78
Hall JL. 2002. Cellular mechanisms for heavy metal detoxification and tolerance. J. Exp. Bot. 53: 1
–11. Jumberi  A,  Alihamsyah  T.    2004.    Pengembangan  lahan  rawa  berbasis  inovasi
teknologi.    Dalam.    Prosiding  Seminar  Nasional  :  Inovasi  Teknologi Pengelolaan  Sumberdaya  Lahan  Rawa  dan  Pengendalian  Pencemaran
Lingkungan.  Banjarbaru, 6-7 Oktober  2004. Badan Litbang Pertanian.
Karama    AS.    1990.    Penggunaan  pupuk  organic  dalam  produksi  pertanian. Makalah disampaikan pada Seminar Puslitbangtan tanggal 4 Agustus 1990.
Bogor. Kaderi  H.    2005.  Penambahan  konsentrat  Salvinia  molesta  untuk  meningkatkan
pertumbuhan  padi  di  tanah  sulfat  masam. Buletin  Teknik  Pertanian.
102:46-48. Mishra  S,  Srivastava  S,  Tripathia  RD,  Govindarajan  R,  Kuriakose  SV,  Prasad
MNP.  2006.  Phytochelatin  synthesis  and  response  of  antioxidants  during cadmium stress in Bacopa monnieri L. Plant Physiol. Biochem. 44: 25
–37. Moretti    A  ,    Gigliano    G  S.    1988.  Influence  of  light  and  pH  on  growth  and
nitrogenase  activity  on  temperate-grown  Azolla.  Biol.  and  Fert.  of Soils.6:131
–136. Noor A,  Jumberi A. 1998.  Peranan bahan amelioran, pupuk kalium dan varietas
dalam mengatasi keracunan besi pada tanaman padi di lahan pasang surut. Dalam  :    Prosiding  Lokakarya  Strategi  Pembangunan  Pertanian  Wilayah
Kalimantan, 2-3 Desember 1997 di Banjarbaru.  Badan Litbang Pertanian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru. p: 275-
279.
Olguın EJ, Sa´nchez-Galva´n G, Pe´rez-Pe´rez T, Pe´rez-Orozco A. 2005. Surface adsorption,  intracellular  accumulation  and  compartmentalization  of  PbII
in  batch-operated  lagoons  with  Salvinia  minima  as  affected  by environmental  conditions,  EDTA  and  nutrients.  J.  Industrial  and
Microbiology Biotechnology. 32: 577 –586.
Olguin  EJ,  Rodriguez  D, Sanchez  G,  Hernandez  E,  Ramirez  ME.
2003. Productivity, protein content and nutrient removal from anaerobic effluents
of  coffee  wastewater  in  Salvinia  minima  ponds,  under  subtropical conditions. Acta Biotechnology. 23: 259-270.
Olguin  EJ,  Hernandez  E,    Ramos  I.  2002.  The  effect  of  both  different  light conditions  and  the  pH  value  on  the  capacity  of  Salvinia  minima  BAKER
for  removing  cadmium,  lead  and  chromium.  Acta  Biotechnology.  22:121- 131.
Sánchez-Galván  G,  Monroy  O,  Gómez  G,  Olguín  EJ.  2008.  Assessment  of  the hyperaccumulating  lead  capacity  of  Salvinia  minima  using  bioadsorption
and  intracellular  accumulation  factors.  Water,  Air  and  Soil  Pollution. 194:77
–90.
79
Schneider  IAH,  Rubio  J.  1999.  Sorption  of  Heavy  Metal  ions  by  the  nonliving biomass  of  freshwater  macrophytes.  Environmental  Science  and
Technology. 33: 2213-2217. Sun˜e N, Sa´nchez G, Caffaratti S,  Maine MA.  2007. Cadmium and chromium
removal kinetics from solution by two aquatic macrophytes. Environmental Pollution. 145:467-473.
BAB. VI.  PENGARUH  GENOTIPE PADI DAN AMELIORASI LAHAN SERTA  KOMBINASINYA  TERHADAP  KERACUNAN  BESI
DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN PASANG SURUT
Abstrak
Penelitian  bertujuan  untuk  1  mempelajari  pengaruh  genotipe  padi,  ameliorasi lahan  dan    kombinasinya    dalam  mengendalikan  keracunan  besi  pada  dua  lokasi
dan dua musim tanam di lahan pasang surut,  2 mendapatkan genotipe padi yang toleran    atau  agak  toleran    terhadap  keracunan  besi.  Penelitian  dilaksanakan  di
lahan  pasang  surut    pada  dua  musim  tanam    tahun  2011  di  dua  lokasi  KP. Belandean  dan  Danda  Jaya,  Kabupaten  Barito  Kuala,  Kalimantan  Selatan.
