paling layak secara finansial.

Saran

Berdasarkan kesimpulan, disarankan kepada masyarakat di Desa Pangurdotan untuk melakukan usaha tani menggunakan sistem agroforestry karena cara ini lebih layak secara finansial.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius : Yogyakarta

Awang, A.S., A. Wahyu, H. Barlatul, T.W. Wahyu, dan A. Agus. 2002. Hutan

Rakyat Sosial Ekonomi dan Pemasaran. BPFE-Yogyakarta. Yogyakarta

Gautama, I. 2007. Studi Sosial Ekonomi Masyarakat Pada Sistem Agroforestry Di Desa Lasiwala Kabupaten Sidrap. Jurnal Hutan dan Masyarakat,Vol 2 No.3 hal.319-328

Hairiah, K., Sardjono, M. A dan S. Sabarnurdin. 2003. Pengantar Agroforestry. World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor

Lahjie, A. M. 2004. Teknik Agroforestry. Universitas Mulawarman. Samarinda Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta

Purwanto, S., Cahyono, A., Indrawati, D. R. dan Wardoyo. 2004. Model-model Pengelolaan Hutan Rakyat (Private Forestry Models). Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta. 3 Agustus 2004. Kebumen. Hal 3

Sasmuko, A.D. 2000. Strategi Pengembangan Kemenyan Di Sumatera Utara. Medan : Prospek Pengembangan Usaha Tani Hutan Kemenyan [Makalah Utama Seminar]

Sardjono, M.A., D. Tony, S.A. Hadi, dan W. Nurheni. 2003. Klasifikasi dan Pola

Kombinasi Komponen Agroforestry. World Agroforestry Centre. Bogor.

Suharjito, D. dan D. Darusman. 1998. Kehutanan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor Dan The Ford Foundation. Bogor

Suharjito, D., S. Leti, Suyanto dan R.U. Sri. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan

Budaya Agroforestry. World Agroforestry Centre. Bogor.

Widianto, K.H., S. Didik, dan A.S Mustofa. 2003. Fungsi dan Peran Agroforestry. World Agroforestry Centre. Bogor

Yuniandra, F. 1998. Pengelolaan Hutan Rakyat Kemenyan ( Styrax spp.) dan

Pemasaran Getahnya Di Kabupaten Tapanuli Utara Propinsi Sumatera Utara. Skripsi Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Zuska, F. 2005. Kebun Agroforest Kemenyan Di Tapanuli Utara: Upaya Rakyat Memanfaatkan Sumber Daya Alam Hutan Secara Alami. Jurnal Antropologi Sosial Budaya Etnovisi. Ed. 01. Hal. 38-45.


(55)

(56)

LAMPIRAN

KUISIONER PENELITIAN

Hari/Tanggal : ………...

No. Responden : ………..

I. Identitas Responden

Nama : ………. ... Alamat : ………. ...

Umur : ………tahun

Saya bernama Josua K. Gultom, mahasiswa Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara memohon Bapak/Ibu menjawab kuisioner ini dengan memilih salah satu jawaban dengan memberi tanda x pada jawaban yang tersedia. Kuisioner ini hanya untuk kepentingan penelitian dalam rangka penyusunan tugas akhir/skripsi saya.

1. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan

2. Status Perkawinan : a. Belum kawin b. Kawin c. Duda/ janda

3. Suku : a. Minang

b. Melayu c. Jawa d. Aceh e. Batak

4. Pendidikan : a. Tidak Sekolah b. S D (SD/SR/MI)

c. S L T P (SMP/MTs)

d. SLTA (SMA/SMU/SMK/MA)

e. Perguruan Tinggi (D1, D2, D3, Akademi, Sarjana Muda, Sarjana)

5. Pekerjaan Pokok : a. Petani b. Pedagang c. Karyawan d. Wiraswasta e. P N S/ pensiunan f. Tidak bekerja


(57)

6. Jumlah anggota : a. 1 – 3 orang c. 7 – 9 orang keluarga b. 4 – 6 orang d. > 9 orang 7.Jumlah tanggungan keluarga/ : a. 1- 3 orang

bersekolah b. 4 – 6 orang c. 7 – 9 orang d. > 9 orang 8. Penghasilan per bulan : a. < 500.000

b. 500.000 – 700.000 c. 750.000 – 900.000 d. 950.000 – 1.200.000 e. > 1.200.000

9. Pekerjaan Sampingan : ... 10. Penghasilan per bulan : Rp...

II. Sistem Kemenyan rakyat dalam Agroforestry

1. Apakah Anda mengubah lahan kemenyan Anda menjadi lahan

agroforestry………?

