Study on degumming process of cpo ( crude palm oil) by using ultrafiltration membrane

(1)

MENGGUNAKAN MEMBRAN

ULTRAFI LTRASI

DENY SUMARNA

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Proses Degumming CPO

(Crude Palm Oil) Dengan Menggunakan Membran Ultrafiltrasi adalah karya saya

sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2006

Deny Sumarna NIM : F351020041


(3)

DENY SUMARNA. Kajian Proses Degumming CPO (Crude Palm Oil) dengan Menggunakan Membran Ultrafiltrasi. Dibimbing oleh SEMANGET KETAREN, SUPRIHATIN dan KASENO.

Penggunaan minyak ke dalam berbagai macam makanan dari minyak sawit kasar (CPO) harus dimurnikan terlebih dahulu sehingga memenuhi syarat sebagai minyak makan. Perlakuan pendahuluan yang umum dilakukan terhadap minyak yang akan dimurnikan dikenal dengan proses pemisahan gum (degumming). Teknologi membran yang menggunakan prinsip pemisahan komponen berdasarkan ukuran dan berat molekul merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk proses degumming, selain cara konvensional diantaranya wet degumming dengan penambahan asam ( H3PO4).

Dalam penelitian ini dipelajari pengaruh perlakuan tekanan dan konsentrasi pada membran ultrafiltrasi. Pengaruh perlakuan tekanan dan konsentrasi tersebut diuji dengan uji Beda Nyata Jujur dan untuk mencari kondisi yang optimal digunakan Metode Respon Permukaan (RSM). Hasil yang diperoleh juga dibandingkan dengan pengolahan secara konvensional berdasarkan analisa fisikokimia minyak meliputi bilangan asam, kadar air, bilangan iod, fraksi tak tersabunkan, kekentalan, bilangan penyabunan, bilangan peroksida, kejernihan, konsentrasi Phospor dan kandungan β karoten.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh tekanan dan konsentrasi pada proses membran ultrafiltrasi tidak berbeda nyata terhadap rejeksi phospohilipid yang dinyatakan dengan Phospor yaitu antara 60,43 – 81,61%. namun menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap pengolahan konvensional. Proses membran ultrafiltrasi dapat menurunkan bilangan asam menjadi 10,61% sedangkan proses konvensional sebanyak 15,95%. Penurunan kandungan β karoten terjadi pada kedua proses baik proses membran ultrafiltrasi maupun dengan cara konvensional, namun penurunan terbesar terjadi pada proses konvensional sebanyak 26,20 % sedangkan proses ultrafiltrasi hanya 14,56%. Perlakuan konsentrasi 44% (v/v) dan tekanan 8 bar pada membran ultrafiltasi merupakan hasil yang optimal dengan nilai fluks 428 l/m2.jam.


(4)

DENY SUMARNA

. Study on Degumming Process of CPO ( Crude Palm Oil) by Using

Ultrafiltration Membrane. Under the supervision of

SEMANGET KETAREN

,

SUPRIHATIN,

and

KASENO

.

Crude Palm Oil must be previously purified before applied to various kinds of

food to meet the requirements as edible oil. Common pre treatment for this process is

known as gum separation process or degumming. Membrane technology which uses

component separation principles based on molecular size and weight, is known as an

alternative to be applied in degumming, beside other conventional method such as wet

degumming by acid (H

3

PO

4

) addition.

The research studied the effect of pressure and concentration on the peerfomance

ultrafiltration membrane. The effect of pressure and concentration was tested by Honestly

Significant Different test. To find out the optimum condition for the process, a Surface

Respond Method (RSM) was applied. The result obtained was also compared with

compentional processing based on physicochemical analysis of oil such as acid number,

moisture content, iod number, unsaponified fraction, viscosity, saponification number,

peroxide number, clarity, phosphor concentration and

β

carotene content.

This result of this research showed that the effect of pressure and concentration on

ultrafiltration membrane prosess was not significantly different with respect of

phospolipid rejection that was betwen 60.43 to 81.61%. However, this result showed a

significant difference with conventional processing. Ultrafiltration membrane process can

reduce acid number to 10.61%, which is lower than results of conventional processing of

15.95%. The reduction of

β

carotene content was occurred in both processing, namely

26.2% for conventional process and 14.56% for ultrafiltration. Concentration treatment

44% (v/v) and pressure 8 bar on ultrafiltration membrane was the optimum result with

flux of 428 l/m

2

.jam.


(5)

© Hak cipta milik Deny Sumarna, tahun 2005

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya.


(6)

MENGGUNAKAN MEMBRAN

ULTRAFILTRASI

DENY SUMARNA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

NIM : F351020041

Disetujui Komisi Pembimbing

Ir. Semanget Ketaren, MS Ketua

Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.Ing Dr. Ir. Kaseno, M.Eng

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir.Irawadi Jamaran Prof.Dr. Ir.Syafrida Manuwoto, M.Sc


(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Karunia-Nya

sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Oktober

2004 sampai dengan bulan Maret 2005 dengan judul Kajian Proses Degumming CPO

(Crude Palm Oil) dengan Menggunakan Membran Ultrafiltrasi.

Terimakasih penulis sampaikan kepada :

1.

Ir. Semanget Ketaren, MS, Dr. Suprihatin, Dipl.Ing dan Dr. Ir. Kaseno. M.Eng

selaku dosen pembimbing dalam kajian ini dan bantuannya dalam penyusunan

tesis ini.

2.

Seluruh staf pengajar pada program studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas ilmu yang diberikan.

3.

Ir. Ahmad Wibisana, MT, teman-teman dan semua pihak yang membantu dalam

penyelesaian penelitian ini.

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan bantuan yang telah diberikan,

serta semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Penulis,


(9)

Penulis dilahirkan di Samarinda pada tanggal 24 Oktober 1974 dari ayah Jumhana

dan ibu Arpiah. Penulis merupakan putra kedua dari empat bersaudara.

Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Samarinda. Pada tahun yang sama

penulis diterima di Program Program Studi Agronomi, Jurusan Budidaya Pertanian,

Fakultas Pertanian, UNMUL dan menamatkannya pada tahun 1997. Tahun 2000 penulis

bekerja sebagai Dosen di Fakultas Pertanian UNMUL.

Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada program studi

Teknologi Industri Pertanian IPB diperoleh pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan

pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Tinggi.


(10)

DAFTAR TABEL ...

iii

DAFTAR GAMBAR...

iv

DAFTAR LAMPIRAN ...

v

PENDAHULUAN

... 1

Latar

Belakang ...

1

Masalah ...

3

Tujuan ...

3

Ruang

Lingkup...

4

TINJAUAN PUSTAKA

... 5

Tanaman

Sawit...

5

Trigliserida ...

6

Minyak Sawit Merah (

Red Palm Oil)

... 11

Fosfatida...

12

Komponen Minor Minyak Sawit ...

14

Degumming...

17

Pelarut

Organik ...

19

Filtrasi

Membran...

21

BAHAN DAN METODE

... 26

Kerangka

Pemikiran...

26

Tempat

dan

Waktu ...

26

Bahan

dan

Alat...

26

Metode

Penelitian ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN ...

35

Karakterisasi

Sampel

CPO...

35

Fluks

Minyak-IPA ...

35

Respon Permukaan (RSM) tekanan Operasi dan Konsentrasi pada membran

Ultrafiltrasi ...

40

Pencucian

Membran...

41


(11)

Fraksi Tak Tersabunkan (FTT) ...

48

Bilangan

Penyabunan...

49

Kadar

Air

...

50

Kekentalan

(Viscositas) ...

51

Fosfolipid ...

52

Beta

Karoten ...

53

SIMPULAN DAN SARAN...

55

DAFTAR PUSTAKA...

57


(12)

1. Komposisi trigliserol pada minyak sawit (%)...

7

2. Komposisi asam lemak dalam trigiserida minyak sawit, inti sawit dan

minyak kelapa ...

8

3. Karakteristik komponen lemak dan asam lemak minyak sawit...

10

4. Komponene minor dalam minyak sawit mentah (CPO) ...

15

5. Tingkat relatif dari fosfatida ...

18

6. Indeks polaritas dan kelarutan dalam air beberapa pelarut organik...

20

7. Tingkat toksik beberapa pelarut organik...

21

8. Karakteristik membran berdasarkan ukuran pori dan perbedaaan tekanan

dan berat molekul...

23

9. Spesifikasi membran keramik Ultrafiltrasi ...

27

10. Hasil karakterisasi minyak sampel (CPO) ...

35

11. Pemulihan kinerja membran ultrafiltrasi dengan pencucian menggunakan

NaOH 0,1N dan 0,2N...

43


(13)

1.

Pohon Industri Kelapa Sawit ...

6

2.

Reaksi esterifikasi gliserol dan asam lemak membentuk trigliserida ...

9

3.

Struktur dasar (a) gliserofosfolipid dan (b) spingolipid...

13

4 Struktur

dasar

karotenoid ... 15

5 Beta

karoten ...

16

6. Diagram

alir

penelitian ...

30

7. Rancangan

proses

Cross flow

membran ultrafiltrasi ...

31

8.

Diagram alir metode wet degumming-netralisasi (konvensional) dan metode

membran ... 34

9.

Kurva hubungan fluks minyak-IPA terhadap waktu filtrasi pada membran

ultrafiltrasi... 36

10

Kurva konsentrasi Minyak-IPA vs fluks permeat pada membran ultrafiltrasi

37

11. Kurva tekanan vs fluks Minyak-IPA pada membran ultrafiltrasi ...

38

12. Respon permukaan dari peubah tekanan dan konsentrasi terhadap fluks...

41

13. Analisa kontur respon permukaan dari peubah tekanan dan konsentrasi terhadap

fluks... 41

14. Kurva pencucian membran menggunakan larutan NaOH 0,1N dan 0,2N pada

membran ulttrafiltrasi...

42

15. Histogram bilangan asam proses degumming dan netralisasi ...

45

16. Histogram bilangan peroksida proses degumming dan netralisasi ...

46

17. Histogram bilangan iod (Wijs) proses degumming dan netralisasi ...

48

18. Histogram fraksi tak tersabunkan proses degumming dan netralisasi ...

49

19. Histogram bilangan penyabunan proses degumming dan netralisasi ...

50

20. Histogram kadar air proses degumming dan netralisasi ...

51

21. Histogram kekentalan proses degumming dan netralisasi ...

51

22. Histogram kadar Phospor proses degumming dan netralisasi ...

52


(14)

1. Rekapitulasi rata-rata parameter pengamatan ... 61

2. Sidik ragam dan uji lanjut BNJ percobaan... 63

3. Uji kesejajaran dua garis regresi proses pencucian dengan uji -t... 68

4 Perhitungan model RSM ... 69

5. Rata-rata nilai warna minyak, sisa pelarut dan komposisi lemak ... 70

6. Analisis Uji ... 71

7. Analisis GC ... 81


(15)

Latar belakang

Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya sangat penting dalam penerimaan devisa negara, penyerapan tenaga kerja serta pengembangan perekonomian rakyat. Perkebunan kelapa sawit Indonesia menunjukkan laju perluasan lahan yang meningkat setiap tahun. Pada tahun 1994, total luas penanaman kelapa sawit mencapai 1,5 juta hektar dengan tanaman yang menghasilkan seluas 940 000 hektar, pengembangan penanaman kelapa sawit akan terus berlanjut dengan pertambahan antara 150 000 sampai 200 000 hektar per tahun (Loebis dkk 1994). Tahun 1985 produksi minyak sawit kasar (CPO) sebesar 1 243 430 ton, tahun 1990 produksi tersebut meningkat menjadi 2 412 612 ton, tahun 1995 meningkat lagi menjadi 4 479 670 ton, tahun 2000 sebesar 6 350 000 ton dan pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 17 137 000 ton (BPS 2001). Sampai saat ini minyak sawit Indonesia sebagian besar masih diekspor dalam bentuk CPO, sedangkan di dalam negeri, sekitar 80% minyak sawit diolah menjadi produk pangan terutama minyak goreng (IOPRI 2003).

Berdasarkan peranan dan kegunaan minyak sawit, maka mutunya harus diperhatikan sebab sangat menentukan harga dan nilai komoditas ini. Di dalam perdagangan kelapa sawit, istilah mutu dapat dibedakan menjadi dua arti. Yang pertama adalah mutu minyak sawit dalam arti benar-benar murni dan tidak tercampur dengan minyak nabati lain. Mutu minyak sawit dalam arti pertama dapat ditentukan dengan menilai sifat fisiko-kimianya, antara lain titik cair, bilangan penyabunan dan bilangan iod. Sedangkan yang kedua yaitu mutu minyak sawit dalam arti penilaian menurut ukuran. Dalam hal ini syarat mutunya diukur berdasarkan spesifikasi standar mutu internasional, yang meliputi kadar asam lemak bebas (Free Fatty Acid ), air, kotoran, logam besi, logam tembaga, peroksida dan warna.

Kemajuan bidang produksi pada tingkat perkebunan sawit dan teknologi pada tingkat industri, perlu didukung dengan kemajuan dalam bidang pengolahan dan pemasaran, agar memungkinkan diversifikasi pengolahan minyak sawit untuk


(16)

menghasilkan komoditi sawit yang beraneka ragam. Minyak sawit yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit masih disebut minyak sawit kasar (Crude oil) karena minyak tersebut merupakan hasil ekstraksi daging buah sawit dan mengandung kotoran yang tidak larut dalam minyak, berbentuk suspensi koloid dalam minyak dan kotoran yang terlarut dalam minyak. Untuk penggunaan ke dalam berbagai macam makanan, minyak sawit harus dimurnikan terlebih dahulu sehingga memenuhi syarat sebagai minyak makan. Perlakuan pendahuluan yang umum dilakukan terhadap minyak yang akan dimurnikan dikenal dengan proses pemisahan gum (de-gumming).

Adanya gum dalam minyak akan mengurangi keefektifan adsorben untuk menyerap warna, pada proses netralisasi akan mengurangi rendemen trigliserida karena gum akan menambah partikel emulsi dalam minyak. Dengan semakin baik perlakuan pada proses degumming diharapkan dapat meningkatkan kualitas minyak yang dihasilkan dan dapat menekan kerusakan minyak lebih lanjut, terutama komponen nutrisi yang berharga dari minyak yaitu beta karoten yang merupakan sumber provitamin A.

Keunikan miniyak sawit dibandingkan dengan minyak lain adalah kandungan karotennya yang sangat tinggi, setara dengan 60 000 IU aktifitas vitamin A (yang berarti 30 kali lebih tinggi dari margarin yang selama ini dianggap sebagai sumber vitamin A). Selama ini pada proses pengolahan, warna merah dalam minyak sawit selalu dihilangkan, karena diinginkan minyak makan yang tidak berwarna.

Sesungguhnya penyebab warna merah tersebut adalah pigmen karotenoid yang sebagian besar terdiri dari beta karoten yang sanagat diperlukan oleh tubuh sebagai prekursor vitamin A. Denga pertimbangan nilai nutrisi beta karoten yang potensisal, maka perlu dipelajari beberapa upaya untuk dapat mempertahankan dan memanfaatkannya sebanyak-banyaknya.

Teknologi membran yang menggunakan prinsip pemisahan komponen berdasarkan ukuran dan berat molekul merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk proses degumming CPO, selain cara konvensional yang selama ini dilakukan oleh pabrik pengolahan minyak sawit. Pengkajian yang lebih dalam terhadap faktor-faktor yang menyebabkan penurunan fluks dan perubahan


(17)

selektifitas perlu dilakukan sehingga dapat diperoleh kondisi optimum rendemen minyak.

Beberapa penelitian tentang pemurnian minyak menggunakan membran telah dilakukan antara lain : (1) pemurnian minyak goreng bekas dengan pelarut heksan menggunakan membran ukuran pori 0,05µm (Andreas 2004), (2) proses pemurnian Sunflower Oil menggunakan teknologi membran (Ika et.al 2002), (3) proses pemurnian rice bran oil menggunakan membran (B.K.De et.al 1998), (4) Pemisahan unsur-unsur minyak dengan pelarut organik menggunakan membran polymer (S. Koike et.al 2002).

Masalah

1. Proses pengolahan CPO secara konvensional selalu diawali dengan pemanasan dan dalam proses penjernihan diusahakan agar penampakan minyak terlihat jernih tanpa warna, padahal warna yang terkandung pada minyak yang belum dijernihkan terdiri dari pigmen beta karoten yang merupakan pro vitamin A, suatu nutrisi yang diperlukan tubuh.

2. Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan dengan menggunakan pelarut heksan dilaporkan bahwa heksan dapat merusak (melarutkan) komponen-komponen pada modul membran yang terbuat dari bahan non polar (seal pompa, seal membran) dan dapat mengurangi bahkan merusak kinerja membran yang terbuat dari bahan polimer. Untuk itu perlu dikaji pelarut organik isopropanol yang tidak merusak membran dan mempunyai toksisitas rendah.

Tujuan

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji proses pemisahan gum dari minyak kelapa sawit dengan menggunakan proses membran. Secara khusus penelitian ini bertujuan :


(18)

1. Membandingkan proses degumming cara konvensional (wet degumming) dengan cara filtrasi membran Ultrafiltasi menggunakan pelarut isopropanol.

2. Mendapatkan komposisi (nisbah pelarut) dan kondisi (tekanan) optimum proses degumming CPO pada metode filtrasi membran .

3. Membandingkan konsentrasi NaOH untuk pencucian membran.

Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah:

1. Karakterisasi minyak sawit sebelum dan sesudah perlakuan, meliputi: bilangan asam, bilangan peroksida, bilangan iod, bilangan penyabunan, kadar Phosfor, viskositas, kecerahan, fraksi tak tersabunkan dan β-karoten.

2. Proses degumming menggunakan membran ultrafiltrasi dengan pelarut isopropanol dan degumming (wet degumming) menggunakan asam phospat.

3. Pencucian membran menggunakan NaOH.


(19)

Tanaman Sawit

Buah sawit berasal dari tanaman sawit (Elaeis guineensis, Jacq) terdiri dari bagian-bagian eksokarp, mesokarp, endokarp dan inti. Bagian mesokarp buah mengandung minyak yang disebut dengan minyak sawit, sedangkan dari bagian intinya dapat di peroleh minyak inti sawit.

Tanaman sawit adalah tanaman berkeping satu yang termasuk dalam famili Palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani Elaion atau minyak, sedangkan nama guineesis berasal dari kata Guines, yaitu nama tempat dimana seorang bernama Jaquin menemukan tanaman sawit pertama kali di pantai Guines di Afrika Selatan (Hartley 1970; PORIM 1998).

Selain sebagai bahan pangan, minyak sawit juga digunakan sebagai bahan baku industri kimia. Industri pengolahan minyak nabati belum dapat digolongkan pada industri teknologi tinggi. Dasar pengolahan seperti ekstraksi, rafinasi, deodorasi, hidrogenasi, fraksionasi dan destilasi masih merupakan teknologi konvensional, terutama yang digunakan di negara maju dengan modifikasi yang relatif kecil untuk bahan olah produk sawit (Loebis 1988; Naibaho dan Tobing 1991).

Berbagai ragam penggunaan produk sawit untuk tujuan bahan pangan atau bahan non pangan dapat dilihat pada gambar 1 (Pohon Industri Sawit). Dengan pertimbangan teknologis dan ekonomis, produksi sawit dapat dimodifikasi untuk digunakan sebagai produk pangan


(20)

Gambar 1. Pohon Industri Sawit (Dit. Jen. Bun 1987)

Trigliserida

Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94%), juga mengandung asam lemak (3 – 5%) dan komponen yang jumlahnya sangat kecil (1%), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida dan berbagai komponen trace element (Hamilton dan Bhatti 1984; Muhilal 1991), dijelaskan lagi oleh Hilditch dan William (1964) serta Rousell (1985), bahwa minyak sawit juga mengandung sterol (0,03%), fosfatida (0,1%) dan tokoferol (0,03%) serta karotenoid (sekitar 0,6%) yang terdiri dari alfa, beta, gamma, delta karoten, likopen dan lutein

Minyak dan lemak terdiri dari trigliserida campuran, yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Trigliserida dapat berwujud padat


(21)

atau cair, tergantung dari komposisi asam lemak yang menyusunnya. Lemak dan minyak sawit berwujud setengah padat pada suhu kamar, berwarna kuning jingga karena mengandung pigmen karoten (Naibaho 1983; Budiman 1987), sebaliknya minyak inti sawit bersifat cair pada suhu kamar. Perbedaan sifat ini disebabkan oleh perbedaan jenis asam lemak yang membentuk trigliserida dalam kedua minyak tersebut (Budiman 1987). Perbandingan komposisi asam lemak minyak sawit, minyak inti sawit dan minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 2, sedangkan komposisi trigliserida pada minyak sawit disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Trigliserida pada minyak sawit (%) Jumlah Ikatan

Rangkap

Jenis Trigliserida Kandungan (%) Total (%)

Jenuh PPP PPS

Lain

6,1 0,9

1,5 8,5

1 buah POP

POS PPO Lain 25,8 3,1 6,0

2,7 37,7

2 buah POO

SOO PLP PLS Lain 18,9 2,6 6,8 1,9

4,8 35,0

3 buah OOO

POL PLO Lain 3,2 2,6 4,3

1,6 11,7

4 buah - 6,9 6,9

Keterangan : P=palmitat, O= olein, S= stearat, L=linoleat Sumber : Berger 1989


(22)

Tabel 2. Komposisi asam lemak dalam trigliserida minyak sawit, minyak inti sawit dan minyak kelapa *)

Minyak (%)

Asam Lemak Atom

C Jumlah ikatan tidak jenuh dalam asam lemak CPO Inti Sawit Kelapa

Asam lemak jenuh Butirat Kaproat Kaprilat Kaprat Laurat Miristat Palmitat Stearat

Asam lemak tidak jenuh tunggal

(Mono Unsaturated Fatty Acid/MUFA) Palmitoleat

Oleat

Asam lemak tidak jenuh ganda (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA) Linoleat Linolenat 4 6 8 10 12 14 16 18 16 18 18 18 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 2 3 - - - - 1 1-2 32 – 47

4 – 10

- 38 – 50

5 – 14 1

Sedikit 0,3 2 – 4 3 – 7 41 – 55 14 – 19 6 – 10

1 – 4

- 10 – 20

1 – 5 1 – 5

Sedikit 0,3 8 7 48 17 9 2 - 6 3 - *) Goh et.al. (1987)., **) PORIM (1988)

Hilditch dan William (1964), menemukan 95% asam lemak yang tersusun didalam molekul trigliserida, sehingga sifat kimia dan fisika minyak atau lemaknya sebagin besar ditentukan oleh sifat-sifat asam lemaknya. Gliserida yang umum terdapat dalam minyak sawit adalah oleodipaltimin dan palmitodiolein (Rousell et.al 1985).

Minyak sawit dapat dibedakan berdasarkan kandungan gliserida-gliseridanya, yang terdapat dalam jumlah yang seimbang. Kadar asam palmitat yang tinggi, tercermin dari komposisi asam lemak dalam trigliserida pada posisi kedua. Asam palmitat dalam minyak sawit terdapat dalam jumlah yang lebih banyak daripada minyak nabati lainnya (Rousell 1985; PORIM 1988)


(23)

Ukuran molekul trigliserida adalah 1,5 – 2,0 nm (Patterson 1992). Reaksi esterifikasi antara gliserida dengan asam lemak membentuk molekul trigliserida dapat dilihat pada Gambar 2.

