(Undefined)

(1)

1900-1942

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Disusun oleh:

Muhammad Haryono

NIM: 1110022000033

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

L

Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar strata I di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayanrllatr Jakarta.

Ciputat,4 Maret 2015


(3)

1900-1942

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh:

Muhammad Haryono

NIM:

1110022000033

JURUSAN SEJARAH DAN

KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS

ADAB DAN

HUMANIORA

UNIVERSITAS

ISLAM

NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436H.t201s M.

Pembimbing

I,

pembimbing II,

v

Dr. H. Abd. Wahid Hasyim.

M.A&

nrr.

H.

.,#h*

sut"h.

Ma


(4)

SOSIAL-KEAGAMAAN DI BETAWT 1900-1942 telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayitullah Jakarta padi

4 Maret 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat mempeioleh

gelar Sarjana Humaniora (s.Hum) pada program Studi Sejarali dan Kebudayaan Islam.

Nurhasan. M.A

NIP: 19690724 19970

I 001

Prof. Dr. M. Dien Madjid

NIP: 19490706 197109 I 001

Pembimbing I,

Sidang Munaqasyah

Anggota,

Jakart4 4 Maret 2015

Sekretaris Merangkap Anggota,

Penguji II,

Dr. Halid. M.Ag

NiP: 19721229 200003

I

002

Dr. H. Abd. Wahid Hasvim. M.Ag

NIP:19560817 198603 1 006

Pembimbing II,

Drs. H. Azhpr Saleh. M.A

NIP: 19581012 199203

I

004


(5)

i

ABSTRAK

Muhammad Haryono

Peranan Komunitas Arab Dalam Bidang Sosial-Keagamaan di Betawi 1900-1942

Penelitian ini membahas peranan komunitas Arab dalam bidang sosial-keagamaan di Betawi 1900-1942. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analisis dengan pendekatan sosial-keagamaan. Dalam pembahasan dipaparkan mengenai betapa besarnya peranan komunitas Arab-Hadhrami bagi masyarakat Betawi, tidak hanya terkenal sejak dahulu keahliannya dalam bidang politik dan perdagangan, namun juga dalam bidang sosial-keagamaan. Wujud nyata dari peranan yang dimainkan oleh orang-orang Arab tersebut terlihat sekali ketika memasuki awal abad XX, yakni dengan didirikannya sebuah organisasi modern yang bergerak di bidang sosial-keagamaan yang bernama Jamiat Kheir. Organisasi ini terkenal bukan saja karena keberhasilannya mendirikan sekolah-sekolah modern dan melahirkan tokoh-tokoh Islam penting, tetapi juga karena kegiatan sosial-keagamaannya yang diwujudkan dalam bentuk pendirian beberapa panti asuhan, Islamic center, majelis taklim, percetakan dan juga fasilitas umum seperti; perpustakaan, masjid, dan rumah sakit. Kegiatan itu pun masih tetap berlangsung hingga kini dalam program kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh ar-Rabithah al-Alawiyyah. Fakta ini cukup menjadi suatu bantahan atas pernyataan seorang tokoh Orientalis Barat yakni, L.W.C Van den Berg yang kemudian diikuti oleh kalangan orientalis lainnya seperti K.A Steenbrink dan C. Snouck Hurgronje, yang menyatakan bahwa motivasi utama orang-orang Arab datang ke Nusantara hanyalah untuk berdagang dan mencari keuntungan materi semata. Oleh karena itu, tujuan penilitian ini adalah untuk membuktikan bahwa tidak semua orang-orang Arab yang datang ke Nusantara khususnya di Betawi, bertujuan hanya untuk berdagang dan mencari keuntungan materi semata. Adapun temuan dalam penelitian ini adalah bahwa aktivitas berdagang dan berdakwah dalam masyarakat Arab, keduanya sering menjadi bagian intergral dalam kehidupan mereka. Meskipun begitu tidak dapat dinafikan ada beberapa kalangan dari masyarakat Arab yang memang memiliki tujuan demikian, terlebih-lebih dari kalangan Qabili yang merupakan kelompok mayoritas dalam masyarakat Arab di Betawi sejak terjadi migrasi besar-besaran pada akhir abad ke-19 M.

Kata kunci: Arab-Hadhrami, Betawi, Jamiat Kheir, ar-Rabithah al-Alawiyyah, L.W.C Van den Berg.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Dengan Menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah banyak memberikan limpahan rahmat dan karunia_Nya serta izin-Nya, sehingga penulis mampu melaksanakan penelitian dan menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang senantiasa giat menjalankan sunnah-sunnahnya.

Melalui proses yang panjang dan perjuangan yang tidak mudah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini dengan semestinya. Dalam penulisan skripsi inipun, tak luput dari kesalahan dan rasa ketidakpuasan yang akan terus menggema, namun dengan setitik harapan semoga karya yang sederhana ini dapat memberikan sumbangsih bagi cakrawala pengetahuan dan senantiasa berkembang, maka karya ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.

Bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak serta kritikan yang sangat membangun dalam penyelesaian tugas akhir ini, maka dalam kesempatan kali ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora.

2. Nurhasan, MA selaku ketua jurusan SKI dan Solikatus Sa’diyah, M.Pd selaku sekretaris jurusan SKI. Tak lupa ucapan terima kasih juga kepada ibu Awalia Rahma selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan dan motivasi kepada penulis.


(7)

iii

3. Dr. Abdul Wahid Hasyim, MA dan Drs. Azhar Saleh, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang tiada henti dan tiada bosan memberikan arahan dan masukkan kepada penulis hingga mampu menyelesaikan skripsi ini.

4. Para petugas Perpustakaan Utama, Adab dan UI (Universitas Indonesia) yang telah memberikan sumbangsih kepada penulis selama mencari literatur.

5. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada lembaga Rabithah Alawiyyah dan Panti Asuhan Daarul Aitam yang telah memberikan informasi dan sumber-sumber yang berkaitan dengan judul skripsi penulis. Tak lupa pula ucapan terima kasih dan hormat penulis kepada Bapak Ir. Ali Abu Bakar Shahab selaku pimpinan di lembaga Rabithah Alawiyyah dan Panti Asuhan Daarul Aitam yang telah memberikan informasi dan banyak memberikan sumber-sumber referensi penting kepada penulis yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

6. Ucapan terima kasih kepada kepala sekolah dan Petugas Perpustakaan Jamiat Kheir yang telah memberikan informasi dan sumber-sumber yang berkaitan dengan judul skripsi penulis.

7. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kantor redaksi Republika, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), LIPI, EFEO dan PERPUSNAS yang telah memberikan sumbangsih kepada penulis selama mencari literatur.

8. Ayahanda Askuri, Ibunda Kuswati dan adik-adikku tersayang yang telah memberikan kasih sayangnya, do’anya dan motivasinya yang tiada henti-hentinya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 9. Para Sahabat dan teman-teman seperjuangan SKI angkatan 2010 yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan dorongan dan Motivasi dalam menyelesaikan skrpsi ini.


(8)

mendapatkan pahala berlipat ganda. Serta dilimpahkan segala keberkahan dan kenikmatan atas bantuan dan perhatian yang telah di berikan kepada penulis.

selain

itu

juga

semoga seluruh aktifitas yang

kita

kerjakan diberi

kemudahan oleh Allah

swr.

Janganlah pernah merasa puas dengan apa yang

telah diraih hari ini, songsong masa depan sejak dini adalah langkah terbaik dan semoga apa yang telah dikerjakan mendapat nilai ibadah di sisi-Nya.

Jakarta,4 Maret 2015

Mu

Penulis

lV

SW

hammad Haryono


(9)

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK .………... i

KATA PENGANTAR …..……….... ii

DAFTAR ISI ….………. v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..……….……….. 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ..………... .10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………..………... 12

D. Metode Penelitian ………..………... 12

E. Tinjauan Pustaka ………..………. 20

F. Sistematika Penulisan ………..……….. 23

BAB II KONDISI GEOGRAFIS BETAWI A. Betawi 1900-1942 ……….…….…... 24

B. Kehidupan Sosial-Keagamaan Masyarakat Betawi...… 27

BAB III ORANG-ORANG ARAB DI BETAWI 1900-1942 A. Kedatangan Orang-Orang Arab di Betawi ………....…….….. 32

B. Persebaran Orang-Orang Arab di Betawi ………. 36

C. Terbentuknya Komunitas Arab di Betawi ……….... 43

BAB IV PERANAN ORANG-ORANG ARAB DI BETAWI 1900-1942 A. Dalam Bidang Sosial ………... 47


(10)

vi

B. Dalam Bidang Keagamaan ………... 51

C. Respon Pemerintah Belanda Terhadap Peran Komunitas Arab di Betawi ….………... 56

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ………... 61

B. Saran-Saran ………..………... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64


(11)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Wilayah kepulauan Indonesia merupakan kawasan yang penting dan strategis, terutama jika dilihat dari aspek ekonomi. Sejarah mencatat, kepulauan Indonesia merupakan daerah yang terkenal sebagai penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Hal tersebut membuat banyak pedagang dari berbagai penjuru dunia datang ke Indonesia untuk membeli rempah-rempah yang akan dijual kembali ke daerah asal mereka. Selain berdagang, adapula para pedagang tersebut berkeinginan untuk mengenalkan agama yang dibawanya kepada penduduk setempat, tanpa terkecuali para pedagang muslim yang berasal dari Arab, Persia, dan Gujarat. Namun sulit untuk menentukan siapa yang pertama kali mengenalkan agama Islam di Indonesia dan juga kapan agama Islam itu pertama kali diperkenalkan.

Menurut pendapat sebagian kalangan orientalis Barat seperti; Pijnappel, Snouck Hurgronje, J.P Moquette, Williem Winstedt, dan S.Q Fatimi, termasuk seorang sejarawan Indonesia yang mendukung Teori Persia yakni, P.A Hoesein Djajadiningrat, bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII M dan yang pertama kali menyiarkannya ialah orang-orang Persia dan India. Pernyataan mereka ini didasarkan pada kesamaan batu nisan makam di Pasai dengan di Gujarat, pesisir Selatan India dan juga kesamaan kebudayaan Syi’ah yang


(12)

menurutnya masih meninggalkan jejaknya di Sumatera dan Jawa.1 Akan tetapi menurut para ahli sejarah dari kaum muslimin, khususnya kaum intlektual muslim di Indonesia, seperti; Azyumardi Azra, Hamka dan Uka Tjandrasasmita, keterangan tersebut sepertinya tidak dapat dibenarkan dan bahkan kuat kemungkinan bahwa hal itu memang sengaja dipalsukan untuk tujuan-tujuan politik penjajahan.2

Azyumardi Azra dalam bukunya “Islam Nusantara” menyatakan bahwa,

“…Islam di Nusantara dibawa langsung dari Tanah Arab pada Abad ke-VII yang diperkenalkan langsung oleh para guru atau juru dakwah dan orang yang pertama kali masuk Islam adalah para penguasa…”3 Begitupula Uka Tjandrasasmita dalam bukunya “Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia” ia menduga bahwa, “…Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7 dan ke-8. Pada

1

Nur Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 32-38.

