Status Anak Yang Dilahirkan Dari Perkawinan Wanita Hamil Karena Zina Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(1)

TESIS

Oleh

FARIDA HANUM

127011060/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

FARIDA HANUM

127011060/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nama Mahasiswa : FARIDA HANUM

Nomor Pokok : 127011060

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum


(5)

Nama : FARIDA HANUM

Nim : 127011060

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : STATUS ANAK YANG DILAHIRKAN DARI

PERKAWINAN WANITA HAMIL KARENA ZINA

MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :FARIDA HANUM Nim :127011060


(6)

perkawinan wanita hamil karena zina, bagaimana status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina dan bagaimana perlindungan hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina, keseluruhan pokok masalah dilihat dari sudut pandang Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Untuk meneliti hal-hal tersebut diatas digunakan metode yurisdis normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan melalui studi kepustakaan dan wawancara guna memperoleh data sekunder.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan perkawinan wanita hamil karena zina menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 secara eksplisit tidak ada diatur tetapi secara inplisit diatur pada Pasal 2 ayat (1) yaitu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam Kompilasi Hukum Islam pengaturan perkawinan wanita hamil karena zina pada Pasal 53 yaitu: (1) seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya, (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya, (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Status Hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 adalah anak sah. Menurut Kompilasi Hukun Islam anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina adalah anak sah apa bila perkawinan itu dilakukan oleh laki-laki yang menghamilinya, dalam Pasal 99 ayat(1) Kompilasi Hukum Islam dan dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, dan menjadi anak tidak sah atau luar perkawinan apabila perkawinan itu dilakukan dengan laki-laki yang bukan menghamilinya,Pengaturan anak luar perkawinan terdapat dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam Dan Pasal 43 Undang-Undanp Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 43.Perlindungan Hukum anak dari perkawinan wanita hamil karena zina menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam adalah Pengakuan anak, pengakuan anak ini dapat dilakukan oleh ayahnya setelah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, setelah itu maka sahlah pengakuan anak tersebut secara hukum.

Kata kunci : Perkawinan, Wanita Hamil Zina, Status anak, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam


(7)

on a woman who is pregnant in pre-marriage, the legal status of the child who is born as the result of adultery, and the legal protection for the child. The problems were viewed from Marriage Law No. 1/1974 on Marriage from the Compilation of the Islamic Law.

The research used judicial normative and qualitative approach. The data were gathered by conducting library research and interviews in order to get secondary data.

The result of the research shows that the regulation on pregnant woman who gets married because of adultery, according to Law No. 1/1974, is not explicitly regulated, but it is implicitly regulated in Article 2, paragraph 1 which stated that a marriage is legitimate when it was done according to each the couple’s religion and belief. In Article 53 of the Compilation of the Islamic Law, it is stated that 1) a woman who is pregnant without marriage can be married off with the man who has impregnated her, 2) the marriage can be carried out without waiting for the birth of the baby, and 3) the marriage will not be done over again after the baby is born. The baby is considered legitimate, according to Law No. 1/1974. According to the Compilation of the Islamic Law, the child who is born from adultery is legitimate when the prospect husband is the child’s biological father. In Article 99, paragraph 1 of the Compilation of the Islamic Law and Article 42 of Law No. 1/1974, it is stated that a legitimate child is a child who is born from legitimate marriage, but he will be illegitimate when the husband of his mother is the man who has not impregnated his mother. The regulation on an illegitimate child is stipulated in Article 100 of the Compilation of the Islamic Law and Article 43 of Marriage Law No. 1/1974. The legal protection for a child who is born from adultery, according to Marriage Law No. 1/1974 and the Compilation of the Islamic law, is that the Recognition of the Child which can be done by his father after all requirements have been fulfilled, and the child is legally legitimate.

Keywords: Marriage, Woman is Pregnant of Adultery, Status of a Child, Law No. 1/1974 on Marriage, Compilation of the Islamic Law


(8)

“STATUS ANAK DARI PERKAWINAN WANITA HAMIL KARENA ZINA MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN “ sebagai suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini dapat selesai, penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak sekali kekurangan, akan tetapi penulis telah berusaha untuk mencoba menyajikan dalam bentuk penyajian yang singkat dan diformat sesederhana mungkin dikarenakan keterbatasan yang ada.

Pada kesempatan ini tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan tesis ini dengan memberikan berbagai referensi buku dan sumber pustaka lainnya yang dapat penulis jadikan sebagai acuan dalam penyusunan tesis ini. Untuk itu ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas`Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi S2 Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas sumatera Utara.

4. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang penuh perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam memberikan bimbingan, arahan, petunjuk hingga selesainya penulisan tesis ini.


(9)

6. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA, selaku Pembimbing ketiga yang telah meluangkan waktu dan memberikan motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan perhatian hingga selesainya penulisan tesiss ini.

7. Para Bapak/Ibu Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas`Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti pendidikan.

8. Seluruh Staf Biro Pendidikan Magister Kenotariatan yang telah banyak memberikan bamtuan kepada penulis selama ini.

9. Sahabat-sahabat di Magister kenotariatan dan seluruh kawan-kawan stambuk 2012.

10. Keluarga Penulis tercinta, Ibunda, Abang, Kakak, Adik, Tante dan Pak Etek.Hanya Allah yang dapat membalas segala kebaikan dan jasa-jasa ynag diberikan mereka semua. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak atas segala kekurangan yang penulis sadari sepenuhnya terdapat dalam tesis ini guna perbaikan dikemudian hari.

Medan, Desember 2014 Penulis


(10)

Nama : Farida Hanum

Tempat Tanggal Lahir : Medan, 6 Februari 1973

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jln. Garu III Nomor 21 Medan

II. DATA KELUARGA

1. Nama Ayah : Usman Rabbani 2. Nama Ibu : Asniar

3. Nama Saudara : Ir. Eddy Usman, Elly Usman, S.Kep Netty Usman Linda Usman, S.E

Letkol. Putra Bungsu Usman, S.IP Azlina Usman, S.E

III. PENDIDIKAN

1. SD Inpres No. 064955 Medan Lulus Tahun 1985 2. SMP Negeri 13 Medan Lulus Tahun 1988 3. SMA Muhammadiyah 1 Medan Lulus Tahun 1991 4. S1 Fakultas Hukum UMSU Lulus Tahun 1996


(11)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR ISTILAH ... viii

DAFTAR SINGKATAN... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Manfaat Penelitian... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12

1. Kerangka Teori... 12

2. Kerangka Konsepsi... 17

G. Metode Penelitian... 18

1. Jenis dan Sifat Penelitian... 18

2. Sumber Data Penelitian ... 20

3. Teknik Pengumpulan Data ... 21

4. Analisis Data ... 22

BAB II PENGATURAN PERKAWINAN WANITA HAMIL KARENA ZINA ... 24

A. Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 24

1. Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam... 24

2. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan... 33


(12)

2. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 49

BAB III STATUS HUKUM ANAK YANG DILAHIRKAN DARI PERKAWINAN WANITA HAMIL KARENA ZINA... 52

A. Pengertian Anak... 52

1. Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 52

2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 54

B. Status Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Wanita Hamil Karena Zina ... 58

1. Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 58

2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 63

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG DILAHIRKAN DARI PERKAWINAN WANITA HAMIL KARENA ZINA... 67

A. Perlindungan Hukum Anak... 67

1. Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 67

2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 78

B. Perlindungan Hukum Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Wanita Hamil Karena Zina ... 88

1. Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 88

2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan... 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 103

A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 105


(13)

Etimologi : Pengertian secara bahasa

Eksplisit : Gamlang, tegas, terus terang, tidak berbelit-belit

sehingga Orang dapat menangkap maksudnya dengan mudah, tersurat

Inplisit : Termasuk, terkandung, didalamnya meskipun tidak

dinyatakan secara jelas atau terang-terangan, tersimpul didalamnya, terkandung halus, tersirat

Al zawju : Pernikahan

Istibra’ : Pengosongan rahim

Asynfu walna’u : Jenis atau ragam

Al wath’u : Hubungan badan

Aldammu walnaw’u : Penggabungan dan saling mengisi

Figh Munakahat : Peraturan yang bersifat amaliyah furu’iyah

berdasarkan wahyu illahi yang mengatur hal yang berkenaan dengan perkawinan yang berlaku untuk seluruh umat yang beragama Islam Maqashid Al-Syari’ah: Tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan Hukum

Ulama : Orang yang ahli dalam ilmu agama Islam

Fasakh : Jatuhnya talak oleh keputusan hakim atas dasar

pengaduan istri, setelah hakim mempertimbangkan kelayakannya, sementara suami tidak mau menjatuhkan talaq


(14)

SAW : Shalallahu”alaihi wa sallam

UU : Undang-undang

KHI : Kompilasi Hukum Islam

HR : Hadist Riwayat

UUPA : Undang-undang Perlindungan Anak


(15)

perkawinan wanita hamil karena zina, bagaimana status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina dan bagaimana perlindungan hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina, keseluruhan pokok masalah dilihat dari sudut pandang Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Untuk meneliti hal-hal tersebut diatas digunakan metode yurisdis normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan melalui studi kepustakaan dan wawancara guna memperoleh data sekunder.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan perkawinan wanita hamil karena zina menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 secara eksplisit tidak ada diatur tetapi secara inplisit diatur pada Pasal 2 ayat (1) yaitu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam Kompilasi Hukum Islam pengaturan perkawinan wanita hamil karena zina pada Pasal 53 yaitu: (1) seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya, (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya, (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Status Hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 adalah anak sah. Menurut Kompilasi Hukun Islam anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina adalah anak sah apa bila perkawinan itu dilakukan oleh laki-laki yang menghamilinya, dalam Pasal 99 ayat(1) Kompilasi Hukum Islam dan dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, dan menjadi anak tidak sah atau luar perkawinan apabila perkawinan itu dilakukan dengan laki-laki yang bukan menghamilinya,Pengaturan anak luar perkawinan terdapat dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam Dan Pasal 43 Undang-Undanp Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 43.Perlindungan Hukum anak dari perkawinan wanita hamil karena zina menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam adalah Pengakuan anak, pengakuan anak ini dapat dilakukan oleh ayahnya setelah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, setelah itu maka sahlah pengakuan anak tersebut secara hukum.