H2COH H2COOCR1

HCOH + 3RCOOH HCOOCR2 + 3 H2O

H2COH H2COOCR3

Gambar 2. Reaksi Esterifikasi Gliserol dan Asam Lemak membentuk Trigliserida (Ketaren, 1986)

Asam-asam lemak merupakan asam-asam monokarboksilat dengan rantai yang tidak bercabang dan mempunyai jumlah atom karbon genap. Asam-asam lemak yang ditemukan di alam terbagi menjadi dua golongan yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam-asam lemak tidak jenuh berbeda dalam jumlah dan posisi ikatan rangkapnya dan berbeda dengan asam lemak jenuh dalam bentuk molekul keseluruhannya (Winarno 1997).

Beberapa karakteristik komponen lemak dan asam lemak dalam minyak sawit, dapat dilihat pada Tabel 3. Dari tabel ini ternyata stearin sawit mempunyai titik cair yang tertinggi, berat jenis dan indeks refraksi tidak banyak berbeda, bilangan iod yang tertinggi ditemukan pada olein dan bilangan penyabunan tertinggi pada minyak inti sawit. Asam lemak C6 dan C8 hanya ada pada minyak inti sawit (PORIM 1988).


(24)

Tabel 3. Karakteristik komponen lemak dan asam lemak minyak sawit *) Jenis Sifat M. Sawit (CPO)

Olein Stearin M. Inti

Sawit (PKO) Titi cair, (0C)

Bobot Jenis (500C/air 250C) Indeks Bias (nD, 50 0C)

Bil. Iod (wijs) Bil. Penyabunan Fraksi tak tersabunkan (%)

Asam lemak, (%) : C6 C8 C10 C12 C14 C16 C16=1 C18 C18=1 C18=2 C18=3 C20 34,2 0,892 1,455 53,3 195,7 0,5 0,2 1,1 44,0 0,1 4,5 39,2 10,1 0,4 0,4 21,6 0,902 1,459 58,0 198,0 0,5 0,2 1,0 39,8 0,2 4,4 42,5 11,2 0,4 0,4 44,5 0,882 1,477 21,6 193,0 0,2 0,3 1,5 65,0 0,2 5,0 21,3 6,5 0,4 0,4 27,3 0,902 1,451 17,8 245,0 0,3 0,3 4,4 3,7 38,3 15,6 7,8 2,0 15,1 2,7

*) PORIM (1988)

Dari Tabel 2, komposisi asam lemak minyak sawit terdiri dari asam lemak jenuh ± 50%, MUFA ± 40%, serta asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA) yang relatif sedikit (± 10%). Dari komposisi asam lemak yang demikian, minyak sawit dapat diklasifikasikan sebagai lemak tidak jenuh (unsaturated fat), tidak seperti lemak hewan, minyak kelapa atau PKO (PORIM 2003).

Dengan kandungan asam oleat yang tinggi dan kandungan PUFA yang rendah, minyak sawit cocok digunakan untuk medium penggoreng. Minyak kaya asam oleat juga diketahui relatif stabil terhadap suhu penggorengan yang tinggi serta relatif tahan terhadap kerusakan oksidatif penyebab ketengikan minyak selama penyimpanan.


(25)

Minyak Sawit Merah (Red Palm Oil)

Minyak sawit merah adalah minyak sawit yang masih berwarna merah. Muchtadi (1992), menyatakan bahwa sesungguhnya penyebab warna merah tersebut adalah pigmen karotenoid yang sebagian besar terdiri dari beta karoten. Menurut Naibaho (1990), minyak sawit merah mengandung karoten sebesar 600 – 1000 ppm. Karotenoid yang terdapat dalam minyak sawit merah terdiri dari alpha karoten lebih kurang 36,2%, beta karoten lebih kurang 54,4%, gamma karoten lebih kurang 3,3%, lipoken lebih kurang 3,8% dan santofil lebih kurang 2,2%.

Pada masa perkembangan dimana masyarakat dengan kecerdasan dan seleranya menghendaki tampilan produk-produk yang lebih baik, maka berkembang pula teknologi proses untuk membuat minyak goreng yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa, sehingga pada proses pembuatan minyak goreng, warna merah yang mengandung zat gizi mikro penangkal penyakit kronik degeneratif yang terdapat pada minyak sawit justru sengaja dibuang dan sebagain lagi terbuang dengan tidak sengaja (Muchtadi 1998; Muhillal 1998)

Selain itu, untuk mendapatkan produk-produk akhir minyak sawit diperlukan adanya bahan kimia dan perlakuan fisik yang secara tidak langsung dapat merusak komponen-komponen aktif yang terdapat didalamnya terutama komponen karotenoid.

Dalam proses pengolahan buah sawit menjadi CPO yang selanjutnya menjadi minyak goreng, selalu diawali dengan pemanasan yang kemudian dilanjutkan dengan perontokan, perebusan, pengadukan dan pengempaan, penyaringan dan pemurnian. Mengingat sifat karotenoid yang sensitif terhadap panas, cahaya maupun udara dan juga proses oksidasi, maka dalam proses pengolahannya perlu diperhatikan dan dikendalikan parameter-parameter proses yang dapat merusak komponen tersebut.

Proses pemucatan (bleaching) adalah salah satu tingkat pengolahan minyak atau lemak yang bertujuan untuk memisahkan zat warna dalam minyak atau lemak. Menurut Naibaho (1979), proses pemucatan biasanya dilakukan dalam tangki hampa udara, adsorben ditambahkan sebanyak 0,5 – 5,0% dari berat minyak. Suhu diatur sekitar 250 0F atau 121 0C, setelah itu suhu minyak


(26)

diturunkan sekitar 71 – 80 0C kemudian minyak dipompakan melalui saringan untuk memisahkan adsorben.

Untuk mendapatkan minyak sawit yang masih memiliki warna merah dikendalikan beberapa prose terutama penggunaan suhu tinggi, sehingga saat pemurnian masih diperoleh minyak sawit yang berwarna merah. Proses ekstraksi minyak menggunakan pelarut-pelarut lemak seperti heksan, petroleum eter dan sebagainya telah lama dilakukan. Dengan cara ini akan diperoleh minyak yang lebih murni dengan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan cara konvensional. Selain itu kadar beta karoten dalam minyak dapat diperoleh dalam jumlah yang banyak karena beta karoten juga mempunyai sifat larut dalam lemak sehingga akan terbawa bersama-sama fase minyak dan pelarut, kemudian pelarutnya diuapkan kembali untuk memperoleh minyak sawit merah (Muchtadi 1992).

Fosfatida

Minyak dan lemak yang telah dipisahkan dari jaringan asalnya mengandung sejumlah kecil komponen selain trigliserida yaitu fosfolipid atau fosfatida, sterol, asam lemak bebas, lilin, pigmen yang larut dalam lemak dan hidrokarbon (Ketaren 1986). Kompleks ester yang mengandung fosfor, basa nitrogen, gula-gula dan rantai panjang asam lemak disebut fosfolipid. Fosfolipid dalam minyak banyak mengandung sejumlah fosfatida yaitu lesitin dan cepalin. Fosfatida-fosfatida dalam minyak merupakan ester asam lemak dengan lemak, dimana pada saat yang sama juga membentuk ester dengan asam fosfor. Asam fosfor juga membentuk ikatan dengan basa nitrogen atau gula dan kation-kation seperti magnesium, kalsium dan sodium (Patterson 1992)

Menurut Macrae et al., (1991) fosfolipid merupakan senyawa yang mengandung gliserol, sphingosin, satu atau dua rantai hidrokarbon dan fosfor. Bila yang bertindak sebagai dasar adalah gliserol maka disebut gliserofosfolipid, sedangkan bila sphingosin disebut sphingolipid.


(27)

O

R1 – C – O – CH2

R2 – C – O – C – H O

H2C – O – P – O - alkohol

O (a)

H H H H3C – (CH2)12 – C = C – C - OH

H – N – C – H O O = C CH2 - O – P - kolin

R1 O (b)

Gambar 3. Struktur dasar (a) gliserofosfolipid dan (b) sphingolipid (Macrae et.al. 1991)

Jenis fosfatida tergantung dari sumber fosfatida tersebut. Fosfatida dalam minyak yang berasal dari tanaman terdiri dari lesitin dan sefalin seperti yang ditunjukkan pada gambar 3. Beberapa fosfatida utama adalah phosphatidylcholine (PC) atau yang sering disebut lesitin, phosphatidyletholamine (PE) dengan nama umum sefalin, Nacylphosphatidyethanoamine (NAPE), phosphatidyl serine (PS), phospha tidylinositol (PI), phosphatidic acid (PA), phosphatidyl glycerol (PG), plas mologen (PM), diphosphatidyl glycerol (DPG), lyso-phosphatidylcholine (LPC), lyso-phosphatidylethanolamine (LPE) (Marcrae, et. al. 1991)

Lesitin mempunyai bagian yang larut dalam minyak dan bagian yang mengandung PO43+ (polar) yang larut dalam air (Winarno 1988). Lesitin merupakan substansi yang tidak berwarna, jernih seperti parafin. Apabila ada panas atau cahaya maka lesitin cepat berubah menjadi orange atau coklat gelap (Djatmiko dan Widjaja 1984). Lesitin banyak digunakan dalam produk pangan, farmasi, kosmetik dan pada produk industri lainnya (Peterson dan Johnson 1978). Sefalin merupakan padatan yang tidak berwarna, tetapi seperti halnya lesitin akan cepat berubah menjadi gelap sampai merah kecoklatan bila terkena panas atau cahaya (Djatmiko dan Widjaja 1984).


(28)

Menurut Torrey (1983), fosfatida terdiri dari dua golongan yaitu fosfatida hydratable dan fosfatida non hydratable. Komponen terbesar dari fosfatida hydratable adalah lesitin sedangkan fosfatida non hydratable terdiri dari sefalin, garam kalsium dan magnesium dari phosphatidic acid.

Fosfatida hydratable dapat dengan mudah dihilangkan dari minyak dengan menggunakan air atau uap. Pemisahan fosfatida non hydratable biasanya lebih sulit, membutuhkan perlakuan dengan asam untuk mengubahnya menjadi bentuk yang hydratable. Fosfatida hydratable berbentuk lendir dengan berat jenis yang lebih besar dari minyak dan berwujud seperti jonjot (Brekke 1976).

Komponen Minor Minyak Sawit

Komponen aktif yang terkandung dalam minyak sawit biasanya dikenal juga dengan sebutan komponen minor, karena apabila dihitung secara proposional kuantitatif jumlahnya sangat sedikit sehingga satuan yang digunkan adalah ppm (part per million) atau bagian per sejuta, tetapi apabila dihitung secara kualitatif, peranannya sangat penting bagi kesehatan tubuh meskipun dalam jumlah kecil terutama untuk mencegah penyakit degeneratif, peningkatan imunitas tubuh taupun untuk digunakan sebagai oleokimia atau produk-produk farmasi (Muchtadi 1998).

Disebutkan oleh May dkk. (1996) bahwa komponen minor yang dikandung dalam minyak sawit lebih kurang 1%. Tabel berikut menunjukkan komponen minor yang terkandung dalam minyak sawit mentah (CPO).


(29)

Tabel 4. Komponen minor dalam minyak sawit mentah (CPO)

Komponen Jumlah (ppm)

Karotenoid

Tokoferol dan Tokotrienol Sterol Fospolipid Triterpen alkohol Metil sterol Sequalen Alkohol Alifatik Hidrokarbon Alifatik

500 – 700 600 – 1000

326 – 527 5 – 130 40 – 80 (est) 40 – 80 (est) 200 – 500 100 – 200

50 Sumber : Ong dkk. (1989)

Komponen intrinsik yang sangat berperan dalam minyak sawit adalah karotenoid. Karotenoid adalah suatu pigmen alami yang dapat ditemui pada tanaman, ganggang, hewan vertebrata dan mikroorganisme. Pigmen ini berwarna kuning sampai merah, mempunyai ciri tertentu, yang dapat menunjukkan sifat-sifatnya yang mendasar (Rousell 1985). Warna merah kuning yang disebabkan oleh karoten minyak sawit merupakan pro vitamin A, namun kurang disenangi oleh konsumen karena mempengaruhi nilai estetika makanan.

