Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang Berlaku pada

BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA

NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

A. Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang Berlaku pada

Masa Penjajahan Belanda di Indonesia Tahun 1927 Sejak tahun 1909, tercatat bahwa Presiden Amerika Serikat, Theodore Roosevelt memprakarsai pembentukan Komisi Opium Internasional KOI di Sanghai, untuk mencari langkah-langkah terbaik mengatasi demam opium candu di beberapa belahan dunia. Karena pada tahun 1909, peredaran opium telah meluas di berbagai negara. Sesudah terbentuknya KOI tersebut, beberapa negara di dunia telah berkali-kali telah mengadakan pertemuan dan menyempurnakan Konvensi Opium Internasional yang intinya mengatur dan membatasi secara ketat peredaran opium. Opium hanya boleh diproduksi secara terbatas oleh pemerintahan di sebuah negara, terutama untuk kemajuan ilmu pengetahuan dengan tujuan pengobatan. Di luar dari tujuan tersebut, memproduksi opium digolongkan tindak kejahatan dan kriminalitas, dan bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam hukum Internasional. 57 Pada masa kejayaan VOC di Indonesia, candu telah menjadi bagian dari komoditi perdagangan antar pulau bahkan antar wilayah negara. Pada taraf perkembangannya, perdagangan candu mengalami berbagai regulasi yang semakin ketat, mengingat sifatnya yang dapat merusak mental maupun fisik para pemakainya dengan dibuatnya Undang-Undang Verdovende Middelen 57 M. Arief Hakim., Narkoba Bahaya dan Penanggulangannya, Bandung: Jembar, 2007, hal. 19. Universitas Sumatera Utara Ordonantie yang mulai diberlakukan pada tahun 1927. Pada masa pemerintahan Republik Indonesia pasca kemerdekaan, wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya melalui State Gaette No.419, Tahun 1949 yang diikuti berbagai peraturan lainnya pada masa pemerintah Orde Baru. Pada tahun 1927, pengaturan yang berkenaan dengan narkotika dan psikotropika yang berlaku pada masa penjajahan Belanda di Indonesia yakni Stb. 1927 Nomor 278 tentang Obat Bius. Pengaturan mengenai narkotika di Indonesia telah ada sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1927, ordonansi tersebut adalah Verdoovende Middelen Ordonantie VMO Stb. 1927 Nomor 278 jo 536. Ordonansi tersebut disahkan pada tanggal 12 Mei 1927 dan mulai berlaku di seluruh wilayah Indonesia termasuk di daerah istimewa pada tanggal 1 Januari 1928. Ordonansi ini kemudian disempurnakan dengan Lembaran Tambahan Negara tanggal 22 Juli 1927 dan tanggal 3 Februari 1928. 58 Ordonansi yang terdiri dari 29 pasal ini pada dasarnya telah cukup banyak mengatur mengenai penggunaan dan peredaran narkotika. Ordonansi ini mengatur bagaimana ekspor dan impor narkotika dapat dilakukan. Selain itu, ordonansi ini juga telah mencantumkan larangan-larangan terhadap penggunaan beberapa jenis narkotika. Dalam hal ini pelanggaran, ordonansi ini juga telah dilengkapi dengan aturan pidananya. 59 Pada awalnya dalam Stb. Nomor 278 tentang Obat Bius, tindak pidana narkotika hanya diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 25. Dalam pasal tersebut 58 OC. Kaligis., dan Soedjono Dirdjosisworo., Narkoba dan Peradilannya di Indonesia Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan, Bandung: PT. Alumni, 2002, hal. 29. 59 Soedjono D., Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia, Bandung: Karya Nusantara, 1977, hal. 10. Universitas Sumatera Utara terdapat beberapa jenis perbuatan yang dilarang beserta dengan hukuman yang diancamkannya. Dalam ordonansi tahun 1927 ini, hukuman paling berat yang dapat dijatuhkan adalah kurungan 4 empat tahun dan denda maksimal 60. 000 Gulden. Adapun uraian dari beberapa jenis tindak pidana tersebut akan dijelaskan dalam paparan di bawah ini. Kejahatan yang diatur dalam Pasal 25 tersebut, melarang perbuatan impor, ekspor, memiliki, menyimpan, atau dalam persediaan, mengangkut, menggunakan, membuat, mengolah secara pabrik, pengolahan, menjual, dan menyerahkan obat-obat bius, papaver, dan indische hennep, juga impor dan ekspor daun coca bertentangan dengan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Dalam Pasal 2 Nomor 3 huruf a ini, diatur mengenai ketentuan-ketentuan obat bius itu sendiri, yaitu: 1. Tidak melebihi dari 100 gram candu kasar, olahan atau medis; 2. Obat-obat bius lain daripada yang disebut di bawah 1 gram sampai jumlahnya tidak melebihi dari 10 gram; dan 3. Papaver, indische hennep, dan daun coca sampai jumlahnya tidak melebihi dari 10 kilogram. Dihukum dengan hukuman kurungan maksimal 3 tiga bulan atau hukuman denda maksimal 1000 Gulden. Segala tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja, menurut ordonansi obat bius, dihukum dengan hukuman kurungan maksimal 4 empat tahun dan hukuman denda maksimal 60.000 Gulden. Jika jumlah dengan mana pelanggaran tersebut dilakukan, melebihi dari 30 kilogram candu kasar, olahan atau medis, 3 kilogram obat-obat bius lain atau 3.000 kilogram papaver, indische hennep atau daun coca, hukuman denda Universitas Sumatera Utara dinaikkan dengan maksimal 2.000 Gulden untuk tiap kilogram candu kasar, olahan atau medis, tiap 100 gram obat-obat bius lain dan tiap 100 kilogram papaver, indische hennep atau daun coca melebihi jumlah yang sudah ditentukan sebelumnya. Percobaan suatu pelanggaran candu, bila maksud dari pelaku terlibat pada permulaan pelaksanaan ini hanya akibat dari keadaan, tidak bergantung kepada kemauannya, tidak selesai, maka dihukum maksimal sebanyak 23 hukuman pokok, yang diancam terhadap pelanggaran tersebut, sedangkan mengenai penyitaan terhadap percobaan tersebut, berlaku seperti terhadap pelanggarannya sendiri.

B. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika