PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DIKALANGAN STREET LEVEL BUREAUCRACY (Studi Pada RKP Pekon Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu Tahun 2012)

(1)

PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DIKALANGAN STREET LEVEL BUREAUCRACY

(Studi Pada RKP Pekon Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu Tahun 2012)

Oleh Agung Saputra

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ADMINISTRASI NEGARA

Pada

Jurusan Ilmu Administrasi Negara

FAKULTAS ILMU SOSIAL dan ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRACK

IMPLEMENTATION OF GOOD GOVERNANCE IN THE STREET LEVEL OF BUREAUCRACY

(Study on the RKP of Village Sukoharjo III, Sub-District Sukoharjo, District Pringsewu in 2012)

By Agung Saputra

The village of Sukoharjo III, sub-district Sukoharjo, district Pringsewu is one of the villages that are implementing the concept of governance in its government. Where in village Sukoharjo III has the village apparaturs set up, manage and serve the interests of the local community in terms of organizing government village. But government officials have not been able to create, village good performance. Hence, then the formulation of problems in this research is how to implement good governance among all these street level of bureaucracy in RKP village sukoharjo III, sukoharjo, Regency Pringsewu in 2012 and what are the obstacles faced in the implementation of good governance among street-level bureaucracy in the RKP village Sukoharjo III, Sukoharjo, Pringsewu Regency in 2012?

The implementation of this research is located on village Sukoharjo III, sub-district Sukoharjo, sub-district Pringsewu. The technique of the collection of file used, there are three different types namely: observation, documentation, and an interview. Focus on research was taken from the main principles underlying good governance, namely accountability, transparency, and participation. While a method of research are the type of research descriptive with a qualitative approach.

In this research can be concluded that street level of bureaucracy Sukoharjo III has not yet succeeded in applying transparency, efforts to street level of bureaucracy in order to create public participation actively has not been realized, and the application of accountability made by street-level bureaucracy more addressed to the board of supervisors only. While the obstacles faced was the lack of an existing facility and the quality of human resources who are less qualified.

Keywords: good governance, transparency, participation, accountability, street level of bureaucracy.


(3)

(4)

llama Mahasiswa

Nomor Pokok Mahasiswa Jurusan

Fakultas

EIIXEAUCfrACIi'(Studl Pada EI{P Pekon

$ukoharJo

III, Kecamatan

Sukohfldo,

I{abupaten

Prlngseum

Tahun

2OA2,

Aglur,r11Saputra

07L6A470L4

Administrasi Negara

Ilmu Sosial dan

llmu

Politik

MENTETUJUI

1. Komisi Pembimbing

2. Ketua Jurusan

Dr. Dedt

llermawan, S.fu6.,

M.Si. r{rP tr9750720 200312 1 002

nfn

Suffi4fo;F,

S.AFI.,

!I.rA


(5)

1. Tim Pengqii

Ketua

:

:

:

$lmon

Suma4foyo,,Sj{N.,

I!I.P[

Penguji Utama

Iladlaltran, ltl.Sl.

109 198605

I

OO2

Tanggal Lulus Ujian'Skripsi :

09 September

2O15

:

Dr.

Dcdl

fleruaran,

S.Soo",

m@,-,1.

Fakultas Ilmu Sosial dan'Ilmu Politik


(6)

Dengan ini saya rnenyatakan bahwa:

Karya tulis sayq Skripsi/Laporan Akhir ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (Sarjana), baik di Universitas Lampung maupun di perguruan tinggi lainnya.

Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain; kecuali arahan pembimbing dan penguji.

Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis

atau dipublikasikan orang lairl kecuali secara tertulis dengan jelas

dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan uama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini,

maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh dari karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dEngan nonna yang berlaku di Universitas Lampung.

Bandar Lampung, 09 September 2013

l.

.,

J.

4.

buat

I

Pernyataan


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Kegunaan Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

A. Tinjauan Good Governance ... 13

1. Pengertian Good Governance ... 13

2. Aktor-Aktor Good Governance ... 15

3. Prinsip-Prinsip Good Governance ... 16

4. Kendala Mewujudkan Good Governance ... 18

B. Tinjauan Transparansi ... 19

1. Pengertian Transparansi ... 19

2. Indikator Transparansi ... 20

3. Mekanisme Transparansi ... 21

C. Tinjauan Partisipasi ... 21

1. Pengertian Partisipasi ... 21

2. Indikator Partisipasi ... 22

3. Mekanisme Partisipasi ... 23

D. Tinjauan Akuntabilitas ... 23

1. Pengertian Akuntabilitas ... 23

2. Indikator Akuntabilitas ... 24


(8)

3. Kekuatan dan Kelemahan Street Level Bureaucracy ... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

A. Tipe dan Jenis Penelitian ... 31

B. Fokus Penelitian ... 31

C. Lokasi dan Unit Analisis Penelitian ... 32

D. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ... 33

1. Jenis Data ... 33

2. Metode Pengumpulan Data ... 34

E. Teknik Analisis Data ... 35

F. Keabsahan Data... 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 40

1. Gambaran Umum pekon Sukoharjo III ... 40

2. Gambaran Umum Pemerintah Pekon Sukoharjo III ... 46

B. Rencana Kegiatan Pekon (RKP) Pekon ... 51

C. Penyajian Data ... 53

1. Penerapan Transparansi, Partisipasi, dan Akuntabilitas pada RKP Pekon Tahun 2012 ... 53

a. Transparansi ... 53

b. Partisipasi ... 63

c. Akuntabilitas ... 66

2. Kendala yang Dihadapi Pemerintah Pekon Sukoharjo III dalam Menerapkan Prinsip-Prinsip Good Governance pada RKP Pekon Tahun 2012 ... 72

a. Kendala Penerapan Prinsip Transparansi ... 72

b. Kendala Penerapan Prinsip Partisipasi ... 78

c. Kendala Penerapan Prinsip Akuntabilitas ... 81

D. Pembahasan ... 91

1. Penerapan Transparansi, Partisipasi, dan Akuntabilitas pada RKP Pekon Tahun 2012 ... 91

a. Transparansi ... 92

b. Partisipasi ... 97

c. Akuntabilitas ... 100

2. Kendala yang Dihadapi Pemerintah Pekon Sukoharjo III dalam Menerapkan Prinsip-Prinsip Good Governance pada RKP Pekon Tahun 2012 ... 105

a. Kendala Penerapan Prinsip Transparansi ... 105

b. Kendala Penerapan Prinsip Partisipasi ... 107


(9)

B. Saran ... 117

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Daftar Program RPJM Pekon Sukoharjo III ... 7

2. Daftar RKP Pekon Sukoharjo III ... 8

3. Permasalahan dalam RKP Pekon Sukoharjo III ... 9

4. Indikator Prinsip Transparansi ... 20

5. Indikator Prinsip Partisipasi ... 22

6. Indikator Prinsip Akuntabilitas ... 25

7. Nama-nama Kepala Pekon Sukoharjo III ... 41

8. Data Angkatan Kerja menurut Tingkat Pendidikan Pekon Sukoharjo III... 43

9. Data Jumlah Sarana dan Lembaga Pendidikan Pekon Sukoharjo III ... 44

10.Data Jumlah Pemeluk Agama Pekon Sukoharjo III ... 44

11.Data Mata Pencaharian Pekon Sukoharjo III ... 45

12.Data Inventaris Alat/Barang Pemerintah Pekon Sukoharjo III ... 73

13.Data Pegawai Pemerintah Pekon Sukoharjo III ... 85


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Struktur Organisasi Pemerintah Pekon Sukoharjo III ... 50 2. Kondisi Papan Informasi Pekon Sukoharjo III ... 58


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsep governance dikembangkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap konsep

government yang terlalu meletakkan negara (pemerintah) dalam posisi yang

terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik yang mempunyai kekuatan pemaksa secara sah yang merepresentasikan kepentingan publik. Mekanisme pemerintahan yang paling menentukan adalah kapasitas ruling dan regulating, yang membuat pemerintah mampu mengarahkan dan mengatur semua komponen yang ada didalam masyarakat. Pemikiran semacam ini dianggap oleh banyak pihak mendorong, atau minimal membenarkan, pemerintah yang bukan hanya kuat, namun juga pemerintah yang terlalu dominan dan meremehkan kekuatan yang ada di masyarakat, baik kekuatan swasta maupun masyarakat sipil.

Aktor yang terlibat di dalam governance tidak hanya negara (pemerintah) tetapi juga sektor swasta dan masyarakat. Kesemuanya merupakan aktor yang memiliki


(13)

peran sama penting dalam sebuah penyelenggaraan pemerintahan. Negara (pemerintah) berperan dalam menciptakan situasi politik dan hukum yang kondusif. Sektor swasta berperan dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan. Masyarakat berperan dalam memfasilitasi interaksi secara sosial dan politik yang memadai bagi mobilisasi individu atau kelompok-kelompok masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas, ekonomi, sosial dan politik. Dengan kata lain, birokrasi dituntut agar mempunyai karakter bersih, terbuka, akuntabel, responsive, berorientasi pada kepentingan masyarakat, dan mendorong partisipasi masyarakat bagi keterlibatan dalam proses pembuatan, pelaksanaan dan kontrol kebijakan.