Kata kunci : Perkawinan, Wanita Hamil Zina, Status anak, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam


(16)

on a woman who is pregnant in pre-marriage, the legal status of the child who is born as the result of adultery, and the legal protection for the child. The problems were viewed from Marriage Law No. 1/1974 on Marriage from the Compilation of the Islamic Law.

The research used judicial normative and qualitative approach. The data were gathered by conducting library research and interviews in order to get secondary data.

The result of the research shows that the regulation on pregnant woman who gets married because of adultery, according to Law No. 1/1974, is not explicitly regulated, but it is implicitly regulated in Article 2, paragraph 1 which stated that a marriage is legitimate when it was done according to each the couple’s religion and belief. In Article 53 of the Compilation of the Islamic Law, it is stated that 1) a woman who is pregnant without marriage can be married off with the man who has impregnated her, 2) the marriage can be carried out without waiting for the birth of the baby, and 3) the marriage will not be done over again after the baby is born. The baby is considered legitimate, according to Law No. 1/1974. According to the Compilation of the Islamic Law, the child who is born from adultery is legitimate when the prospect husband is the child’s biological father. In Article 99, paragraph 1 of the Compilation of the Islamic Law and Article 42 of Law No. 1/1974, it is stated that a legitimate child is a child who is born from legitimate marriage, but he will be illegitimate when the husband of his mother is the man who has not impregnated his mother. The regulation on an illegitimate child is stipulated in Article 100 of the Compilation of the Islamic Law and Article 43 of Marriage Law No. 1/1974. The legal protection for a child who is born from adultery, according to Marriage Law No. 1/1974 and the Compilation of the Islamic law, is that the Recognition of the Child which can be done by his father after all requirements have been fulfilled, and the child is legally legitimate.

Keywords: Marriage, Woman is Pregnant of Adultery, Status of a Child, Law No. 1/1974 on Marriage, Compilation of the Islamic Law


(17)

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami istri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut” keluarga”, keluarga merupakan unit terkecil dari suatu bangsa, keluarga yang dicita-citakan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah keluarga sejahtera dan bahagia yng selalu mendapat ridha dari Allah SWT.1

Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat dalam pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah , Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.2

Di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefenisikan sebagai : “ Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan

1Abdul Manan,Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia(Jakarta : kencana,

2006), hal . 1.

2 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan,Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI(Jakarta: Kencana, 2004) hal. 43.


(18)

membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3

Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena Negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai disini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/ jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani.4

Faedah yang terbesar dalam perkawinan ialah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan. Sebab seorang perempuan, apabila dia sudah menikah, maka nafkahnya ( belanjanya ) menjadi wajib atas tanggungan suaminya. Perkawinan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak-cucu (turunan), sebab kalau tidak dengan Perkawinan, tentulah anak tidak berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung jawab atasnya. Perkawinan juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab kalau tidak ada perkawinan, tentu manusia akan menurutkan sifat kebinatangannya, dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana dan perrmusuhan antara sesamanya, yang mungkin juga sampai menimbulkan pembunuhan yang maha dahsyat. .Demikianlah maksud perkawinan yang sejati dalam Islam, singkatnya untuk kemaslahatan dalam rumah tangga dan turunan, juga untuk kemaslahatan masyarakat.5

3 Ibid.42 4 Ibid.43


(19)

Perkawinan adalah jalan yang dipilih Allah untuk melestarikan keturunan. Dikeluarkannya Adam dan Hawa dari surga untuk kemudian ditempatkan di bumi dapat dikatakan sebagai cikal bakal penciptaan manusia oleh Allah SWT. Manusia menurut ajaran Agama Islam Adalah sebagai pemimpin atau wakil Tuhan dimuka bumi. Dalam istilah agama fungsi manusia yang demikian disebut” Khalifah”. Misi manusia sebagai khalifah pada pokoknya adalah memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dalam hubungannya dengan alam semesta. Manusia adalah makhluk yang dimuliakan Allah SWT, sebagaimana dinyatakan- Nya dalam surat Al isra ayat 70 yang artinya, “ Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka didaratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan “. Sayyid Sabiq menulis dalam bukunya Fikih Sunnah: Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan melestarikan hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positip dalam mengujudkan tujuan perkawinan.6

Tuhan tidak mau menjadikan manusia itu seperti mahkluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah membuat hukum sesuai dengan martabatnya.7

Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhomat dan berdasarkan saling meridhai, dengan upacara ijab dan qabul sebagai lambang dari

6 Mohammad Thalib, (Trans) Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah, (Bandung: PT.Alma’arif, 1980).

Jilid 6, cet 15, hal.7.


(20)

adanya rasa ridha-meridhai, dan dengan dihadiri oleh para saksi yang menyaksikan kalau pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat. Perkawinan menurut syari’at islam setdak-tidaknya akan:

1. Membuat hubungan antara laki-laki dan perempuan menjadi terhormat dan saling meridhai.

2. Memberikan jalan yang paling sentosa pada sex sebagai naluri manusia memelihara keturunan dengan baik dan menghindarkan kaum wanita dari penindasan kaum laki-laki.

3. Membuat pergaulan suami-isteri berada dalam naluri keibuan dan kebapakan, sehingga akan melahirkan anak keturunan yang baik sebagai generasi penerus misi kekhalipahan.

4. Menimbulkan suasana yang tertib dan aman dalam kehidupan sosial.8

Kawin (menikah) adalah wajib pada seseorang yang memiliki kemampuan untuk melakukannya dan memang membutuhkannya, dan dia takut akan melakukan perzinaan apabila tidak menikah. Namun, jika ia ingin sekali menikah tetapi tidak memiliki harta benda ( kebutuhan material ), hendaknya dia melakukan seperti yang difirmankan Allah SWT dalam QS.an-Nur(24) : 33 yang artinya “ Dan orang-orang yang tidak maampu kawin hendaklah menjaga kesuciannya( diri ) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunianya”. Dan sabda Nabi saw: “ Hai para pemuda,barang siapa diantara kamu mampu untuk kawin ( baik materi maupun fisik )

8H. M Zuffran Sabrie, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah, (Jakarta: Departemen


(21)

hendaklah ia kawin. Sesunggunya hal itu lebih memalingkan pandangan dan lebih menjaga farji. Barang siapa tidak mampu untuk melakukannya hendaklah ia berpuasa, karena hal itu adalah penangkal.” (Muttafaq alaih)9

Sedangkan seseorang yang menginginkan kawin dan memiliki kemampuan untuk kawin, tetapi ia tidak takut melakukan perzinaan, maka perkawinan dianjurkan kepadanya, dan hal itu lebih baik baginya daripada konsentrasi sendirian dalam ibadah, karena tidak kawin ( seperti biara ) bukanlah bagian dari ajaran islam.10

Bagi seorang wanita tentu dia tidak akan hamil, karena belum pernah menikah, yang menjadi persoalan adalah ternyata dia hamil, maka dapat dipastikan kehamilannya itu adalah hasil dari hubungan seksual diluar perkawinan. Akibatnya dengan berbagai pertimbangan dicoba untuk menutup-nutupinya. Ada yang lari kedokter atau kedukun bayi untuk menggugurkan kandungan dan ada juga yang segera melangsungkan pernikahan dengan pasangan yang menghamilinya atau orang lain sebagai tumbal agar kehamilan diketahui masyarakt sebagai kehamilan yang sah.11

Solusi pengguguran kandungan jelas melanggar syariat, jadi haram hukumnya karena sama dengan melakukan pembunuhan manusia. Sedang cara yang kedua, yaitu segera melangsungkan pernikahan, cara yang selama ini ditempuh orang, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang dibolehkannya.12

9

Muhammad Bin Jamil Zainu,Pilar-Pilar Islam dan Iman, ( Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2001 ), hal 369-370.

10 Ibid. hal. 371.

11

Huzaemah Tahido Yanggo,Fikih Perempuan Kontemporer, (Bogor : Ghalia Indonesia ), hal.58


(22)

Para Ulama berbeda pendapat tentang perkawinan yang terjadi terhadap wanita yang sedang hamil akibat zina. Dan juga status anak dalam perkawinan tersebut.13

Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina, baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan dosa besar. Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu, ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan dan memberikan ketenangan dan rasa aman.14

Dalam Kompilasi Hukum Islam, telah mengatur persoalan perkawinan wanita hamil yang terdapat dalam pasal 53 yaitu :

1. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.