Karrer dan Jucker (1950) mendefenisikan karotenoid sebagai suatu zat warna kuning sampai merah yang mempunyai struktur alifatik atau alisiklik yang pada umumnya disusun oleh delapan unit isoprena, dimana kedua gugus metil yang dekat pada molekul pusat terletak pada posisi C-1 dan C-6, sedangkan gugus metil lainnya terletak pada posisi C-1 dan C – 5, serta diantaranya terdapat ikatan ganda terkonyugasi. Struktur dasarnya dapat dilihat pada Gambar 3. Adanya ikatan ganda yang terkonyugasi didalam molekul karotenoid menandakan adanya gugus khromofor, yaitu lokasi di dalam sel tempat terdapatnya karotenoid. Makin banyak ikatan ganda terkonyugasi akan semakin pekat warna karotenoid tersebut, artinya semakin mengarah ke warna merah (Wirahadikusumah 1985; Hassan 1987).

- C = CH- CH = CH- C = CH =============CH – CH = C-CH=CH-CH= C –

CH3 CH3 CH3 CH3 1 5 molekul pusat 1 5

1 6 Gambar 4. Struktur dasar karotenoid (Lehninger 1990)


(30)

Karotenoid termasuk senyawa yang terdapat lipida yang tidak dapat disabunkan, larut dengan baik dalam pelarut-pelarut organik seperti karbon disulfida, bensena, khloroform, aseton, metanol, etanol, eter dan petroleum eter, tetapi tidak larut dalam air (Goodwin 1976 dan Hassan 1987)

Golongan karotenoid yang paling penting adalah jenis alfa dan beta karoten, yang diperlukan bagi tubuh, karena selain pro vitamin A, juga dapat mencegah penyakit jantung koroner. Karotenoid golongan ini terdapat dalam jumlah banyak dalam minyak sawit. Karotenoid umum yang dikenal sebagai sumber vitamin A adalah beta karoten, alfa karoten dan gamma karoten. Beta karoten yang merupakan sumber utama vitamin A mempunyai struktur kimia seperti gambar 5 dibawah ini.

Gambar 5. Beta karoten (Erdman 1989)

Beta karoten sebagai salah satu zat gizi mikro didalam minyak sawit mempunyai beberapa aktifitas biologis yang bermanfaat bagi tubuh, yang disampaikan oleh Tan (1987), Klurfield (1989) dan Muhilal (1991), antara lain untuk penanggulangan kebutaan karena xeroftalmia, mengurangi peluang terjadinya penyakit kanker, mencegah proses menua yang terlalu dini, meningkatkan imunisasi tubuh dan mengurangi terjadinya penyakit degeneratif.

Minyak sawit merupakan salah satu minyak nabati yang sulit dipucatkan karena mengandung karoten dalam jumah besar (500 – 600 ppm) yang menyebabkan minyak berwarna kuning. Karoten diketahui mempunyai sifat tidak stabil terhadap panas, cahaya dan oksigen; sehingga dalam proses pemurnian minyak sawit (CPO) banyak terjadi kerusakan komponen-komponen nutrisi yang berharga seperti beta karoten yang merupakan sumber pro vitamin A.

CH3 CH3 CH3 CH3

C CH3 CH3 CH3 CH3 C

H2C C CH=CH C=CH CH=CH C=CH CH=CH C=CH CH=CH C=CH CH=CH C CH2

H2C C CH2 H2C C CH2


(31)

Degumming

Degumming (pemisahan gum) merupakan suatu proses pemisahan getah atau lendir yang terdiri dari fosfolipid, protein, residu, karbohidrat, air dan resin. Biasanya proses ini dilakukan dengan cara dehidrasi gum atau kotoran lain agar supaya bahan tersebut lebih mudah terpisah dari minyak, kemudian disusul dengan proses pemusingan (sentrifusi) (Ketaren 1986). Komponen-komponen fosfatida membentuk lendir (gum) pada CPO dan tidak dikehendaki karena trigliserida yang akan terhidrasi sehingga menimbulkan emulsi pada saat pengolahannya, mempersulit adsorbsi tanah pemucat. Fosfatida yang terlarut dalam minyak dapat dipisahkan dengan menyalurkan uap air panas ke dalam minyak sehingga terpisah dari minyak, sedangkan fosfatida yang tidak larut air dapat dipisahkan dengan penambahan Asam Phospat (H3PO4).

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk proses pemisahan gum antara lain adalah pemisahan gum dengan cara pemanasan, dengan penambahan asam (H3PO4, H2SO4 dan HCl), pemisahan gum dengan NaOH, pemisahan gum dengan cara hidrasi dan pemisahan gum dengan pereaksi khusus seperti asam fosfat, natrium chlorida (NaCl) dan Natrium Phospat (Na3PO4). Proses degumming dengan menggunakan asam an organik adalah proses lazim dilakukan, pengaruh yang ditimbulkan oleh asam adalah terbentuknya gumpalan sehingga mempermudah pengendapan kotoran. Pemberian Asam fosfat sebagai degumming agent karena dapat menurunkan bilangan peroksida minyak yang telah dipucatkan dan dapat meningkatkan kestabilan warna, akan tetapi semakin tinggi kadar asam fosfat yang digunakan maka bilangan peroksida dari minyak yang telah dipucatkan akan semakin meningkat. Proses degumming menggunakan NaOH, maka partikel yang terbentuk akan menyerap lendir dan sebagian pigmen. Kelemahan proses ini adalah terbentukknya emulsi sabun sehingga kehilangan minyak netral akan bertambah besar.

Minyak sawit kasar mengandung berbagai jenis fosfatida seperti phosphatidyl choline (PC), Phosphatidyl inositol (PI), phosphatidyl ethanolamine (PE), phosphatidic acid (PA) dan phytosphingolipids. Tingkat hidrasi dari fosfatida ini bervariasi pada suhu 800C seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5.


(32)

Tabel 5. Tingkat relatif hidrasi dari fosfatida *)

Jenis Fosfolipid Tingkat Hidrasi (%)

PC PI

Garam Kalsium dari PI PE

Garam kalsium dari PE PA

Garam kalsium dari PA Phytosphingolipid

100 44 24 16 0,9 8,5 0,6 8,5 *) Seger dan Sande (1989)

Netralisasi

Netralisasi adalah suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehinga membentuk sabun (soap stock). Netralisasi dengan kaustik soda (NaOH) banyak dilakukan dalam skala industri karena lebih efisien dan lebih murah dibandingkan dengan cara netralisasi lainnya. Selain itu penggunaan NaOH membantu mengurangi zat warna dan kotoran yang berupa getah dan lendir dalam minyak.

Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan zat warna dan kotoran seperti fosfatida dan protein, dengan cara membentuk emulsi. Sabun atau emulsi yang terbentuk dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifusi.

Reaksi antara asam lemak bebas dengan NaOH adalah sebagai berikut :

O O

R C + NaOH R C + H2O

OH ONa

Asam Lemak basa sabun air

bebas

Dengan cara hidrasi dan dibantu dengan proses pemisahan sabun secara mekanis, maka netralisasi dengan menggunakan kaustik soda dapat menghilangkan fosfatida, protein, resin dan suspensi dalam minyak yang tidak


(33)

dapat dihilangkan dengan proses pemisahan gum. Komponen minor (minor component) dalam minyak berupa sterol, klorophil, vitamen E dan karotenoid hanya sebagian kecil dapat dikurangi dengan proses netralisasi. Netralisasi menggunakan kaustik soda akan menyabunkan sejumlah kecil trigliserida. Molekul mono dan digliserida lebih mudah bereaksi dengan persenyawaan alkali.

Pemakaian larutan NaOH dengan konsentrasi yang terlalu tinggi akan bereaksi sebagaian dengan trigliserida sehingga mengurangi rendemen minyak dan menambah jumlah sabun yang terbentuk. Oleh karena itu harus dipilih konsentrasi dan jumlah NaOH yang tepat untuk menyabunkan asam lemak bebas dalam minyak. Dengan demikian penyabunan trigliserida dan terbentuknya emulsi dalam minyak dapat dikurangi, sehingga dihasilkan minyak netral dengan rendemen yang lebih besar dan mutu minyak yang lebih baik.

Pelarut Organik

Kemampuan pelarut baik polar maupun non polar dalam melarutkan bahan dan perbandingan antar pelarut yang menghasilkan rendemen terbaik dalam suatu proses belum banyak diketahui. Menurut Ketaren (1985) masing-masing pelarut mempunyai efisiensi yang berbeda-beda. Pemilihan pelarut harus didasarkan pada sifat polaritas, stabilitas dan harga. Adapun untuk bahan pangan harus memperhatikan sifat keamanan terhadap bahan yang dilarutkan.

Konsep like disolves like merupakan konsep yang menjelaskan adanya fenomena dlam proses ekstraksi, nilai kepolaran pelarut harus sedekat mungkin dengan kepolaran sampel. Konsep ini sangat berguna jika komponen yang akan diekstrak sudah diketahui kepolarannya. Untuk bahan yang bersifat polar sebaiknya menggunakan pelarut yang polar, sedangkan untuk bahan yang non polar digunakan pula pelarut yang bersifat non polar (Winarno et.al 1973). Kemampuan pelarut untuk melarutkan suatu bahan akan meningkat dengan meningkatnya suhu pelarut (Brieger 1969).

Kepolaran pelarut ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (alkohol) dan karbonil (keton). Interaksi ion dipol, ikatan hidrogen, pembentukan kompleks dan dipol-dipol mempengaruhi kelarutan bahan dalam pelarut (Brieger 1969). Indeks polaritas beberapa pelarut organik dapat dilihat pada Tabel 6.


(34)

Tabel 6. Indeks polaritas dan kelarutan dalam air beberapa pelarut organik *) Pelarut Indeks polaritas Kelarutan dalam air (% w/w)

Pentana 0,0 0,004

Heksana 0,0 0,001

Heptana 0,0 0,0003

Sikloheksana 0,2 0,01

CCl4 1,6 0,08

Benzena 2,7 0,18

Dietil eter 2,8 6,89

Dikloro metana 3,1 1,60

Isopropanol 3,1 100

Tetrahidrofuran 4,0 100

Kloroform 4,1 0,82

Etil asetat 4,4 -

Aseton 5,1 100

Metanol 5,1 100

Etanol 5,2 100

Asetonitril 5,8 100

Air 9,0 -

Keterangan : *) Brieger (1969)

Winarno et al (1973), menambahkan bahwa ada dua syarat pelarut agar dapat digunakan untuk ekstraksi, yaitu mudah dipisahkan setelah proses ekstraksi dan merupakan pelarut terbaik untuk bahan yang akan diekstraksi. Pertimbangan lain dalam pemilihan pelarut, terutama untuk keperluan industri harus memperhatikan kadar toksisitas, viskositas dan harga. Kemudian pemakaian pelarut juga harus mempertimbangkan sifat inner, dalam arti pelarut tidak bereaksi dengan bahan yang dipisahkan.


(35)

Tabel 7. Tingkat toksik beberapa pelarut organik

Pelarut Tingkat Toksik

Etanol Sangat rendah

Aseton Rendah

Dietel eter Rendah

Diklorometana Rendah

Dimetil sulfoksida Rendah

Etil asetat Rendah

Heksana Rendah Isopropanol Rendah Metanol Rendah Pentana Rendah

Petroleum eter Rendah

Asetonitril Tinggi

Karbon disulfida Tinggi

Tetrahidrofuran Tinggi

Toluen Tinggi

Benzen Tinggi (karsinogenik)

Karbon tetraklorida Akut dan kronik (karsinogenik)

Kloroform Karsinogenik Dimetil formamida Karsinogenik, iritasi

Pasto et.al (1992)

Menurut Snape dan Nakajima (1996), pada umumnya pelarut heksan lebih dapat merusak membran kemudian diikuti dengan metanol, etanol dan isopropanol yang mempunyai kemungkinan merusak lebih kecil. Ditambahkan lagi oleh Andreas (2004), bahwa dengan menggunakan heksan sebagai pelarut pada minyak goreng bekas dapat merusak seal-seal pada sambungan pipa dan pompa pada modul membran keramik.