Penelitian  merupakan  percobaan  petak  terpisah  dengan  petak  utama  perlakuan ameliorasi lahan kontrol, Salvinia sp.  ditumbuhkan, kompos Salvinia sp., jerami
padi,  pupuk  kandang  PK  2.0  tha,  dan  anak  petak  perlakuan  genotipe  padi TOX4136,  Inpara-1,  Inpara-2,  Inpara-4,  dan  IR  64.    Hasil  penelitian
menunjukkan  genotipe  toleran  agak  toleran    dan  ameliorasi  lahan  dapat mengendalikan  keracunan  besi  dan  meningkatkan  produktivitas    padi  di  lahan
pasang  surut.    Pada  lokasi  KP.  Belandean  gejala  keracunan  besi  lebih  tinggi  dan produktivitas  padi  lebih  rendah  dibandingkan  lokasi  Danda  Jaya.    Tingkat
keracunan  besi  pada  musim  tanam  kedua  lebih  rendah  dibandingkan  pada  musim tanam pertama  pada kedua lokasi penelitian. Genotipe Inpara-1 dan Inpara-4 lebih
toleran terhadap keracunan besi dan menghasilkan gabah lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya pada ke dua lokasi penelitian.
Kata kunci : Ameliorasi lahan, genotipe padi, keracunan besi, lahan pasang surut
Abstrak
The objectives of experiment were : 1 to  study  the effect of rice genotypes, land amelioration and its combination  to iron toxicity at two location and two cropping
season  in the tidal swamp land, 2 to obtain rice genotypes which tolerant or rather tolerant   to Fe toxicity. The experiments were  conducted in the tidal swamp land
in the two cropping seasons  2011, at two locations  namely Belandean Experiment Land and Danda Jaya, Kuala Barito Regency, South Kalimantan. The experiment
was  arranged in a split  plots design with  the land amelioration treatment control, Salvinia sp. grown, compost Salvinia sp., rice straw, and  farmyard manure 2 tha
as main plot,  and the rice genotypes  TOX4136, Inpara-1, Inpara-2, Inpara-4, and IR  64  as  sub  plot.    The  experiments  results  showed  that  land    amelioration    and
tolerant rather tolerant genotypes can  controlling  iron  toxicity and increase rice productivity  in  the  tidal  swamp  area.  In  the  Belandean  site  reached  higher  iron
toxicity  symptom  and  lower  rice  productivity  compared  to  the  Danda  Jaya  site. Level  of  iron  toxicity  symptoms  lower  at  second  cropping  season    than    at  first
cropping  season.  Inpara-1  and  Inpara-4  genotypes    more    tolerant  to  Fe  toxicity than other genotypes and higher productivity at two experiment site.
Key words: land  amelioration,  genotypes of rice, iron toxicity, tidal swamp area
82
Pendahuluan
Lahan  pasang  surut  merupakan  salah  satu  alternatif  dalam  mengatasi semakin  menyusutnya  lahan-lahan  subur  di  pulau  jawa  akibat  konversi  lahan  ke
non pertanian, Luas lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan sekitar 20.1 juta ha,  dan  sekitar  9.5    juta  ha    berpotensi  untuk  dijadikan  sebagai  lahan  pertanian
Alihamsyah  2004.  Walaupun  lahan  pasang  surut  mempunyai  potensi  sebagai sumber  produksi  padi,  namun  produktivitas  padi  di  lahan  ini    masih  rendah.
Masalah  kondisi  biofisik  lahan  yang  menyebabkan  rendahnya  produksi  padi  di lahan    pasang  surut  terutama  karena  rendahnya  kesuburan  tanah,  yang  dicirikan
oleh kahat hara, kemasaman yang tinggi, keracunan Al, Fe dan H
2
S Sarwani et al. 1994.
Keracunan besi  pada padi  merupakan salah satu faktor pembatas produksi padi  di  lahan  sawah  yang  telah  dilaporkan  terjadi  secara  luas  di  beberapa  negara
Asia seperti China, India, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan  Philipina Ash et al.
2005. Keracunan besi  merupakan stress  fisiologi  pada tanaman padi  yang umum
dijumpai  pada  tanah  Ultisol,  Oxisol  dan  lahan  pasang  surut  sulfat  masam  dengan keasaman  dan  kadar  Fe  aktif  yang  tinggi  Sahrawat    2004.  Keracunan  besi  pada
tanaman  padi  yang  terserang  berat  mengakibatkan    pertumbuhan  sangat  jelek, anakan  tidak  tumbuh  sehingga  hasil  yang  didapatkan  sangat  rendah  dan  bahkan
dapat mengakibatkan kegagalan panen Audebert dan Sahrawat 2000. Hasil-hasil penelitian menunjukkan keracunan besi  pada padi sawah dapat menurunkan hasil
hingga 12-100  Sahrawat 2000; Sahrawat et al. 2004; Sahrawat 2010. Keracunan besi pada padi selain disebabkan tingginya kadar besi di dalam
tanah  juga  dapat  disebabkan  oleh  faktor  lingkungan  seperti  ketidakseimbangan hara, tanah selalu tergenang Sahrawat et al. 2004, dan penggunaan genotipe padi
yang  peka  seperti  varietas  IR  64  Suhartini    2004.  Penggunaan  genotipe  toleran merupakan  cara  yang  lebih  murah  dan  mudah  diaplikasikan  oleh  petani,  namun
demikian genotipe toleran kadang-kadang tidak  selalu mampu beradaptasi secara luas untuk semua kondisi lahan.
