Konstitusi Background dan Karakter Fenotipik Galur-galur Toleran terhadap Defisiensi Fosfor dari Populasi BC2F6 Tanaman Padi (Oryza sativa L.)

KONSTITUSI BACKGROUND DAN KARAKTER FENOTIPIK
GALUR-GALUR TOLERAN TERHADAP DEFISIENSI FOSFOR
DARI POPULASI BC2F6 TANAMAN PADI (Oryza sativa L.)

SUWAJI HANDARU WARDOYO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Konstitusi Background
dan Karakter Fenotipik Galur-galur Toleran terhadap Defisiensi Fosfor dari
Populasi BC2F6 Tanaman Padi (Oryza sativa L.)” adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014

Suwaji Handaru Wardoyo
NIM P051100171

RINGKASAN
SUWAJI HANDARU WARDOYO. Konstitusi Background dan Karakter
Fenotipik Galur-galur Toleran terhadap Defisiensi Fosfor dari Populasi BC2F6
Tanaman Padi (Oryza sativa L.). Dibimbing oleh MIFTAHUDIN dan SUGIONO
MOELJOPAWIRO.
Kemasaman, defisiensi P dan kekeringan merupakan masalah utama dalam
pertanian padi di tanah Ultisol di Indonesia. Pengembangan galur padi yang
toleran terhadap masalah tersebut diharapkan dapat mengurangi penggunaan
pupuk P. Penelitian ini bertujuan untuk memverifikasi dan mengevaluasi galurgalur padi yang telah mendapatkan sisipan lokus Pup1.
Penelitian ini terbagi dalam 3 percobaan, yaitu 1) Analisis konstitusi
background, 2) Evaluasi populasi BC2F6 dibawah kondisi cekaman Al, dan 3)
Pengaruh lokus Pup1 pada kondisi kekeringan. Penelitian ini dilakukan di
Laboratorium Biologi Molekular dan Rumah Kaca Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen)

mulai November 2011 sampai Mei 2013. Analisis molekuler dilakukan dengan
menggunakan seleksi foreground dan background, evaluasi cekaman Al
menggunakan larutan hara Yoshida dengan rancangan petak terpisah, danevaluasi
cekaman kekeringan menggunakan rancangan acak lengkap untuk uji PEG 8000
dan rancangan petak tepisah untuk uji DTA (daya tembus akar).
Hasil evaluasi foreground menunjukkan bahwa lokus Pup1 telah
terintegrasi, walaupun beberapa galur (SK5, SK6, SK7, SK8, SK9, SK10, SK19
dan SK20) menunjukkan integrasi yang tidak sempurna. Evaluasi background
mengindikasikan bahwa proporsi maksimum pengembalian genom Situ Bagendit
pada galur-galur turunan mencapai 95,7%. Evaluasi cekaman Al memperlihatkan
bahwa pada kondisi kurang P dan cekaman Al, galur turunan SN lebih toleran dari
galur turunan SK. Lokus Pup1 terlihat terekspresi dengan baik pada kondisi
kurang P dan tanpa adanya cekaman Al. Beberapa galur toleran terhadap larutan
PEG 8000 konsentrasi 20%. Pada percobaan DTA diperoleh satu galur turunan
SK dan turunan SN yang daya tembusnya relatif sama dengan Cabacu (kontrol
toleran kekeringan).
Kata kunci:Cekaman Al, defisiensi P, DTA, Kekeringan, Lokus Pup1, PEG 8000,
seleksi background, seleksi foreground

SUMMARY

SUWAJI HANDARU WARDOYO. Constitutional Background and Phenotypic
Character of Tolerant Lines to Phosphorus Deficiency on Rice BC2F2 Population
(Oryza sativa L.).Supervised by MIFTAHUDDIN and SUGIONO
MOELJOPAWIRO.
Acidity soil, Phosphorus deficiency, and drought stress are major
problems in Indonesia’s Ultisol rice farming. Development of rice lines tolerant to
those are expected to reduce the consumption of P fertilizer. This objectitves of
the research were to verify and evaluate Pup1 locus integration in BC2F6 rice
lines.
This research was divided into three experiments, i.e: 1) Analysis of
constitutional background, 2) Evaluation of the BC2F6 population under
Aluminium (Al) stress, and 3) The role of Pup1 locus on rice tolerance to drought
stress. This research was conducted at Molecular Biology Laboratory and
Greenhouse Indonesian Center for Agricultural Biotechnologi and Genetic
Resources Research and Development (ICABIOGRAD) from November 2011 to
May 2013. Molecular analysis was performed using foreground and background
selection, evaluation of Al stress was performed using Yoshida nutrient solution
on split plot design, and evaluation of drought stress was performed using a
completely randomized design for PEG 8000 test and split plot design for root
penetration test (DTA).

The results of foreground analysis showed that Pup1 locus has been
integrated into the genome of BC2F6 lines, eventhough some lines (SK5, SK6,
SK7, SK8, SK9, SK10, SK19 dan SK20) showed the incomplete integration.
Background analysis indicated that majority (95,7%) of the Situ Bagendit
background has been recovered in the BC2F6 rice lines. Al stress evaluation
showed SN lines were more tolerant to P deficient and Al stress than that of SK
lines. Pup1 locus showed good expression under low P and no Al stress. There
were several rice lines that tolerant to 20% PEG 8000 solution, while DTA test
was obtained 1 SK and 1 SN lines that have similar root penetration ability to
variety Cabacu, a drought-tolerant control rice.
Keywords: Al stress, P deficiency, DTA, drought, Pup1 locus, PEG 8000,
background selection, foreground seletion

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KONSTITUSI BACKGROUND DAN KARAKTER FENOTIPIK
GALUR-GALUR TOLERAN TERHADAP DEFISIENSI FOSFOR
DARI POPULASI BC2F6 TANAMAN PADI (Oryza sativa L.)

SUWAJI HANDARU WARDOYO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Penguji Luar komisi pada Ujian Tesis: Dr Joko Prasetiyono, SP, MSi

Judul Tesis : Konstitusi Background dan Karakter Fenotipik Galur-galur Toleran
terhadap Defisiensi Fosfor dari Populasi BC2F6 Tanaman Padi
(Oryza sativa L.)
Nama
: Suwaji Handaru Wardoyo
NIM
: P051100171

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Miftahudin, MSi
Ketua

Prof (R) Dr Ir Sugiono Moeljopawiro, MSc
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi Bioteknologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Suharsono, DEA

Dr Ir Dahrul Syah, MSc. Agr

Tanggal Ujian Terbuka : 7 Juli 2014

Tanggal Lulus :