Filtrasi membran

Kaseno (1999) menyatakan bahwa bahan yang dapat memisahkan dua komponen dengan cara spesifik yaitu menahan atau melewatkan salah satu komponen lebih cepat dari pada komponen yang lain disebut dengan membran. Menurut Osada dan Nakagawa (1992), membran merupakan lapisan tipis semi permeabel yang tipis dan dapat digunakan untuk memisahkan komponen dengan cara menahan dan melewatkan komponen tertentu melalui pori-pori.

Dalam penggunaan energi, pemisahan dengan membran memiliki keunggulan, tidak seperti evaporasi dan destilasi, pemisahan dengan membran


(36)

tidak melibatkan perubahan fase dalam prosesnya, sehingga tidak membutuhkan kalor laten. Membran berdasarkan bahan pembuatan dibagi menjadi dua golongan yaitu (1) bahan organik, dimana membran ini dibagi lagi menjadi dua bagian antara lain (a) membran alamiah, contohnya membran yang terbuat dari selulosa dan turunannya seperti selulosa nitrat dan asetat dan (b) membran sintesis, contohnya polisulfon, poliamida dan polimer sintesis yang lainnya dan (2) bahan anorganik (Mallevialle et.al 1996).

Materi anorganik memiliki stabilitas kimia dan stabilitas termal lebih baik dibandingkan dengan bahan polimer. Ada empat tipe membran anorganik yang sering digunakan, yaitu membran keramik, membran gelas, membran metal (termasuk karbon) dan membran zeolit. Membran keramik dibentuk dari kombinasi metal (seperti aluminium, titanium dan zirkonium) dengan non metal dalam bentuk oksida, nitrida atau karbida.

Material anorganik memiliki stabilitas terhadap bahan kimia yang lebih baik dibandingkan dengan membran organik. Secara umum membran ini dapat digunakan pada beberapa pH dan pada beberapa pelarut organik. Stabilitas material anorganik ini, material keramik, karena hasil pemadatan struktur kristal, ikatan kimia dan asosiasi antara partikel yang relatif kuat dan muatan kation yang tinggi pada keramik, sehingga material anorganik dapat digunakan pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan. Faktor lain yang penting dari penggunaan bahan anorganik adalah semua bahan pembersih dapat digunakan, termasuk penggunaan asam dan basa kuat. Khususnya pada aplikasi dengan fouling yang tinggi, yang menembus membran dengan cepat sehingga pembersih secara periodik dibutuhkan (Wenten 1999)

Filtrasi membran memiliki arti sebagai pemisahan material dengan mengalirkan umpan melalui suatu membran dan molekul dengan ukuran besar yang tertahan pada permukaan membran (Gutman 1987). Filtrasi dengan menggunakan membran dapat dibedakan atas mikrofiltrasi, ultrafiltrasi dan dialisis. Mikrofiltrasi adalah jenis filtrasi yang bertujuan untuk memisahkan partikel. Sebaliknya ultrafiltrasi bertujuan untuk memisahkan molekul. Dialisis digunakan untuk pemisahan partikel yang lebih kecil dari molekul dan bermuatan,


(37)

sedangkan osmosa balik (Reverse osmosis) adalah dialisis yang dilakukan secara berlawanan arah (Brock 1983).

Tabel 8. Karakteristik Membran berdasarkan ukuran pori dan perbedaan tekanan dan berat molekul

Jenis Membran Ukuran Pori (nm)a

Perbedaan Tekanan

(bar)a

Berat Molekul (Dalton)b

Mikrofiltrasi (MF) 50 – 10.000 0,1 – 2,0 -

Ultrafiltrasi (UF) 1 – 20 1,0 – 5,0 1000 – 100000 Nanofiltrasi (NF) 2 – 5 5,0 – 20 1000 – 200 Reverse Osmosis (RO) < 2 10 – 100 < 200

a) Mulder (1996) b) Yuksel et.al (1996)

Prinsip operasi pemisahan dengan menggunakan membran adalah memisahkan bagian tertentu dari umpan (feed) menjadi retentat (retentate) dan permeat (permeate). Umpan adalah larutan yang berisi satu atau lebih campuran molekul atau partikel yang akan dipisahkan. Permeat adalah bagian yang dapat melewati pori membran, sedangkan retentat adalah bagian yang tidak dapat melewati pori membran (Mellevialle et. al. 1996).

Ketika larutan yang mengandung partikel didorong atau ditarik melalui sebuah filter, terjadi sebuah sistem aliran kompleks dimana sebagian kecil larutan berpindah dari fasa terbesar larutan tersebut, masuk ke dalam pori-pori filter dan keluar dari sisi yang lain. Aliran dari larutan akan lebih mudah melewati pori-pori yang lebih besar, oleh karena itu ukuran pori-pori sangat berpengaruh dalam proses filtrasi. Partikel yang tersuspensi akan terbawa dalam aliran larutan tersebut karena adanya kelembaman. Jika ukuran partikel cukup kecil untuk lolos melalui pori-pori, maka partikel tersebut akan keluar menjadi filtrat, atau sebaliknya bila ukurannya lebih besar dari pori-porinya maka partikel tersebut akan mengenai permukaan filter atau terperangkap diantara celah matrix filter.

Untuk partikel yang memiliki lebih besar dibandingkan ukuran pori-pori jelas akan terperangkap atau tertahan oleh filter, tetapi ada juga sebagian partikel yang lebih kecil dari pada ukuran pori-pori akan terperangkap juga. Hal ini mungkin terjadi, jika ukuran partikel hanya lebih sedikit kecil dibandingkan pori-porinya, ketika partikel lewat mendekati pori-pori ada kemungkinan sebagian partikel akan bersentuhan dengan matrik filter, jika gaya adhesif cukup besar,


(38)

maka partikel tersebut akan terperangkap, Sedangkan untuk partikel yang memiliki ukuran yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan pori-porinya, kemungkinan terperangkapnya hanya akan terjadi bila ada suatu gaya elektrostatis dari permukaan filter yang akan menarik partikel (Brock 1983).

Proses filtrasi membran dengan terknik cross-flow sangat sederhana hanya memerlukan pemompaan umpan tegak lurus terhadap membran, sejajar dengan permukaan membran. Membran membagi aliran umpan menjadi dua; satu aliran sebagai permeat, yang terdiri dari komponen berukuran besar yang tertahan oleh membran. Retentat biasanya disirkulasikan kembali melalui modul membran karena komponen berukuran kecil tidak melewati pori-pori membran secara bersamaan dalam satu kali pengairan. Kecepatan aliran cross-flow merupakan kecepatan rata-rata ketika umpan dialirkan sejajar dengan permukaan membran. Kecepatan aliran memiliki pengaruh yang besar tehadap fluks permeat. Permeat fluks juga dipengaruhi membran tersebut. Penggunaan tekanan diatas batas tersebut berdasarkan hasil penelitian ternyata tekanan yang tinggi tidak berpengaruh terhadap fluks permeat, bahkan penggunaan tekanan yang terlalu tinggi menyebabkan terjadinya fouling pada membran Masalah yang sering timbul dalam proses membran adalah fouling. Fouling timbul karena tertahannya partikel pada permukaan membran saat umpan dilewatkan sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan fluks dan perubahan selektifitas (Henry 1988). Menurut Wenten (1999), fouling dapat diminimalkan dengan mengendalikan faktor temperatur, tekanan dan kecepatan crossflow.

Salah satu faktor yang menyebabkan keterbatasan penggunaan membran berpori adalah fouling pada membran yakni perubahan yang bersifat irreversible yang disebabkan oleh interaksi secara fisik dan kimiawi antara membran dan partikel yang terdapat dalam proses pemisahan. Membran fouling diidentikkan dengan penurunan fluks permeat dan perubahan selektifitas pada membaran. Perubahan ini dapat berlangsung selama proses dan membutuhkan penanganan yang serius dan mahal termasuk penggantian membran.

Filtrasi dengan menggunakan membran berdasarkan ukuran molekul solute yang tertahan dikelompokkan kedalam tiga kelas yaitu mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi dan reverse osmosis. Membran ultrafiltrasi (UF) dan


(39)

mikrofiltrasi (MF) merupakan membran porous dimana rejeksi zat terlarut sangat dipengaruhi oleh ukuran dan berat zat terlarut terhadap ukuran pori membran. Membran UF memiliki struktur yang asimetrik dengan lapisan atas yang lebih dense (ukuran pori lebih kecil dan porositas permukaan rendah) sehingga tahanan hidrodinamiknya akan lebih besar. Membran UF digunakan untuk memisahkan bahan, sampai berupa molekul dari larutan. Karakteristik membran umumnya dinyatkan dalam Molecular Weight Cut Off (MWCO), atau berat molekul yang ditolak (90%-nya) oleh membran.


(40)

Proses degumming merupakan proses awal dari serangkaian proses pemurnian minyak sawit kasar (CPO). Pada proses degumming dilakukan pemisahan getah atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein dan karbohidrat. Secara konvensional proses degumming biasanya menggunakan suhu yang tinggi (60 – 80 0C) dan bahan kimia (asam fosfat) untuk mengubah fosfatida non hydratable menjadi hydratable. Perlakuan dengan menggunakan suhu yang tinggi tersebut dapat merusak komponen – komponen penting lain yaitu karotenoid yang mengandung beta karoten dalam kisaran jumlah ± 1000 ppm, yang merupakan provitamin A, suatu nutrisi yang diperlukan tubuh.

Teknologi membran yang menggunakan prinsip pemisahan komponen berdasarkan ukuran molekul merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk proses degumming CPO, selain teknologi konvensional yang selama ini banyak dilakukan oleh pabrik pengolahan minyak sawit. Menurut Patterson (1992), fosfatida daalam bentuk missel mempunyai berat molekul 20 kDa sedangkan trigliserida 0,8 kDa, maka teknologi membran yang dapat digunakan adalah membran ultrafiltrasi dengan MWCO 10 kDa.

Tempat Dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengawasan Mutu Jurusan Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT Serpong. Penelitian berlangsung selama enam bulan, dari bulan Oktober – Maret 2005

Bahan Dan Alat

Bahan utama yang digunakan adalah CPO (PTP VII Lampung), Isopropanol, asam fosfat 80%, NaOH. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis antara lain : KOH, indikator phenoftalein, khloroform, KI, Na2S2O3, Heksan,


(41)

Petroleum eter, Metanol, Asetonitril, Diklorometan, H2SO4, HCL, kertas saring dan Aquades.

Alat yang digunakan adalah membran keramik UF (ultrafiltrasi) dengan MWCO (Molecular Weight Cut Off) 10 kDa berdiameter pori 0,001µm, modul filtrasi skala pilot plan. Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk analisa meliputi: alat distilasi, penangas air, hot plate, corong pemisah, magnetic stirrer dan alat-alat gelas.

Membran UF yang digunakan merupakan membran keramik berbentuk tubular. Bentuk tubular ditandai dengan adanya beberapa channel dalam membran. Adapun spesifikasi lebih lengkap mengenai membran keramik UF dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Spesifikasi membran keramik Ultrafiltrasi

Spesifikasi Keterangan

Ukuran pori 0,001µm

Material bahan Keramik (anorganik)

Luas permukaan 0,05 m2

Panjang 25 cm

Bentuk penampang Bulat

Diameter luar 3 cm

Jumlah channel 9

Diameter channel 2 mm

Metode Penelitian

Penelitian pendahuluan

Minyak Sawit Kasar (CPO) yang digunakan sebagai bahan baku dalam penelitian ini dikarakterisasi untuk mengetahui sifat fisiko-kimianya meliputi analisa : bilangan asam, bilangan peroksida, bilangan iod, bilangan penyabunan, kadar Phospor, kadar air, β-karoten, warna, viskositas dan fraksi tak tersabunkan. Prosedur analisis karakterisasi bahan baku dapat dilihat pada lampiran 5.