2

Penulis sependapat dengan ketiga Tokoh tsb. Jika pernyataan sebagian orang Barat bahwa, Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII dibawa oleh orang India dan Persia dengan didasarkan pada asumsi kesamaan batu Nisan makam. lantas, apakah pemakainya sudah pasti orang India? Artinya batu Nisan makam boleh saja di datangkan dari India, tetapi belum pasti pemakainya orang India pula, bisa saja di pesan oleh orang lain dari luar India. Adapun pernyataan yang didasarkan pada asumsi kesamaan kebudayaan Syi’ah seperti peringatan Tabut/hari Asyura dibeberapa daerah di Indonesia belakangan ini, Lantas, apakah para pengamalnya sudah pasti mayoritas menganut madzhab Syi’ah? Penulis akui mengenai madzhab Syi’ah pernah masuk dibeberapa wilayah di Nusantara khususnya di Aceh, memang ada buktinya dalam sejarah Indonesia namun, tidak ada kepastian bahwa para pembawa tradisi kebudayaan Syi’ah itu juga mayoritas menganut madzhab Syi’ah. Sebab, dibeberapa daerah di Indonesia kelompok yang menamakan diri kaum Alawiyyin (yang bernasab pada Ahmad al-Muhajir bin Isa) asal Hadramaut yang mayoritas bermadzhab Syafi’i, sering pula melakukan tradisi Syi’ah seperti peringatan hari Asyura atau 10 Muharram namun, dengan bentuk ritual yang berbeda. Hal tersebut dilakukan karena Hasan dan Husein selama ini mereka akui sebagai leluhur mereka.

Oleh karena itu, pendapat masuknya Islam ke Indonesia mulai abad XIII M, tentu tidak dapat diterima begitu saja, mengingat orang-orang Islam dari Arab, Persia, dan India sudah banyak berhubungan dengan orang-orang di Asia Tenggara dan Asia Timur jauh sebelum abad XIII yakni, pada Abad VII dan Abad VIII seperti yang telah dikemukan di atas oleh Uka Tjandrasasmita. Karena itu lebih tepat abad XIII M dikatakan sebagai masa awal berdirinya kerjaaan yang bercorak Islam, sekaligus menandai perkembangan Islam di Nusantara.

3

Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002), h. 31.


(13)

abad ini, dimungkinkan orang-orang Islam dari Arab, Persia, dan India sudah banyak berhubungan dengan orang-orang di Asia Tenggara dan Asia Timur…”4

Pernyataan demikian semakin memperkuat apa yang dinyatakan sebelumnya oleh Hamka dalam seminar “Sejarah Masuknya Agama Islam di Indonesia” yang diselenggarakan pada 17-20 Maret 1963 di Medan. Ia telah menyatakan sekaligus menyimpulkan bahwa, “…Islam masuk untuk pertama kalinya ke Indonesia pada abad pertama Hijriah langsung dari Negeri Arab dan bahwa daerah pertama yang didatangi ialah pesisir Barat Sumatera, tempat terbentuknya masyarakat Islam serta kerjaan Islam pertama…”5

Terlepas dari perdebatan di atas, pada abad-abad tersebut sangat memungkinkan kawasan-kawasan pesisir pantai di Nusantara telah ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang muslim baik itu dari Arab, Persia maupun dari India dan mereka telah membentuk pemukiman-pemukiman khusus di kawasan tersebut. Hal ini sudah menjadi suatu hal yang biasa, lazim dilakukan oleh para pedagang asing apabila datang ke tempat-tempat perdagangan yang berada disekitar kawasan Nusantara, mereka tidak segera kembali ke tempat asal mereka, disamping karena menunggu barang dagangannya habis dan dapat membawa barang dagangan baru penduduk setempat, juga menunggu waktu pelayaran kembali yang bergantung pada musim. Hal ini yang pada akhirnya memaksa mereka untuk bertempat tinggal berbulan-bulan di tanah perantauan.

Selama tinggal diperantauan mereka saling berinteraksi dengan penduduk setempat, tidak jarang pula penduduk setempat khususnya kaum bangsawan atau

4

Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia

(Kudus: Menara Kudus, 2000), h. 17.

5

A. Hasjmy dan Hussein Azmi, Sejarah Masuk dan Berkembanganya Islam di Indonesia,


(14)

raja-raja berhasrat menikahkan putri-putrinya kepada para pedagang tersebut. khususnya para pedagang Arab yang kaya-raya dan memiliki strata sosial yang tinggi seperti kalangan Sayyid. Akibat perkawinan tersebut, tidak jarang pula kemudian ada yang diangkat dalam susunan birokrasi kerajaan, bahkan diangkat sebagai seorang raja. Hal ini tentunya akan memunculkan sebuah kekuatan politik baru di Kepulauan Nusantara. Oleh karena itu, dalam perkembangan selanjutnya sekitar abad ke-13 M hingga abad ke-16 M, berdirilah beberapa Kerajaan besar bercorak Islam di Nusantara, yang berdirinya pun hampir bersamaan, diawali dengan berdirinya Kerajaan Islam di Sumatera yakni; Pasai (1267-1521), Aceh Darussalam (1496-1903), Malaka (1402-1511), lalu menyusul di Pulau Jawa berdiri kerajaan Demak (1475-1548), Cirebon (1552-1677), Banten (1524-1813), Pajang (1568-1618), Mataram (1586-1755), di Maluku berdiri kerajaan Ternate (1257-sekarang), Tidore (1110-1947), Jailolo (1495-1805), Bacan (1284-1805), di Sulawesi berdiri kerajaan Buton (1332-1911) dan Gowa (abad 16-1667), di Kalimantan berdiri kerajaan Banjar (1526-1905).6

Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam, tentunya hubungan perdagangan dengan kaum muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak, yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman Selatan. Para perantau Arab-Hadramaut ini mulai datang secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad ke-18 M, tetapi mereka mulai banyak menetap di pulau Jawa setelah tahun 1820 M dan

6


(15)

koloni mereka di bagian Timur Nusantara baru tiba pada tahun 1870 M.7 Menurut statistik tahun 1885 M tercatat jumlah imigran Arab yang menetap di Indonesia mencapai 2.478 Jiwa8. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut.

Perjalanan orang Hadramaut ke Nusantara awalnya dilakukan dengan menumpang kapal kayu. Mula-mula mereka harus ke pelabuhan al-Mukalla atau al-Syihr, berlayar ke Malabar di India Selatan, dari sana ke Srilangka, lalu ke Aceh atau Singapura, kemudian menyebar ke Kepulauan Nusantara lainnya. Oleh karenanya, perjalanan mereka untuk sampai ke Nusantara bisa memakan waktu berbulan-bulan. Namun, sekitar tahun 1870-an, ketika telah ada jalur lalu lintas kapal uap dari Eropa ke Timur jauh, mereka sebagian lebih memilih menaiki kapal uap tersebut dan langsung menuju ke Kepulauan Nusantara ini dengan mudah dan lebih cepat, walaupun mereka harus membayar lebih mahal.9

Kaum perantau ini meskipun tanpa banyak pengetahuan dan keterampilan, mereka dapat hidup wajar dan cepat maju.10 Sekitar abad XIX M, muncul orang-orang Hadramaut sebagai pedagang sukses di Palembang dan berbagai negeri pelabuhan di Utara pulau Jawa.11 Di Jawa pada umumnya mereka mempunyai pemimpin dari kalangan mereka sendiri yang dikenal dengan sebutan kepala koloni, tanpa terkecuali juga di Betawi. Komunitas Arab di Betawi pada mulanya hanya bertempat tinggal pada wilayah khusus12 yakni, Pekojan dan kebebasan

7

L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien, diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jilid III ( Jakarta: INIS, 1989), h. 72.

8

Ibid., h. 68-70.

9

Ibid., h. 80.

10

Ibid., h. 80.

11

ANRI: Staadsblad van Nederlandsch-Indie 1816 nomer 47.

12

M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h. 121.


(16)

bergerak (aktivitas) mereka pun awalnya hanya terkugkung dalam batas-batas tertentu, ini karena kebijakan dari pemerintah kolonial yang sedang berkuasa pada waktu itu yakni, dengan membagi masyarakat Betawi berdasarkan ras atau bangsanya (Wijken Stelsel) di tempat-tempat tertentu dan juga kewajiban membawa surat jalan apabila hendak berpergian (Passen Stelsel).13 Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya ketika akan memasuki awal abad ke-20 M, mereka baru bisa bertebaran ke wilayah-wilayah lainnya yang berada di Betawi seperti; Krukut, Tanah Abang, Petamburan, Kwitang, Jatinegara, Condet dan sebagainya.

Kemudian pada tahun 1901 M, penjajah Belanda menerapkan apa yang disebut dengan kebijakan Etis, dimana pemerintah kolonial memiliki tugas untuk memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia di berbagai bidang salah satunya yang terpenting adalah di bidang pendidikan. Maka berdirilah sekolah-sekolah modern yang didirikan baik untuk kaum bangsawan ataupun orang-orang pribumi. Namun, banyak kalangan Arab dan muslim pribumi enggan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Belanda. Dalam situasi tekanan kolonial itulah, seorang tokoh alim ulama, Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab dengan didukung pemuda Arab lainnya, berinisiatif mendirikan sebuah organisasi Modern yang bergerak di bidang keagamaan, sosial dan pendidikan yang bernama Jamiat Kheir, tahun 1901 M.14 Namun, organisasi ini baru mendapat pengakuan secara hukum dari pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1905 M setelah melalui proses negoisasi yang cukup panjang.

13

Ibid., h. 142.

14

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, Cet.8, 1996), h. 68.


(17)

Setahun kemudian (tahun.1906 M) diajukan kembali permohonan, kali ini mengajukan permohonan untuk membangun madrasah dan gedung pertemuan kepada pemerintah Hindia-Belanda, permintaan itu pun dikabulkan. Maka dalam bidang pendidikan berdirilah perguruan Islam Jamiat Kheir.15 Bukan hanya mengajarkan agama, lembaga ini juga memberikan pendidikan umum. Disamping itu, organisasi ini juga mengadakan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan diantaranya; dengan mendirikan beberapa panti asuhan, Islamic center, perpustakaan, masjid, majelis taklim, percetakan, rumah sakit, dll. Dengan begitu kegiatan organisasi ini akhirnya menjadi meluas dan organisasi ini pun cepat dikenal oleh masyarakat luas, bukan saja karena kegiatan sosial-keagamaannya, juga karena organisasi ini banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam penting seperti; KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H Samanhudi (pendiri dan tokoh Syarekat Dagang Islam/SDI), H Agus Salim dan beberapa tokoh perintis kemerdekaan yang juga merupakan anggota atau setidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiat Kheir.16 Data tersebut membuktikan, bahwa organisasi ini terbuka untuk setiap muslim tanpa perbedaan asal usul, tetapi mayoritas anggotanya adalah orang-orang Arab.