Isu governance mulai memasuki arena perdebatan pembangunan di Indonesia

didorong oleh adanya dinamika yang menuntut perubahan-perubahan disisi pemerintah, swasta, maupun disisi masyarakat. Pemerintah diharapkan menjadi lebih demokratis, efisien dalam penggunaan sumber daya publik, efektif menjalankan fungsi pelayanan publik, lebih tanggap, serta mampu menyusun kebijakan, program dan hukum yang dapat menjamin hak asasi dan keadilan sosial. Peran pemerintah sebagai pembangun maupun penyedia jasa pelayanan dan infrastruktur akan bergeser menjadi badan pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di komunitas dan sektor swasta untuk aktif melakukan upaya tersebut (Sedarmayanti, 2007: 2-3).

Sejalan dengan harapan baru terhadap peran negara tersebut, masyarakat juga diharapkan untuk menjadi masyarakat yang memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya, lebih terinformasi, memiliki solidaritas terhadap sesama, bersedia


(14)

berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan urusan publik, memiliki kemampuan untuk berurusan dengan pemerintah dan institusi publik lainnya, tidak apatis, serta tidak mementingkan diri sendiri. Dalam pelaksanaan pembangunan misalnya, peran pemerintah akan mejadi semakin berkurang, dimana pemerintah lebih berperan sebagai regulator atau fasilitator guna menciptakan iklim kondusif bagi pelaksanaan proses pembangunan nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peran pemerintah yang semakin berkurang akan menyebabkan dunia usaha swasta dan masyarakat memiliki peran yang sama untuk ikut serta dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan dan merumuskan kebijakan publik. Dengan demikian, peran pemerintah, dunia swasta, dan masyarakat menjadi lebih seimbang karena pihak swasta dan masyarakat yang mengawasi kinerja pemerintah, sehingga dapat mendukung pemerintah untuk dapat lebih demokratis dan lebih berkualitas demi terciptanya kepemerintahan yang baik (good

governance).

Kunci utama untuk memahami kepemerintahan yang baik (good governance) adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang terdapat di dalamnya. Selain itu, penyelenggaraan kepemerintahan yang baik dan bertanggungjawab baru akan tercapai apabila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi, dan administrasi ketiga komponen good governance tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara. Interaksi dan kemitraan seperti ini biasanya baru dapat berkembang subur apabila prinsip-prinsip good governance telah diterapkan dengan baik. Banyak pakar dan institusi merumuskan prinsip-prinsip good governance, tetapi pada dasarnya ada kesamaaan pandangan tentang prinsip mendasar dalam good


(15)

governance yaitu, akuntabilitas, transparansi dan partisipasi. Ketiga prinsip ini menjadi pilar utama dalam pelaksanaan good governance karena dirasakan sebagai hal yang paling substansial dalam konsep good governance (Sedarmayanti, 2009: 289-230).

Penerapan good governance menuntut adanya perubahan yang ekstensif, terutama dalam peran negara (pemerintah), dimana negara (pemerintah) merupakan organisasi kekuasaan yang mempunyai kewenangan mengatur setiap anggota masyarakat melalui hukum dan perundang-undangan (regulasi). Negara (pemerintah) didirikan dan memperoleh kedaulatannya berdasarkan persetujuan rakyat yang diatur dalam suatu perjanjian atau kontrak (social contract) dalam bentuk konstitusi atau undang-undang dasar. Secara universal, negara (pemerintah) didirikan untuk melindungi dan melayani warganya dengan menciptakan keamanan, ketertiban, hukum dan keadilan, kesejahteraan masyarakat serta perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini dilakukan oleh negara (pemerintah) melalui undang-undang, peraturan dan berbagai kebijakan lainnya serta dengan menegakkan hukum dan peraturan perundang-undangan tersebut. Untuk melaksanakan fungsinya, maka negara (pemerintah) mempunyai alat-alat kelengkapan seperti eksekutif, legislatif, yudikatif, aparat keamanan dan pertahanan (polisi, militer, intelijen) dan juga birokrasi (pegawai negeri).

Birokrasi merupakan sebuah organisasi besar yang memiliki fungsi yang luas serta aparat (pegawai) pada setiap tingkatan (level). Para pemegang


(16)

jabatan-jabatan penting berada pada level yang tinggi (high), sedangkan yang selalu berhadapan langsung dengan masyarakat dalam hal pelayanan biasanya berada pada level bawah (low). Orang-orang yang berada dalam level bawah inilah biasa disebut dengan birokrasi dalam tingkat street level atau street level bureaucracy.

Street level sebagai garda terdepan dari pelayanan dan berhadapan langsung

dengan publik, adalah pihak yang pertama kali yang bertemu dan bertatap muka dengan publik. Sehingga, seluruh keluh kesah, tanggapan, respon dan juga tindakan yang dilakukan publik yang tercermin dalam pada tindakan individu didalamnya langsung mereka hadapi.

Pemerintahan di tingkat desa merupakan aparatur yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Kedudukan Pemerintahan Desa dalam tatanan sistem Pemerintahan Indonesia merupakan organisasi pemerintah terendah yang langsung berhubungan dengan masyarakat dan diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kedudukan tersebut menempatkan desa sebagai sentral dari program-program kegiatan pemerintah terutama yang datang dari atas. Apalagi saat ini program-program pembangunan diprioritaskan dan diarahkan kedaerah pedesaan. Dengan demikian Pemerintah Desa dituntut untuk dapat berfungsi secara maksimal dalam mengemban tugas yang diserahkan kepadanya.

Kekuasaan dalam birokrasi pemerintahan tingkat bawah dan tingkat atas sesungguhnya sangat tidak seimbang. Ini memberikan suatu tekanan kepada aparat birokrasi di tingkat bawah sehingga rakyat yang seharusnya memperoleh pelayanan dari birokrasi pemerintahan tidak didapatkan, karena konstilasi


(17)

kekuasaan seperti itu, maka situasinya dibalik, rakyat melayani birokrat. Penggunaan kekuasaan seperti itu lebih memberikan penekanan pada sisi power. Oleh karena penekanannya pada kemampuan untuk melakukan tindakan, maka kekuasaan dijadikan sebagai sarana dominasi.

Dikalangan street level bureaucracy, khususnya untuk lingkup daerah pedesaan pelaksanaan atau penerapan prinsip-prinsip good governance masih belum bisa berjalan dengan baik seperti yang diharapkan oleh masyarakat khususnya. Dimana aparat birokrasi daerah belum mampu menciptakan suatu sistem pelayanan yang baik. Dalam menciptakan suatu sistem kepemerintahan yang baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance di level pemerintahan desa memang cukup sulit untuk diwujudkan. Hal ini tidak terlepas juga dari tingkat pemahaman dari seorang pemimpin itu sendiri dan khususnya kepala pekon yang memiliki wewenang penuh atas pelaksanaan birokrasi di daerahnya tentang arti dan tujuan dari good governance itu sendiri.

Pekon Sukoharjo III Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu pekon yang melaksanakan pemerintahan pekon. Dimana di pekon sukoharjo III memiliki aparat pekon yang mengatur, mengurus dan melayani kepentingan masyarakat setempat dalam hal penyelenggaraan pemerintahan pekon. Aparat pekon inilah yang bertanggung jawab mulai dari pelaksanaan administrasi sampai pelaksanaan pembangunan di pekon dan membuat masyarakat setempat berperan aktif demi kemajuan pekon.

Pekon diharuskan mempunyai perencanaan yang matang berdasarkan partisipasi, transparansi serta demokrasi yang berkembang di pekon, maka pekon diharuskan


(18)

mempunyai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pekon (RPJM Pekon) yang memuat arah kebijakan keuangan pekon, strategi pembangunan pekon, program kerja pekon dan ditetapkan dengan peraturan pekon, kemudian dijabarkan kedalam Rencana Kegiatan Pekon (RKP Pekon) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Rencana pembangunan pekon ditetapkan dengan keputusan kepala pekon dan disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan.

Berikut adalah daftar kegiatan yang menjadi sasaran pelaksanaan program Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pekon (RPJM Pekon) di Pekon Sukoharjo III.

Tabel 1. Daftar program RPJM Pekon Sukoharjo III.