Penggunaan bahan organik seperti jerami padi dan pupuk kandang sebagai bahan amelioran untuk memperbaiki kualitas lahan walaupun telah diketahui dapat
meningkatkan  produktivitas  padi,  namun  sering  tidak    mencukupi  atau  tidak
83
tersedia  di  lokasi.    Salah  satu  sumber  bahan  organik  yang  potensial  selain  jerami padi dan pupuk kandang  adalah menggunakan pupuk organik seperti Salvinia sp.
Penggunaan Salvinia sp. merupakan salah satu alternatif penyediaan bahan organik secara in-situ di lahan pertanaman padi.
Salvinia  sp.    merupakan  pakis  air  yang  banyak  digunakan  untuk bioremediasi  air  yang  tercemar  logam-logam  berat  karena  adaptasi  dan
kemampuannya    yang  tinggi  dalam  menyerap  dan    mengikat  logam-logam    berat yang  terlarut  dalam  air    Dhir    2009;  Dhir  dan  Kumar  2010;    Oguin  et  al.  2002;
Oguin  et  al. 2005.  Selain kemampuan mengikat  atau menjerap logam,    Salvinia sp.  mempunyai  tingkat  pertumbuhan  dan    produktivitas  biomas  yang  tinggi
sehingga potensial digunakan  sebagai  pupuk organik  Schneider dan Rubio 1999; Oguin  et  al.  2002;  Oguin  et  al.  2003.  Hasil  penelitian  penggunaan  Salvinia
molesta  sebagai  pupuk  organik  pada  tanah  lahan  pasang  surut  sulfat  masam  di rumah kaca dengan dosis  4.1 g6 kg tanah mampu meningkatkan hasil gabah  dari
11.1  grumpun  kontrol  menjadi    70.07  grumpun  dan  mengurangi  penggunaan pupuk N, P dan K Kaderi  2005.
Strategi  yang  dapat  dilakukan  dalam  meningkatkan  produktivitas  padi  di lahan  pasang  surut  yang  bermasalah  keracunan  besi  adalah  dengan  cara
mengintegrasikan  antara  :  1  perbaikan  lingkungan  tumbuh  tanaman,  dan    2 menggunakan  genotipe  yang toleran Alihamsyah  2002. Pengendalian keracunan
besi yang mengkombinasikan antara penggunan genotipe padi toleranagak toleran yang  spesifik  lokasi  dan  ameliorasi  lahan  menggunakan  bahan  amelioran  seperti
limbah  panen,  pupuk  kandang    dan  Salvinia  sp  diharapkan  dapat  meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut.
Penelitian  bertujuan  untuk    1  mempelajari  pengaruh  genotipe  padi, ameliorasi  lahan  dan    kombinasinya    dalam  mengendalikan  keracunan  besi  pada
dua lokasi dan dua musim tanam di lahan pasang surut,  2 mendapatkan genotipe padi yang toleran  agak toleran terhadap keracunan besi.
84
Metode Penelitian
Percobaan  lapang  dilakukan  di  lahan  pasang  surut  di  Kabupaten  Barito Kuala, Kalimantan Selatan dengan tipologi sulfat masam pada tipe luapan air B di
dua  lokasi  cekaman  Fe  yang  berbeda  yaitu  di  Blandean  cekaman  Fe  berat  dan Danda  Jaya  cekaman  Fe  sedang    pada  dua  musim  tanam  musim  hujan  dan
musim kemarau, bulan Pebruari sampai dengan Nopember 2011. Pada  musim  tanam  pertama  musim  hujan  perlakuan  yang  diberikan
adalah aplikasi bahan organik sebagai ameliorasi lahan : Salvinia sp. Salvinia sp. yang terpilih dari percobaan di rumah kaca.  Ada dua perlakuan untuk Salvinia sp.
yaitu  ditumbuhkan  di  lahan  kemudian  dibenamkan  insitu  dan  kompos  Salvinia sp.    2.0  tha.    Sebagai  pembanding  aplikasi  Salvinia  sp.      ditambah  perlakuan
kompos jerami padi dan pupuk kandang 2.0 tha. Pada musim tanam kedua musim kemarau bahan organik tidak diberikan lagi  memanfaatkan residu musim  tanam
pertama.    Ada  4  genotipe  padi  yang  digunakan  dalam  penelitian  genotipe  padi yang terpilih dari percobaan rumah kaca dan varietas IR 64 sebagai pembanding.
Percobaan Musim Tanam I Musim Hujan
Penelitian  merupakan  percobaan  petak  terpisah  dengan  petak  utama ameliorasi lahan  dan genotipe padi sebagai anak petak .
Petak utama. Ameliorasi lahan  yang terdiri atas  :
1. Kontrol
2. Salvinia sp.  ditumbuhkan 1 bulan, kemudian  dibenamkan sebelum
tanam 3.
Kompos Salvinia sp. 2.0 tha 4.
Kompos jerami padi 2.0 tha 5.