Pada tahun 1911 M, Jamiat Kheir mengundang tiga sarjana muslim terkemuka dari Arab untuk mengajar di madrasah yang didirikannya. Mereka diantaranya adalah Syaikh Muhammad Thaib dari Maroko, Syaikh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah dan yang terakhir, Syaikh Ahmad Soorkati dari Sudan. Mereka resmi bergabung dengan organisasi Jamiat Kheir pada bulan Oktober

15

M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi, h. 143.

16

Hamid al-Gadri, Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia


(18)

1911 M.17 Akan tetapi, dikemudian hari mereka berselisih paham dengan anggota lain yang masih merupakan anggota Jamiat Kheir yakni, dengan kalangan Sayyid. Permasalahan mereka mengenai pengunaan gelar Sayyid di depan nama dan

pernikahan Kafa’ah (Kesetaraan Nasab) Syarifah.18

Kalangan Sayyid menganggap hanya mereka yang berhak menggenakan gelar tersebut di depan namanya dan Syarifah hanya boleh menikah dengan kalangan Sayyid. Adapun dari kalangan Syaikh menganggap bahwa, setiap orang berhak menggunakan gelar Sayyid di depan namanya, karena menurutnya secara harfiah kata Sayyid berarti tuan, yang digunakan sebagai panggilan penghormatan dan Syarifah boleh menikah dengan yang bukan Sayyid, karena dalam Islam pada dasarnya semua manusia itu sama di hadapan Tuhan, yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya hanyalah tingkat keimanan dan ketaqwaannya.

Akibatnya pada tahun 1914 M, Syaikh Ahmad Surkati memilih meninggalkan al-Kheir, lalu menbentuk organisasi baru yang bernama Jam’iyyat al-Ishlah wa Irsyad al-Arabiyah19 dan baru disahkan kemudian oleh pemerintah Hindia-Belanda Pada Tahun 1915 M. Kemudian, muncul berbagai inisiatif untuk mempersatukannya kembali dari berbagai kalangan. Bahkan Raja Arab Saudi, Abdul Aziz Ibn Saud dan juga ulama sekaligus penulis Arab terkenal, Amir Syakib Arselan pernah ikut turun tangan untuk mempersatukannya kembali, tetapi semuanya gagal.20 Kegagalan ini yang kemudian dinilai oleh Hamid al-Gadri21

17

M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi, h. 144.

18

Ibid., h. 144.

19

Ahmad Ibrahim Abushouk, Al-Man¯ar and the Hadhramı Elite in the Malay -Indonesian World: Challenge and Respons, (United Kingdom: Journal Of The Royal Asiatic Society, 2007), h. 315.

20

M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi, h. 162.

21

Hamid al-Gadri, Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia, h. 115.


(19)

tidak mustahil ada kaitannya dengan politik kolonial Belanda yang selalu mencoba mengurangi pengaruh Arab (Islam) di Indonesia.22

Pertikaian ini baru dapat teratasi ketika didirikanya sebuah organisasi yang bernama Persatuan Arab Indonesia (PAI) pada Tahun 1934 M, yang digagas oleh A.R Baswedan setelah melalui negoisasi yang panjang dengan kedua kelompok tersebut.23 Organisasi ini bukan saja berhasil mempersatukan kembali kedua kelompok tersebut, namun juga telah memberi kesadaran kepada peranakan Arab akan kedudukannya ketika itu sebagai orang Indonesia yang memiliki cita-cita ideal sama seperti masyarakat Indonesia pada umumnya yakni, kemerdekaan Indonesia, walaupun kenyataannya bahwa negeri Hadramaut tetap mereka akui sebagai tanah nenek moyang mereka. Oleh karenanya pada tahun 1940 M, PAI merubah diri menjadi sebuah partai politik yakni, Partai Arab Indonesia dan pada tahun 1941 M, PAI masuk menjadi anggota GAPPI (Gabungan Partai-Partai Politik Indonesia) yang menuntut Indonesia berparlemen.24

Melihat pemaparan diatas begitu menarik sekali, tidak dapat dinafikan mengingat betapa besarnya usaha dan peranan komunitas Arab-Hadhrami bagi bangsa Indonesia, tidak hanya dalam bidang politik dan perdagangan saja, namun juga dalam bidang sosial-keagamaan seperti yang telah jelaskan di atas. meskipun

22

Penulis sependapat dengan Hamid al-Gadri. Asumsi Penulis, ada kemungkinan pemerintah kolonial Belanda bermain dibalik peristiwa ini dengan strategi politiknya yakni Devide et Impera. Alasan pertama, pemerintah kolonial Belanda begitu cepatnya mengesahkan berdirinya organisasi al-Irsyad, tidak seperti Jamiat Kheir yang mendapatkan pengesahan setelah melalui proses negoisasi yang cukup panjang dengan pemerintah kolonial Belanda (1901-1905). Alasan

kedua, pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1933 pernah mengabaikan permintaan al-Irsyad tentang keberatan terhadap pengunaan gelar Sayyid bagi kalangan tertentu, dalam hal ini kaum Alawi. Penulis menduga, ini sengaja dilakukan agar perselisihan antara kedua golongan tersebut semakin meluas dan tentunya, ini akan menimbulkan citra negatif di kalangan masyarakat pribumi. Namun, upaya pemerintah kolonial Belanda untuk memisahkan orang Arab dari masyarakat Indonesia dapat digagalkan dengan didirikannya organisasi PAI (Persatuan Arab Indonesia).

23

M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi, h. 163-165.

24


(20)

singkat, tetapi setidaknya ini cukup membuktikan bahwa Hijrahnya mereka sejak dahulu dari Hadramaut ke tempat yang jaraknya ribuan Mil dengan menyeberangi lautan tidaklah bertujuan kecuali, untuk menyiarkan agama Islam dan membantu umat Islam Indonesia terlepas dari belenggu para penjajah.

Lalu mengapa sebagian kalangan orientalis Barat seperti C. Snouck Hurgronje, K.A. Steenbrink, dan L.W.C Van den Berg. Mereka beranggapan bahwa, motivasi utama orang-orang Arab-Hadhrami hanyalah pencarian harta semata atau hanya sekadar berdagang.25 Kalau pun ada di antara mereka yang memegang posisi keagamaan sebagai qadi, imam, ataupun Da’i itu hanyalah untuk mengejar imbalan keuangan yang tidak bermotifkan agama.26

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dengan melihat latar belakang masalah di atas, maka penulis perlu membatasi pembahasan dalam penelitian ini, agar pembahasan tidak melebar sehingga dapat diperoleh hasil penelitian yang maksimal. Oleh sebab itu, mengingat mayoritas para imigran maupun peranakan Arab yang berada di Betawi adalah berasal dari Negeri Hadramaut dan juga mereka yang paling banyak memiliki peran di Nusantara khususnya di Tanah Betawi, dengan demikian

25

Menurut Asumsi penulis, saya kira hal tersebut tidak terlepas dari kedudukan mereka sebagai pegawai pemerintah kolonial, dimana tugas mereka adalah berusaha menghilangkan pengaruh Arab (Islam) dari masyarakat pribumi guna mempertahankan jajahannya di bumi Nusantara. Selain itu penulis juga menduga kenapa mereka berpandangan demikian, hal ini karena kurangnya pengetahuan mereka tentang konsep dagang Islam, serta latar belakang budaya dan mentalitas bangsa Arab, sehingga mereka sulit untuk menditeksi misi yang tersirat di balik fenomena yang tampak dihadapan mereka. Sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh Pak Alwi Shahab dalam bukunya yang berjudul “Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama” (Bandung: Mizan, 1998) h. 323-324, maupun artikel-artikel yang pernah ditulisnyadi dalam media massa, seperti yang terdapat dalam koran harian Republika, yang diterbitkan pada hari Jum’at, 22 September 1995. h. 8. Menurutnya, bahwa kekeliruan Van den Berg, dkk dalam memahami kehidupan orang-orang Arab disebabkan oleh 3 faktor: 1) kurangnya pengetahuan tentang konsep dagang Islam. 2) latar belakang budaya 3) dan mentalitas bangsa Arab.

26

Azumardi Azra, Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora, Studia Islamika, Vol.2, No. 2, (Jakarta: I.A.I.N. Syarif Hidayatullah, 1995), h. 8.


(21)

pembahasan dalam penelitian ini hanya terfokus pada peranan komunitas Arab-Hadhrami di Betawi dan peranannya pun lebih di fokuskan dalam bidang sosial-keagamaan. Meskipun ada kemungkinan di dalamnya akan bersentuhan dengan aspek-aspek lainnya, namun hal tersebut setidaknya hanyalah tambahan atau sebagai pelengkap saja di dalam penulisan skripsi ini.

Adapun untuk batasan waktunya, penulis mengambil waktu tahun 1900-1942. Karena pada tahun-tahun tersebut penulis melihat banyak sekali peranan serta kontribusi nyata yang diperlihatkan oleh komunitas Arab-Hadhrami di Indonesia, khususnya di Betawi. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada tahun tersebut merupakan tahun kebangkitan orang-orang Hadhrami di Indonesia. hal ini sejalan dengan apa yang diutarakan oleh beberapa Tokoh penulis sejarah seperti; Natalie Mobini Kesheh (penulis buku “Hadhrami Awakening”), Deliar Noer

(penulis buku “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942”), dan G.F Pijper (penulis buku “Studien over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia

1900-1950”) bahwa, awal abad XX merupakan awal tahun kebangkitan orang-orang Hadhrami di Indonesia.

2. Rumusan Masalah

Dari pembatasan tersebut, maka permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi sosial-keagaamaan di Betawi pada tahun 1900-1942? 2. Bagaimana peranan yang dimainkan komunitas Arab dalam bidang sosial-keagamaan pada tahun 1900-1942?

3. Bagaimana respon pemerintah Belanda terhadap peranan yang dimainkan oleh komunitas Arab di Betawi?


(22)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Penulis ingin mengetahui bagaimana kondisi sosial-keagamaan di Betawi pada tahun 1900-1942.

2. Penulis ingin lebih mengetahui bagaimana peranan apa sajakah yang dimainkan oleh komunitas Arab pada tahun 1900-1942, serta pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat Betawi.

3. Penulis ingin mengetahui apa yang melatarbelakangi munculnya pandangan negatif sebagian kalangan orientalis Barat terhadap komunitas Arab.

Adapun manfaat yang dapat penulis harapkan dan berikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Diharapkan penulis dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai peranan komunitas Arab-Hadrami di Betawi pada tahun 1900-1942.

2. Diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pemahaman sejarah Islam kajian Lokal di Indonesia.

3. Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang sejarah kebudayaan Islam konsentrasi Asia Tenggara.

D. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analisis dengan pendekatan sosial-keagamaan. Metode deskriptif-analisis adalah suatu metode yang bertujuan untuk melukiskan secara sistematis fakta-fakta atau karakteristik populasi tertentu, baik berupa keadaan, permasalahan, sikap, pendapat, kondisi, prosedur, atau


(23)

sistem secara faktual dan cermat.27 Penulis juga menggunakan teori ekonomi yang pernah digunakan oleh Max Weber untuk melihat apa sebenarnya yang melatarbelakangi orang-orang Arab datang ke Betawi.

