Tinjauan Kepustakaan Penyalahgunaan Narkotika Dan Psikotropika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Dari Perspektif Victimologi

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Penyalahgunaan

Penyalahgunaan dimaksudkan dalam penelitian ini adalah penyalahgunaan terhadap narkotika dan psikotropika. Dimana bahwa penyalahgunaan narkotika dan psikotropika ini diambil dan dipersamakan dengan pengertian penyalahgunaan narkoba seperti yang disebutkan Lutfi Braja yakni memberikan pembatasan mengenai penyalahgunaan yaitu: 14 “Pemakaian narkoba di luar indikasi medik, tanpa petunjuk atau resep dokter, dan pemakaiannya bersifat patologik menimbulkan kelainan dan menimbulkan hambatan dalam aktifitas di rumah, di sekolah, atau di kampus, tempat kerja, dan lingkungan sosial. Ketergantungan narkoba adalah kondisi yang kebanyakan diakibatkan oleh penyalahgunaan zat yang disertai dengan adanya toleransi zat dosis semakin tinggi dan gejala putus zat.” Permasalahan penyalahgunaan mengakibatkan dampak yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat dari penyalahgunaan narkotika dan psikotropika antara lain merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar dan produktifitas kerja secara drastis, sulit membedakan mana perbuatan baik dan perbuatan buruk, perubahan perilaku menjadi perilaku anti sosial perilaku maladaptif, gangguan kesehatan fisik dan mental, mempertinggi jumlah kecelakaan lalu lintas, tindak kekerasan, dan kriminalitas lainnya. 15 Dari kata penyalahgunaan menandakan bahwa Narkotika dan Psikotropika tidak selalu bermakna negatif. Dengan begitu, narkotika dan psokitropika yang digunakan dengan baik dan benar oleh dokter untuk mengobati pasiennya tidak termasuk narkoba karena kata narkoba hanya yang disalahgunakan. Di dalam 14 Mardani., Op. Cit, hal. 2. 15 Dadang Hawari., Konsep Islam Memerangi AIDS dan NAZA, Cet. XI, Yogyakarta: Dhana Bakti Priaya, 1997, hal. 153. Universitas Sumatera Utara dunia medis, narkoba diberi nama NAPZA Narkotika, Psikotropika, dan Zat Aditif Lainnya.