No Sasaran Kegiatan

1. Sarana dan Prasarana 1. Pembangunan / rehap Balai dan Kantor Pekon 2. Saluran air

3. Jembatan dan gorong-gorong

2. Ekonomi 1. Mengembangkan BUMPek

2. Saluran air pertanian 3. Sosial Budaya 1. Peningkatan Siskamling

2. Peningkatan gotong royong 4. Pendidikan 1. Pelatihan Wirausaha

2. Peningkatan SDM (PKK dan Kader Keuangan Pekon)

3. Pelatihan pertanian

5. Kesehatan 1. Perbaikan saluran pembuangan 2. MCK / jamban keluarga 6. Agama 1. Pembangunan / rehap Masjid

2. Pembangunan / rehap Mushola 3. Pembangunan / rehap Gereja


(19)

Berdasarkan rencana kerja yang dimiliki oleh Pekon Sukoharjo III tersebut, maka Pemerintah Pekon menjabarkan kedalam RKP Pekon. RKP Pekon Sukoharjo III ini merupakan rencana strategis pekon Sukoharjo III untuk mencapai tujuan dan cita-cita pekon. RKP Pekon tersebut nantinya akan menjadi dokumen perencanaan yang akan menyesuaikan perencanaan tingkat Kabupaten. Spirit ini apabila dapat dilaksanakan dengan baik maka akan memiliki sebuah perencanaan yang memberi kesempatan pada pekon untuk melaksanakan kegiatan perencanaan pembangunan yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (Good

Governance) seperti partisipasi, transparansi dan akuntabilitas.

Berikut adalah daftar kegiatan yang menjadi sasaran pelaksanaan program Rencana Kegiatan Pekon (RKP Pekon) Sukoharjo III.

Tabel 2. Daftar program RKP Sukoharjo III

No Sasaran Kegiatan

1. Sarana dan Prasarana Pembangunan / rehap Balai dan Kantor Pekon Saluran air

Jembatan dan gorong-gorong

2. Ekonomi Mengembangkan BUMPek

3. Pendidikan Peningkatan SDM (PKK dan Kader Keuangan Pekon)

4. Agama Pembangunan / rehap Masjid

5. Kesehatan Perbaikan saluran pembuangan

Sumber : SPJ-ADP Pekon Tahun 2012

Kenyataan yang terjadi didalam pelaksanaan program-program pemerintah pekon ini, masih sangat banyak dijumpai penyimpangan dari pihak-pihak terkait yang mencerminkan lemahnya penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas oleh


(20)

aparat pekon Sukoharjo III. Selain itu, kurangnya partisipasi masyarakat secara aktif terhadap pelaksanaan kegiatan pekon menyebabkan tidak adanya bentuk laporan pertanggungjawaban dari pihak aparat pekon kepada masyarakat setempat karena lemahnya kontrol dari masyarakat sendiri. Kompleknya permasalahan dalam pelaksanaan program di pekon Sukoharjo III dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 3. Permasalahan dalam Program RKP Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu.

Indikator Good Governance Permasalahan

Transparansi

1. Kurangnya sarana dan prasarana informasi yang memadai sehingga sosialisasi kurang maksimal

2. Kurangnya kerjasama Pemerintah Pekon dengan pihak media sehingga masyarakat tidak mengetahui adanya kegiatan pembangunan karena publikasi yang minim

Partisipasi

1. Tidak terdapat keterlibatan secara aktif dari masyarakat dalam RKP Sukoharjo III Tahun 2012.

2. Keterlibatan pihak non pemerintah (media) kurang begitu terlihat sehingga masyarakat tidak bisa berperan aktif dalam kegiatan pengawasan program ini.

Akuntabilitas

1. Kurangnya tanggung jawab untuk menyelesaikan pembangunan, melakukan perbaikan dan pemeliharaan terhadap sarana yang belum lama selesai dibangun. 2. Pelaksanaan kegiatan dalam program

pembangunan ini hanya seolah-olah demi berjalannya program kerja pemerintah pekon


(21)

Keadaan mengenai permasalahan yang terjadi di pekon Sukoharjo III juga diperkuat oleh salah satu anggota Badan Himpun Pemekonan (BHP), Sugi Hartono, dalam wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Agustus 2012 sampai bulan Oktober 2012 yang menyatakan bahwa aparat pekon Sukoharjo III kurang melibatkan masyarakat secara aktif, aparat pekon lebih terkesan tertutup dalam melaksanakan program-program yang ada di pekon Sukoharjo III. Seharusnya dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Pekon harus mengakomodasi aspirasi dari masyarakat melalui Badan Himpun Pemekonan dan Lembaga Kemasyarakatan yang ada sebagai mitra Pemerintah Pekon yang mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat senantiasa memiliki dan turut serta bertanggung jawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga Pekon.

Permasalahan dikalangan street level bureaucracy di pekon Sukoharjo III pada RKP Pekon belum bisa menunjukkan baiknya kinerja aparat pekon dalam rangka penerapan transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Masih ada sikap dan perilaku aparat pekon yang belum menunjukkan adanya penerapan transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di pekon Sukoharjo III.

Bertolak dari permasalahan yang terjadi dikalangan street level bureaucracy di pekon Sukoharjo III, menjadi dasar pertimbangan bagi peneliti untuk melakukan kajian secara komprehensif tentang Penerapan Good Governance dikalangan

Street Level Bureaucracy (Studi pada RKP Pekon Sukoharjo III, Kecamatan


(22)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka perumusan masalahnya adalah:

1). Bagaimana penerapan good governance dikalangan street level bureaucracy pada RKP Pekon Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu Tahun 2012?

2). Apa saja kendala yang dihadapi dalam penerapan good governance dikalangan

street level bureaucracy pada RKP Pekon Sukoharjo III, Kecamatan

Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu Tahun 2012?

C. Tujuan Peneltian

1). Untuk mendeskripsikan dan menganalisis penerapan good governance dikalangan street level bureaucracy pada RKP Pekon Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten PringsewuTahun 2012.

2). Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kendala-kendala yang dihadapi dalam penerapan good governance dikalangan street level bureaucracy pada RKP Pekon Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu Tahun 2012.


(23)

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara teoritis: Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan Ilmu Administrasi Publik, khususnya studi tentang penerapan prinsip-prinsip good governance.

2. Secara praktis: Diharapkan penelitian ini dapat memberi masukan kepada Pemerintah pekon Sukoharjo III, kecamatan Sukoharjo, kabupaten Pringsewu untuk memperbaiki kinerja dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan berpegang pada prinsip-prinsip good governance.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Good Governance

1. Pengertian Good Governance

Padanan kata governance dalam bahasa Indonesia adalah penadbiran, yang berarti pemerintahan, pengelolaan (Billah, 2001). Dasar kata penadbiran adalah tadbir, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) berarti perihal mengurus atau mengatur (memimpin/mengelola), pemerintahan, dan administrasi. Sedangkan penadbir berarti pengurus atau pengelola. Kata government dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai pemerintah, dengan demikian sama maknanya dengan penadbir (Sedarmayanti, 2009: 273).

Governance lebih merupakan serangkaian proses interaksi sosial politik antara

pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan tersebut. Sedangkan arti good dalam kepemerintahan yang baik (good governance) mengandung pemahaman:


(25)

a. Nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan, kemandirian, pembangunan berkelanjutan, dan keadilan sosial.

b. Aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif, efisien dalam pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan (Sedarmayanti, 2009: 274).

c. Kepemerintahan (governance) sebagaimana dikemukakan oleh Kooiman (1993) adalah governance lebih merupakan serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut (Sedarmayanti, 2009: 273).

Secara umum, governance diartikan sebagai kualitas hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang dilayani dan dilindunginya, private sectors (sektor swasta/ dunia usaha), dan society (masyarakat). Oleh sebab itu, good governance sektor publik diartikan sebagai suatu proses tata kelola pemerintahan yang baik, dengan melibatkan stakeholders terhadap berbagai kegiatan perekonomian, sosial politik, dan pemanfaatan berbagai sumber daya seperti sumber daya alam, keuangan, dan manusia bagi kepentingan rakyat yang dilaksanakan dengan menganut asas keadialan, pemerataan, persamaan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas (World

Conference on Governance, UNDP, 1999 dalam Sedarmayanti, 2007: 2).

Sedangkan OECD dan World Bank mengartikan good govenance sebagai penyelenggaraan manajemen pembangunan solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi secara politik dan administratif,


(26)

menjalankan disiplin anggaran serta menjalankan kerangka kerja politik dan hukum bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan (Sedarmayanti, 2009: 273).

2. Aktor-aktor Good Governance

Aktor-aktor good governance menurut Sedarmayanti (2009: 280), antara lain:

1. Negara/pemerintah: konsepsi kepemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan-kegiatan kenegaraan, tetapi labih jauh dari itu melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masayarakat madani. Peran pemerintah melalui kebijakan publiknya sangat penting penyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari. Dalam kaitannya dengan bidang pendidikan, pemerintah dan dinas-dinas yang berkaitan seperti dinas-dinas pendidikan. Negara sebagai salah satu unsur

governance, di dalamnya termasuk lembaga politik dan lembaga sektor

publik. Peran pemerintah melalui kebijakan publiknya sangat penting dalam memfasilitasi terjadinya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari.

