Pengaturan Hukum Eksekusi Jaminan Fidusia Setelah Debitur Dinyatakan Pailit.

hal ini terlihat setelah debitur dinyatakan insolvensi kedudukan obyek hak tanggungan adalah sebagai harta diluar harta boedel pailit, akan tetapi hak eksekusi kreditur pemegang hak tanggungan terhadap obyek hak tanggungan dibatasi waktunya oleh ketentuan dalam Undang-Undang KPKPU yang diambil alih oleh kurator setelah melewati jangka waktu 2 bulan .

B. Pengaturan Hukum Eksekusi Jaminan Fidusia Setelah Debitur Dinyatakan Pailit.

Menurut Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang KPKPU; dinyatakan bahwa putusan Pailit dengan serta merta akan mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan kedalam boedel pailit. Yang mana selanjutnya Pembekuan harta perdata ini diberlakukan oleh ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 KPKPU, terhitung sejak saat keputusan pernyataan pailit diucapkan. Hal ini juga berlaku bagi pasangan suami istri dan debitur pailit yang kawin dalam persatuan harta kekayaan. 57 Pada prinsipnya, sebagai konsekwensi dari ketentuan Pasal 22 tersebut, maka setiap dan seluruh perikatan antara debitur yang dinyatakan pailit dengan pihak ketiga yang dilakukan sesudah pernyataan pailit tidak akan dan tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu. Dan oleh karena itu maka gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit, selama dalam kepailitan, yang secara langsung diajukan kepada debitur pailit, hanya dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan. 57 Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, 1999, Kepailitan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.60. Universitas Sumatera Utara Dalam hal pencocokan tidak disetujui, maka pihak yang tidak menyetujui pencocokan tersebut demi hukum mengambil alih kedudukan debitur pailit dalam gugatan yang sedang berlangsung tersebut. Meskipun gugatan tersebut hanya mengakibatkan hukum dalam bentuk pencocokan, namun hal itu sudah cukup untuk dapat disajikan sebagai salah satu bukti yang dapat mencegah berlakunya daluwarsa atas hak dalam gugatan tersebut. Bagi debitur sejak diucapkannya putusan kepailitan, ia kehilangan hak untuk melakukan pengurusan atas harta bendanya persona standi includio seperti yang diatur dalam pasal 12 UU No. 37 Tahun 2004 tentang KPKPU. Pengurusan dan penguasaan harta akan segera beralih ketangan kurator, pihak yang dianggap memiliki independensi dan kemampuan manajemen pailit yang telah disepakati semua pihak. Dalam hal mereka tidak menunjuk secara khusus seorang kurator, maka ditunjukkan BHP Balai Harta Peninggalan oleh Pengadilan, dan BHP akan bertindak selaku pengampu atau kurator itu sendiri. Si Pailit masih diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum di bidang harta kekayaan, misalnya membuat perjanjian, apabila dengan perbuatan hukum itu akan memberikan keuntungan bagi boedel si pailit. Sebaliknya apabila dengan perjanjian atau perbuatan itu justru akan merugikan boedel, maka kerugian itu tidak mengikat boedel. 58 Kendati telah ditegaskan bahwa dengan dijatuhkannya putusan kepailitan, harta kekayaan si pailit akan diurus dan dikuasai oleh BHP pasal 13 PK, namun tidak berarti semua kekayaan debitur si-pailit harus diserahkan kepada BHP. Ada beberapa harta yang dengan tegas dikecualikan dari kepailitan, yaitu: a. Alat perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari 58 Zainal Asikin , 2002, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 53 Universitas Sumatera Utara b. Alat perlengkapan dinas c. Alat perlengkapan kerja d. Persediaan makanan untuk kira-kira satu bulan e. Buku-buku yang dipakai untuk kerja f. Gaji, upah, pensiunan, uang jasa dan honorarium g. Hak Cipta h. Sejumlah uang yag ditentukan oleh hakim komisaris untuk nafkahnya debitur i. Sejumlah uang yang diterima dari pendapatan anak-anaknya. Begitu pula hak- hak pribadi debitur yang tidak dapat menghasilkan kekayaan atau barang- barang milik pihak ketiga yang kebetulan berada di tangan si-pailit, tidak dapat dikenakan eksekusi, misalnya hak pakai dan hak mendiami rumah. 59 Pembuktian sederhana adalah syarat absolut yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan dalam hal Pengadilan Niaga menjalankan kewajibannya. Konteks Sumir ini erat kaitannya dengan upaya pembuktian terpenuhinya atau tidak syarat yang dimaksudkan dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Undang- Undang KPKPU yang paling lambat harus telah diputuskan dalam 30 hari terhitung dari saat mula didaftarkannya permohonan pailit tersebut. Untuk menunjang tercapainya tujuan tersebut, maka Pasal 8 Ayat 4 Undang- Undang No. 37 Tahun 2004 tentang KPKPU menentukan: Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaiana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat 1 telah terpenuhi. 1. Dengan dijatuhkannya putusan kepailitan, hal ini mempunyai pengaruh terhadap tuntuan-tuntutan hukum tertentu yang ditujukan kepada debitur. 59 Zainal Azikin, Ibid, hal. 54 Universitas Sumatera Utara Tuntutan hukum tersebut pada umumnya dibagi kedalam 2 dua jenis, yaitu: Tuntutan yang berpokok pangkal pada hak-hak dan kewajiban yang termasuk dalam harta pailit Pasal 24 ayat 1 Peraturan Kepailitan. Tuntutan tersebut harus diajukan kepada kurator. 