2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Dasar pertimbangan Kompilasi Hukum Islam terhadap perkawinan wanita Hamil adalah Qur’an Surat: An-Nur ayat 3 yang artinya.15 “ Laki-laki yang berzina

13Ibid. hal.59.

14Ppti.malalo, Perkawinan Wanita Hamil, http:/ppti.malalo.blogspot.com/2013/10/25,

Perkawinan Wanita Hamil. Diakses tanggal 1 maret 2014.


(23)

tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan terhadap wanita hamil, berdasarkan pasal 2 ayat (1) bahwa: “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu”.

Hasil dari suatu perkawinan akan lahir anak yang merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga menurut hukum Islam. Sebagai amanah Allah, maka orang tuanya mempunyai tanggung jawab untuk mengasuh, mendidik dan memenuhi keperluannya sampai dewasa. Namun tidak semua anak lahir dari perkawinan yang sah, bahkan ada kelompok anak yang lahir sebagai akibat dari perbuatan zina. Anak-anak yang tidak beruntung ini oleh hukum dikenal dengan sebutan anak luar nikah. Sebagai anak tidak sah atau luar nikah, yaitu yang berkaitan dengan hah-hak keperdataan mereka tentu saja amat tidak menguntungkan, padahal kehadiran mereka didudunia ini adalah atas kesalahan dan dosa orang yang membangkitkan mereka. Anak-anak luar nikah, baik yang lahir dari perkawinan yang tidak sah maupun dari hasil perbuatan zina diasumsikan relatif banyak terdapat di Indonesian dan sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang beragama Islam.

Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukunm Islam, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yag sah,


(24)

meskipun anak tersebut lahir dari perkawinan wanita hamil yang usia kandungannya kurang dari enam bulan lamanya sejak ia menikah resmi.

Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 42: “ Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah”. Dan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 99: anak yang sah adalah :

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;

b. Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Sedangkan menurut hukum Islam anak baru dianggap sah dan mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya bila perkawinan wanita hamil yang usia kandungannya minimal enam bulan dari perkawinan yang resminya. Diluar ketentuan itu itu adalah anak dianggap sebagai anak tidak sah.

Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang keabsahan dari perkawinan yang dilakukan saat wanita hamil karena zina dan bagaimana status anak yang akan dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina tersebut.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dilakukan penelitian dengan judul “ Status Anak Yang Dilahirkan dari Perkawinan Wanita Hamil Karena Zina Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang jadi rumusan pokok permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut :


(25)

1. Bagaimanakah pengaturan perkawinan wanita hamil karena zina menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ?

2. Bagaimanakah status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ?

3. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan Perkawinan wanita hamil karena zina menurut Kompilasi Hukum Islam danUndang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

2. Untuk mengetahui status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina menurut Kompilasi Hukum Islam danUndang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang_Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

D. Manfaat Penelitian

Disamping tujuan penelitian diatas diharapkan juga penelitian ini memberikan manfaat sebagai berikut :


(26)

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur mengenai perkawinan, khususnya mengenai pengaturan perkawinan wanita hamil karena zina dan sebagai sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum agar ada suatu aturan hukum yang jelas mengenai perkawinan wanita hami karena zina dan status hukum anak yang dilahirkan menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

2. Secara Praktis, Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan masukan bagi para praktisi maupun pihak terkait mengenai status hukum perkawinan wanita hamil.karena zina dan status hukum anak yang dilahirkan.

E. Keaslian Penelitian

Menurut data yang ada dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun sedang dilakukan, khususnya pada Sekolah Pasca sarjana Universitas Sumatera Utara, pembahasan mengenai “ Status Anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil karena zina menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan “ belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya.

Namun dalam penelusuran pustaka tersebut ditemukan beberapa karya mahasiswa yang menyangkut tentang perkawinan, akan tetapi permasalahan dan bidang kajiannya sangat berbeda, yaitu:


(27)

1. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Poligami Tanpa Izin dan Kaitannya dengan Status Anak Menurut Undang-Undang Nomor 1Ttahun 1974 (Studi di Pengadilan Agama Klas 1A Medan ), dengan permasalahan yang dibahas: a. Apakah faktor penyebab terjadinya tuntutan pendaftaran perkawinan

poligami tanpa izin ?

b. Bagaimanakah pertimbangan Hakim terhadap tuntutan perkawinan poligami tanpa izin ?

c. Bagaimana kedudukan anak dan tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan poligami yang dibatalkan ?

2. Kedudukan Perjanjian Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam ( Studi Pada Kota Medan), dengan permasalahan yang dibahas: a. Bagaimanakah kedudukan perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang

Nimor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ?

b. Bagaimanakah kedudukann Perjanjian Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam ?

c. Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan perjanjian perkawinan dan penyelesaiannya

Jika diperhadapkan, permasalahan yang diteliti sebelumnya sebagaimana disebutkan diatas dengan penelitian yang dilakukan ini sangat berbeda. Maka dari itu, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keaslian dan kebenarannya.


(28)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan, kata teori mempunyai banyak arti dan biasanya diartikan sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa

dihubungkan dengan kegiatan yang bersifat praktis.16Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, suatu teori harus diuji dngan menghadapkannya pada fakta – fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.17

Menurut M. Solly Lubis menyebutkan bahwa landasan teori adalah suatu

kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang

mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang merupakan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.18

Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengedepankan pengujian dan hasilnya mencakup ruang lingkup dan fakta yang luas.19

16Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, ( Yogyakarta : Cahaya Atma Pusaka, 2012 ), hal 4 17JJ. Wuisman, Penyunting M. Hisyam,Penelitian Ilmu Sosial, Jilid 1, (Jakarta : Universitas

Indonesia Press, 1996), hlm. 203.

18M. Solly Lubis ,Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 80. 19 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press,


(29)

Sedangkan menurut H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto. Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan suatu yang disebut dengan realitas. Dalam banyak literatur beberapa ahli mengunakan kata ini untuk menunjukan bangunan berpikir yang tersusun secara sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya ) , juga simbolis.20

Tugas teori hukum ialah memberikan suatu analisis tentang pengertian hukum dan tentang pengertian-pengertian lain yang dalam hubungan ini relevan, kemudian menjelaskan hubungan antara hukum dengan logika dan selanjutnya memberikan suatu filsafat ilmu dari ilmu hukum dan suatu ajaran metode untuk praktek hukum.21

Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis, dengam merumuskan masalah penelitian di dalam kerangka teoritis yang relevan sehingga mampu menerangkan masalah tersebut. Adapun kerangka teori yang digunakan adalah Teori Hukum Islam yaitu teori Maqashid Al-Syari’ah yang berarti tujuan-tujuan syari’at¸teori Kepastian Hukum yaitu bahwa dengan adanya hukum setiap orang mengetahui yang mana dan seberapa hak nya dan kewajibannya serta teori perlindungan hukum.

Maqashid al-Syariah terdiri dari dua suku kata, maqshid yang merupakan bentuk jamak dari kata maqashad yang berarti tujuan, dan kata al-syari’ah yang sering

20H.R Otje Salman S dan Anthon F. Susanto,Teori Hukum, mengingat, mengumpulkan dan

membuka kembali, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2010), hal. 21.

21B. Arief Sidarta, Meuwissen,Tentang pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum,


(30)

dipahami dalam arti hukum Islam, jadi istilah Maqashid al-syari’ah berarti tujuan syari’at.22

Ulama ushul fiqih mendefenisikan Maqashid al-Syari’ah dengan makna dan tujuan yang dikehendaki syarak dalam mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia. Sebagai contoh sarak mewajibkan berbagai macam ibadah dengan tujuan untuk menegakan agama Allah S.W.T. Disyari’atkan hukuman zina bagi untuk memelihara kehormatan dan keturunan.23

Dilihat dari segi objeknya, Muhammad Thahir Bin Ashur, ahli ushul fiqih kontemporer asal Tunisia,membagi maqashid al-Syari:ah menjadi tiga macam:24 1. Al-Maqashid al-Ammah (tujuan-tujuan umum).

2. Al-Maqashid al-khassah (Tujuan-tujuan khusus).

3. Almaqashid al-Juz’iyyah yaitu tujuan yang hendak dicapai syarak dalam menetapkan hukum syarak, dalam menetapkan hukum wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah terhadap sesuatu, atau menetapkan sesuatu menjadi sebab, syarat, dan penghalang. Contohnya nikah disyari’atkan untuk memelihara keturunan dan menjaga kehormatan.

