Studi Pengaruh Tween 80 dan Minyak Inti Sawit Terhadap Penetrasi Asam Askorbat Melalui Kulit Kelinci Secara In Vitro

(1)

STUDI PENGARUH TWEEN 80 DAN MINYAK INTI

SAWIT TERHADAP PENETRASI ASAM ASKORBAT

MELALUI KULIT KELINCI SECARA

SKRIPSI

OLEH:

AGUS DERMAWAN

NIM 091501043

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

STUDI PENGARUH TWEEN 80 DAN MINYAK INTI

SAWIT TERHADAP PENETRASI ASAM ASKORBAT

MELALUI KULIT KELINCI SECARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

AGUS DERMAWAN

NIM 091501043

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

STUDI PENGARUH TWEEN 80 DAN MINYAK INTI

SAWIT TERHADAP PENETRASI ASAM ASKORBAT

MELALUI KULIT KELINCI SECARA

OLEH:

AGUS DERMAWAN NIM 091501043

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 26 April 2013

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dra. Anayanti Arianto, M.Si., Apt. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. NIP 195306251986012001 NIP 195301011983031004

Pembimbing II, Dra. Anayanti Arianto, M.Si., Apt. NIP 195306251986012001

Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt. Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. NIP 195201171980031002 NIP 195504241983031003

Drs. Rasmadin Mukhtar, M.S., Apt. NIP 194909101980031002

Medan, Mei 2013 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan anugerah dan kemurahan3Nya sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Pengaruh Tween 80 dan Minyak Inti Sawit Terhadap Penetrasi Asam Askorbat Melalui Kulit Kelinci Secara ”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar3besarnya kepada Dra. Anayanti Arianto, M.Si., Apt., dan Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt., selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, dan bantuan selama masa penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung, kepada Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas dan masukan selama masa pendidikan dan penelitian,. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt., dan Drs. Rasmadin Mukhtar, M.S., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini serta kepada Bapak Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Pharm.Clin., Apt., selaku dosen pembimbing akademik yang selalu membimbing selama masa pendidikan.

Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih serta penghargaan yang tulus dan tak terhingga kepada orangtua tersayang Ayahanda Suandi dan Ibunda Betty atas doa dan dukungan baik moril maupun materiil, adik tersayang


(5)

Yuniaty, kerabat3kerabat, dan teman3teman semua atas motivasi dan segala bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak guna perbaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang farmasi.

Medan, April 2013 Penulis,

Agus Dermawan 091501043


(6)

Studi Pengaruh Tween 80 dan Minyak Inti Sawit Terhadap Penetrasi Asam Askorbat Melalui Kulit Kelinci Secara

Abstrak

Kulit sebagai tempat penyampaian obat memiliki berbagai keuntungan, seperti kemudahan pemakaian dan menghindari . Namun, lambatnya sistem transport obat melalui kulit membatasi jalur penyampaian obat ini. Untuk mengatasi masalah ini, berbagai jenis dapat digunakan. Asam askorbat adalah bahan farmasetik yang dapat berfungsi sebagai pemutih kulit. Oleh karena itu, penyampaiannya melalui kulit akan lebih efektif untuk mendapatkan efek ini.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Tween 80 dan minyak inti sawit terhadap penetrasi asam askorbat dari sediaan salep melalui kulit secara

Pada penelitian ini dibuat berbagai formula salep dengan kandungan asam askorbat sebanyak 10%, yaitu F1 (tanpa Tween 80, minyak inti sawit 35%), F2 (2,5% Tween 80, minyak inti sawit 35%), F3 (Tween 80 5%, minyak inti sawit 35%), F4 (Tween 80 10%, minyak inti sawit 35%), F5 (tanpa minyak inti sawit, Tween 80 5%), F6 (minyak inti sawit 25%, Tween 80 5%), dan F7 berupa larutan asam askorbat dengan pelarut gliserin 50%. Pengujian penetrasi dilakukan menggunakan sel difusi dengan luas permukaan 1,28 cm2 dan kulit kelinci bebas bulu. Salep asam askorbat sebanyak 0,15 gram dioleskan pada kulit dan pada setiap interval waktu tertentu, dipipet medium (gliserin 50%) pada kompartemen reseptor dan diukur konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi melalui kulit kelinci dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 266,8 nm. Semua penelitian dilakukan selama 9 jam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tween 80 dalam konsentrasi rendah (2,5% dan 5%) dapat meningkatkan penetrasi asam askorbat dalam sediaan salep melalui kulit secara , tetapi pada konsentrasi tinggi (10%) akan menurunkan penetrasi. Minyak inti sawit dapat meningkatkan penetrasi asam askorbat dalam sediaan salep melalui kulit kelinci secara . Semakin tinggi konsentrasi minyak inti sawit, semakin besar penetrasinya.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Tween 80 dapat meningkatkan penetrasi asam askorbat, tetapi tidak signifikan secara statistik. Minyak inti sawit dapat meningkatkan penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara signifikan secara statistik. Kombinasi keduanya menghasilkan efek peningkat penetrasi yang lebih besar jika Tween 80 digunakan dalam konsentrasi rendah, tetapi peningkatan ini tidak signifikan secara statistik.


(7)

Study of the Effects of Tween 80 and Palm Kernel Oil on Ascorbic Acid Penetration through Rabbit Skin

Abstract

It is well known that drugs can be applied to the skin to get the advantages of accessibility and the avoidance of first pass metabolism. However, the slow transport of many drugs across the skin makes a limitation. To overcome this problem, enhancers can be used. Ascorbic acid is a pharmaceutical agent that can be used to whiten skin. Delivering ascorbic acid directly to the skin will be more effective to obtain this effect.

The aim of this study was to evaluate the effect of Tween 80 and palm kernel oil on the penetration of ascorbic acid through rabbit skin .

In this study, varies ointment formula were made, F1 (without Tween 80), F2 (2.5% Tween 80, 35% palm kernel oil), F3 (5% Tween 80, 35% palm kernel oil), F4 (10% Tween 80, 35% palm kernel oil), F5 (without palm kernel oil, 5% Tween 80), F6 (25% palm kernel oil, Tween 80 5%), and F7 (ascorbic acid solution with 50% glycerin as solvent), each formula contained 10% ascorbic acid. For the penetration experiment, diffusion cell providing effective diffusion area of 1.28 cm2 and hairless rabbit skin were used. 0.15 gram of ascorbic acid ointment was applied to the skin and at a certain interval of time, medium (50% glycerin) in the receptor chamber was withdrawn and ascorbic acid content was assayed using UV spectrophotometer at wavelength 266.8 nm. The experiments were conducted for 9 hours.

The results of this study showed that Tween 80 and palm kernel oil could enhance ascorbic acid skin penetration, but Tween 80 must be used in low concentration (2.5% and 5%). The used of Tween 80 in high concentration (10%) decreased the penetration. For palm kernel oil, the concentration of ascorbic acid penetrated was increased equally with the concentration of palm kernel oil used.

This study suggests that Tween 80 can enhances penetration of ascorbic acid through rabbit skin, but not significant statistically. Palm kernel oil can be used to enhance ascorbic acid penetration through rabbit skin, and the enhancement is significant statistically. Their combination shows greater penetration enhancing effect if Tween 80 is used in low concentration, but not significant statistically.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

1.3 Perumusan Masalah ... 4

1.4 Hipotesis Penelitian ... 5

1.5 Tujuan Penelitian ... 5

1.6 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Tween 80 ... 7

2.2 Minyak Inti Sawit ... 7


(9)

2.3.1 Anatomi dan fisiologi kulit ... 9

2.3.1.1 Epidermis ... 9

2.3.1.2 Dermis ... 11

2.3.1.3 Jaringan subkutan ... 13

2.4 Sistem Penyampaian Obat Melalui Kulit ... 13

2.4.1 Keuntungan sistem penyampaian obat melalui kulit ... 14

2.4.2 Kerugian sistem penyampaian obat melalui kulit ... 14

2.4.3 Rute penetrasi zat aktif melalui kulit ... 14

2.5 Prinsip Dasar Difusi Melalui Membran ... 16

2.5.1 Hukum Fick pertama ... 16

2.6 (Peningkat Penetrasi) ... 17

2.6.1 Peningkatan penetrasi secara fisika ... 18

2.6.2 Peningkatan penetrasi secara kimia ... 19

2.6.3 Mekanisme kerja kimia ... 20

2.6.4 Jenis3jenis kimia ... 20

2.6.4.1 Asam lemak ... 21

2.6.4.2 Surfaktan ... 21

2.7 Asam Askorbat ... 22

2.7.1 Uraian bahan ... 22

2.7.2 Efek asam askorbat melalui kulit ... 23

2.8 Natrium metabisulfit ... 23

BAB III METODE PENELITIAN ... 24


(10)

3.3 Prosedur Penelitian ... 24 3.3.1 Pembuatan pereaksi ... 24 3.3.1.1 Pembuatan larutan gliserin 50% ... 24 3.3.2 Pembuatan kurva serapan dan kurva kalibrasi asam

askorbat dalam medium gliserin 50% ... 25 3.3.2.1 Pembuatan larutan induk baku asam askorbat ... 25 3.3.2.2 Pembuatan blanko dan penetapan ... 25 3.3.2.2 Pembuatan kurva serapan larutan asam askorbat .. 25 3.3.2.3 Pembuatan kurva kalibrasi larutan asam askorbat .. 25 3.3.3 Pembuatan salep asam askorbat ... 26 3.3.3.1 Pembuatan salep asam askorbat tanpa Tween 80 ... 26 3.3.3.2 Pembuatan salep asam askorbat dengan Tween 80

2,5% ... 26 3.3.3.3 Pembuatan salep asam askorbat dengan Tween 80

5% ... 27 3.3.3.4 Pembuatan salep asam askorbat dengan Tween 80

10% ... 27 3.3.3.5 Pembuatan salep asam askorbat tanpa minyak inti

sawit ... 28 3.3.3.6 Pembuatan salep asam askorbat dengan minyak

inti sawit 25% ... 28 3.3.4 Pembuatan larutan asam askorbat ... 29 3.3.5 Penyiapan membran biologis ... 29 3.3.6 Uji penetrasi asam askorbat dalam sediaan salep secara

... 30 3.3.7 Analisa statistik ... 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31


(11)

4.1 Pengaruh Konsentrasi Tween 80 terhadap Penetrasi Asam

Askorbat melalui Kulit Kelinci secara 31

4.2 Pengaruh Konsentrasi Minyak Inti Sawit terhadap Penetrasi

Asam Askorbat melalui Kulit Kelinci secara ... 35

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

5.1 Kesimpulan ... 41

5.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Kandungan asam lemak dan persentasenya dalam minyak inti sawit ... 8 Tabel 4.1 Nilai AUC masing3masing formula variasi konsentrasi

Tween 80 ... 31 Tabel 4.2 Pengaruh konsentrasi minyak Tween 80 terhadap

parameter3parameter penetrasi asam askorbat melalui

kulit kelinci secara ... 34 Tabel 4.3 Nilai AUC masing3masing formula variasi konsentrasi

minyak inti sawit ... 36 Tabel 4.4 Pengaruh konsentrasi minyak inti sawit terhadap

parameter3parameter penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara ... 39


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Rumus bangun Tween 80 ... 7

Gambar 2.2 Struktur kulit ... 9

Gambar 2.3 Jalur penetrasi obat melalui stratum korneum ... 15

Gambar 2.4 Rumus bangun asam askorbat ... 22

Gambar 4.1 Grafik perbandingan konsentrasi terhadap waktu dari berbagai fomula dengan variasi konsentrasi Tween 80 .. 31