2. Berapa luas lahan kebun campuran yang Anda miliki ?

……….Ha

3. Berapa jauh (jarak) lahan Kebun dari rumah anda?...km

4. Bagaimanakah status kepemilikan lahan Kebun Campuran

Anda?... 5. Jenis tanaman semusim (Pertanian) apa saja yang Anda tanam pada lahan yang

anda tanami kemenyan?

a. ……… f. ………..

b. ……….... g. ………..

c. ……… h. ………..

d. ……… i. ………...

e. ……… j. ………...

6. Jenis tanaman keras (Kehutanan) apa saja yang Anda tanami pada lahan yang anda tanami kemenyan?

a. ……… f. ………..

b. ……….... g. ………..

c. ……… h. ………..

d. ……… i. ………...


(58)

7. Apa yang Anda ketahui tentang Kebun Campuran ………

……… ……… ……….

8. Berapa umur tanaman kemenyan yang anda miliki pada lahan

agroforestry?...tahun

9. Sistem Agroforestry (kebun campuran) apa yang Anda terapkan pada lahan yang anda tanami kemenyan ?

a. Agrisilvikultur : sistem agroforestry yang meliputi komponen kehutanan

(atau tanaman keras) dengan komponen pertanian (atau tanaman musiman)

b. Silvopastura : sistem agroforestry yang meliputi komponen kehutanan

(atau tanaman keras) dengan komponen peternakan (atau binatang ternak)

c. Agrosilvopastura : sistem agroforestry yang meliputi komponen

berkayu (kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan/binatang pada unit manajemen lahan yang sama.

10.Berapa orang jumlah anggota keluarga Anda yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan Kebun Campuran ? ………..orang

11.Berapa orang tenaga kerja yang anda perlukan untuk mengelola kemenyan pada kebun campuran anda?...orang

12.Siapa saja anggota keluarga Anda yang terlibat ? a. Suami

b. Istri c. Anak

d. Seluruh Anggota keluarga

13. Bagaimana jadwal keterlibatan masing-masing komponen pilihan di atas ? a. 1 (satu) hari penuh

b. Setengah hari c. Pulang sekolah

d. Sewaktu-waktu bila diperlukan

14. Apakah ada peran pemerintah dalam pengembangan Kebun Campuran ? a. Ada


(59)

15. Biaya-biaya apa saja yang Anda keluarkan untuk budidaya kemenyan?

No Uraian Volume Harga

Satuan Biaya

16.Berapakah Volume produksi tahunan kemenyan dari Kebun Campuran Hasil Produksi kemenyan dari Kebun Campuran

Kualitas/Produksi/ Volume Hasil

(Kg) /

Frekuensi Panen / Thn

Harga/ Satuan (Rp)

Pendapatan (Rp)

17.Bagaimana pola budidaya kemenyan yang saudara miliki selain di dalam kebun campuran

……… ……… ……….

18.Apakah Anda memelihara hewan ternak di lahan kebun Campuran?

………. Jika Ya, hewan apa saja, berapa jumlahnya dan berapa hasil per tahunnya ? Tabel 3. Komponen Peternakan

No Jenis Hewan

Jumlah Hasil

Tahunan (Rp)

Keterangan

Anak Dewasa

1 2 3 4


(60)

Lampiran 2. Karakteristik dan pendapatan responden N

o Nama

Umur

(tahun) Pendidikan

Pekerjaan Luas

Lahan (Ha) Jumlah anggota keluarga Jumlah tenaga kerja Pendapatan (Rp/bulan)