Kompos pupuk kandang kotoran sapi PK 2.0 tha
Anak petak.  Genotipe padi terdiri atas :
1. Galur harapan TOX4136-5-1-1-KY-3
2. Inpara-1
3. Inpara-2
4. Inpara-4
5. IR.64 varietas pembanding peka keracunan Fe
85
Setiap  perlakuan  di  ulang  3  kali  dengan  luas  petak  setiap  perlakuan  4  x 5 m
2
.    Salvinia  sp.  yang  ditumbuhkan  perlakuan  2  berasal  dari  aksesi    Sungai Kambat,  kabupaten  Barito  Kuala,  Kalimantan  Selatan    terpilih  dalam  seleksi
percobaan  di  rumah  kaca.  Salvinia  sp.    disebar  ditumbuhkan  di  petakan  lahan dengan  dosis  100  gm
2
atau  setara  dengan  1  tonha  basah  segar,    setelah ditumbuhkan selama 1 bulan Salvinia sp. dimatikan dengan cara disemprot dengan
herbisida paraquat.  Tiga  hari setelah penyemprotan dengan herbisida, Salvinia sp. dibenamkan  kedalam  tanah.  Salvinia  sp.  sebelum  disemprot  herbsida  diamati
persentase  penutupan  permukaan  lahan  sawah  dan  bobot  biomas  segar  per  petak dengan cara mengambil sampel Salvinia sp.  seluas 3 m
2
. Pengomposan  bahan  organik  dilakukan  selama  4  minggu  dengan
menambahkan  mikroba  pengurai  untuk  mempercepat  pengomposan.  Salvinia  sp. ditumbuhkan  dan kompos bahan organik  lainnya dibenamkan 1 minggu sebelum
tanam  padi.  Kompos  bahan  organik  diberikan  dengan  dosis  2.0  tha  berdasarkan kadar air 35.  Padi umur semai bibit 21 hari di tanam dengan jarak tanam 20 x 25
cm, 2 batang per lubang tanam.  Pupuk N, P, dan K diberikan dengan dosis  75 kg Nha, 37.5 kg P
2
Oha dan 37.5 kg K
2
Oha.  Setengah pupuk N dan seluruh pupuk P dan  K  diberikan  pada  umur  padi  7  hari  setelah  tanam,  sisa  pupuk  N  diberikan
setelah  4  minggu  kemudian.  Pemeliharaan  tanaman  berupa  penyiangan  gulma, pengendalian  hama  dan  penyakit  dilakukan  sesuai  cara  dengan  yang  telah
direkomendasikan. Pengamatan  dilakukan  terhadap  Fe  dan  pH  tanah  sebelum  tanam  padi  7
hari  setelah  pembenaman  bahan  amelioran,  tanaman  akhir  vegetatif  dan  setelah panen  pada  petak  utama  perlakuan  ameliorasi,  karakter  agronomis,  hasil  dan
komponen hasil padi. Pengamatan tingkat  keracunan Fe pada tanaman padi Tabel 6.1 dilakukan setiap 2 minggu sekali mulai padi berumur 2 minggu  sampai fase
inisiasi malai.  Kadar Fe dara hara N, P, K  jaringan tanaman padi diamati dengan mengambil sampel tanaman pada akhir vegetatif.
Data  parameter  pengamatan  dianalisis  secara  statistik  menggunakan  sidik ragam  dan  perbandingan  rata-rata  perlakuan  menggunakan  uji  jarak  berganda
Duncan DMRT pada taraf kepercayaan 95.
86
Tabel 6.1.  Skor gejala keracunan besi pada tanaman padi
Skor Fe Gejala pada tanaman
Tingkat toleransi
1 Tidak ada gejala
Sangat toleran 2
Pertumbuhan dan pembentukan anakan  normal, pada ujung daun tua terdapat bercak spot berwarna coklat kemerahan
atau jingga Toleran
3 Pertumbuhan dan pembentukan anakan hampir normal,
daun tua berwarna coklat kemerahan, ungu atau kuning jingga
Toleran
5 Pertumbuhan dan pembentukan anakan agak terhambat,
beberapa daun berwarna coklat kemerahan atau kuning jingga
Sedang Agak toleran
7 Pertumbuhan dan pembentukan anakan terhambatterhenti,
banyak daun hampir semua daun berwarna coklat kemerahan atau kuning jingga
Peka
9 Hampir semua tanaman daun mengering dan mati.
Sangat peka
Sumber :   IRRI-INGER  1996
Percobaan Musim Tanam II Musim Kemarau
Penelitian  bertujuan  untuk  mengetahui  efek  residu  aplikasi  bahan  organik sebagai bahan amelioran Salvinia sp, pupuk kandang dan jerami padi dan untuk
melihat  konsistensi  stabilitas  hasil  dari  genotipe  padi  musim  hujan  dan  musim kemarau.
Penelitian  dilaksanakan  pada  musim  kemarau  dengan  perlakuan  genotipe padi  yang  diuji  sama  dengan  percobaan  sebelumnya,  dan  residu    bahan  organik
yang  diberikan  pada  musim  tanam  sebelumnya  musim  hujan.  Penelitian merupakan  percobaan  petak  terpisah  dengan  petak  utama  residu  bahan  organik
ameliorasi lahan  dan anak petak perlakuan genotipe padi.
