42
BAB IV ANALISIS FATWA MUI DKI JAKARTA TENTANG PERKAWINAN
WANITA HAMIL DARI ZINA
A. Deskripsi Masalah
Sebagai bagian dari hukum Islam, perkawinan memiliki peran yang cukup signifikan terhadap banyaknya persoalan dalam kehidupan sehari-hari umat muslim,
akan tetapi tidak jarang pula terdapat penyelewengan terhadap praktik hukum tersebut. Seperti dalam masalah status pernikahan wanita hamil akibat zina dan status
nasab anaknya. Persoalan ini memang telah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad Saw, namun hingga saat ini tetap saja masih jadi perbincangan orang banyak.
Banyak aspek yang perlu dikaji untuk melihat dan memahami secara detail, termasuk diantaranya adalah mengkaji pendapat Fatwa MUI DKI Jakarta dan
Pendapat para ulama lain dalam menyikapi adanya praktik tersebut. Dan wali nikah bagi anak perempuan dari hasil nikah hamil adalah termasuk
juga problema tersendiri dari diperbolehkannya nikah hamil. Ketika wanita hamil karena zina ini akhirnya menikah dengan laki-laki yang menghamilinya atau bukan,
maka masalah berikutnya adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika anak yang terlahir dari perkawinan tersebut adalah seorang gadis. Hal inilah yang
kemudian menjadi masalah antara aturan fiqh dan undang-undang. Masalah ini berawal dari penentuan status anak yang terlahir dari pernikahan tersebut, apakah
anak ini dinasabkan kepada bapak ibunya atau hanya kepada ibunya saja. Jika ia
43
dinasabkan kepada bapaknya maka sang bapak bisa menjadi wali nikah, namun jika tidak maka yang berhak menjadi wali nikah adalah wali hakim.
B. Dasar Pertimbangan Fatwa
Fatwa MUI DKI tanggal 26 Dzulqa’dah 1420 tentang perkawinan wanita
hamil di luar nikah menyebutkan bahwa wanita yang pernah melakukan zina, baik dalam keadaan hamil dari zina maupun tidak, boleh dan sah dinikah oleh pria yang
menzinahinya dan laki-laki lain yang tidak menzinainya.
1
Adapun fatwa tersebut dapat dijelaskan dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Firman Allah Swt:
.
Artinya: “Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau
perempuan musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Yang demikian diharamkan
atas orang-orang Mukmin. ”QS. al-Nur24: 3
Ayat diatas menjelaskan, tentang boleh dan sah nya menikahi wanita yang sedang hamil atau tidak karena zina, dengan sesama pria yang menzinainya.
Dalam surat al-Nisa4 ayat 24 dijelaskan:
1
Kumpulan Fatwa MUI Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta 1975-2012 Jakarta: Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta, 2012, h. 245
44
.
Artinya: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu mencari isteri-
isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. ” QS. al-
Nisa4: 24 Dalil diatas menjadi dasar dibolehkannya menikahi wanita yang sedang
hamil karena zina dengan orang lain, yang bukan sesama pelaku pezina.
2. Hadis Nabi Saw:
Artinya: “Dari Abi Hurairah ia berkata, Rasulullah Saw telah bersabda: Seorang
laki-laki pelaku zina yang dihukum jilid tidak akan menikah kecuali dengan yang serupa wanita pelaku zina.
”
2
HR. Abu Dawud Hadits diatas menjelaskan bahwa, pelaku pezina hanya akan menikah
dengan sesama pezina saja.
.
Artinya: “Dari Ibn Umar, Rasulullah Saw telah bersabda: Perbuatan yang haram
zina itu tidak menyebabkan haramnya perbuatan yang halal. ”
3
HR. Imam Ibn Majah
Hadits ini menerangkan bahwa, boleh dan sah wanita yang sedang hamil karena zina dinikahi dengan laki-laki lain yang tidak menzinainya, serta sesudah
2
Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, tth., juz ke-2, h. 221
3
Al-Hafiz Abi abdillah, Sunan Ibn Majah, Makah: Dar at-Turas al- ‘Arabi, tth., juz ke-
1, h. 639
45
akad mereka boleh melakukan hubungan suami istri, dengan alasan perbuatan yang sudah halal tidak bisa mempengaruhi perbuatan haram yang sebelumnya.
3. Qaidah Fiqh:
Artinya: “Asal hukum segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang
me ngharamkannya.”
4
Maksud dari qaidah diatas ialah, asalnya hukum menikah adalah boleh tetapi apabila ada dalil yang menunjukan keharaman tersebut, maka hukum nikah
berubah menjadi haram.
Lembaga Komisi Fatwa MUI DKI menetapkan pada tanggal 26 Dzulqa’dah
1420 tentang perkawinan wanita hamil di luar nikah menyebutkan, bahwa wanita yang pernah melakukan zina,baik dalam keadaan hamil dari zina maupun tidak, boleh
dan sah dinikahi oleh pria yang menzinahinya dan laki-laki lain yang tidak menzinahinya, dengan argumen atau alasan:
a. Dalam ilmu biologi, sperma yang masuk pada rahim wanita yang sedang hamil
tidak akan mempengaruhi janin yang sudah jadi. Dengan demikian, tidak perlu dikhawatirkan akan terjadinya percampuran sperma laki-laki yang menzinai
dengan sperma laki-laki yang akan menikahinya secara sah.
4
Huzaemah T. Yanggo, Fiqh Perempuan Kontemporer, Jakarta: al-Mawardi Prima, 2001, h. 45
46
b. Jika wanita yang sedang hamil dari zina tidak boleh dinikahi, baik bagi si-pelaku
maupun orang lain maka akan menimbulkan rasa malu dan membebani psikologis wanita tersebut, manakala lelaki yang menghamilinya tidak bertanggung jawab.
c. Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta lebih cenderung kepada pendapat Imam Syafi’i,
karena dianggap lebih sesuai dengan kemaslahatan pada masa kini, dilihat dari semakin meningkatnya hubungan pergaulan bebas yang mengakibatkan banyak
terjadi kehamilan diluar nikah.
C. Pendapat Para Ulama tentang Perkawinan Wanita Hamil dan Implikasinya