Pokok Sampingan Pokok Sampin

gan

Kmyn Padi Cklt

1 Agifson S. 48 SLTA Petani - 4 5 2 550.000 750.000 100.000 -

2 Damser S. 56 SD Petani - 3 6 3 400.000 600.000 - -

3 Masdem S. 52 SD Petani - 2 6 3 450.000 550.000 - -

4 Paslams S. 51 SLTP Petani - 2 5 3 350.000 500.000 50.000 -

5 Mangulahon S. 56 SD Petani - 2 3 2 450.000 550.000 - -

6 Hotmen P. 47 SLTP Petani - 2 3 2 900.000 - - -

7 Budiarto S. 42 SLTA Petani - 2 4 2 450.000 600.000 50.000 -

8 Mauliate S. 40 SLTP Petani - 2 6 3 350.000 450.000 100.000 -

9 Genung S. 30 SLTP Petani - 2 6 2 450.000 550.000 - -

10 Poltak S. 50 SD Petani - 2,5 6 4 400.000 550.000 50.000 -

11 Jasmin S. 44 SLTP Petani - 2 7 3 800.000 - - -

12 Darbin S. 48 SLTP Petani Pedagang 2 6 3 400.000 550.000 50.000 200.000

13 Saur S. 51 SD Petani - 3 6 3 450.000 550.000 100.000 -

14 Bpk. Rosa S. 42 SD Petani - 2 3 2 700.000 - - -

15 Op. Josua T. 54 SLTP Petani - 3 10 5 550.000 650.000 - -

16 Sahat S. 33 SLTA Petani - 2 4 2 700.000 - - -

17 Bpk. Lia S. 38 SD Petani - 2 3 3 400.000 550.000 50.000 -

18 Op. Kevin S. 56 SLTP Petani - 3 7 3 450.000 600.000 50.000 -

19 Dumoran S. 43 SLTA Petani - 2 3 2 800.000 - - -

20 Karmen Lbn.T. 48 SD Petani - 3 10 5 300.000 600.000 100.000 -

21 Jelas S. 56 SD Petani - 2 5 3 300.000 650.000 50.000 -

22 Tukkar S. 41 SLTA Petani Pedagang 2 4 3 450.000 600.000 50.000 150.000

23 Elimber S. 48 SD Petani - 2 5 3 900.000 - - -


(61)

26 Karmen S.

64 Tidak

Sekolah Petani - 2 8 5 300.000 600.000 100.000 -

27 Ramli S. 44 SD Petani - 3 7 4 450.000 650.000 100.000 -

28 Pangondian S. 42 SLTP Petani Pedagang 3 7 3 500.000 700.000 100.000 200.000

29 Burju S. 44 SD Petani - 1,5 5 3 350.000 550.000 - -

30 Junner S. 36 SD Petani - 1,5 4 2 300.000 600.000 - -

31 Hotber S. 48 SD Petani Pedagang 2 5 3 400.000 550.000 50.000 200.000

32 Marunen S. 50 SD Petani - 2 6 3 850.000 - - -

33 Op. Elimber S. 54 SD Petani - 2 5 2 300.000 550.000 50.000 -

34 Malan S. 45 SLTP Petani - 2 4 3 450.000 600.000 50.000 -

35 Elisber S. 55 SLTA Petani - 3 6 4 500.000 700.000 100.000 -

36 Gunsar S. 53 SD Petani - 2 6 3 1.000.000 - - -

37 Maningga S. 54 SD Petani - 3 5 3 1.000.000 - - -

38 Turman P. 45 SLTA Petani - 3 5 3 400.000 600.000 100.000 -

39 Tuntun S. 54 SLTA Petani Pedagang 3 6 4 450.000 650.000 100.000 200.000

Keterangan: Agroforestry


(62)

Lampiran 3. Tabulasi frekuensi

Frequencies

Statistics

Frequency Table

Luas Lahan

Umur

Luas Lahan Umur Jumlah Tenaga

Kerja

Status Kepemilikan

Lahan

Bentuk/Tipe Agroforestry

Pendidikan Mata

Pencaharian

Jumlah Anggota Keluarga

Pendapatan

Valid 39 39 39 39 39 39 39 39 39

Missing 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

1 - 2 Ha 26 66.67 66.67 66.67

lebih besar atau sama dengan 3 Ha 13 33.33 33.33 100.00

Total 39 100.00 100.00

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

20 -30 Tahun 1 2.56 2.56 2.56

31 - 40 Tahun 4 10.26 10.26 12.82

41 - 50 Tahun 19 48.72 48.72 61.54

51 - 60 Tahun 14 35.90 35.90 97.44

Lebih besar atau sama dengan 61 Tahun 1 2.56 2.56 100.00


(63)