Gambar 4.2 Grafik pengaruh konsentrasi Tween 80 terhadap parameter3parameter penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara ... 33

Gambar 4.3 Grafik pengaruh konsentrasi minyak inti sawit terhadap penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara ... 36

Gambar 4.4 Grafik pengaruh konsentrasi minyak inti sawit terhadap parameter3parameter penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara ... 38


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Kurva serapan larutan asam askorbat konsentrasi 5 ppm

dalam medium gliserin 50% ... 45

Lampiran 2. Kurva kalibrasi larutan asam askorbat dalam medium gliserin 50% pada panjang gelombang 266,8 nm ... 46

Lampiran 3 Data difusi asam askorbat dari salep formula 1 ... 47

Lampiran 4 Data difusi asam askorbat dari salep formula 2 ... 48

Lampiran 5 Data difusi asam askorbat dari salep formula 3 ... 50

Lampiran 6 Data difusi asam askorbat dari salep formula 4 ... 51

Lampiran 7 Data difusi asam askorbat dari salep formula 5 ... 53

Lampiran 8 Data difusi asam askorbat dari salep formula 6 ... 54

Lampiran 9 Data difusi asam askorbat dari salep formula 7 ... 56

Lampiran 10 Jumlah rata3rata asam askorbat yang berpenetrasi dari salep formula 1 ... 57

Lampiran 11 Jumlah rata3rata asam askorbat yang berpenetrasi dari salep formula 2 ... 58

Lampiran 12 Jumlah rata3rata asam askorbat yang berpenetrasi dari salep formula 3 ... 58

Lampiran 13 Jumlah rata3rata asam askorbat yang berpenetrasi dari salep formula 4 ... 59

Lampiran 14 Jumlah rata3rata asam askorbat yang berpenetrasi dari salep formula 5 ... 59

Lampiran 15 Jumlah rata3rata asam askorbat yang berpenetrasi dari salep formula 6 ... 60

Lampiran 16 Jumlah rata3rata asam askorbat yang berpenetrasi dari salep formula 7 ... 60


(15)

Lampiran 17 Data AUC difusi asam askorbat dari salep formula 1

ke dalam medium gliserin 50% ... 61 Lampiran 18 Data AUC difusi asam askorbat dari salep formula 2

ke dalam medium gliserin 50% ... 61 Lampiran 19 Data AUC difusi asam askorbat dari salep formula 3

ke dalam medium gliserin 50% ... 62 Lampiran 20 Data AUC difusi asam askorbat dari salep formula 4

ke dalam medium gliserin 50% ... 62 Lampiran 21 Data AUC difusi asam askorbat dari salep formula 5

ke dalam medium gliserin 50% ... 63 Lampiran 22 Data AUC difusi asam askorbat dari salep formula 6

ke dalam medium gliserin 50% ... 63 Lampiran 23 Data AUC difusi asam askorbat dari salep formula 7

ke dalam medium gliserin 50% ... 64 Lampiran 24 Perhitungan % kumulatif asam askorbat yang

berpenetrasi melalui epidermis kelinci secara ... 64 Lampiran 25 Perhitungan parameter penetrasi asam askorbat melalui

Kulit kelinci secara ... 65 Lampiran 26 Data uji statistik pengaruh minyak inti sawit terhadap

penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara

... 66 Lampiran 27 Data uji statistik pengaruh Tween 80 terhadap penetrasi

asam askorbat melalui kulit kelinci secara ... 68 Lampiran 28 Tabel distribusi F ... 70 Lampiran 29 Gambar alat ... 71


(16)

Studi Pengaruh Tween 80 dan Minyak Inti Sawit Terhadap Penetrasi Asam Askorbat Melalui Kulit Kelinci Secara

Abstrak

Kulit sebagai tempat penyampaian obat memiliki berbagai keuntungan, seperti kemudahan pemakaian dan menghindari . Namun, lambatnya sistem transport obat melalui kulit membatasi jalur penyampaian obat ini. Untuk mengatasi masalah ini, berbagai jenis dapat digunakan. Asam askorbat adalah bahan farmasetik yang dapat berfungsi sebagai pemutih kulit. Oleh karena itu, penyampaiannya melalui kulit akan lebih efektif untuk mendapatkan efek ini.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Tween 80 dan minyak inti sawit terhadap penetrasi asam askorbat dari sediaan salep melalui kulit secara

Pada penelitian ini dibuat berbagai formula salep dengan kandungan asam askorbat sebanyak 10%, yaitu F1 (tanpa Tween 80, minyak inti sawit 35%), F2 (2,5% Tween 80, minyak inti sawit 35%), F3 (Tween 80 5%, minyak inti sawit 35%), F4 (Tween 80 10%, minyak inti sawit 35%), F5 (tanpa minyak inti sawit, Tween 80 5%), F6 (minyak inti sawit 25%, Tween 80 5%), dan F7 berupa larutan asam askorbat dengan pelarut gliserin 50%. Pengujian penetrasi dilakukan menggunakan sel difusi dengan luas permukaan 1,28 cm2 dan kulit kelinci bebas bulu. Salep asam askorbat sebanyak 0,15 gram dioleskan pada kulit dan pada setiap interval waktu tertentu, dipipet medium (gliserin 50%) pada kompartemen reseptor dan diukur konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi melalui kulit kelinci dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 266,8 nm. Semua penelitian dilakukan selama 9 jam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tween 80 dalam konsentrasi rendah (2,5% dan 5%) dapat meningkatkan penetrasi asam askorbat dalam sediaan salep melalui kulit secara , tetapi pada konsentrasi tinggi (10%) akan menurunkan penetrasi. Minyak inti sawit dapat meningkatkan penetrasi asam askorbat dalam sediaan salep melalui kulit kelinci secara . Semakin tinggi konsentrasi minyak inti sawit, semakin besar penetrasinya.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Tween 80 dapat meningkatkan penetrasi asam askorbat, tetapi tidak signifikan secara statistik. Minyak inti sawit dapat meningkatkan penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara signifikan secara statistik. Kombinasi keduanya menghasilkan efek peningkat penetrasi yang lebih besar jika Tween 80 digunakan dalam konsentrasi rendah, tetapi peningkatan ini tidak signifikan secara statistik.


(17)

Study of the Effects of Tween 80 and Palm Kernel Oil on Ascorbic Acid Penetration through Rabbit Skin

Abstract

It is well known that drugs can be applied to the skin to get the advantages of accessibility and the avoidance of first pass metabolism. However, the slow transport of many drugs across the skin makes a limitation. To overcome this problem, enhancers can be used. Ascorbic acid is a pharmaceutical agent that can be used to whiten skin. Delivering ascorbic acid directly to the skin will be more effective to obtain this effect.

The aim of this study was to evaluate the effect of Tween 80 and palm kernel oil on the penetration of ascorbic acid through rabbit skin .

In this study, varies ointment formula were made, F1 (without Tween 80), F2 (2.5% Tween 80, 35% palm kernel oil), F3 (5% Tween 80, 35% palm kernel oil), F4 (10% Tween 80, 35% palm kernel oil), F5 (without palm kernel oil, 5% Tween 80), F6 (25% palm kernel oil, Tween 80 5%), and F7 (ascorbic acid solution with 50% glycerin as solvent), each formula contained 10% ascorbic acid. For the penetration experiment, diffusion cell providing effective diffusion area of 1.28 cm2 and hairless rabbit skin were used. 0.15 gram of ascorbic acid ointment was applied to the skin and at a certain interval of time, medium (50% glycerin) in the receptor chamber was withdrawn and ascorbic acid content was assayed using UV spectrophotometer at wavelength 266.8 nm. The experiments were conducted for 9 hours.

The results of this study showed that Tween 80 and palm kernel oil could enhance ascorbic acid skin penetration, but Tween 80 must be used in low concentration (2.5% and 5%). The used of Tween 80 in high concentration (10%) decreased the penetration. For palm kernel oil, the concentration of ascorbic acid penetrated was increased equally with the concentration of palm kernel oil used.

This study suggests that Tween 80 can enhances penetration of ascorbic acid through rabbit skin, but not significant statistically. Palm kernel oil can be used to enhance ascorbic acid penetration through rabbit skin, and the enhancement is significant statistically. Their combination shows greater penetration enhancing effect if Tween 80 is used in low concentration, but not significant statistically.


(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat dapat diberikan melalui kulit untuk mendapatkan efek pada tempat pemakaian, jaringan di dekat tempat pemakaian, ataupun efek sistemik. Meskipun terdapat banyak keuntungan dari penyampaian obat melalui kulit, seperti pemakaian yang mudah dan menghindari metabolism, sifat barier kulit menjadi suatu tantangan yang sulit bagi penetrasi obat (Chiranjib, et al 2010).

Lapisan stratum korneum dari kulit adalah lapisan pelindung utama dan terdiri dari delapan sampai enam belas lapisan sel yang pipih, berlapis3lapis, dan berkeratin. Setiap sel memiliki panjang sekitar 34344 µm, lebar 25336 µm, dan tebal 0,1530,2 µm. Lapisan sel ini secara berkesinambungan digantikan dari lapisan basal (Washington, et al 2003).

Lapisan stratum korneum diperkirakan memberi 1000 kali tahanan difusi bagi senyawa hidrofilik untuk penetrasi ke dalam kulit. Namun, untuk senyawa yang sangat lipofilik dengan koefisien partisi lipid banding air lebih dari 400, lapisan dermis yang hidrofilik menjadi tahanan absorpsi sistemik yang utama (Riviere dan Papich, 2001). Oleh karena keterbatasan penetrasi obat melalui kulit, (peningkat penetrasi) sering ditambahkan dalam formulasi sediaan obat topikal (Marzouk, et al., 2012).

Ada banyak mekanisme untuk meningkatkan penetrasi. Interaksi antara dengan gugus polar dari lipid stratum korneum adalah salah satu cara untuk meningkatkan penetrasi. Interaksi antar gugus3gugus lipid dan perubahan


(19)

susunan lipid menyebabkan fasilitasi difusi dari obat3obat hidrofilik (Vikas, et al., 2011). Bahan kimia dipercaya bekerja aktif dengan cara memecah susunan molekul interselular, terutama , yang mempertahankan barier tahanan difusi. Perubahan dari lingkungan korneosit juga dapat mempengaruhi penetrasi obat (Walker dan Smith, 1996).

Asam askorbat atau dikenal juga dengan vitamin C adalah bahan farmasetik yang digunakan dalam kosmetik sebagai pemutih kulit. Asam askorbat dapat mengontrol produksi melanin dengan dua cara, yaitu mengurangi senyawa intermedit melanin, dopaquinone, dalam reaksi tirosinase yang menghasilkan melanin dari tirosin, dan mengurangi warna gelap melanin yang teroksidasi menjadi bentuk tereduksi yang lebih cerah (Mitsui, 1997).

Tween 80 adalah surfaktan nonionik dan sering yang digunakan dalam formulasi sediaan farmasi, seperti salep dan krim. Tween 80 diketahui dapat meningkatkan permeabilitas membran fosfolipid. Pengaruh Tween 80 terhadap penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci telah diteliti sebelumnya. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi Tween 80 yang digunakan, semakin besar penetrasi asam askorbat (Akhtar, et al., 2011). Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Patel, et al., (2011) yang menyatakan bahwa pelepasan obat tidak selalu linear dengan konsentrasi penetrasi. Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai pengaruh konsentrasi Tween 80 terhadap penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara .


(20)

Minyak dari daging buah dan minyak inti memiliki kandungan asam lemak yang berbeda (Khosla, 2006). Kandungan asam lemak terbanyak pada minyak inti sawit adalah asam laurat, sedangkan pada minyak daging buah sawit, asam lemak terbanyak adalah asam palmitat (Li, et al., 2012; Mukherjee dan Analava, 2009). Asam lemak telah sering digunakan sebagai . Efek ini sangat dipengaruhi oleh struktur asam lemak dan pembawa dalam formulasi (Trommer dan Neubert, 2006). Minyak daging buah sawit (fraksi olein) telah pernah diteliti daya 3nya terhadap aspirin melalui kulit kelinci dan hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak buah sawit dapat menjadi (Handoko, 2005). Sejauh studi literatur yang dilakukan oleh peneliti, minyak inti sawit belum pernah diteliti sebagai pada sistem penyampaian perkutan. Peneliti tertarik untuk meneliti daya dari minyak inti sawit terhadap penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci.

Dewasa ini, pemutihan kulit dengan menggunakan asam askorbat dilakukan secara injeksi. Hal ini sangat beresiko dan menyebabkan rasa yang sangat sakit. Selain itu, injeksi asam askorbat ini dilakukan di salon3salon kecantikan sehingga mungkin bukan ditangani oleh dokter yang bersertifikasi. Peneliti tertarik membuat suatu sediaan topikal asam askorbat yang efektif memutihkan kulit sehingga mengghasilkan suatu produk pemutih kulit yang efektif, aman, dan mudah digunakan.


(21)

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Secara skematis, kerangka pikir penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Apakah terdapat korelasi antara peningkatan konsentrasi Tween 80 dengan peningkatan penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara ? b. Apakah terdapat korelasi antara peningkatan konsentrasi minyak inti sawit

dengan peningkatan penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara ?

c. Apakah kombinasi Tween 80 dan minyak inti sawit memiliki daya peningkat penetrasi yang lebih besar dibandingkan dengan tidak dikombinasi?

Konsentrasi minyak inti

sawit Penetrasi asam

askorbat melalui kulit kelinci secara

dengan Tween 80 dan

minyak inti sawit sebagai

.

Konsentrasi Tween 80

Penetrasi

Jumlah asam askorbat berpenetrasi


(22)

1.4 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Terdapat korelasi antara peningkatan konsentrasi Tween 80 dengan peningkatan penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara ? b. Terdapat korelasi antara peningkatan konsentrasi minyak inti sawit dengan

peningkatan penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara ? c. Kombinasi Tween 80 dan minyak inti sawit memiliki daya peningkat

penetrasi yang lebih besar dibandingkan dengan tidak dikombinasi. 1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi Tween 80 terhadap peneterasi asam askorbat dalam bentuk sediaan salep melalui kulit kelinci secara .

b. Mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi minyak inti sawit terhadap peneterasi asam askorbat dalam bentuk sediaan salep melalui kulit kelinci secara .

c. Mengetahui pengaruh kombinasi Tween 80 dengan minyak inti sawit terhadap penetrasi asam askorbat dalam bentuk sediaan salep melalui kulit kelinci secara .


(23)

1.6 Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan bahwa asam askorbat dapat diberikan secara perkutan dalam bentuk sediaan salep sebagai zat pemutih ( ) untuk menghilangkan flek hitam pada kulit.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tween 80

Tween 80 adalah ester asam lemak polioksietilen sorbitan, dengan nama kimia polioksietilen 20 sorbitan monooleat. Rumus molekulnya adalah C64H124O26 dan rumus strukturnya adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1 Rumus bangun Tween 80 (Rowe, 2009)

Pada suhu 25ºC, Tween 80 berwujud cair, berwarna kekuningan dan berminyak, memiliki aroma yang khas, dan berasa pahit. Larut dalam air dan etanol, tidak larut dalam minyak mineral. Kegunaan Tween 80 antara lain sebagai: zat pembasah, emulgator, dan peningkat kelarutan (Rowe, 2009). Selain fungsi, fungsi tersebut, Tween 80 juga berfungsi sebagai peningkat penetrasi (Akhtar, et al., 2011).

2.2 Minyak Inti Sawit

Sawit ( ! ) secara umum adalah tumbuhan yang berasal dari hutan Afrika Timur, tetapi sekarang banyak dibudidayakan di Asia Tenggara.


(25)

Sawit dapat menghasilkan minyak sawit dan minyak inti sawit. Komposisi asam lemak utama dalam minyak inti sawit adalah asam laurat (sekitar 48%), asam miristat (sekitar 16%), dan asam oleat (sekitar 15%). Tabel 2.1 menunjukkan kandungan asam lemak dan persentasenya dalam minyak inti sawit (Pantzaris dan Ahmad, 2002).

Tabel 2.1 Kandungan asam lemak dan persentasenya dalam minyak inti sawit Asam lemak Persentase (%)

Kaproat (C6) 0,3

Kaprilat (C8) 4,2

Kaprat (C10) 3,7

Laurat (C 12) 48,7 Miristat (C 14) 15,6

Palmitat (C16) 7,5

Stearat (C 18) 1,8

Oleat (C18:1) 14,8

Linoleat (C18:2) 2,6

Lain3lain 0,1

Kandungan asam lemak ini memungkinkan penggunaan minyak inti sawit sebagai peningkat penetrasi. Daya peningkat penetrasi asam lemak telah sering disebutkan dalam literatur. Efek ini sangat dipengaruhi oleh struktur asam lemak dan pembawa dalam formulasi (Trommer dan Neubert, 2006). Asam laurat meningkatkan fluks ozagrel sebanyak 24 kali lipat (Ogiso, et al., 2000). Asam oleat meningkatkan absorpsi tenoxicam. Laju absorpsi tenoxicam meningkat


(26)

secara parallel dengan meningkatnya konsentrasi asam oleat yang disebabkan oleh perubahan stratum korneum (Larrucea, et al., 2001).

2.3 Kulit

Kulit adalah organ tubuh yang paling luas dan mudah diakses. Kulit orang dewasa memiliki luas permukaan sekitar 2 m2 ketebalan sekitar 3 mm, menerima satu per tiga sirkulasi darah, dan berfungsi untuk melindungi dan menerima rangsangan dari lingkungan (Washington, et al., 2003).

2.3.1 Anatomi dan fisiologi kulit

Kulit terdiri dari tiga lapisan, berturut3turut mulai dari yang paling luar adalah sebagai berikut:

a. lapisan epidermis b. lapisan dermis c. jaringan subkutan


(27)

Gambar 2.2 Struktur kulit 2.3.1.1 Epidermis

Epidermis adalah lapisan pelindung terluar yang tipis, kering, dan tangguh. Epidermis membentuk penghalang untuk mencegah hilangnya air, elektrolit, dan nutrisi dari dalam tubuh, serta membatasi masuknya zat3zat dari lingkungan ke dalam tubuh. Kerusakan epidermis menyebabkan terjadinya difusi senyawa ke dalam kulit sekitar 1000 kali lebih cepat (Washington, et al., 2003).

Lapisan epidermis tersusun dari lima lapisan yaitu: a. Lapisan tanduk (Stratum korneum)

Lapisan stratum korneum dari kulit adalah lapisan pelindung utama dan terdiri dari delapan sampai enam belas lapisan sel yang pipih, berlapis3lapis, dan berkeratin. Setiap sel memiliki panjang sekitar 34344 µm, lebar 25336 µm, dan tebal 0,1530,2 µm. Lapisan sel ini secara berkesinambungan digantikan dari lapisan basal. Stratum korneum sering digambarkan sebagai susunan batu bata, di mana bagian keratinosit sebagai zat hidrofilik membentuk batu bata dan lipid interselular adalah celah3celah susunan, sehingga terdapat jalur hidrofobik yang kontinu di dalam stratum korneum. (Washington, et al 2003).

Untuk senyawa hidrofilik, stratum corneum memberikan tahanan difusi 1000 kali untuk penetrasi ke dalam. Tetapi untuk senyawa yang terlalu lipofilik dengan koefisien partisi lebih dari 400 maka lapisan dermis yang hidrofilik merupakan barier yang nyata untuk absorpsi sistemik (Riviere dan Papich, 2001).


(28)

Lapisan ini tersusun dari beberapa lapisan sel transparan, terletak di atas stratum granulosum. Biasanya terdapat pada tangan dan telapak kaki (Barry, 1983).

c. Lapisan granulosum (stratum granulosum)

Lapisan ini terdiri dari 2 sampai 3 lapisan sel dan terletak di atas lapisan spinosum. Dinamakan lapisan granulosum karena sel3sel lapisan ini mengandung granul keratohyalin yang menyebabkan sel berbentuk granul.

d. Lapisan spinosum (stratum spinosum)

Lapisan ini memiliki banyak koneksi intraseluler yang dinamakan desmosom. Sebagai akibatnya, muncul proyeksi seperti duri di permukaan sel. Sel3sel pada lapisan ini dipisahkan oleh celah yang sangat sempit. Celah ini merupakan tempat mengalirnya pembuluh limfe yang kaya nutrisi. Lapisan spinosum merupakan lapisan yang paling tebal dari epidermis.

e. Lapisan basal (stratum basale)

Lapisan ini terdiri dari satu lapis sel berbentuk kolumnar, berbatasan dengan membran basal yang berkontak dengan dermis. Lapisan ini terus membelah dan sel hasil pembelahan ini bergerak ke atas membentuk lapisan spinosum (Mitsui, 1997).

Pada lapisan epidermis terdapat (Mitsui, 1997):

a. Keratinosit, yang berfungsi untuk membentuk lapisan yang tahan terhadap zat kimia dan biologis.

b. Melanosit, yang berfungsi memproduksi melanin. Sel ini tersebar di antara sel basal di lapisan basal.


(29)

c. Sel Langerhans dengan sistem imun yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan terhadap zat asing.

2.3.1.2 Dermis

Dermis (corium) merupakan jaringan penyangga berserat dengan ketebalan rata3rata 335 mm. Komponen lapisan dermis, yaitu (Barry, 1983):

a. Kolagen

Merupakan komponen serat utama dari kulit. Kolagen membentuk berbagai jaringan pengikat yang hanya sedikit berbeda pada komposisi asam aminonya. Kolagen hanya sedikit mengandung sistein, tapi sangat kaya akan glisin, prolin, dan hidroksi3prolin.

b. Elastin

Komponen yang membentuk serat elastik, sehingga bagian dermis dapat meregang dengan mudah ketika diberi tekanan dan dapat kembali ke bentuk awal ketika tekanan dihilangkan.

c. Zat dasar ( ! ! )

Merupakan zat berbentuk amorf sebagai tempat melekatnya sel dan serat, mengandung berbagai jenis lipid, protein, dan karbohidrat. Zat yang paling penting adalah mucopolisakarida, asam hyaluronik, dan dermatan sulfat (chondroitin B).

d. Sel

Fibroblast merupakan sel yang paling banyak menghuni lapisan dermis. Selain itu, juga terdapat sel mast dan histiosit.


(30)

Berfungsi untuk menjaga suhu tubuh, menghantarkan nutrisi ke kulit, menghilangkan produk sisa, menggerakkan system pertahanan, dan berkontribusi terhadap warna kulit.

f. Ujung saraf yang berfungsi untuk memberikan rasa sakit, sentuhan, gatal, dan suhu.

g. Kelenjar keringat ekrin, berfungsi mengontrol suhu. Pada suhu yang tinggi dan olahraga, akan terjadi sekresi kelenjar ini.

h. Kelenjar keringat apokrin, berfungsi sebagai organ seks skunder.

i. Kelenjar sebum, berfungsi mengatur kehilangan air, melindungi tubuh dari infeksi bakteri dan jamur.