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puja-puji penulis haturkan kepada Allah Swt, Tuhan
Yang Menggenggam Langit dan Bumi, atas anugerah Karunia dan Cahaya-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa tesis ini dapat diselesaikan karena adanya bantuan berbagai pihak.
Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan penghargaan dan terima kasih

yang tak terhingga kepada Bapak Dr Ir Miftahudin, MSi, Bapak Prof (R) Dr Ir
Sugiono Moeljopawiro, MSc dan Bapak Dr Joko Prasetiyono, SP, MSi atas
segala jerih payah, waktu dan pengorbanannya yang telah dicurahkan dalam
membimbing, mengarahkan dan memotivasi penyelesaian penelitian ini.
Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada
Ketua Progam Studi Bioteknologi, Prof Dr Ir Suharsono, DEA atas izin dan
rekomendasinya.Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis
haturkan kepada Kepala LPMP DKI Jakarta, Drs Abdul Mu’id Zein, MPd atas
dorongan moril, bantuan biaya dan izinnya.
Secara khusus, penulis ucapkan terima kasih tak terhingga kepada kedua
Bapakku, kedua Ibuku, my beloved, dan seluruh keluargaku atas segala perhatian,
pengertian, kasih sayang dan bantuannya
Penulis sampaikan terima kasih sebesar-besarnya pula kepada Bu Tasliah
MSi, Pak Mahruf, Pak Endang Ibrahim, Pak Ahmad Dadang SSi, Mbak Yuri SSi,
dan Pak Suganda serta seluruh karyawan Laboratorium BM dan Rumah Kaca BB
Biogen atas segala bantuan selama penulis melaksanakan penelitian. Terima kasih
pula penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan, teman BTK-2010,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan pengetahuan kemampuan dan

pengalaman penulis sendiri. Semoga Karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014
Suwaji Handaru Wardoyo

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian

11
1
2
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Unsur Fosfor (P) pada Tanah Ultisol
Peranan Unsur P pada Tanaman
Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Aluminium
dan Defisiensi Fosfor di Tanah Ultisol
Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Kekeringan di Tanah Ultisol
Polyethylene Glycol
Simple Sequence Repeat
Lokus Pup1


4
4
4
5
6
8
8
9

1 ANALISIS KONSTITUSI BACKGROUND GALUR-GALUR PADI GOGO
HASIL PERSILANGAN SITU BAGENDIT X KASALATH DAN SITU
BAGENDIT X NIL-C433 PADA POPULASI BC2F6
Abstrak
11
Abstract
11
Pendahuluan
12
Bahan dan Metode
12
Hasil dan Pembahasan
14
Simpulan
20
Daftar Pustaka
20
2 EVALUASI GALUR Pup1 PADI TURUNAN VARIETAS SITU BAGENDIT
TERHADAP DEFISIENSI P DAN CEKAMAN ALUMINIUM PADA
LARUTAN HARA YOSHIDA
Abstrak
22
Abstract
22
Pendahuluan
23
Bahan dan Metode
23
Hasil dan Pembahasan
24
Simpulan
31
Daftar Pustaka
31

3PENGARUH LOKUS Pup1 GALUR-GALUR PADI GOGO HASIL
PERSILANGAN SITU BAGENDIT X KASALATH DAN SITU BAGENDIT
X NIL-C433 PADA POPULASI BC2F6 TERHADAP CEKAMAN
KEKERINGAN
Abstrak
34
Abstract
34
Pendahuluan
35
Bahan dan Metode
35
Hasil dan Pembahasan
37
Simpulan
50
Daftar Pustaka
50
4 PEMBAHASAN UMUM

53

5 SIMPULAN DAN SARAN

58

DAFTAR PUSTAKA

59

LAMPIRAN

63

RIWAYAT HIDUP

105

DAFTAR TABEL
1.
2.

3.

4.

5.

6.
7.

8.
9.
10.
11.
12.
13.

Hasil tabulasi polimorfisme marka SSR pada persilangan Situ Bagendit x
Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C433
14
Proporsi pengembalian genom Situ Bagendit pada generasi BC2F6 turunan
SK dan turunan SN berdasarkan hasil analisis background menggunakan
beberapa marka
18
Analisis sidik ragam (Uji F hitung) beberapa peubah karakter agronomis dari
galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada larutan
Yoshida
26
Nilai indeks toleransi terhadap cekaman (ITC) panjang akar (PA) terhadap
defisiensi P dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada uji
larutan hara Yoshida
29
Analisi sidik ragam (uji F hitung) beberapa peubah karakter agronomis dari
galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada berbagai konsentrasi
larutan PEG 8000 (w/v)
39
Nilai rataan peubah panjang akar (PA) dan panjang plumula (PP) pada
berbagai konsentrasi larutan PEG 8000 (w/v)
39
Nilai indeks toleransi terhadap cekaman (ITC) panjang akar (PA) dan bobot
kering kecambah (BKK) dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol
pada larutan PEG 8000 (w/v)
40
Nilai korelasi antar peubah dari galur turunan SK dan turunan SN serta
kontrol pada larutan PEG 8000 (w/v)
41
Analisis sidik ragam (uji F Hitung) beberapa karakter agronomi dari galur
turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada percobaan DTA
44
Rataan panjang akar tembus lilin (PATel) dari galur turunan SK dan turunan
SN serta kontrol pada uji daya tembus akar (DTA)
45
Rataan jumlah akar tembus lilin (JATel) dari galur turunan SK dan turunan
SN serta kontrol pada uji daya tembus akar (DTA)
46
Nilai indeks toleransi terhadap cekaman (ITC) tinggi tanaman (TT) dari
galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada percobaan DTA
48
Nilai indeks toleransi terhadap cekaman (ITC) panjang akar total (PATo)
dan bobot kering tanaman (BKT) dari galur turunan SK dan turunan SN serta
kontrol pada percobaan DTA
49

DAFTAR GAMBAR
Peta keberadaan lokus Pup1
10
Contoh elektroforegram hasil seleksi foreground galur-galur BC2F6 hasil
persilangan Situ Bagendit x Kasalath (turunan SK) dengan menggunakan
marka Kas30n-1 (322 bp) pada gel poliakrilamid 5%
15
3. Contoh elektroforegram hasil seleksi background galur-galur BC2F6 hasil
persilangan Situ Bagendit x Kasalath (turunan SK) dengan menggunakan
marka RM (196 bp) kromosom 2 pada gel poliakrilamid 8%
16
4. Contoh elektroforegram hasil seleksi background galur-galur BC2F6 hasil
persilangan Situ Bagendit x Kasalath (turunan SK) dengan menggunakan
marka RM 324 (147 bp) kromosom 2 pada gel poliakrilamid 8 %
17
5. Konstitusi background hasil analisi GGT 2.0 populasi BC2F6
19
6. Proporsi genom galur SK2
19
7. Proporsi genom galur SN2
20
8. Perbedaan respon galur-galur Pup1 populasi BC2F6 dan kontrol dalam
larutan hara Yoshida pada minggu ke-4
25
9. Histogram perbandingan JA, BKA dan BKTajuk dari tetua (Situ Bagendit)
dengan turunannya pada berbagai kondisi larutan hara Yoshida
28
10. Respon karakter panjang akar (PA) pada berbagai konsentrasi larutan PEG
8000 pada hari ke-10
38
11. Respon karakter panjang akar (PA) pada uji DTA pada minggu ke-4
42
12. Pemilihan galur yang mempunyai kemampuan toleran terhadap kemasaman
(Al), defisiensi P dan kekeringan
56
1.
2.