2. Tuntutan yang bertujuan untuk mendapatkan pemenuhan suatu perikatan dari harta pailit, atau tuntutan-tuntutan hukum yang ditujukan kepada suatu prestasi suatu pembayaran dari harta pailit Pasal 25 Peraturan Kepailitan. Tuntutan itu harus ditujukan pada rapat verifikasi. Bila tuntutan itu tidak diakui dalam rapat verifikasi harus dikembalikan kepada hakim memutuskan kepailitan itu Prosedur renvooi; Putusan kepailitan akan berpengaruh terhadap pelaksanaan eksekusi. Pelaksanaan hukum terhadap harta pailit atau bagiannya, yang dimulai sebelum adanya putusan kepailitan, pelaksanaan-pelaksanaan hukum itu harus diakhiri. Pelaksanaan atau pengaturan hukum yang dimaksud adalah : 1. Penyitaan eksekusi, bahwa ada kemungkinan, sebelum debitur dijatuhi putusan pailit, ia telah berpekara dengan orang lain yang bersumber dari wanprestasi debitur. Mungkin pula dalam sengketa itu, harta si pailit dijatuhi sita jaminan conservatoir atau sita eksekutorial untuk dieksekusi. Dengan adanya putusan kepailitan, penyitaan-penyitaan dan upaya Hukum atas penyitaan itu akan gugur tidak mempunyai kekuatan lagi, karena dengan adanya putusan kepailitan, penyitaan-penyitaan diatas beralih menjadi penyitaan umum yang pelaksanaanya akan ditangani oleh BHP. Terhadap paksaan badan gizeling yang sedang dijalani oleh debitur liffdwang of gijzeling dengan adanya putusan kepailitan, si-pailit harus dibebaskan sejak itu mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Universitas Sumatera Utara 2. Terhadap uang paksa yang dibebankan kepada debitur sebelum dijatuhkan-nya putusan kepailitan, maka setelah adanya putusan kepailitan uang paksa itu tidak harus dibayar. Tidak berarti uang paksa itu akan dihapus, tetapi hanya ditunda pelaksanaannya sampai setelah selesainya kepailitan. 3. Terhadap penjualan barang-barang debitur sebelum pernyataan putusan kepailitan. Balai Harta Peninggalan dapat meneruskan penjualan barang-barang tersebut, dan hasil penjualan barang- barang tersebut dimasukkan ke dalam boedel. Tindakan hakim BHP atau kurator harus seijin hakim pengawas. 4. Terhadap barang-barang tetap dan kapal milik debitur yang telah dijual atau dijaminkan dengan hipotik maupun oogstverband creditverband sebelum adanya keputusan kepailitan . Tetapi balik nama atas barang-barang tersebut belum dilakukan sampai adanya keputusan kepailitan, maka balik nama atas barang-barang tersebut tidak sah. Tuntutan-tuntutan yang bertujuan untuk dapat dipenuhinya suatu perjanjian dari harta kepailitan yang tidak diajukan kepada Balai Harta Peninggalan tetapi kepada rapat verifikasi. Pengajuan tuntutan kerabat dapat dicegah adanya kedaluarsa penuntuan. Akibat terhadap perikatan-perikatan yang telah dibuat oleh debitursebelum pernyataan pailit, yaitu: Perikatan Sepihak dan Perikatan Timbal Balik. Pasal 1234 KUH Perdata membagi perikatan kedalam: 1. Perikatan yang melahirkan kewajiban untuk memberi sesuau; 2. Perikatan yang melahirkan kewajiban untuk berbuat sesuatu 3. Perikatan yang melahirkan kewajiban untuk tidak berbuat sesuatu; Terhadap perikatan-perikatan tersebut, ilmu hukum menggolongkan kedalam perikatan sepihak dan perikatan timbal balik. Suatu perikatan dikatakan sepihak, jika Universitas Sumatera Utara perikatan tersebut hanya melahirkan kewajiban atau prestasi pada salah satu pihak dalam perikatan, tanpa melahirkan kewajiban atau kontra prestasi dari pihak lainnya. Sedangkan suatu perikatan disebut dengan perikatan timbal balik jika perjanjian tersebut menerbitkan kewajiban bagi para pihak dalam perjanjian untuk melaksanakan suatu prestasi terhadap yang lainnya secara timbal balik. Selanjutnya berdasarkan pada objek dan prestasi yang wajib dipenuhi, secara umum prestasi tersebut dapat dibedakan kedalam: 1. Prestasi yang hanya dapat dilaksanakan oleh debitur sendiri; 2. Prestasi yang dapat dilaksanakan oleh pihak manapun juga dalam kapasistasnya sebagai wakil atau kuasa dari debitur. Jika dihubungkan dengan Pasal 1234 KUH Perdata, prestasi yang bersifat unik seperti yang disebutkan dalam angka 1 tersebut diatas, meskipun tidak seluruhnya demikian, biasanya prestasi tersebut untuk berbuat sesuatu. Terhadap prestasi yang unik ini, putusan pernyataan pailit mengakibatkan hapusnya perikatan sebagai kreditur konkuren terhadap harta pailit Dalam hal yang demikian kurator tidak memiliki kewenganan untuk mengambil alih maupun untuk melakukan suatu perbuatan yang baik secara implisit apalagi eksplisit, menyatakan kehendaknya untuk tetap atau tidak melanjutkan perjanjian tersebut. Khusus bagi prestasi yang dapat diwakilkan atau dikuasakan pelaksanaanya, maka jika pada saat putusan pernyataan pailit ditetapkan terdapat perjanjian timbal balik yang baru sebagian dipenuhi atau bahkan belum dilaksanakan sama sekali, maka pihak yang telah mengadakan perjanjian dengan debitur pailit dapat meminta kepada kurator untuk memberikan kepastian mengenai kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam suatu jangka waktu tertentu. Pihak lawan berhak meminta kepada Hakim Universitas Sumatera Utara pengawas untuk menetapkan jangka waktu tersebut, dalam hal kurator tidak memberikan keputusan atau persetujuan mengenai usaha jangka waktu yang telah diajukan. Jika dalam jangka waktu tersebut diatas, baik yang disepakati, maupun yang ditetapkan Hakim Pengawas, kurator tidak memberikan jawaban atau Kurator secara tegas menyatakan tidak bersedia melaksanakan perjanjian tersebut secara hukum dinyatakan berakhir dan pihak lawan dalam perjanjian demi hukum menjadi kreditur konkuren atas harta pailit. Sebaliknya jika kurator ternyata menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan perjanjian tersebut, maka pihak lawan dalam perjanjian diberikan hak untuk meminta kepada kurator untuk memberikan jaminan atas kesanggupannya untuk melaksanakan perjanjian tersebut. 