KAJIAN KEDUDUKAN DAN NILAI PEMBUKTIAN SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(1)

KAJIAN KEDUDUKAN DAN NILAI PEMBUKTIAN

SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(STUDI KASUS NO.REG.PERK : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 BERKAIT KORUPSI DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH

SURAKARTA)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan Untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh

SEPTIAN TRI YUWONO E 1106047

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

commit to user


(3)

commit to user


(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Septian Tri Yuwono

NIM : E1106047

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:

KAJIAN KEDUDUKAN DAN NILAI PEMBUKTIAN SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS NO.REG.PERK : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 BERKAIT KORUPSI DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA)

adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 4 Juni 2011 yang membuat pernyataan

Septian Tri Yuwono NIM. E1106047


(5)

commit to user

v

ABSTRAK

SEPTIAN TRI YUWONO, E 1106047, KAJIAN KEDUDUKAN DAN NILAI PEMBUKTIAN SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS NO.REG.PERK : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 BERKAIT KORUPSI DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA), FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET.

Penulisan penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum menurut jaksa penuntut umum digunakannya saksi mahkota serta kedudukan dan nilai pembuktian saksi mahkota dalam pandangan hakim sebagai alat bukti dalam kasus perkara No. Reg. Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010. Pengertian saksi mahkota dalam putusan Mahkamah Agung RI No.1986 K/Pid/1989 adalah teman terdakwa yang dilakukan secara bersama-sama yang diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum dalam hal ini perkaranya dipisah dikarenakan kurangnya alat bukti. Tetapi dalam perkembangannya di dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 1174/K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah Agung RI No. 1590/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1592/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 tidak membenarkan adanya penggunaan saksi mahkota. Menurut putusan ini saksi mahkota juga pelaku yang diajukan sebagai terdakwa dalam dakwaan yang terpisah sehingga hal ini dianggap sebagai pelanggaran hak asasi terdakwa. Pada kenyataannya dalam praktek peradilan di Indonesia masih sering digunakannya saksi mahkota dalam mengatasi masalah kurangnya alat bukti saksi.

P e n u lisa n H u k u m in i te rm a su k d a la m je n is p e n e litia n h u k u m e m p iris a ta u non doctrinal y a itu p e n e litia n y a n g d ila k u k a n se c a ra la n g su n g d e n g a n m e m b a n d in g k a n h u k u m d a la m h a l te o ritis d e n g a n m e n g a m a ti p e rila k u y a n g te rja d i d id a la m m a sy a ra k a t. Penulisan hukum ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu bahwa selain dari Putusan Mahkamah Agung RI tidak ada dasar hukum mengenai saksi mahkota dan


(6)

commit to user

vi

penggunaan saksi mahkota dalam perkara No.Reg.Perk :

PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta dibenarkan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu terdapat kekurangan alat bukti, dalam perkara delik penyertaan(Deelneming),diperiksa dengan mekanisme pemisahan (Splitsing). S aksi mahkota dalam kasus ini berkedudukan murni sebagai saksi karena memenuhi syarat sebagai saksi sesuai Pasal 1 angka 26 KUHAP maka sah untuk dapat diperiksa sebagai saksi, sehingga majelis hakim akan menerima dan mengakui kesaksian dari saksi mahkota ini dan akan digunakan sebagai pertimbangkan dalam menyusun putusan.


(7)

commit to user

vii

ABSTRACT

SEPTIAN TRI YUWONO, E 1106047, A STUDY ON POSITION AND AUTHENTICATION VALUE OF CROWN WITNESS AS THE EVIDENCE IN AUTHENTICATING THE CORRUPTION CRIME (A CASE STUDY NO. REG.PERK: PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 CONCERNING THE CORRUPTION IN SURAKARTA LOCAL MENTAL HOSPITAL), LAW FACULTY OF SEBELAS MARET UNIVERSITY.

Legal writing research aims to know the legal basic used by the public prosecutor and and the status of crown witness and evidentiary value in view of the judge as evidence in case No. Reg. Perk: PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010. The

definition of crown witness is the verdict of RI’s Supreme Court No. 1986 K/Pid/1989 is the defendant’s friend simultaneously proposed as the witness to

authenticate the public prosecutor’s indictment in this case the case is separated

because of inadequate evidence. However, in its development in the verdict of

RI’s Supreme Court No. 1174/K/Pid/1994 on May 3, 1995, the verdict of RI’s

Supreme Court No. 1590/K/Pid/1995 on May 3, 1995 and the verdict of RI’s

Supreme Court No. 1174/K/Pid/1994 on May 3, 1995 do not justify the existence of main witness use. According to this decision, the crown witness and the doer are proposed as the defendant in the separate indictment, so that it can be

considered as the violation of the defendant’s basic right. In fact, in Indonesian

judicature practice, the crown witness is still used frequently in copying with the problem of witness evidence inadequacy.

Legal writing is included in this type of empirical legal research or non doctrinal research is conducted directly by comparing the theoretical with the law in terms of observing the behavior that occurs in society. This writing is descriptive in nature using qualitative approach.

The result obtained from this research is that beside in the verdict of RI’s

Supreme Court there is no legal foundation concerning the crown witness and the use of crown witness in the case No. Reg.Perk: PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010


(8)

commit to user

viii

concerning the corruption in Surakarta Local Mental Hospital is justified based on certain principles: There is evidence inadequacy, in the attending case indictment (Deelneming), it is examined using separation mechanism (Splitsing). Crown witness in this case positioning purely as a witness because the crown witness meets the condition as the witness according to the Article 1 number 26 of KUHAP, so that is legal to be examined as the witness, so that the chamber of judge will accept and recognize the testimony from this crown witness and will be used as the deliberation in making verdict.


(9)

commit to user

ix

MOTTO

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. (Q.S. Alam Nasyroh (94) : 6-7)

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib seseorang hambanya kecuali ia sendiri berusaha untuk mengubahnya (Q.S. Ar-Ra’d : 11)

Ketika ku mohon kepada Allah kekuatan Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat Ketika ku mohon kepada Allah kebijaksanaan Allah memberiku masalah untuk kupecahkan Ketika ku mohon kepada Allah kesejahteraan Allah memberiku akal untuk berfikir Ketika ku mohon kepada Allah keberanian Allah memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi Ketika ku mohon kepada Allah sebuah cinta Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk ku tolong Ketika ku mohon kepada Allah bantuan Allah memberiku kesempatan Aku tidak selalu menerima apa yang kupinta

Tapi…

Aku menerima segala yang aku butuhkan Doaku terjawab sudah (History of prayer)


(10)

commit to user

x

PERSEMBAHAN

Dengan segala kerendahan dan kebanggaan hati, Penulis

mempersembahkan skripsi ini kepada :

1.Allah SWT.

2. Kedua orang tuaku Bapak Joko Sutono dan Ibu Sri Sukarti

3. Kakakku Aris Nugroho, Hesti Budhi Safitri dan Didik Ismu Praptono

4. Keponakanku Zaidan dan Safira

6. Keluarga besar Sastrodijojo dan Hadi Sunarto


(11)

commit to user

xi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Segala puji syukur dan sembah sujud penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah-Nya, serta shalawat serta salam kepada Nabi junjungan Muhammad S.A.W, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan hukum dengan judul KAJIAN KEDUDUKAN DAN

NILAI PEMBUKTIAN SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS NO.REG.PERK : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 BERKAIT KORUPSI DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA)

Penyusunan penulisan hukum ini mempunyai tujuan yang utama untuk melengkapi salah satu syarat dalam mencapai derajat sarjana (S1) dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penyusunan penulisan hukum ini penulis banyak memperoleh bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi M. S., selaku Rektor Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

2. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyusun dan menyelesaikan penulisan hukum ini.

3. Wasis Sugandha, S.H., M.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan bagi tersusunnya penulisan hukum ini dan bimbingan-bimbingan yang berkenaan dengan perkuliahan.

4. Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum., selaku pembimbing 1 dan Bapak

Muhammad Rustamaji, S.H., M.H., selaku pembimbing 2 penulisan hukum yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya penulisan hukum ini.


(12)

commit to user

xii

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu dan membimbing penulis sehingga dapat menjadi bekal bagi penulis dalam penulisan hukum ini.

