1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan
keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem terumbu karang secara ekologis mempunyai fungsi sebagai tempat untuk mencari makan feeding ground, daerah
asuhan nursery ground dan daerah pemijahan spawning ground bagi organisme pendukung yang ada di ekosistem tersebut. Ekosistem terumbu karang
menjadi demikian penting karena ekosistem tersebut memiliki kenekaragaman yang tinggi sehingga dapat memberikan cadangan sumberdaya untuk beberapa
dekade Knowlton 2001. Terumbu karang juga merupakan ekosistem yang sangat berharga di bumi. Menurut perkiraan, terumbu karang menyediakan jasa
lingkungan ekonomi dan jasa senilai sekitar 375 miliar pertahun bagi jutaan manusia sebagai pelindung pantai, daerah rekreasi dan pariwisata yang terkenal
karena keindahan alamnya, dan sumber makanan, obat-obatan, sumber mata pencaharian serta pendapatan bagi manusia. Constanza et al. 1997. Namun,
terumbu karang sedang mengalami degradasi serius oleh aktivitas manusia, terutama eksploitasi berlebihan sumber daya alam, praktek penangkapan ikan
yang merusak, pembangunan pesisir dan limpasan akibat penggunaan lahan yang tidak benar.
Pada tahun 1998 World Resources Institute mengkaji dan menyimpulkan bahwa hampir 58 dari terumbu karang dunia beresiko dari dampak manusia, dan
banyak yang telah mengalami degradasi dan sulit untuk dipulihkan Bryant et al. 1998. Selain itu, kejadian pemutihan karang coral bleaching dan kematian
karang telah terjadi di seluruh dunia, terkait dengan kenaikan suhu air laut yang abnormal yang dilaporkan pada tahun 1998. Pada beberapa terumbu karang di
perairan Indo-Pasifik yang dangkal, tercatat 70 hingga 90 karang mati sebagai akibat peristiwa pemutihan terbesar yang pernah terjadi secara masal Hoegh-
Guldberg 1999. Karang keras hard coral adalah salah satu contoh peninggalan purba yang
masih hidup sampai saat ini. Kumpulan koloni ini mampu membentuk ruang yang
2 kompleks serta menciptakan berbagai tipe hunian untuk ribuan jenis ikan dan
biota lainnya. Meskipun hanya menempati area yang sangat kecil di lautan dan pesisir 1, terumbu karang bisa disejajarkan dengan hutan hujan tropis yang ada di
daratan karena keanekaragaman ha yati dan kekompleksitasan ekosistem yang dimilikinya. Dunia mengakui bahwa Indonesia adalah negara terluas yang
memiliki bentangan terumbu 1 8, terkaya keanekaragaman hayati lautnya karang keras 480 spesies, ikan 1 .650 spesies, serta penyumbang terbesar perikanan laut.
Setidaknya 85 terumbu karang Indonesia dinyatakan memiliki ancaman kerusakan yang sangat tinggi terutama karena aktivitas manusia antropogenik dan faktor
alam Burke et al. 2002. Kepulauan Seribu berada di kawasan segitiga karang coral triangle,
kawasan dengan kekayaan terumbu karang tertinggi di dunia, termasuk di antaranya Indonesia, Filipina, Papua Nugini, dan Australia Utara, membuat
daerah ini sangat kaya akan berbgai kehidupan laut. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri terumbu karang di kawasan ini mengalami berbagai ancaman
setiap harinya. Kondisi terumbu karang Kepulauan Seribu sangat memprihatinkan, terutama di pulau-pulau yang berdekatan dengan Jakarta
tutupan karang keras 5. Porsi terbesar kerusakan terumbu karang akibat ulah manusia, di antaranya penangkapan berlebih dan merusak, polusi air laut,
sampah, penambangan karang dan pasir, sedimentasi serta pembangunan pesisir. Meski kondisinya tidak sebaik tahun 1900-an, saat ini Kepulauan Seribu masih
memiliki sumber daya yang beragam berupa terumbu karang, ikan terumbu, invertebrata, mangrove, lamun, rumput laut, penyu, dan burung laut yang patut kita
jaga kelestariannya Estradivari et al. 2007. Kondisi ini yang membuat kawasan ini menjadi menarik untuk diamati dan sebagai lokasi penelitian terumbu karang. Di
perairan Kepulauan Seribu ini banyak dilakukan kegiatan rehabilitasi terumbu karang, transplantasi karang, kebun karang dan juga budidaya karang hias, yaitu di
antaranya adalah di sekitar Pulau Pari, Pulau Pramuka, dan Pulau Panggang Johan 2000; Aziz 2002; Respati 2005; Margono 2009; Nggajo 2009
Karang hias asalah salah satu sumber daya hayati di terumbu karang di Indonesia yang sudah lama dimanfaatkan sebagai komoditi perdagangan baik
untuk di pasar dalam negeri maupun untuk tujuan eskpor. Karang hias termasuk
3 satwa yang oleh CITES Konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan
satwa liar spesies terancam digolongkan ke dalam Apendiks II, dimana dalam perdagangannya harus diawasi secara ketat untuk mencegah kemungkinan
trejadinya eksploitasi yang berlebihan yang dapat mengakibatkan punahnya jenis- jenis hewan tersebut Kudus 2005. CITES memantau bahwa lebih dari 2000
spesies karang diperdagangkan di pasar dunia. Ada 70 negara pengimpor karang pada periode 1985
– 1997 yang mengimpor sebanyak 19 262 ton karang atau 34 600 000 buah dan ada 120 negara-negara pengekspor karang pada periode
tersebut. Amerika Serikat mengimpor lebih dari 56 dari berat total karang yang diperdagangan secara global, dibandingkan dengan Uni Eropa yang hanya sebesar
15. Sedangkan negara utama pengekspor karang sejak tahun 1980-an adalah Filipina, Indonesia, Taiwan, dan Cina. Secara regional, pada periode 1985
– 1997 ekspor dari kawasan Asia Tenggara menempati urutan yang lebih besar
dibandingkan dari kawasan Pasifik dan dua kali lipat lebih tinggi dari Karibia dan Samudra Hindia. Green dan Shirley 1999.