Maqashid Al-Syari’ah sebagai prinsip pokok dalam hukum Islam ada 5 tujuan yaitu :25

1. Memelihara agama

22Zamakhsyari,Teori-Teori Hukum Islam dalam Fiqih Dan Ushul Fikih, (Bandung : Cipta

Pustaka Media Perintis, 2013), hal.1

23Ibid, hal.2. 24Ibid, hal 6-7 25Ibid, hal 13-25


(31)

2. Memelihara jiwa 3. Memelihara Akal 4. Memelihara Keturunan 5. Memelihara Harta

Dalam memelihara keturunan, ajaranIslam memerintahkan para pemuda dan pemudi yang sudah mampu untuk menikah. Bahkan Islam mendorong para wali untuk mempermudah proses nikah dengan tidak menetapkan mahar yang terlalu tinggi sehingga memberatkan para calon suami. Islam menjelaskan kriteria suami ideal dan isteri ideal, hak dan kewajiban suami dan istri, agar dapat terujud keluarga sakinah , mawaddah dan warahmah, sehgingga tujuan dari pernikahan yang kekal abadi dapat terlaksanakan, dan Islam melarang perzinaan dan segala bentuk perbuatan yang dapat menghantarkan pada perzinahan. Perbuatan zina yang dilarang Islam ini bukan hanya mencakup tindak kriminal pemerkosaan, tetapi juga termasuk hubungan seksual diluar nikah walaupun didasarkan atas dasar suka sama suka.26

Perkawinan sebagai bentuk sakral suami istri dalam hidup suatu rumah tangga yang menciptakan kehidupan yang sakinah, mawaddah warahma, Selain itu membina sebuah mahligai rumah tangga atau hidup berkeluarga merupakan perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah. Kehidupan dan peradaban manusia tidak akan berlanjut tanpa adanya kesinambungan perkawinan dari setiap generasi manusia. Karena itu Rasulullah saw menganjurkan kepada umatnya yang telah mampu untuk menikah. Perkawinan telah diatur secara jelas oleh ketentuan-ketentuan hukum Islam


(32)

yang digali dan sumber-sumbernya baik dari alquran, As sunnah dan hasil ijtihad para ulama. Bagi seorang wanita tentu tidak akan hamil tanpa didahului dengan perkawinan,namun ketika terjadi kecelakaan atau seorang wanita hamil yang terjadi diluar pekawinan yang sah, ini bisa dikatakan perzinaan yang didalam nash telah jelas keharamannya.

Teori Kepastian Hukum oleh Van Kant, yang mengatakan bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia agar kepentingan itu tidak diganggu. Bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat.27

Teori kepastian hukum menegaskan bahwa tugas hukum itu menjamin kepastian hukum dalam hubungan – hubungan pergaulan kemasyarakatan. Terjadi kepastian yang dicapai” oleh karena hukum”. Dalam Tugas itu tersimpul dua tugas lain yakni hukum harus menjamin keadilan maupun hukum harus tetap berguna. Akibatnya kadang-kadang yang adil terpaksa dikorbankan untuk yang berguna. Ada 2 (dua ) macam pengertian” kepastian hukum” yaitu kepastian oleh karena hukum dan kepastian dalam atau dari hukum. Kepastian dalam hukum tercapai kalau hukum itu sebanyak-banyaknya hukum undang-undang dan bahwa dalam undang-undang itu tidak ada ketentuan yang bertentangan, undang-undang itu dibuat berdasarkan “rechtswerkelijheid” (kenyataan hukum) dan dalam undang-undang tersebut tidak dapat istilah-istilah yang dapat di tafsirkan berlain-lainan.28

27C.S.T. Kansil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

2002), hal.44.

28M. Solly Lubis,Diktat Teori Hukum,disampaikan pada rangkaian Sari kuliah semester II,


(33)

Menurut Satijipto Raharjo perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.29

2. Kerangka Konsepsi

Kerangka konsepsi merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti. Salah satu cara untuk menjelaskan konsep-konsep-konsep-konsep tersebut adalah dengan membuat defenisi. Defenisi merupakan suatu pengertian yang relatif lengkap tentang suatu istilah dan defenisi bertitik tolak pada referensi.30

Dalam penelitian tesis ini, perlu kiranya didefenisikan beberapa pengertian tentang konsep-konsep guna menghindari kesalah pahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, selanjutnya akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah tersebut dalam suatu kerangka konsep

a . Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.31 b. Perkawinan wanita hamil karena zina adalah seorang wanita yang hamil karena

zina sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya.32

29Satijipto Raharjo,Ilmu Hukum( Bandung: PT. Citra Aditya Bakti , 2000) hal.53

30Amiruddin dan H.Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2006), hal.47-48

31H. Zainuddin Ali,op.cit,hal. 7 32 Ibid. hal.45


(34)

c. Wanita hamil yaitu wanita hamil dengan akibat oleh suami yang sah atau wanita hamil akibat zina.

d. Kompilasi Hukum Islam adalah kumpulan hukum-hukum yang terkodifikasi sebagai hukum yang dijadikan sumber hukum Islam di dalam tatanan masyarakat dan peradilan agama setelah Al-Qur’an dan Hadist.

e. Status adalah Keadaan atau kedudukan (orang atau badan hukum dan sebagainya yang berhubungan dengan masyrakat sekeliling.33

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum yuridis normatif atau penelitian hukum doctrinal yaitu penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan pustaka dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, meliputi penelitian terhadap azas-azas hukum, sumber –sumber hukum, teori hukum, buku-buku, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.34

Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doctrinal dikonsepkan

33Andi Hamza, Kamus Hukum,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986) hal 98

34Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (


(35)

Sebagai apa yang tertulis didalam peraturan perundang-undangan ( law in the books ) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.35

Penelitian hukum doctrinal dilakukan dengan cara melakukan pengumpulan peraturan perundang-undangan, Peraturan itu dikumpulkan dengan cara mengoleksi publikasi-publikasi dan dokumen-dokumen yang mengandung peraturan hukum positif. Setelah bahan-bahan tersebut terkumpul, kemudian di klasifikasi secara sistematis untuk melakukan inventarisasi data sebagai bahan perpustakaan saat melakukan penelitian serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangan di Indonesia.36

Penelitian ini bersifat deskripsi analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian.37

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang dilakukan dengan mencari dan menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Oleh karena itu untuk memecahkan suatu isu hukum harus menelusuri berbagai produk peraturan perundang-undangan.38

35Muslan Abdurrahman, Sosiologi Dan Metode Penelitian Hukum, ( Malang : UMM Pers,

2009 ), hal. 127.

36Bambang Sunggono,metodologi Penelitian Hukum, ( Jakarta : Rajawali Pers, 2011), hal.

81-82

37Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum,( Jakarta : Sinar Grafika, 2009 ), hal.105. 38Peter Mahmud Marzuki,op.cit, hal .93.


(36)

Dalam hal ini dilakukan studi pustaka yang segala sesuatunya berkaitan dengan pengaturan hukum mengena Status Anak Yang Dilahirkan Dari Perkawinan Wanita Hamil Karena zina Menurut Kompilasi Hukum Isalm Dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 ahun 1974 Tentang Perkawinan.

2. Sumber Data Penelitian

Berhubung karena metode penelitian ini adalah penelitian hukum normatif maka sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, yang terdiri darin bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan dan data yang dikumpulkan melalui dokumen dan wawancara.

a. Bahan Hukum Primer yaitu : bahan-bahan hukum atau dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang berupa bahan pustaka yang berisikan peraturan perundang-undangan, yang antara lain terdiri dari :

1. Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahaun 1974 tentang Perkawinan. 2. Kompilasi Hukum Islam.

3. Peraturan Perundangan lain yang berkaitan dengan penelitian ini. 4. Alqur’an dan hadist

b. Bahan Hukum sekunder yaitu : bahan-bahan hukum yang berkaitan erat dan memberikan penjelasan bahan hukum primer yang ada dan dapat membantu


(37)

untuk proses analisis seperti buku- buku yang ditulis para ahli hukum, doktrin/ pendapat/ ajaran dari para ahli hukum, hasil seminar, jurnal-jurnal hukum, karya ilmiah , artikel majalah, maupun Koran serta artikel-artikel sumber dari dunia maya / internet yang memiliki kaitan erat dengan dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian dan lain-lain.

c. Bahan Hukum Tersier yaitu : semua bahan yang memberikan petunjuk, penjelasan dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus umum, , ensiklopedia dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan studi pustaka, yaitu menghimpun data dari hasil penelaahan bahan pustaka dan data sekunder dan baham hukum tersier. Untuk memperoleh data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier, dalam penelitian ini akan menggunakan alat penelitian:

a. Studi dokumen/ pustaka atau penelitian pustaka (library research) dengan cara mengumpulkan semua peraturan perundangan, dokumen-dokumen hukum dan buku-buku yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian.39 b. Wawancara (interview)

39Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.


(38)

Untuk melengkapi data yang diperoleh disamping data sekunder, untuk menambah data dalam penelitian ini akan dipergunakan cara memperoleh data dari informan, yaitu pelaku perkawinan wanita hamil karena zina (3) orang.

4. Analisis Data

Dalam penelitian ini bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang sebelumnya telah disusun secara sistematis kemudian akan dianalisa dengan menggunakan prosedur logika ilmiah yang sifatnya kualitatif. Kualitatib berarti akan dilakukan penelitian analisa data yang bertitik tolak dari penelitian terhadap asas atau prinsip sebagaimana yang diatur di dalam bahan hukum primer dan kemudian akan dibahas lebih lanjut menggunakan sarana pada bahan hukum sekunder, yang tentunya akan diupayakan penggayaan sejauh mungkin

dengan didukung oleh bahan hukum tersier. Dalam hal peneliti ini menggunakan metode deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari yang umum ke yang khusus.40

Adapun tahapan untuk menganalisa bahan-bahan hukum yang telah ada tersebut, secara sederhana dapat diuraikan dalam beberapa tahapan :

1. Tahapan pengumpulan data, yakni mengumpulkan dan memeriksa bahan-bahan pustaka misalnya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang akan diteliti.