Jumlah Tenaga Kerja

Status Kepemilikan Lahan

Pola Agroforestry

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

1 - 2 Orang 12 30.77 30.77 30.77

3 - 4 Orang 24 61.53 61.53 92.30

> 4 Orang 3 7.70 7.70 100.00

Total 39 100.00 100.00

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Milik Sendiri 39 100.00 100.00 100.00

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Non-Agroforestry 10 25.64 25.64 25.56

Agrisilvikultur 29 74.36 74.36 100.00


(64)

Pendidikan

Mata Pencaharian

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Tidak Sekolah 1 2.56 2.56 2.56

SD/SR 20 51.28 51.28 53.84

SLTP/SMP 10 25.64 25.64 79.58

SLTA/SMU/SMK 8 20.52 20.52 100.00

PT 0 0 0 100.00

Total 39 100.00 100.00

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Petani 39 100.00 100.00 100.00

Pedagang 0 0.00 0.00 100.00

Karyawan 0 0.00 0.00 100.00

Wiraswasta 0 0.00 0.00 100.00

PNS/Pensiunan 0 0.00 0.00 100.00


(65)

Jumlah Anggota Keluarga

Pendapatan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

< Rp 500.000 0 0 0 0

Rp 500.000 - Rp 700.000 3 7.69 7.69 7.69

Rp 700.000 - Rp 900.000 10 25.64 25.64 33.33

Rp 900.000 - Rp 1.100.000 18 46.15 46.15 79.48

> Rp 1.100.000 8 20.52 20.52 100.00

Total 39 100.00 100.00

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

1 - 3 Orang 5 12.82 12.82 12.82

4 - 6 orang 27 69.23 69.23 82.05

7 - 9 Orang 5 12.82 12.82 94.87

> 9 Orang 2 5.13 5.13 100.00


(66)

Lampiran 4. Analisis biaya dan manfaat sistem agroforestry di Desa Pangurdotan

No Uraian Jumlah Harga

Satuan ( X Rp 1.000)

Tahun ke (X Rp 1.000)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

BENEFIT

1 Kemenyan - - - 1500 1600 1750 2000 2200 2500 2700 2700 2700

2 Coklat - - - 600 650 700 750 800 800 800 800 800 800 800 800 800

3 Padi - - - 1500 1500 1500 1500 1500 1500 1500 1500 1500 1500 3000 3000 3000 3000 3000

TOTAL - 1500 1500 2100 2150 2200 2250 3800 3900 4050 4300 6000 6300 6500 6500 6500

BIAYA/COSTS

1 Peralatan 1. Parang 2. Cangkul 3. Sabit 4. Bakul 5. Tali Porang 6. Koret(guris) 7. Pisau Takik (Panuktuk) 8. Pisau Panen

(Raut) 3 Buah 5 Buah 4 Buah 2 Buah 2 Buah 2 Buah 2 Buah 2 Buah 40 30 40 50 40 25 30 15

120 - - - -

150 - - - -

160 - - - -

- - - 100 - - - -

- - - 80 - - - -

- - - 50 - - - -

- 60 - - - -

- - - - 30 - - - -

2 Pupuk 1. Urea 2. KCl 3. Urea 4. NPK 20 Kg 20 Kg 20 Kg 30 Kg 3 3,5 3 3

60 60 60 60 - - - -

70 70 70 70 - - - -

60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 120 120 120 120 120

90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 180 180 180 180 180

3 Pembukaan lahan 10 HOK

30 300 - - - -

4 Pestisida 5 Liter 75 375 375 375 - - - -

5 Pengolahan Tanah 6 HOK

30 180 180 180 180 180 180 180 180 180 180 180 360 360 360 360 360

6 Penanaman 6

HOK

30 180 180 180 180 180 180 180 180 180 180 180 360 360 360 360 360

7 Panen 6

HOK

30 - 180 180 180 180 180 180 180 180 180 180 360 360 360 360 360

TOTAL 1745 1195 1195 820 690 1010 690 690 690 690 690 1320 1320 1320 1320 1320


(1)

Lahan dengan pola agroforestry antara kemeyan dan padi


(2)

(3)

Hasil getah kemenyan yang baru di panen


(4)

(5)

(6)