Tinjauan Tentang Saksi Mahkota

commit to user Umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa Pasal 37 ayat 1. 8 Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannyain absentia Pasal 38. Menurut ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hak-hak seorang terdakwa berdasarkan asas praduga bersalah terasa agak di kurangi, alasan yang dipergunakan oleh pembentuk undang-undang adalah karena sulitnya pembuktian perkara korupsi dan bahaya yang di akibatkan oleh perbuatan korupsi tersebut. Sesuai dengan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”, dengan demikian sifat hukum acara dalam pembuktian tindak pidana korupsi bersifat lex specialis derogat lex generalis terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP.

3. Tinjauan Tentang Saksi Mahkota

Perdebatan kontroversial tentang saksi mahkota kroongetuide dalam due-process of law telah lama terjadi, sebenarnya saksi mahkota hanyalah istilah yang digunakan untuk menyebut saksi yang juga berkedudukan sebagai terdakwa dalam tindak pidana penyertaan. Perdebatan itu muncul dikarenakan adanya dua Yurisprudensi yang berbeda mengenai penggunaan saksi mahkota, berdasarkan pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1986 KPid1989 tanggal 21 Maret 1990 yang menjelaskan penggunaan saksi mahkota dibenarkan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu dalam perkara delik commit to user penyertaan, terdapat kekurangan alat bukti, diperiksa dengan mekanisme pemisahan splitsing. serta apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari pertanggung jawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana. Dalam Yurisprudensi disebutkan saksi mahkota adalah teman terdakwa yang melakukan tindak p id a n a b e rsa m a -sa m a, d ia ju k a n se b a g a i sa k si u n tu k m e m b u k tik a n d a k w a a n ja k sa p e n u n tu t u m u m . T e ta p i d a la m p e rk e m b a n g a n n y a muncul Putusan Mahkamah Agung RI No. 1174KPid1994 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah Agung RI No. 1590KPid1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1592KPid1995 tanggal 3 Mei 1995 yang menjelaskan bahwa pemecahan terdakwa menjadi saksi mahkota terhadap terdakwa lainnya secara yuridis adalah bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia HAM Muhammad Rustamaji, 2011 : 86. M e n u ru t S e tiy o n o d a la m a rtik e l E K S IS T E N S I S A K S I MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana mengenai sa k si m a h k o ta . B e rd a sa rk a n p e rsp e k tif e m p irik m a k a saksi mahkota didefinisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari sa la h se o ra n g te rsa n g k a a ta u te rd a k w a la in n ya ya n g b e rsa m a -sa m a melakukan perbuatan pidana, dan kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Menurut Loebby Loqman, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan www. MMS Consulting Advocates Counselorsat Law - commit to user EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA.htm. Jika dicermati lebih mendalam apabila penggunaan saksi mahkota dipaksakan dalam praktek peradilan akan terjadi bentuk-bentuk pelanggaran sebagai berikut : a. Bahwa saksi mahkota pada esensinya adalah berstatus sebagai terdakwa. Karena sebagai terdakwa ia mempunyai hak untuk diam atau bahkan hak untuk memberikan jawaban yang bersifat ingkar atau bohong. Hal ini sebagai konsekwensi yang melekat akibat tidak diwajibkannya terdakwa untuk bersumpah dalam memberikan keterangan. Pasal 66 KUHAP juga mengatur bahwa terdakwa tidak dibebani pembuktian. b. Bahwa terdakwa tidak dikenakan kewajiban untuk bersumpah maka terdakwa bebas untuk memberikan keterangannya di persidangan. Sebaliknya, dalam hal terdakwa diajukan sebagai saksi mahkota tentunya terdakwa tidak dapat memberikan keterangan secara bebas karena terikat dengan sumpah. Kosekuensi terhadap pelanggaran sumpah ini adalah ia bisa diancam melanggar Pasal 242 KUHPidana. Adanya keterikatan dengan sumpah tersebut tentunya akan menimbulkan tekanan psikologis bagi terdakwa karena ia tidak dapat menggunakan haknya untuk ingkar atau berbohong. Oleh karena itu, pada hakikatnya kesaksian yang diberikan saksi mahkota tersebut disamakan dengan pengakuan yang didapat dengan menggunakan kekerasan dalam hal ini kekerasan psikis. Sehubungan dengan status tersebut, maka secara teoretik akan mengalami te k a n a n a tau se tid a k -tid a k n y a te k a n a n p sik is, se h in g g a k e te ra n g a n n y a d a p a t d ira g u k a n se rta a p a b ila d i p e rsid a n g a n sa k si-sa k si te rse b u t se m u a n y a m e n c a b u t k e te ra n g a n y a n g te rm u a t d a la m B e rita A c a ra P e m e rik sa a n , b a ik k e te ra n g a n se b a ga i sa k si m a u p u n te rd a k w a , se h in g g a hakim tidak memperoleh kebenaran Berita Acara Pemeriksaan Penyidik Lilik Mulyadi, 2007 : 45. commit to user c. Bahwa sebagai pihak yang bersatus sebagai terdakwa walaupun dalam perkara lainnya berperan sebagai saksi maka pada prinsipnya keterangan yang diberikan oleh terdakwa atau saksi mahkota hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 185 ayat 3 KUHAP. d. Bahwa seringkali keterangan terdakwa dalam kapasitasnya sebagai saksi mahkota yang terikat oleh sumpah digunakan sebagai dasar alasan untuk membuktikan kesalahan terdakwa dalam perkaranya sendiri apabila terdakwa berbohong. Hal ini tentunya bertentangan dan melanggar asas non-self incrimination Setiyono, 2008. Apabila dicermati penggunaan dan pengajuan saksi mahkota merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak fair trial dan juga merupakan pelanggaran terhadap kaidah HAM sebagaimana dikenal dalam KUHAP sebagai instrumen nasional maupun International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR. commit to user

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 2 : Skema Kerangka Pemikiran Keterangan : P a d a sa a t te rja d i tin d a k p id a n a k o ru p si se su a i y a n g d ia tu r d a la m Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi y a n g d ila k u k a n o le h Tindak Pidana Korupsi Pembuktian di Pengadilan Keterbatasan Alat bukti Penggunaan Saksi Mahkota Nilai Kekuatan Pembuktian dalam Putusan hakim Pasal 183 KUHAP Diatur dalam Putusan MA RI No. 1986 KPid1989 Dilarang dalam Putusan MA RI No.1174 KPid1994, No.1592KPid1995 dan No.1592KPid1995 Tidak diatur dalam KUHAP