60 Adanya kemungkinan sebelum pernyataan pailit, kreditur merugikan kreditur- krediturnya. Misalnya secara tidak beritikad baik melakukan transaksi dengan mengalihkan asset-asetnya kepada pihak lain pihak ketiga. Dalam hal ini Undang- Undang KPKPU memperbolehkan pembatalan terhadap transaksi tersebut asalkan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam undang-undang tersebut. Tindakan pembatalan transaksi tersebut sering disebut dengan actio pauliana, yang dalam undang-undang kepailitan diatur melalui dari pasal 41. Satu hal yang cukup menarik dari Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 Tentang KPKPU ini adalah sifat dapat dilaksanakannya Pertama Uit Ver Baar Bij Voor Raad, Pasal 6 ayat 5 dengan tegas mengatur bahwa, meskipun terhadap putusan pailit yang kemudian dikoreksi atau dibatalkan oleh sebuah keputusan yang secara hierarkis 60 Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Op. Cit, hal. 33 Universitas Sumatera Utara lebih tinggi, maka semua kegiatan pemberesan dengan pengurusan harta pailit yang telah dilakukan kurator tetap dinyatakan sah oleh undang- undang. Sejak tanggal putusan pailit ditetapkan debitur menjadi tidak berwenang lagi melakukan perbuatan hukum terhadap harta pailit. Harta pailit seketika itu berada di bawah penguasaan kurator untuk dilakukan pengurusan dan pemberesan Pasal 16 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang KPKPU. Dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang KPKPU yang baru ini, peranan kurator menjadi relatif kuat dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, sehingga dapat dikatakan adanya kurator dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang KPKPUmerupakan ciri baru, dibanding Faitlissementsveror dening. Hal ini dikatakan oleh Sudargo Gautama bahwa: Peranan dari kurator ini adalah ciri baru dalam Perpu 1998 No. 1 ini, yaituuntuk memberi peranan yang besar bagi kurator. Yang dapat bertindak sebagai kurator seperti kita saksikan bukan saja Badan Harta Peninggalan, tetapi juga Expert Partikulir yang sekarang mengambif oper peranan sebagai Kurator itu. Demi kepentingan para kreditur dalam sutu pailisernen. 61 Dengan adanya kurator yang telah diputus oleh putusan Pengadilan menyebabkan debitur di bawah pengampun kurator, berarti debitur menjadi tidak cakap lagi untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta kekayaan. Akibatnya debitur tidak dapat menjual, menghibahkan atau menjaminkan harta kekayaannya, karena seluruh harta kekayaannya telah berada dalam sitaan umum. 62 Akibat hukum dari pernyataan pailit terhadap harta debitur yang menyebabkan harta debitur menjadi sitaan umum ini menurut Munir Fuady, adalah berlaku demi 61 Ibid, hal. 80 62 Elijana, Tentang Akibat-Akibat Perjnyataan Pailit, dalam Makalah Para Pakar Yang Berkaitan Dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998jo. Perpu No. 1 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1999, hal. 212 Universitas Sumatera Utara hukum: Pada prinsipnya Kepailitan seorang debitur berarti meletakkan sitaan umum terhadap seluruh asset debitur. Karena sitaan-sitaan yang lain jika ada harus dianggap gugur karenahukum. Sitaan umum tersebut berlaku terhadap seluruh kekayaan debiturr, meliputi; i. Kekayaan yang sudah ada pada saat pernyataan pailit ditetapkan dan ii. Kekayaan yang akan diperoleh oleh debitur selama kepailitan tersebut. 63 Proses pengaturan hukum khususnya tindakan eksekusi benda jaminan setelah debitur dinyatakan pailit adalah; Pengamanan dan Penyegelan Harta Pailit oleh Kurator, Proses Pencocokan Piutang dan Kegiatan verifikasi lainnya, Penawaran damai terhadap Kreditur, Penyelesaian dan Pembagian hasil Eksekusi Harta Pailit oleh Kurator. Dalam hal pembagian hasil eksekusi, kreditur pemegang hak Jaminan pada prinsipnya mendapat kedudukan didahulukan dibandingkan dengan kreditur lainnya. Kedudukan didahulukan dalam BW KUH Perdata dapat dilihat pada pasl 1133 ayat 1 BW KUH Perdata yaitu dinyatakan bahwa: Hak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotik. Dimana apabila debitur wansprestasi ingkar janji, kreditur pemegang hak tanggungan akan mempunyai hak yang didahulukan dalam pelunasan piutangnya dibandingkan dengan kreditur lain yang tidak memegang hak tanggungan. Sifat pemenuhan piutang yang didahulukan ini disebut dengan kreditur preferen. Sebaliknya kreditur yang tidak mempunyai hak yang didahulukan, dimana diantara kreitur-kreditur ini mempunyai kedudukan yang sama antara yang satu sama lainnya yang tidak memegang hak tanggungan, biasanya disebut dengan kreditur konkuren. Selanjutnya setelah debitur dinyatakan insolvensi, maka Pelaksanaan penjualan obyek hak tanggungan diserahkan kepada pihak kreditur pemegang hak 63 Munir Fuady, Hukum Pailit 1998,Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bandung, hal. 70 Universitas Sumatera Utara tanggungan. Dalam hal pelaksanaan penjualan objek hak tanggungan kreditur pemegang hak tanggungan berdasarkan Pasal 59 ayat 1 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang KPKPU diberi tenggang waktu dua bulan kreditur harus dapat menjual obyek hak tanggungan. Apabila dalam jangka waktu 2 dua bulan kreditur pemegang hak tanggungan tidak dapat menjual obyek hak tanggungan, maka berdasarkan Pasal 59 ayat 2 Undang- undang No. 37 Tahun 2004 Tentang KPKPU kreditur pemegang hak tanggungan harus menyerahkan obyek hak tanggungan kepada kurator untuk dijual dengan cara sebagaimana dimaksud dalarn Pasal185 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang KPKPU, dan hasil penjualan obyek hak tanggungan akan dibayarkan kepada kreditur pemegang hak tanggungan. Dengan ketentuan Pasal 59 ayat I dan 2 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang KPKPU ini telah membatasi wewenang kreditur pemegang hak tanggungan untuk melaksanakan hak-haknya berdasarkan Pasal 20 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. Bahkan Sutan Remy Sjahdeini beranggapan ketentuan tersebut sebagai ketentuan yang tidak mengakui keberadaan hak separatis dari pemegang hak tanggungan : Ketentuan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 ayat 3 dan Pasal 59, bukan saja menegaskan dan meperjelas sikap UU Kepailitan yang tidak mengakui hak separatis dari kreditur pemegang hak jaminan termasuk pemegang hak tanggungan, dari penulis, karena memasukkan benda-benda yang dibebani Hak jaminan sebagai harta pailit, tetapi juga sekaligus telah tiak mengakui dan merenggut hak kreditur pemegang hak jaminan untuk dapat mengeksekusi sendiri hak jaminannya, yaitu dengan cara menjual benda-benda yang telah dibebani Hak Jaminan itu. 64 64 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillisementsverordening, Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, op.cit. hal. 298 Universitas Sumatera Utara Apa yang dikemukakan oleh Sutan Rerny Sjahdeini itu cukup beralasan apabila ditinjau bahwa kepailitan yang dinyatakan oleh pengadilan identik dengan insolvensi, sehingga kepailitan adalah suatu keadaan di mana debitur sudah tidak dapat membayar seluruh hutang-hutangnya insolvent. Kepentingan yang lebih besar dari suatu keadaan pailit, misalnya untuk perdamaian atau demi meningkatkan harta pailit tidak dibutuhkan lagi. Insolvensi dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang KPKPU merupakan suatu tahap yang mana setelah putusan pailit antara kurator dengan para kreditur tidak terjadi perdamaian, selanjutnya harta pailit harus dilakukan pemberesan oleh kurator untuk pelunasan hutang-hutang debitur pailit. Sedangkan bagi kreditur pemegang hak tanggungan, ia dapat langsung melaksanakan hak-haknya, dengan pembatasan Pasal 59 Undang- Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang KPKPU. Dari Pasal 59 Undang- undang No. 37 Tahun 2004 Tentang KPKPU tersebut Fuady memberikan gambaran tentang akibat adanya insolvensi: Dengan terjadinya insolvensi terhadap debitur pailit, akan membawa beberapa konsekuensi hukum tertentu, yaitu sebagai berikut : 1. Harta pailit segera dieksekusi dan dibagi kecuali yang menyebabkan penundaan eksekusi dan penundaan pembagian akan lebih menguntungkan. 2. Pada prinsipnya Tidak ada Rehabilitasi. Hal ini dikarenakan dalam hal insolvensi tidak terjadi perdamaian, dan aset debitur pailit justru lebih kecil dari kewajibannya. 65 Seandainya obyek hak tanggungan yang dijual oleh kreditur pemegang hak tanggungan berdasarkan Pasal 20 ayat 1 Undarng-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang 65 Munir Fuady, Op.Cit hal. 137 Universitas Sumatera Utara Hak Tanggungan jauh dibawah harga pasar sudah menjadi resiko kreditur pemegang hak tanggungan untuk ikut pelunasan sebagai kreditur konkuren. Apa yang dikemukakan oleh Fuady; eksekusi hak tanggungan dapat ditunda eksekusinya apabila penundaan itu akan lebih menguntungkan. Mungkin saja penundaan tersebut disebabkan oleh kesepakatan yang dibuat antara kreditur dan curator, namun perlu diingat kesempatan kreditur pemegang hak tanggungan hanya dua bulan, setelah lewat dua bulan kreditur pemegang hak tanggungan tidak berwenang lagi untuk menjual obyek hak tanggungan Pasal 59 ayat 2 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang KPKPU, oleh karenanya kreditur pemegang hak tanggungan harus dapat memanfaatkan waktu secara tepat dan cepat. Berdasarkan Pasal 59 ayat 3 Undang-undang Kepailitan ditentukan bahwa setiap waktu kurator dapat membebaskan barang agunan dengan membayar kepada krcditor kreditur pemegang hak tanggungan yang bersangkutan jumlah terkecil antara harga pasar barang agunan dan jumlah hutang yang dijamin dengan barang agunan tersebut. Dari ketentuan Pasal 59 ayat 3 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang KPKPU tersebut dapat dikemukakan bahwa kurator mempunyai wewenang melunasi hutang debitur terhadap kreditur pemegang hak tanggungan sehingga obyek hak tanggungan berada dalam penguasaan kurator secara penuh, dengan ketentuan pembayaran kepada kreditur pemegang hak tanggungan tersebut dengan harga yang terkecil. Jika harga pasar obyek hak tanggungan lebih kecil renclah, maka kurator berwenang membayar kepada kreditur pemegang hak tanggungan adalah harga pasar, dan sebaliknya jumlah hutang lebih kecil dari harga pasar maka kurator berwenang untuk membayar hutang kreditur sejumlah hutangnya tersebut. Universitas Sumatera Utara Ketentuan ini akan menimbulkan permasalahan tentang pihak yang dapat mcnentukan harga pasar apakah kurator atau debitur, hal ini akan berkaitan dengan harga obyek hak tanggungan yang hcndak dijual dalam pcrkara kepailitan harga likuidasiliquidation price seringkali lebih rendah dibandingkan dengan apabila obyek hak tanggungan dijual dalam kcadaan normal harga pasarmarket price seringkali lebih rendah dibandingkan dengan apabila objek hak tanggungan dijual dalam keadaan normal harga pasarmarket price. 66 Apabila kurator benar-benar melaksanakan wewenangnya, misalnya dengan membayar kreditur sesuai dengan harga pasar yang lebih rendah dibandingkan dengan jumlah hutang, tentunya akan merugikan kreditur pemegang hak tanggungan. Apabila ditelaah secara seksama tindakan kurator ini adalah bertujuan agar harta pailit yang ada dalam penguasaan kurator menjadi lebih besar, sehingga dapat diharapkan dapat menguntungkan kreditur secara umum seluruh kreditur. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah dapat dijamin bahwa obyek hak tanggungan yang telah dibebaskan dan ada pada penguasaan kurator menjadi lebih tinggi saat dijual oleh kurator, Perhitungan kurator dalam melaksanakan Pasal 59 ayat 3 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang KPKPU dilakukan secara ekstra hati-hati, karena di lain pihak kesalahan kurator akan dapat merugikan kreditur pemegang hak tanggungan. Di lain pihak kurator harus dapat menjual lagi saat pemberesan dengan harga yang tidak boleh kurang dari harga yang telah dibayar kepada kreditur pemegang hak tanggungan, konsekuensinya dapat saja terjadi penjualan akan dapat merugikan kreditur konkuren. Selanjutnya setelah berbagai upaya yang dilakukan oleh Kurator seperti upaya perdamaian yang diajukan kepada para pihak tidak diterima atau disetujui dan upaya- 66 Ibid. hal, 293 Universitas Sumatera Utara upaya lainnya untuk menghindari adanya sengketa di belakang hari, maka Kurator atau kreditur yang hadir dalam rapat pencocokan piutang dapat mengusulkan supaya perusahaan debitur pailit dilanjutkan. Pasal 178 Pasal 1 Undang-Undang KPKPU; Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvens. Untuk dapat mengusulkan agar perusahaan debitur pailit dilanjutkan maka harus berdasarkan ketentuan ; disetujui oleh kreditur yang mewakili lebih dari V2 satu perdua dari semua piutang yang diakui dan diterima dengan sementara, yang tidak dijamin dengan hak gadai , jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya. Apabila ini terjadi, maka dengan sendirinya demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvens. Pasal 180 Ayat 1 Undang- Undang KPKPU; Usul untuk melanjutkan perusahaan sebagaimana dalam Pasal 179 Ayat 1, wajib diterima apabila usul tersebut disetujui oleh kreditur yang mewakili lebih dari V2 satu perdua dari semua piutang yang diakui dan diterima dengan sementara, yang tidak dijamin dengan hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya. Debitur Pada saat putusan pailit ditetapkan akibat hukum tidak hanya terjadi pada sengketa yang sedang berjalan, namun juga terhadap lelang harta milik debitur. Berdasarkan Pasal 33 Undang-undang No, 37 Tahun 2004 Tentang KPKPU Apabila hari lelang telah ditetapkan oleh Kantor Lelang, yang mana lelang tersebut sebagai tindak lanjut dari eksekusi Putusan Pengadilan, selanjutnya atas kuasa Hakim Universitas Sumatera Utara Pengawas, kurator dapat tetap melaksanakan eksekusi lelang, dan hasil lelang menjadi harta pailit. Ketentuan pelelangan yang diatur dalam Pasal 33 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang KPKPU ini tidak berlaku bagi obyek hak tanggungan termasuk obyek hak tanggungan yang telah didaftarkan di Kantor Lelang. Ketentuan dari Pasal 33 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang KPKPU hanya berlaku terhadap harta pailit yang hendak dilelang sebagai akibat harta milik debitur yang diperoleh dari suatu pelaksanaan putusan pengadilan karena suatu sengketa di pengadilan. Yang berlaku bagi obyek hak tanggungan yang hendak dilelang adalah Pasal 55 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang KPKPU dan seterusnya. Dalam hal obyek hak tanggungan yang telah selesai dilakukan pelelangan, dan telah dibeli oleh pihak ketiga, namun debitur tetap tidak bersedia mengosongkan obyek hak tanggungan, dan pada waktu bersamaan debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini obyek hak tanggungan yang merupakan hasil lelang tidak termasuk sebagai harta pailit. Hasil lelang yang telah diambil oleh kreditur pemegang hak tanggungan dan obyek hak tanggungan yang beralih kepada pihak ketiga tidak termasuk harta pailit. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 56 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayarari Utang tidak berlaku terhadap peristiwa yang demikian. Hal ini disebabkan perbuatan hukum pelelangan telah selesai dilakukan. Upaya hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga terhadap debitur adalah melakukan upaya hukum pengosongan obyek hak tanggungan. Apabila debitur tidak bersedia keluar dari obyek hak tanggungan yang telah dilelang, dan pada waktu bersamaan debitur dinyataklan pailit, sedangkan sebelumnya eksekusi obyek hak tanggungan itu telah dilaksanakan berdasarkan kekuatan eksekutorial Universitas Sumatera Utara Sertifikat Hak Tanggungan, dalam hal ini pihak ketiga dapat melakukan upaya hukum memohonkan pengosongan kepada Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 200 HIR. Ketentuan ini berlaku oleh karena obyek hak tanggungan yang telah dibeli oleh pihak ketiga tersebut bukan sebagai harta pailit. Lain halnya dalam hal eksekusi obyek hak tanggungan dilakukan berdasarkan parate eksekusi, yang mana Pengadilan tidak terlibat didalamnya tidak terdapat peran pengadilan, pihak ketiga harus melakukan upaya hukum gugatan biasa ke Pengadilan. Gugatan yang dilakukan pihak ketiga ini dapat diajukan dengan bukti otentik, oleh karenanya dalam gugatan dapat dimohonkan putusan serta merta unitvoerbaar bij voorraad. Gugatan yang diajukan tersebut bukanlah merupakan suatu sengketa kepemilikan atau wanprestasi antara pihak ketiga dengan debitur, juga bukan sebagai harta pailit karena eksekusi hak tanggungan berupa pelelangan telah selesai dilakukan, untuk itu segala tindakan dari pengadilan yang berdasarkan permohonan pihak ketiga itu tidaklah terikat pada Pasal 33 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang KPKPU. Keberadaan Pasal 59 Undang-Undang KPKPU, bertentangan dengan Pasal 21 Undang-Undang Hak Tanggungan. Menurut Pasal 21 Undang-Undang Hak Tanggungan yang menentukan bahwa apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, maka pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan. Dengan demikian berarti bahwa Pasal 59 Undang-Undang KPKPU mengambil dengan sewenang-wenang hak dari kreditur pemegang Hak Tanggungan yang dijamin oleh Undang-Undang Hak Tanggungan. Keadaan yang demikian menunjukkan adanya konflik norma yang menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku ekonomi Universitas Sumatera Utara khususnya pemegang hak jaminan antara Undang-Undang KPKPU dengan UUHT yang mengatur tentang hak kreditur separatis. Hak-hak kreditur pemegang hak tanggungan lelah dilindungi dengan Undang- Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. Secara tegas diatur dalam Pasal 20 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, dengan dipertegas lagi dalam Pasal 21 Undang- Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, dimana dinyatakan bahwa kreditur pemegang hak tanggungan adalah kreditur separatis.Dalam hal ini Sjahdeini menilai bahwa antara Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang KPKPU tersebut terdapat konflik norma. Apa yang dikemukakan oleh Sjahdeini cukup beralasan, pelaksanaan eksekusi obyek hak tanggungan didasarkan pada dua peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan, yaitu eksekusi menurut pasal20 ayat 1 huruf b Undang-undang Hak Tanggungan dimana kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual obyek hak tanggungan berdasarkan kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan yang dipertegas dengan pasal 21 Undang-Undang Hak Tanggungan dimana apabila debitur pailit, kreditur pemegang hak tanggungan tetap melaksanakan hak-haknya. Dari Penjelasan diatas, dapat ditarik tali benang merahnya bahwa, apabila debitur cidera janji wanprestasi atau pailit, maka menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, bahwa kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak untuk melaksanakan eksekusi obyek hak tanggungan untuk pemenuhan piutangnya kepada debiturnya, sesuai dengan ciri dari pada hak tanggungan itu sendiri yaitu selalu mengikuti kemanapun obyek hak tanggungan itu berada, yang artinya bahwa kreditur pemegang hak tanggungan berhak mengeksekusi obyek hak tanggungan Universitas Sumatera Utara walaupun berada dalam penguasaan kurator seolah-olah tidak terjadi kepailitan dengan berdasarkan kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan yang kekuatannya sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi pernyataan seolah-olah itu menimbulkan norma kabur, karena bisa diinpretasikan ganda, yang sudah barang tentu menimbulkan ketidak pastian hukum. Dalam hal setelah pembagian hasil eksekusi harta pailit, maka tidak serta merta keadaan atau posisi hukum debitur bebas dari segala tuntutan. Apabila ternyata masih terdapat bagian harta pailit , yang sewaktu diadakan pemberesan tidak diketahuui maka atas perintah pengadilan, kurator membereskan dan membaginya berdasarkan daftar pembagian yang terdahulu. Selanjutnya kreditur memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta debitur mengenai piutang mereka yang belum dibayar. Jadi Penjelasan Pasal 56 ayat 1 tersebut terlihat jelas adanya konflik norma dimana di satu sisi ketentuan Pasal 55 ayat 1 nampaknya mengakui hak separatis dan kreditur preferen, tetapi disisi lain ketentuan Pasal 56 ayat 3 justru mengingkari hak separatis itu karena menentukan bahwa barang yang dibebani dengan hak jaminan Hak Tanggungan merupakan harta pailit Artinya bahwa Undang-Undang Kepailitan tidak memisahkan benda-benda yang dibebani Hak Jaminan sebagai benda-benda bukan rnerupakan harta pailit. C. Pendapat Hakim Terhadap Kedudukan Kreditur Selaku Penerima Jaminan Fidusia Dalam Hal Debitur Pailit. Bank sebagai kreditur Penerima jaminan Fidusia jika debiturnya pailit, maka kedudukan Bank yang bersangkutan adalah menjadi kreditur separatis. Dalam Akta Jaminan Fidusia tidak dicantumkan mengenai kedudukan separatis dari Bank sebagai penegasan dari hak kreditur penerima Jaminan Fidusia. Universitas Sumatera Utara Dalam Pasal 55 Ayat 1 Undang-undang Kepailitan disebutkan bahwa setiap kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, Hak tanggungan, atau hak Agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Dengan demikian Pasal 55 Undang-undang Kepailitan tersebut seolah-olah menyatakan bahwa kreditur separatis tidak terpengaruh dengan adanya putusan pernyataan pailit. Namun, Pasal 56 Undang-undang Kepailitan menyebutkan bahwa hak eksekusi kreditur separatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Ayat 1, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 sembilan puluh hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Alasan pembentuk Undang-undang memetapkan adanya tanggung waktu tersebut adalah untuk memberikan perlindungan ekonomis terhadap hak kurator menjual barang jaminan dalam kepailitan. Selama jangka waktu penangguhan tersebut, kuarator berdasarkan Pasal 56 Ayat 3 Undang-undang Kepailitan dapat menggunakan harta pailit berupa benda bergerak atau menjual benda bergerak yang berada dalam penguasaan kurator dalam rangka kelangsungan usaha debitur. Jangka waktu penangguhan tersebut berakhir demi hukum saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi keadaan tidak mampu bayar. Keadaan insolvensi itu tidak perlu ditetapkan dengan putusan hakim. Keadaan insovensi itu datang dengan sendirinya bilamana : a. Tidak ada akor ; b. Ada akor, tetapi tidak disetujui oleh rapat verifikasi c. Ada akor yang disetujui oleh rapat verifikasi tetap tidak mendapat homolgasi dari hakim pemutus kepailitan; Ada akor yang sudah dihomolgasi tetapi ditolak oleh Hakim Banding. 