Menurut seorang ahli sosiologi agama Indonesia, Hendropuspito, bahwa sosiologi-keagamaan adalah suatu cabang dari sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah yang pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.28 Dalam konteksnya sebagai metodologi, pendekatan sosiologi-keagamaan ini digunakan penulis untuk melihat atau memahami prilaku orang-orang Arab dalam proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan dan prilaku ritualnya.

2. Jenis dan Sumber Data A. Jenis Data

Dalam penelitian ini jenis data yang akan dikumpulkan adalah lisan, tulisan dan artefak/benda yang berkaitan dengan latar belakang sosial, budaya dan keagamaan orang-orang Arab serta kontribusinya bagi masyarakat Betawi.

B. Sumber Data a. Sumber Data Primer

Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1) L.W.C van den Berg, ”Le Hadramaut et. les Colonies Arabes Dans L‟Archipel

Indien”, Terjemahan, Rahayu Hidayat, ”Hadramaut dan Koloni Arab di

Nusantara” Jilid 3 (Jakarta: INIS, 1989). Dalam karyanya ini, Van den Berg banyak menyajikan informasi penting tentang ragam kehidupan bangsa Arab di

27

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2006), h.29

28


(24)

tanah asalnya dan di Nusantara, baik dari sisi sosial dan budaya, sampai politik dan agama.

2) Shahab, Ali Abu Bakar. ”ar-Rabithah al-Alawiyyah.” Jakarta: koleksi Pribadi, 1928. Dalam dokumen ini berisikan data struktur organisasi dan informasi tentang maksud dan tujuan didirikannya ar-Rabithah al-Alawiyyah serta ikhtisar kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan ar-Rabithah al-Alawiyyah.

3) Sayyid Utsman bin Abdullah bin Yahya al-Alawi, “al-Qawanin asy-syar‟iyyah li ahl al-majlis al-hukmiyyah wa al-ifta‟iyyah” diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Ini kitab segala aturan hukum syara bagi ahli majlis syara dan majlis fatwa syara (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1881 M/1317 H). Kitab ini berisi pedoman dan tuntunan praktis sangat dibutuhkan bagi para hakim dan penghulu di daerah ketika menjalakan perannya di tengah masyarakat.

4) Sayyid Utsman bin Abdullah bin Yahya al-Alawi, “Ishlah Hal bi Thalab al-Halal” (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, t.t). Kitab ini berisi penekanan terhadap pelaksanaan ajaran Islam, baik di kalangan masyarakat Arab maupun penduduk pribumi, yang merupakan salah satu cara untuk menjadi warga yang baik.

5) Gobee, E. dan C. Adriaanse, Ambtelijke adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889-1936‟s-Gravenhage:Nijhoff. (Rijks Geschiedkundige Publicatien, Kleine Serie 33, 34, 35), diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul,

Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia-Belanda 1889-1936.” Vol. IX. Jakarta: INIS, 1990. Dalam Manuskrip ini, banyak sekali memberikan informasi penting tentang proses


(25)

penerapan kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia-Belanda khususnya untuk urusan Islam dan orang Arab.

6) Hurgronje, C. Snouck. “Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje” (Bonn dan Leipzig: Kurt Schroeder, 1924), diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, “Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje.” vol. IX. Jakarta: INIS, 1993. Dalam Manuskrip ini, banyak berisikan laporan studi Snouck selama penelitiannya di Mekkah dan Nusantara khususnya mengenai keadaan umat Islam dan orang Arab.

7) Arsip Nasional RI, Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie, 1818-1879. Batavia: Landsdrukkerij. Dalam Arsip ini berisikan data-data penting seperti; tanggal penetapan surat keputusan Gubernur Hindia-Belanda dan Data sensus penduduk Hindia-Belanda.

b. Sumber Data Sekunder

Adapun sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1) M. Hasyim Assegaf. ”Derita Putri-Putri Nabi” (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000). Sama halnya dengan karya Van den Berg, buku ini banyak sekali memberikan informasi penting tentang ragam kehidupan bangsa Arab di tanah asalnya dan di Nusantara, baik dari sisi sosial dan budaya, sampai politik dan agama.

2) Abdul Aziz. “Islam dan Masyarakat Betawi” (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2002). Dalam buku ini banyak memberikan informasi mengenai latar belakang kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Betawi.


(26)

3) Hamid al-Gadri. ”Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia.” (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988). Dalam buku ini banyak memberikan informasi mengenai begitu besarnya pengaruh kalangan Orientalis Barat seperti Snouck Hurgronje yang berdampak kepada kebijakan pemerintah kolonial, yang rata-rata kebijakannya itu bersifat diskriminatif terhadap umat Islam, khususnya terhadap keturunan Arab.

4) Natalie Mobine Kesheh. “The Hadhrami awakening, community and identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942.” (New York: Cornell Southeast Asia Program Publications, 1999). Buku ini di samping berisikan tentang proses perubahan pola identitas dalam komunitas Arab-Hadhrami di Nusantara antara tahun 1900-1942 juga sekaligus menyajikan tentang perwujudan eksisitensi masyarakat Arab melalui berbagai kegiatan organisasi-politik dan aktivitas sosial-keagamaannya di tengah masyarakat luas.

3. Metode Pengumpulan Data

Studi ini menggunakan metode sejarah, yaitu suatu perangkat aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang secara sistematis dipergunakan untuk mencari atau menggunakan sumber sejarah yang kemudian menilai sumber-sumber itu secara kritis dan menyajikan hasil-hasil dari penelitian itu umumnya dalam bentuk tertulis dari hasil-hasil yang telah dicapai.29

Metode pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan penelitian kepustakaan (Library Research). Adapun teknik kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan data dari referensi-referensi. Teknik semacam ini di maksudkan untuk memperoleh konsep atau teori serta materi-materi yang dapat

29

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1983), h. 32.


(27)

dipertanggungjawabkan kebenarannya.30 Sumber data yang diperoleh penulis berupa data primer dan sekunder melalui studi kepustakaan berupa arsip, manuskrip, dokumen, kitan-kitab klasik, surat kabar, buku-buku, jurnal, artikel, majalah dan tulisan-tulisan lainnya yang relevan dengan permasalahan penelitian. Penelitian ini melakukan kunjungan ke Perpustakaan dan Lembaga-Lembaga yang berkaitan dengan tema penelitian ini seperti; Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Adab, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan

Jami’at Kheir Tanah Abang, Perpustakaan Pribadi Ali Abu Bakar Shahab, Arsip

Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan EFEO, Rabithah Alawiyyah dan Daarul Aitam. Selanjutnya data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kondisi sosial-keagamaan masyarakat Betawi b. Sejarah kedatangan orang-orang Arab ke Betawi c. Proses terbentuknya Komunitas Arab di Betawi d. Peranan orang-orang Arab di Betawi

4. Analisis Data

Setelah data-data yang dibutuhkan tersebut dikumpulkan, kemudian proses selanjutnya yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menganalisa data. Analisa data adalah cara bagaimana mencari hubungan antara data-data yang telah dikumpulkan dan merangkainya agar menjadi kata-kata yang mudah dipahami. Tahap selanjutnya dalam analisa data adalah dengan mengklarifikasikan data-data yang telah ditemukan. Kemudian data-data yang sudah diklarifikasikan tersebut

30


(28)

tentunya akan mengalami reduksi data, karena banyaknya data yang diperoleh dan tidak semua data yang di kumpulkan tersebut dapat digunakan. Namun data-data yang mengalami reduksi tersebut dapat menjadi kekayaan pemahaman bagi penulis. Tahap terakhir adalah analisa data yang dilakukan adalah dengan melakukan verifikasi data, yang kemudian di lanjutkan dengan memperoses data-data yang telah dikumpulkan tersebut agar dapat di analisa, dan selanjutnya dapat ditampilkan.

5. Langkah-Langkah Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis melakukan langkah-langkah yang menurut Nugroho Notosusanto terdiri empat tahap sebagai berikut:31

a. Heuristik, merupakan suatu proses untuk mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah, baik sumber primer maupun sumber sekunder.32 Sumber-sumber yang akan dicari dan dikumpulkan oleh penulis ialah Sumber-sumber-Sumber-sumber yang relevan dengan tema yang diteliti. Sumber primer umumnya berasal dari arsip-arsip, manuskrip, dokumen-dokumen dan kitab-kitab klasik yang relevan, serta surat kabar-surat kabar sejaman. Oleh karenanya, penulis akan mencarinya di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), arsip yang dipegang oleh perorangan, maupun arsip yang tersimpan dalam Lembaga khusus seperti, Rabithah Alawiyyah.

kemudian jika dirasakan kedapatan kurang, maka untuk menunjang data yang diperoleh dari arsip-arsip maupun dokumen, penulis akan mengadakan wawancara dengan informan yang terdiri dari tiga kategori, yaitu: orang yang

31

Nugroho Notosusanto, Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah (Jakarta: Mega Book Store, 1984), h. 22-23.

32

G. J. Renier, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, terjemahan. Muin Umar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 113.


(29)

terlibat langsung dalam peristiwa (pelaku, pendukung, pengikut), orang yang tidak terlibat langsung tetapi menyaksikan, dan orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam peristiwa, tetapi mendapat keterangan dari orang yang terlibat dalam peristiwa.

Kemudian untuk sumber sekunder, akan penulis peroleh melalui riset kepustakaan (Library Research) meliputi buku-buku karangan ilmiah yang ditulis oleh para ahli yang relevan dengan masalah yang diteliti. Di samping itu, penulis juga akan mencari data dari internet dan majalah atau jurnal yang terkait dengan permasalahan-permasalahan yang dikaji. Sumber sekunder ini nantinya digunakan untuk membantu dalam melengkapi data yang tidak diperoleh dari sumber primer. b. kritik sumber, yang terdiri dari dua macam kritik yaitu, kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern penting dilakukan penulis guna mengetahui otensitas atau keaslian sumber dan perlu atau tidaknya untuk mendukung penulisan, sedangkan kritik intern penting juga bagi penulis untuk menentukan apakah sumber yang digunakan kredibel, dapat dipercaya atau tidak. Kritik ini dapat dilakukan terhadap informasi yang diperoleh dari para informan, yang kemudian dibandingkan dengan data dari berbagai sumber tertulis yang relevan dan telah diseleksi, ataupun sebaliknya, kritik dapat juga dilakukan dengan membandingkan data dari sumber tertulis dengan keterangan yang diperoleh dari informan. Di samping itu, kritik ini juga dapat dilakukan terhadap berbagai arsip atau dokumen yang telah diperoleh.

c. interpretasi, yaitu proses menafsirkan dan menyusun fakta-fakta sehingga menjadi keseluruhan yang masuk akal dan relevan dengan masalah yang


(30)

diteliti. Di sini fakta-fakta yang telah ditemukan penulis akan disintesiskan dalam bentuk kata-kata dan kalimat, sehingga dapat dibaca dan dimengerti.

d. Tahap terakhir adalah penulisan atau Historiografi, yaitu, proses penulisan kembali peristiwa sejarah, dalam tahap ini fakta yang sudah disintesiskan dan di analisis penulis akan dipaparkan nantinya dalam bentuk tulisan dengan menggunakan bahasa yang baik, sehingga dapat dipahami oleh pembaca. sebagaimana disebut sebelumnya, dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif-analisis dengan pola penulisan deduktif-induktif atau umum-khusus serta menggunakan pendekatan sosial-keagamaan.