Petak utama. Residu bahan organik yang terdiri atas  :
1. Kontrol
2. Salvinia sp  ditumbuhkan 1 bulan, kemudian  dibenamkan sebelum tanam
3. Kompos Salvinia sp. 2.0 tha
4. Kompos jerami padi 2.0 tha
5. Kompos pupuk kandang PK 2.0 tha
Anak petak.  Genotipe padi terdiri atas :
1. Galur harapan TOX4136-5-1-1-KY-3.
2. Inpara-1
87
3. Inpara-2
4. Inpara-4
5. IR.64 varietas pembanding peka keracunan Fe
Setiap  perlakuan  di  ulang  3  kali  dengan  luas  petak  setiap  perlakuan  4  x 5 m
2
.  Padi umur semai 21 hari di tanam dengan jarak tanam 20 x 20 cm, 2 batang per lubang tanam.  Pupuk N, P, dan K diberikan dengan dosis  75 kg Nha, 37.5 kg
P
2
Oha  dan  37.5  kg  K
2
Oha.    Setengah  pupuk  N  dan  seluruh  pupuk  P  dan  K diberikan  pada  umur  padi  7  hari  setelah  tanam,  sisa  pupuk  N  diberikan  setelah  4
minggu kemudian. Pengamatan  dilakukan  terhadap  tinggi  tanaman,  jumlah  anakan,  hasil  dan
komponen  hasil  padi.  Pengamatan  gejala  keracunan  Fe  pada  tanaman  padi dilakukan  setiap  2  minggu  sekali  mulai  padi  berumur  2  minggu    sampai  akhir
vegetatif.    Data  parameter  pengamatan  dianalisis  secara  statistik  menggunakan sidik ragam dan perbandingan rata-rata perlakuan menggunakan uji jarak berganda
Duncan DMRT pada taraf kepercayaan 95.
Hasil dan Pembahasan Percobaan Musim Tanam I
Karakteristik Tanah Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan lahan pasang surut sulfat masam dengan tipe luapan  B,    lahan  terluapi  air  hanya  pada  saat    pasang  besar.    Pasang  besar  atau
pasang  tunggal  terjadi  dua  periode  dalam  satu  bulan  yaitu  selama  bulan  purnama dan bulan mati. Pada setiap periode pasang besar lahan terluapai air pasang  selama
3-5 hari tergantung tinggi permukaan air disaluran tersier dan sekunder. Hasil  analisis  tanah  di  lokasi  penelitian  menunjukkan  kemasaman  tanah
pH  tergolong  sangat  masam  dengan  pH  di  KP.  Belandean  lebih  rendah  3.80 dibandingkan lokasi desa Danda Jaya 4.10 Tabel 6.2.
Kadar    C  organik  dan  N  total  pada  kedua  lokasi  tergolong  tinggi  dan sedang.    Kandungan  P  total  cadangan  tergolong  tinggi  dengan  kadar  P  Bray  I
sedang, sedangkan kandungan K total di dua lokasi tergolong rendah. Kadar  Basa- basa Ca, Mg, dan K di dua lokasi termasuk rendah sampai sangat rendah, dengan
88
kadar  Na  yang  sedang.  Unsur  meracun  Al-dd  9.70  me100g  dan  Fe  631  ppm pada  lokasi  KP.  Belandean  lebih  tinggi  dibandingkan  di  Danda  Jaya  Al-dd  6.37
me100 g dan Fe 425 ppm.  Pada kedua lokasi tekstur tanah tergolong liat berdebu Tabel 6.2.
Tabel 6.2.  Karakteristik tanah lokasi penelitian di lahan rawa pasang surut, KP. Blandean dan Danda Jaya, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan
Sifat Tanah KP. Blandean
Danda Jaya Nilai
Kriteria Nilai
Kriteria Lapisan 0-20 cm
pH H
2
O 3.80
SM 4.10
SM C. Organik
5.01 T
4.16 T
N total 0,25
S 0.27
S P Bray I ppm P
2
O
5
12.80 S
15.20 S
P total mg100g  P
2
O
5
84.00 T
112 T
K total mg100 g K
2
O 8.00
R 8.00
R Basa-basa tukar me100g :
Ca 1.50
R 1.10
R Mg
1.37 R
1.30 R
K 0.09
SR 0.09
SR Na
0.62 S
0.62 S
KTK me100 g 15.75
S 12.65
S Al-dd me100 g
9.70 T
6.37 T
Fe tersdia ppm 631
ST 425
ST Tekstur :
Liat 69
Liat berdebu 63
Liat berdebu Debu
31 36
Pasir 1
Lapisan Pirit
Kedalaman cm 40
54 FeS
2
4.37 2.48
Fe tersedia ppm 1589
ST 1764
ST pH
2.90 SM
3.10 SM
Keterangan  :  SM=sangat  masam,  ST=sangat  tinggi,  T=tinggi,  S=sedang,  R=rendah,  SR=sangat rendah
ekstraksi dengan ammonium asetat pH 4.8 metode Morgan
Kedalaman  lapisan  pirit  FeS
2
2  pada  lokasi  KP.  Belandean  lebih dangkal   40 cm dibandingkan lokasi Danda Jaya   54 cm, dengan kadar pirit
di  KP.  Belandean  juga  lebih  tinggi  4.37  dibandingkan  lokasi  Danda  Jaya 2.48 Tabel 6.2. Berdasarkan kedalaman lapisan pirit yang lebih dangkal  dan
kadar  pirit,  unsur  meracun  Al-dd  dan  Fe  yang  lebih  tinggi    serta  pH  tanah  yang lebih rendah, lokasi  KP. Belandean mempunyai tingkat  cekaman  yang lebih berat
89
dibandingkan lokasi Danda Jaya. Kadar Fe tanah terekstrak ammonium asetat pH 4.8  yang  lebih  tinggi,  pH  yang  lebih  rendah,  kadar  pirit  yang  lebih  tinggi  dan
kedalaman  lapisan  pirit  yang  lebih  dangkal  pada  lokasi  KP.  Belandean  lebih berpotensi untuk keracunan besi yang lebih berat dibandingkan lokasi Danda Jaya.