7. Bapak dan Ibu staf karyawan kampus Fakultas Hukum UNS yang telah membantu dan berperan dalam kelancaran kegiatan proses belajar mengajar dan segala kegiatan mahasiswa di Fakultas Hukum UNS.

8. Hakim Pengadilan Negeri Surakarta Bapak Johny Aswar S.H., dan Jaksa Kejaksaan Surakarta Bapak M. Arief K. S.H., Bapak Syafruddin S.H., dan Bapak Johar Arifin S.H., yang telah meluangkan waktu sebagai narasumber dalam penelitian hukum ini.

9. Bapak Joko Sutono dan Ibu Sri Sukarti selaku kedua orang tua penulis yang selalu memberikan cinta dan kasih, dorongan bantuaan serta doa yang tiada henti kepada penulis.

10. Kakak-kakakku Aris Nugroho, Hesti Budhi Safitri dan Didik Ismu Praptono sebagai suri tauladan dan panutanku.

11. Keponakanku Zaidan dan Safira yang membuatku merasa sudah tua.

12. Keluarga besar Sastrodijojo dan Hadi Sumarto, penulis bangga menjadi bagian dari kalian.

13. Sahabat, teman seperjuangan di Fakultas Hukum Agus Klaten, Agus Wonogiri, Budhi Anduk, Deni, Ditya Unyil, Adit, Adjeng, Novia, Demmy, Beta, Agus Hao-hao, Gilang, adik-adik tingkat yang tidak dapat di sebutkan satu-persatu penulis dan semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas persahabatan dan persaudaraan yang terlahir dari satu tujuan untuk menyambut kehidupan dan masa depan yang cerah, semoga jalinan persahabatan kita abadi selamanya.

14. Teman-teman angkatan 2006 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih atas segala pengalaman dan motivasinya.

15. Teman-teman magang di Kantor Kejaksaan Surakarta Anton, Eko, Umar, Dwi, Tejo, Rusdi, Agus, Yoga dan Terry terima kasih atas kebersamaannya


(13)

commit to user

xiii

sewaktu magang dan sehingga penulis dapat menemukan judul penulisan hukum ini.

16. Teman-teman wisma Aryo, Eko, Tembe, Lutfy, Slamet, Tepe, Titus, Tunang, Ryan, Farel, Endot, Bayu, terima kasih atas kebersamaan yang terjalin selama ini.

17. Teman-teman Karang Taruna Muda Siaga Dk Yagan terima kasih atas dukungan dan kebersamaan dalam bersosialisasi di masyarakat.

18. Teman-Teman Ndeso Mandra, Kebow, Fajar, Suneo, Bontot, Cepot, Garong, Sindhu, Antok dan teman-teman bolaku serta teman-teman lain yang tidak bisa disebut satu-persatu terima kasih dukungan dan kebersamaannya.

19. Teman-teman satu kawasan yang kuliah di Universitas Sebelas Maret Sigit, Seto, Awang, Lilik ternyata aku dapat menyelesaikan masalah kalian lulus sebagai sarjana.

20. Pihak-pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya sehingga penulisan hukum ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan hukum ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya karena keterbatasan dan kemampuan penulis. Namun demikian, penulis berharap agar karya ini dapat memberikan manfaat bagi semuanya. Sehingga segala kritik dan saran yang bersifat membangun merupakan hal yang sangat penulis harapkan.

Surakarta, 4 Juni 2011

Penulis


(14)

commit to user

xiv

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Perumusan Masalah .……… 5

C. Tujuan Penelitian...……….. 6

D. Manfaat Penelitian ………. 7

E. Metode Penelitian ..…………..……… 7

F. Sistematika Penulisan ………... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori………. 14

1. Tinjauan Tentang Pembuktian dan Alat Bukti a). Pengertian Pembuktian……… .. 14

b). Sistem Pembuktian………. 15


(15)

commit to user

xv

d). Asas-asas Pembuktian……… 19

e). Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian………. 20

2. Tinjauan Tentang Tindak Pidan Korupsi………. 31

3. Tinjauan Tentang Saksi Mahkota……… 33

B. Kerangka Pemikiran ……….. 37

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian………. 39

B. Pembahasan………... 58

1. Dasar hukum digunakannya saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara No.Reg.Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta………. 58

2. Kedudukan dan nilai pembuktian saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara No.Reg.Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta………. 63

BAB IV PENUTUP A. Simpulan ……… 68

B. Saran ………... 69 DAFTAR PUSTAKA………. LAMPIRAN………


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu faktor penghambat pembangunan Nasional adalah tindak pidana korupsi. Mengingat secara kasat mata tindak pidana korupsi di Indonesia telah tumbuh dan berkembang dengan leluasa di dalam kehidupan masyarakat. Perkembangannya itu dari tahun ke tahun terus meningkat, baik dari segi kualitas kasus yang terjadi dan kuantitas kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan pelaku cenderung semakin sistematis serta luas lingkupnya yang merasuk ke dalam setiap lini kehidupan masyarakat.

Tindak pidana korupsi yang tidak terkendali kemungkinan besar akan membawa bencana. Disamping itu, tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Oleh sebab itu, tindak pidana korupsi tidak dapat lagi dikategorikan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa maka dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, melainkan harus dituntut dengan cara-cara luar biasa pula, termasuk putusan pengadilan yang harus setimpal agar mempunyai efek jera, sehingga akan terlihat efektifitas hukum dan undang-undang yang ada relevansinya dengan tindak pidana korupsi tersebut.

Penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana harus benar-benar diprioritaskan. Masalah korupsi memang merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan politik, ekonomi, d a n so sia l-b u d a y a yang dilakukan oleh orang-orang b e rd a si y a n g m e m ilik i in te le k tu a lita s tin g g i (white collar crime). B e rb a g a i u p a y a p e m b e ra n ta sa n se ja k d u lu te rn y a ta tid a k m a m p u m e n g ik is h a b is k e ja h a ta n k o ru p si. H a l in i m e n u ru t B in to ro T jo k ro a m id jo jo disebabkan karena 1) Persoalannya memang rumit, 2)


(17)

Sulitnya menemukan bukti, 3 ) A d a n y a k e k u a ta n y a n g ju stru m e n g h a la n g i p e m b e rsih a n itu (B in to ro T jo k ro a m id jo jo d a la m N in ik M a riy a n ti,1986 : 200).

Masalah p e m b u k tia n d a la m tin d a k p id a n a k o ru p si m e ru p a k a n m a sa la h y a n g ru m it, k a re n a p e la k u tin d a k p id a n a k o ru p si m e la k u k a n k e ja h a ta n n y a d e n g a n ra p i d a n sa n g a t m e n ja g a k e ra h a sia n n y a . S u litn y a p e m b u k tia n d a la m p e rk a ra k o ru p si in i m e ru p a k a n ta n ta n g a n b a g i p a ra a p a ra t penegak hukum dalam mencari dan memperoleh atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bagian Penjelasan Umum disebutkan bahwa pembuktian terbalik bersifat

terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk

membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan jaksa penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya sesuai asas yang ditegaskan dalam Pasal 189 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan

kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”. Asas ini

merupakan penegasan dari prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Asas pembuktian dalam Pasal 183 ini menentukan bahwa untuk menjatuhkan hukuman pidana terhadap seorang terdakwa, kesalahannya

harus dapat dibuktikan “sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang


(18)

alat-alat bukti yang diatur secara ekplisit dalam undang-undang, maka alat bukti inilah yang dipakai dan sebagai landasan hakim untuk memutus terbukti atau tidaknya perkara yang di adili.