E. Tinjauan Pustaka

Banyak tulisan baik berbentuk buku, jurnal, dan karya akademisi lainnya yang berkaitan dengan tema penulisan ini. Tetapi yang menjadi catatan, diantara karya-karya tersebut harus dicari mana yang benar-benar otentik dan otoritatif dalam menceritakan kembali kejadian atau peristiwa bersejarah tersebut, tentunya dengan membandingkan sumber-sumber tersebut.

Setidaknya ada dua sumber yang cukup komperhesif dalam membahas mengenai komunitas Arab-Hadrami di Nusantara dan cukup untuk dijadikan perbandingan. Sumber ini Penulis peroleh dari perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan Universitas Indonesia, yang Pertama, karya

L.W.C Van den Berg yang berjudul “Le Hadhramout Et. Les Colonies Arabes

Dans L‟ Archipel Indien”, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, yang diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat. Jakarta: INIS, 1989. Dalam penelitiannya ia banyak mencatat kondisi kehidupan komunitas Arab-Hadhrami, tidak hanya


(31)

meliputi wilayah-wilayah di Nusantara saja, tetapi juga di wilayah asal dari komunitas Arab tersebut yakni, di Hadramaut.

Namun penulis mendapatkan ada sedikit keganjilan dalam karya Van den Berg ini. Disatu sisi terkadang Van den Berg menjustifikasi komunitas Arab dengan pandangan yang negatif, disisi lain justru terdapat pandangan yang sebaliknya. Sebagai contoh di dalam karyanya Jilid ke-3 halaman 79, Ia mengatakan: “…Tak seorang Arab pun tiba di Batavia hanya untuk bertujuan menyebarkan agama, kalaupun ada diantara mereka yang memegang posisi

keagamaan sebagai qadi, imam, ataupun Da’i, itu hanyalah untuk mengejar imbalan keuangan yang tidak bermotifkan agama...”

Sebaliknya pada halaman 81, Ia mengatakan:

Jarang dijumpai orang Arab, apakah ia kaya atau miskin, yang membelanjakan seluruh pendapatannya. Menabung merupakan budaya bagi mereka dan fakta bahwa mereka pernah menikmati kemakmuran. Perlu pula dikatakan dengan angkat topi, bahwa begitu mereka menjadi kaya di Nusantara, mereka hampir tidak pernah melupakan anggota keluarga mereka di tanah air. Apabila mereka tidak membutuhkan bantuan, orang Arab itu akan menyumbangkan kelebihan uangnya kepada mesjid, sekolah atau ke yayasan keagamaan lain, bahkan ada yang mengirimkan uangnya kepada cedikiawan yang mereka hormati atau kepada sahabat yang lanjut usia.”

Pada halaman lain yakni halaman 84 dan 87, Ia juga mengatakan:

“…Orang Arab tidak menyukai kemewahan baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Seorang Arab yang telah memperoleh kekayaan jarang meneruskan usahanya dengan semua yang diperolehnya. Pada diri orang Arab tidak ada keinginan menjadi mulia seperti orang Eropa yang mendirikan rumah dagang besar yang tetap bereputasi baik meskipun para pendirinya sudah mengundurkan


(32)

Pandangan keliru diatas yang kemudian diikuti pula oleh kalangan Orientalis Barat lainnya seperti; Snouck Hurgronje dan Karel Steenbrink. Oleh karenanya menurut penulis, tidak hanya karya Van den Berg saja yang masih terdapat kekurangan dan kelemahan-kelemahan, tetapi juga karya-karya Orientalis Barat lainya yang sepertinya memang dibutuhkan penelitian kembali.

Yang kedua, Karya Hamid al-Gadri yang berjudul “Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab”. Yang diterbitkan oleh CV. Haji Masagung, Jakarta: 1988. Dalam penelitiannya ia cukup banyak meneliti karya kalangan Orientalis Barat, khususnya Snouck Hurgronje yang menjadi Objek utama penelitiannya. Oleh karena itu, di dalam karyanya ini ia cukup banyak mengupas beberapa kekeliruan yang dinyatakan oleh Snouck Hurgronje, berikut tindakannya yang menimbulkan keganjilan di kalangan umat Islam ketika itu, khususnya mengenai penetapan status hukum keturunan Arab di Indonesia.

Oleh karena itu, menurut penulis secara garis besar karya Hamid al-Gadri ini banyak menceritakan mengenai begitu besarnya pengaruh kalangan Orientalis Barat seperti Snouck Hurgronje yang berdampak kepada kebijakan pemerintah kolonial, yang rata-rata kebijakannya itu bersifat diskriminatif terhadap umat Islam, khususnya terhadap keturunan Arab. Namun bukan berarti karyanya ini tidak memiliki kelemahan atau kekurangan, dilihat dari isinya ditemukan banyak peryataan-peryataannya yang menurut penulis, sepertinya lebih banyak menekankan pada pembelaan ke eksistensian keturunan Arab, sehingga seakan-akan kalangan Orientalis itu tidak ada sisi positifnya sama sekali. Hal ini mungkin tidak lain karena Hamid Al-Gadri sendiri adalah sebagai keturunan Arab, sehingga hal ini menurut penulis cukup mempengaruhi pikirannya dan pada


(33)

akhirnya berdampak pada penulisannya. Di sinilah kiranya dibutuhkan pengujian kembali terhadap karya Hamid al-Gadri.

F. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan pembahasan penelitian ini dibagi dalam enam bab, yaitu:

Bab I, merupakan pendahuluan yang antara lain berisi latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, serta sistematika penulisan.

Bab II, berisi tentang gambaran umum daerah Betawi pada tahun 1900-1942, yang meliputi: kondisi geografis dan kondisi masyarakat Betawi. Pada kondisi masyarakat ini akan diuraikan mengenai kondisi sosial-keagamaannya.

Bab III, membahas mengenai sejarah kedatangan orang Arab ke Nusantara, kemudian persebaranya ke daerah-daerah yang berada sekitar Betawi sampai dengan tahun 1900-1942, dan juga proses terbentuknya komunitas Arab di Betawi.

Bab IV, membahas mengenai peranan orang-orang Arab di Betawi pada tahun 1900-1942 dalam bidang sosial-keagamaan. Bab ini juga membahas mengenai respon pemerintah Belanda terhadap peranan yang dimainkan oleh komunitas Arab.

Bab V, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari keseluruhan bab yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini dan juga diisi dengan saran-saran.


(34)

24

A. Betawi 1900-1942

Jakarta sejak berdiri pada tahun 1527 M –ketika itu masih bernama Jayakarta- sebagaimana kota-kota di Asia Tenggara pada umumnya, berfungsi sebagai kota dagang yang mengalami perkembangan pesat sebagai pusat urban. Sesuai dengan fungsinya sebagai kota dagang yang berlokasi di daerah pantai, karenanya penduduk Jakarta lebih kosmopolitan dibandingkan dengan kota-kota yang ada di pedalaman. tentu hal ini disebabkan karena adanya hubungan yang luas dengan bangsa asing dan kelompok-kelompok etnis yang berada di Nusantara. Di samping itu, sebagai kota pelabuhan yang terletak di muara sungai, Jakarta dapat memanfaatkan kontrol atas seluruh jaringan komunikasi lewat sungai untuk menjalin hubungan dengan penduduk di daerah pedalaman. Menurut laporan Tome Pires sebagaimana yang dikutip oleh Armando Cortesao bahwa,

“…Pelabuhan di Batavia ketika itu merupakan pelabuhan yang sangat megah, pelabuhan yang paling baik dan penting diantara pelabuhan-pelabuhan lainnya. Pedagang-pedagang berdatangan dari Sumatera, Palembang, Lawe, Tanjungpura, Malaka, Makasar, Jawa, Madura, dan banyak tempat lain lagi di Nusantara...”1 Tidak ketinggalan pula para pedagang asing juga datang ke Jakarta, seperti orang Keling, Bombay, Cina, Belanda, dan Inggris.

1

Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East From

Read Sea to Japan, Writen in Malaka and India 1512-1644 (London: The Hakluyt Sosiety, Vol 2.


(35)

Berdasarkan batasan geografis, secara umum dapat dikatakan bahwa orang Betawi2 menempati wilayah yang disebut Batavia en Ommelanden. Nama Batavia sendiri pada awalnya hanya digunakan untuk menunjuk daerah dimana benteng VOC berdiri, yaitu muara sungai Ciliwung,3 namun seiring gonta-ganti kepemimpinan di wilayah tersebut, Batavia mengalami perluasan wilayah, yang tadinya ketika pada masa J.P Coen hanya terbentang sepanjang wilayah Pasar Ikan sampai wilayah Glodok, ketika sampai pada masa kepemimpinan Herman William Daendles wilayah Batavia semakin meluas, yakni dengan ditandainya pemindahan Pusat Kota pemerintahan ke wilayah Selatan yang disebut Weltevreden (sekarang daerah Monas dan sekitarnya), hal ini karena wilayah sebelumnya yakni Kota Tua telah dirasakan olehnya sudah tidak sehat lagi,

2

Istilah Betawi baik dari segi asal-usul penggunakan kata maupun asal-asul pembentukan etnis hingga kini masih menjadi perdebatan di kalangan para pengamat, khususnya para pengamat sejarah Betawi. umumnya istilah Betawi itu merujuk kepada Batavia, yakni sebuah nama yang digunakan penjajah Belanda untuk kota Jakarta di masa lalu dan sebelum istilah Betawi lazim digunakan, penduduk Jakarta masih menyebut diri mereka sendiri dengan sebutan Orang Selam

(pengucapan untuk penduduk yang beragama Islam, sebagaimana Srani untuk penduduk yang beragama Nasrani) .oleh karenanya kata Betawi digunakan sebagai identitas etnis tidak dikenal oleh orang Betawi sendiri di masa lalu. Betawi sebagai sebuah identitas etnis baru terbentuk sekitar tahun 1815-1893 setelah mengalami proses percampuran dari berbagai etnis. Perkiraan tersebut didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis oleh sejarawan asal Australia, Lance Castle. Di dalam karyanya yang berjudul “The Ethnic Profile of Djakarta.” (New York: Cornell University, 1967), h. 165-167. Menurutnya, sejak zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. hal inilah yang kemudian di bantah

oleh Ridwan Saidi, sebagaimana di dalam bukunya yang berjudul “Orang Betawi dan Modernisasi

Jakarta.” (Jakarta: LSIP, 1994), h. 41-42. Menurutnya, bahwa nenek moyang orang Betawi sudah ada sejak daerah mereka dikenal dengan nama Sunda Kelapa yang pada tahun 1522 dikontrakan kepada Portugis oleh kerajaan Pakuan dan pada tahun 1527 Fatahillah merebut dan memerdekakannya. Oleh karena itu dalam hal ini ia mengajukan pertanyaan. Apakah kota Sunda Kelapa yang sudah memiliki pelabuhan samudra tidak berpenduduk? Apakah penghuni Betawi lama Cuma tonggeret, tumbila, kadal buduk dan bekatul?.