2.3.1.3 Jaringan Subkutan

Lemak subkutan (hypoderm, subkutis) tersebar di seluruh tubuh sebagai lapisan serat lemak ( ), kecuali pada kelopak mata dan bagian genital pria. Ketebalan jaringan ini bergantung pada umur, jenis kelamin, endokrin, dan gizi dari individu yang bersangkutan. Sel3sel pada jaringan ini membuat dan menyimpan lipid dalam jumlah besar, dan serat kolagen terdapat diantara sel3sel lemak ini untuk menyediakan fleksibilitas antara struktur di bawahnya dengan lapisan kulit di atasnya. Lapisan ini juga berfungsi untuk menjaga suhu tubuh dan sebagi bantalan mekanis (Barry, 1983).

2.4 Sistem Penyampaian Obat Melalui Kulit

Penyampaian obat melalui kulit menjadi alternatif yang lebih diinginkan daripada penyampaian obat secara oral. Pasien sering lupa meminum obat atau menjadi bosan harus mengkonsumsi beberapa jenis obat dengan frekuensi yang beberapa kali sehari. Selain itu, penyampaian obat oral sering menyebabkan


(31)

gangguan lambung dan inaktivasi sebagian obat karena di hati. Selain itu, absorpsi keadaan tunak suatu obat ( ) melalui kulit selama beberapa jam ataupun hari menghasilkan level dalam darah yang lebih disukai daripada yang dihasilkan dari obat oral (Kumar, et al., 2010).

2.4.1 Keuntungan sistem penyampaian obat melalui kulit

Menurut Kumar, et al., (2010), sistem penyampaian obat melalui kulit memiliki beberapa keuntungan, antara lain:

a. Durasi kerja yang panjang sehingga menurunkan frekuensi pemberian obat. b. Kenyamanan pemberian obat

c. Meningkatkan bioavailabilitas

d. Menghasilkan level plasma yang lebih seragam

e. Mengurangi efek samping obat dan meningkatkan terapi karena mempertahankan level plasma sampai akhir interval terapi.

f. Kemudahan penghentian pemakaian obat. g. Meningkatkan kepatuhan pasien.

2.4.2 Kerugian sistem penyampaian obat melalui kulit

Menurut Kumar, et al., (2010), sistem penyampaian obat melalui kulit memiliki beberapa kerugian, antara lain:

a. Kemungkinan terjadinya iritasi lokal.

b. Kemungkinan terjadinya eritema, gatal, dan edema lokal yang disebabkan obat ataupun bahan tambahan dalam formulasi sediaan.

2.4.3 Rute penetrasi zat aktif melalui kulit


(32)

Gambar 2.3 Jalur penetrasi obat melalui stratum korneum (Trommer dan Neubert, 2006)

Jalur transepidermal dibagi lagi menjadi jalur transselular dan jalur interselular. Pada jalur transelular, obat melewati kulit dengan menembus secara langsung lapisan lipid stratum korneum dan sitoplasma dari keratinosit yang mati. Jalur ini merupakan jalur terpendek, tetapi obat mengalami resistansi yang signifikan karena harus menembus struktur lipofilik dan hidrofilik. Jalur yang lebih umum bagi obat untuk berpermeasi melalui kulit adalah jalur interselular. Pada jalur ini, obat berpenetrasi melalui ruang antar korneosit (Trommer dan Neubert, 2006).

Jalur melalui pori dapat dibagi menjadi jalur transfolikular dan transglandular. Karena kelenjar dan folikel rambut hanya menempati sekitar 0,1% dari total luas tubuh manusia, kontribusi rute ini terhadap penetrasi dianggap kecil (Moser, et al., 2001). Tetapi, jalur transfolikular dapat menjadi jalur yang penting bagi penetrasi obat yang diberikan secara topikal (Lademann, et al., 2004).

Rute transekrine (transglandular) melibatkan difusi melalui saluran keringat. Rute transekrine merupakan rute yang tidak secara nyata memberikan konstribusi terhadap total obat yang diabsorpsi. Hal ini dikarenakan obat sulit


(33)

berdifusi menuju ke arah dalam, berlawanan dengan arah sekresi kelenjar. Rute transfollicular melibatkan difusi melalui sebum (lemak) yang ada dalam kelenjar sebum kemudian masuk ke pembuluh darah. Rute ini lebih banyak dilalui daripada rute transekrine (Flynn dan Stewart, 1988).

2.5 Prinsip Dasar Difusi Melalui Membran

Difusi adalah proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molecular secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas, misalnya membran.

2.5.1 Hukum Fick pertama

Sejumlah M benda yang mengalir melalui satu satuan penampang melintang, S, dari suatu pembatas dalam satu saruan waktu t dikenal sebagai aliran dengan simbol, J (Martin et al., 1993).

J = "

#. (1)

Di mana: M = massa (gram)

S = luas permukaan batas (cm2 )

Sebaliknya aliran berbanding lurus dengan perbedaan konsentrasi dC/Dx:

J = 3 D $

% (2)

di mana: D = koefisien difusi (cm2/detik) C = konsentrasi (gram/cm3) X = jarak (cm)

Persamaan ini memberikan aliran (laju difusi melalui satuan luas) dalam aliran pada keadaan tunak. Dalam percobaan difusi, larutan dalam kompartemen


(34)

reseptor yang diambil diganti secara terus menerus dengan pelarut baru untuk menjaga agar selalu dalam keadaan .

Parameter penetrasi perkutan secara dihitung dari data penetrasi dengan menggunakan persamaan berikut:

D =

τ δ

6 2

( 3 )

Js =

δ

$ &'

= Kp Cs ( 4 )

Di mana:

D = koefisien difusi (cm2/jam) δ = ketebalan membran (cm) τ = lag time (jam)

Kp = koefisien permeabilitas melali membrane (jam 31. cm 32) Cs = konsentrasi zat aktif dalam salep (mcg)

Js = fluks (mcg/jam.cm2)

Km = Koefisien partisi kulit/pembawa (cm/jam2)

2.6 (Peningkat Penetrasi)

atau peningkat penetrasi adalah bahan yang dapat meningkatkan permeabilitas kulit ataupun mengurangi impermeabilitas kulit. Bahan peningkat penetrasi tidak memiliki efek terapi, tetapi dapat mentransport obat dari bentuk sediaan ke dalam kulit (Kumar, et al., 2012). Alasan dibutuhkan penggunaan bahan peningkat penetrasi adalah adanya barier penetrasi, yaitu stratum korneum.


(35)

Peningkatan penetrasi obat dapat dilakukan menggunakan peningkat penetrasi kimia maupun fisika (Pathan dan Setty, 2009).

2.6.1 Peningkatan penetrasi secara fisika

Peningkatan penetrasi secara fifika dapat dilakukan dengan (Sharma, et al., 2012):

a. Tato obat ( )

Merupakan modifikasi dari tato biasa, yaitu tato ini mengandung bahan obat. Tidak dapat ditentukan durasi terapi dari sediaan ini. Tato dilepas apabila sudah terjadi perubahan warna. Obat yang biasa digunakan antara lain acetaminophen, vitamin C, dan lain3lain.

b. Gelombang tekanan

Gelombang tekanan dihasilkan dari radiasi laser yang kuat dapat meningkatkan permeabilitas stratum korneum dan membran sel.

c. Frekuensi radio

Cara ini melibatkan pemaparan kulit pada frekuensi tinggi, sekitar 100 KHz, yang menyebabkan membentukan kanal mikro pada membran sel. d. Magnetophoresis

Magnethophoresis merupakan suatu gaya dorong untuk meningkatkan penetrasi obat melalui kulit. Magnetophoresis menyebabkan perubahan struktur kulit sehingga meningkatkan permeabilitasnya.

e. Ionthophoresis


(36)

listrik. Obat digunakan di bawah elektroda yang memiliki muatan yang sama dengan obat, dan elektroda lain dengan muatan berbeda ditempatkan pada bagian tubuh yang lain.

f. Elektroporasi

Merupakan metode peningkat penetrasi dengan menggunakan tegangan tinggi (5031000 volt) dalam waktu yang sangat singkat (mikrosekon atau milisekon).

g. Mikroporasi

Merupakan metode dengan menggunakan jarum mikro yang hanya menembus stratum korneum dan meningkatkan permeabilitasnya.

h. Injeksi tanpa jarum

Merupakan metode bebas rasa sakit untuk memasukkan obat ke dalam kulit. Dilakukan dengan menembakkan partikel cair dan padat dengan kecepatan supersonik ke dalam stratum korneum.

I . Sonophoresis /Phonophoresis

Menggunakan energi ultrasonik untuk meningkatkan penetrasi obat, biasanya digunakan frekuensi 203100 KHz.

2.6.2 Peningkatan penetrasi secara kimia

Tujuan peningkatan penetrasi adalah untuk mempercepat secara reversibel pengurangan barier stratum korneum tanpa merusak sel dan bekerja secara reversibel.

Sifat kimia yang ideal adalah (Barry, 1983): a. inert secara farmakologi.


(37)

c. obat cepat dan durasi kerja obat yang digunakan sesuai dan dapat diperkirakan.

d. dengan penghilangan , stratum korneum segera pulih kembali. e. kompatibel secara fisika dan kimia dengan berbagai bahan obat.

f. merupakan pelarut yang baik bagi obat.

g. mudah disapukan pada kulit dan cocok dengan kulit h. tidak mahal dan dapat diterima secara kosmetik.

i. bekerja saru arah, yaitu dapat membantu masuknya zat dari luar ke dalam tubuh, tapi mencegah keluarnya material endogen dari dalam tubuh. 2.6.3 Mekanisme kerja kimia

kimia dapat bekerja dengan salah satu atau lebih mekanisme utama berikut ini (Sharma, et al., 2012):

a. Meruntuhkan struktur lipid stratum korneum yang rapat b. Berinteraksi dengan stuktur protein interselular

c. Meningkatkan partisi obat atau pelarut ke dalam stratum korneum. 2.6.4 JenisAjenis kimia

Beberapa senyawa telah diketahui berperan senagai kimia antara lain (Pathan dan Setty, 2009; Trommer dan Neubert, 2006):

a. Sulfoksida dan senyawa yang mirip b. Azone

c. Pirolidon d. Asam lemak


(38)

g. Propilen glikol h. Urea dan turunannya 2.6.4.1 Asam lemak

Efek peningkat penetrasi dari asam lemak telah banyak disebutkan dalam literatur. Efek ini sangat dipengaruhi oleh struktur asam lemak dan formulasi. Asam lemak yang paling sering digunakan dan paling banyak diteliti adalah asam oleat. Secara umum, asam lemak tidak jenuh lebih efektif daripada asam lemak jenuh. Semakin banyak ikatan rangkap dua yang dimiliki asam lemak, semakin efektif kerja asam lemak tersebut. Selain itu, asam lemak lebih efektif daripada asam lemak (Trommer dan Neubert, 2006).