2. Sektor swasta: pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti: industri pengolahan perdagangan, perbankan, koperasi termasuk kegiatan sektor informal. Dalam bidang pendidikan, sektor swasta meliputi yayasan-yayasan yang mengelola sekolah swasta.

3. Masyarakat madani: kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada diantara atau di tengah-tengah antara pemerintah dan perseorangan, yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi. Dalam


(27)

bidang pendidikan ada yang dinamakan Dewan Pendidikan yang merupakan lembaga independent yang memiliki posisi sejajar dengan Bupati/ Walikota dan DPRD.

Good governance memungkinkan adanya kesejajaran peran antara ketiga aktor di

atas. Sebagaimana dalam pengembangan kapasitas good governance, ada yang disebut dengan perubahan dalam distribusi kewenangan yaitu telah terjadi distribusi kewenangan yang tadinya menumpuk di pusat untuk didesentralisasikan kepada daerah, masyarakat, asosiasi dan berbagai kelembagaan yang ada di masyarakat. Artinya saat ini pemerintah bukanlah satu-satunya aktor dalam pengambilan keputusan, masyarakat dan juga pihak swasta pun berkesempatan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan.

3. Prinsip-Prinsip Good Governance

Kepemerintahan yang baik menurut UNDP (1997) mengidentifikasi lima karakteristik yaitu:

a. Interaksi, melibatkan tiga mitra besar yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat madani untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya ekonomi, sosial, dan politik.

b. Komunikasi, terdiri dari sistem jejaring dalam proses pengelolaan dan kontribusi terhadap kualitas hasil.

c. Proses penguatan sendiri, adalah kunci keberadaan dan kelangsungan keteraturan dari berbagai situasi kekacauan yang disebabkan dinamika dan perubahan lingkungan, memberi kontribusi terhadap partisipasi dan


(28)

menggalakkan kemandirian masyarakat, dan memberikan kesempatan untuk kreativitas dan stabilitas berbagai aspek kepemerintahan yang baik.

d. Dinamis, keseimbangan berbagai unsur kekuatan kompleks yang menghasilkan persatuan, harmoni, dan kerja sama untuk pertumbuhan dan pembangunan berkelanjutan, kedamaian dan keadilan, dan kesempatan merata untuk semua sektor dalam masyarakat madani.

e. Saling ketergantungan yang dinamis antara pemerintah, kekuatan pasar, dan masyarakat madani.

Lima karakteristik dalam good governance mencerminkan terjadinya proses pengambilan keputusan yang melibatkan stakeholders dengan menerapkan prinsip

good governance yaitu partisipasi, transparansi, berorientasi kesepakatan,

kesetaraan, efektif dan efisien, akuntabilitas, serta visi dan misi. Sedangkan Lembaga Administrasi Negara (LAN) (2003) mengungkapkan prinsip-prinsip

good governance antara lain yaitu akuntabilitas, transparansi, kesetaraan,

supremasi hukum, keadilan, partisipasi, desentralisasi, kebersamaan, profesionalitas, cepat tanggap, efektif dan efisien, dan berdaya saing. Mustopadidjaja (1997) mengatakan prinsip-prinsip good governance adalah demokrasi dan pemberdayaan, pelayanan, transparansi dan akuntabiiltas, partisipasi, kemitraan, desentralisasi, dan konsistensi kebijakan dan kepastian hukum (Sedarmayanti, 2009:282-287).

Jumlah komponen ataupun prinsip yang melandasi tata pemerintahan yang baik sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar lainnya. Namun paling tidak ada sejumlah prinsip yang dianggap sebagai


(29)

prinsip-prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi (Sedarmayanti, 2009:289).

4. Kendala Mewujudkan Good Governance

Upaya perbaikan sistem birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Hal tersebut terkait dengan tingginya kompleksitas dalam mencari solusi perbaikan. Demikian pula masih tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktik KKN, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur negara merupakan cerminan kondisi kinerja birokrasi yang masih jauh dari harapan. Banyaknya permasalah birokrasi tersebut belum sepenuhnya teratasi, baik dari sisi internal maupun eksternal (Sedarmayanti, 2009: 310-311).

Dari sisi internal, faktor demokrasi dan desentralisasi telah membawa dampak pada proses pengambilan keputusan kebijakan publik. Dampak tersebut terkait dengan makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik, meningkatnya tuntutan penerapan prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain transparansi, akuntabilitas, dan kualitas kinerja publik serta taat hukum. Secara khusus dari sisi internal birokrasi, berbagai permasalahan masih banyak yang dihadapi, antara lain pelanggaran disiplin, penyalahgunaan kewenangan, dan banyaknya praktik KKN. Dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi (e-government) merupakan tantangan tersendiri dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, baik, dan berwibawa. Hal tersebut terkait dengan makin meningkatnya ketidakpastian akibat perubahan


(30)

faktor lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi dengan cepat (Sedarmayanti, 2009: 310-311).

Selain itu, problem demokrasi dari segi lembaga dan perilaku individu masih muncul. Rakyat masih belum merasa terwakili oleh keberadaan wakilnya di DPR(D) karena partisipasinya hanya pada saat pemilu, setelah itu rakyat ditinggal dalam proses pengambilan kebijakan. Rendahnya partisipasi dalam masyarakat mengurangi tingkat legitimasi pemerintah sehingga munculnya pemerintahan yang kuat ditingkat lokal maupun pusat masih dalam cita-cita (Nugroho, 2001 dalam Sedarmayanti, 2009: 311).

B. Tinjauan Transparansi

1. Pengertian Transparansi

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BPPN) dan Departemen Dalam Negeri (2002), menyebutkan transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintah, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Menurut

Transparancy International, undang-undang Fredom of Information (FOI) bukan

hanya mengatur tentang hak publik untuk mengakses informasi tetapi juga menekankan pada obligasi pemerintah untuk memfasilitasi akses tersebut. Krina (2003: 19).


(31)

2.

Indikator Transparansi

Transparansi dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu adanya kebijakan terbuka terhadap pengawasan, adanya akses informasi sehingga masyarakat dapat menjangkau setiap segi kebijakan pemerintah, dan berlakunya prinsip check and

balance antara lembaga eksekutif dan legislatif. Tujuan dari transparansi adalah

membangun rasa saling percaya antara pemerintah dengan publik dimana pemerintah harus memberi informasi akurat bagi publik yang membutuhkan, terutama informasi handal yang berkaitan dengan masalah hukum, peraturan, dan hasil yang dicapai dalam proses pemerintahan, adanya mekanisme yang memungkinkan masyarakat mengakses informasi yang relevan, adanya peraturan yang mengatur kewajiban pemerintah daerah menyediakan informasi kepada masyarakat, serta menumbuhkan budaya di tengah masyarakat untuk mengkritisi kebijakan yang dihasilkan pemerintah daerah (Sedarmayanti, 2009:289).

Tabel 4. Indikator Prinsip Transparansi

Dimensi No Indikator

Transparansi (Transparancy)

1 Tersedianya informasi yang memadai pada setiap proses penyusunan dan implementasi kebijakan publik.

2 Adanya akses pada informasi yang siap, mudah dijangkau, bebas diperoleh dan tepat waktu.

3 Bertambahnya pengetahuan dan wawasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. 4 Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap

pemerintahan.

5 Meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan daerah.


(32)

3. Mekanisme Transparansi

Mekanisme transparansi merupakan cara kerja, aturan-aturan, atau pedoman dalam menerapkan transparansi. Secara ringkas, mekanisme transparansi mencakup hal-hal berikut:

a) Adanya suatu jaminan dalam sistem keterbukaan dan standarisasi dari semua proses-proses pelayanan publik

b) Memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik maupun proses-proses didalam sektor publik

c) Adanya fasilitas pelaporan maupun penyebaran informasi publik (kebijakan atau program kerja) maupun penyimpangan tindakan aparat publik didalam kegiatan melayani (Dra.Loina Lalolo Krina P, 2003).

C. Tinjauan Partisipasi

1. Pengertian Partisipasi

Partisipasi (melibatkan masyarakat terutama aspirasinya) dalam pengambilan kebijakan atau formulasi rencana yang dibuat pemerintah, juga dilihat pada keterlibatan masyarakat dalam implementasi berbagai kebijakan dan rencana pemerintah, termasuk pengawasan dan evaluasi. Keterlibatan dimaksud bukan dalam prinsip terwakilnya aspirasi masyarakat melalui wakil di DPR, melainkan keterlibatan secara langsung. Partisipasi dalam arti mendorong semua warga negara menggunakan haknya menyampaikan secara langsung atau tidak, usulan dan pendapat dalam proses pengambilan keputusan. Terutama member kebebasan


(33)

kepada rakyat untuk berkumpul, berorganisasi dan berpartisipasi aktif dalam menentukan masa depan (Sedarmayanti, 2009:290).