Terlepas dari perdebatan asal-asul komunitas etnis Betawi tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa sejak Sunda Kelapa dimerdekakan oleh Fatahillah dan banyak penduduk yang memeluk agama Islam, mereka sudah terkenal akan ketaatannya dalam memegang prinsip ajaran agama Islam dan juga memiliki perasaan anti Barat yang kuat. Oleh karenanya, sebagaimana sebutan

Islam dan Melayu yang tidak bisa dipisahkan bagi penduduk asli Brunei yang beragama Islam.

Islam dan Betawi juga merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan, sebutan Betawi hanya dapat digunakan bagi penduduk asli Jakarta yang beragama Islam.

3

Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 2002), h. 20


(36)

khususnya ketika diketahui banyak warganya yang mati karena terserang berbagai macam penyakit, sehingga dinilai kota Batavia lama sudah tidak layak lagi untuk dihuni dan wilayah selatan yang kemudian menjadi pilihan alternatif daerah hunian baru, yang kemudian terus berkembang hingga mencapai daerah yang disebut Meester Cornelis (sekarang daerah Jatinegara).4 Bukan hanya itu saja, pelabuhan baru pun di bangun oleh penguasa Batavia ketika itu yakni, Pelabuhan Tanjung Priok pada tahun1877 M, menggantikan pelabuhan Sunda Kelapa yang sejak dibukanya Terusan Suez (1868 M) tidak lagi dapat menampung armada kapal-kapal uap yang menggantikan kapal layar.5

Dengan demikian, maka pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terjadi peningkatan jumlah arus migrasi, terutama orang Belanda dan orang Eropa lainnya ke Hindia-Belanda. Hal tersebut memberi warna tersendiri bagi Kota Batavia, terutama bergaya lebih Eropa, ini dapat di lihat dari rumah-rumah yang dibangun di kawasan Weltevreden, sebab itu pemerintah kotapraja Batavia mulai mengembangkannya ke arah selatan dengan membeli tanah partikulir Menteng pada tahun 1908 M dan Gondangdia pada tahun 1920 M.

Kemudian pada tahun 1935, dikeluarkan suatu ordonansi yang termuat dalam Stb. 1934 no. 687 yang mulai berlaku 11 Januari 1935 mengenai perluasan daerah administratif Batavia. Stadgemeente Meester Cornelis (Jatinegara) dibubarkan dan diintegrasi ke wilayah Batavia. Pada tahun 1930-an Batavia berkembang menjadi suatu kota kolonial modern.6

4

Wilayah Meester Cornelis ketika itu masih merupakan bagian yang terpisah dari Batavia. Baru pada Tahun 1936 M, setelah berbentuk gemeente (Kotapraja), Meester Cornelis disatukan dengan gemeente Batavia.

5 “Mindoro,” Sejarah Jakarta

, artikel diakses pada 4 Agustus 2014 dari http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/168/batavia.

6


(37)

B. Kehidupan Sosial-Keagamaan Masyarakat Betawi

Sejak awal kekuasaan VOC, penduduk Batavia dibagi ke dalam beberapa tingkatan berdasarkan ras dan agama. Pada lapisan teratas adalah para pegawai VOC, menyusul di bawahnya kelompok warga Negara bebas yang beragama Kristen (Mestizo, Mardijkers, Papangers) yang menduduki berbagai posisi penting. Kemudian menyusul orang-orang Cina, Arab dan India yang berada pada lapisan ketiga, dan terakhir, yang menempati lapisan sosial terendah adalah orang-orang pribumi yang tidak beragama Kristen dan juga sebagian besar budak.7 Dengan adanya pengelompokan sosial tersebut, tentunya Pemerintah VOC menjadi lebih mudah mengontrol, karena setiap etnis pada umumnya menempati wilayah sendiri-sendiri. Dengan demikian, maka muncul lah pemukiman seperti kampung Banda, kampung Ambon, kampung Melayu, kampung Bali, Pekojan dan Pacinan. Setiap kelompok etnis tersebut biasannya dipimpin oleh seorang Kapiten, yang ditunjuk langsung oleh penguasa VOC.

Sebenarnya sejak Batavia berhasil dikuasai oleh Fathaillah, sudah banyak penduduk yang memeluk agama Islam, khususnya di kalangan Arab, Moor dan anggota etnis pribumi. Akan tetapi, ketika Batavia telah dikuasai Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1619 M, umat Muslim kesulitan untuk menjalankan aktivitas keagamaannya. Pemerintah Hindia-Belanda melarang membangun Masjid, bukan hanya itu saja, Pemerintah Hindia-Belanda juga melarang umat Muslim mengadakan upacara keagamaan seperti aqikah, sunatan ataupun penyelenggaraan kegiatan pengajian. Kepada mereka yang tetap ngotot mengadakan acara keagamaan di muka umum, selain agama Kristen, maka akan

7


(38)

dikenakan hukuman berupa penyitaan harta Benda. Hal ini menurut Abdul Aziz dikarenakan “…Orang-orang Belanda menganggap Islam sebagai musuh dan juga tidak sesuai dengan rencana mereka untuk membangun kota yang diharapkan mirip dengan kota mereka sendiri di Amsterdam atau Utrecht…”8

Larangan tersebut mulai melonggar ketika memasuki abad ke-18 M, sehingga muncul lah masjid-masjid di wilayah kota seperti; masjid al-Makmur yang terletak di Jalan Kebon Kacang Tanah Abang, Jakarta Pusat. berdiri pada tahun 1704 M. kemudian masjid al-Mansur, masjid ini sebelumnya bernama masjid Sawah Lio, terletak di Jalan Sawah Lio Jembatan Lima, Jakarta Barat. berdiri pada tahun 1717 M. Lalu menyusul masjid Luar Batang yang terletak di Jalan Luar Batang V Pasar Ikan, Jakarta Utara. berdiri pada tahun 1739 M. Kemudian masjid kampung baru yang terletak di Jalan Bandengan Selatan, Jakarta Utara. berdiri pada tahun 1744 M. Menyusul kembali masjid an-Nawier (masjid Pekojan) yang terletak di Jalan Raya Pekojan, Jakarta Barat. berdiri pada tahun 1760 M. Kemudian tidak jauh dari situ berdiri masjid Tambora di Glodok, Jakarta Barat pada tahun 1761 M, berbarengan dengan masjid Angke yang didirikan di Kampung Rawa Bebek, Jakarta Barat, ditahun yang sama yakni, pada tahun 1761 M. Menyusul kembali masjid Kebon Jeruk, Jakarta Barat. berdiri pada tahun 1786 M. dan masjid al-Mukaromah didirikan di Kampung Bandan, Penjaringan, Jakarta Utara. pada tahun 1789 M.9

Dengan semakin banyaknya masjid didirikan pada abad ke-18 M, maka akan semakin banyak pula sumber dan pusat penyebaran agama Islam yang terletak di dalam kota Batavia. Karena sebagaimana diketahui oleh khalayak

8

Ibid., h. 44.

9

Jamroni, “Masjid Bersejarah di Jakarta,” Majalah Al-Turas Vol. 12 No.2, Fakultas Adab dan Humaniora (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 98.


(39)

umum, salah satu fungsi masjid selain tempat ibadah Shalat, juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, yang mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama Islam dan umumnya para pendiri dan pengurus masjid berprofesi sebagai guru agama sekaligus juru dakwah. Tidak hanya di masjid saja, tapi mereka juga mengajar di rumah mereka sendiri atau bisa juga mengajar di masjid-masjid kampung lain, karena adanya undangan-undangan untuk mengajar, sebagaimana yang terjadi di Jakarta sekarang-sekarang ini.

Seiring berjalannya waktu, maka pada pertengahan abad ke-19 M, perkembangan dakwah Islam di Batavia menjadi meningkat, ditandai dengan muncul sejumlah ulama-ulama terkemuka, yang pada umumnya mereka adalah para ulama yang dididik di masjid-masjid di Batavia yang pada kemudian melanjutkan menuntut ilmu ke Tanah Suci, kemudian kembali lagi ke Tanah Air untuk menyebarkan ilmu agama yang mereka dapat. Bukan hanya itu saja, mereka juga mengobarkan semangat anti penjajah pada masyarakat Batavia melalui fatwa-fatwa yang mereka keluarkan. Hal ini sebagaimana umumnya yang dilakukan para Haji di wilayah lain Nusantara yang sama pernah menetap cukup lama menuntut ilmu di Tanah Suci.

Perkembangan penyiaran Islam semakin intensif ketika pada penghujung abad ke-19 M hingga memasuki awal abad ke-20 M. Jaringan intelektual ulama di Batavia pada abad-abad ini mengambil peranan yang penting. diantara Tokoh-Tokoh ulama tersohor yang cukup menonjol pada masa itu ialah Sayyid Utsman bin Abdullah bin Yahya (1822-1913) yang dikenal sebagai mufti Batavia. Terlepas dari hubungan dekatnya dengan Snouck Hurgronje dan pemerintah kolonial serta sikapnya yang berseberangan dengan gerakan modern Islam yang


(40)

muncul kemudian. Sumbangan keilmuannya serta peranannya dalam penerbitan risalah-risalah keislaman cukup lah besar. Ia memiliki banyak murid yang meneruskan tradisi keilmuan di Batavia, diantaranya adalah Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (1869/70-1968) yang kemudian mendirikan majelis taklim di Kwitang, Jakarta Pusat. Majelis taklim yang diadakan setiap hari Ahad pagi itu berkembang pesat dan dihadiri banyak orang hingga saat ini.

Habib Ali al-Habsyi pun memiliki banyak murid di Betawi diantaranya; KH. Abdullah Syafei, pendiri majelis taklim Asyafiiyah, KH. Tohir Rohili, pendiri majelis taklim Tahiriyah, serta KH. Abdul razak Makmun dan KH. Zayadi. Para ulama ini kemudian melanjutkan tradisi keilmuan di Batavia sebagaimana yang dilakukan gurunya, sehingga majelis-majelis taklim banyak bermunculan di penjuru Jakarta.10 Di samping berkembangnya majelis taklim yang bercorak tradisional, Batavia juga menjadi salah satu pusat pergerakan Islam yang penting di awal abad ke-20. Jamiat Khair, merupakan sebuah organisasi dan juga sekolah modern Islam pertama di Indonesia yang didirikan di Batavia. Organisasi Jamiat Khair berdiri pada tahun 1901 M 11, sementara sekolahnya berdiri pada tahun 1905 M.12 Walaupun organisasi yang didirikan oleh kalangan keturunan Hadhrami ini mengalami perpecahan dan kemunduran, tetapi gerakan-gerakan modern Islam lainnya terus bermunculan dan memainkan peranan penting dalam proses kemerdekaan Indonesia.