Dalam hal jaksa penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya maka penyusunan teknik pembuktian oleh jaksa penuntut umum sangatlah penting. Tindak pidana korupsi yang terjadi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta dengan terdakwa Drs. Ambar Kuato selaku ketua tim Pemeriksa Verifikasi Dana Askeskin Rumah Sakit Jiwa Daerah

Surakarta berdasarkan Surat Tugas Inspektur Jenderal Departemen

Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 01T.PS.02.00.214.06.117 tanggal 02 Januari 2006 bersama-sama dengan Adi Buntaran, SH dan Naman, SH yang keduanya sebagai anggota tim Pemeriksa Verifikasi Dana Askeskin Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta (yang dilakukan penuntutan secara terpisah) dan juga bersama dengan dr. Siti Nuraini Arief, .SpKj binti Munadji, dr. Dwi Priyo Hartono, SpKj, dr. Rukma Astuti dan dr. Hendrina A.K, SpKj (yang perkaranya sudah disidangkan) sangat sulit dalam pembuktiannya sehubungan dengan kurangnya alat bukti saksi, maka jaksa penuntut umum menggunakan kewenangannya untuk melakukan pemisahan berkas perkara (splitsing) berdasarkan Pasal 142 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sejak proses di tingkat penyidikan guna menguatkan pembuktian jaksa penuntut umum di muka persidangan. Splitsingpada umumnya dikualifikasi dari kualitas pelaku yaitu rekanan dan pejabat negara. Pemisahan itu dikarenakan melibatkan beberapa orang

tersangka, peran masing-masing terdakwa berbeda (tindak pidana

penyertaan), serta bisa juga dilihat dari locusnya.

Dengan dilakukannya pemisahan berkas perkara oleh jaksa penuntut umum dalam upaya menghindari kekurangan alat bukti saksi, dalam praktek peradilan di Indonesia jaksa penuntut umum ada yang menghadirkan terdakwa sebagai saksi. Terdakwa harus saling bersaksi dalam perkara masing-masing baik sebagai saksi maupun terdakwa hal inilah yang sering disebut dengan saksi mahkota. Saksi mahkota ini hanya ada dalam perkara


(19)

pidana yang merupakan delik penyertaan. Hal ini berdasarkan pada Pasal 168 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang prinsipnya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Tinjauan pemahaman tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990. Pengertian saksi mahkota dalam putusan Mahkamah Agung RI No.1986 K/Pid/1989 adalah teman terdakwa yang dilakukan secara bersama-sama yang diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum dalam hal ini perkaranya dipisah

dikarenakan kurangnya alat bukti. Di dalam Putusan ini memang

membenarkan adanya pengajuan saksi mahkota yang mana keterangannya dipergunakan sebagai alat bukti bersama dengan keterangan saksi yang lain.

Dalam Kitab Undang‐Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

definisi otentik mengengenai saksi mahkota belum diatur namun

berdasarkan perspektif empirik maka saksi mahkota didefinisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan.

Tetapi dalam perkembangannya di Putusan Mahkamah Agung RI No. 1174/K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah Agung RI No. 1590/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1592/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 tidak membenarkan adanya penggunaan saksi mahkota. Menurut putusan ini saksi mahkota juga pelaku yang diajukan sebagai terdakwa dalam dakwaan yang sama oleh terdakwa yang diberikan kesaksian. Sebagaimana ketentuan untuk menjadi seorang saksi adalah ia harus melihat, mendengar ataupun mengalami sendiri karena


(20)

apabila diketahui bahwa keterangannya adalah palsu, maka ia dapat dikenakan dengan pidana atas kesaksiannya tersebut.

Pada kenyataannya dalam praktek peradilan di Indonesia masih berlangsung dan masih sering digunakannya saksi mahkota dan tidak dapat di pungkiri lagi penggunaan saksi mahkota dapat mengatasi masalah kurangnya alat bukti saksi dalam kasus tindak pidana umum maupun tindak pidana korupsi. Dalam menetapkan putusan, hakim berhak untuk mempertimbangkan atau tidak mengenai keterangan yang diberikan oleh saksi mahkota.

Berdasarkan pada pemikiran di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang membahas permasalahan tentang penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi. Hal tersebut penulis sajikan dalam bentuk penelitian penulisan hukum yang berjudul ”KAJIAN KEDUDUKAN DAN NILAI PEMBUKTIAN SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS NO.REG.PERK : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 BERKAIT KORUPSI DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAHSURAKARTA)”

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan hal yang penting dalam suatu penelitian karena dengan adanya perumusan masalah berarti seorang peneliti telah mampu mengidentifikasikan persoalan yang diteliti sehingga sasaran yang hendak dicapai akan menjadi jelas, terarah, dan mencapai sasaran yang diharapkan sebagai sebuah konsepsi permasalahan yang akan dicari jawabannya.

Berdasarkan pada hal tersebut, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Apakah yang menjadi dasar hukum menurut jaksa penuntut umum digunakannya saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara No.Reg.Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta?


(21)

2. Bagaimana kedudukan dan nilai pembuktian saksi mahkota dalam pandangan hakim sebagai alat bukti dalam perkara No.Reg.Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian merupakan kegiatan ilmiah, dimana berbagai data dan informasi dikumpulkan, dirangkai dan dianalisis yang bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan juga dalam rangka pemecahan masalah-masalah yang dihadapi (Soerjono Soekanto, 2006 : 3). Suatu penelitian dilakukan uktuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Adapun tujuan dari penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui dasar hukum menurut jaksa penuntut umum digunakannya saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara No.Reg.Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

b. Untuk mengetahui kedudukan dan nilai pembuktian saksi mahkota

dalam pandangan hakim sebagai alat bukti dalam perkara

No.Reg.Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

2. Tujuan Subjektif

a. Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan penulis di bidang hukum serta pemahaman aspek yuridis pada teoritik dan praktik dalam lapangan hukum khususnya terhadap penerapan saksi mahkota dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi.

b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya.


(22)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Memberi masukan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan

khususnya, dalam ilmu hukum pada umumnya dan khususnya hukum pidana yang berkaitan dengan pembuktian.

b . H a sil p e n e litia n in i d a p at m e n a m b a h lite ra tu r, refe re n si d a n b a h a n -bahan informasi ilmiah serta pengetahuan bidang hukum yang telah ada sebelumnya, khususnya untuk memberikan suatu deskripsi yang je la s m e n ge n a i p e n g g u n a a n sa k si m a h k o ta se b a ga i a la t b u k ti.

2. Manfaat Praktis

a. M e m b e rik a n ja w a b a n a ta s p e rm a sa la h a n y a n g d ite liti p e n u lis y a itu bagaimana penggunaan saksi mahkota dalam proses pembuktian perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Surakarta serta bagaimana kedudukan dan nilai pembuktiannya sebagai alat bukti.

b. D e n g a n p e n u lisa n sk rip si in i d ih a ra p k a n d a p a t m e n in g k a tk a n d a n m e n g e m b a n g k a n k e m a m p u a n p e n u lis d a la m b id a n g h u k u m se b a g a i bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya

c. H a sil p e n e litia n in i d ih a ra p k a n d a p a t m e m b a n tu p ih a k -p ih a k y a n g terkait dengan masalah yang diteliti.

E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan denga analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka teori tertentu (Soerjono Soekanto, 2006 : 42).

Metode penelitian dapat dirumuskan dengan

kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut (Soerjono Soekanto, 2006 : 5)

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian. 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan.


(23)

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Jenis Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang dikemukakan diatas, maka dalam penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empiris atau non doctrinal yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung dengan membandingkan hukum dalam hal teoritis dengan mengamati perilaku yang terjadi di masyarakat ( Soerjono Soekanto, 2006 : 52). Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian pada data primer di lapangan yaitu di Kejaksaan Negeri Surakarta dan Pengadilan Negeri Surakarta. 2. Sifat Penelitian

Dilihat dari sifatnya, bentuk penelitian yang dilakukan oleh penulis termasuk penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberi data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya dengan cara mengumpulkan data, menyususan, mengklasifikasi, menganalisis, dan

menginterpretasikannya (Soerjono Soekanto, 2006 : 10). Dalam

penelitian ini gejala yang diklarifikasi adalah penggunaan saksi mahkota. 3. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan kualitatif, yaitu merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden atau narasumber secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata.

4. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memilih dua lokasi penelitian untuk menjawab kedua rumusan masalahnya. Untuk menjawab rumusan masalah pertama lokasi penelitian berada di Kejaksaan Negeri Surakarta, dan untuk menjawab rumusan masalah kedua lokasi penelitian berada di Pengadilan Negeri Surakarta.