2.6.4.2 Surfaktan

Surfaktan sering digunakan sebagai ! dalam formulasi sediaan topikal. Surfaktan ditambahkan dengan tujuan untuk melarutkan zat lipofil dalam formula. Surfaktan dapat digunakan sebagai karena dapat melarutkan lipid stratum korneum. Interaksi dengan keratin juga diduga menghasilkan efek peningkatan penetrasi. Secara umum, surfaktan kationik lebih efektif daripada surfaktan anionik maupun nonionik. Tetapi, efek peningkatan penetrasi surfaktan yang bermuatan (kationik dan anionik) sering disertai efek iritasi. Oleh karena itu, surfaktan nonionik lebih sering digunakan. Surfaktan dengan struktur yang analog dengan struktur lipid bilayer stratum korneum memiliki potensial iritasi yang lebih rendah. Namun, surfaktan ini juga memiliki efek peningkat penetrasi yang lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh integrasi monomer surfaktan ke dalam lipid bilayer daripada membentuk misel dengan lipid (Trommer dan Neubert, 2006).


(39)

2.7 Asam askorbat

2.7.1 Uraian Bahan (Ditjen POM, 1995) a. Rumus bangun :

Gambar 2.4 Rumus bangun asam askorbat (Ditjen POM, 1995)

b. Rumus molekul : C6H8O6 c. Berat molekul : 176,13 d. Nama kimia : (

e. Pemerian : Hablur atau serbuk putih atau agak kuning. Oleh pengaruh cahaya lambat laun menjadi berwarna gelap. Dalam

keadaan kering stabil diudara, dalam larutan cepat teroksidasi.

f. Kelarutan : Mudah larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol; tidak larut dalam kloroform, dalam eter dan dalam benzena.

2.7.2 Efek asam askorbat terhadap kulit

Asam askorbat atau dikenal juga dengan vitamin C adalah bahan farmasetik yang digunakan dalam kosmetik sebagai pemutih kulit. Asam askorbat dapat mengontrol produksi melanin dengan dua cara, yaitu mengurangi senyawa


(40)

melanin dari tirosin, dan mengurangi warna gelap melanin yang teroksidasi menjadi bentuk tereduksi yang lebih cerah (Mitsui, 1997).

2.8 Natrium metabisulfit

Natrium metabisulfit digunakan sebagai zat antioksidan dalam sediaan oral, parenteral, maupun topikal pada konsentrasi 0,0131% w/v dan pada konsentrasi sekitar 27% pada sediaan intramuskular (Rowe, et al., 2009).


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental, penelitian dilakukan di dalam laboratorium.

3.1 AlatAalat

Sel difusi yang terdiri dari sel donor dan sel reseptor dengan volume masing3masing 10,8 ml dan luas permukaan sel difusi 1,28 cm2, spektrofotometer

(UV31800 Shimadzu # ), pengaduk magnet, ,

thermostat, neraca analitik (Boeco), lumpang dan stamfer, gelas ukur 250 ml (Pyrex), labu tentukur 25 ml (Pyrex), maat pipet 1 ml (Pyrex), thermometer, , jangka sorong, mikrometer skrup, bola pengisap, karet, dan alat3alat laboratorium yang biasa digunakan.

3.2 BahanAbahan

Asam askorbat (PT. Mutifa), minyak inti sawit (PT. Multimas Nabati Asahan), gliserin (Merck), Tween 80 (Merck), natrium meta bisulfit (Merck), vaselin album (PT. Brataco), , etanol, dan akuades.

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Pembuatan pereaksi 3.3.1.1 Larutan gliserin 50%

Gliserin diencerkan dengan akuades dengan perbandingan 1:1 dan diaduk homogen.


(42)

3.3.2 Pembuatan kurva serapan dan kurva kalibrasi larutan asam askorbat dalam medium gliserin 50%

3.3.2.1 Pembuatan larutan induk baku asam askorbat

Ditimbang asam askorbat sebanyak 50 mg dan natrium meta bisulfit sebanyak 100 mg, kemudian dimasukkan dalam labu tentukur 100 ml. Tambahkan gliserin 50% sampai sekitar 50 ml dan diaduk sampai larut. Setelah larut, dicukupkan dengan gliserin 50% sampai garis tanda. Konsentrasi asam askorbat adalah 500 ppm (µg/ml).

3.3.2.2 Pembuatan blanko dan penentuan

Pelarut dimasukkan ke dalam kedua kuvet sebagai blanko, kemudian diukur absorbansinya sehingga didapat untuk pengukuran sampel. 3.3.2.3 Pembuatan kurva serapan asam askorbat

Dipipet larutan induk baku sebanyak 0,1 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml dan dicukupkan dengan gliserin 50% sampai garis tanda, dikocok sampai homogen. Konsentrasi asam askorbat adalah 5 ppm (µg/ml). Diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 2003400 nm. Absorbansi maksimum tejadi pada panjang gelombang 266,8 nm. 3.3.2.4 Pembuatan kurva kalibrasi larutan asam askorbat

Dari larutan induk baku, dibuat larutan asam askorbat dengan konsentrasi 0,2; 0,3; dan 0,4 ppm dengan memipet masing3masing 0,02; 0,03; dan 0,04 ml dari larutan induk baku, dimasukkan dalam labu tentukur 50 ml, dan dicukupkan dengan gliserin sampai garis tanda. Dibuat juga konsentrasi 0,5; 1; 2; 3; 4; 5; 8; 9; 10; 14; 16; 18; dan 20 ppm dengan memipet masing3masing 0,01; 0,02; 0.04; 0,06; 0,08; 0,1; 0,16; 0,18; 0,2; 0,28; 0,32; 0,36; dan 0,4 ml dari larutan induk


(43)

baku, dimasukkan dalam labu tentukur 10 ml, dicukupkan dengan gliserin sampai garis tanda, dan dikocok homogen. Diukur serapannya dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 266,8 nm.

3.3.3 Pembuatan salep asam askorbat

Salep asam askorbat yang dibuat mengandung asam askorbat 10%. Pemilihan konsentrasi 10% ini didasarkan pada literatur yang menyatakan bahwa konsentrasi asam askorbat yang dianjurkan untuk sediaan topikal adalah 5310% 3.3.3.1 Pembuatan salep asam askorbat tanpa Tween 80

Formula 1 (F1):

Asam askorbat 0,2 g

Etanol 96% 0,4 ml

Minyak Inti Sawit 0,7 g Natrium meta bisulfit 0,002 g Vaselin album ad 2 g

Ditimbang semua bahan. Dimasukkan asam askorbat ke dalam lumpang dan gerus. Masukkan natrium meta bisulfit dan etanol ke dalam lumpang, gerus sampai asam askorbat dan natrium meta bisulfit larut. Tambahkan minyak inti sawit, gerus homogen. Kemudian tambahkan vaselin album, gerus homogen, lalu masukkan dalam pot plastik.

3.3.3.2 Pembuatan salep asam askorbat dengan Tween 80 sebanyak 2,5% Formula 2 (F2):

Asam askorbat 0,2 g


(44)

Minyak Inti Sawit 0,7 g Natrium meta bisulfit 0,002 g Vaselin album ad 2 g

Ditimbang semua bahan. Dimasukkan asam askorbat ke dalam lumpang dan gerus. Masukkan natrium meta bisulfit dan etanol ke dalam lumpang, gerus sampai asam askorbat dan natrium meta bisulfit larut. Tambahkan Tween 80 lalu gerus homogen. Tambahkan minyak inti sawit, gerus homogen. Kemudian tambahkan vaselin album, gerus homogen, lalu masukkan dalam pot plastik. 3.3.3.3 Pembuatan salep asam askorbat dengan Tween 80 sebanyak 5% Formula 3 (F3):

Asam askorbat 0,2 g

Etanol 96% 0,4 ml

Tween 80 0,1 g

Minyak Inti Sawit 0,7 g Natrium meta bisulfit 0,002 g Vaselin album ad 2 g

Prosedur pembuatan sama dengan formula 2.

3.3.3.4 Pembuatan salep asam askorbat dengan Tween 80 sebanyak 10% Formula 4 (F4):

Asam askorbat 0,2 g

Etanol 96% 0,4 ml

Tween 80 0,2 g

Minyak Inti Sawit 0,7 g Natrium meta bisulfit 0,002 g


(45)

Vaselin album ad 2 g

Prosedur pembuatan sama dengan formula 2.

3.3.3.5 Pembuatan salep asam askorbat tanpa minyak inti sawit Formula 5 (F5):

Asam askorbat 0,2 g

Etanol 96% 0,4 ml

Tween 80 0,1 g

Natrium meta bisulfit 0,002 g Vaselin album ad 2 g

Ditimbang semua bahan. Dimasukkan asam askorbat ke dalam lumpang dan gerus. Masukkan natrium meta bisulfit dan etanol ke dalam lumpang, gerus sampai asam askorbat dan natrium meta bisulfit larut. Tambahkan Tween 80 lalu gerus homogen. Tambahkan vaselin album, gerus homogen, lalu masukkan dalam pot plastik.

3.3.3.6 Pembuatan salep asam askorbat dengan minyak inti sawit sebanyak 25%

Formula 6 (F6):

Asam askorbat 0,2 g

Etanol 96% 0,4 ml

Tween 80 0,1 g

Minyak Inti Sawit 0,5 g Natrium meta bisulfit 0,002 g Vaselin album ad 2 g


(46)

Ditimbang semua bahan. Dimasukkan asam askorbat ke dalam lumpang dan gerus. Masukkan natrium meta bisulfit dan etanol ke dalam lumpang, gerus sampai asam askorbat dan natrium meta bisulfit larut. Tambahkan Tween 80 lalu gerus homogen. Tambahkan minyak inti sawit, gerus homogen. Kemudian tambahkan vaselin album, gerus homogen, lalu masukkan dalam pot plastik. 3.3.4 Pembuatan larutan asam askorbat

Formula 7 (F7):

Asam askorbat 1,08 g Natrium meta bisulfit 0,0108 g Gliserin 50% ad 10,8 ml

Ditimbang semua bahan. Dimasukkan asal askorbat dan natrium meta bisulfit ke dalam labu tentukur 10 ml, ditambahkan gliserin 50%, dan diaduk sampai larut. Setelah larut, tambahkan gliserin 50% sampai garis tanda, dikocok homogen. Pindahkan ke dalam bagian donor dari sel difusi dan cukupkan dengan gliserin 50% sampai garis tanda.

3.3.5 Penyiapan membran biologis

Pada penelitian ini digunakan kulit dari kelinci jantan dengan berat berkisar antara 1,532 kg. Rambut pada daerah dorsal dicukur secara hati3hati menggunakan pisau cukur. Pencukuran ini dilakukan sehari sebelum pengambilan kulit untuk mengkondisikan kulit sesuai lingkungan (Akhtar, et al., 2006). Kelinci dimatikan dengan cara dibius dengan dietil eter dan kulit bagian dorsal dipotong dengan gunting bedah. Kulit dibersihkan dari lemak yang menempel, dicuci dengan akuades, dibungkus dengan aluminium foil, dan kemudian segera


(47)

disimpan pada suhu 320ºC sampai diperlukan atau saat eksperimen dilakukan (Marro, et al., 2000).

3.3.6 Uji penetrasi asam askorbat dalam sediaan salep secara

Membran biologis diolesi 0,15 g salep asam askorbat F1 sampai F7. Kemudian dipasangkan pada sel difusi yang telah diolesi dan dihubungkan bagian donor dan reseptor dengan karet. Selanjutnya dimasukkan ke dalam bagian reseptor dan dimasukkan juga gliserin 50% sampai batas tanda. Sel difusi dijaga pada suhu 37ºC selama percobaan dan pada interval waktu tertentu dipipet 1 ml aliquot, diencerkan 25 kali, dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 266,8 nm.

3.3.7 Analisa statistik

Semua hasil yang diperoleh baik secara dianalisa dengan

ANOVA dan uji ) * dianalisis dengan ! *#& menggunakan program SPSS versi 17.