10

Rakhmad Zailani Kiki, ISLAM IBUKOTA: dari Kramtung hingga ke Brussels (Jakarta: Jakarta Islamic Center, 2009), h. 200.

11

Natalie Mobini Kesheh, The Hadhrami awakening, community and identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942 (New York: Cornell Southeast Asia Program Publications, 1999), h. 36.

12

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cet 8 (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1996), h. 68.


(41)

Kemudian setelah kemerdekaan, nama Batavia telah berganti menjadi Jakarta. meskipun begitu warna Islam masih terlihat jelas di berbagai belahan Jakarta ketika itu, bahkan hingga sekarang ini. Masjid-masjid dengan pengajian dan majelis-majelis taklimnya serta suara adzan yang bersahutan di setiap waktu shalat masih menjadi ciri khas kota Jakarta. Ekspresi Islam juga terlihat pada sekitar ratusan nama jalan di Jakarta sekarang ini yang menggunakan nama-nama haji tertentu.13 Walaupun kota ini sudah berusia ratusan tahun dan semakin padat oleh penduduk, Islam tampaknya tak jua memudar dan menjadi senja di ufuk kota Jakarta.

13

Kees Grijns and Peter J.M, Jakarta Batavia: Socio-Cultural essay, Terj. Gita Widya Laksmini dan Noor Cholis (Leiden: KITLV Press and Banana. 2000/2007), h. 17.


(42)

32

A. Kedatangan Orang-Orang Arab di Betawi

Orang Arab merupakan golongan minoritas terpenting kedua di Batavia setelah Cina. Hampir semua orang yang berasal dari dunia Arab dan tinggal di Indonesia berasal dari Hadramaut. Hanya sebagian kecil saja yang datang dari daerah Arab lain. Sesuai dengan apa yang diberitakan oleh Van den Berg, bahwa sejak abad yang lalu kadang-kadang datang pula rombongan orang Arab dari Mekkah. Namun pada umumnya mereka dari golongan ekonomi yang rendah, yang mencari untung untuk diri sendiri dengan menjual air zam-zam, jimat dan lain-lainnya. Ada juga yang dikirim oleh Syaikh Haji Mekkah untuk mencari langganan bagi mereka. Kemudian Syaikh itulah yang nanti bertanggung jawab atas pengangkutan dan penginapan mereka, ia pula yang akan memberikan petunjuk mengenai ritual upacara ibadah haji di Tanah Suci dan tak pernah lupa untuk memeras para langganannya dengan berbagai cara, salah satunya dengan mengatasnamakan agama.1

Orang-orang Arab datang ke Nusantara lama sebelum orang-orang Barat (Eropa) datang ke Nusantara. Seperti telah diketahui, pada umumnya orang Arab di Nusantara berasal dari Hadhramaut. Mereka datang dalam jumlah besar maupun secara perorangan. Seorang penulis Siria bernama Shakib Arslan pada tahun 1972 M sebagaimana yang dikutip oleh G.F Pijper. Ia mengungkapkan bahwa, “…Orang Arab Hadhramaut mempunyai kegemaran untuk mengembara

1

L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien,

diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jilid 3 (Jakarta: INIS, 1989), h. 1-2.


(43)

seperti orang Phunicia pada zaman dahulu. Pada masa sebelum Islam mereka mengembara menuju ke pantai Ethiopia, Somalia, Zanzibar, Kepulauan Nusantara dan menetap ditempat-tempat itu…”2 sampai pada masa Islam pun mereka datang secara damai memenuhi wilayah-wilayah pesisir, mereka berinteraksi hingga berasimilasi dengan penduduk setempat.

Kemudian pada saat Indonesia berada di bawah jajahan Belanda, wilayah pemukiman di Batavia dibagi menjadi tiga, sesuai dengan Indische Staat Regeling (peraturan pendudukan kolonial Belanda), yaitu Europanen (golongan Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing, Arab, India, dan Cina), dan Inlander (pribumi). Sebelum diberlakukannya Wijken Stelsel (peraturan pemukiman) di awal abad ke-18 M, para pendatang Hadhrami ditempatkan di pemukiman yang telah ditentukan oleh pemerintah Hindia-Belanda, yakni di wilayah pantai berawa-rawa dengan lingkungan yang tidak sehat, bersama dengan etnis Benggali dan Khoja yang berasal dari India. Setelah Wijken Stelsel dicabut pada awal abad ke-20, kelompok Hadhrami mulai menyebar mencari wilayah baru yang lebih sehat dan membentuk koloni, tidak sedikit dari mereka yang mendapat pangkat kehormatan.

Pada awal abad ke-19 M, tercatat sekitar 400 orang Arab dan Moor tinggal di Batavia. Jumlah orang Arab secara eksplisit baru disebutkan pada tahun 1859 M, yakni 312 orang. Kemudian pada tahun 1870 M, jumlah mereka meningkat tiga kali lipat menjadi 952 orang.3 Lima belas tahun kemudian tepatnya pada tahun 1885 M, keresidenan Batavia menampung 1.662 orang Arab, 1.175

2

G.F. Pijper, Studien over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950, Terjemahan, Tudjimah dan Yessy Augusdin, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950 (Jakarta: UI-Press, 1985), h. 116.

3


(44)

diantaranya lahir di Hindia-Belanda.4 Kemudian diantara rentang tahun 1900 M sampai dengan 1930 M telah terjadi peningkatan kembali yang sangat signifikan, bertambah dari 2.245 menjadi 5.231 orang Arab. Dengan melihat sensus yang di mulai pada tahun 1859 M hingga sensus berikutnya pada tahun 1930 M seperti yang telah disebutkan, hal ini menunjukan bahwa minoritas Arab telah berkembang menjadi sebuah komunitas yang mapan, kalau tadinya jumlah komunitas Arab terbesar terdapat di Surabaya, sejak sensus itu komunitas Arab terbesar beralih ke Batavia.5

Kemudian puncak kedatangan orang-orang Arab dari Hadramaut itu sendiri diketahui terjadi sejak pembukaan Terusan Suez pada 1869 M. Menurut Huub de Jonge, Kedatangan mereka selain bertujuan untuk berdagang, ada juga yang bertujuan ingin menyebarkan ajaran agama Islam dengan menjadi Da’i atau Ulama, terutama golongan Sayyid yang merasa dirinya sebagai bangsawan agama yang sangat dihormati. Menurutnya “…Beberapa Sayyid melakukan perjalanan

keliling sebagai da’i. Salah satu juru dakwah paling kondang adalah Sayyid Abubakr bin Abdullah al-Aydrus, cucu Sayyid Husein bin Abubakr al-Aydrus

yang dimakamkan di masjid Luar Batang…”6

Kaum pendatang ini diketahui umumnya adalah para laki-laki dan banyak dari mereka kemudian menikah dengan perempuan setempat, hingga menjelang akhir abad ke-19 M, mayoritas orang-orang Arab di Batavia ini tinggal di Pekojan dengan mengikuti aturan pemerintah Hindia-Belanda. Sebelumnya pada abad ke-17 M hingga memasuki awal abad ke-19 M, tempat ini sudah dipenuhi oleh

4

L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien, diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 68.

5

Kees Grijns and Peter J.M, Jakarta Batavia: Socio-Cultural essay, Terj. Gita Widya Laksmini dan Noor Cholis (Leiden: KITLV Press and Banana. 2000/2007), h. 153.

6


(45)

pendatang dari Benggali, India, yang dikenal dengan sebutan orang Koja atau Moor. Namun, selama abad itu Jumlah pendatang Arab meningkat secara bertahap, sampai pada akhirnya Pekojan menjadi pemukiman mayoritas orang Arab menggantikan orang Koja dari Benggali, India.7

Perjalanan mereka dari Hadhramaut ke Nusantara awalnya dilakukan dengan menumpang kapal kayu. Mula-mula mereka harus ke pelabuhan al-Mukalla atau al-Syihr, berlayar ke Malabar di India Selatan, dari sana ke Srilangka, lalu ke Aceh atau Singapura, kemudian menyebar ke Kepulauan Nusantara lainnya. Oleh karenanya, perjalanan mereka untuk sampai ke Nusantara bisa memakan waktu berbulan-bulan. Namun, sekitar tahun 1870-an, ketika telah ada jalur lalu lintas kapal uap dari Eropa ke Timur jauh, mereka sebagian lebih memilih menaiki kapal uap tersebut dan langsung menuju ke Kepulauan Nusantara ini dengan mudah dan lebih cepat, walaupun mereka harus membayar lebih mahal.8

Pada mulanya orang-orang Arab ini hidup mengelompok secara sukarela dan mengikuti kebiasaan. Kemudian, pemerintah kolonial mengeluarkan aturan bahwa etnis-etnis tertentu dikelompokkan pada wilayah-wilayah tertentu dengan dibawah pengawasan yang ketat, hanya orang terpandang yang diberi izin untuk tinggal di lain wilayah, bahkan beberapa diantara mereka ada yang tinggal di tengah-tengah orang Eropa dan Indo-Eropa di pinggiran Krukut dan Tanah Abang, di rumah besar yang tak kalah bagus dengan kepunyaan orang-orang Barat. Meskipun begitu menurut Huub De Jonge, “…Banyak orang kelas bawah

7

Ibid., h. 152.

8

L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien, diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 80.


(46)

keturunan campuran berhasil menetap (sering secara illegal) di luar Pekojan…”9 Sampai pada penghapusan system pemukiman pada tahun 1919 M, sebagian besar orang Arab di Pekojan yang sebelumya juga ada yang tinggal di Krukut, Petamburan, dan Tanah Abang, kemudian menyebar ke daerah-daerah sekitarnya seperti; Sawah Besar, Jatinegara, Tanah Tinggi, dan Condet. Sekarang hampir tidak tersisa orang Arab di Pekojan, orang-orang Cinalah menjadi penduduk mayoritas disana.

B. Persebaran Orang-Orang Arab di Betawi

Sebagaimana telah diketahui, sejak abad XVIII hingga akhir abad XIX tanah Betawi telah ramai dikunjungi oleh orang-orang Arab yang mayoritas berasal dari Hadramaut. Pada mulanya meraka hidup mengelompok secara sukarela dan mengandalkan berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Meskipun begitu, tidak serta merta dijadikan pula penilaian bahwa berdagang merupakan motivasi sekaligus tujuan mereka hijrah ke Nusantara. Sebagaimana yang dituduhkan oleh kalangan-kalangan orientalis seperti L.W.C van den Berg.10

9

Ibid., h. 152.

10 L.W.C van den Berg di dalam karyanya yang berjudul: “Le Hadhramout Et. Les

Colonies Arabes Dans L‟ Archipel Indien”, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, yang diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat. Jakarta: INIS, 1989. Pada Jilid ke-3 halaman 79, Ia

mengatakan: “…Tak seorang Arab pun tiba di Nusantara hanya untuk bertujuan menyebarkan agama, kalaupun ada di antara mereka yang memegang posisi keagamaan sebagai qadi, imam,

ataupun Da’i itu hanyalah untuk mengejar imbalan keuangan yang tidak bermotifkan agama...”