Masalah fisiko-kimia lahan untuk pengembangan tanaman pangan di lahan pasang surut meliputi antara lain genangan air dan kondisi fisik lahan, kemasaman
tanah dan asam  organik  pada lahan  gambut tinggi,   mengandung zat  beracun dan intrusi  air  garam,  kesuburan  alami  tanah  rendah  dan  keragaman  kondisi  lahan
tinggi Sarwani et al. 1994.  Dari ketiga tipologi lahan di lahan pasang surut, lahan sulfat  masam  merupakan  lahan  yang  mempunyai  kendala  lebih  berat,  karena
mempunyai  lapisan  pirit  yang  apabila  teroksidasi  mengakibatkan  pH  tanah  yang masam  sampai  sangat  masam,  mempunyai  kandungan  unsur  meracun  Al  dan  Fe
yang  tinggi  serta  kandungan  dan  ketersediaan  hara  yang  rendah.    Lahan  sulfat masam  di  Indonesia  di  perkirakan  sekitar  6,7  juta  ha  Wijaya  Adhi  1986;
Alihamsyah 2004. Lahan  sulfat  masam  yang  mengandung  lapisan  pirit  yang  tinggi  menjadi
masalah    apabila  teroksidasi,  karena    menyebabkan  tanah  menjadi  sangat  masam dengan kadar  sulfat dan besi yang tinggi.  Reaksi oksidasi pirit  menghasilkan besi
ferri  Fe
+3
dan    H
+
yang  menyebabkan  tanah  menjadi  sangat  masam    secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut Dent  1986
FeS
2
+ 154 O
2
+ 72 H
2
O      FeOH
3
+ 2 SO
4 2-
+ 4 H
+
Pada  kondisi  tergenang  reduktif  besi  ferro  biasanya  berlebihan  pada lahan sulfat masam yang dapat berakibat keracunan besi pada padi. Dalam keadaan
reduktif tergenang besi ferri Fe
+3
akan tereduksi menjadi besi ferro Fe
+2
yang dapat diserap oleh tanaman dan dalam jumlah berlebihan dapat meracuni tanaman
padi Dent 1986.
Kadar Hara Bahan Amelioran yang Digunakan
Kadar  hara  bahan  amelioran  bahan  organik  yang  digunakan  dalam ameliorasi lahan  disajikan pada Tabel 6.3.  Kadar C organik berkisar antara 15.71-
24.92,  N  0.87-1.08,  P  0.09-0.32,  K  1.35-1.85,  Ca  0.24-0.35,  Mg  0.22- 0.28,  CN  16-26.    Kompos  Salvinia  sp.    mempunyai  CN  yang  terendah,
90
sedangkan  kompos  jerami  mempunyai  kadar  kalium  yang  tertinggi  1.86 diantara  ke  tiga  bahan  amelioran  yang  digunakan.    Kompos  pupuk  kandang
mempunyai yang kadar P tertinggi 0.32.  Salvinia sp. segar yang ditumbuhkan di lahan mempunyai kandungan Fe tertinggi 5.23, diikuti oleh kompos Salvinia
sp.,  kompos  jerami  dan  kompos  pupuk  kandang  kotoran  sapi  mempunyai kandungan Fe terendah 0.25 Tabel 6.3.
Tabel 6.3.  Kadar hara dan Fe bahan organik  yang digunakan dalam penelitian Kadar Hara
Kompos Jerami
Kompos Pupuk Kandang
Kompos Salvinia sp.
Salvinia sp. segar
C 24.92
16.6 15.71
24.83 N
0.96 0.87
0.98 1.06
P 0.19
0.32 0.09
0.11 K
1.86 0.95
1.35 1.75
Ca 0.35
0.18 0.24
0.31 Mg
0.22 0.39
0.28 0.26
CN 26.0
19.08 16.0
23.4 Fe
0.62 0.25
1.62 5.23
Perubahan pH dan Fe Tanah
Hasil analisis tanah   sebelum tanam  7 hari  setelah ameliorasi  lahan, saat akhir  vegetatif  dan  setelah  panen    menunjukkan  adanya  perubahan  pH  dan  kadar
Fe tanah di kedua lokasi penelitian  Gambar 6.1. Kadar  Fe  larut  dan  pH  tanah  semakin  menurun  dengan  lamanya  waktu
pengamatan. Kadar  Fe dan pH tanah pada waktu setelah panen   akhir vegetatif sebelum  tanam.  Keasaman  tanah  Danda  Jaya  lebih  tinggi  dibandingkan  KP.