(48)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh Konsentrasi Tween 80 terhadap Penetrasi Asam Askorbat melalui Kulit Kelinci secara

Pengaruh konsentrasi Tween 80 dalam formula salep terhadap penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Tabel 4.1 Nilai AUC masing3masing formula variasi konsentrasi Tween 80

No Formula AUC (µg.jam)

1. F1 610,07

2. F2 641,97

3. F3 611,57

4. F4 374,62

5. F7 172,68

0 50 100 150 200 250

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Jum la h A sa m A skor ba t y an g b ee rpe n et ra si k e da la m m ed ium g li se ri n 5 0% (m cg) Waktu (jam)

F1 (Tanpa Tween 80) F2 (Tween 80 2.5%) F3 (Tween 80 5%) F4 (Tween 80 10%) F7 (Larutan asam askorbat)

Gambar 4.1Grafik perbandingan konsentrasi terhadap waktu dari berbagai fomula dengan variasi konsentrasi Tween 80


(49)

Dari Gambar 4.1 dan Tabel 4.1 terlihat bahwa konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi ke medium penerima lebih besar pada formula yang mengandung Tween 80 daripada formula yang tidak mengandung Tween 80. Peningkatan konsentrasi ini disebabkan Tween 80 adalah surfaktan, ia akan berinteraksi dengan lapisan stratum korneum dan merusak susunannya sehingga asam askorbat lebih mudah berpenetrasi (Sheeba, et al., 2012). Selain itu, surfaktan memiliki potensial untuk melarutkan lipid stratum korneum sehingga dapat bertindak sebagai penetrasi (Trommer dan Neubert, 2006).

Walaupun terdapat peningkatan penetrasi asam askorbat pada formula yang mengandung Tween 80 2,5% (formula 2) dan 5% (formula 3) dibandingkan dengan formula yang tidak mengandung Tween 80 (formula 1), tetapi peningkatan penetrasi ini tidak signifikan pada uji statistik (+ , -+ , P<0,05, uji ) * dianalisis dengan ! *#&). Hal ini mungkin disebabkan terbentuknya misel dari Tween 80 dengan asam askorbat terperangkap dalam misel. Terjadinya misel ini disebabkan oleh penggunaan konsentrasi Tween 80 (2.5% dan 5%) yang jauh di atas titik cmc ( . dari Tween 80 yaitu 0.002% (Mandal, et al., 1988). Misel yang terbentuk akan memperlambat penetrasi karena ukurannya yang besar sehingga walaupun terjadi peningkatan penetrasi, peningkatan penetrasi ini menjadi tidak signifikan. Hal ini tampak lebih jelas pada formula yang mengandung Tween 80 sebanyak 10% (formula 4). Penetrasi asam askorbat pada formula yang mengandung Tween 80 10% (formula 4) lebih rendah secara signifikan daripada formula yang tidak mengandung Tween 80 , yaitu formula 1. Patel, et al (2011) menyatakan bahwa


(50)

sediaan topikal. Efek peningkatan penetrasi sebanding dengan peningkatan konsentrasi sampai suatu nilai kritis dan peningkatan konsentrasi yang lebih tinggi dari konsentrasi kritis tidak akan meningkatkan penetrasi (Prakash, et al 2007).

Dari Gambar 4.1 dan Tabel 4.1 diperoleh bahwa larutan asam askorbat memiliki daya penetrasi yang lebih rendah dan berbeda secara signifikan secara statistik jika dibandingkan dengan asam askorbat yang telah diformulasikan dalam bentuk salep. Hal ini menunjukkan bahwa asam askorbat sukar berpenetrasi ke dalam kulit. Tapi dengan membuatnya menjadi sediaan salep dengan penambahan

, maka penetrasinya akan menjadi lebih efektif.

Pengaruh Tween 80 terhadap parameter3parameter penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara dapat dilihat pada Gambar 4.2 dan Tabel 4.2.

Gambar 4.2 Grafik pengaruh konsentrasi Tween 80 terhadap parameter3 parameter penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara 0

2 4 6 8 10 12 14

F1 F2 F3 F4 F7

Formula

lag time (jam)

koefisien difusi x10^35 (cm2/jam)


(51)

Tabel 4.2 Pengaruh konsentrasi minyak Tween 80 terhadap parameter3parameter penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara

Formula (jam) D x 10A5 (cm2/jam)

F1 2,2 6,82

F2 1,36 11,03

F3 1,21 12,4

F4 2,5 6

F7 2,65 5,66

Keterangan Tabel 4.2: F1 = Tanpa Tween 80

F2 = Tween 80 sebanyak 2,5% F3 = Tween 80 sebanyak 5% F4 = Tween 80 sebanyak 10% F7 = larutan asam askorbat D = koefisien difusi

Dari Gambar 4.2 dan Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa penambahan Tween 80 dengan konsentrasi 2,5% (formula 2) dan 5% (formula 3), diperoleh

yang lebih kecil daripada formula yang tidak mengandung Tween 80 (formula 1) ataupun pada formula yang mengandung Tween 80 dengan konsentrasi tinggi, yaitu 10% (formula 4). Sedangkan jika ditinjau dari koefisien difusi, penambahan Tween 80 dengan konsentrasi 2,5% (formula 2) dan 5% (formula 3) diperoleh koefisien difusi yang lebih besar daripada formula yang tidak mengandung Tween 80 (formula 1) dan formula yang mengandung Tween 80 dengan konsentrasi


(52)

Alasan terjadinya hal ini adalah sama dengan pengaruh Tween 80 terhadap konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi. Pada konsentrasi Tween 80 yang rendah, Tween 80 akan berinteraksi dengan stratum korneum sehingga merusak susunannya (Sheeba et al., 2012), dan Tween 80 memiliki potensial untuk melarutkan lipid stratum korneum sehingga dapat bertindak sebagai

penetrasi (Trommer dan Neubert, 2006). Dengan meningkatnya konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi, maka akan menjadi lebih kecil dan koefisien difusi menjadi lebih besar.

Dari semua data di atas dapat disimpulkan bahwa Tween 80 dalam konsentrasi rendah (2,5% dan 5%) dapat digunakan untuk meningkatkan penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci. Pada konsentrasi yang besar (10%), Tween 80 tidak meningkatkan penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci, sebaliknya, terjadi perlambatan kecepatan penetrasi dan konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi menjadi lebih kecil dibandingkan dengan formula yang tidak mengandung Tween 80.

4.2 Pengaruh Konsentrasi Minyak Inti Sawit terhadap Penetrasi Asam Askorbat melalui Kulit Kelinci secara

Pengaruh konsentrasi minyak inti sawit dalam formula salep terhadap penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci dapat dilihat pada Gambar 4.3 dan nilai AUC asam askorbat yang berpenetrasi dari masing3masing formula ke dalam medium gliserin 50% dapat dilihat pada Tabel 4.3.


(53)

Tabel 4.3 Nilai AUC masing3masing formula variasi konsentrasi minyak inti sawit

No Formula AUC (µg.jam)

1. F3 611,57

2. F5 342,95

3. F6 503,15

4. F7 172,68

Konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi ke dalam medium penerima lebih besar pada formula yang mengandung minyak inti sawit daripada formula yang tidak mengandung minyak inti sawit, dan perbedaan ini adalah signifikan berdasarkan uji statistik (+ , -+ , P<0,05, uji ) * dianalisis dengan ! *#&). Semakin besar konsentrasi minyak inti sawit yang digunakan, semakin besar pula konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi. Hal ini mungkin disebabkan karena minyak inti sawit membuat asam ask orbat

0 50 100 150 200 250

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Ju m la h A sa m A skor ba t y an g b erpe ne tra si ke d al am m edi u m gl is eri n 50 % (µ g ) waktu (jam)

formula 3 (minyak inti sawit 35%)

formula 5 (tanpa minyak inti sawit)

formula 6 (minyak inti sawit 25%)

formula 7 (larutan asam askorbat)

Gambar 4.3 Grafik pengaruh konsentrasi minyak inti sawit terhadap penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara


(54)

berpenetrasi melalui rute ! disamping melalui rute transepidermal non polar. Penelitian terkini menunjukkan bahwa folikel kulit, terutama folikel rambut, berperan penting dalam proses penetrasi kulit (Lademann, et al., 2003).

Minyak inti sawit mengandung banyak asam lemak, yaitu: asam kaproat (0,3%), kaprilat (4,2%), kaprat (3,7%), laurat (48.7%), miristat (15.6%), palmitat (7.5%), stearat (1.8%), oleat (14.8%), linoleat (2.6%), lain3lain (0,1%) (Pantzaris dan Ahmad, 2002). Daya peningkat penetrasi asam lemak telah sering disebutkan dalam literatur. Efek ini sangat dipengaruhi oleh struktur asam lemak dan pembawa dalam formulasi (Trommer dan Neubert, 2006). Diduga bahwa kandungan asam laurat dan asam oleat yang cukup tinggi dalam minyak inti sawit berperan dalam meningkatkan penetrasi asam askorbat. Hal ini didukung oleh laporan dari Ogiso, et al., (2000) yang menyatakan bahwa asam laurat meningkatkan fluks ozagrel sebanyak 24 kali lipat. Larrucea, et al., (2001) melaporkan bahwa asam oleat meningkatkan absorpsi tenoxicam. Laju absorpsi tenoxicam meningkat secara parallel dengan meningkatnya konsentrasi asam oleat yang disebabkan oleh perubahan stratum korneum akibat ini.

Selain itu, peningkatan penetrasi ini juga disebabkan oleh terjadinya hidrasi kanal lipid dari stratum korneum. Asam lemak meningkatkan hidrasi kulit, terutama hidrasi kanal lipid ( ) dengan mengurangi evaporasi air dari kulit. Hidrasi akan meningkatkan penetrasi molekul polar sehingga semakin banyak jumlah molekul yang berpenetrasi. Lipid stratum korneum (walaupun bersifat hidrofobik) dapat dihidrasi karena adanya fraksi lipid yang polar (Washington, et al., 2003). Hidrasi juga menyebabkan peregangan dari stratum korneum yang disebabkan terjadinya ikatan hidrogen antara gugus –OH dari air


(55)

dengan gugus –SH pada kulit. Peregangan ini meyebabkan peningkatan permeabilitas statum korneum.

Dari Gambar 4.3 dan Tabel 4.3 dapat dilihat juga bahwa antara larutan asam askorbat dengan asam askorbat yang telah diformulasikan menjadi bentuk salep juga terdapat perbedaan konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa asam askorbat memang sulit berpenetrasi melewati kulit, tapi dengan memformulasikannya dalam bentuk salep dan ditambah , penetrasinya dapat meningkat.

Pengaruh minyak inti sawit terhadap parameter3parameter penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci dapat dilihat pada Gambar 4.4 dan Tabel 4.4 berikut.

