Bilingualisme Campur Kode dan Alih kode

hubungan di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu dalam suatu masyarakat bahasa Chaer dan Leoni Agustina, 1995:3. J.A. Fishman dalam Chaer dan Leoni Agustina, 1995:5 pakar sosiolinguistik yang andilnya sangat besar dalam kajian sosiolinguistik, mengatakan kajian sosiolinguistik lebih bersifat kualitatif, sedangkan kajian sosiologi bahasa bersifat kuantiatif. Jadi, sosiolinguistik lebih berhubungan dengan perician-perincian penggunaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian bahasa atau dialek dalam budaya tertentu, pilihan pemakaian bahasa atau dialek tertentu yang dilakukan penutur, topik, dan latar pembicaraan. Sedangkan sosiologi bahasa lebih berhubungan dengan faktor-faktor sosial, yang saling bertimbal balik dengan bahasa atau dialek.

2.2.2 Bilingualisme

Istilah bilingualisme atau disebut juga dengan kedwibahasaan. Mackey dalam Chaer, 1995 berpendapat bahwa bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya disingkat B1, dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya disingkat B2. Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual, dalam bahasa Indonesia disebut dwibahasawan. Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas, Universitas Sumatera Utara dalam bahasa Indonesia disebut kedwibahasawan Chaer dan Leoni Agustina, 1995:84. Berbeda dengan Mackey, Oksaar dalam Chaer dan Leoni Agustina, 1995:91 berpendapat bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok, sebab bahasa itu penggunaannya tidak terbatas antara individu dan individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi antar kelompok. Bahasa itu bukan sekadar alat komunikasi saja, melainkan juga sebagai alat untuk menunjukkan identitas kelompok. Haugen dalam Tarigan dan Djago Tarigan, 1995:9 mengatakan bilingualisme kemampuan menghasilkan ujaran yang bermakna di dalam bahasa kedua. Dari definisi-definisi tersebut dapat dilihat bahwa bilingualisme mempermasalahkan dua bahasa dalam penggunaannya. Maka sudah tentu terjadilah kontak antara dua bahasa. Kontak bahasa ini terjadi dalam masyarakat pemakai bahasa atau terjadi dalam situasi kemasyarakatan tempat seseorang mempelajari unsur-unsur sistem bahasa yang bukan merupakan bahasanya sendiri. Bilingualisme merupakan masalah bahasa, oleh karena itu bilingualisme ini pun bukan hanya masalah perseorangan, tetapi juga masalah yang ada dalam suatu kelompok pemakai bahasa.

2.2.3 Campur Kode dan Alih kode

Suatu keadaan berbahasa adalah bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu. Dalam Universitas Sumatera Utara keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan kebiasaannya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian kita sebut campur kode. Ciri yang menonjol dalam campur kode ini adalah kesantaian atau situasi informal Nababan, 1984:32. Hymes dalam Chaer dan Leoni Agustina, 1995:108 menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam- ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab alih kode itu disebutkan antara lain adalah 1 pembicara atau penutur, 2 pendengar atau lawan tutur, 3 perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, 4 perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan 5 perubahan topik pembicaraan. Thelander dalam Chaer dan Leoni Agustina, 1995:115mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran hybrid clauses, hybrid phrases, dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukanlah alih kode. Dalam hal ini menurut Thelander selanjutnya memang ada kemungkinan terjadinya perkembangan dari campur kode ke alih kode. Perkembangan ini misalnya dapat dilihat kalau ada usaha untuk mengurangi kehibridan klausa-klausa atau frase-frase yang digunakan, serta memberi fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan keotonomian bahasanya masing- masing. Universitas Sumatera Utara Fasold dalam Chaer dan Leoni Agustina, 1995:115 menawarkan kriteria gramatika untuk membedakan campur kode dan alih kode. Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.

2.2.4 Interferensi