Di Indonesia, selama periode 1999-2003 karang hidup yang diperdagangkan merupakan jenis karang yang berwarna atau memiliki polip
berukuran besar yang dapat dilihat sepanjang hari, seperti Euphyllia spp. dan Goniopora
spp. yang diperoleh dari berbagai daerah di Indonesia, dengan pengiriman ekspor melalui bandara di Bali dan Jakarta. Perkembangan ekspor
karang hias di Indonesia secara umum cenderung terus meningkat setiap tahunnya bersamaan dengan semakin banyaknya jumlah negara pengimpor. Sampai tahun
2003 jumlah negara pengimpor karang hias dari Indonesia sudah mencapai 45 negara. Ekspor karang hias Indonesia tersebar ke negara-negara Eropa, Amerika
Serikat, Asia, Afrika dan Selandia Baru, dimana Amerika Serikat merupakan negara yang terus mendominasi impor karang hias Indonesia sampai 60.91 atau
409 745 buah dari 672 711 buah total ekspor karang hias dari Indonesia pada tahun 2003 Kudus 2005.
Akibat perdagangan karang dan eksploitasi berlebih tersebut, komunitas terumbu karang di dunia telah mengalami penurunan yang sangat tajam, tetapi
degradasi tebumbu karang telah meningkat dengan cepat dalam beberapa dekade terakhir Mc Clanahan 2001. Krisis ini telah membuat perkembangan pendekatan
4 konservasi terumbu karang yang baru dan lebih efektif menjadi lebih
diprioritaskan Bellwood et al. 2004. Namun, kemampuan untuk menilai dan menanggapi perubahan dalam komunitas karang terumbu dibatasi oleh taksonomi
atau penggolongan spesies dan sistematika spesies terumbu karang yang ada saat ini. Terumbu karang dalah komunitas laut yang paling beragam, dan banyak dari
spesies yang ada tetap tidak dapat dijelaskan secara tepat. Bagi beberapa kelompok, seperti Porifera dan Scleractinia, pendekatan secara tradisional yang
didasarkan pada morfologi saja telah terbukti tidak dapat diandalkan Romano dan Palumbi 1996; Lazoski et al. 2001. Di samping itu, karang memiliki kemampuan
plastisitas morfologik fenotipik yang tinggi, sehingga hal ini sering menyulitkan identifikasi Veron 1995; Todd et al. 2008.
Masalah identifikasi, sistematisasi dan taksonomi ini juga menunjukkan bias yang ekstrim dalam melakukan survei
keanekaragaman hayati dan struktur komunitas, yang membantu pengelompokan dan tahapan-tahapan hidup suatu spesies yang relatif mudah untuk identifikasi di
lapangan Mikkelsen dan Cracraft 2001. Disamping itu, keanekaragaman hayati karang sebenarnya dapat diketahui
dan dikenali bukan hanya sebatas dari ciri-ciri morfologik saja, tetapi dari karakteristik genotipik dan variasi genetik serta ekspresi genetik dari spesies
bahkan infra spesies yang kadang-kadang tidak tercermin atau terlihat secara fenotipik morfologik, sehingga sangat membantu dalam rencana pengelolaan
terumbu karang misalnya dalam melakukan transplantasi atau rehabilitasi karang yang sesuai dengan lokasi dan lingkungan yang spesifik. Menurut Hariot dan
Fisk 1998, transplantasi karang adalah suatu metode penanaman dan penumbuhan suatu koloni karnag dengan fragmentasi dimana koloni tersebut
diambil dari suatu induk koloni tertentu. Transplantasi karang merupakan salah satu alternatif upaya untuk pemulihan terumbu karang melalui pencangkokan atau
pemotongan karang hidup untuk ditanam di tempat lain atau di tempat yang karangnya telah mengalami kerusakan, bertujuan untuk pemulihan atau
pembentukan terumbu karang secara alami. Beberapa negara telah mengembangkan lebih lanjut teknologi transplantasi
karang, antara lain Amerika Serikat yang tujuannya selain untuk rehabilitasi, juga melakukan budidaya untuk memenuhi kebutuhan pasar akan karang hias Clark
5 dan Edward 1999. Yang harus diingat adalah minimalisasi kerusakan terhadap
kawasan yang lebih baik yang menjadi donor transplantasi, dan memaksimalkan kemungkinan hidup transplant pada terumbu karang yang akan dipulihkan.