2. Pengertian Victimologi

Apabila hendak menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang tepat, maka cara pandang sebaiknya tidak hanya terfokus pada berbagai hal berkaitan dengan penyebab timbulnya kejahatan atau metode apa yang efektif dipergunakan dalam penanggulangan kejahatan, namun hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk dipahami adalah masalah korban kejahatan itu sendiri, yang dalam keadaan- keadaan tertentu dapat menjadi pemicu munculnya kejahatan. Pada saat berbicara tentang korban kejahatan, maka cara pandang tidak dapat dilepaskan dari viktimologi. Melalui viktimologi dapat diketahui berbagai aspek yang berkaitan dengan korban, seperti: faktor penyebab munculnya kejahatan, bagaimana seseorang dapat menjadi korban, upaya mengurangi terjadinya korban kejahatan, hak dan kewajiban korban kejahatan. Viktimologi dapat dikatakan sebagai cabang ilmu yang relatif baru jika dibandingkan dengan cabang ilmu lain, seperti sosiologi dan kriminologi. Sekalipun usianya relatif muda, namun peran viktimologi tidak lebih rendah dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu yang lain, dalam kaitan pembahasan mengenai fenomena sosial. Viktimologi, berasal dari bahasa latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologi, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial. Korban dalam lingkup viktimologi memiliki arti yang luas, Universitas Sumatera Utara karena tidak hanya terbatas pada individu yang secara nyata menderita kerugian tetapi juga kelompok, korporasi, swasta maupun pemerintah, sedangkan yang dimaksud dengan akibat penimbulan korban adalah sikap atau tindakan terhadap korban danatau pihak pelaku serta mereka yang secara langsung atau tidak terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan. 16 Pentingnya korban memperoleh perhatian utama dalam membahas kejahatan dikarenakan korban seringkali memiliki peranan yang sangat penting bagi terjadinya suatu kejahatan. Diperolehnya pemahaman yang luas dan mendalam tentang korban kejahatan, diharapkan dapat memudahkan dalam menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang pada akhirnya akan bermuara pada menurunnya kuantitas dan kualitas kejahatan. Sejalan dengan semakin berkembangnya viktimologi, sebagai cabang ilmu baru, berkembang pula berbagai rumusan tentang viktimologi. Kondisi ini hendaknya tidak dipandang sebagai pertanda tidak adanya pemahaman yang seragam mengenai ruang lingkup viktimologi, tetapi harus dipandang sebagai bukti bahwa viktimologi akan selalu berkembang sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiahstudi yang mempelajari suatu viktimisasi kriminal sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Melalui perumusan ini membawa akibat perlunya suatu pemahaman, sebagai berikut: 17 a. Sebagai suatu permasalahan manusia menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional; 16 Ibid, hal. 28. 17 Arif Gosita., “Masalah Korban Kejahatan”, Jakarta: Akademika Pressindo, 1993, hal. 40. Universitas Sumatera Utara b. Sebagai suatu hasil interaksi akibat adanya suatu interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi; c. Sebagai tindakan seseorang individu yang dipengaruhi oleh unsur struktur sosial tertentu suatu masyarakat tertentu. Pada dasarnya, perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan viktimologi, tidak dapat dipisahkan dari lahirnya pemikiran-pemikiran brilian dari Hans von Hentig, seorang ahli kriminologi pada tahun 1941 serta Mendelsohn, pada tahun 1947. Pemikiran dari kedua ahli ini sangat mempengaruhi setiap fase perkembangan viktimologi. Perkembangan viktimologi hingga sampai pada keadaan seperti sekarang tentunya tidak terjadi dengan sendirinya, namun telah mengalami berbagai perkembangan yang dapat dibagi dalam 3 tiga fase sebagai berikut: 18 a. Pada tahap pertama viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja, pada fase ini dikatakan sebagai “penal or special victimology”. b. Pada fase kedua, viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan tetapi juga meliputi korban kecelakaan. Pada fase ini disebut sebagai “general victimology”. c. Fase ketiga. Viktimologi sudah berkembang lebih luas lagi yaitu mengkaji permasalahan korban karena penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia. Fase ini dikatakan sebagai “new victimology”. Berdasarkan pengertian di atas, nampak jelas bahwa yang menjadi obyek pengkajian dari viktimologi, diantaranya: pihak-pihak mana saja yang terlibat atau mempengaruhi terjadinya suatu viktimisasi kriminal, bagaimanakah respon terhadap suatu viktimisasi kriminal, faktor penyebab terjadinya viktimisasi kriminal, bagaimanakah upaya penanggulangannya, dan sebagainya. 18 Made Darma Weda., Op. cit, hal. 200. Universitas Sumatera Utara

3. Ruang Lingkup Victimologi

Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti: peranan korban pada terjadinya kejahatan, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan pidana. 19 Selain itu, menurut Muladi viktimologi merupakan suatu studi yang bertujuan untuk: 20 1. Menganalisa berbagai aspek yang berkaitan dengan korban; 2. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi; dan 3. Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia. Menurut JE. Sahetapy ruang lingkup Viktimologi meliputi bagaimana seseorang dapat menjadi korban, yang ditentukan oleh suatu victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, 21 termasuk pula korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan penyalah gunaan kekuasan. 22 Namun, dalam perkembangannya di tahun 1985, dipelopori oleh Separovic yang mempelopori pemikiran agar Viktimologi khusus mengkaji korban karena adanya kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan dan tidak mengkaji korban karena musibah atau bencana alam, karena korban bencana alam di luar kemauan manusia out of man’s will. 23 19 Suryono Ekotama., ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama., Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspekif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2001, hal. 174. 20 Ibid., hal. 176. 21 Ibid. 22 Muladi, HAM Dalam Persepktif Sistem Peradilan Pidana, dalam: Muladi ed., Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: Refika Aditama, 2005, hal. 108. 23 Ibid., hal. 109. Universitas Sumatera Utara Kejahatan yang mengakibatkan korban sebagai objek kajian daripada viktimologi semakin luas setelah Kongres PBB Kelima di Geneva tahun 1975 Kongres Keenam Tahun 1980 di Caracas yang meminta perhatian bahwa korban kejahatan dalam cakupan viktimologi bukan hanya kejahatan konvensional seperti pemerasan, pencurian, penganiayaan dan lainnya, tetapi juga kejahatan inkonvensional, seperti terorisme, pembajakan, dan kejahatan kerah putih. 24