Partisipasi berarti bahwa setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Dari uraian tersebut, dapat ditarik suatu pengertian bahwa partisipasi yang sering juga disebut peran serta atau ikut serta masyarakat, diartikan sebagai adanya motivasi dan keterlibatan masyarakat secara aktif dan terorganisasikan dalam seluruh tahapan pembangunan, sejak tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, evaluasi hingga pengembangan atau perluasannya.

2. Indikator Partisipasi

Oleh karena partisipasi merupakan prinsip mendasar dari good governance, maka perlu ditetapkan indikator dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan yang dapat digunakan sebagai acuan bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Tabel 5. Indikator Prinsip Partisipasi

Dimensi No Indikator

Partisipasi (Participation)

1 Adanya pemahaman penyelenggara negara tentang proses atau metode partisipatf.

2 Adanya pengambilan keputusan yang didasarkan atas konsensus bersama.

3 Meningkatnya kualitas dan kuantitas masukan (kritik dan saran) untuk pembangunan daerah.

4 Terjadinya perubahan sikap masyarakat menjadi lebih peduli terhadap setiap langkah pembangunan yang dilakukan pemerintah.


(34)

3. Mekanisme Partisipasi

Mekanisme partisipasi merupakan cara kerja, aturan-aturan, atau pedoman dalam menerapkan partisipasi. Secara ringkas, mekanisme partisipasi mencakup hal-hal berikut:

a) Mengeluarkan informasi yang dapat diakses oleh publik,

b) Menyelenggarakan proses konsultasi untuk menggali dan mengumpulkan masukan-masukan dari stakeholders termasuk aktivitas warga negara dalam kegiatan publik,

c) Mendelegasikan otoritas tertentu kepada pengguna jasa layanan publik seperti proses perencanaan dan penyediaan panduan bagi kegiatan masyarakat dan layanan publik (Dra.Loina Lalolo Krina P, 2003).

D. Tinjauan Akuntabilitas 1. Pengertian Akuntabilitas

Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang, badan hukum dan pimpinan organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban (Adisasmita, 2011: 89). Selanjutnya, dalam Sedarmayanti (2009:289), akuntabilitas yakni adanya pembatasan dan pertanggungjawaban tugas yang jelas. Akuntabilitas merujuk pada pengembangan rasa tanggungjawab publik bagi pengambil keputusan di pemerintahan, sektor privat dan organisasi kemasyarakatan sebagaimana halnya kepada pemilik (stakeholder). Khusus dalam birokrasi, akuntabilitas merupakan upaya menciptakan sistem pemantauan dan mengontrol kinerja kualitas,


(35)

inefisiensi, dan perusakan sumberdaya, serta transparansi manajemen keuangan, pengadaan, akunting, dan dari pengumpulan sumber daya. Secara umum, akuntabilitas berarti kewajiban suatu organisasi untuk membuat perhitungan-perhitungan yang seksama dan mencatatnya dengan gambaran yang benar tentang transaksi finansial dan keadaan organisasi, kemudian menyampaikan laporan tersebut pada laporan tahunan.

Prinsip akuntabilitas menghendaki bahwa setiap pelaksanaan tugas dan hasil akhir dari kegiatan pemerintahan dan pembangunan harus dapat dan wajib dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat dan para pihak yang terkait sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Pertanggungjawaban kepada masyarakat disamping merupakan kewajiban adalah juga sewajarnya dilakukan karena rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan UUD 1945. Prinsip ini menekankan bahwa semua kegiatan dan hasil akhir yang dicapai harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat secara benar dan jujur dengan dukungan data/informasi yang lengkap. Keharusan menerapkan konsep ini mengingat kegiatan pemerintah mempunyai pengaruh (dampak) besar dan juga karena kegiatan pemerintah dibiayai dari uang rakyat, sehingga segala kegiatan dan hasilnya harus dapat dipertanggungjawabkan.

2. Indikator Akuntabilitas

Oleh karena good governance berpegang pada akuntabilitas, maka perlu ditetapkan indikator dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan yang dapat digunakan sebagai acuan bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya.


(36)

Tabel 6. Indikator Prinsip Akuntabilitas

Dimensi No Indikator

Akuntabilitas (Accountability)

1 Adanya kesesuaian antara pelaksanaan dengan standar prosedur pelaksanaan.

2 Adanya sanksi yang ditetapkan pada setiap kesalahan atau kelalaian dalam pelaksanaan kegiatan.

3 Pembuatan laporan pertanggungjawaban dari kegiatan penyelenggaraan negara kepada masyarakat sesuai dengan peraturan peraturan perundang-undangan.

4 Meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah

5 Berkurangnya kasus-kasus KKN

Sumber: Sedarmayanti (2007:23)

3. Mekanisme Akuntabilitas

Mekanisme akuntabilitas merupakan cara kerja, aturan-aturan, atau pedoman dalam menerapkan akuntabilitas. Secara ringkas, mekanisme akuntabilitas mencakup hal-hal berikut:

a) Pembuatan sebuah keputusan dan laporan harus dibuat secara tertulis dan tersedia bagi setiap warga yang membutuhkan,

b) Pembuatan keputusan sudah memenuhi standar etika dan nilai-nilai yang berlaku, artinya sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar maupun nilai-nilai yang berlaku di stakeholders,

c) Adanya kejelasan dari sasaran kebijakan yang diambil, dan sudah sesuai dengan visi dan misi organisasi, serta standar yang berlaku,

d) Adanya ketentuan untuk menjamin bahwa standar telah terpenuhi, dengan konsekuensi ketentuan pertanggungjawaban jika standar tersebut tidak terpenuhi,


(37)

e) Konsistensi maupun kelayakan dari target operasional yang telah ditetapkan maupun prioritas dalam mencapai target tersebut (Dra.Loina Lalolo Krina P, 2003).

E. Tinjauan Street Level Bureaucracy

1. Pengertian Street Level Bureaucracy

Street level bureaucracy merupakan aparat birokrasi yang langsung bersentuhan

dengan pelayanan publik atau dalam arti lain adalah aparat birokrasi yang melakukan akses langsung dengan publik atau melakukan pelayanan publik . Menurut Michael Lipsky pada tahun 1980 berpendapat bahwa street level

bureaucracy adalah mereka yang menjalankan tugas dan berhubungan langsung

dengan masyarakat. Lipsky juga berpendapat bahwa praktek street level

bureaucracy tersebut merupakan mekanisme untuk mengatasi situasi yang sulit,

yaitu sebagai upaya untuk keluar dari situasi frustatif antara besarnya permintaan pelayanan dan keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Apalagi dalam kenyataannya permintaan peningkatan pelayanan seperti tidak pernah berhenti. Lipsky (1980) menjelaskan bahwa street level bureaucracy mempraktekkan pemberian diskresi atas dispensasi manfaat atau alokasi sanksi. Terjadi konflik antara pembuat kebijakan dan street level bureaucracy sebagai pelaksana kebijakan. Konsep street level bureaucracy ini telah diperkenalkan oleh Michael Lipsky pada tahun 1980 bahwa street level bureaucracy adalah sebagai orang

yang “Public Service secara langsung” dan “Pelaksana dari kebijakan


(38)

memberikan pelayanan langsung kepada para customernya (publik). Contohnya adalah perawat, dokter-dokter praktek, polisi lalulintas, atau aparat birokrasi lainnya yang terjun langsung kepada publik dan memberikan pelayanan sesuai dengan permintaan publik dalam batasan aturan lembaga mereka masing-masing. Pelaksana dari kebijakan penguasa bermakna bahwa para birokrat ini yang menjalankan kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa mereka dan mereka pula yang menguatkan kebijakan yang dikeluarkan.

2. Konflik Interaksi Street Level Bureaucracydengan Warga

Lipsky telah menyatakan bahwa street level bureaucracy menimbulkan kontroversi karena mereka harus melakukan reformulasi jika kebijakan berubah. Alasan kedua street level bureaucracy cenderung menjadi fokus kontroversi publik adalah kedekatan interaksi mereka dengan warga negara dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Keputusan street level bureaucracy cenderung mendistribusikan serta alokatif. Dengan menentukan kelayakan untuk manfaat mereka meningkatkan pernyataan beberapa warga untuk barang dan jasa pemerintah dengan mengorbankan pembayar pajak umum dan mereka yang klaim ditolak. Dengan kata lain, dalam memberikan kebijakan street level bureaucracy membuat keputusan tentang orang-orang yang mempengaruhi peluang hidup mereka. Singkatnya, kebenaran pekerjaan street level bureaucracy hampir tidak bisa jauh dari ideal birokrasi detasemen impersonal dalam pengambilan keputusan. Sebaliknya, pada obyek street level bureaucracy kritis keputusan (orang) benar-benar berubah sebagai akibat dari keputusan. street level