5. Jenis Data

Jenis data yang akan dikumpulkan bisa dinyatakan secara jelas terutama mengenai kelompoknya. Jenis data ini sangat berkaitan dengan


(24)

arah pemilihan yang tepat mengenai sumber datanya. Penjelasan jenis data ini akan menunjukkan tingkat pemahaman peneliti mengenai apa yang diperlukan untuk digali dan dianalisis untuk menemukan kesimpulan yang tepat (H.B Sutopo, 2002 : 180).

a. Data Primer

Data primer adalah data yang langsung dan segera diperoleh dari sumber data untuk tujuan penelitian dan mendapat hasil yang sebenarnya pada objek yang diteliti yaitu dari hasil wawancara.

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data atau fakta yang digunakan oleh seseorang secara tidak langsung dan diperoleh melalui bahan-bahan, dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan, laporan, teori-teori, bahan-bahan kepustakaan, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

6. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah:

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama yaitu perilaku warga masyarakat melalui penelitian (Soerjono Soekanto, 2006 : 12). Dalam penelitian ini data langsung diperoleh melalui wawancara dengan Jaksa

Penuntut Umum dan Hakim yang terlibat langsung dalam

penanganan kasus perkara No.Reg.Perk :

PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh tidak secara langsung dari masyarakat melainkan dari bahan dokumen, peraturan perundang-undangan, laporan, arsip, literatur, dan hasil penelitian lainnya yang mendukung sumber data primer (Soerjono


(25)

Soekanto, 2006 : 12). Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Sumber Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu semua bahan atau materi hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, misalnya peraturan perundang-undangan.

2) Sumber Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang berisi penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang terdiri dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, makalah, artikel, buku, dan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

3) Sumber Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.

7. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, maka teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah:

a. Wawancara mendalam

Wawancara yang dilakukan dengan cara terbuka, tidak berstruktur ketat, tidak dalam suasana formal, dan dapat dilakukan berulang pada informan yang sama, teknik ini akan dilakukan pada semua informan. Informan dalam penelitian hukum ini adalah: 1) Jaksa Penuntut Umum di lingkup Kejaksaan Negeri Surakarta

yang menangani kasus perkara No.Reg.Perk :

PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

2) Hakim di lingkup Pengadilan Surakarta yang mengadili kasus perkara No.Reg.Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.


(26)

b. Dokumentasi

Metode dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, agenda, dan sebagainya.

c. Penelitian Kepustakaan

Merupakan teknik pengumpulan data dengan mempelajari buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, hasil penelitian terdahulu dan dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 8. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian penting agar data-data yang sudah terkumpul dapat dianalisis, sehingga dapat menghasilkan jawaban untuk memecahkan masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis kualitatif dengan interaktif model yaitu komponen reduksi data dan penyajian data dilakukan bersama dengan pengumpulan data, kemudian setelah data terkumpul maka tiga komponen tersebut berinteraksi dan bila kesimpulan dirasakan kurang maka perlu ada verifikasi dan penelitian kembali mengumpulkan data lapangan (H.B. Sutopo, 2002 : 8). Menurut H.B. Sutopo, ketiga komponen tersebut adalah :

a. Reduksi Data

Merupakan bagian dari proses analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan penelitian dapat dilakukan.

b. Penyajian Data

Merupakan suatu realita organisasi informasi yang

memungkinkan kesimpulan penelitian dapat dilakukan, sajian data dapat meliputi berbagai jenis matrik, gambar atau skema, jaringan kerja, kaitan kegiatan dan tabel.


(27)

c. Kesimpulan atau verifikasi

Dalam pengumpulan data peneliti harus sudah memahami arti berbagai hal yang ditemui, dengan melakukan pencatatan peraturan-peraturan, pola-pola, pertanyaan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat dan berbagai preposisi kesimpulan yang diverifikasi

Adapun skema teknik analisis kualitatif dengan interaktif model adalah sebagai berikut :

Gambar 1 : Skema Analisis Interaktif

Ketiga komponen tersebut (proses analisis interaktif) dimulai pada waktu pengumpulan data penelitian, peneliti membuat reduksi data dan sajian data. Setelah pengumpulan data selesai, tahap selanjutnya peneliti mulai melakukan usaha menarik kesimpulan dengan memverifikasikan berdasarkan apa yang terdapat dalam sajian data. Aktivitas yang dilakukan dengan siklus antara komponen-komponen tersebut akan didapat data yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan masalah yang diteliti.

F. Sistem Penulisan Hukum

Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah

PengumpulanData

PenarikanKesimpulan


(28)

sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan hukum.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang pengertian pembuktian, sistem pembuktian, prinsip pembuktian, asas-asas pembuktian dan alat bukti beserta kekuatan pembuktian yang sah menurut KUHAP, tinjauan umum tentang tindak pidana korupsi dan tinjauan umum tentang saksi mahkota.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya : Pertama, dasar hukum menurut jaksa penuntut umum digunakannya saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara No.Reg.Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Kedua, kedudukan dan nilai pembuktian saksi mahkota dalam pandangan hakim sebagai alat bukti dalam perkara No.Reg.Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

BAB IV PENUTUP

Dalam bab ini berisi simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Pembuktian dan Alat Bukti a. Pengertian Pembuktian

K ita b U n d a n g -U n d a n g H u k u m A c a ra P id a n a (K U H A P ) m e m b e rik a n ru a n g b a g i p e m b u k tia n , te ta p i tid a k m e m b e rik a n d e fin isi y a n g se c a ra k h u su s m e n g e n a i p e m b u k tia n . S e h in g g a m u n c u l b e b e ra p a d e fin isi d a ri b e b e ra p a a h li y a n g mencoba memberikan definisi mengenai pembuktian, diantaranya :

P e m b u k tia n se c a ra e tim o lo g i b e ra sa l d a ri b u k ti y a n g b e ra rti se su a tu y a n g m e n y a ta k a n k e b e n a ra n su a tu p e ristiw a , K a ta b u k ti jik a m e n d a p a t a w a la n p e - d a n a k h ira n -a n m a k a b e ra rti p ro se s, p e rb u a ta n , d a ri m e m b u k tik a n , se c a ra te rm in o lo g i p e m b u k tia n b e ra rti u sa h a u n tu k m e n u n ju k k a n b e n a r a ta u sa la h n y a si te rd a k w a d a la m sid a n g d i p e n g a d ila n (A n sh o ru d d in 2 0 0 4 : 2 5 ).

P e m b u k tia n a d a la h k e te n tu a n -k e te n tu a n y a n g b e risi p e n g g a risa n d a n p e d o m a n te n ta n g c a ra -c a ra ya n g d ib e n a rk a n u n d a n g -u n d a n g m e m b u k tik a n k e sa la h a n y a n g d id a k w a k a n k e p a d a te rd a k w a . P e m b u k tia n ju g a m e ru p a k a n k e te n tu a n y a n g m e n g a tu r a la t-a la t b u k ti y a n g d ib e n a rk a n o le h u n d a n g -u n d a n g d a n b o le h d ip e rg u n a k a n h a k im m e m b u k tik a n k e sa la h a n y a n g d id a k w a k a n (M .Y a h y a H a ra h a p , 2 0 0 6 : 2 7 3 ).

H u k u m p e m b u k tia n itu se b e n a rn y a m e ru p a k a n su a tu b a g ia n d a rip a d a h u k u m a c a ra , k a re n a ia m e m b e rik a n a tu ra n -a tu ra n te n ta n g b a g a im a n a b e rla n g su n g n y a su a tu p e rk a ra d im u k a h a k im (Law of Procedure)(R . S u b e k ti, 2 0 0 7 : 2 ).