4. Jenis dan Penggolongan Narkotika dan Psikotropika

Dari kata penyalahgunaan narkoba menandakan bahwa narkoba tidak selalu bermakna negatif. Dengan begitu, narkotika dan psokitropika yang digunakan dengan baik dan benar oleh dokter untuk mengobati pasiennya tidak termasuk narkoba karena kata narkoba hanya yang disalahgunakan. Di dalam dunia medis, narkoba diberi nama NAPZA Narkotika, Psikotropika, dan Zat Aditif Lainnya. 25 Dalam penelitian ini, hanya dibahas tentang narkotika dan psikotropika, maka sebelumnya, dipaparkan terlebih dahulu berbagai jenis narkotika dan psikotropika sebagai berikut: a Narkotika Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun bukan sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. 26 Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ”Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan 24 Suryono Ekotama., ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama., hal. 177-178. 25 Subagyo Partodiharjo., Op. cit, hal. 11. 26 Ibid. Universitas Sumatera Utara tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini”. 27 Narkotika memiliki daya adikasi ketagihan yang sangat berat. Narkotika juga memiliki daya toleran penyesuaian dan daya habitual kebiasaan yang sangat tinggi. Ketiga sifat narkotika ini yang menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari cengkeramannya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, jenis-jenis narkotika dibagi ke dalam 3 tiga kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III. Narkotika golongan I adalah narkotika yang paling berbahaya, karena daya aditifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contohnya adalah ganja, heroin, kokain, morfin, opium, dan lain-lain. Narkotika golongan II adalah narkotika yang memiliki daya aditif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah petidin, dan turunannya, benzetidin, betametadol, dan lain-lain. Sedangkan narkotika golongan III adalah narkotika yang memiliki daya aditif ringan, tetapi bermanfaat untuk pengbatan dan penelitian. Contohnya adalah kodein, dan turunannya. 28 27 Pasal 1 Ayat 1, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 28 Subagyo Partodiharjo., Op. cit, hal. 11-12. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan cara pembuatannya, narkotika dibedakan ke dalam 3 tiga golongan juga, yaitu narkotika alami, narkotika semisintesis, dan narkotika sintesis. Dijelaskan sebagai berikut: 29 1 Narkotika alami Narkotika alami adalah narkotika yang zat aditifnya diambil dari tumbuh- tumbuhan alam. Contohnya: a. Ganja Ganja adalah tanaman perdu dengan daun menyerupai daun singkong yang tepinya bergerigi dan berbulu halus. Jumlah jari daunnya selalu ganjil yakni 5, 7, 9. Tumbuhan ini banyak tumbuh di beberapa daerah di Indonesia seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Pulau Jawa dan lain-lain. Daun ganja ini sering digunakan sebagai bumbu penyedap masakan. Bila digunakan sebagai bumbu masak, daya aditifnya rendah. Namun, tidak demikian apabila dibakar dan asapnya dihirup. Cara penyalahgunaannya adalah dikeringkan dan dicampu dengan tembakau rokok atau dijadikan rokok lalu dibakar serta dihisap. b. Haisis Hasis adalah tanaman serupa ganja yang tumbuh di Amerika Latin dan Eropa. Daun ganja, hasis, dan mariyuana juga dapat disuling dan diambil sarinya. Dalam bentuk cair, harganya sangat mahal. Gunanya adalah untuk disalahgunakan oleh pemadat-pemadat kelas tinggi. 