Keanekaragaman genetik transplan hasil budidaya juga harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Sumber bibit karang untuk transplantasi didapatkan dari karang
yang masih hidup di terumbu, sehingga selalu ada efek samping yang timbul. Walaupun koloni utuh lebih tahan terhadap tekanan akibat transplantasi
dibandingkan dengan fragmen, pada beberapa jenis yang sensitif, 50 koloni mati dalam dua tahun. Bahkan dalam satu jenis, perubahan genotipik dapat
mengakibatkan perbedaan ketahanan terhadap transplantasi. Edwards dan Gomez 2007.
Berdasarkan penelitian transplantasi fragmen karang yang dilakukan oleh the Marine Park Center of Japan 1995 di Sekisei Lagoon dan Okinawa General
Bureau di Naha Harbor, Jepang, dari beberapa jenis karang yang ditransplantasikan yaitu Acropora formosa, Acropora nobilis, Porites cylindrica,
Pocillopora eydouxi, Montipora digitata , Gallaxea fascicularis, Seriatopora
hystrix dan Melliopora sp, diperoleh data bahwa rata-rata tingkat kelangsungan
hidup survival rate karang-karang tersebut setelah 4 tahun hanya sebesar 20. Hal ini berarti setelah dilakukan transplantasi selama 4 tahun, tidak terjadi
recovery pada terumbu karang tersebut Omori dan Fujiwara 2004. Kerusakan
atau perubahan genetik oleh hibridisasi populasi karang dan memburuknya keanekaragaman genetik komunitas karang dapat disebabkan oleh kegiatan
rehabilitasi yang tidak tepat. Transplantasi karang tidak menimbulkan masalah jika lokasinya masih dalam jarak sebar pemijahan spawning alami. Tetapi
pemindahan karang dalam jarak yang jauh dapat mengganggu karakteristik susunan genetik lokal. Jika jumlah koloni donor sangat terbatas atau kurangnya
keanekaragaman kelompok genetik genetic pool, komunitas karang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan atau suatu penyakit. Biologi molekuler,
yang saat ini sedang berkembang dapat dipertimbangkan untuk diterapkan dalam memperkirakan besarnya keanekaragaman genetik dalam komunitas karang.
Hasilnya dapat diugunakan sebagai referensi untuk menghasilkan larva di
6 laboratorium dan dalam melakukan transplantasi fragmen karang dari sumber
asalnya. Omori et al. 2004. DNA Barcoding DBC merupakan sebuah alternatif untuk metode
taksonomi tradisional yang dapat menjadi alat yang berguna untuk melakukan monitoring pengawasan perdagangan karang hias, karena jenis karang pada
tingkat spesies akan lebih mudah diidentifikasi dan ditandai dengan menggunakan DNA barkode penanda DNA yang lebih tepat dan lebih akurat dibandingkan
dengan hanya menggunakan metode identifikasi morfologi secara konvensional
.
Selain itu DBC juga menjadi alat yang berguna bagi konservasi terumbu karang. Dalam upaya melakukan konservasi karang dan atau terumbu karang perlu
diketahui karakteristik genetiknya, bukan hanya berdasarkan karakteristik morfologiknya saja. Penggunaan meluas barkode DNA sebagai alat untuk
mengidentifikasi spesies dan menilai keanekaragaman hayati baru-baru ini menarik banyak perhatian. Barkode DNA adalah urutan basa-basa pendek yang
mengkode gen Sitokrom Oksidase sub unit 1 COI Urutan basa ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies, karena setiap spesies memiliki urutan
yang unik untuk gen COI tersebut. Aspek yang menarik dari sebuah metode barkode untuk mengidentifikasi spesies-spesies karang scleractinia adalah bahwa
hal itu dapat dimanfaatkan pada setiap tahapan hidup larva, juvenil atau dewasa dan tidak dipengaruhi oleh plastisitas fenotipik tidak seperti metode morfologi
identifikasi spesies. Walaupun masih belum jelas apakah standar sistem barkode DNA yang berdasarkan COI tersebut cocok untuk mengidentifikasi semua spesies
karang scleractinia tersebut Shearer dan Coffroth 2006.
1.2. Perumusan Masalah