Belandean, sebaliknya kadar Fe tanah Danda Jaya lebih rendah dari KP. Belandean pada semua perlakuan ameliorasi lahan dan waktu pengamatan.
Keasaman    tanah  pH  tidak  terlalu  berubah  dengan  perlakuan  ameliorasi lahan,    pada  lokasi  KP.  Belandean  sebelum  tanam  menunjukkan  pH  tanah  pada
perlakuan amaliorasi lahan adalah  3.65-3.90 sedangkan kontrol 3.50.  Pada lokasi Danda  Jaya  pH  pada  perlakuan  ameliorasi  lahan  berkisar  antara      3.90-4.10,
sedangkan  perlakuan  kontrol  3.90.  Pada  lokasi  KP.  Belandean  perlakuan ameliorasi lahan menurunkan kadar Fe tanah dari 761 ppm kontrol menjadi 525-
681 ppm atau menurun 11-31, sedangkan di Danda Jaya menurunkan Fe dari 528 ppm  kontrol menjadi 428-480 ppm   atau menurun 9-19 Gambar 6.1.
91
Gambar  6.1.  Perubahan  pH  dan  Fe  sebelum  tanam  7  hari  setelah  perlakuan  ameliorasi lahan, pada akhir vegetatif dan setelah panen di KP. Belandean dan Danda
Jaya
Semakin rendahnya kadar Fe tanah pada waktu setelah panen dibandingkan pada  akhir  vegetatif  tanaman  dan  sebelum  tanam  diperkirakan  berhubungan
dengan  kondisi  genangan  air  di  lahan  pertanaman  padi.  Genangan  air  semakin berkurang sampai menjelang panen memasuki musim kemarau, sehingga kondisi
lahan berada dalam keadaan oksidatif yang berakibat semakin berkurangnya kadar besi Fe
+2
di dalam tanah.
Gejala Keracunan Besi pada Tanaman
Hasil  analisis  ragam  terhadap  skor  gejala  keracunan  besi  pada  padi  mulai umur  2  minggu  sampai  8  minggu  setelah  tanam  menunjukkan  perlakuan
ameliorasi lahan  dan genotipe padi berpengaruh nyata pada kedua lokasi, kecuali pada minggu ke-2 perlakuan ameliorasi lahan belum berpengaruh terhadap gejala
keracunan besi di lokasi Danda Jaya Tabel 6.4. Pada kedua lokasi interaksi antara ameliorasi lahan dan genotipe padi  tidak
nyata.  Gejala keracunan besi meningkat dengan meningkatnya waktu pengamatan sampai  umur  tanaman  8  minggu.  Pada  ke  dua  lokasi  penelitian  perlakuan
ameliorasi    lahan  menggunakan  bahan  organik  mampu  mengurangi  tingkat keracunan besi pada tanaman.
2.0 2.4
2.8 3.2
3.6 4.0
4.4
100 200
300 400
500 600
700 800
pH Fe
p p
m
Perlakuan ameliorasi lahan
Sebelum tanam Fe Setelah panen Fe
Akhir vegetatif Fe Sebelum tanam pH
Setelah panen pH Akhir vegetatif pH
KP. Belandean Danda Jaya
92
Tabel 6.4.  Analisis ragam pengaruh genotipe  padi  dan ameliorasi lahan terhadap gejala keracunan  besi  pada  tanaman  umur  2-8  minggu  setelah  tanam  di  KP.
Belandean dan Danda Jaya , Kalimantan Selatan, MT. I. 2011
Sumber Keragaman Parameter yang diamati
Skor keracunan Fe
Minggu-2 Skor
keracunan  Fe Minggu-4
Skor keracunan  Fe
Minggu-6 Skor
keracunan Fe Minggu-8
KP. Belandean
Ameliorasi lahanA Genotipe padi G
AG tn
tn tn
Danda Jaya
Amelioran A tn
Genotipe padi G AG
tn tn
tn tn
Ket : tn = tidak nyata,  = berpengaruh sangat nyata
Pada  umur  tanaman  2    minggu  gejala  keracunan  besi  pada  lokasi  Danda Jaya lebih tinggi dibandingkan lokasi KP.Belandean.  Gejala keracunan besi pada
lokasi KP. Belandean lebih tinggi dibandingkan Danda Jaya terutama  pada umur tanaman 6-8 minggu. Tabel 6.5-6.6.
Tabel 6.5.  Gejala keracunan Fe  umur 2 dan 4  minggu setelah tanam di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011
Perlakuan KP. Belandean
Danda Jaya
Skor keracunan Fe
2 minggu Skor
keracunan Fe 4 minggu
Skor keracunan Fe
2 minggu Skor
keracunanFe 4 minggu
Ameliorasi lahan
Kontrol
1.87 a 3.93 a
2.60 a 3.33 a
Salvinia sp. ditumbuhkan
1.40 b 2.53 c
2.67 a 3.00 ab
Kompos Salvinia sp.