Penelitian utama

Rancangan Percobaan Filtrasi membran

CPO yang sudah dikarakterisasi pada penelitian pendahuluan kemudian dilakukan proses degumming menggunakan membran ultrafiltrasi. Perlakuan yang


(42)

digunakan pada proses ultrafiltrasi meliputi tekanan operasi membran (T) dan nisbah antara pelarut isopropanol dengan minyak sawit (M). Rentang tekanan operasi pada proses ultrafiltrasi adalah 2 sampai 10 bar. Nisbah antara isopropanol dengan minyak sawit digunakan adalah 75% sampai 25%.

Parameter yang diukur pada proses ultrafiltrasi yaitu fluks Permeat (L/jam.m-2), rejeksi membran dan kualitas permeat yang meliputi bilangan asam, bilangan peroksida, bilangan iod, bilangan penyabunan, kadar Phospor, kadar air, β- karoten, warna, viskositas dan fraksi tak tersabunkan. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 15. Optimasi dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan faktor-faktor yang berpengaruh dan taraf masing-masing faktor tersebut. Tekanan Operasi (T) yang digunakan adalah :

T1= 2 bar; T2= 3 bar;T3 = 6 bar T4 = 9 bar;T5 = 10 bar

Nisbah antara minyak sawit dan isopropanol (M) digunakan adalah : M1 = 25% ( 3 bagian pelarut : 1 bagian minyak),

M2 = 50% (1 bagian pelarut : 1 bagian minyak); M3 = 75% (1 bagian pelarut : 3 bagian minyak);

masing-masing perlakuan diulang dua kali menggunakan percobaan faktorial dalam RAL (Rancangan Acak Lengkap). Untuk mencari persamaan regresi yang responnya berupa bidang lengkung, pengolahan data hasil percobaan dilakukan dengan menggunakan RSM (Response Surface Metod) dengan kombinasi peubah bebas berupa perlakuan faktorial lengkap

Model persamaan multiple regresi dari respon yang diamati dapat dinyatakan sebagai berikut :

Model regeresi linear dengan jumlah faktor 2 adalah :

Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β12X1X2 + ε

Model regresi ordo kedua dengan jumlah faktor 2 adalah

Y = β0 + β1X1 + β11X21 + β2X2 + β22X22 + β12X1X2 + ε

Dimana Y adalah respon, β0 adalah intersep, β1, β2, adalah koefisien linear, β12, adalah koefisien interaksi, β11, β22, adalah koefisisen kuadratik dan X1, X2 adalah variabel bebas.


(43)

Model regresi yang diperoleh dianalisis sensitifitasnya dan ditentukan nilai optimum untuk setiap respon yang diamati. Hasil optimum yang diperoleh dari perhitungan divalidasi dengan hasil percobaan laboratorium.

Pencucian Membran

Pada setiap akhir percobaan (running), membran Ultrafiltrasi dicuci dengan menggunakan NaOH. NaOH pada konsentrasi 0,1N dan 0,2 N dengan asumsi setiap percobaan proses degumming dengan menggunakan membran adalah sama pada setiap kombinasi perlakuan. Fluks diukur pada kondisi tetap (tunak) pada tekanan 3, 4, 6, 8 dan 10 bar dan waktu pembersihan 30 menit.

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap. Model matematika rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij = µ + Mi + εij Dimana :

Yij = Variabel respon hasil observasi ke- j (1,2,3) yang terjadi karena pengaruh faktor M pada taraf ke – i (1,2,3)

µ = Rata-rata yang sebenarnya

Mi = Pengaruh faktor M (konsentrasi) pada taraf ke-i (1,2,3) εij = Error

Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga bagian meliputi karakterisasi bahan baku, proses degumming dengan membran Ultrafiltrasi, pencucian membran dan proses degumming konvensional (wet degumming). Diagram alir tahapan penelitian dan output yang diharapkan pada masing-masing tahap dapat dilihat pada gambar berikut:


(44)

Gambar 6. Diagram alir penelitian

Adapun prosedur penelitian pada tiap bagian adalah :

Filtrasi Membran

Proses ultrafiltrasi dimulai dengan memasukkan CPO dan dipanaskan sampai suhu 400C dan isopropanol (IPA) kedalam tangki umpan sebanyak 20 liter, dengan perbandingan sesuai dengan perlakuan. Larutan dari tangki umpan kemudian dipompakan ke dalam modul membran ultrafiltrasi. Tekanan operasi diatur dengan memutar klep pengaman sehingga didapatkan tekanan yang diinginkan.

Retentat yang diperoleh dikembalikan ke dalam tangki umpan, sedangkan permeat ditampung dalam wadah. Rancangan proses filtrasi dengan membran disajikan pada Gambar 7. Selama proses berlangsung dilakukan pengukuran parameter-parameter yang menunjukkan kinerja membran. Parameter kinerja


(45)

membran yang dievaluasi adalah fluk permeat dan nilai rejeksi membran. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 5.

Pemisahan minyak dengan pelarut (isopopanol), permeat yang dihasilkan dilakukan dengan proses distilasi. Setelah proses distilasi dilakukan analisis kimia meliputi : bilangan asam, bilangan peroksida, bilangan iod, bilangan penyabunan, kadar Fosfor, kadar abu, β- karoten, viskositas dan fraksi tak tersabunkan.

Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 5. Minyak yang telah selesai di degumming dilakukan proses netralisasi menggunakan NaOH. Minyak hasil degumming dan netralisasi dilakukan karakterisasi.

Gambar 7. Rancangan proses Cross flow membran ultrafiltrasi

Keterangan :

E-1 : Pompa

V-1,2,3,4 : Klep

UF : Modul membran Ultrafiltrasi P1,P2 : Presure gauge

Wet degumming

Proses wet degumming yang digunakan berdasarkan hasil penelitian Nanci (1998) dengan menggunakan asam fosfat 85% dengan jumlah asam fosfat 0,09 %(v/w). Prosedur yang digunakan adalah 200 gram CPO dipanaskan pada


(46)

suhu 80 – 90 0C sambil diaduk dengan menggunakan magnetic stirer, kemudian ditambahkan larutan asam fosfat 85 persen sebanyak 0,09 persen (v/w) dan dibiarkan selama 15 menit. Kemudian campuran minyak tersebut dimasukkan ke dalam corong pemisah, ditambahkan air hangat kemudian didiamkan kembali sampai gum dan air terpisah dari minyak. Gum yang terdapat pada bagian bawah corong dipisahkan dengan membuka klep pada bagian bawah dan dicek apakah air pencucian sudah netral atau belum (dengan menggunakan kertas lakmus). Jika air pencucian pada saat pemisahan gum belum netral maka air ditambahkan lagi sampai air pencucian netral.

Minyak yang diperoleh dilakukan karakterisasi meliputi bilangan asam, bilangan penyabunan, bilangan peroksida, bilangan iod, kadar air, kadar abu, kandungan β karoten dan kadar Fosfor. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 5.

Netralisasi

Sebelum dinetralisasi, dilakukan analisa kadar FFA minyak hasil degumming terlebih dahulu, agar diketahui kebutuhan larutan NaOH yang ditambahkan dalam proses netralisasi. Ekses yang digunakan sebesar 0,10 % dari berat minyak.

Perhitungan dapat dilakukan sebagai berikut. Misalkan NaOH 120Be mengandung 10 gram NaOH dalam 100 ml larutan, sedangkan kandungan FFA minyak awal sebesar 4,6 % (sebagai asam palmitat). Satu kilogram asam lemak bebas (sebagai asam oleat) dapat dinetralkan dengan 0,142 kg NaOH. Satu kilogram asam lemak bebas (sebagai asam palmitat) membutuhkan 0,142 x (282/ 256) kg NaOH, dimana 282 dalam berat molekul asam oleat, sedangkan 256 berat molekul asam palmitat. Jadi NaOH yang dibutuhkan untuk menetralkan 100 gram minyak :

0,142 (282/256) x 0,046 x 100 = 0,72 gr Ekses 0,1 % : 100 x 0,001 = 0,10 gr


(47)

NaOH tersebut setara dengan larutan NaOH sebanyak 0,82/10 x 100 ml = 8,2 ml

Minyak hasil degumming dimasukkan ke dalam tangki netralisasi dan dipanaskan hingga suhu minyak tersebut mencapai 600C. Setelah suhu tersebut tercapai dimasukkan larutan NaOH sambil diaduk dengan cepat selama 15 menit. Setelah reaksi berjalan, campuran larutan minyak dan NaOH didiamkan untuk mengendapkan soap stock selama 30 menit. Soap stock yang telah mengendap kemudian di keluarkan. Pencucian minyak selanjutnya dilakukan dengan cara menyemprotkan air panas sampai air pencuci netral.

Pencucian membran

Proses pencucian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : NaOH dilarutkan kedalam air di dalam tangki umpan, kemudian larutan tersebut dialirkan dalam modul filtrasi selama 30 menit. Untuk menghilangkan busa yang masih tertinggal dalam membran, dilakukan pembersihan dengan mengalirkan air bersih pada membran pada tekanan 3 bar. Aliran air akan dihentikan apabila tidak terdapat busa dalam air pembuangan dan pH 7 (saluran permeat dan retentat). Kemudian dihitung permeabilitas membran dengan cara menghitung fluks air yang dihasilkan dibandingkan dengan sebelum dilakukan perlakuan.


(48)

Gambar 8. Diagram alir metode Wet Degumming-Netralisasi (konvensional) dan metode membran .


(49)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Sampel CPO

Pada penelitian pendahuluan dilakukan karakterisasi sampel pada CPO dengan tujuan mengetahui sifat fisiko-kimia minyak dibandingkan dengan spesifikasi persyaratan mutu CPO. Hasil karakterisasi minyak awal dapat dilihat pada Tabel 10..

Tabel 10 Hasil karakterisasi minyak sampel (CPO)

Parameter Nilai Nilai

SNI 01-2901-1992 FFA sebagai asam palmitat (%)

Kadar Air (%) Bilangan Iod (wijs)

Bilangan Peroksida (mg O/100 g) Bilangan Penyabunan

Fraksi Tak tersabunkan (%) Phospor (%)

Beta Karoten (ppm) Besi (Fe) 1,1 0,035 25,555 0,625 225 0,455 0,14 93,25 Tidak terdeteksi Max 5 0,45 - - - - - -

Berdasarkan hasil karakterisasi sampel CPO menunjukkan bahwa minyak yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai mutu yang bagus karena telah memenuhi standar mutu minyak menurut SNI 01-291-1992. Hal ini dapat dilihat dari nilai parameter asam lemak bebas (FFA) yang dihitung sebagai persen asam palmitat yang merupakan asam lemak dominan. Hasil pengukuran kadar FFA dari sampel adalah 1,1 persen yang berarti sudah memenuhi persyaratan yang diizinkan yaitu maksimal 5 persen. Demikian juga dengan nilai parameter kadar air. Dua parameter ini sangat penting untuk menentukan mutu dari sampel dikarenakan FFA merupakan asam lemak yang tidak terikat dalam lemak menyebabkan ketengikan dan rendemen minyak akan menurun dan kadar air yang tinggi akan menyebabkan proses hidrolisa pada minyak dimana proses hidrolisa ini akan membentuk FFA ..

Fluks Minyak-IPA

Penentuan fluks minyak-IPA membran ultrafiltrasi dilakukan dengan cara melihat pengaruh lama filtrasi pada berbagai operasi tekanan dengan konsentrasi


(50)

yang berbeda. Perlakuan lima operasi tekanan pada membran ultrafiltrasi adalah 2 bar (T1), 3 bar (T2), 6 bar (T3), 9 bar (T4) dan 10 bar (T5) dengan konsentrasi 25 % (M1), 50% (M2) dan 75% (M3).