67 67 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Perwasutan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, jilid 8, jakarta : djambatan, 1998, hal. 49. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana apabila pada saat proses verifikasi Universitas Sumatera Utara berjalan lama, ternyata benda jaminan fidusia tidak ada lagi stock membusuk. Apakah hak untuk melakukan eksekusi dari kreditur penerima jaminan fidusia atau kreditur separatis tetap dilaksanakan? Berdasarkan Pasal 59 Undang-undang Kepailitan, kreditur penerima jaminan, harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 dua bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 Ayat 1. Dalam Pasal 178 Ayat 1 menyebutkan bahwa juika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi. Sebagian kurator berpendapat bahwa penangguhan hak kreditur separatis secara tegas diatur dalam Undang-undang Kepailitan, yaitu Pasal 56 Ayat 1, maksimal 90 sembilan puluh hari. Dengan demikian, sekalipun masa verifikasi atau pencocokan piutang memakan waktu lama dan masa insolvensi belum timbul, kreditur penerima jaminan fidusia atau kreditur separatis lainnya dapat mulai melaksanakan haknya. Namun demikian, dalam prakteknya ada kurator yang menerapkan ketentuan Pasal 59 Undang-undang Kepailitan bahwa hak eksekusi kreditur separatis dimulai masa insolvensi timbul. Pendapat pertama tentu akan lebih memberi kepastian dan jaminan hukum bagi kreditur separatis, sedangkan pendapat kedua yang mendasarkan pada Pasal 59 Undang-undang Kepailitan tentunya makin memperlemah posisi kreditur separatis dalam proses kepailitan. Timbulnya pandangan bahwa hak eksekusi kreditur separatis atau berakhirnya masa penangguhan bagi kreditur separatis atau berakhirnya masa penangguhan bagi kreditur separatis baru timbul setelah masa insolvensi dapat terjadi Universitas Sumatera Utara dengan menunjuk Penjelasan Pasal 56 Ayat 1 Undang- undang Kepailitan yang menyatakan : Penangguhan yang dimaksud dalam ketentuan ini bertujuan, antara lain : a. Untuk memperbesar kemungkinan terjadinya perdamaian; b. Untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau c. Untuk memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal; 68 Pandangan seperti itu akan memberi arti bahwa hak-hak eksekusi kreditur separatis tidak cukup terlindungi dalam proses kepailitan. Adanya dua pandangan yang berbeda tentang kapan dimulainya hak eksekusi kreditur separatis tersebut tentunya perlu ada ketegasan dari pengadilan. Dengan demikian lembaga jaminan harus dihormati oleh Undang-undang Kepailitan. Sebagaimana diketahui bahwa kreditur separtis kreditur penerima hak jaminan mempunyai kedudukan terpisah dengan kreditur lainnya. Oleh karena itu, hak separatis yang diberikan oleh hukum kepada kreditur penerima hak jaminan bahwa barang jaminan yang dibebani dengan hak jaminan berhak untuk melakukan eksekusi berdasarkan kekuasaannya sendiri yang diberikan oleh undang-undang sebagai perwujudan dari hak kreditur penerima hak jaminan untuk didahulukan dari para kreditur lainnya. Sehubungan dengan berlakunya hak separatis tersebut, maka kreditur penerima jaminan hak Jaminan tidak boleh dihalangi haknya untuk melakukan eksekusi atas hak jaminan atas harta kekayaan debitur yang dibebani dengan hak jaminan itu. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Balai Harta Peninggalan di Jakarta bahwa Berkaitan dengan Hak Kreditur Separatis selaku Penerima Jaminan Fidusia apabila debitur pailit dengan kreditur lainnya menurut pandangan Kepala Balai Harta Peninggalan Jakarta, adalah bahwa Kreditur Separatis tersebut mempunyai hak 68 Undang-undang No. 37 Tahun 2004, Op.Cit., Penjelasan Pasal 57 Ayat 1 Universitas Sumatera Utara istemewa. Itu bedanya preferen separatis dengan konkuren, jadi harus diistimewakan. Sekarang yang jadi pertanyaan misalnya utang debitur misalnya 5000 pemegang jaminan kreditur preferen bisa menjual dieksekusinya cuma 4000, yang jadi pertanyaan 1000 nya kemana? Jadilah kreditur konkuren, untuk kekurangannya dimasukan dalam kreditur konkuren. Konkuren itu namanya kreditur bersaing, jadi yang jadi pertanyaan misalnya kreditur atau tagihan kreditur konkuren itu keseluruhan 10.000, padahal harta si Pailit tinggal 5000, maka tidak terpenuhi, jadi apa yang diperoleh itulah berdasarkan presentasi. Jadi tidak selamanya pailit itu bagus, apakah kepailitan merupakan solusi utang piutang? menurut pandangan Bapak Kepala BHP, bukan merupakan solusi, karena rata-rata kepailitan di Indonesia adalah Insolven lebih banyak utang dari pada harta kekayaan belum pernah didapati kalau yang pailit mempunyai harta kekayaan lebih dara pada utangnya. Pailit bukan karena tidak mempunyai harta, karena ada utang atau biaya yang jatuh tempo, umumnya di Indonesia, utangnya lebih besar dari harta kekayaannya. Ada kasus yang dihadapi oleh Balai Harta Peninggalan di jakarta baru- baru ini, dinyatakan pailit si A oleh kreditur, begitu dinyatakan pailit, rupanya harta kekayaan dari yang dinyatakan Pailit tidak mencukupi utangnya, akhirnya dibatalkan kembali Pailit itu, tidak atas permintaan debitur. Dia pikir harta kekayaan si pailit tadi melebihi utang kreditur nyatanya tidak, kreditur sendiri yang menuntut dan membatalkan, oleh sebab itu kreditur tersebut dikenai denda. Berkaitan dengan dana dari BHP mengenai kasus ini, itu berkenaan dengan penerimaan negara bukan pajak khusus untuk BHP ditentukan dengan peraturan pemerintah untuk pengutipan biaya pengurusan kepailitan. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen yang terkait

Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Bagi Kreditor Pemegang Hak Tanggungan

1 41 80

Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan

4 71 124

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS Tinjauan Yuridis Status Dan Kedudukan Benda Jaminan Yang Dibebani Fidusia Yang Diterima Kreditur Dalam Hal Debitur Pailit (Presfektif Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 20

1 3 16

PENDAHULUAN Tinjauan Yuridis Status Dan Kedudukan Benda Jaminan Yang Dibebani Fidusia Yang Diterima Kreditur Dalam Hal Debitur Pailit (Presfektif Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepa

0 3 15

TINJAUAN YURIDIS STATUS DAN KEDUDUKAN BENDA JAMINAN YANG DIBEBANI FIDUSIA Tinjauan Yuridis Status Dan Kedudukan Benda Jaminan Yang Dibebani Fidusia Yang Diterima Kreditur Dalam Hal Debitur Pailit (Presfektif Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jam

0 3 18

SKRIPSI Perlindungan Hukum Kreditur Selaku Pemegang Jaminan Fidusia Perlindungan Hukum Kreditur Selaku Pemegang Jaminan Fidusia Dalam Kepailitan Atas Harta Kekayaan Debitur yang Telah Dinyatakan Pailit Berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang

0 0 15

PENDAHULUAN Perlindungan Hukum Kreditur Selaku Pemegang Jaminan Fidusia Dalam Kepailitan Atas Harta Kekayaan Debitur yang Telah Dinyatakan Pailit Berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang.

0 0 21

Perlindungan Hukum Kreditur Selaku Pemegang Jaminan Fidusia Dalam Kepailitan Atas Harta Kekayaan Debitur yang Telah Perlindungan Hukum Kreditur Selaku Pemegang Jaminan Fidusia Dalam Kepailitan Atas Harta Kekayaan Debitur yang Telah Dinyatakan Pailit Be

0 3 18

BAB III TINJAUAN TENTANG KEPAILITAN A. Pengertian Kepailitan - Kedudukan Benda Jaminan Yang Di Bebani Jaminan Fidusia Jika Terdapat Eksekusi Dalam Hal Debitur Pailit (Studi Bank CIMB Niaga Cabang Ir. H. Juanda Medan)

0 1 45

Kepailitan Perusahaan Asuransi Ditinjau Dari UU No. 4 Tahun 1998 Jo. UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan (Studi Terhadap Putusan Pailit PT. Prudential Life)

0 0 90