H u k u m p e m b u k tia n a d a la h k e se lu ru h a n a tu ra n h u k u m a ta u p e ra tu ra n u n d a n g -u n d a n g m e n g e n a i k e g ia ta n u n tu k re k o n stru k si su a tu k e n y a ta a n y a n g b e n a r d a ri se tia p k e ja d ia n m a sa la lu y a n g


(30)

re le v a n d e n g a n p e rsa n g k a a n te rh a d a p o ra n g y a n g d id u g a m e la k u k a n p e rb u a ta n p id a n a d a n p e n g e sa h a n se tia p sa ra n a b u k ti m e n u ru t k e te n tu a n h u k u m y a n g b e rla k u u n tu k k e p e n tin g a n p e ra d ila n d a la m p e rk a ra p id a n a (B a m b a n g P o e rn o m o , 1 9 8 8 : 3 8 ).

b. Sistem Pembuktian

Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa, hasil, kekuatan dan nilai pembuktian yang bagaimana yang dapat dianggap cukup memadai membuktikan kesalahan terdakwa. Ada beberapa macam sistem pembuktian yaitu :

1. Conviction-in Time (Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja)

H a k im d a la m m e n ja tu h k a n p u tu sa n tid a k te rik a t d e n g a n a la t b u k ti y a n g a d a . T id a k m e n ja d i m a sa la h k e y a k in a n h a k im te rse b u t d ip e ro le h d a ri m a n a . H a k im h a n y a m e n g ik u ti h a ti n u ra n i saja dan semua tergantung kepada kebijaksanaan hakim. Kesan hakim sangat subjektif untuk menentukan seorang terdakwa bersalah atau tidak. Jadi putusan hakim dimungkinkan .tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti yang diatur oleh undang-undang. P a d a h a l h a k im se n d iri y a k in h a n y a la h se o ra n g m a n u sia b ia sa , te n tu n y a d a p a t sa la h d a la m m e n e n tu k a n k e y a k in a n te rse b u t. S e se o ra n g b isa d in y a ta k a n b e rsa la h d e n g a n ta n p a b u k ti ya n g mendukungnya, dan dapat pula seseorang dibebaskan dari dakwaan m e sk ip u n b u k ti-b u k ti y a n g a d a m e n u n ju k k a n b a h w a te rd a k w a bersalah melakukan

tindak pidana. Sistem pembuktian conviction in time

dipergunakan dalam siste m p e ra d ila n ju ri (jury rechtspraak) m isa ln y a d i In g g ris d a n Amerika Serikat.

2. Conviction Raisonnee (S iste m P e m b u k tia n b e rd a sa rk a n K e y a k in a n H a k im )


(31)

M e n u ru t te o ri siste m p e m b u k tia n in i p e ra n a n k e y a k in a n h a k im sa n g a t p e n tin g . N a m u n h a k im b a r u d a p a t m e n g h u k u m seorang terdakwa apabila ia telah meyakini bahwa perbuatan yang bersangkutan terbukti kebenarannya. Keyakinan tersebut harus d ise rta i d e n g a n a la sa n -a la sa n y a n g b e rd a sa rk a n

a ta s su a tu rangkaian pemikiran (logika). Hakim wajib

menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Alasan tersebut harus benar-benar dapat diterima oleh akal.

Sistem pembuktian ini mengakui adanya alat bukti tertentu tetapi tidak ditetapkan oleh undang-undang. Banyaknya alat bukti y a n g d ig u n a k a n u n tu k m e n e n tu k a n b e rsa la h a ta u tid a k n y a te rd a k w a m e ru p a k a n w e w e n a n g h a k im se p e n u h n y a . T e n tu sa ja h a k im h a ru s b isa m e n je la sk a n a la sa n -a la sa n m e n g e n a i p u tu sa n yang diambilnya.

3. Positif Wettelijke Bewijstheorie (S iste m p e m b u k tia n b e rd a sa rk a n u n d a n g -u n d a n g se c a ra p o sitif)

Sistem ini merupakan kebalikan dari sistem Conviction in Time (sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja) k e y a k in a n h a k im d ik e sa m p in g k a n d a la m siste rn in i. M e n u ru t siste m in i, u n d a n g -u n d a n g d ite ta p k a n se c a ra lim ita tive a la t-a la t b u k ti m a n a y a n g b o le h d ip a k a i h a k im . C a ra -ca ra bagaimana hakim menggunakan alat-alat bukti serta kekuatan p e m b u k tia n d a ri a lat-a lat b u k ti se d e m ik ia n ru p a . Jik a a la t-a la t bukti tersebut telah dipakai secara sah seperti yang ditetapkan oleh undang-undang, maka hakim harus menetapkan keadaan sah terbukti. Menurut D. Simons, sistem pembuktian menurut undang-undang positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua p e rtim b a n ga n su b je k tif h a k im d a n m e n g ik a t h u k u m se c a ra k e ta t menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Hati nurani hakim tidak ikut hadir dalam menentukan salah tidaknya


(32)

terdakwa. T e o ri in i u m u m n y a d ia n u t d i n e g a ra -n e g a ra E ro p a p a d a w a k tu b e rla k u n y a a sa s in k u isito r d a la m a c a ra p id a n a . H a k im d i sin i se o la h -o la h h a n y a b e rsik a p sebagai robot pelaksana undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Hakim hanya sebagai suatu alat pelengkap pengadilan saja (Simons dalam Andi Hamzah, 2002 : 247).

4 . Negatief Wettelljke Stelsel (S iste m p e m b u k tia n m e n u ru t u n d a n g -u n d a n g se c a ra n e g a tif)

S iste m p e m b u k tia n in i m e ru p a k a n p e n g g a b u n g a n a n ta ra sistem pembuktian menurut undang undang secara positif dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan suatu sistem keseimbangan antara sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim (M. Yahya Harahap, 2006 : 278).

Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, dapat dinyatakan terdapat dua komponen, yaitu :

1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

2. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Sistem ini memadukan unsur “objektif” dan “subyektif”

dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang dominan diantara kedua unsur tersebut jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.

Sistem pembuktian negatif sangat mirip dengan sistem pembuktian Conviction in time (sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja) hakim dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan (nurani) hakim


(33)

sendiri. Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan di persidangan seperti yang ditentukan oleh undang-undang belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 16).

Dalam perkembangannya selain sistem-sistem pembuktian di atas, dalam teori modern dikenal juga sistem pembuktian terbalik (omkeering van het bewujs theori),d im a n a te o ri in i m e m b e b a n k a n p e m b u k tia n k e p a d a te rd a k w a . S iste m in i m u la i d ig u n a k a n d a la m p e ru n d a n g -undangan, k h u su s d i In d o n e sia , a n ta ra la in U n d a n g U n d a n g N o m o r 3 l Tahun 1 9 9 9 jo U n d a n g -U n d a n g N o m o r 2 0 T a h u n 2 0 0 1 te n ta n g p e m b e ra n ta sa n T in d a k P id a n a K o ru p si d a n U n d a n g -U n d a n g N o m o r 1 5 T a h u n 2 0 0 2 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 te n ta n g T in d a k P id a n a P e n c u c ia n U a n g .

Dilihat dari penjelasan sistem-sistem pembuktian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa sistem yang dianut Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah sistem Negatief

WettelljkeStelsel (S iste m p e m b u k tia n m e n u ru t u n d a n g -u n d a n g se c a ra n e g a tif). D im a n a d ilih a t d a ri pasal yang berkaitan dengan

pembuktian yaitu Pasal 183 KUHAP yang berbunyi :”Hakim tidak

boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dimana dalam sistem pembuktian ini, merupakan penggabungan antara sistemconvictionin time(sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja) dengan positief wettelijk stelsel(sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif) (M. Yahya Harahap, 2006 : 280).


(34)

c. Prinsip minimum pembuktian

Prinsip minimum pembuktian adalah suatu prinsip yang harus dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti membuktikan salah atau tidaknya terdakwa (M. Yahya Harahap, 2006 : 283). Artinya sampai “batas minimum” pembuktian mana

yang dapat dinilai cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Dalam menentukan minimum pembuktian tersebut tetap harus berpegang pada Pasal 183 serta Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dari rumusan Pasal 183 serta Pasal 184 ayat (1) KUHAP maka prinsip minimum pembuktian yang dianggap cukup memadai untuk menurut sistem pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHP yaitu :

a. Sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah, atau paling minimum kesalahan terdakwa harus dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah.

b. Dengan demikian tidak dibenarkan dan dianggap tidak cukup kesalahan terdakwa jika hanya dengan satu alat bukti saja. Pasal 183 tidak membenarkan pembuktian kesalahan terdakwa hanya dengan satu alat bukti yang berdiri sendiri.

d. Asas-Asas dalam Pembuktian

Pembuktian didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dikenal adanya asas-asas sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam pembuktian, yaitu diantaranya :

1. Pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian, karena pengakuan terdakwa tidak menghilangkan syarat minimum pembuktian, jadi, meskipun terdakwa mengaku, penuntut umum dan persidangan tetap wajib membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain, karena yang dikejar adalah kebenaran materiil (Pasal 189 ayat (4) KUHAP).