2. Tahapan pemilihan data, dalam tahapan ini seluruh data yang telah dikumpulkan sebelumnya akan dipilah-pilah secara sistematis dengan


(39)

mempedomani konteks yang sedang diteliti, sehingga akan lebih memudahkan dalam melakukan kajian lebih lanjut terhadap permasalahan didalam penelitian tesis ini.

3. Tahapan analisis data dan penulisan hasil penelitian, sebagai tahapan klimaks dimana seluruh data yang telah diperoleh dan dipindah tersebut akan dianalisa dengan seksama dengan melakukan interprestasi/ penapsiran yang diperlukan dengan berpedoman terhadap konsep, asas kaidah hukum yang dianggap relevan dan sesuai dengan tujuan utama dari pada penelitian ini. Hasil penelitian kemudian akan ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan dalam penelitian ini.


(40)

BAB II

PENGATURAN PERKAWINAN WANITA HAMIL KARENA ZINA

A. Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

1. Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.41

Disamping kata nikah digunakan juga kata Alzawaj secara etimologi Zawaj berasal dari bahasa Azzawa’ju artinya (genap), lawan kata dari alfarda (sendiri, ganjil), dipergunakan untuk beragam maksud. Diantaranya, Asynfu walnaw’u (jenis atau ragam ). Setiap dua jenis , dua bentuk,atau model yang saling brekaitan disebut Al Zawjani. Maka dikatakan bagi laki-laki dan wanita (yang menikah). Sebagai Al zawjani (sepasang). Masing-masing pihak menjadi pasangan bagi pihak lainnya. Sebagaimana firman Allah yang artinya:42 “Dan bahwasannya Dia-lah yang menciptakan (sesuatu) berpasang-pasangan, yaitu laki-laki dan perempuan. “(An-Najam:45).

Selain itu ada juga kata alnikahu (pernikahan) secara etimologi mengandung pengertian Aldhammu waltadakhulu (penggabungan dan saling mengisi) dikatakan dalam sebuah ungkapan, tanakahati al zara-u, maksudnya sebagai pohon menyatu dan

41Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam


(41)

menyelinap (masuk), karena memuat unsur penyatuan antara salah satu pasangan suami istri dengan pasangannya berdasarkan aturan agama Islam, baik melalui persetubuhan atau akad nikah, sehingga dua pihak tersebut menjelma bak dua sisi pintu, dan sepasang sepatu. Kata nikah ini, bisa dipergunakan untuk makna akad nikah, sehingga bermakna pernikahan atau juga diarahkan pada pengertian alwath’u (hubungan badan).43

Pengertian Al zawju (pernikahan) secara termonologi kata Al zawju seperti yang telah disampaikan, merupakan bentuk sinonim kata alnikahu (nikah).

Para ahli fikih mendefenisikannya dengan beragam defenisi. Hal ini karena, setiap mazhab memiliki defenisi khusus yang berbeda-beda. yaitu :

1. Ulama Hanafiyah mengatakan, perkawinan adalah perjanjian yang diselenggarakan untuk tujuan memperoleh kenikmatan dari wanita dengan disengaja. Maksudnya, untuk menghalalkan seorang lelaki memperoleh kesenangan (istimta’) dari seorang wanita. Defenisi ini menghindari keracuan dari akad jual beli (wanita), yang bermakna sebuah akad perjanjian yang dilakukan untuk memiliki budak wanita.44

2. Ulama Malikiyah mendefenisikan, “Pernikahan adalah akad perjanjian untuk menghalalkan meraih kenikmatan dengan wanita yang bukan mahram, wanita ahli kitab melalui subuah ikrar.

3. Ulama Syafi’iyah mendefenisikan, pernikahan merupakan akad perjanjian

43Ibid. hal.16. 44Ibid.hal.17


(42)

yang mengandung unsur memperbolehkan persetubuhan dengan menggunakan lafazh inkahu ( aku menikahimu wahai fulan dengan fulana) atau tazawwajtu ( aku mengawinkan engkau wahai fulan dengan fulanah).45 4. Ulama Hanabilah berkata, akad pekawinan maksudnya sebuah perjanjian

yang didalamnya, terdapat lafazh nikah atau tazwij atau terjemahan (dalam bahasa lain ) nya yang dijadikanh sebagai pedoman.46

Defenisi yang terbaik untuk perkawinan adalah sebagai berikut: perjanjian yang bersifat syar’i yang berdampak pada halalnya seseorang (lelaki atau perempuan), memperoleh kenikmatan dengan pasangan berupa bersetubuh badan dan cara-cara dalam bentuk yang disyaratkan, dengan ikrar tertentu secara disengaja, begitu akad nikah usai, maka menjadi halal bagi masing-masing pihak untuk mendapatkan kenikmatan dari pasangannya dalam bingkai yang diperbolehkan oleh syariat.47

Islam mengatur masalah perkawinan dengan sangat teperinci, untuk membawa umat manusia hidup terhormat, sesuai dengan kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah mahluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki-laki dengan perempuan ditentukan agar didasarkan pada rasa pengabdian kepada Allah sebagai al-Khaliq dan kebaktian kepada kemanusiaan guna melangsungkan kehidupan jenisnya.

Syarat Dan Rukun Nikah Menurut Hukum Islam:

45Ibid. 46Ibid. hal.18. 47Ibid


(43)

Bagi umat Islam diisyaratkan beberapa hal yang berkenaan dengan akad nikah untuk mencapai sahnya perkawinan yaitu harus memenuhi syarat dan rukun nikah. Menurut M. Idris Ramulyo, bahwa bagi golongan muslim diberlakukan hukum perkwainan Islam seperti yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum, yang memerlukan syarat dan rukun agar dapat dipandang sah menurut hukum. Yang dimaksud dengan syarat disini ialah syarat perkawinan,48yaitu yang berkaitan dengan rukun-rukun perkawinan itu sendiri, diantaranya syarat bagi calon mempelai pria yang bukan merupakan mahram dari mempelai wanita, atas kemauan sendiri, jelas orangnya dan tidak sedang menjalani ihram. Syarat bagi wanita diantaranya tidak berhalangan syar’i, jelas orangnya dan tidak sedang melaksanakan ihram. Syarat bagi wali diantaranya laki-laki, baligh, berakal sehat, adil dan tidak sedang melaksanakan ihram. Sedangkan saksi haruslah laki-laki, baligh, sehat akalnya, adil, dapat mendengar dan melihat, tidak mengerjakan ihram dan memahami bahasa yang digunakan dalam ijab – Kabul.

Adapun rukun-rukun nikah sebagai berikut : a. Lafadz Ijab dan Qabul,

b. Calon Suami, c. Calon Istri. d. Dua Saksi,

48H.S.A. Alhamdani,Risalah Nikah, terjemahaan Drs. Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani,


(44)

e. Wali.

Ijab Qabul merupakan lafadz yang diucapkan oleh wali mempelai perempuan kepada calon mempelai pria. Lapadz yang mengikuti antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam ikatan perkawinan. Ijab Qabul merupakan unsur yang paling penting antara yang mengakadkan, yaitu wali, dengan yang menerima akad. Berkaitan artinya: tidak sah nikah kecuali dengan wali.

Dalam pembahasan fiqh wali dibagi 3 (tiga) macam: 1. Wali Nasab,

2. Wali Hakim’ 3. Wali Tahkim,

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 20 Ayat (1) yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, aqil dan baligh, Ayat (2) Wali nikah terdiri dari (a) wali nasab, (b) wali hakim.49

Syarat-syarat sahnya perkawinan adalah:

1. Mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya, 2. Dihadiri dua orang saksi laki-laki,

3. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. Syarat ketiga ini dianut Kaum muslimin di Indonesia dan merupakan pendapat Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Hasan Basari, Ibn Abi Layla dan Ibn Syubrumah.50

49Pasal 20 ayat 1 Kompilasi hukum Islam.

50A. Hamid Sarong,Hukum perkawinan Islam di Indonesia, (Banda Aceh: Pena, 2010)


(45)

Perkawinan menurut ajaran Islam ditandai dengan prinsip-prinsip sebagai berikut51:

1. Pilihan jodoh yang tepat,

2. Perkawinan didahului dengan peminangan,

3. Ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan, 4. Perkawinan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang bersangkutan, 5. Ada persaksian dalam akad nikah,

6. Perkawinan tidak ditentukan untuk waktu tertentu, 7. Ada kewajiban pembayaran mahar oleh suami,

8. Ada kebebasan mengajukan syarat atau perjanjian dalam akad nikah, 9. Tanggung jawab pimpinan keluarga adalah suami,

10. Ada kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah tangga.

Akad nikah adalah perikatan hubungan perkawinan antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan yang dilakukan didepan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab qabul. Ijab di ucapkan pihak wali perempuan, yang menurut kebanyakan para fuqaha’ dilakukan oleh walinya (wakilnya) dan qabul adalah pernyataan menerima dari pihak mempelai laki-laki. Mas kawin tidak mesti ada dalam akad nikah, meskipun biasanya disebut dalam akad dan disertakan pula barangnya.52Karena mas kawin adalah kewajiban suami bukan syarat sah perkawinan.