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Uji marka spesifik lokus Pup1 dari galur-galur BC2F6 persilangan Situ
Bagendit x Kasalath
64
Uji marka spesifik lokus Pup1 dari galur-galur BC2F6 persilangan Situ
Bagendit x NIL-C433
65
Komposisi larutan hara Yoshida
66
Hasil uji Dunnet pada taraf α=0,05 beberapa karakter agronomi dari galur
turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada larutan hara Yoshida
67
Nilai ITC panjang akar (PA) pada larutan hara Yoshida
69
Nilai ITC tinggi tanaman (TT) pada larutan hara Yoshida
71
Rataan jumlah anakan pada larutan hara Yoshida
73
Nilai ITC bobot kering akar (BKA) pada larutan hara Yoshida
75
Nilai ITC bobot kering tanaman (BKT) pada larutan hara Yoshida
77
Hasil uji Dunnet pada taraf α=0.05 dari beberapa karakter agronomi pada
larutan PEG 8000 (w/v)
79
Nilai ITC panjang akar (PA) pada larutan PEG 8000 (w/v)
81
Nilai ITC panjang plumula (PP) pada larutan PEG (w/v)
83
Nilai ITC bobot basah kecambah (BBK) pada larutan PEG 8000 (w/v)
85
Nilai ITC bobot kering kecambah (BKK) pada larutan PEG 8000 (w/v)
87
Hasil analisa tanah Ultisol dari Desa Kentrong, Kecamatan Cipanas,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
89
Hasil analisa tanah Latosol dari tanah Desa Cimanggu, Bogor
90
Hasil uji Dunnet pada taraf α=0.05 dari beberapa karakter agronomi dari
galur turunan SK dan turunan SN pada percobaan DTA
91
Nilai rataan panjang akar tembus lilin (PATel) pada percobaan DTA
93
Nilai rataan jumlah akar tembus lilin (Jatel) pada percobaan DTA
95
Nilai ITC panjang akar total (PATo) pada percobaan DTA
97
Nilai ITC tinggi tanaman (TT) pada percobaan DTA
99
Nilai ITC bobot kering akar (BKA) pada percobaan DTA
101
Nilai ITC bobot kering tanaman (BKT) pada percobaan DTA
103

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Laju konversi wilayah lahan pertanian (lahan sawah) di Indonesia terutama
di pulau Jawa menjadi lahan non pertanian (pemukiman dan kawasan industri)
terus meningkat setiap tahunnya sebesar 8% (Tambunan 2008). Rasio lahan sawah
di Indonesia menunjukkan penurunan sebesar 28,6% selama kurun waktu 36
tahun, yakni dari 700 m2/jiwa pada tahun 1971 menjadi 500 m2/jiwa pada tahun
2007 (Wisayantono 2009). Agus dan Irawan (2004) mengasumsikan jika
produktivitas lahan sawah sebesar 6,0 ton/ha gabah kering panen (GKP), maka
tiap tahun telah terjadi kehilangan produksi sebesar 9,6 juta ton GKP. Kondisi ini
akan menjadi tantangan yang berat dalam mewujudkan program swasembada
pangan nasional yang dicanangkan oleh pemerintah. Salah satu upaya pemerintah
yang harus dilakukan dalam penanganan masalah tersebut adalah pemanfaatan
lahan marginal atau lahan kering untuk lahan pertanian.
Luas lahan kering Indonesia sekitar 114,4 juta ha atau 58,5% dari luas total
daratan Indonesia (Notohadiprawiro 1989), dan sekitar 47,8 juta ha atau 25% dari
luas total daratan Indonesia berupa tanah Ultisol (Subagyo et al. 2004). Tanah
Ultisol tersebut tersebar 43,5% di Sumatera, 29,9% di Kalimantan, 9,6% di Irian
Jaya dan 8% di Sulawesi (Hidayat dan Mulyani 2002). Luas lahan tersebut yang
layak untuk dimanfaatkan dalam pengembangan tanaman pangan, khususnya padi
gogo kurang-lebih 5,1 juta ha (Puslitanak 1998). Luas panen padi gogo nasional
pun hanya 1,2 juta ha (sekitar 10% dari luas panen padi nasional) dengan
produktivitas 2,6 ton/ha (BPS 2005).
Rendahnya produktivitas padi gogo di tanah Ultisol ini disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu kesuburan tanah yang rendah, tingkat kemasaman tanah yang
tinggi, keracunan unsur alumunium (Al), kekeringan dan defisiensi unsur fosfor
(P) (Notohadiprawiro 1989, Marchsner 1995, Prasetyo dan Suriadikarta 2006,
Chairuman 2008, Toha dan Darajat 2008, Hanafiah 2010). Tingginya kelarutan Al
pada tanah Ultisol (cekaman Al) menyebabkan kemampuan tanaman dalam
menyerap unsur hara mineral dan air menjadi menurun, akibatnya tanaman
mengalami defisiensi hara mineral dan pertumbuhannya terhambat (Marchsner
1995).
Penurunan ketersediaan unsur P pada tanah Ultisol tidak hanya disebabkan
oleh ketersediaan unsur P pada bahan induk tanah yang memang sudah rendah,
tetapi juga disebabkan adanya pengkelatan oleh Al dan atau Fe (Prasetyo dan
Suriadikarta 2006). Penurunan ketersediaan P ini tidak hanya dijumpai pada tanah
Ultisol tetapi juga hampir semua jenis tanah (Prasetiyono 2011). Kondisi ini
mengakibatkan lebih banyak pupuk P yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan haranya (Syarif et al. 2010). Pemberian pupuk fosfat anorganik pada
tanah Ultisol mempunyai kendala, yaitu rendahnya efektivitas penyerapan pupuk
P oleh tanaman karena keracunan Al atau Fe. Dengan demikian, pemberian pupuk
P pada tanah Ultisol yang bertujuan untuk meningkatkan kandungan dan
ketersediaan P tanah, menjadi tidak efisien karena adanya fiksasi dan presipitasi
yang tinggi pada tanah Ultisol.

2
Defisiensi unsur P dapat dikendalikan dengan berbagai cara. Salah satu
pendekatan yang efisien, efektif dan ramah lingkungan adalah melalui perakitan
varietas tanaman yang dapat tumbuh pada tanah yang mengalami
kekahatan/defisiensi unsur P (Ahloowalia et al. 1994). Sejak tahun 2005, BB
Biogen telah mengembangkan varietas padi gogo yang toleran terhadap defisiensi
P. Langkah tersebut yaitu dengan memasukkan lokus Pup1 dari padi lokal
Kasalath dan NIL-C443 (hasil persilangan silang balik Nipponbare dengan
Kasalath) ke dalam varietas unggul yang sudah populer dikalangan petani
Indonesia (Situ Bagendit, Batur dan Dodokan) (Prasetiyono 2010). Lokus Pup1
(P uptake 1) merupakan lokus yang berisi banyak gen dan bertanggung jawab
secara tidak langsung di dalam penyerapan P, sehingga tanaman padi yang
mengandung lokus tersebut akan toleran terhadap defisiensi hara P (Wissuwa et
al.1998, Heuer et al. 2009). Introgresi lokus Pup1 ke dalam padi Indonesia (Situ
Bagendit dan Batur) telah dievaluasi hingga populasi BC2F3 dan beberapa galur
positif mengandung lokus tersebut (Prasetiyono 2010, Chin et al. 2011,
Prasetiyono et al. 2012), sedangkan pada populasi BC2F6 yang telah didapatkan
belum dilakukan pengujian dan pengevaluasian. Untuk itu, pengujian dan
pengevaluasian populasi BC2F6 penting dilakukan untuk mendapatkan galur yang
diinginkan.
Virk (2006) melaporkan bahwa semakin banyak gen atau karakter yang
akan digabungkan ke dalam varietas tanaman maka akan semakin besar populasi
yang digunakan bila menggunakan pemulian konvensional. Penggunaan marka
molekuler dalam seleksi dapat memasukkan beberapa gen sekaligus dalam satu
tanaman, serta menghilangkan efek gen-gen lain yang tidak diinginkan (linkage
drag) (Collard et al. 2008). Prasetiyono (2008) menambahkan bahwa penggunaan
marka molekuler dapat digunakan bersamaan dengan pengujian fenotipik atau
dilakukan terlebih dahulu baru kemudian menguji tanaman yang terpilih secara
molekuler dengan pengujian fenotipik.
Seleksi galur-galur padi hasil persilangan antara Situ Bagendit x Kasalath
dan Situ Bagendit x NIL-C433 pada populasi BC2F6, yang diharapkan mempunyai
sifat toleran terhadap defisiensi P pada kondisi cekaman Al dan kekeringan,
dilakukan dengan memadukan pengujian marka molekuler dan pengujian
fenotipik sehingga akan lebih efektif dan akurat. Evaluasi menggunakan marka
molekuler pada galur-galur padi gogo hasil persilangan dalam penelitian ini
dilakukan dengan seleksi foreground dan seleksi background, dan dilakukan juga
evaluasi berdasarkan karakter fenotipik. Hal ini diharapkan akan diperoleh galurgalur yang diinginkan.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: (1) Memverifikasi konstitusi background
galur-galur padi gogo hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan Situ
Bagendit x NIL-C433 pada populasi BC2F6, dan (2) Mempelajari karakter
agronomi dari galur-galur padi gogo hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath
dan Situ Bagendit x NIL-C433 pada populasi BC2F6 yang mempunyai sifat
toleran terhadap defisiensi P pada kondisi cekaman Al dan kekeringan.
.