2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu

dibuktikan/notoire feiten(Pasal 184 ayat (2) KUHAP). 3. Menjadi saksi adalah kewajiban (Pasal 159 ayat (2) KUHAP).


(35)

4. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri, sehingga hanya mengikat dirinya sendiri (Pasal 189 ayat (3) KUHAP).

5. Satu saksi bukan saksi /unus testis nullus testis(Pasal 185 ayat (2) KUHAP).

e. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian

Alat bukti memegang peranan penting dalam pembuktian, Bukti dalam pengertian sehari-hari merupakan segala hal yang dipergunakan untuk meyakinkan pihak lain dimana macamnya tidak terbatas asalkan bukti tersebut bisa meyakinkan pihak lain tetang pendapat, peristiwa dan keadaan. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti te rse b u t, d a p a t d ip e rg u n a k a n se b a g a i b a h a n p e m b u k tia n g u n a m e n im b u lk a n k e y a k in a n h a k im a ta s k e b e n a ra n a d a n ya su a tu tin d a k pidana yang telah dilakukan terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 11).

Macam-macam alat bukti yang sah dalam Hukum Acara Pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 184 urut-urutan alat bukti itu adalah :

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa.

Jadi keterangan saksi disini adalah alat bukti yang utama karena seseorang didalam melakukan kejahatan tentu akan berusaha menghilangkan jejaknya, sehingga dalam perkara pidana, pembuktian akan di titikberatkan pada keterangan saksi.

Perluasan pengertian alat bukti yang sah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sesuai dengan perkembangan teknologi telah diatur dalam pasal 26 A


(36)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : 1. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,

diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu dan;

2. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dilihat, dibaca, dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.

Berikut adalah penjelasan alat bukti yang sah dalam Hukum Acara Pidana yang dirumuskan dalam Pasal 184 KUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu :

a. Keterangan Saksi

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP). Sedangkan pengertian keterangan saksi sebagai alat bukti adalah salah satu alat bukti yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka 27 KUHAP). Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana, dapat dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.


(37)

Agar keterangan saksi mempunyai nilai dan kekuatan pembuktian atau the degree of evidence maka harus memenuhi beberapa pokok ketentuan, yaitu :

1) Harus mengucapkan sumpah atau janji

Dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP dikatakan bahwa sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya. Seorang saksi yang menolak bersumpah atau berjanji tidak dianggap sebagai alat bukti, melainkan hanya sebagai keterangan yang menguatkan keyakinan hakim sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP.

2) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti

Berdasarkan Pasal 1 angka 27 KUHAP, keterangan saksi dianggap bernilai sebagai alat bukti dalam perkara pidana ialah keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana:

a. yang saksi lihat sendiri, b. saksi dengan sendiri, c. saksi alami sendiri dan;

d. menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. 3) Keterangan saksi harus diberikan di persidangan

Saksi dapat dinilai sebagai alat bukti sesuai dengan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang berbunyi :”Keterangan

saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di

sidang pengadilan”. Keterangan saksi yang dinyatakan

diluar sidang pengadilan (outside the court) bukan alat bukti, tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa meskipun hakim, jaksa penuntut umum,


(38)

terdakwa atau penasehat hukum ada mendengar keterangan seseorang yang berhubungan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa, Keterangan yang demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti karena itu tidak dinyatakan di persidangan.

4) Keterangan satu saksi saja tidak dianggap tidak cukup Hal ini terdapat dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP

yang berbunyi :”Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap

perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Meskipun

keterangan saksi tunggal itu sedemikian jelasnya, tetapi terdakwa tetap mungkir serta kesaksian tunggal itu tidak dicukupi dengan alat bukti lain, kesaksian ini harus dinyatakan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian atas alasan unus testis nullus testis. Apabila jika terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalalahan yang didakwakan kepadanya. Maka dalam hal ini seorang saksi sudah cukup membuktikan keslahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal itu telah dicukupi alat bukti keterangan terdakwa. Tetapi dalam pemeriksaan acara cepat, keyakinan hakim cukup didukung oleh satu alat bukti yang sah seperti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. 5) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri

Masih sering terjadi kekeliruan dimana ada pendapat yang beranggapan dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Tetapi pendapat tersebut keliru

sekalipun saksi yang dihadirkan dan didengar

keterangannya di sidang pengadilan secara “kuantitatif”

telah melampui batas minimum pembuktian, belum tentu


(39)

yang sah membuktikan kesalahan terdakwa. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak jika secara kualitatif keterangan mereka saling berdiri sendiri tanpa adanya saling hubungan antara yang satu dengan yang lain yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu.

Satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi dapat membuktikan suatu keadaan tersendiri (Andi Hamzah 2002 : 161). Pendapat D. Simons tersebut sejalan dan tidak bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) dan Pasal 185 ayat (4) KUHAP. Jika satu keterangan saksi berdiri sendiri dipakai sebagai bukti untuk suatu keadaan atau suatu unsur delik.

Nilai Kekuatan Pembuktian yang melekat pada

Keterangan Saksi sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu :

1) Mempunyai kekuatan pembuktian bebas.

Pada alat bukti kesaksian “tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna” (volledig bewijskracht), dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan(beslissende bewijskracht). Tegasnya, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah

mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas”. Oleh

karena itu, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan

juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang

menentukan. Atau dapat dikatakan bahwa alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat bebas

dan “tidak sempurna” dan tidak “menentukan” atau”tidak mengikat”.


(40)

2) Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim.

Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya. Tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang

melekat pada keterangan itu, dan “dapat menerima” atau “menyingkirkannya” (M. Yahya Harahap, 2006 : 294-295). b. Keterangan Ahli

P a sa l 1 a n g k a 2 8 K U H A P d ise b u tk a n k e te ra n g a n a h li a d a la h k e te ra n g a n y a n g d ib e rik a n o le h se se o ra n g y a n g m e m ilik i k e a h lia n k h u su s te n ta n g h a l y a n g d ip e rlu k a n u n tu k m e m b u a t te ra n g su a tu p e rk a ra p id a n a g u n a k e p e n tin g a n p e m e rik sa a n . S e d a n g k a n d a la m P a sa l 1 8 6 K U H A P d ise b u tk a n K e te ra n ga n a h li ia la h a p a ya n g se o ra n g a h li n ya ta k a n d i sid a n g p e n ga d ila n .

P e rlu d ip e rh a tik a n b a h w a K U H A P m e m b e d a k a n k e te ra n g a n se o ra n g a h li d i p e n g a d ila n se b a g a i a la t b u k ti

“ k e te ra n g a n a h li” (P a sa l 1 8 6 K U H A P ) d a n k e te ra n g a n a h li se c a ra te rtu lis d i lu a r sid a n g p e n g a d ila n se b a g a i a la t b u k ti

“ su ra t”. A p a b ila k e te ra n g a n d ib e rik a n p a d a w a k tu p e m e rik a a n o le h p e n y id ik a ta u p e n u n tu t u m u m , y a n g d itu a n g k a n d a la m su a tu b e n tu k la p o ra n , d a n d ib u a t d e n g a n m e n g in g a t su m p a h se w a k tu ia m e n e rim a ja b a ta n a ta u p e k e rja a n , m a k a k e te ra n g a n a h li te rse b u t se b ag a i a la t b u k ti su ra t. C o n to h y a n g p a lin g b a ik m e n g e n a i k e d u a h a l te rse b u t


(41)

d ia ta s a d a la h “visum et repertum” y a n g d ib u a t o le h se o ra n g d o k te r.

Nilai Kekuatan Pembuktian yang melekat pada

Keterangan Ahli sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu : 1) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas” atau “vrij

bewijskracht”. Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Terserah pada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli yang dimaksud. Akan tetapi, hakim dalam menggunakan wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian, harus benar-benar bertanggung jawab, atas landasan moral demi terwujudnya kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum.

2) Di samping itu, sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai membuktikan kesalahan terdakwa. Apalagi jika Pasal 183 KUHAP dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2), yang

menegaskan, seorang saksi saja tidak cukup untuk

membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini pun, berlaku untuk pembuktian keterangan ahli. Bahwa keterangan seorang ahli saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, agar keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus disertai dengan alat bukti yang lain (M. Yahya Harahap, 2006 : 304-305).