Kurva hubungan antara fluks minyak-IPA terhadap lama filtrasi pada kondisi tekanan dan konsentrasi yang diberikan dapat dilihat pada Gambar 9

0 100 200 300 400 500 600

1 5 10 15 20 25

Waktu (menit)

Fluks (l/

m

2 .jam

)

M3T1 M3T2 M3T3 M3T4 M33T5

M2T1 M2T2 M2T3 M2T4 M2T5

M1T1 M1T2 M1T3 M1T4 M1T5

Gambar 9. Kurva hubungan Fluks minyak-IPA terhadap waktu filtrasi pada membran Ultrafiltrasi.

Fluks minyak – IPA pada membran ultrafiltrasi pada tiap tekanan mencapai keadaan tunak pada menit ke-15. Penurunan fluks lebih nyata pada awal waktu filtrasi dibandingkan pada akhir waktu filtrasi cenderung disebabkan oleh lapisan gel (Cheryan, 1996; Pagliero et at. 2001) dan karena adanya fenomena polarisasi konsentrasi lebih berperan yang merupakan proses terbentuknya gradien konsentrasi pada lapisan pembatas permukaan membran akibat akumulasi zat-zat terlarut yang tertahan oleh membran. Lapisan gel sendiri merupakan bagian dari lapisan polarisasi konsentrasi yang diduga berasal dari makromolekul (fosfolipid) dan terjadi pada saat kelarutan kritis tercapai (Toyomota and Higuchi 1992). Pada tekanan tinggi lapisan gel-polarisasi yang terbentuk dari makromolekul yang terejeksi menumpuk pada permukaan membran menyebabkan aliran proses menjadi sangat tergantung pada konsolidasi lapisan tersebut.

Dari gambar diatas menujukkan hubungan antara waktu dan fluk larutan minyak–IPA dengan konsentrasi yang berbeda. Fenomena yang diberikan oleh


(51)

masing-masing kurva hampir sama, dimana fluks permeat menghasilkan penurunan yang sangat kecil seiring dengan bertambahnya waktu operasi. Penurunan harga fluks yang sangat kecil ini dan kelihatan konstan mengindikasikan bahwa interaksi pertikel terlarut pada membran ultrafiltrasi keramik cukup stabil.

Konsentrasi Umpan

Berdasarkan sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi sangat berpengaruh terhadap besarnya harga fluks permeat (Lampiran 2 ). Setelah diuji lanjut dengan uji BNJ 5% diperoleh bahwa rata-rata perlakuan konsentrasi berbeda nyata. Peningkatan konsentrasi cenderung menurunkan fluks permeat Hal ini dikarenakan semakin rendah konsentrasinya berarti semakin renggang jarak antara molekul minyak

0 100 200 300 400 500

25% 50% 75%

Konsentrasi

Flu

k

s

(

l/m

2 .j

a

m

)

2 bar 3 bar 6 bar 9 bar 10 bar

Gambar 10. Kurva Konsentrasi Minyak – IPA vs Fluks permeat pada Membran Ultrafiltrasi.

Dari gambar kurva diatas, kemungkinan terjadinya fouling menjadi lebih tinggi pada perlakuan M1 dikarenakan konsentrasinya lebih tinggi. Semakin tinggi konsentrasi umpan, maka peluang terjadinya konsentrasi polarisasi dipermukaan membran lebih besar. Untuk konsentrasi yang lebih rendah (M1) perbedaan nilai fluks permeat tersebut lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi (M3), hal ini menunjukkan lapisan fouling/polarisasi konsentrasi lebih dominan menentukan harga fluks tersebut.


(52)

Tekanan Operasi

Berdasarkan sidik ragam (Lampiran 2), menunjukkan bahwa tekanan operasi sangat berpengaruh terhadap besarnya harga fluks permeat. Setelah diuji lanjut dengan uji BNJ 5% diperoleh bahwa tekanan 9 bar (T4) dan 10 bar (T5) memberikan nilai fluks permeat yang tidak berbeda nyata (Lampiran 2). Hal ini menunjukkan bahwa nilai fluks permeat yang dihasilkan dimulai pada tekanan 6 bar (T3) sudah tidak meningkat secara tajam namun cenderung konstan.

0 100 200 300 400 500

2 3 6 9 10

Tekanan (bar)

F

lu

k

s

(l/ja

m

2 .ja

m

)

25% 50% 75%

Gambar 11. Kurva tekanan vs Fluks Minyak-IPA pada Membran Ultrafiltrasi

Secara umum fluks meningkat dengan meningkatnya tekanan, tetapi peningkatan tekanan tidak selamanya dapat meningkatkan fluks. Diatas tekanan 6 bar (T3), fluks mulai konstan dengan meningkatnya tekanan. Mulder (1996) mengemukakan bahwa dalam padatan yang terlarut, ketika tekanan dinaikkan sampai batas tertentu akan menaikkan fluks tetapi setelah mencapai tekanan tertentu fluks tidak akan meningkat. Peristiwa meningkatnya tekanan yang tidak disertai kenaikan fluks ini sering dijelaskan dengan teori gel. Teori gel tersebut mengatakan bahwa kenaikan tekanan akan meningkatkan konsolidasi partikel – partikel yang membentuk lapisan fouling sehingga tahanan perpindahan juga meningkat akibat meningkatnya konsentrasi lapisan fouling (Wenten, 1999)


(53)

Rejeksi Fosfolipid

Mulder (1996) mengemukakan bahwa pada air murni semakin tinggi tekanan yang diberikan maka fluks air murni juga akan meningkat. Lain halnya dalam padatan terlarut, ketika tekanan dinaikkan sampai batas tertentu akan menaikkan fluks tetapi setelah mencapai tekanan tertentu fluks tidak akan meningkat. Ditambahkan pula bahwa rejeksi dapat tinggi pada proses pemisahan dengan menggunakan larutan campuran makromolekul dimana polarisasi konsentrasi sangat berpengaruh tehadap selektivitas. Molekul dengan berat molekul yang lebih tinggi akan tertahan seluruhnya dan menimbulkan lapisan dinamis seperti membran yang dapat menahan partikel padatan dengan berat molekul rendah.

Fosfolipid termasuk salah satu senyawa yang jika terdispersi didalam air membentuk misel. Jika misel tersebut berada didalam lingkungan pelarut non polar termasuk IPA cenderung membentuk reverse miscelle dengan rata-rata berat molekul 20 000 dalton (18 – 200 nm) (Patterson 1992; Paliegro et.al 2001). Adanya perbedaan berat molekul dengan trigliserida (800 dalton) memungkinkan fosfolipid sebagai retentat dalam proses degumming dengan ultrafiltrasi 10 000 dalton.

Peningkatan kondisi operasi tekanan yang diberikan terjadi peningkatan nilai fluks CPO-IPA. Peningkatan ini tidak akan terus terjadi jika kondisi operasi terus dinaikkan. Mulder (1996) mengemukakan bahwa dalam padatan yang terlarut, ketika tekanan dinaikkan sampai batas tertentu akan menaikkan fluks tetapi setelah mencapai tekanan tertentu fluks tidak akan meningkat. Selama proses filtrasi berlangsung pada membran ultrafiltrasi dapat dilihat bahwa terjadi penurunan permeat fluks pada awal filtrasi dibanding pada akhir filtrasi disebabkan oleh lapisan gel. Hal ini diduga karena dengan semakin tinggi tekanan yang diberikan fenomena polarisasi lebih berperan sedangkan fluks menjadi tidak sensitif lagi dengan tekanan yang diberikan. Fenomena polarisasi adalah proses terbentuknya gradien konsentrasi pada lapisan pembatas permukaan membran akibat akumulasi zat-zat terlarut yang tertahan oleh membran. Lapisan gel sendiri merupakan bagian dari lapisan polarisasi konsentrasi yang diduga berasal dari makromolekul (fosfolipid) dan terjadi pada saat kelarutan kritis tercapai


(54)

(Toyomota dan Higuchi 1992). Pada tekanan tinggi lapisan gel polarisasi yang terbentuk dari molekul yang terejeksi menumpuk pada permukaan membran menyebabkan aliran proses menjadi sangat tergantung pada konsolidasi lapisan tersebut (Cheryan 1996; Pagliero et al 2001)

Kadar fosfolipid (yang dapat diukur dengan kadar P) berdasarkan sidik ragam (Lampiran 2 Tabel 11), menunjukkan hasil yang tidak berbeda terhadap rata-rata nilai rejeksi Phospor. Rata-rata 60,43% - 81,16% phospor dapat direjeksi oleh membran. Fenomena tidak berpengaruhnya parameter operasi ini lebih banyak dipengaruhi oleh ukuran pori membran Ultrafiltrasi. Menurut Chiang dan Cheryan (1986), nilai koefisien rejeksi ultrafiltrasi dikendalikan terutama oleh ukuran pori dan distribusinya dan hanya sedikit dipengaruhi oleh parameter operasi (tekanan transmembran, laju alir umpan dan suhu).

Respon Permukaan (RSM) Tekanan Operasi dan Konsentrasi pada Membran Ultrafiltrasi

Dari hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa sumber keragaman dari regresi pada persamaan regresi yang diperoleh berbeda nyata. Berdasarkan uji t menunjukkan koefisien regresi yang berpengaruh adalah x1, x2 dan x3 pada taraf alpha 5%, sehingga dapat disimpulkan bahwa tekanan operasi dan konsentrasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap harga fluks.

Koefisien x2 yang negatif (yaitu peubah tekanan) menandakan bahwa pengaruh tekanan berbentuk parabolik, sehingga dapat ditentukan T (tekanan) maksimumnya. Koefisien x4 yaitu variabel M (konsentrasi) juga parabolik, sehingga dapat ditentukan konsentrasi maksimumnya. Secara keseluruhan permukaan respon sudah berbentuk bidang lengkung (ditandai dengan x2, dan x4 yang negatif) seperti pada Gambar 12.


(55)

Gambar 12. Respon Permukaan dari peubah Tekanan (T) dan Konsentrasi (M) terhadap fluks (Z).

Gambar 13. Analisa Kontur Respon Permukaan dari peubah Tekanan dan Konsentrasi terhadap fluks .

Dari model diatas (Z= -9,26552 + 92,8529T – 5.9126T2 + 1,5047M – 0,0301M2 + 0,0143 MT) dengan nilai koefisien determinan (R2 = 0,955) didapatkan nilai maksimum tekanan operasi adalah 8 bar pada konsentrasi 44 % dengan nilai fluks 428 l/m2.jam .

Pencucian Membran

Berdasarkan hasil filtrasi CPO dengan proses membran ultrafiltrasi diketahui bahwa fenomena polarisasi konsentrasi terjadi pada membran. Kejadian


(56)

tersebut menyebabkan kinerja membran menurun ditandai dengan penurunan fluks. Pencucian dengan bahan kimia, dalam penelitian ini yaitu NaOH didasarkan pada pertimbangan bahwa minyak sawit mengandung sejumlah asam lemak yang dapat bereaksi dengan alkali melalui reaksi saponifikasi. Asam lemak (R-COOH) tidak larut pada media asam tetapi larut pada pH alkali. Reaksi safonifikasi (hidrolisis aster) berlangsung sebagai berikut :

C3H5(RCOO)3 + 3 NaOH Æ C3H5(OH)3 + 3 RCOONa

Sabun yang dihasilkan pada reaksi safonifikasi ini membentuk agregat yang hidrofilik (COO- Na+) dapat menggerus asam lemak yang hidrofobik. Sabun ini tidak larut pada kondisi asam. NaOH yang merupakan bahan alkali merupakan bahan yang efektif sebagai bahan penyabun dan juga dapat menetralisasi minyak, namun beberapa kelemahan NaOH adalah kemampuan sebagai penyangga yang terbatas.