3
Hipotesis Penelitian
Galur-galur padi gogo hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan Situ
Bagendit x NIL-C433 pada populasi BC2F6 yang mengandung lokusPup1 dan
konstitusi background-nya Situ Bagendit mempunyai sifat toleran terhadap
defisiensi P pada kondisi cekaman Al dan kekeringan yang lebih baik dari pada
tetua pemulihnya (Situ Bagendit).

Manfaat Penelitian
Galur-galur padi gogo hasil persilangan Situ Bagendit xKasalath dan Situ
Bagendit xNIL-C433 yang mempunyai sifat toleran terhadap defisiensi P
diharapkan mempunyai sifat toleran terhadap cekaman Al dan kekeringan
sehingga galur tersebut dapat tumbuh optimum dan memiliki produktivitas tinggi
di tanah Ultisol.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Unsur Fosfor pada Tanah Ultisol
Pada kondisi tanah yang masam atau pH yang rendah, kelarutan Al dan Fe
sangat tinggi. Pada pH dibawah 4,0 kelarutan Al dalam bentuk ion Al3+ bersifat
sangat toksik bagi tanaman, dan pada pH 4,0-5,5 kelarutan Al dalam bentuk
Al(OH)2+ atau Al(OH)+ tidak terlalu meracuni tanaman. Pada kondisi ini proporsi
pertukaran kation semakin meningkat dengan dijenuhinya oleh Al dan
menggantikan kation polivalen seperti Ca2+ dan Mg2+, kemudian Al yang bebas
akan mengikat P dan Mo. P yang difiksasi dan dipresipitasi oleh ion Al3+
membentuk variscit (AlPO4.2H2O). Pada kondisi seperti ini (pH yang rendah), P
dapat pula difiksasi dan dipresipitasi oleh ion Fe2+/Fe3+ membentuk strengit
(FePO4.2H2O). Presipitasi P tidak hanya terjadi pada tanah yang masam (pH yang
rendah) tetapi juga bisa terjadi pada tanah yang netral dan subur. Pada tanah yang
netral atau berkapur, P dipresipitasi oleh ion Ca2+ membentuk kalsium trifosfat
(Ca3(PO4)2). Pada tanah yang subur seperti di daerah pegunungan, P dipresipitasi
oleh allovan (sejenis mineral tanah/bahan amorf). Pada tanah alkalin (Vertisol), P
difiksasi oleh ion Ca2+ atau Mg2+ menjadi senyawa yang kurang larut (Marschner
1995, Nursyamsi dan Suprihati 2005, Hanafiah 2010). Dengan demikian
penanganan keracunan Al pada tanah Ultisol tidak dapat dipisahkan dengan
permasalahan defisiensi P, begitu pula sebaliknya.
Peranan Unsur P pada Tanaman
Fosfor (P) merupakan unsur yang penting dan diperlukan oleh tanaman
dalam jumlah yang relatif besar (sebagai makronutrien) (Campbell et al. 2003). P
ini juga menjadi salah satu nutrisi penting kedua setelah N yang dibutuhkan oleh
tanaman (Batjes 1997). Keberadaan unsur ini dalam tanah sangat terbatas dan
tidak semuanya dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Tanaman mengambil unsur P
dalam bentuk ion orthofosfat primer dan sekunder (H2PO4- atau HPO42-). Proporsi
penyerapan kedua ion ini dipengaruhi oleh pH pada area perakaran tanaman. Pada
pH yang lebih rendah tanaman lebih banyak menyerap ion orthofosfat primer,
sedangkan pada pH yang lebih tinggi tanaman lebih banyak menyerap ion
orthofosfat sekunder. Ketersediaan ion H2PO4- atau HPO42- maksimum pada pH
6-7,2, jika pH di atas 8,3 maka P akan terikat oleh unsur Ca atau Mg. Pada pH
rendah, P tidak tersedia karena terikat oleh Al dan Fe. Bentuk P lain yang dapat
diserap oleh tanaman adalah pirofosfat dan metafosfat, dan P-organik hasil
dekomposisi bahan organik seperti fosfolipid, asam nukleat dan phytin
(Marschner 1995, Hanafiah 2010).
Lambers et al. (2008) melaporkan bahwa beberapa spesies seperti Lupinus
albus (White lupin), Carex acutiformis (pond sedge), Trifolium subterraneam
(subclover), Triticum aestivum (wheat) bisa menggunakan asam nukleat,
fosfolipid, glucose 1-phosphate dan glycerophosphate, sebagai Pi (inositol
phosphate), dalam kaitan aktivitas phosphatase di tanah. Phosphatase merupakan
enzim yang menghidrolisis senyawa yang mengandung P organik menjadi Pi,