Padahal di halaman berikutnya pada halaman 81, Ia mengatakan:

Jarang dijumpai orang Arab, apakah ia kaya atau miskin, yang membelanjakan seluruh

pendapatannya. Menabung merupakan budaya bagi mereka dan fakta bahwa mereka pernah menikmati kemakmuran. Perlu pula dikatakan dengan angkat topi, bahwa begitu mereka menjadi kaya di Nusantara, mereka hampir tidak pernah melupakan anggota keluarga mereka di tanah air. Apabila mereka tidak membutuhkan bantuan, orang Arab itu akan menyumbangkan kelebihan uangnya kepada mesjid, sekolah atau ke yayasan keagamaan lain, bahkan ada yang mengirimkan

uangnya kepada cedikiawan yang mereka hormati atau kepada sahabat yang lanjut usia.”

Kemudian pada halaman 84 dan 87 Ia juga mengatakan: “…Orang Arab tidak menyukai

kemewahan baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Seorang Arab yang telah memperoleh kekayaan jarang meneruskan usahanya dengan semua yang diperolehnya. Pada diri orang Arab tidak ada keinginan menjadi mulia seperti orang Eropa yang mendirikan rumah dagang besar yang tetap bereputasi baik meskipun para pendirinya sudah mengundurkan diri…”


(47)

Memang tidak bisa dinafikan pula, sebagian dari mereka nyatanya ada yang bertujuan demikian, terlebih lagi dari kalangan Qabili yang merupakan kelompok mayoritas. Hal ini dikarenakan ketika itu orang-orang Arab yang datang ke Nusantara terdiri dari beberapa golongan ataupun lapisan sosial:

1. Golongan Sadah ( Jamak dari Sayyid yang artinya tuan) yaitu, golongan tertinggi dan terpandang yang merupakan nigrat keagamaan. Golongan ini menganggap dirinya sebagai keturunan cucu-cucu Nabi Muhammad SAW, dari pernikahan putri Nabi yang bernama Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib, dan umumnya golongan sadah dari Hadhramaut berasal dari keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Lalu mengapa golongan sadah mendapat gelar Sayyid atau Syarif dan untuk Prempuannya Syarifah. Menurut Yasmin Zacky Shahab dalam Skripsinya yang berjudul “Masalah Integrasi Minoritas Arab di Jakarta”, mengatakan:

“Hadramaut dahulu yang merupakan tanah asal kebanyakan golongan

sadah di Jakarta, hampir tidak ada yang bekerja dalam bidang perdagangan dan industri, juga tidak ada dari mereka yang menjadi petani. Mereka lebih pada memegang peran dalam bidang keagamaan dan pemerintahan yang dianggap sebagai suatu kedudukan yang terhormat. Oleh karena itu mereka mendapat

penghormatan dalam masyarakatnya dengan sebutan “Tuan” atau “orang yang terhormat”, hal demikian berjalan terus sampai turun temurun.”11

Inilah bukti kekeliruan van den Berg dalam memahami kehidupan orang-orang Arab ketika itu. Oleh karenanya menurut asumsi Penulis bahwa hal tersebut memang tidak terlepas dari kedudukannya sebagai pegawai pemerintah kolonial, dimana tugas mereka adalah berusaha menghilangkan pengaruh Arab (Islam) dari masyarakat pribumi guna mempertahankan jajahannya di bumi Nusantara. Selain itu penulis juga menduga kenapa mereka berpandangan demikian, hal ini karena kurangnya pengetahuan mereka tentang konsep dagang Islam, serta latar belakang budaya dan mentalitas bangsa Arab, sehingga mereka sulit untuk menditeksi misi yang tersirat di balik fenomena yang tampak dihadapan mereka. Sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh Pak Alwi Shahab dalam bukunya yang berjudul “Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka

dalam Beragama” (Bandung: Mizan, 1998) h. 323-324, maupun artikel-artikel yang pernah ditulisnyadi dalam media massa, seperti yang terdapat dalam koran harian Republika, yang

diterbitkan pada hari Jum’at, 22 September 1995. h. 8. Menurutnya, Bahwa kekeliruan Van den Berg, dkk dalam memahami kehidupan orang-orang Arab disebabkan oleh 3 faktor: 1) kurangnya pengetahuan tentang konsep dagang Islam. 2) latar belakang budaya 3) dan mentalitas bangsa Arab.

11

Yasmin Zacky Shahab , “Masalah Integrasi Minoritas Arab di Jakarta,” (Skripsi Sarjana Antropologi Fakultas Sastra, Universitas Indonesia Jakarta, 1975), h. 86.


(48)

Hal ini pun diperkuat oleh pendapat Husain Haikal dalam desertasinya

yang berjudul “Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia

(1900-1942).” mengatakan, “…Memang sebagian dari golongan sadah dikenal sebagai orang yang sangat dalam ilmu agamanya, bahkan dapat dikatakan mereka hampir memonopoli dalam berbagai bidang ilmu yang berada di Hadramaut, sehingga untuk bekerja yang sifatnya memerlukan tenaga, jarang mereka lakukan,

apabila mereka terpaksa harus bekerja. Mereka hanya jadi pengawas saja…”12

Di beberapa tempat khususnya di Indonesia. Golongan sadah ini mendapatkan panggilan yang berbeda-beda. Mereka ada yang di panggil dengan sebutan Sayyid, Syarif, Habib, wan, Ami, sebagaimana yang penulis amati sendiri di lapangan. Dalam kesehariannya, golongan ini juga sering menyebutkan dirinya

sebagai Ba’alwi atau Bani Alawi yakni sebuah nama yang dinisbahkan kepada

seorang tokoh yang bernama Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shaddiq bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali Suami Fatimah binti Rasulullah SAW. Awalnya sebutan Alawi sendiri diberikan kepada semua keturunan Ali bin Abi Thalib, baik dari anaknya yang bernama Hasan maupun Husein, namun selanjutnya, sebutan Alawi hanya digunakan untuk keturunan Alwi bin Ubaidillah dari garis keturunan Husein.13 Hal ini untuk membedakan dari keluarga para Sayyid yang sama-sama keturunan Rasulullah SAW.

12

Husein Haikal, “Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia

(1900-1942),” (Desertasi Phd, Univesitas Indonesia Jakarta, 1986), h. 54.

13

Idrus Alwi al-Masyhur, Sejarah, Silsilah dan Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia, Singapura, Malaysia, Timur Tengah, India dan Afrika (Jakarta, Saraz Publishing, cet. 2. 2010), h. 101-102.


(49)

2. Golongan Masyayikh ( Jamak dari Syaikh yang berarti orang tua atau orang yang beriman). Istilah Syaikh sendiri sebenarnya hanya sebuah gelar kehormatan bagi semua orang yang mengabdikan diri dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang keagamaan. Tetapi ada dua suku dan beberapa family qabili warga Hadramaut yang berhak menggunakannya sebagai gelar warisan, yakni Suku Baraik dan Suku Amudi. Family yang menggunakan gelar Syaikh khususnya yang terdapat di Indonesia adalah Bafadhel (keturunan ahli hukum dan

teologi terkenal), Bahmid, Baraja, Baharmi, Bawajir, Basyu’aib, Bamuzahmi,

Ba’abbad, Bin Khathib, al-Zabda.14 Jadi gelar Syaikh itu hanya semata-mata gelar kehormatan, tanpa suatu hak Istimewa, dan juga tidak mesti berarti pemakainya merupakan kalangan family terpelajar. Dahulu sebelum golongan sadah datang ke Hadramaut. Golongan inilah yang memegang peranan dalam bidang keagamaan, akan tetapi setelah golongan sadah datang ke Hadramaut, kedudukan golongan ini terdesak dan bahkan golongan sadah berhasil memonopoli semua kegiatan yang berkaitan dengan ilmu agama.15

3. Golongan Qaba’il (Jamak qabili yang berarti Suku atau ”gerombolan”) adalah golongan ningrat duniawi. menurut G.F Pijper, kaum qabili ini merupakan mayoritas penduduk Hadramaut. Pada abad ke-19, jumlahnya terdapat 17 suku di Hadramaut, selain itu, menurutnya ada pula dua suku besar dan penting karena kekuasaannya di Hadramaut. Pertama, Suku al-Syanfari. Suku ini terdiri dari berbagai anak suku. Kepala dari semua keturunan al-Syanfari adalah sultan

Sei’un. Ia Muhammad bin Syanfari al-Hamdani, yang menurut lagenda

14

G.F Pijper, Studien over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950,

Terjemahan, Tudjimah dan Yessy Augusdin, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, h. 21.

15

L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien, diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 28.


(1)

Lampiran 3.2.

Peta Kota Hadhramaut tempo dulu, Yaman Selatan

Koleksi Pribadi Ali Abu Bakar Shahab.“Abou Guecha: Politiek Satirisch Blad.”(Batavia: T.pn.,1908).

Lampiran 2.1.

Peta Perkembangan Kota Batavia dari 1619 hingga 1900

Abdul Azis. Islam dan Masyarakat Betawi. (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2002).


(2)

Lampiran 2.2. Pelabuhan Tanjung Priok tempo dulu Lampiran 3.3. Suasana Kampung Arab tempo dulu

www.ryan-permana39s.blogspot.com www.Jakarta.go.id

www.poetrahermanto.blogspot.com www.elfriant.blogspot.com


(3)

Lampiran 4.6. Madrasah dan tempat perkumpulan Lampiran 4.7. Snouck Hurgronje bersama Jamiat Kheir tempo dulu Para Pegawai Pemerintah Hindia-Belanda

www.ahmadtaufik.com

Koleksi Pribadi Ali Abu Bakar Shahab.

“Abou Guecha: Politiek Satirisch Blad.” (Batavia:1908).

Lampiran 4.8. Suasana komplek Masjid Luar Batang tempo dulu


(4)

Lampiran 4.9. Suasana aktivitas keagamaan di kampung kwitang tempo dulu

www.Indoculture.wordpress.com

Abdul Qadir Umar Mauladdawilah. 17 Habaib berpengaruh di Indonesia, (Malang: Pustaka Bayan, 2010).


(5)

Lampiran 4.10. Masjid/Zawiyah bin Hamzah, Pekojan Lampiran 4.11. kedekatan Habib/Ulama Tiga Serangkai Betawi bersama Para Kyai dn santri

www.Jakarta.go.id Abdul Qadir Umar Mauladdawilah. 17 Habaib berpengaruh di Indonesia, (Malang: Pustaka Bayan, 2010). Lampiran 4.12. Masjid Langgar Tinggi, Pekojan Lampiran 4.13. Panti Asuhan Daarul Aitam, Tanah Abang


(6)

Lampiran 4.14. Kedekatan Habib/Ulama Tiga Serangkai Betawi dengan Bung Karno dan Para Pejabat Negara