Gambar 4.4 Grafik Pengaruh konsentrasi Tween 80 terhadap parameter3 parameter penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara 0

2 4 6 8 10 12 14

F3 F5 F6 F7

Formula

lag time (jam)

Koefisien difusi x10^35 (cm2/jam)


(56)

Tabel 4.4 Pengaruh konsentrasi minyak inti sawit terhadap parameter3parameter penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci secara

Formula (jam) D x 10A5 (cm2/jam)

F3 1,21 12,39

F5 2,63 5,70

F6 2,53 5,93

F7 2,65 5,66

Keterangan Tabel 4.4: F3 = minyak inti sawit 35% F5 = tanpa minyak inti sawit F6 = minyak inti sawit 25% F7 = larutan asam askorbat. D = koefisien difusi

Dari Gambar 4.4 dan Tabel 4.4 terlihat bahwa semakin besar konsentrasi minyak inti sawit yang digunakan, maka semakin kecil dan semakin besar koefisien difusinya. Semakin kecil berati semakin cepat keadaan tunak tercapai. Semakin besar koefisien difusi berarti semakin cepat difusi terjadi. Dari data3data di atas, dapat disimpulkan bahwa minyak inti sawit dapat digunakan untuk meningkatkan penetrasi asam askorbat melalui kulit kelinci. Semakin besar konsentrasi minyak inti sawit yang digunakan, semakin besar pula penetrasi asam askorbat yang terjadi.

Formula dengan kombinasi antara Tween 80 (2,5% dan 5%) dan minyak inti sawit (F3) menghasilkan daya peningkat penetrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan formula yang hanya mengandung Tween 80 (F5) ataupun yang hanya mengandung minyak inti sawit (F1). Namun, kombinasi Tween 80


(57)

dengan konsentrasi 10% dengan minyak inti sawit menekan efek peningkat penetrasi dari minyak inti sawit. Hal ini terlihat dari nilai AUC F4 (mengandung Tween 80 10%, minyak inti sawit 35%) yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan nilai AUC F5 (mengandung Tween 80 5%, tanpa minyak inti sawit).

Penambahan berupa Tween 80 dan minyak inti sawit dapat dikatakan meningkatkan permeabilitas membran yang digunakan karena terjadi peningkatan jumlah asam askorbat yang berpenetrasi. Peningkatan permeabilitas ini terjadi sesuai dengan mekanisme kerja Tween 80 dan minyak inti sawit dalam meningkatkan penetrasi.


(58)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Tween 80 dengan konsentrasi 2,5% dan 5% dapat meningkatkan jumlah asam askorbat yang berpenetrasi melalui kulit kelinci secara , tetapi peningkatan ini tidak signifikan secara statistik. Tween 80 dengan konsentrasi tinggi (10%) menurunkan penetrasi asam askorbat.

2. Minyak inti sawit dapat meningkatkan konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi melalui kulit kelinci secara secara signifikan diuji secara statistik. Semakin besar konsentrasi minyak inti sawit, maka jumlah asam askorbat yang berpenetrasi juga semakin besar.

3. Kombinasi Tween 80 (konsentrasi 2,5% dan 5%) dengan minyak inti sawit menghasilkan efek yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan masing3masing dengan konsentrasi yang sama.

4.2 Saran

Dari penelitian ini, disarankan bahwa:

1. Kepada peneliti selanjutnya agar dapat meneliti mekanisme kerja asam laurat dalam minyak inti sawit sebagai .

2. Kepada peneliti selanjutnya agar dapat melakukan pengujian efikasi dari sediaan sebagai .

3. Kepada peneliti selanjutnya agar dapat melakukan pengujian iritasi terhadap kulit dari sediaan.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Akhtar, N., Rehman, M.U., Khan, H.M.S., Rasool, F., Saeed, T., dan Murtaza, G. (2011). Penetration Enhancing Effect of Polysorbate 20 and 80 on the In Vitro Percutaneous Absorption of L3Ascorbic Acid.

/ ! ) ! 0 . 10(3): 2813288.

Barry, B.W. (1983). & 1 ! 2 ) ! ! .

New York: Marcel Dekker, Inc. Halaman 8313, 1603161. Cheng, W. (2000). Vitamin C and Skin Health. . 1: 436.

Chiranjib, D.B., Chandira, M., Jayakar, B., dan Sampath, K.B. (2010). Recent Advances in Drug Delivery System. / !

) 0 . 2(1): 68377.

Flynn, G.L., dan Stewart, B. (1988). Percutaneous Drug Penetration: Choosing Candidates for Transdermal Development. & ! &

0 . 13: 1693185.

Handoko, S. (2005). Pengaruh Etanol dan Minyak Kelapa Sawit terhadap Penetrasi Aspirin Melalui Epidermis Kelinci Secara dan

. Medan: Program Studi Farmasi Fakultas Farmasi, Sekolah Pascasarjana USU.

Khosla, P. (2006). Palm Oil: A Nutritional Overview. / ! - ! ) ! . 17(3): 21323.

Kumar, K.P.S., Bhowmik, D., Chiranjib, B., dan Chandira, M. (2010). Transdermal Drug Delivery System3A Novel Drug Delivery System and Its Market Scope and Oppurtunities. / ! )

3 # . 1(2): 1321.

Lademann, J., Otberg, N., Richter, H., Jacobi, U., Schaefer, H., Blume, P.U., dan Sterry, W. (2003). Follicular Penetration: An Important Pathway for Topically Applied Subtances. * ! 4. 54: 3213323.

Larrucea, E., Arellano, A., Santoyo, S., dan Ygartua, P. (2001). Combined Effect of Oleic Acid and Propylen Glycol on the Percutaneous Penetration of Tenoxicam and Its Retention in the Skin. ! / !

) ! 3 ! . 52: 1133119.

Li, R., Xia, Q., Tang, M., Zhao, S., Chen, W., Lei, X., dan Bai, X. (2012). Chemical Composition of Chinese Palm Fruit and Chemical Properties


(60)

of The Oil Extracts. / ! 3 . 11(39): 93773 9382.

Mandal, A.B., Nair, B.U., dan Ramaswamy, D. (1988). Determination of the Critical Micelle Concentration of Surfactants and the Partition Coefficient of an Electrochemical Probe by Using Cyclic Voltammetry.

! . 4: 7363739.

Marro, D., Guy, R.H., dan Delgaro3Charro, M.B. (2000). Characterization of The Ionthophoretic Permselectivity Properties of Human and Pig Skin.

/ ! $ 0 . 70: 2133217.

Martin, A., Swarbrick, J., dan Cammarata, A. (1993). 1 1 Edisi ke33. Jakarta : UI Press. Halaman 8303831.

Marzouk, M.A., Ammar, A.A., Darwish, M.K., dan El3Sayed, H.A. (2012). Effect of Penetration Enhancers on In Vitro Permeation of Nystatin From Topical Formulations. / ! & ! & . 4(2): 1533159.

Mitsui, T. (1997). - $ # . Amsterdam: Elsevier Science B.V. Halaman 150.

Moser, K., Kriwet, K., Naik, A., Kalia, Y.N., dan Guy, R.H. (2001). Passive Skin Penetration Enhancement and Its Quantification In Vitro. !

/ ! ) ! 3 ! . 52: 1033112.

Mukherjee, S., dan Analava, M. (2009). Health Effects of Palm Oil. / ! *! . 26(3): 1973203.

Ogiso, T., Koike, K., Iwaki, M., Tanino, T., Tanabe, G., dan Muraoka, O. (2000). Percutaneous Penetration of Ozagrel and the Enhancement Produced by Saturated Fatty Acids. 3 5 ) ! 3! . 23(7): 8443849.

Pantzaris, T.P., dan Ahmad, M.J. (2002). Properties and Utilization of Palm Kernel Oil. ) + & . 35: 11323.

Patel, J., Patel, B., Banwait, H., Parmar, K., dan Patel, M. (2011). Formulation and Evaluation of Aceclofenac Gel Using Different Gelling Agent.

/ ! & ! & 0 . 3(1): 1563 164.

Pathan, I.B., dan Setty, C.M. (2009). Chemical Penetration Enhancers for Transdermal Drug Delivery Systems. 6 ! ) ! 0 . 8(2): 1733179.


(61)

Prakash, R.B., Sarasija, S., dan Narendra, C. (2007). Recent Advances in Cyclodextrin Complexes: Mechanistic Analysis as Permeation Enhancer.

/ ! ) ! ! 0 . 41(2): 1023

113.

Riviere. J.E., dan Papich, M.G. (2001). Potential and Problems of Developing Transdermal Patches for Veterinary Applications. & ! & 0 . 50: 1753203.

Rowe, R.C., Sheskey, P.J., Quinn, M.E. (2009). * ) ! 7 . Edisi ke36. Washington: Pharmaceutical Press. Halaman: 5493551.

Sharma, G.N., Jyotsana, S., Avinash, K., dan Abha, D. (2012). Penetration Enhancement of Medicinal Agents. 0 / !

) . 3(5): 82388.

Sheeba, F.R., Giles, D., Swamy, S.K.S., dan Menaka, T. (2012). Study on Permeation Enhancement of Sparfloxacin from Certain Selected Ointment Bases. & ) . 4(4): 111531118.

Trommer, H., dan Neubert, R.H.H. (2006). Overcoming The Stratum Corneum: The Modulation of Skin Penetration. # )

) . 19: 1063121.

Vikas, S., Seema, S., Gurpreet, S., Rana, A.C., dan Baibhav, J. (2011). Penetration Enhancers: A Novel Strategy for Enhancing Drug Delivery.

0 / ! ) . 2(12): 32336.

Walker, R.B., dan Smith, E.W. (1996). The Role of Percutaneous Penetration Enhancers. & ! & 0 . 18: 2953301.

Washington, N., Washington, C., dan Wilson, C.G. (2003). )

) ! 2 3 & ! . Edisi ke32. New York: Taylor and Francis. Halaman 183.


(62)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Kurva serapan larutan asam askorbat konsentrasi 5 ppm dalam medium gliserin 50%


(63)

Lampiran 2. Kurva kalibrasi larutan asam askorbat dalam medium gliserin 50% pada panjang gelombang 266,8 nm


(64)

Lampiran 3. Data difusi asam askorbat dari salep formula 1 Difusi 1

Waktu (jam) Abs

Conc. (µg/ml) Conc. X Fp (µg/ml) AA dalam 10.8 ml (µg) AA dalam 1 ml (µg) Faktor penambahan (µg) Total AA terlarut (µg) % Kumulatif 0 0.000 30.134 33.36 336.27 33.36 0.00 0.00 0.00 1 0.017 0.051 1.28 13.86 1.28 0.00 13.86 0.09 2 0.018 0.062 1.56 16.81 1.56 1.28 18.09 0.12 3 0.023 0.117 2.92 31.55 2.92 2.84 34.39 0.23 4 0.028 0.171 4.29 46.30 4.29 5.76 52.06 0.35 5 0.031 0.204 5.11 55.14 5.11 10.05 65.19 0.43 6 0.042 0.324 8.11 87.58 8.11 15.15 102.73 0.68 7 0.045 0.357 8.93 96.43 8.93 23.26 119.69 0.80 8 0.046 0.368 9.20 99.38 9.20 32.19 131.57 0.88 9 0.050 0.412 10.29 111.17 10.29 41.39 152.56 1.02 AA = Asam Askorbat

Jumlah AA mula3mula = 15000 µg

Difusi 2

Waktu (jam) Abs

Conc. (µg/ml) Conc. X Fp (µg/ml) AA dalam 10.8 ml (µg) AA dalam 1 ml (µg) Faktor penambahan (µg) Total AA terlarut (µg) % Kumulatif 0 0.000 30.134 33.36 336.27 33.36 0.00 0.00 0.00 1 0.005 30.080 31.99 321.53 31.99 0.00 0.00 0.00 2 0.015 0.029 0.74 7.96 0.74 0.00 7.96 0.05 3 0.020 0.084 2.10 22.71 2.10 0.74 23.44 0.14 4 0.023 0.112 2.81 30.37 2.81 2.84 33.21 0.20 5 0.035 0.248 6.20 66.94 6.20 5.65 72.59 0.44 6 0.045 0.357 8.93 96.43 8.93 11.85 108.28 0.65 7 0.049 0.401 10.02 108.22 10.02 20.78 129.00 0.78 8 0.054 0.455 11.39 122.97 11.39 30.80 153.77 0.93 9 0.056 0.477 11.93 128.86 11.93 42.18 171.05 1.03 AA = Asam Askorbat