(39)

bureaucracy juga fokus dari reaksi warga karena kebijaksanaan mereka membuka kemungkinan bahwa mereka akan merespon baik atas nama rakyat. Diskusi ini membantu menjelaskan kontroversi lanjutan atas street level bureaucracy di tingkat persediaan dana pelayanan individual. Akhirnya, street level bureaucracy memainkan peran penting dalam mengatur tingkat konflik kontemporer berdasarkan peran mereka sebagai agen kontrol sosial. Warga negara yang menerima manfaat publik berinteraksi dengan agen orang yang membutuhkan perilaku tertentu dari mereka. Fungsi kontrol sosial street level bureaucracy membutuhkan komentar dalam diskusi tentang tempat pekerja pelayanan publik dalam masyarakat yang lebih besar. Sektor pelayanan publik memainkan peran penting dalam pelunakan dampak dari sistem ekonomi mereka yang tidak penerima manfaat utama dan merangsang orang untuk menerima mengabaikan ketidakmampuan institusi ekonomi dan sosial utama. Kontroversi Publik juga fokus pada jenis yang tepat dari kontrol sosial. Dari sudut pandang warga negara, peran street level bureaucracy luas yaitu sebagai fungsi pemerintahan dan intensif. Sebagai rutinitas sehari-hari mengharuskan mereka untuk berinteraksi dengan pendidikan, penyelesaian sengketa, dan layanan kesehatan. Sebagai individu, street level bureaucracy mewakili harapan warga untuk perlakuan yang adil dan efektif oleh pemerintah bahkan saat mereka diposisikan untuk melihat dengan jelas keterbatasan intervensi yang efektif dan kendala pada respon yang telah ditimbulkan .


(40)

3. Kekuatan dan Kelemahan Street Level Bureaucracy

Para birokrat yang berhubungan langsung dengan masyarakat ini tentunya mempunyai kekuatan dan kelemahan sebagai pemberi pelayanan. Michael Lipsky (1980) mendeskripsikan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh street level bureaucracy.

Kekuatan street level bureaucracy :

 Street level bureaucracy sebagai pemberi pelayanan secara langsung artinya

bahwa para birokrat ini yang memberikan pelayanan langsung kepada para customernya (publik). Contohnya adalah perawat, dokter-dokter praktek, polisi lalulintas, atau aparat birokrasi lainnya yang terjun langsung kepada publik dan memberikan pelayanan sesuai dengan permintaan publik dalam batasan aturan lembaga mereka masing-masing.

 Sebagai birokrat yang memberikan sanksi dan membatasi kehidupan masyarakat sesuai dengan kebijakan atau prosedur-prosedur yang telah ditetapkan. Para birokrat ini mengarahkan orang bertindak dalam konteks kehidupan sosial.

 Mereka menentukan kelayakan warga negara untuk tunjangan pemerintah dan sanksi. Mereka mengawasi pelayanan (servis) warga dalam menerima program tersebut. Jadi, secara tersirat street level bureaucracy memediasi aspek hubungan konstitusional warga negara. Singkatnya, mereka memegang kunci ke dimensi kewarganegaraan.


(41)

Kelemahan street level bureaucracy :

 Perekrutan pegawai dikalangan street level bureaucracy yang

mengedepankan perwakilan komposisi sosial masyarakat disekitar birokrasi, membuat birokrasi mengabaikan merit sistem dan objektifitas berdasarkan kualifikasi standar yang telah ditetapkan dalam perekrutan pegawai. Oleh sebab itu dalam perekrutan anggota birokrasi sering muncul istilah putra daerah. Putra daerah yang mewakili belum tentu memiliki kapasitas yang memadai untuk menduduki suatu jabatan dalam pelayanan publik. Hal tersebut dapat membuat kinerja birokrasi kurang maksimal atau bisa dikatakan tidak profesional.

 Orientasi street level bureaucracy terhadap peraturan dan prosedur amat

tinggi dan menjadikannya sebagai barometer pelayanan yang mengakibatkan rendahnya kemampuan street level bureaucracy dalam merespon perubahan, tidak adanya inisiatif dan pengembangan kreatifitas dalam mengendalikan perubahan sehingga rutinitas dianggap sesuatu yang wajar dan benar.

 Kinerja street level bureaucracy menjadi instrumen penguasa. Sistem

kekuasaan yang cenderung sentralistik dan paternalistik mengakibatkan kinerja street level bureaucracy terkonsentrasi pada pejabat atasan. Kepentingan penguasa yang cenderung sentral dan menggusur kepentingan publik mengakibatkan krisis kepercayaan terhadap birokrasi publik.


(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini lebih menekankan pada proses penelitian daripada hasil penelitian sehingga bukan kebenaran mutlak yang dicari tapi pemahaman yang mendalam tentang sesuatu. Penelitian kualitatif dalam penelitian ini adalah rangkaian kegiatan dalam rangka mendapatkan data atau informasi yang bersifat sebenar-benarnya serta memberikan pemahaman menyeluruh dan mendalam mengenai penerapan good governance dikalangan street level bureaucracy (studi pada RKP Pekon Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu Tahun 2012) dan kendala-kendala yang menjadi faktor penghambat pelaksanaannya melalui proses wawancara kepada aktor-aktor yang terkait serta data-data yang diperoleh.

B. Fokus Penelitian

Fokus merupakan batasan masalah dalam penelitian kualitatif. Dengan ditetapkannya fokus penelitian akan membantu peneliti dalam membuat


(43)

keputusan yang tepat mengenai data yang akan dikumpulkan dan data yang tidak perlu dikumpulkan. Adapun fokus dalam penelitian ini meliputi:

1. Penerapan prinsip-prinsip good governance (transparansi, partisipasi, akuntabilitas) dikalangan street level bureaucracy pada RKP Pekon Sukoharjo III, kecamatan Sukoharjo, kabupaten Pringsewu tahun 2012.

2. Kendala yang dihadapi street level bureaucracy dalam menerapkan prinsip-prinsip good governance pada RKP Pekon Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu Tahun 2012.

C. Lokasi dan Unit Analisis Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat dimana peneliti melakukan penelitian terutama dalam menangkap fenomena atau peristiwa yang sebenarnya terjadi dari objek yang diteliti dalam rangka mendapatkan data-data penelitian yang akurat. Alasan yang menjadi dasar peneliti memilih Pekon Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu sebagai lokasi penelitian dan aparatur pekon di Pekon Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu sebagai unit analisis adalah sebagai berikut:

1. Pekon Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu merupakan desa yang sedang melakukan pembangunan sarana maupun prasarana dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat demi kemajuan desa. Tingkat keaktifan desa pun cukup tinggi dalam kegiatan-kegiatan sosial masyarakat.


(44)

2. Aparat pekon Sukoharjo III merupakan pelaksana teknis, pemberi pelayanan serta penanggungjawab dari semua bentuk kegiatan administrasi di pekon.

D. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

1. Jenis Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data gabungan dari:

a. Data primer

Secara aplikatif, data primer ini diperoleh peneliti selama proses pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara secara mendalam dan observasi terhadap penerapan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi dikalangan street

level bureaucracy pada RKP Pekon Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo,

Kabupaten Pringsewu Tahun 2012. Data Primer dalam penelitian ini adalah berupa hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat dalam penerapan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi dikalangan street level bureaucracy pada RKP Pekon Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu yang meliputi aparatur pekon Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu dan masyarakat pekon Sukoharjo 3, kecamatan Sukoharjo, kabupaten Pringsewu.


(45)

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data-data tertulis yang digunakan sebagai informasi pendukung dalam analisis data primer. Adapun data-data jenis sekunder didapatkan peneliti melalui dokumen, yakni berupa data-data seperti dokumen resmi dari kantor pekon Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu.

2. Metode Pengumpulan Data

Pada tahap ini ada tiga macam metode yang digunakan dalam mengumpulkan data, yaitu:

a. Wawancara (interview)

Dalam upaya mendapatkan data dan informasi yang valid dengan fokus penelitian, maka dalam menentukan informan peneliti menggunakan teknik purposive

sampling pada tahap awal dan pada tahap pengembangannya dilakukan secara

snowball sampling sampai diperoleh data dan informasi yang lengkap. Instrumen

yang digunakan untuk melakukan wawancara ini meliputi catatan kecil peneliti ketika di lapangan, pedoman wawancara dan alat bantu lainnya seperti recorder dan kamera. Dalam penelitian ini, informan yang diwawancarai adalah aktor-aktor yang terlibat dalam penerapan transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dikalangan street level bureaucracy pada RKP Pekon Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, yakni :


(46)

1. Aparat pekon Sukoharjo 3, kecamatan Sukoharjo, kabupaten Pringsewu (Kepala Pekon, Sekretaris Pekon, Kepala-kepala Urusan, Kadus dan RT, Badan Pengawas/BHP).

2. Masyarakat pekon Sukoharjo 3, kecamatan Sukoharjo, kabupaten Pringsewu.

b. Studi Dokumentasi

Teknik ini digunakan untuk menghimpun berbagai data sekunder yang memuat informasi tertentu yang bersumber dari dokumen-dokumen tertulis yang berkaitan dengan penerapan transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dikalangan street

level bureaucracy pada RKP Pekon Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo,

Kabupaten Pringsewu Tahun 2012, seperti arsip-arsip, dokumen tertulis dan dokumen berupa foto-foto dan lainnya.

Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan cara seorang peneliti dalam mengelola data yang telah terkumpul sehingga mendapatkan suatu kesimpulan dari penelitian. Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2006:276), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Menurut Mils dan Huberman, teknis analisis data meliputi langkah-langkah sebagai berikut:

1. Reduksi data (Data Reduction)

Reduksi data diartikan sebagai suatu proses merangkum, pemilihan hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang sudah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas,


(47)

dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. Reduksi data dilakukan secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung. Data yang diperoleh dari hasil wawancara di lapangan, dianalisa melalui tahapan penajaman informasi, penggolongan berdasarkan kelompoknya, pengarahan atau diarahkan dari arti data tersebut.

2. Penyajian data (Data Display)

Merupakan penyusunan sekumpulan informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan penarikan tindakan. Pada penelitian ini, secara teknis data-data yang telah di organisir kedalam matriks analisis data akan disajikan kedalam bentuk teks naratif, gambar, tabel, dan bagan. Penyajian data dilakukan dengan mendeskripsikan hasil temuan dalam wawancara terhadap informasi serta menghadirkan dokumen sebagai penunjang data.

3. Penarikan kesimpulan/verifikasi (Conclusoin drawing/verification)

Penarikan kesimpulan dan verifikasi dilakukan secara terus menerus selama penelitian berlangsung, yaitu sejak awal memasuki lokasi penelitian dan selama pengimpulan data. Peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari pola, tema, hubungan persamaan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya yang dituangkan dalam kesimpulan yang tentatif. Akan tetapi dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi secara terus menerus, maka akan diperoleh

kesimpulan yang bersifat “grounded”, dengan kata lain setiap kesimpulan


(48)

E. Keabsahan Data

Untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Sugiyono (2006: 121) menyatakan dalam penelitian kualitatif harus dilakukan teknik pemeriksaan yang didasarkan atas empat kriteria, yaitu:

1. Derajat kepercayaan (credibility)

Penerapan kriteria derajat kepercayaan (kredibilitas) pada dasarnya menggantikan konsep validitas internal dari nonaktualitatif. kriteria ini berfungsi: (1) melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai, (2) mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan peneliti untuk memeriksa kredibilitas atau derajat kepercayaan antara lain:

a. Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan suatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai bahan pembanding terhadap data itu. Triangulasi dianggap sebagai cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan. Dengan kata lain bahwa dengan triangulasi, peneliti dapat merecheck temuannya dengan jalan membandingkannya dengan berbagai sumber, metode, atau teori.


(49)

b. Ketekunan/keajegan pengamatan

Keajegan pengamatan berarti mencari secara konsisten interpretasi dengan berbagai cara dalam kaitan dengan proses analisis yang konstan atau tentatif. Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Hal itu berarti bahwa peneliti hendaknya mengadakan pengamatan dengan teliti dan rinci secara berkesinambungan terhadap hal-hal yang menonjol. Kemudian menelaahnya secara rinci sampai pada suatu titik sehingga pada pemeriksaan tahap awal tampak salah satu atau seluruh faktor yang ditelaah sudah dipahami dengan cara yang biasa. Untuk keperluan itu, teknik ini menuntut agar peneliti mampu menguraikan secara rinci bagaimana proses penemuan secara tentatif dan penelaahan secara rinci tersebut dapat dilakukan.

2. Keteralihan (transferability)

Agar orang lain dapat memahami hasil penelitian kualitatif dan ada kemungkinan untuk menerapkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti dalam membuat laporannya harus memberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya. Upaya untuk memenuhi hal ini peneliti melakukannya melalui tabulasi data serta disajikan oleh peneliti dalam hasil dan pembahasan.

3. Kebergantungan (dependability)

Uji kebergantungan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap keseluruhan proses penelitian. Sering terjadi peneliti tidak melakukan penelitian ke lapangan tetapi bisa memberikan data. Peneliti seperti itu perlu diuji


(50)

dependability-nya, dan untuk mengecek penelitian ini benar atau salah. Setahap demi setahap data-data yang dihasilkan di lapangan dikonsultasikan dengan pembimbing. Hasil yang dikonsultasikan antara lain, proses penelitian dan taraf kebenaran data dan tafsirannya.

Untuk melakukan uji tingkat ketergantungan (dependability) cara yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah dengan menunjukan audit taril, yaitu catatan terperinci menyangkut keputusan-keputusan yang dibuat sebelum maupun sepanjang riset. Dalam tahap ini, peneliti menyoroti keputusan apapun yang menyangkut pilihan teoritis, metodologis, dan analisis riset. Saat mulai mengumpulkan data, peneliti membuat catatan transkrip yang lengkap, catatan lapangan yang ekstensif (mencakup bagaimana dan dalam konteks apa catatan lapangan tersebut dibuat), dan membuat catatan pemikiran yang reflektif dan analitis selengkap database riset karena semua ini berkontribusi bagi pemenuhan kriteria uji tingkat ketergantungan riset.

4. Kepastian (comfirmability)

Menguji kepastian atau menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang ada dalam penelitian, jangan sampai proses tidak ada tapi hasilnya ada. Derajat ini dapat dicapai melalui audit atau pemeriksaan yang cermat terhadap seluruh komponen dan proses penelitian serta hasil penelitiannya. Pemeriksaan yang dilakukan pembimbing menyangkut kepastian asal-usul data, logika penarikan kesimpulan dari data, dan penilaian derajat ketelitian serta telaah terhadap kegiatan penelitian tentang keabsahan data.


(51)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Penerapan Good

Governance dikalangan Street Level Bureaucracy (Studi pada RKP Pekon

Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu Tahun 2012) maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Dalam upayanya menerapkan transparansi pada RKP Pekon Tahun 2012, Pemerintah Pekon Sukoharjo III melakukan beberapa upaya, yaitu melalui pengadaan papan informasi dan sosialisasi melalui Kadus dan RT. Namun pada kenyataannya, street level bureaucracy pekon Sukoharjo III memiliki tingkat kesadaran yang rendah akan pentingnya informasi yang harus disosialisasikan, mereka lebih mementingkan kebutuhan ekonomi dan kepentingan pribadi daripada menyampaikan informasi kepada masyarakat. Pemerintah Pekon hanya berpaku pada prosedur yang telah dibuat dalam menerapkan transparansi, Pemerintah Pekon tidak berinisiatif untuk melakukan tindakan lain seperti kerjasama dengan media massa atau radio setempat mengingat informasi yang disampaikan kepada masyarakat tidak


(52)

merata yang mengakibatkan minimnya partisipasi masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa street level bureaucracy Pekon Sukoharjo III belum berhasil dalam menerapkan transparansi pada RKP Pekon Tahun 2012.

2. Dalam rangka menerapkan prinsip partisipasi pada RKP Pekon Tahun 2012, Pemerintah Pekon Sukoharjo III melakukan pelaksanaan kegiatan Musyawarah Rencana Pembangunan. Dalam kegiatan ini, partisipasi dari masyarakat cukup besar. Ketika kegiatan musrenbang diadakan, banyak dari masyarakat yang datang untuk memperjuangkan kepentingan mereka, karena dalam penentuan skala prioritas, jumlah masyarakat yang datang dalam jumlah yang lebih besar dalam satu wilayah pekon akan memiliki keuntungan yaitu aspirasi yang mereka bawa nantinya akan menjadi prioritas pembangunan pekon. Kurangnya media dan sarana informasi yang disediakan membuat arus informasi kepada masyarakat menjadi kurang sehingga masyarakat kesulitan dalam berpartisipasi pada kegiatan pengawasan. Dengan kondisi ini dapat dikatakan upaya street level bureaucracy Pekon Sukoharjo III dalam rangka menciptakan partisipasi masyarakat secara aktif cukup optimal, minat masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif pun cukup besar.

3. Penerapan akuntabilitas yang dilakukan oleh street level bureaucracy Pekon Sukoharjo III dalam RKP Pekon Tahun 2012 lebih banyak ditujukan kepada badan pengawas saja sedangkan pertanggungjawaban yang dilakukan oleh Pemerintah Pekon Sukoharjo III kepada masyarakat masih sangatlah kurang karena hanya berupa realisasi program kerja saja dan dengan hasil yang kurang maksimal.