5
sehingga Pi bisa diabsorbsi oleh akar tanaman. Kebanyakan senyawa P organik
adalah ester dari asam fosfat (H2PO4) dan telah diidentifikasi terutama seperti
inositol fosfat, fosfolipid dan asam nukleat. Proporsi senyawa ini dalam total P
organik adalah inositol fosfat 10-30%, fosfolipid 1-5%, dan asam nukleat 0,22,5% (Havlin et al. 1999).
Pemanfaatan fosfat dalam sel-sel tanaman terjadi melalui 3 tahap, yaitu: (1)
P-anorganik diserap akar dan diinkorporasikan ke molekul-molekul atau dengan
P-radikal lainnya, (2) transfosforilasi, proses transfer gugus fosforil dari senyawa
P ke molekul lain, dan (3) proses pelepasan energi kimiawi melalui hidrolisis
senyawa-senyawa P yang melepaskan fosfat atau pirifosfat dan energi kimiawi,
atau melalui proses substitusi P-radikal pada molekul-molekul organik (Hanafiah
2010).
Peran unsur P bagi tanaman menurut Hanifah (2010), yaitu: (1) sebagai
komponen beberapa enzim dan protein, ATP, RNA, DNA dan phytin, (2) sebagai
aktivator enzim dan regulator reaksi biokimiawi, unsur P berperan dalam
mengatur reaksi-reaksi enzimatis seperti pada sintesis amilase lewat peran enzim
fosforilase, yang bersifat bolak-balik, (3) sebagai pembawa dan sumber
penyimpanan energi dalam proses fotosintesis dan respirasi, dan (4) sebagai
komponen penyusun biji dan buah.
Defisiensi P sangat berkaitan dengan keracunan Al terutama pada tanah
Ultisol, karena pada tanah tersebut P dijerap oleh Al dan atau Fe sehingga
tanaman tidak mampu menyerapnya. Tan et al. (1993) melaporkan bahwa
tanaman yang mengalami keracunan Al maka akar yang terbentuk pendek-pendek
dan menyebabkan sistem perakaran menjadi abnormal. Pada kondisi seperti ini,
kemampuan akar menyerap hara lebih rendah dan tanaman mengalami defisiensi
hara. Prasetiyono (2011) menambahkan bahwa kekurangan unsur P pada tanaman
padi akan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat, jumlah anakan
berkurang, waktu berbunga lebih lambat, banyak gabah hampa dan penurunan
jumlah gabah per malai.
Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Aluminium
danDefisiensi Fosfor di Tanah Ultisol
Permasalahan utama yang terjadi pada tanah Ultisol adalah keracunan Al
dan kekeringan (Notohadiprawiro 1989, Prasetyo dan Suriadikarta 2006).
Keracunan Al menyebabkan penyerapan unsur hara oleh tanaman menjadi
berkurang sehingga mengakibatkan defisiensi hara makro maupun mikro seperti P,
Mg, Zn, Cu dan Mo. Pada umumnya, defisiensi unsur hara yang sering terjadi
pada tanah Ultisol yaitu defisiensi P. Defisiensi P menyebabkan produktivitas
tanaman menurun (Alluri 1986, Kaher 1993, Ae dan Shen 2002). Keberadaan
unsur P dalam tanah Ultisol selain dipengaruhi oleh kelarutan unsur Al juga
dipengaruhi oleh kelarutan unsur Fe (Hanafiah 2010), sehingga ketersedian P
menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman.
Yamamoto et al. (1992) mengatakan bahwa Al mengakibatkan kebocoran
pada membran sel akar, mengurangi K dalam jaringan akar dan merusak viabilitas
protoplasma. Marschner (1995) juga melaporkan bahwa mobilitas ion Al yang
tinggi pada apoplas sel akar merupakan kompetitor utama bagi beberapa kation
polivalen seperti Mg2+, Ca2+, Zn 2+ dan Mn2+ sehingga kandungan hara di dalam

6
tanaman berkurang yang akibatnya tanaman mengalami defisiensi unsur hara
tersebut. Sistem perakaran menjadi target awal kerusakan akibat keracunan Al
(Ryan et al. 1993), kemampuan suatu tanaman untuk mengekskresikan asam
organik pada daerah ini seperti sitrat dan malat dapat melindungi dirinya dari
keracunan Al (Kochian et al. 2004).
Delhaize dan Ryan (1995) menambahkan bahwa Al dapat menyebabkan
kerusakan membran akar sehingga akar menjadi tebal, menggulung dan pendek.
Ion Al juga mengganggu proses metabolisme yang membutuhkan Ca2+, seperti
regulasi pembelahan dan pemanjangan sel, sehingga pemanjangan akar menjadi
terhambat. Tanaman padi yang toleran Al akan mempunyai perakaran yang lebih
panjang dan kandungan Al pada akar lebih rendah bila dibandingkan dengan
tanaman padi yang peka Al (Ma 2000, Ma et al. 2004). Akar tanaman yang
mengalami kerusakan akibat keracunan Al berkorelasi dengan akumulasi Al pada
daerah ujung akar terutama pada daerah 0-5 mm dari ujung akar (Matsumoto 1991,
Delhaize dan Ryan 1995). Demikian pula hasil penelitian Miftahudin et al. (2007)
menyebutkan bahwa daerah akar tanaman padi yang mengalami kerusakan akibat
keracunan Al berada pada 1 mm dari ujung akar.
Beberapa tanaman beradaptasi terhadap cekaman Al maupun defisiensi P
dengan mengeluarkan senyawa pengasam (asam organik) dan atau pengkelat
seperti asam sitrat dan asam malat. Senyawa pengkelat seperti sitrat dan malat
akan menempati tempat yang mengikat P (penukar ligan), dan kemudian
melarutkan P yang dijerap oleh partikel tanah (Lambers et al. 2008). Senyawa
pengkelat (senyawa organik) tersebut akan mengikat Al, Fe dan Ca sehingga P
menjadi bebas, yang akhirnya dapat diserap oleh akar tanaman. Coronel et al.
(1990) melaporkan bahwa pada padi peka, Al cenderung diakumulasi didaerah
akar di dalam sel epidermis dan korteks serta di dinding sel yang berikatan dengan
gugus karboksil dari matrik pektin, akan tetapi akumulasi ini tidak dijumpai di
dalam sistem pembuluh.
Marschner (1995) dan Kochian et al. (2004) menjelaskan bahwa senyawa
pengkelat (asam organik) membantu ketersediaan P secara tidak langsung dengan
cara mengkelat Al, sehingga P yang terikat Al bisa diserap oleh tanaman.
Mekanisme tingkat seluler ini dengan melakukan kompartemensasi di dalam
vakuola, mengikat unsur tersebut dengan unsur lain dan remobilisasi P. Swasti
(2004) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa galur padi gogo yang toleran
terhadap keracunan Al dan kekurangan P mampu mengekskresikan asam oksalat
sehingga Al dapat dikelat dari komplek Al-P yang selanjutnya P dapat diserap
oleh tanaman.
Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Kekeringan di Tanah Ultisol
Tanah Ultisol umumnya peka terhadap erosi serta mempunyai pori aerasi
dan indeks stabilitas rendah sehingga tanah mudah menjadi padat. Selain itu,
tanah ini mudah mengalami kekurangan air, sehingga kekeringan juga menjadi
pembatas pertumbuhan tanaman pada tanah Ultisol. Kondisi ini menyebabkan
pertumbuhan akar tanaman terhambat karena daya tembus akar ke dalam tanah
menjadi berkurang (Prasetyo dan Suriadikarta 2006).
Levitt (1980) dan Bray (1997) melaporkan bahwa cekaman kekeringan
dapat disebabkan dua faktor, yaitu 1) kekurangan suplai air di daerah perakaran