51Ibid. hal.38. 52Ibid. hal.50.


(46)

Dari pengertian akad nikah tersebut kita ketahui adanya empat unsur akad nikah yaitu:

1. Mempelai laki-laki dan perempuan, 2. Wali mempelai perempuan,

3. Dua orang saksi laki-laki, 4. Ijab dan qabul.

Seperti halnya pada akad umumnya, pihak-pihak yang melakukan akad (mempelai laki-laki dan perempuan) di syaratkan mempunyai kecakapan sempurna, yaitu telah baliqh, berakal sehat dan tidak terpaksa. Orang yang kehilangan kecakapan karena gila, rusak akal atau dibawah umur tidak sah melakukan akad. Anak umur 7 tahun sampai sebelum baliqh dipandang berkecakapan tak sempurna dan apabila mengadakan akad diserahkan pada izin walinya, menurut pendapat kebanyakan fuqaha’, mempelai perempuan tidak boleh melakukan akad sendiri dan harus dilakukan oleh walinya. Selain itu ada syarat yang perlu ditambahkan, yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad harus mendengar dan mengerti arti ucapan atau perkataan masing-masing.53

Perkawinan yang mubah, adalah bahwa syarat kecakapan sempurna bagi calon mempelai diperlukan, umur yang melampaui umur baligh (15 tahun ) seperti ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 bahwa calon mempelai laki-laki sekurang-kurangnya mencapai umur 16 tahun (pasal 7 ayat 1).54

53Ibid.hal 50. 54Ibidhal .51


(47)

Objek dalam akad nikah bukan orang yang terikat dalam perjanjian, tetapi orang yang menjadi persetujuan bersama, yaitu halal melakukan hubungan timbal balik antara suami dan istri. Hal ini berarti dengan adanya akad nikah itu tidak terjadi penguasaan suami terhadap pribadi istri atau sebaliknya. Oleh karena itu diperlukan adanya syarat bahwa calon mempelai perempuan tidak haram dinikahi oleh calon suami, atau dengan kata lain tidak terdapat larangan perkawinan antara calon-calon suami dan istri.55

Pada dasarnya akad nikah dapat terjadi dengan menggunakan bahasa apapun yang dapat menunjukan keinginan serta dapat dimengerti pihak-pihak bersangkutan dan dapat dipahami pula oleh para saksi. Di Indonesia sering di pergunakan bahasa Arab dikalangan mereka yang memahaminya dengan menggunakan kata nikah. Mempergunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah semuanya dipandang sah bila dipergunakan kata nikah. Sealain itu pada dasarnya ijab kqabul dilakukan secara lisan. Dalam hal secara lisan tidak mungkin dapat diganti dengan cara tertulis. Dalam hal secara tertulis tidak mungkin dilakukan karena salah satu pihak buta huruf misalnya, dapat dilakukan dengan isyarat.56

Antara ijab dan qabul diisyaratkan terjadi dalam satu majelis, tidak disela dengan pembicaraan lain atau perbuatan-perbuatan yang menurut adat kebiasaan dipandang mengalihkan akad yang sedang dilakukan tapi tidak diisyaratkan antara ijab dan qabul harus berhubungan langsung, andai kata setelah ijab dinyatakan oleh

551bid. 56Ibid.hal.52.


(48)

wali mempelai perempuan atau wakilnya, tiba-tiba mempelai laki-laki berdiam beberapa saat tidak segera menyatakan qabul, baru setelah itu menyatakan qabulnya, maka ijab qabul dipandang sah. Imam Malik berpendapat bahwa qabul hanya boleh terlambat dalam waktu amat pendek dari ijab. Ulama-Ulama Madzhab Syafi’I mensyaratkan harus langsung, yaitu setelah wali mempelai perempuan menyatakan ijab mempelai laki-laki harus segera menyatakan qabul tanpa berselang waktu. Pendapat yang terakhir ini yang diperaktekkan di kalangan kebanyakan kaum muslim di Indonesia. Dalam masalah ini, pendapat Ulama-Ulama Madzhab Hanafi dan Hanbali sudah memenuhi syarat sahnya ijab qabul tanpa menentukan majelis dan interval waktu.57

Ada syarat ijab qabul yang perlu disebutkan, yaitu tidak boleh digantungkan

kepada suatu syarat, disandarkan pada waktu yang akan datang atau dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Akad bersyarat yang dipandang tidak sah ini ialah apabila syarat dimaksud tidak terjadi seketika, misalnya wali mengatakan kepada calon mempelai laki-laki: “ Apabila engkau telah mendapat pekerjaan nanti, aku nikahkan engkau dengan anakku fulanah dengan mahar lima ribu rupiah.” Ijab seperti ini tidak sah, sebab syaratnya yaitu mendapat pekerjaan, belum tentu terpenuhi dalam waktu mendatang. Akad bersandar pada waktu yang akan datang, misalnya wali mempelai perempuan mengatakan kepada calon suami: “ aku nikahkan anakku fulana besok pagi, dengan mahar mushhaf al-Qur’an ini.” Akad nikah seperti itu tidak sah baik untuk hari diucapkan maupun untuk waktu yang disebutkan dalam akad.


(49)

Selain itu akad yang dibatasi untuk waktu tertentu, misalnya selama sebulan atau lebih, atau kurang, tidak dibolehkan, karena bertentangan dengan prinsip perkawinan dalam Islam. Nikah untuk waktu tertentu disebut: “ Nikah Mut’ah” (nikah senang-senang) dan “ nikah muqathi “ ( nikah terputus ). Kebanyakan fuqaha’ berpendapat bahwa nikah mut’ah itu haram, dengan berdasarkan antara lain hadist nabi riwayat Ibnu Majah yang mengajarkan: “wahai umat manusia, dulu aku mengijinkan kamu kawin mut’ah, tetapi ketahuilah, Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat. “Ulama-Ulama Madzhab Syi’ah sampai sekarang masih membolehkan kawin mut’ah itu dengan beberapa persyaratan yang ketat. Tetapi Ulama-Ulama Madzhab lain tidak dapat menyetujuinya.58

2. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Di Indonesia peraturan tentang perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Bab 1 Dasar Perkawinan Pasal 1 Undang-Undang ini memberi pengertian perkawinan /Pernikahan sebagai berikut59:

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Jadi menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara 2 (dua) orang yaitu antara pria dan wanita, sebagai ikatan lahir,

58Ibid.


(50)

perkawinan merupakan hubungan hukum antara pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir ini merupakan hubungan yang formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.60Perkawinan barulah sah apabila dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita.61

Dari pengertian tersebut unsur-unsur perkawinan adalah : 1. Adanya seorang pria dan wanita;

2. Ikatan lahir batin;

3. Adanya tujuan tertentu yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal; 4. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahaun 1974 tercantum tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputuskan begitu saja.62Dalam rumusan perkawinan itu dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini

60Tan Kamelo,Hukum Perdata: Hukum Orang Dan Keluarga, (Medan, USU Press

2011),hal.42.

61Mega Magdalena,fungsi Pencatatan perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974, ( Medan : Tesis Pascasarjana USU, 2005) hal.15.


(51)

berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan. Dalam agama Islam, perintah religius merupakan sunnah Rasulullah. Keberadaan unsur ketuhanan dalam sebuah perkawinan bukan saja peristiwa itu merupakan perjanjian yang sakral melainkan sifat pertanggungjawaban hukumnya jauh lebih penting yaitu pertanggungjawaban kepada Tuhan sang pencipta (Allah SWT). Dengan adanya unsur ketuhanan, maka hilanglah pandangan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah urusan manusia semata-mata.63

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa hukum Islam sebagai rujukan sah atau tidaknya suatu pernikahan, ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terlihat bahwa perkawinan merujuk paham relegius. Tujuan perkawinan bukan bersifat sementara, melainkan untuk kekal dan abadi, hidup bahagia kecuali putus hubungan karena kematian.

Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 meliputi syarat-syarat materil dan formil. Syarat-syarat materil yaitu syarat-syarat mengenai pribadi calon mempelai, sedangkan syarat –syarat formil menyangkut formalitas-formalitas atau cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan, syarat-syarat materil dan formil dalam perkawinan secara terperinci, yaitu:64

a. Syarat Materil

Syarat-syarat yang termasuk dalam kelompok syarat materil adalah:

63 Ibid. hal 64Ibid.hal.16


(52)

1). Harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai (pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.65 Dimaksudkan agar supaya setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam perkawinan. Munculnya syarat persetujuan dalam Undang-Undang perkawinan, dapat dihubungkan dalam system perkawinan zaman dulu, yaitu seorang anak yang hidup patuh pada orang tuanya. Sebagai anak harus mau dan tidak dapat menolak kehendak orang tuanya, walaupun kehendak anak tidak demikian. Untuk menanggulangi kawin paksa, Undang-Undang perkawinan telah memberikan jalan keluarnya, yaitu suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan menunjuk pasal 27 ayat (1) apabila paksaan untuk itu dibawah ancaman yang melanggar hukum.