Untuk mengetahui fouling pada membran UF dilakukan pengukuran fluks air sebelum (LPO) dan setelah filtrasi (LPL), untuk mendapatkan nilai permeabilitas membran. Permeabilitas membran merupakan parameter karakteristik membran yang sangat penting untuk diketahui. Permeabilitas membran menunjukkan kemampuan membran dalam melewatkan air destilasi. Nilai permeabilitas diperoleh dengan menghitung gradien (slope) grafik hubungan antara tekanan transmembran dengan fluks. Permeabilitas membran ultrafiltrasi dengan variasi tekanan dapat dilihat pada Gambar 14.

y = 93.914x + 112.95 R2 = 0.9984

y = 77.823x + 120.7 R2 = 0.9755 y = 74.405x + 81.387

R2 = 0.9912

0 200 400 600 800 1000 1200

0 2 4 6 8 10 12

Tekanan (bar) F lu k s ( l/m 2 .ja m )

Membran ssebelum penelitian Dicuci dengan NaOH 0,1N Dicuci dengan NaOH 0,2N

Gambar 14. Kurva Perncucian Membran menggunakan larutan NaOH 0,1N dan 0,2 N pada Membran Ultrafiltrasi


(57)

Pada gambar diatas terlihat bahwa, nilai fluks meningkat secara linear dengan semakin meningkatnya tekanan. Pola perilaku fluks permeat tersebut sesuai dengan hukum Darcy yang menyatakan bahwa, fluks permeat pada proses membran kenaikannya sebanding dengan tekanan transmembran yang digunakan (fluks ≈∆PT).

Permeabilitas membran mengalami penurunan walaupun telah dilakukan pencucian dengan NaOH yaitu dari 93,914 l/m2.jam.bar (sebelum penelitian) menjadi 77,823 l/m2.jam.bar. Berdasarkan uji kesejajaran dua garis regresi menggunakan uji-t (Lampiran 2) antara pemeabilitas membran sebelum proses dan pencucian menggunakan NaOH konsentrasi 0,2 N menunjukkan kedua garis (permeabilitas) tidak berbeda nyata. Demikian juga antara NaOH 0,1N dan NaOH 0,2 N menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf alpha 1 % Hal ini menunjukkan konsentrasi yang lebih tinggi masih dibutuhkan untuk menetralisasi minyak, namun perlu diperhatikan dengan kerusakan membran pada konsentrasi yang ekstrim. Membran dapat mengalami kerusakan baik pada proses fisik maupun kimia, seperti tekanan dan temperatur yang tinggi serta pH yang ekstrim (L.Lin,K.C et.al 1998).

Tabel 11. Pemulihan Kinerja Membran UF Dengan Pencucian Menggunakan NaOH 0,1 N dan 0,2 N

Fluks

(l/m2.jam.bar) Pemulihan (%)*) 0,1 N 0,2 N

Tekanan

(bar) LPO LPL LPL 0,1 N 0,2 N

3 394 304 354 77,17 89,73

4 488 379 431 77,57 88,41

6 676 527 587 78,03 86,87

8 864 676 743 78,29 86,00

10 1052 825 898 78,46 85,44

* (LPL/LPO)x100

Berdasarkan tabel diatas, pemulihan kinerja membran berkisar antara 77,17 – 78,46 % untuk 0,1 N dan 85,44 – 89,73% untuk konsentrasi NaOH 0,2N.


(58)

Bilangan Asam

Asam lemak dinyatakan sebagai bilangan asam. Bilangan asam suatu minyak didefinisikan sebagai jumlah miligram NaOH yang dibutuhkan untuk menetralkan FFA dalam 1 gram minyak (Guenther, 1952)

Asam-asam lemak bebas (FFA) yang terkandung di dalam minyak dapat terbentuk dari proses degradasi ester oleh air. Dalam hal ini asam dapat berfungsi sebagai katalisator yang mempercepat penguraian ester menjadi asam dan alkohol. Selain itu asam dapat pula berasal dari hasil oksidasi alkohol primer menjadi aldehid dan asam karboksilat. Terjadinya proses tersebut dapat dipicu dengan kondisi penyimpanan yang buruk dan umur simpan yang tinggi (Guenther, 1952)

Adanya FFA dalam minyak akan mudah terhidrolisa menjadi ketonik-ketonik yang menyebabkan ketengikan yang disebut hydrolitic rancidity yaitu ketengikan yang terjadi akibat adanya proses hidrolisa. Semakin besar kandungan FFA dalam minyak, semakin besar jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralisasi, berarti semakin besar bilangan asam dari minyak tersebut. Tingginya nilai bilangan asam merupakan suatu indikasi terjadinya penurunan mutu.

Adanya gum dalam minyak akan mempercepat terjadinya peristiwa hidrolisis dan oksidasi pada minyak yang menyebabkan semakin tingginya kadar asam lemak bebas dalam minyak tersebut. Kandungan air yang terdapat dalam minyak akan menyebabkan terjadinya proses hidrolisis dalam minyak yang menyebabkan semakin tingginya nilai FFA. Pemanasan juga dapat menyebabkan pengurangan jumlah asam lemak bebas karena asam lemak bebas yang mempunyai berat molekul atau jumlah atom karbon pada rantainya kurang dari 14 dapat menguap (Winarno, 1997).


(59)

b

a

c

d e 0

5 10 15 20

Bi

lang

a

n

A

s

am (

%

)

Kontrol Netralisasi

Wet degumming Membran UF

Gambar 15. Histogram Bilangan Asam Proses Degumming dan Netralisasi, balok dengan huruf yang tidak sama adalah berbeda nyata dengan uji BNJ 5%(BNJ= 0,532)

Dari Gambar 15, menunjukkan bahwa pada proses degumming menggunakan H3PO4 terjadi peningkatan bilangan asam, hal ini disebabkan gum-gum masih tertinggal dan juga pada prosesnya menggunakan metode wet degumming yang melibatkan air yang menyebabkan proses hidrolisis dalam minyak dan akan menyebabkan FFA meningkat. Sedangkan pada proses ultrafiltrasi bilangan asam mengalami penurunan, namun FFA tidak dapat ditahan seluruhnya oleh membran hal ini disebabkan ukuran dan berat molekul FFA jauh lebih kecil dari ukuran pori membran UF.

Pada proses netralisasi dengan menggunakan NaOH, minyak hasil membran UF menjadi lebih efektif dalam netralisasinya, hal ini ditunjukkan dengan turunnya nilai bilangan asam dibandingkan dengan minyak hasil degumming dengan metode wet degumming. Hal ini disebabkan dengan membran UF, gum yang terdiri dari fosfatida lebih banyak terbuang dibandingkan dengan menggunakan H3PO4.

Bilangan Peroksida (PV)

Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan kerusakan pada produk minyak atau lemak. Menurut Roh dan Blaschke (1994), bilangan peroksida merupakan ukuran kesegaran atau keadaan terjadinya autooksidasi lemak/minyak. Penyebab proses autooksidasi pada minyak/lemak adalah adanya


(1)

kemudian dititrasi dengan NaOH 0,02N dengan indikator phenopthalein sampai tepat terbentuk warna merah jambu.

Perhitungan 100% B BA) -(BR n Tersabunka Tidak

Fraksi = x

Keterangan :

BR : Bobot residu (gram) BA : Bobot asam lemak (gram) B : Bobot contoh (gram) 0,056 = BM NaOH/1000

11. Phosfor (AOAC, 1999)

Persiapan pereaksi

Sebanyak 20 gram amonium molibdat dilarutkan dalam 400 ml aquades hangat (500C) dan didinginkan. Sebanyak 1 gram amonium vanadat (amonium meta vanadat) dilarutkan dalam 300 ml aquades mendidih kemudian didinginkan. Selanjutnya perlahan-lahan ke dalam larutan amonium vanadat ditambahkan 140 ml asam nitrat pekat sambil diaduk. Larutan molibdat dimasukkan ke dalam larutan vanadat dan diaduk, kemudian diencerkan sampai volume 1 liter dengan aquades. Pembuatan larutan fosfat standar dan kurva standar

Sebanyak 3,834 gram KH2PO3 dilarutkan dalam aquades dan diencerkan sampai volume 1 liter. Kemudian sebanyak 25 ml larutan tersebut dimasukkan dalam labu takar 250 ml dan diencerkan samapi tanda tera (1 ml = 0,2 mg P2O5).

Masing-masing sebanyak 0, 2,5, 5, 10, 20, 30, 40 dan 50 ml larutan fosfat standar dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan masing-masing ke dalam labu takar ditambahkan 25 ml pereaksi vanadat-molibdat. Kemudian masing-masing labu takar diencerkan sampai volume 100 ml dengan aquades. Larutan didiamkan selama 10 menit dan diukur absorbansi degan spektrofotometer dengan panjang gelombang 400 nm. Masing-masing labu takar mengandung 0, 0.5, 1, 2, 4, 6, 8


(2)

dan 10 mg P2O5/ 100 ml. dibuat kurva standar antara absorbansi vs mg P2O5/100 ml

Persiapan sampel

Sampel ditimbang sebanyak 5 gram didalam gelas piala 150 ml. kedalam gelas piala ditambahkan 20 ml asam nitrat pekat, kemudian didihkan selama 5 menit. Selanjutnya didinginkan dan ditambahkan 5 ml asam sulfat pekat. Larutan dipanaskan dan disempurnakan digestion dengan penambahan HNO3 setetes demi setetes sampai larutan tidak berwarna, kemudian dilanjutkan dengan pemanasan hingga timbul asap putih dan didinginkan.

Ke dalam gelas piala ditambahkan 15 ml aquadest dan didihkan lagi selama 10 menit. Setelah dingain, dipindahkan ke dalam labu takar 250 ml. Gelas piala dibilas sampai bersih dan air bilasan dimasukkan ke dalam labu takar. Selanjutnya larutan dalam labu takar diencerkan sampai tanda tera dengan aquades.

Penetapan sampel

Sebanyak 10 ml larutan sampel dimasukkan dalam labu takar 100 ml, kemudian ke dalam labu takar ditambahkan 40 ml aquades dan 25 ml pereaksi vanadat molibdat dan diencerkan sampai tanda tera. Larutan didiamkan selama 10 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 400 nm. Nilai absorbansi dibandingkan dengan standar fosfor yang telah diketahui konsentrasinya. Perhitungan : W 2,5 x C )(%) O (P sampel dalam

Fosfor 2 5 =

Keterangan : C = konsentrasi fosfor dalam sampel (mg/100 ml) yang terbaca dari kurva standar

W = berat sampel yang digunakan


(3)

Nilai yang diperoleh digunakan untuk menentukan tingkat penolakan membran atau rejeksi membran. Nilai rejeksi membran ditentukan dengan menggunakan persamaan : % 100 x Cr Cp Cr− = σ keterangan : σ = nilai rejeksi

Cp = Konsentrasi zat pada permeat Cr = konsentrasi zat pada konsentrat

13. Fluks (Mulder, 1996)

Permeat yang keluar selama satu menit ditampung dalam gelas ukur. Nilai fluks ditentukan dengan rumus :

) ( 1000 60 1 ) / ( 2 m membran luas x digunakan yang membran jumlah x ml menit x liter x menit ml permeat Fluks=


(4)

Lampiran 7. Analisa GC

Gambar 1. Hasil Analisa GC CPO(kontrol)


(5)

(6)

Lampiran 8. Foto-foto hasil penelitian

Gambar 4. Minyak sebelum dan sesudah filtrasi dengan membran ultrafiltrasi. (Dari kiri CPO, permeat dan retentat.)

Gambar 5. Proses pencucian menggunakan corong pemisah.

Gambar 6. Minyak Hasil proses Degumming Membran dan Konvensional. (Dari kiri CPO, degumming konvensional, netralisasi konvensional, degumming membran, netralisasi membran)