7
dan 2) permintaan air yang berlebihan oleh daun akibat laju evapotranspirasi
melebihi laju absorpsi air walaupun keadaan air tanah cukup tersedia. Fitter dan
Hay (1991) menjelaskan bahwa cekaman air menyebabkan penurunan turgor pada
sel tanaman dan berakibat menurunnya proses fisiologi. Gangguan fisiologi akibat
cekaman air akan menghambat translokasi hara mineral dan asimilat, transpirasi
dan fotosintesis, yang secara visual ditandai dengan terhambatnya pertumbuhan
daun, pertumbuhan akar yang pesat, menutupnya stomata dan daun menggulung
(tanaman gramineae). Perubahan tersebut dikendalikan oleh sinyal kimia yang
diproduksi di akar pada kondisi kekeringan, yaitu asam absisat (ABA) (Kirkham
1990, Bahrun 2002). Penelitian mengenai tanaman kedelai yang mendapat
cekaman Al dan cekaman kekeringan telah dilakukan oleh Hanum et al. (2007),
hasilnya bahwa penurunan kadar air tanah dari 80% kapasitas lapang (KL)
menjadi 40% kapasitas lapang (KL) menyebabkan penurunan bobot kering akar
kedelai mencapai 20-60%.
Fageria (1992) mengelompokkan mekanisme tanaman terhadap kekeringan
menjadi dua, yaitu: mekanisme menghindar (avoidance mechanism) dan
mekanisme toleransi (tolerance mechanism). Kemudian Boyer (1996)
mendefinisikan tanaman toleran terhadap kekeringan (drought tolerance) adalah
tanaman yang memiliki pertumbuhan lebih baik bila ditanam dengan air terbatas.
Sedangkan tanaman menghindar dari kekeringan (drought avoidance) adalah
tanaman yang mempunyai fungsi atau kemampuan beradaptasi dengan
mengurangi dampak tanah dan/atau kekeringan udara, sehingga kekurangan air
pada tanaman dapat dihindari.
Tanaman beradaptasi terhadap cekaman kekeringan dengan menghasilkan
senyawa-senyawa osmoregulasi yang dapat menurunkan potensial osmotik
sehingga menurunkan potensial air dalam sel tanpa membatasi fungsi enzim serta
menjaga turgor sel. Selain memproduksi ABA, tanaman yang mengalami
cekaman kekeringan juga menghasilkan dehidrin protein yang berfungsi
osmoprotektan (Yamaguchi-Shinozaki et al. 2002), molekul organik (gula terlarut,
betain, polyol dan prolin) yang berfungsi untuk menjaga ion osmotik seimbang
(Fageria et al. 2005). Mackill et al. (1996) melaporkan bahwa tanaman yang
toleran terhadap kekeringan akan mempunyai perakaran yang dalam, padat dan
kuat sehingga memberikan jaminan kelancaran pengiriman air dan hara dari tanah
menuju ke tanaman. Yu et al. (1995) juga melaporkan bahwa terdapat hubungan
antara daya tembus akar tanaman padi dengan toleransi kekeringan yang
menggunakan simulasi kekerasan tanah. Simulasi kekerasan tanah tersebut, yaitu
dengan membuat campuran antara parafin (60%) dan vaselin (40%) dengan
ketebalan 3 mm yang kekerasannya setara 12 bar.
Metode lapisan lilin dari Yu et al. (1995) ini selanjutnya digunakan oleh
Suardi dan Moeljopawiro (1999) untuk menguji daya tembus akar varietas
Salumpikit dan Kalimutu. Varietas Salumpikit mampu menembus lapisan lilin
dengan ketebalan 3 mm, sedangkan varietas Kalimutu mampu menembus lapisan
lilin dengan ketebalan 4 mm. Kemudian Suardi (2001) melaporkan bahwa
tanaman yang mempunyai perakaran dengan kemampuan daya tembus akarnya
pada metode lapisan lilin (metode daya tembus akar/DTA) lebih dari 10 cm dan
jumlah akar yang relatif banyak akan lebih toleran terhadap kekeringan.

8
Polyethylene Glycol
Polyethylene glycol (PEG) merupakan senyawa yang stabil, non ionik.
Senyawa ini larut dalam air, tidak toksik terhadap tanaman dan tidak mudah
diserap oleh tanaman. Larutan PEG dilaporkan mampu mengurangi potensial air
atau menahan air pada larutan nutrisi tanpa menyebabkan keracunan sehingga air
menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Besarnya kemampuan larutan PEG dalam
menahan air tergantung pada bobot molekul dan konsentrasinya. Kondisi ini,
larutan PEG digunakan untuk menginduksi cekaman kekeringan (Lestari 2005,
Widoretno 2002).
Larutan PEG dengan potensial air -0,5 MPa dapat dibuat dengan melarutkan
198 g PEG 8000 ke dalam 1 L larutan (akuades) (Michel, 1983), Mexal et al
(1975) menambahkan konsentrasi PEG 10% dan 20% setara dengan potensial air 0,19 MPa dan -0,67 MPa.
Widoretno et al. (2002) melaporkan bahwa penggunaan PEG 20% untuk
pengamatan indeks potensial tumbuh maksimum (PTM) dan PEG 5% untuk
pengamatan panjang hipokotil (PH) dapat digunakan untuk menilai respon kedelai
terhadap cekaman kekeringan. Larutan PEG 15% dan 20% merupakan komponen
yang sangat efektif untuk skrining atau penapisan benih yang tahan terhadap
kekeringan (Lestari 2005).
Simple Sequence Repeat
Simple Sequence Repeat (SSR) merupakan salah satu marka molekuler
berbasis DNA yang memiliki sekuen DNA berulang yang sederhana antara 1-6
pasang basa, terdapat dalam jumlah sangat banyak dan menyebar di dalam genom.
SSR ini banyak dijumpai pada genom eukariotik dan umumnya terdistribusi
membentuk motif yang unik pada suatu jenis organisme. Simple Sequence Repeat
(SSR) atau Simple Tandem Repeat (STR) dikenal dengan nama mikrosatelit
(Pandin, 2010). Powell et al. (1996) mengemukakan bahwa penggunaan marka
SSR (mikrosatelit) mempunyai banyak kelebihan dibandingkan marka molekuler
lain, yaitu: (1) memiliki reproduksibilitas dan ketepatan yang sangat tinggi, (2)
bersifat kodominan dan memiliki variabilitas yang sangat tinggi, (3) dapat
mendeteksi keragaman alel yang tinggi, (4) bersifat ekonomis dan aplikatif, dan
(5) dapat menyeleksi genotipe yang akurat.
SSR DNA terdapat dalam jumlah yang banyak dan menyebar di dalam
genom. Sekuen SSR DNA yang pendek dengan sekuen pengapit bersifat
conserved, memungkinkan mendesain primer untuk mengamplifikasi situs-situs
spesifik menggunakan PCR (Pandin, 2010), sehingga hal ini dapat digunakan
untuk mengidentifikasi dan memverifikasi suatu varietas tanaman.
Susanto et al. (2009) mengemukakan bahwa peta genetik dan fisik dari
sekuensing genom memudahkan pencarian marka molekuler yang secara kuat
terpaut dengan sifat yang menjadi target dalam pemulian tanaman. Pemanfaatan
marka molekuler ini dalam seleksi materi pemulian tanaman dikenal dengan
Marker Assisted Selection (MAS). Perkembangan selanjutnya MAS dipadukan
dengan program pemulian silang balik yang dikenal dengan nama Marker
Assisted Backcrossing (MABc). Perkembangan lanjut dari metode MABc ini
adalah penggunaan marka-marka diseluruh kromosom selain marka yang terpaut