29 Ibid, hal. 12-15. Universitas Sumatera Utara c. Koka Koka adalah tanaman perdu mirip pohon kopi. Buahnya yang matang berwarna merah seperti biji kopi. Dalam komunitas masyarakat Indian Kuno, biji koka sering digunakan untuk menambah kekuatan orang yang berperang atau berburu binatang. Koka kemudian bisa diolah menjadi kokain. d. Opium Opium adalah bunga dengan bentuk dan warna yang indah. Dari getah bunga opium dihasilkan candu opiat. Di Mesir dan daratan Cina, opium dahulu digunakan untuk mengobati beberapa penyakit, memberi kekuatan atau menghilangkan rasa sakit pada tentara yang terluka sewaktu berperang atau berburu. Opium banyak tumbuh di ”segitiga emas” antara Burma, Komboja dan Thailand, atau di daratan Cina dan ”segitiga emas” Asia Tengah, yaitu daerah antara Afganistan, Iran, dan Pakistan. 30 Dalam kalangan perdagangan Inetrnasional, ada kebiasaan keliru menamai daerah tempat penanaman opium sebagai daerah ”emas”. Diberi nama demikian karena perdagangan opiat sangat menguntungkan. Karena bahayanya yang besar, daerah seperti itu keliru jika diberi nama predikat emas. Daerah sumber produksi opiat sepantasnya disebut ”segitiga setan” atau ”segitiga iblis”. 2 Narkotika semisintesis 30 Ibid., hal. 14. Universitas Sumatera Utara Narkotika semisintesis adalah narkotika alami yang diolah dan diambil zat aktifnya intisarinya agar memiliki khasiat yang lebih kuat sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kedokteran. Contohnya: a. Morfin: dipakai dalam dunia kedokteran untuk menghilangkan rasa sakit atau pembiusan pada operasi pembedahan; b. Kodein: dipakai untuk obat penghilang batuk; c. Heroin: tidak dipakai dalam pengobatan karena daya aditifnya sangat besar dan manfaatnya secara medis belum ditemukan. Dalam perdagangan gelap, heroin diberi nama putaw atau pete atau pt. Bentuknya seperti tepun terigu yang halus putih, dan agak kotor. d. Kokain: hasil olahan dari biji koka. 3 Narkotika sintesis Narkotika sintesis adalah narkotika palsu yang dibuat dari bahan kimia. Narkotika ini digunakan untuk pembiusan dan pengobatan bagi orang yang menderita ketergantungan. Contohnya a. Petidin: untuk obat bius lokal, operasi kecil, sunat dan sebagainya; b. Methadon: untuk pengobatan pecandu narkoba; dan c. Naltrexon: untuk pengobatan pecandu narkoba. Selain untuk pembiusan, narkotika sintesis biasanya diberikan oleh dokter kepada penyalahguna narkoba untuk menghentikan kebiasaannya yang tidak kuat melawan sugesti relaps atau sakaw. Narkotika sintesis berfungsi sebagai ”pengganti sementara”. Bila sudah benar-benar bebas, Universitas Sumatera Utara asupan narkoba sintesis ini dikurangi sedikit demi sedikit sampai akhirnya berhenti total. b Psikotropika Pengertian psikotropika menurut Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika adalah “Zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku”. Pengertian Psikotropika di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tidak ditemukan. Hal tersebut sehubungan dengan ketentuan di dalam Pasal 153 huruf b, yaitu, ”Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671 yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang- Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”. Oleh karenanya dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tidak ada lagi di dalam pasal-pasalnya yang mengatur mengenai Psikotropika karena sudah dimasukkan ke dalam golongan Narkotika. Sesuai dengan pembahasan dalam penelitian ini masih berhubungan dengan Psikotropika, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika masih perlu untuk dibahas dalam penelitian ini. Menurut undang- undang tersebut, Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah Universitas Sumatera Utara maupun sintesis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku. Psikotropika ini merupakan obat yang digunakan oleh dokter untuk mngobati gangguan jiwa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, psikotropika