(65)

Lampiran 3 (Lanjutan) Difusi 3

Waktu (jam) Abs

Conc. (µg/ml) Conc. X Fp (µg/ml) AA dalam 10.8 ml (µg) AA dalam 1 ml (µg) Faktor penambahan (µg) Total AA terlarut (µg) % Kumulatif 0 0.000 30.134 33.36 336.27 33.36 0.00 0.00 0.00 1 0.005 30.080 31.99 321.53 31.99 0.00 0.00 0.00 2 0.012 30.003 30.08 30.88 30.08 0.00 0.00 0.00 3 0.021 0.095 2.38 25.66 2.38 30.08 25.57 0.17 4 0.024 0.128 3.19 34.50 3.19 2.29 36.80 0.25 5 0.034 0.237 5.93 63.99 5.93 5.49 69.48 0.46 6 0.043 0.335 8.38 90.53 8.38 11.41 101.94 0.68 7 0.049 0.401 10.02 108.22 10.02 19.80 128.02 0.85 8 0.054 0.455 11.39 122.97 11.39 29.82 152.78 1.02 9 0.058 0.499 12.48 134.76 12.48 41.20 175.96 1.17 AA = Asam Askorbat

Jumlah AA mula3mula = 15000 µg

Lampiran 4. Data difusi asam askorbat dari salep formula 2 Difusi 1

Waktu (jam) Abs

Conc. (µg/ml) Conc. X Fp (µg/ml) AA dalam 10.8 ml (µg) AA dalam 1 ml (µg) Faktor penambahan (µg) Total AA terlarut (µg) % Kumulatif 0 0.000 30.134 33.36 336.27 33.36 0.00 0.00 0.00 1 0.005 30.080 31.99 321.53 31.99 0.00 0.00 0.00 2 0.020 0.084 2.10 22.71 2.10 0.00 22.71 0.15 3 0.023 0.117 2.92 31.55 2.92 2.10 33.66 0.22 4 0.028 0.171 4.29 46.30 4.29 5.02 51.32 0.34 5 0.034 0.237 5.93 63.99 5.93 9.31 73.30 0.49 6 0.039 0.292 7.29 78.73 7.29 15.24 93.97 0.63 7 0.044 0.346 8.66 93.48 8.66 22.53 116.00 0.77 8 0.055 0.466 11.66 125.92 11.66 31.18 157.10 1.05 9 0.068 0.608 15.21 164.25 15.21 42.84 207.09 1.38 AA = Asam Askorbat


(66)

Lampiran 4 (Lanjutan) Difusi 2

Waktu (jam) Abs

Conc. (µg/ml) Conc. X Fp (µg/ml) AA dalam 10.8 ml (µg) AA dalam 1 ml (µg) Faktor penambahan (µg) Total AA terlarut (µg) % Kumulatif 0 0.000 30.134 33.36 336.27 33.36 0.00 0.00 0.00 1 0.010 30.025 30.63 36.78 30.63 0.00 0.00 0.00 2 0.015 0.029 0.74 7.96 0.74 0.00 7.96 0.05 3 0.021 0.095 2.38 25.66 2.38 0.74 26.39 0.18 4 0.028 0.171 4.29 46.30 4.29 3.11 49.41 0.33 5 0.034 0.237 5.93 63.99 5.93 7.40 71.39 0.48 6 0.040 0.303 7.56 81.68 7.56 13.32 95.01 0.63 7 0.045 0.357 8.93 96.43 8.93 20.89 117.32 0.78 8 0.053 0.445 11.11 120.02 11.11 29.82 149.83 1.00 9 0.066 0.586 14.66 158.35 14.66 40.93 199.28 1.33 AA = Asam Askorbat

Jumlah AA mula3mula = 15000 µg

Difusi 3

Waktu (jam) Abs

Conc. (µg/ml) Conc. X Fp (µg/ml) AA dalam 10.8 ml (µg) AA dalam 1 ml (µg) Faktor penambahan (µg) Total AA terlarut (µg) % Kumulatif 0 0.000 30.134 33.36 336.27 33.36 0.00 0.00 0.00 1 0.009 30.036 30.90 39.73 30.90 0.00 0.00 0.00 2 0.018 0.062 1.56 16.81 1.56 0.00 16.81 0.11 3 0.024 0.128 3.19 34.50 3.19 1.56 36.06 0.24 4 0.030 0.193 4.83 52.19 4.83 4.75 56.95 0.38 5 0.034 0.237 5.93 63.99 5.93 9.58 73.57 0.49 6 0.040 0.303 7.56 81.68 7.56 15.51 97.19 0.65 7 0.045 0.357 8.93 96.43 8.93 23.07 119.50 0.80 8 0.054 0.455 11.39 122.97 11.39 32.00 154.97 1.03 9 0.067 0.597 14.94 161.30 14.94 43.39 204.69 1.36 AA = Asam Askorbat


(67)

Lampiran 5. Data difusi asam askorbat dari salep formula 3 Difusi 1

Waktu (jam) Abs

Conc. (µg/ml) Conc. X Fp (µg/ml) AA dalam 10.8 ml (µg) AA dalam 1 ml (µg) Faktor penambahan (µg) Total AA terlarut (µg) % Kumulatif 0 0.000 30.134 33.36 336.27 33.36 0.00 0.00 0.00 1 0.010 30.025 30.63 36.78 30.63 0.00 0.00 0.00 2 0.019 0.073 1.83 19.76 1.83 0.00 19.76 0.13 3 0.023 0.117 2.92 31.55 2.92 1.83 33.38 0.22 4 0.028 0.171 4.29 46.30 4.29 4.75 51.05 0.34 5 0.033 0.226 5.65 61.04 5.65 9.04 70.08 0.47 6 0.037 0.270 6.74 72.84 6.74 14.69 87.53 0.58 7 0.040 0.303 7.56 81.68 7.56 21.43 103.12 0.69 8 0.050 0.412 10.29 111.17 10.29 29.00 140.17 0.93 9 0.065 0.576 14.39 155.40 14.39 39.29 194.70 1.30 AA = Asam Askorbat

Jumlah AA mula3mula = 15000 µg

Difusi 2

Waktu (jam) Abs

Conc. (µg/ml) Conc. X Fp (µg/ml) AA dalam 10.8 ml (µg) AA dalam 1 ml (µg) Faktor penambahan (µg) Total AA terlarut (µg) % Kumulatif 0 0.000 30.134 33.36 336.27 33.36 0.00 0.00 0.00 1 0.011 30.014 30.35 33.83 30.35 0.00 0.00 0.00 2 0.016 0.040 1.01 10.91 1.01 0.00 10.91 0.07 3 0.023 0.117 2.92 31.55 2.92 1.01 32.56 0.22 4 0.025 0.139 3.47 37.45 3.47 3.93 41.38 0.28 5 0.032 0.215 5.38 58.09 5.38 7.40 65.49 0.44 6 0.038 0.281 7.02 75.79 7.02 12.78 88.56 0.59 7 0.044 0.346 8.66 93.48 8.66 19.80 113.27 0.76 8 0.054 0.455 11.39 122.97 11.39 28.45 151.42 1.01 9 0.071 0.641 16.03 173.10 16.03 39.84 212.93 1.42 AA = Asam Askorbat


(1)

F

hitung

> F

tabel

= H

0

ditolak, H

1

diterima. Jadi Ada perbedaan yang signifikan

konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi melalui kulit

kelinci secara

antara formula yang tidak mengandung

minyak inti sawit dan formula yang mengandung minyak inti

sawit.

" $ # 4

5 6 7 $ 586 7 $ 5 986 0 !!

" ! # $

%

# $ % ( 9*)* )'-*,: *+ )* -' ,,, 9(* ) -& 9*,+ +

# $ % & 9() (-,&&: *+ )* -' ,,, 9&* &&,) 9(** (&,*

# $ % ( ! # $

%

*)* )'-*,: *+ )* -' ,,, *,+ + (* ) -&

# $ % & 9*,& )&((&: *+ )* -' ,,& 9* + )-( 9' -(,

# $ % & ! # $

%

() (-,&&: *+ )* -' ,,, (** (&,* &* &&,)

# $ % ( *,& )&((&: *+ )* -' ,,& ' -(, * + )-(


(2)

Lampiran 27.

Data uji statistik pengaruh Tween 80 terhadap penetrasi asam

askorbat melalui kulit kelinci secara

H0: Tidak ada perbedaan yang signifikan konsentrasi asam askorbat yang

berpenetrasi melalui kulit kelinci secara

antara formula yang

mengandung Tween 80 dan formula yang tidak mengandung Tween 80.

H1: Ada perbedaan yang signifikan konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi

melalui kulit kelinci secara

antara formula yang mengandung Tween

80 dan formula yang tidak mengandung Tween 80.

!!

" ! " -, & )*, ,+&& ) ' -(& & + *+) & &,- )() (* - ),( + )*& -+

" -, ( & )'* -,, (* -) ,- *( )()*( -+ ) '( ) ) &, - )*) ) + &

" -, & ),- ('&& *' ,& ( +(-, ' (' )(* ,&'( ),( '& )*( (&

" -, *, & &+' )&,, *& --+ + -' ' &', -+&) ',- &-)' & -- &-) )'

" *( - +&*+ **( ' *,& &( '+&&) '-+ ( -& )&, (, * & -- ) + &

. % . / 0

1 !% *&++&& ('( & ' ** ,-* ( * ,,, ,,,

2 3 1 !% *')& &,& - *-( *&

" *& * ) '' **


(3)

Lampiran 27

(Lanjutan)

F

hitung

> F

tabel

= H

0

ditolak, H

1

diterima. Jadi Ada perbedaan yang signifikan

konsentrasi asam askorbat yang berpenetrasi melalui kulit

kelinci secara

antara formula yang mengandung Tween

80 dan formula yang tidak mengandung Tween 80.

" $ # 4

5 6 7 $ 586 7 $ 5 986 0 !!

" ! " -, " -, ( 9&* ,))+ ** ,'(+& ,+- 9)+ () ' & ' ),

" -, * -&,,, ** ,'(+& - 9&& &(+ &+ * (+

" -, *, (& ''&&&: ** ,'(+& ,,, (,, ,-,) (+, -,),

" -, ( ! " -, &* ,))+ ** ,'(+& ,+- 9& ' ), )+ () '

" -, && +&))+ ** ,'(+& ,)( 9* )(), ) , '

" -, *, ()+ & ,,,: ** ,'(+& ,,, (&* -+& &,( +*(+

" -, ! " -, 9* -&,,, ** ,'(+& - 9&+ * (+ && &(+

" -, ( 9&& +&))+ ** ,'(+& ,)( 9) , ' * )(),

" -, *, (&& )*&&&: ** ,'(+& ,,, * - ( ,) ()- +),

" -, *, ! " -, 9(& ''&&&: ** ,'(+& ,,, 9(+, -,), 9(,, ,-,)

" -, ( 9()+ & ,,,: ** ,'(+& ,,, 9&,( +*(+ 9(&* -+&

" -, 9(&& )*&&&: ** ,'(+& ,,, 9()- +), 9* - ( ,)


(4)

(5)

Lampiran 29. Gambar alat

A. Alat uji difusi

Sel difusi


(6)