1.53 ab 3.00 b
2.27 a 2.73 b
Kompos Jerami
1.33 b 3.13 b
2.40 a 3.20 ab
Kompos PK
1.80 a 3.00 b
2.27 a 3.07 ab
Genotipe padi
TOX4136
1.53 bc 2.87 b
2.27 b 2.80 b
Inpara-1
1.27 cd 2.33 c
173 c 2.00 c
Inpara-2
1.87 ab 3.20 b
2.07 bc 3.20 b
Inpara-4
1.07 d 2.20 c
1.80 c 2.07 c
IR 64
2.20 a 5.00 a
4.33 a 5.27 a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan dan  kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada   = 5
Pada  pengamatan  gejala  keracunan  besi  umur  tanaman  8  minggu menunjukkan  di  lokasi  KP.  Belandean  rata-rata  perlakuan  amelioran  menurunkan
93
skor keracunan besi dari 4.32 kontrol menjadi 3.06-3.40. Pada lokasi Danda Jaya perlakuan ameliorasi lahan menurunkan skor keracunan besi umur 8  minggu dari
3.42  kontrol  menjadi  2.58-2.88.  Perlakuan    Salvinia  sp.    yang  ditumbuhkan maupun  yang  dikomposkan  tidak  menunjukkan  perbedaan  dibandingkan  dengan
kompos  jerami  padi  dan  pupuk  kandang  dalam  mengendalikan  keracunan  besi. Tabel 6.6.
Pada kedua lokasi penelitian genotipe  Inpara-1 dan Inpara-4 menunjukkan gejala  keracunan  paling  rendah.    Pada  pengamatan  umur  tanaman  8  minggu  di
lokasi Danda Jaya rata-rata skor keracunan besi padi Inpara-1 1.80 dan   Inpara-4 1.60 lebih rendah dibandingkan varietas  IR 64 4.72. Pada lokasi KP.  Belandean
rata-rata  skor  keracunan  besi  Inpara-1    2.74  dan  Inpara-4      2.26  lebih  rendah dibandingkan varietas IR 64 5.54 Tabel 6.6.
Tabel  6.6.  Gejala  keracunan  Fe    umur  6  dan  8    minggu  setelah  tanam  di  KP.  Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011
Perlakuan KP. Belandean
Danda Jaya
Skor keracunan Fe
6 minggu Skor
keracunan Fe 8 minggu
Skor keracunan Fe
6 minggu Skor
keracunanFe 8 minggu
Ameliorasi lahan
Kontrol
3.87 a 4.32 a
3.00 a 3.42 a
Salvinia sp. ditumbuhkan
2.87 b 3.06 b
2.53 bc 2.68 b
Kompos Salvinia sp.
3.00 b 3.28 b
2.47 c 2.58 b
Kompos Jerami
3.13 b 3.40 b
2.60 bc 2.88 b
Kompos PK
3.40 ab 3.14 b
2.87 ab 2.72 b
Genotipe padi
TOX4136
3.40 b 3.34 b
2.73 b 3.02 b
Inpara-1
2.00 c 2.74 bc
1.90 c 1.80 c
Inpara-2
3.33 b 3.32 b
2.60 b 3.14 b
Inpara-4
2.13 c 2.26 c
1.60 c 1.60 c
IR 64
5.40 a 5.54 a
4.60 a 4.72 a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan dan  kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji DMRT pada   = 5
Gejala keracunan  besi genotipe Inpara-1 dan Inpara-4  yang lebih rendah dibandingkan  genotipe  IR  64  pada  fase  vegetatif  dan  generatif  ditunjukkan  pada
gambar berikut ini Gambar 6.2.
94
`
Gambar  6.2.  Gejala  keracunan  besi  genotipe  Inpara-4  dan  IR  64  pada  saat  pertumbuhan vegetatif kiri dan genotipe IR 64 dan Inpara-1 pada saat telah keluar malai
kanan, KP. Belandean, MT. I.
Kadar Fe dan Hara Tanaman
Hasil  analisis  jaringan  tanaman  padi  yang  diambil  pada  akhir  vegetatif menunjukkan  rata-rata  bahan  amelioran  yang  digunakan  dalam  ameliorasi  lahan
menurunkan kadar Fe dalam tanaman padi. Pada lokasi KP. Belandean ameliorasi lahan  menurunkan  kadar  Fe  dari  1298  ppm  kontrol  menjadi  759-1095  ppm  Fe,
sedangkan  pada  lokasi  Danda  Jaya  menurunkan  kadar  Fe  dari  938  ppm  kontrol menjadi 622-703 ppm Fe Gambar 6.3
Gambar  6.3.    Rata-rata  kadar  Fe  tanaman  padi  pada  perlakuan  ameliorasi  lahan  dan genotipe padi pada lokasi KP. Belandean dan Danda Jaya, MT. I. 2011
200 400
600 800
1000 1200
1400 1600
Kad ar
F e
tan aman
p p
m
KP. Belandean Danda Jaya
Amelioran Genotipe padi
Inpara 4 IR 64
IR 64 Inpara 1