2). Usia calon mempelai pria harus mencapai umur 19 tahun dan wanita harus sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat (1))66. Ayat (2) menetapkan tentang kemungkinan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut di atas`dengan jalan meminta terlebih dahulu pengecualian kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukan oleh kedua orang tua meninggal dunia, maka pengecualian dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukan oleh orang tua yang masih hidup atau wali/orang yang memelihara/datuk (kakek dan nenek) dari pihak-pihak yang akan melakukan perkawinan dengan ketentuan bahwa segala

65Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


(53)

sesuatunya sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Izin kedua orang tua mereka yang belum mencapai umur 21 tahun. Bila salah satu orang tua telah meninggal dunia, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup. Bila itupun tidak ada, dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas atau bisa juga izin dari pengadilan, bila orang-orang tersebut juga tidak ada atau tidak mungkin diminta izinnya (pasal 6 ayat 2,3,4, dan 5).67

Mengenai syarat-syarat persetujuan kedua calon mempelai dan syarat harus adanya izin kedua orang tua bagi mereka yang belum berusia 21 tahun sebagaimana diatur dalam pasal 6 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974, berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

b. Syarat Formil meliputi

1).Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan,

2).Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan,

3).Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaan masing-masing, 4).Pencatat perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.68

67Ibidhal. 20.


(54)

Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan di langsungkan, dilakukan secara lisan oleh calaon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama istri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin (pasal 3,4,,5 peraturan pemerintah nomor 9 Tahun 1975).69

Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh pegawai pencatat nikah/perkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan. Pengumuman dilakukan dengan suatu formil khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan ditandatangani oleh pegawai pencatat perkawinan. Pengumuman data pribadi calon mempelai dan orang tua calon mempelai serta hari ini, tanggal, jam dan tempat dilangsungkannya perkawinan (pasal 8 jo pasal 6,7 dan 9 peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975). B. Hal-Hal Yang Memotivasi Seseorang Mau Menikahi Wanita Hamil Karena

Zina.

Hukum perkawinan mempunyai kedudukan amat penting dalam Islam, sebab hukum perkawinan mengatur tata cara kehidupan keluarga yang merupakan inti kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia sebagai mahkluk yang terhormat melebihi mahkluk-mahkluk yang lain. Hukum perkawinan Islam yang dikenal dengan fiqh munakahat merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang


(55)

wajib ditaati dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah.70

Manusia adalah mahkluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan allah dibanding dengan mahkluk –mahkluk lainnya. Allah telah menetapkan adanya aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan aturan –aturan yang tidak boleh dilanggar, manusia tidak boleh berbuat semaunya. Allah Swt tidak membiarkan manusia berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semaunya tanpa adanya ikatan perkawinan.

Melihat fakta sekarang, banyak wanita hamil diluar perkawinan, karena terlalu bebasnya pergaulan antara laki-laki dan wanita, tanpa berpikir, bagaimana jika sekiranya kehamilan sampai terjadi.71

Dalam hukum Islam, orang yang melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut zina. Hubungan seksual tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya gadis, bersuami atau janda, jejaka, beristri atau duda sebagaimana yang berlaku pada hukum perdata.72

Dalam hukum Islam Zina terbagi 2(dua),yaitu:73

a. Zina Muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah.

70

A. Hamid Sarong, Op Cit, hal. 2

71Gatot Supramono,Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, (Jakarta: Jambatan, 1998), hal. 77

72Abdul Manan,Op Cit, hal 82

73Abd.Aziz Dahlan,Ensiklopedia Hukum Islam,(Jakarta:PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999),


(56)

b. Zina Ghairu Muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka atau gadis. Hukum Islam tidak menganggap bahwa zina ghairu muhson sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap dianggap sebagai perbuatan zina yang harus dikenakan hukuman.

Hanya saja hukuman itu kuantitasnya berbeda, bagi pezina muhson dirajam sampai mati, sedangkan bagi pezina ghairu muhson dicambuk 100 kali. Anak yang dilahirkan sebagai akibat zina tersebut disebut anak luar kawin.74

Dalam hukum Islam, pembuktian perbuatan berupa perzinaan bisa dilakukan melalui tiga cara:75

1. Pengakuan dari Pelaku. Dengan syarat (pelaku saat menyatakan pengakuannya): sudah baligh, tidak gila, tidak mabuk, dan tidak dalam paksaan.

2. Persaksian 4 (empat) orang saksi laki-laki. (atau 8 (delapan) orang perempuan/ dua orang laki-laki dan empat perempuan/ satu org laki-laki dan enam perempuan/ tiga org laki-laki dan dua perempuan).

3. Kehamilan. dengan syarat: wanita yg hamil tdk diperkosa, sadar dalam melakukannya

74Ibid, hal 23

75 www.kompasiana.com/2014/04/14/ Hukum Berzina Dan Pembuktiannya Dalam Islam/


(57)

Hamil diluar nikah adalah sesuatu yang sangat tabu di Indonesia dan merupakan hal yang masuk kategori zina dalam Islam. Hamil di luar nikah merupakan perbuatan zina yang seharusnya dihukum dengan kriteria Islam. Ketika hamil diluar nikah telah terjadi maka akan muncul masalah yaitu aib bagi keluarga. Dengan terjadinya hamil diluar nikah, maka pasangan tersebut diharuskan untuk segera menikah demi melindungi keluarga dari aib yang lebih besar.

Menikah sesungguhnya merupakan hal yang biasa dilakukan oleh seorang yang sudah dewasa. Hal ini terbukti dengan adanya ketentuan undang-undang yang memperbolehkan seorang menikah ketika dia sudah mampu mengemban tanggung jawabnya dengan baik. Sebuah hal yang berbeda ketika pernikahan tersebut dilakukan oleh seseorang yang didahului dengan perbuatan tidak halal misalnya melakukan persetubuhan antara dua jenis kelamin yang berbeda diluar ketentuan undang-undang perkawinan yang berlaku. Pernikahan ini bisaanya dinamakan perkawinan akibat perzinaan.76

Hal- hal yang memotivasi seorang laki-laki mau menikahi wanita hamil karena zina adalah:

1. Untuk menutup aib, karena sebelum terjadi kehamilan laki-laki ini sudah bolak-balik mengajak wanita yang dihamilinya untuk menikah tetapi siwanita tidak mau dengan berbagai macam alasan diantaranya, belum mau direpoti dengan anak dan suami, mau berkarir dulu,malah wanita yang dihamili berkata mana tau masih ada pilihan yang lebih baik ( jodoh yang lebih baik),


(58)

sebenarnya waktu siwanita ini hamil, pada mulanya si laki-laki tidak mau bertanggung jawab karena kesal atas penolakan –penolakan si wanita selama ini dan sempat menghilang tapi karena untuk menutup aib dan mungkin masih cinta dia kembali lagi dan mau menikahi wanita yang dihamilinya tersebut.77 2. Harus bertanggung Jawab dengan perbuatan yang dilakukannya, karena telah

menghamili wanita tersebut, walaupun pada awalnya mereka tidak ingin sampai kehamilan ini terjadi, mungkin karena seringnya bersama sehingga hal-hal yang tidak diinginkan pun terjadi, jadi setelah terjadi kehamilan si laki-laki harus bertanggung jawab dengan menikahi wanita tersebut, karena kalau silaki-laki tidak bertanggung jawab bagaimana si wanita dan keluarganya harus menanggung malu, dan bagaimana nanti anak yang akan dilahirkannya tidak punya ayah, secara jelas-jelas yang menghamilinya adalah laki-laki tersebut dan karena laki-laki tersebut juga mencintainya dan keluarga si laki-laki dan perempuan juga merestui hubungan mereka selama ini.78

3. Untuk menutup malu karena merupakan aib bagi keluarga, baik bagi keluarga laki-laki apalagi bagi keluarga perempuan, karena telah menghamili seorang wanita sebelum adanya perkawinan, jadi untuk menutup malu supaya keluarga tidak menjadi lebih malu lagi harus menikahi wanita tersebut,

77Hasil Wawancara Dengan Bambang,Pelaku Yang Menikahi Wanita Hamil Karena zina ,

Pada Hari Selasa,Tanggal 25 November 2014, Pukul 20.00 WIB

78Hasil Wawancara Dengan Anto, Pelaku Yang Menikahin Perempuan hamil Karena zina,


(59)

walaupun umur kami masih tergolong muda (laki-laki dan wanita berumur 20 Tahun ).79

Yang paling mendasar yang dijadikan alasan bagi seseorang menikahi wanita hamil karena zina adalah semata-mata untuk menutupi aib wanita tersebut dan keluarganya, bila aib sudah tertutupi melalui perkawinan yang sah, secara tidak langsung akan menimbulkan kebaikan-kebaikan tertentu, anak akan jelas statusnya dan ibu akan terlindungi nama baiknya.