9
dengan gen yang diinginkan. Metode ini dikenal dengan sebutan Advanced
Marker Assisted Backcrossing (AdvMABc). Ada dua tahapan dari metode
AdvMABc, yaitu (1) seleksi hasil persilangan dengan marka terpaut erat dengan
gen yang dinginkan, ini dikenal seleksi foreground (foreground selection) dan
seleksi rekombinan (recombinant selection), (2) seleksi hasil persilangan dengan
menggunakan marka sebanyak-banyaknya yang tersebar diseluruh kromosom, ini
dikenal seleksi background (background selection).
Lokus Pup1
Hasil penelitian Wissuwa et al. (1998) menyebutkan bahwa sifat toleransi
terhadap defisiensi P pada daerah perakaran padi telah dipetakan untuk pertama
kalinya pada kromosom 12 dengan menyilangkan Kasalath (toleran) dan
Nipponbare (peka). Selanjutnya Wissuwa et al. (2002) melanjutkan kembali
penelitiannya dengan mempertajam peta QTL dan memfokuskan pada lokus
Pup1 (P uptake 1), hasilnya bahwa dipetakan lebih akurat pada kromosom 12
dengan jarak 3 cM di antara marka S14025 dan S13126 (Gambar 1). Posisi Pup1
ini dipetakan pada posisi 14,95-15,91 Mb dan marka spesifik telah dibuatnya.
Penelitian terbaru menyebutkan bahwa marka Pup1 merupakan lokus yang
mengatur mekanisme terhadap defisiensi P yang posisi ukurannya 15,31-15,47
Mb. Sekuen sebesar 278 bp pada daerah tersebut hanya dijumpai pada Kasalath
dan tidak dijumpai pada Nipponbare (Heuer et al. 2009).
Kasalath dan NIL-C433 (NIL-Pup1) merupakan padi yang menjadi sumber
Pup1 (donor segmen Pup1). Kasalath adalah padi lokal (landrace) yang berasal
dari India. Kasalath dikelompokkan ke dalam padi Indica (sebagian ada yang
memasukkan ke dalam sub spesies Aus). Kasalath memiliki figur yang tinggi
besar dan anakan yang banyak. Bulir padinya memiliki bulu dan bentuknya agak
lonjong. Padi ini termasuk padi lahan kering yang memiliki sifat toleran terhadap
defisiensi P, tetapi peka terhadap cekaman Al. Kasalath mempunyai dua
mekanisme dalam menghadapi kondisi defisiensi P, yaitu mekanisme eksternal
dan mekanisme internal. NIL-C433 merupakan padi hasil persilangan silang balik
antara Nipponbare (kelompok Japonica) dengan Kasalath, yang sebagian besar
genomnya adalah padi Japonica. NIL-C433 memiliki figur agak pendek dan
anakan sedikit. Bulirnya tidak memiliki bulu dan bentuknya agak bulat
(Prasetiyono 2010).
Situ Bagendit merupakan varietas ungul Indonesia yang dikenal sebagai
padi gogo yang ditanam di lahan kering. Padi ini dikelompokkan ke dalam padi
Indica. Fenotipik padi ini memiliki figur sedang. Bulirnya tidak berbulu dan
bentuknya lonjong. Padi ini digunakan sebagai varietas penerima (recipient)
segmen Pup1. Persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C433 dilakukan dengan
metode silang balik (BC2) (Prasetiyono 2010). Pada pengujian generasi BC2F3
dari persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan NIL-C433 telah diperoleh segmen
Pup1 dalam keadaan homozigot.

10

Posisi lokus Pup1

Gambar 1. Peta keberadaan lokus Pup1 (Wissuwa et al. 1998)

11

1

ANALISIS KONSTITUSI BACKGROUND GALUR-GALUR PADI
GOGO HASIL PERSILANGAN SITU BAGENDIT x KASALATH DAN
SITU BAGENDIT x NIL-C433 POPULASI BC2F6

Abstrak
Introgresi lokus Pup1 ke dalam padi Indonesia dilakukan dengan metode
silang balik Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C433. Lokus Pup1
ini berperan secara tidak lansung di dalam penyerapan P. Penelitian ini bertujuan
menyeleksi dan mengevaluasi galur-galur padi gogo hasil persilangan Situ
Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C433 pada BC2F6 yang telah
mendapat sisipan lokus Pup1. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi
Molekular BB Biogen mulai November 2011 sampai Mei 2013 dengan
menggunakan analisis foreground dan background. Hasil evaluasi foreground
menunjukkan bahwa galur-galur turunan BC2F6 telah terintegrasi lokus Pup1.
Evaluasi background mengindikasikan bahwa proporsi maksimum pengembalian
genom Situ Bagendit pada galur-galur turunan BC2F6 mencapai 95,7%.
Kata kunci: background, foreground, introgresi, lokus Pup1, silang balik.

Abstract
Introgression of Pup1 locus into Indonesian rice was carried out using two
backcross population derived from crosses betwen Situ Bagendit x Kasalath and
Situ Bagendit x NIL-C433. The Pup1 locus has indirect role in P uptake. This
study aimed to select and evaluate of the BC2F6 rice lines from two backross
population of Situ Bagendit x Kasalath and Situ Bagendit x NIL-C433 which had
been inserted by Pup1 locus. This research was conducted at Molecular Biology
Laboratory of BB Biogen from November 2011 to May 2013 using the
foreground and background analysis. The results of foreground evaluation showed
that Pup1 locus had been integrated in genom of the BC2F6 rice line. The result of
background evaluation indicated that maximum (95,7%)Situ Bagendit background
had been recovered in the BC2F6 rice lines.
Keywords: background, foreground, introgression, Pup1 locus, backcross.

12
Pendahuluan
Lokus Pup1 merupakan lokus yang berisi banyak gen dan beberapa
diantaranya berperan secara tidak langsung di dalam penyerapan P, sehingga
tanaman padi yang mempunyai lokus tersebut akan toleran terhadap kondisi
defisiensi P (Wissuwa et al. 1998, Heuer et al. 2009). Lokus Pup1 ini terletak
dalam kromosom 12 pada tanaman padi dan beberapa marka spesifik untuk daerah
tersebut telah di desain (Chin et al. 2010, Chin et al. 2011). Pada saat ini telah
diketahui gen PSTOL1 yang berada di dalam lokus tersebut memegang peran
sangat penting di dalam peningkatan penangkapan P (Gamuyao et al. 2012). Gen
tersebut berperan di dalam peningkatan volume akar secara eksponensial,
sehingga peluang penangkapan P yang tersedia di tanah menjadi semakin besar.
Introgresi lokus Pup1 ke dalam padi Indonesia dengan metode silang balik
antara Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C433. Penyeleksian
tersebut menggunakan marka (Marka Assisted Backcrossing/MAB) telah
dilakukan sejak tahun 2005 (Prasetiyono 2010, Prasetiyono et al. 2012). Proses
evaluasi ini telah mencapai generasi BC2F3 dan telah diperoleh beberapa galur
yang positif mengandung lokusPup1 (Prasetiyono 2010, Chin et al. 2011).
Penelitian persilangan padi dengan menggunakan metode MAB sangat baik
dan sangat menguntungkan karena dapat mempersingkat waktu. Metode MAB ini
dapat mengembalikan genom galur hingga 98% seperti tetua pemulih dalam dua
kali silang balik, sedangkan cara konvensional diperlukan 4-5 kali silang balik
untuk mencapai tersebut (Ribaut dan Hoisington 1998). Penelitian ini bertujuan
untuk mengevaluasi konstitusi background galur-galur hasil persilangan Situ
Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C433 pada generasi BC2F6 dengan
menggunakan marka molekuler, yaitu seleksi foreground dan seleksi background.

Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler dan Rumah
Kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya
Genetik Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 3A Bogor, mulai November 2011
sampai dengan Mei 2013.
Bahan Penelitian
Bahan tanaman padi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1) galurgalur padi gogo hasil persilangan Situ Bagendit xKasalath (turunan SK) sebanyak
24 galur dan Situ Bagendit xNIL-C433 (turunan SN) sebanyak 22 galur pada
populasi BC2F6, 2) galur padi gogo hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan
Situ Bagendit x NIL-C433 pada F1, 3) tetua [Situ Bagendit, Kasalath dan NILC433].
Total marka SSR (mikrosatelit) yang digunakan dalam penelitian ini
berjumlah 313 marka SSR, terdiri dari 276 marka SSR untuk seleksi background
dan 37 marka SSR untuk seleksi foreground.

13
Prosedur AnalisaData
Isolasi DNA. DNA diisolasi dari daun muda tanaman padi tetua, F1 dan
galur-galur hasil persilangan populasi BC2F6 yang berumur 14 hari. Isolasi DNA
dilakukan menurut metode Dellaporta (Dellaporta et al. 1983) yang dimodifikasi
(β-Mercaptoetanol diganti SDS dan Potasium asetat diganti dengan ChloroformIsoamilalkohol) (Prasetiyono 2010). DNA yang diperoleh kemudian dilakukan
pengujian kuantifikasi DNA dengan alat spektrofotometer dan pengujian kualitas
DNA dengan alat elektroforesis DNA (Sambrook et al. 1989; Sulandari dan Zein
2003).
Amplifikasi DNA. DNA dari galur-galur populasi F1 dan populasi BC2F6
serta tetua yang telah diperoleh diamplifikasi dengan mesin PCR (Polymerase
Chain Reaction). Reaksi PCR dilakukan pada volume 15 µl yang mengandung 2
µl 10Xbufer PCR, 2 µl 1 mM dNTP, 2 µl 5 µM primer (F dan R), 1 µl 1 unit Taq
DNA Polymerase (IRRI taq), 6 ddH2O, 2 µl DNA. Progam PCR yang digunakan
adalah 5 menit pada suhu 940C untuk denaturasi permulaan, selanjutnya dilakukan
35 siklus yang terdiri dari: 60 detik pada suhu 940C untuk denaturasi, 60 detik
pada suhu 550C untuk penempelan primer, dan 2 menit pada suhu 720C untuk
perpanjangan primer. Perpanjangan primer terakhir selama 7 menit pada suhu
720C.
Analisis Foreground. DNA dari galur-galurF1 dan populasi BC2F6 serta
tetua diampifikasi menggunakan marka SSR foreground untuk lokus Pup1.
Progam amplifikasi seperti pada kegiatan amplifikasi diatas. Hasil PCR kemudian
dipisahkan menggunakan gel poliakrilamid 5% (denaturing gel). Pewarnaan DNA
dilakukan dengan metode silver staining. Skoring hasil PCR dilakukan secara
visualisasi dengan melihat pita-pita DNA yang terbentuk pada kaca.
Analisis Background. DNA dari galur-galurF1 dan populasi BC2F6 serta
tetua diamplifikasi menggunakan marka SSR background. Untuk analisis
background dipilih marka SSR yang polimorfik dengan jarak 5-10 cM. Progam
amplifikasinya seperti pada amplikasi marka foreground. Hasil PCR dipisahkan
menggunakan gel poliakrilamid 8% (non-denaturing gel). Pewarnaan DNA
dilakukan dengan larutan EtBr (Ethidium Bromida) 0,5 µg/ml kemudian diamati
di atas UV-transiluminator dan didokumentasikan menggunakan foto gel
wise©Gel Documentation system (alat Gel-Doc). Skoring hasil PCR dengan
melihat pita-pita DNA yang dihasilkan dari hasil dokumentasi.
Analisis Data. Marka SSR yang menghasilkan pita yang berbeda posisi
pada kedua tetua (tetua pemulih dan tetua donor) digunakan untuk mengevaluasi
galur-galur BC2F6. Skoring pita yang terbentuk disimbulkan dengan A (pola
pitanya sama dengan tetua Situ Bagendit), B (pola pitanya sama dengan tetua
Kasalath atau NIL-C433), dan H (pola pitanya sama dengan kedua tetua). Data
yang diperoleh dari seleksi foreground dan seleksi background kemudian
dianalisis dengan menggunakan software GGT 2.0.

14

HASIL DAN PEMBAHASAN
Survei Polimorfisme Marka-marka SSR
Surveipolimorfisme marka-marka SSR antar tetua sangat diperlukan untuk
menentukan marka yang polimorfik dan yang akan digunakan selanjutnya dalam
menyeleksi galur turunan serta untuk meningkatkan kerapatan marka SSR. Marka
SSR yang digunakan dalam seleksi foreground dan background dipilih yang
polimorfik antar dua tetua dari hasil survei polimorfisme. Marka yang
monomorfik antar dua tetua tidak digunakan untuk kegiatan seleksi populasi
BC2F6.
Berdasarkan hasil survei polimorfisme marka SSR, rata-rata jumlah marka
SSR yang polimorfik tiap kromosom berbeda (Tabel 1). Rata-rata tertinggi marka
SSR yang polimorfik terdapat pada kromosom 5, sedangkan rata-rata terendah
terdapat pada kromosom 9. Marka SSR kromosom 4, 6,7 dan 9 perlu penambahan
marka SSR baru, untuk meningkatkan kerapatan marka molekuler sehingga dapat
mengurangi terjadinya efek linkage drag (Prasetiyono 2010).
Tabel 1. Hasil tabulasi polimorfisme marka SSR pada persilangan Situ Bagendit
x Kasalath dan Situ Bagendil x NIL-C433 1
Jumlah Pita
Kromosom

Situ Bagendit x Kasalath

Situ Bagendit x NIL-C433

P

M

TT

P

M

TT

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

15
12
14
9
17
7
7
10
7
10
12
10

14
17
15
15
11
4
2
7
5
3
7
6

4
3
1
1
4
11
5
5
2
1
0
3

18
21
16
10
19
10
10
12
6
12
14
10

11
9
11
12
9
2
0
4
4
1
4
4

4
2
3
3
4
10
4
6
4
1
1
5

Jumlah
Marka SSR
33
32
30
25
32
22
14
22
14
14
19
19

Jumlah

130

106

40

158

71

47

276

10.8

8.8

3.3

13.2

5.9

3.9

23.0

Rata2

Keterangan: P=polimorfik, M=monomorfik, TT=tidak teramplifikasi

Analisis Foreground Populasi BC2F6
Seleksi foreground merupakan kegiatan penting dalam analisis molekuler
sebelum masuk dalam seleksi background, karena berguna untuk menyeleksi
individu yang mengandung lokus Pup1 atau tidak. Analisis foreground
menggunakan tujuh marka SSR, yaitu Lu-SSR3, Kas30n-1, Kas30n-2, Kas30n-4,

15
primer 40, primer 42 dan primer 50. Marka-marka SSR tersebut terpetakan pada
posisi lokus Pup1 (Chin et al. 2011, Prasetiyono et al. 2012). Marka Kas30n-1
mengamplifikasi pita berukuran 322 bp pada genotipe Kasalath dan pita
berukuran 315 bp pada genotipe NIL-C433, marka Lu-SSR3 mengamplifikasi pita
berukuran 344 bp pada genotipe Ka