dikelompokkan ke dalam 4 empat golongan. Golongan I yaitu psikotropika dengan daya aditif yang sangat kuat, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya saat ini. Contohnya adalah MDMA, ekstasi, LSD, dan STP. Golongan II yakni psikotropika dengan daya aditif kuat serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah amfetamin, metamfetamin, metakualon, dan sebagainya. Golongan III yakni psikotropika dengan daya adiksi sedang serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah lumibal, buprenorsina, fleenitrazepam, dan sebagainya. Golongan IV yakni psikotropika yang memiliki daya aditif ringan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah netrazepam BK, Mogadon, Dumolid, diazepam, dan lain- lain. 31 Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang dimaksud dengan pasikotopika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika dibedakan dalam golongan-golongan sebagai berikut: 31 Ibid, hal. 15. Universitas Sumatera Utara 1. Psikotropika golongan I yaitu psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya ekstasi, shabu, LSD; 2. Psikotropika golongan II yakni psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, danatau tujuan ilmu pengetahuan serta menpunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya amfetamin, metilfenidat atau ritalin; 3. Psikotropika golongan III yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi danatau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya pentobarbital, Flunitrazepam; dan 4. Psikotropika golongan IV yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi danatau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contohnya diazepam, bromazepam, Fenobarbital, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam, seperti pil BK, pil Koplo, Rohip, Dum, MG. Sedangkan kelompok dan jenis psikotropika yang sering disalahgunakan antara lain: 1. Psikostimulansia seperti amfetamin, ekstasi, dan shabu; 2. Sedatif Hipnotika obat penenang, obat tidur seperti MG, BK, DUM, Pil koplo dan lain-lain; dan Universitas Sumatera Utara 3. Halusinogenika seperti Iysergic acid dyethylamide LSD, mushroom. Berdasarkan ilmu farmakologi, psikotropika dikelompokkan ke dalam 3 tiga golongan yakni depresan, stimulan, dan halusinogen sebagai berikut: 32 1. Kelompok depresanpenekan syaraf pusatpenenangobat tidur. Contohnya adalah valium, BK, rohipnol, mogadon, dan lain-lain. Jika diminum, obat ini dapat memberikan rasa tenang, mengantuk, rasa tenteram, dan damai. Obat ini juga menghilangkan rasa takut dan gelisah. 2. Kelompok stimulanperangsang syaraf pusatanti tidur. Contohnya adalah amfetamin, ekstasi, dan shabu. Ekstasi berbentuk tablet beraneka bentuk dan warna. Amfetamin berbentuk tablet berwarna putih. Bila diminum obat ini mendatangkan rasa gembira, hilangnya rasa permusuhan, hilangnya rasa marah, ingin selalu aktif, badan terasa fit, dan tidak merasa lapar. Daya kerja otak menjadi serba cepat, namun kurang terkendali. Shabu berbentuk tepung kristal kasar berwarna putih bersih seperti garam. 3. Kelompok halusinogen. Halusinogen adalah obat zat, tanaman, makanan, yang dapat menimbulkan khayalan contohnya yaitu LSD Lysergic Acid Diethyltamide, getah tanaman kaktus, kecubung, jamur tertentu misceline, dan ganja. Bila diminum spikotropika jenis ini dapat menimbulkan khayalan tentang peristiwa-peristiwa yang mengerikan, khayalan tentang kenikmatan seks, dan sebagainya. Kenikmatan didapat oleh pemakai setelah pemakai sadar bahwa peristiwa mengerikan itu bukan kenyataan, atau karena kenikmatan- kenikmatan yang dialami, walaupun hanya khayalan. 32 Ibid, hal. 16-17. Universitas Sumatera Utara

F. Metode Penelitian