Adalah kehidupan free sex yang semakin meningkat dan dilakukan secara terbuka serta dengan penuh rasaa bangga. Akibat dari semua itu maka banyak terjadi kehamilan diluar nikah yang menimbulkan kepanikan, baik bagi wanita yang bersangkutan maupun keluarga. Untuk mennghindari perasaan malu kepada masyarakat, maka mereka cepat-cepat dinikahkan dalam keadaan hamil .80

Dari Hal- hal yang memotifasi seseorang mau melakukan perkawinan dengan seorang wanita yang hamil diatas kembali lagi pada manusianya masing-masing, jika mereka merasa siap dengan segala konsekuensi yang akan terjadi, baik konsekuensi pada diri sendiri atau konsekuesi sosial yang ada dimasyarakat maka mereka harus siap dengan segala dampak buruknya, seperti tindak kekerasan hingga kemungkinan terburuknya ialah kematian.Resiko tersebut harus dapat ditanggung oleh pelakunya masing-masing contohnya jika terjadi kehamilan, pihak laki-laki dapat pergi

79Hasil Wawancara Dengan Toni, Pelaku Yang Menikahi Wanita Hamil Karena Zina,Pada

Hari Rabu, Tanggal 26 November 2014. Pukul 18.00, WIB

80 M.Hamdan Rasyid, Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual, (Jakarta: PT. Al


(1)

Menurut Kompilasi Hukum Islam adalah anak sah apabila perkawinan itu dilakukan dengan laki-laki yang menghamilinya, dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, dan hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut, dan menjadi anak tidak sah atau luar perkawinan apabila perkawinan itu dilakukan dengan laki-laki yang bukan menghamilinya, Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah anak yang sah , dalam Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah .

3. Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap anak yang lahir dari perkawinan wanita hamil karena zina menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah pengakuan anak. Dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan penjelasan secara rinci dan lengkap Mengenai pengakuan anak tidak sah (anak luar kawin), Pengakuan anak ini dapat dilakukan ayah nya setelah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, setelah itu sahlah pengakuan anak itu secara hukum.


(2)

B. Saran

1. Disarankan kepada Kantor Urusan Agama Sebaiknya perkawinan wanita hamil karena zina tidak dipermudah urusan perkawinannya baik dengan laki-laki yang bukan menghamilinya, apa lagi dengan laki-laki yang menghamilinya karena laki-laki yang menghamilinya tersebut bukan laki-laki baik karena sudah jelas tidak dapat menjaga kehormatan wanita. Dan apabila tidak ada pilihan lain dan harus dengan laki-laki yang menghamili tersebut, harus membuat perjanjian untuk tidak melakukan perbuatan zina lagi. Perkawinan tersebut dapat dilakukan setelah wanita melahirkan anak yang dikandungnya. Maka sebaiknya para wanita harus pintar menjaga diri dengan tidak mudah percaya dengan orang lain terutama laki-laki dan harus punya sikap agar laki-laki menghormati wanita.

2. Disarankan kepada pemerintah,walaupun Kompilasi Hukum Islam danUndang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan membolehkan perkawinan wanita hamil karena zina dan anak yang dilahirkan juga menjadi status anak yang sah sebaiknya pemerintah harus Tetap memberikan penyuluhan hukum secara terus menerus dengan memberikan penjelsan bahwa melakukan sex sebelum nikah dapat menyebabkan berbagai macam penyakit contohnya penyakit sifilis,penyakit kencing nanah dan lain-lain, supaya para pelaku zina jera dan tidak mau melakukan lagi perbuatan zina tersebut.

3. Disarankan kepada seluruh masyarakat apapun status anak yang dilahirkan kedunia ini tetap saja dinggap sebagai anak yang harus dilindungi dan diberikan hak-haknya sebgai seorang anak dan jangan pernah dibeda-bedakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku:

Abdurrahman, Muslan,Sosiologi Dan Metode Penelitian Hukum,( Malang : UMM Pers, 2009 )

Alhamdani, .S.A, Risalah Nikah Terjemahan Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989)

Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2007 ) Arifin Bustanul,Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002)

Amiruddin dan H. Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2006).

Candera Halim,& M.G. Endang Sumiarni, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Hukum Keluarga, (Yogyakarta:Universitas Atmajaya, 2000)

Daud Ali, H. Mohammad,Hukum Isalm, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009).

Duraiwsy, A, Yusuf,Nikah Siri Mut’ah & Kontrak, (Jakarta: Darul Haq, 2010) El-Jazairi, Abu Bakar Jabir,Pola Hidup Muslim ( Minhajul Muslim) Mu’amalah,

(Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1991).

Ghozali, Abdul Rahman,Fiqh Munakahat, (Jakarta :Perdana Media Group Kencana, 2008).

Hasan M. Ali, Masail Fiqhiyah Al-Haditssah ( Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam ), ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996).

Hamaedillah, Memed,Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil Dan Anaknya, (Jakarta:Gema Insani Press, 2002).

Hadikesuma Hilman,Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara Adatnya, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti 2003)

Kamelo Tan,Hukum Perdata:Hukum Orang Dan keluarga, (Medan :USU Press 2011)


(4)

Kusnawati,Emiliana, Aspek Hukum Perlindungan Anak(Bandung; CV. Utomo, 2005) Jauhari, Iman,Kapita Selekta Hukum Islam, ( Medan : Pustaka Bangsa Press, 2007 ). Jamil Zainu, Muhammad Bin,Pilar-pilar Islam dan Iman,( Yogyakarta : Mitra

Pustaka, 2001 ).

Kansil, C.S.T,Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2002)

Lubis, M. Solly, Diktat Teori Hukum, Disampaikan pada rangkaian saat kuliah semester II, program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, USU medan, 2007

Manan, .Abdul,Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, ( Jakarta : Kencana, 2006 ).

Marzuki, Peter Mahmud,Penelitian Hukum, ( Jakarta : Kencana , 2010 )

Martokusumo Sudikno,Teori Hukum, (Jogyakarta: Cahaya Atma Pusaka, 2012). Muhammad Bushar,Pokok-Pokok Hukum Adat, (Bandung:PT. Pradnya Paramita,

1995)

Mughniyah, Muhammad jawad, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta:Lentera, 2007).

ND, Mukti Fajar & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010).

Prodjohamidjojo, Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, (Jakarta: 2002).

Prodjodikoro, Warjono, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Bandung:Sumur, 1990). Qaradhawi, Yusuf,Halal dan Haram Dalam Islam. (Bandung: Jabal, 2007).

Rasjid, Sulaiman,Fiqh Islam, ( Bandung : Sinar Baru, 1992 )

Raharjo, Satijipto,Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000) Rahman Fatchur,Ilmu Waris, (Bandung: PT Alma’arif 1971).

Rahman, Taufik,Hadis-Hadis Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2000).

Sabrie, M. Zuffran,Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah, (Jakarta : Departemen Agama RI, 1998 ).


(5)

Saronng, Amid, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Banda Aceh: Pena, 2010)

Salman Otje,Teori Hukum( Suatu Pencarian/penelahaan), (Jakarta: Renada Media, 2007).

Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, ( Jakarta: Kencana, 2010 ). Sudarsono,Hukum Perkawinan Nasional, ( Jakarta : Rineka Cipta, 2010 ).

Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ( Jakarta : Rajawali Pers, 2010 ).

S, H.R. Otje Salman & Anthon F. Susanto,Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, ( Bandung : PT. Refika Aditama, 2010 ).

Sidharta, B. Arief, Meuwissen ,Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum, ( Bandung : PT Refika Aditama, 2007 ).

Sunggono, Bambang,Metode penelitian Hukum,( Jakarta : Rajawali Pers, 2011). Sudiyat Iman,Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty 1981).

Soimin, Soedaryono, Hukum Orang Dan Hukum Keluarga Persektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam Dan Hukum Adat, (Jakarta:Sinar Grafika 1992). Syukur,Asywadie,Intisari Hukum Perkawinan Dan Keluarga Dalam Fikh Islam,

(Surabaya:PT. Bina Ilmu, 1985).

Thalib, Mohammad (Trans) Sayyid Sabig,Fikih Sunnah 6, ( Bandung: PT Alma’arif, 1980 ).

Tahido Yanggo, Huzaemah, Fikih Perempuan Kontemporer, ( Ciawi-Bogor : Ghalia Indonesia, 2010 ).

Thaib, M. Hasbalah dan Harahap, Marahalim,, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam( Medan : Universitas Al Azhar , 2010 ).

Tihami, dan Sohari Sahrani,Fikih Munakahat Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: Raja wali Pers, 2008).

Yunus, Mahmud,Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Mazhab : Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali, (Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1977 ).


(6)

Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2013 )

Wuisman, JJ. M,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, ( Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia , Penyunting M. Hisyam, 1996)

________________________________ , Undang-Undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam,( Bandung : Citra

Umbara, 2013 )

B. Peraturan Perundang-Undangan : Al-Qur’an dan Terjemahannya

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Kompilasi Hukum Islam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

C. Bahan Internet :

Ppti-malalo, 25 Oktober 2013, Perkawinan Wanita Hamil, http/www.ppti.malalo.blogspot.com. (diakses tanggal 1 Maret 2014)

www.hukumpedia.com,10 Oktober 2013, 5 Faktor Penyebab Seks pra nikah, (Diakses tanggal 25 juli 2014 )

Akrizz.blogspot.com, Juli 2012, Beberapa Faktor Penyebab Seks Bebas, (DiaksesTtanggal 1 Agustus 2014)