(42)

c. Surat

Surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda bacaan yang dapat dibaca, dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 100). Seperti alat bukti keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, alat bukti surat ini pun hanya diatur dalam satu pasal saja, yaitu Pasal 187 KUHAP. Menurut ketentuan ini, suatu surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, yaitu:

1) surat yang dibuat atas sumpah jabatan, 2) surat yang dikuatkan dengan sumpah.

Kemudian pasal itu sendiri telah memperinci secara luas bentuk-bentuk surat yang dapat dianggap mempunyai nilai sebagai alat bukti, yaitu :

1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.

2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya menenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.

4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Nilai Kekuatan Pembuktian yang melekat pada Surat sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP Kitab


(43)

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu : 1) Ditinjau dari segi formal

Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti yang sempurna. Karena bentuk surat-surat yang disebut didalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formal dalampembuatannya serta dibuat dan berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang, dan pembuatan serta keterangan yang terkandung dalam surat dibuat atas sumpah jabatan maka ditinjau dari segi formal alat bukti surat seperti yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti yang

bernilai “sempurna”. Oleh karena itu, alat bukti surat resmi

mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna. 2) Ditinjau dari segi materiil

Dari sudut materiil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187,”bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”. Pada diri alat bukti surat

itu tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat, sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya.

d. Petunjuk

Yang dimaksud dengan petunjuk adalah suatu kejadian-kejadian atau keadaan atau hal lain, yang keadaannya dan persamaannya satu sama lain maupun dengan peristiwa itu sendiri, nyata menunjukkan, bahwa telah terjadi suatu tindak pidana (Moch. Faisal Salah, 2001: 300).


(44)

Pasal 188 ayat (1 ) K U H A P m e n g a ta k a n b a h w a p e tu n ju k a d a la h perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan sia p a p e la k u n y a . D a la m a y a t se la n ju tn y a d ise b u tk a n b a h w a p e tu n ju k se b a ga im a n a d im a k su d d a la m a ya t (1 ) h a n y a d a p a t d ip e ro le h d a ri k e te ra n g a n sa k si, su ra t a ta u k e te ra n g a n te rd a k w a . A p a b ila a la t b u k ti y a n g m e n ja d i su m b e r d a ri p e tu n ju k tid a k a d a dalam persidangan pengadilan, maka dengan sendirinya tidak akan ada alat bukti petunjuk.

Nilai Kekuatan Pembuktian yang melekat pada Petunjuk sebagai alat bukti dalam P a sa l 184 KUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu :

1) Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu, hakim bebas menilai dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian, 2) Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang kurangnya satu alat bukti yang lain (M. Yahya Harahap, 2006 : 317).

e. Keterangan Terdakwa

Dalam Pasal 1 angka 15 terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Sedangkan keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di depan sidang pengadilan tentang perbuatan yang telah ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.


(45)

Bertitik tolak dari tujuan mewujudkan kebenaran sejati mendekati kebenaran materiil, undang-undang tidak dapat menilai keterangan atau pengakuan terdakwa sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan

Nilai Kekuatan Pembuktian yang melekat pada Keterangan Tredakwa sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu:

1) Sifat nilai kekuatan pembuktian adalah bebas

Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasannya.

2) Harus memenuhi batas minimum pembuktian

Hakim harus memperhatikan ketentuan yang dirumuskan pada Pasal 189 ayat (4), yang menentukan “keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan

kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang

lain”. Dari ketentuan ini jelas dapat disimak keharusan mencukupkan alat bukti keterangan terdakwa dengan sekurang-kurangnya satu lagi alat bukti yang lain, baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup.

3) Harus memenuhi asas keyakinan hakim

Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP adalah:”pembuktian menurut

undang-undang secara negatif”. Artinya di samping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah maka


(46)

dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

2. Tinjauan Tentang Korupsi a. Pengertian Korupsi

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman.

Mengenai asal usul perkataan korupsi tersebut yakni dan bahasa latin “Corruptio” atau “Corruptus”. Dari bahasa latin lalu diturunkan dalam bahasa Inggris sebagai “Corruption”, “Corrupt”, dan menurut bahasa Belanda “Corruptie” yang selanjutnya menurut bahasa Indonesia dikenal dengan istilah“Korupsi”.

Arti harfiah dan kata corrupt sebagaimana ditemukan dalam The Lexion Webster Dictionary diartikan kebusukan, keburukan,

kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral,

penyimpangan dari kesucian (The Lexion Webster Dictionary, 1978 : 76), sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 : 462).

Menurut Transparency Internasional, Korupsi adalah perilaku pejabat publik, maupun politikus atau pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Korupsi termasuk dalam tindak pidana khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor


(47)

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mempunyai kekhususan atau keistimewaan antara lain :

1) Unsur “secara melawan hukum” mencakup perbuatan melawan

hukum dalam arti formil dan dalam arti materiil, artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, manun jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. (penjelasan Pasal 2 ayat (1)).

2) Percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk

melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana melakukan delik selesai/delik sui generis (Pasal 15).

3) Perampasan barang bukti diperluas tidak hanya hal-hal yang ditentukan oleh Pasal 39 KUHAP (Pasal 18).

4) Jika Penyidik tidak menemukan cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka Penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada instansi yang dirugikan untuk melakukan gugatan perdata (Pasal 32).

5) Pembebasan dari kewajiban menjadi saksi dibatasi hanya terhadap mereka yang mempunyai hubungan keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah, saudara kandung dan istri atau suami (Pasal 35).

6) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya, harta benda keluarganya dan setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan (Pasal 37 ayat (3)).

7) Terdakwa berhak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan


(48)

Umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa (Pasal 37 ayat (1)).

8) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya/in absentia(Pasal 38).

Menurut ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat

disimpulkan bahwa hak-hak seorang terdakwa berdasarkan asas praduga bersalah terasa agak di kurangi, alasan yang dipergunakan oleh pembentuk undang-undang adalah karena sulitnya pembuktian perkara korupsi dan bahaya yang di akibatkan oleh perbuatan korupsi tersebut.

Sesuai dengan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan

“penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang

ini”, dengan demikian sifat hukum acara dalam pembuktian tindak

pidana korupsi bersifat lex specialis derogat lex generalis terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3. Tinjauan Tentang Saksi Mahkota

Perdebatan kontroversial tentang saksi mahkota (kroongetuide) dalam due-process of law telah lama terjadi, sebenarnya saksi mahkota hanyalah istilah yang digunakan untuk menyebut saksi yang juga berkedudukan sebagai terdakwa dalam tindak pidana penyertaan.

Perdebatan itu muncul dikarenakan adanya dua Yurisprudensi yang berbeda mengenai penggunaan saksi mahkota, berdasarkan pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 yang menjelaskan penggunaan saksi mahkota dibenarkan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu dalam perkara delik


(49)

penyertaan, terdapat kekurangan alat bukti, diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing). serta apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari pertanggung jawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana. Dalam Yurisprudensi disebutkan saksi mahkota adalah teman terdakwa yang melakukan tindak p id a n a b e rsa m a -sa m a, d ia ju k a n se b a g a i sa k si u n tu k m e m b u k tik a n d a k w a a n ja k sa p e n u n tu t u m u m . T e ta p i d a la m p e rk e m b a n g a n n y a muncul Putusan Mahkamah Agung RI No. 1174/K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah Agung RI No. 1590/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1592/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 yang menjelaskan bahwa pemecahan terdakwa menjadi saksi mahkota terhadap terdakwa lainnya secara yuridis adalah bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang

menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM)

(Muhammad Rustamaji, 2011 : 86).

M e n u ru t S e tiy o n o d a la m a rtik e l E K S IS T E N S I S A K S I MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengenai sa k si m a h k o ta. B e rd a sa rk a n p e rsp e k tif e m p irik m a k a saksi mahkota didefinisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari sa la h se o ra n g te rsa n g k a a ta u te rd a k w a la in n ya ya n g b e rsa m a -sa m a melakukan perbuatan pidana, dan kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Menurut Loebby Loqman, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan (www. MMS Consulting Advocates & Counselorsat Law


(1)

persidangan merupakan suatu kewajiban hukum, artinya apabila saksi telah dipanggil secara patut dan sah untuk dihadirkan sebagai saksi tidak bersedia hadir tanpa alasan yang sah, maka terhadapnya dapat diperintahkan atau upaya paksa untuk hadir di persidangan dengan suatu penetapan hakim. Oleh karenanya pada Pasal 224 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 522 Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ditegaskan bila seseorang tidak memenuhi kewajiban tersebut, kepadanya dapat dikenakan sanksi pidana berupa hukuman penjara dan/atau hukuman denda.

Tetapi dalam Pasal 168 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga mengatur mengenai orang-orang yang tidak dapat di dengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri :

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Dengan demikian bagi orang yang disebut pada Pasal 168 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mutlak dilarang memberikan keterangan sebagai saksi. Apabila mereka sendiri menghendaki dan penuntut umum serta terdakwa secara tegas menyetujui dapat memberikan keterangan di bawah sumpah sesuai ketentuan Pasal 169 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tanpa persetujuan penuntut umum serta terdakwa mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah sesuai ketentuan Pasal 169 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara


(2)

commit to user

Pidana (KUHAP) yang nanti keterangannya hanya dianggap sebagai keterangan biasa guna menambah keyakinan hakim.

Pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu dalam bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan(splitsing), serta apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari pertanggung jawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana.

Sedangkan mengenai hal keterangan saksi di anggap sah menurut hukum, apabila ia telah memenuhi syarat untuk menjadi saksi. Pertama, bahwa saksi adalah orang yang melihat secara langsung, mendengar ataupun mengalami sendiri peristiwa tersebut. Kedua, b a h w a sa k si tid a k m e m p u n y a i h u b u n g a n k e lu a rg a , se d a ra h , se m e n d a m a u p u n p e k e rja a n d e n g a n te rsa n g k a a ta u te rd a k w a . Terakhir, bahwa saksi telah disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing dan ketika memberikan sumpah maupun keterangannya tidak dibawah tekanan dalam artian saksi tersebut dalam keadaan bebas dan sa d a r.

Saksi mahkota diajukan di muka persidangan karena mekanisme pemisahan berkas perkara(splitsing)yang diatur dalam Pasal 142 Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP). Dengan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri, antara seorang terdakwa dengan terdakwa yang lain, masing-masing dapat dijadikan sebagai saksi secara timbal balik. Sedang apabila mereka digabung dalam suatu berkas dan pemeriksaan persidangan, antara yang satu dengan yang lain tidak dapat saling dijadikan menjadi saksi yang timbal balik. Maka Apabila Adi Buntaran, SH dan dan Naman, SH selaku Anggota Tim Verifikasi Inspektorat Jenderal Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Itjen Depkes RI) yang dalam kasus perkara


(3)

No.Reg.Perk : PDS-02/SKRTA/Ft.1/03/2010 berstatus sebagai terdakwa diajukan menjadi saksi di kasus perkara No.Reg.Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 dengan terdakwa Drs. Ambar Kuato selaku Ketua Tim Verifikasi Inspektorat Jenderal Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Itjen Depkes RI) maka kedudukan saksi mahkota tersebut murni sebagai saksi karena memenuhi definisi mengenai saksi yang di atur dalam Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) karena mereka adalah orang-orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri dan yang mengalami sendiri.

Pandangan hakim mengenai nilai pembuktiaan saksi mahkota yang di ajukan dan memberi keterangan di muka persidangan akan memenuhi unsur-unsur penilaian mengenai saksi sesuai ketentuan Pasal 185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sehingga hakim dapat m e n ja tu h an p id a n a k a re n a te la h m e m e n u h i k e te n tu a n P a sa l 1 8 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (K U H A P ) y a n g m e n e ra n g k a n b a h w a h a k im tid a k b o le h m e n ja tu h k a n p id a n a k e p a d a se se o ra n g k e c u a li a p a b ila d e n g a n se k u ra n g -k u ra n g n y a d u a a la t b u k ti y a n g sah ia m e m p e ro le h k e y a k in a n b a h w a su atu tin d a k p id a n a b e n a r-b e n a r te rja d i d a n b a h w a te rd a k w a la h y a n g b e rsa la h m e la k u k a n n y a . Berdasarkan hal-hal tersebut, maka saksi mahkota ini memiliki kekuatan pembuktian yang sah.

Dalam kasus ini yang telah benar-benar cukup alat bukti berdasarkan keterangan saksi, kebebasan hakim menilai kebenaran dan keterangan saksi-saksi harus berpedoman pada tujuan mewujudkan kebenaran sejati. Pada perwujudan kebenaran sejati, maka tanggung jawab moral kebebasan penilaian diletakkan hakim. Agar hakim terhindar dari sifat kecongkakan dan kesewenangan maka kekuatan pembuktian keterangan saksi makota sama dengan keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, yaitu bahwa saksi mahkota tidak mempunyai nilai pembuktian yang sempurna dan mengikat, hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya, mempunyai nilai kekuatan


(4)

commit to user

pembuktian yang bebas, dapat di lumpuhkan terdakwa dengan alat bukti yang lain berupa saksia dechargemaupun dengan keterangan ahli atau


(5)

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

B e rd a sa rk a n p e m b a h a sa n te rh a d a p h a sil p e n e litia n , m a k a dapat dirumuskan 2 (dua) simpulan sebagai berikut :

1. A la sa n u n tu k d a p a t m e n g h a d irk a n sa k si m a h k o ta d a la m p e rsid a n g a n a d a la h b e rd a sa rk a n P u tu sa n M a h k a m a h A g u n g R I N o . 1 9 8 6 /K /P id /1 9 8 9 tanggal 21 Maret 1990 y a n g m e m p e rb o le h k a n d ip e rg u n a k a n n y a sa k si m a h k o ta . N a m u n d e n g a n d ik e lu a rk a n n y a P u tu sa n M a h k a m a h A g u n g R I N o . 1174/K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah Agung RI No. 1590/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1592/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 p e n g g u n a a n sa k si m a h k o ta d a la m p e m b u k tia n p e rk a ra p id a n a tid a k d ip e rb o le h k a n k a re n a d ia n g g a p m e la n g g a r h a k a sa si te rd a k w a . S e b e n a rn y a tid a k a d a d a sa r h u k u m y a n g k u a t m e n g e n a i p e n g g u n a a n sa k si m a h k o ta d a la m u n d a n g -u n d a n g m a n a p u n d i In d o n e sia . Penggunaan saksi mahkota dibenarkan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu : (1) Terdapat kekurangan alat bukti, (2) Dalam perkara delik penyertaan

(Deelneming), (3) Diperiksa dengan mekanisme pemisahan

(Splitsing).

2. Saksi mahkota dalam kasus perkara No.Reg.Perk :

PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 dengan terdakwa Drs. Ambar Kuato selaku Ketua Tim Verifikasi Inspektorat Jenderal Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Itjen Depkes RI) berkedudukan murni sebagai saksi karena memenuhi syarat sebagai alat bukti dan memenuhi definisi saksi dalam Pasal 1 angka 26 yang menjelaskan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan


(6)

commit to user

peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dalam kasus ini hakim memperbolehkan penggunaan saksi mahkota dan mendengarkan keterangannya di muka sidang pengadilan maka dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam mengambil keputusan dan penilaian pembuktian oleh hakim.

B. Saran

1. Amandemen Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau

dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) perlu di justifikasikan istilah saksi mahkota, karena istilah ini sudah sangat memasyarakat dalam praktek peradilan dan perlu diatur dasar hukum dari saksi mahkota sebagai alat bukti yang sah di masukan dalam keterangan saksi. Karena dalam prakteknya penggunaan saksi mahkota merupakan kebutuhan hukum dalam pembuktian kasus perkara yang kekurangan alat bukti saksi.

2. Diperlukan dokumentasi terhadap Putusan Mahkamah Agung RI mengenai penggunaan saksi mahkota. Dari Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI tersebut dapat diketahui kedudukan dan nilai pembuktian dari saksi mahkota, sehingga berguna sebagai pedoman para hakim dalam pembuktian yang menggunakan saksi mahkota.