(53)

4. Dalam upayanya menerapkan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas pada RKP Pekon Tahun 2012, Pemerintah Pekon Sukoharjo III mengalami beberapa kendala dan hambatan. Adapun yang menjadi kendala adalah sebagai berikut:

a. Ketersediaan sarana dan prasarana informasi yang kurang memadai dan tidak terjalinnya hubungan kerja sama dengan pihak media massa membuat penerapan transparansi dalam RKP Pekon Sukoharjo III Tahun 2012 tidak berjalan optimal karena informasi yang sampai kepada masyarakat menjadi sangat lambat.

b. Ketersediaan sarana dan prasarana informasi yang kurang memadai mengakibatkan pengetahuan masyarakat akan pelaksanaan RKP Pekon Sukoharjo III Tahun 2012 sangat sedikit sehingga menyebabkan minimnya kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengawasan pada RKP Pekon.

c. Rendahnya kualitas sumber daya manusia yang ada di dalam street level

bureaucracy Pekon Sukoharjo III mengakibatkan penerapan akuntabilitas

pada RKP Pekon Tahun 2012 tidak berjalan maksimal. Rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya pengalaman dari street level bureaucracy pekon Sukoharjo III membuat pertanggungjawaban atas hasil realisasi RKP Pekon Tahun 2012 sulit dilaksanakan. Perekrutan pegawai yang mengedepankan perwakilan komposisi sosial masyarakat disekitar birokrasi, membuat street level bureaucracy mengabaikan merit sistem dan objektifitas berdasarkan kualifikasi standar yang telah ditetapkan dalam perekrutan pegawai. Keterbatasan Alokasi Dana Pekon (ADP)


(54)

dalam pelaksanaan RKP Pekon Tahun 2012 menyebabkan hasil dari RKP Pekon Tahun 2012 tidak memiliki kualitas yang baik sehingga Pemerintah Pekon belum mampu untuk mempertanggung jawabkan realisasi program kerjanya kepada masyarakat dengan menciptakan kualitas hasil program kerja yang baik.

B. Saran

1. Transparansi

a) Sebagai garda terdepan dalam birokrasi, street level bureaucracy hendaknya dapat meningkatkan aktualisasi dan kesadarannya sebagai seorang pelayan publik (public service) dalam hal kedisiplinan dari segi waktu kerja, dedikasi dan komitmennya sebagai abdi masyarakat serta memperbaiki kondisi kerja yang dapat mendukung pelaksanaan tugas-tugas sehari-hari.

b) Melakukan upaya-upaya lain untuk menunjang pelaksanaan transparansi agar tidak terlaksana secara manual saja yaitu dengan melakukan kerjasama dengan pihak media massa dan radio setempat serta pemanfaatan media informasi dan komunikasi lainnya untuk melakukan publikasi program kerja sehingga informasi dapat dijangkau secara luas oleh masyarakat.

c) Pemerintah Pekon memaksimalkan kembali Badan Usaha Milik Desa yang dikelola oleh Pemerintah Pekon dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap Alokasi Dana Pekon.


(55)

2. Partisipasi

Sebagai aparat yang berhubungan langsung dengan masyarakat, street level

bureaucracy perlu membuat strategi-strategi peningkatan partisipasi

masyarakat, seperti:

a) Pemberian pendidikan nonformal kepada masyarakat sebagai upaya penguatan modal sosial dengan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan, secara perlahan mengurangi peran fasilitator dalam pengambilan keputusan, serta meningkatkan intensitas kegiatan kepada masyarakat.

b) Merubah penentuan skala prioritas pembangunan. Pembangunan yang akan dilakukan hendaknya merupakan aspirasi masyarakat secara mayoritas, sehingga dapat meningkatkan minat masyarakat untuk berpartisipasi.

c) Memperkuat jaringan sosial. Pemerintah Pekon diharapkan dapat meningkatkan keberadaan jaringan-jaringan sosial yang berupa organisasi-organisasi kemasyarakatan.

d) Mengoptimalkan peran Kadus dan RT untuk meningkatkan motivasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa

3. Akuntabilitas

a) Perekrutan pegawai dikalangan street level bureaucracy sebaiknya berpedoman pada merit sistem dan objektifitas berdasarkan kualifikasi standar yang telah ditetapkan dalam perekrutan pegawai sehingga perekrutan pegawai dikalangan street level bureaucracy tidak hanya


(56)

mengedepankan perwakilan komposisi sosial masyarakat disekitar birokrasi.

b) Meningkatkan kualitas street level bureaucracy pekon Sukoharjo III melalui kegiatan-kegiatan pelatihan dibidang administrasi desa dan melibatkan secara aktif sebagian besar dari street level bureaucracy dalam kegiatan agar street level bureaucracy syarat akan pengalaman penyelenggaraan pemerintahan desa.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Penerapan Good Governance dikalangan Street Level Bureaucracy (Studi pada RKP Pekon Sukoharjo III, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu Tahun 2012) maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Dalam upayanya menerapkan transparansi pada RKP Pekon Tahun 2012, Pemerintah Pekon Sukoharjo III melakukan beberapa upaya, yaitu melalui pengadaan papan informasi dan sosialisasi melalui Kadus dan RT. Namun pada kenyataannya, street level bureaucracy pekon Sukoharjo III memiliki tingkat kesadaran yang rendah akan pentingnya informasi yang harus disosialisasikan, mereka lebih mementingkan kebutuhan ekonomi dan kepentingan pribadi daripada menyampaikan informasi kepada masyarakat. Pemerintah Pekon hanya berpaku pada prosedur yang telah dibuat dalam menerapkan transparansi, Pemerintah Pekon tidak berinisiatif untuk melakukan tindakan lain seperti kerjasama dengan media massa atau radio setempat mengingat informasi yang disampaikan kepada masyarakat tidak


(2)

merata yang mengakibatkan minimnya partisipasi masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa street level bureaucracy Pekon Sukoharjo III belum berhasil dalam menerapkan transparansi pada RKP Pekon Tahun 2012.

2. Dalam rangka menerapkan prinsip partisipasi pada RKP Pekon Tahun 2012, Pemerintah Pekon Sukoharjo III melakukan pelaksanaan kegiatan Musyawarah Rencana Pembangunan. Dalam kegiatan ini, partisipasi dari masyarakat cukup besar. Ketika kegiatan musrenbang diadakan, banyak dari masyarakat yang datang untuk memperjuangkan kepentingan mereka, karena dalam penentuan skala prioritas, jumlah masyarakat yang datang dalam jumlah yang lebih besar dalam satu wilayah pekon akan memiliki keuntungan yaitu aspirasi yang mereka bawa nantinya akan menjadi prioritas pembangunan pekon. Kurangnya media dan sarana informasi yang disediakan membuat arus informasi kepada masyarakat menjadi kurang sehingga masyarakat kesulitan dalam berpartisipasi pada kegiatan pengawasan. Dengan kondisi ini dapat dikatakan upaya street level bureaucracy Pekon Sukoharjo III dalam rangka menciptakan partisipasi masyarakat secara aktif cukup optimal, minat masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif pun cukup besar.

3. Penerapan akuntabilitas yang dilakukan oleh street level bureaucracy Pekon Sukoharjo III dalam RKP Pekon Tahun 2012 lebih banyak ditujukan kepada badan pengawas saja sedangkan pertanggungjawaban yang dilakukan oleh Pemerintah Pekon Sukoharjo III kepada masyarakat masih sangatlah kurang karena hanya berupa realisasi program kerja saja dan dengan hasil yang kurang maksimal.


(3)

4. Dalam upayanya menerapkan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas pada RKP Pekon Tahun 2012, Pemerintah Pekon Sukoharjo III mengalami beberapa kendala dan hambatan. Adapun yang menjadi kendala adalah sebagai berikut:

a. Ketersediaan sarana dan prasarana informasi yang kurang memadai dan tidak terjalinnya hubungan kerja sama dengan pihak media massa membuat penerapan transparansi dalam RKP Pekon Sukoharjo III Tahun 2012 tidak berjalan optimal karena informasi yang sampai kepada masyarakat menjadi sangat lambat.

b. Ketersediaan sarana dan prasarana informasi yang kurang memadai mengakibatkan pengetahuan masyarakat akan pelaksanaan RKP Pekon Sukoharjo III Tahun 2012 sangat sedikit sehingga menyebabkan minimnya kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengawasan pada RKP Pekon.

c. Rendahnya kualitas sumber daya manusia yang ada di dalam street level bureaucracy Pekon Sukoharjo III mengakibatkan penerapan akuntabilitas pada RKP Pekon Tahun 2012 tidak berjalan maksimal. Rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya pengalaman dari street level bureaucracy pekon Sukoharjo III membuat pertanggungjawaban atas hasil realisasi RKP Pekon Tahun 2012 sulit dilaksanakan. Perekrutan pegawai yang mengedepankan perwakilan komposisi sosial masyarakat disekitar birokrasi, membuat street level bureaucracy mengabaikan merit sistem dan objektifitas berdasarkan kualifikasi standar yang telah ditetapkan dalam perekrutan pegawai. Keterbatasan Alokasi Dana Pekon (ADP)


(4)

dalam pelaksanaan RKP Pekon Tahun 2012 menyebabkan hasil dari RKP Pekon Tahun 2012 tidak memiliki kualitas yang baik sehingga Pemerintah Pekon belum mampu untuk mempertanggung jawabkan realisasi program kerjanya kepada masyarakat dengan menciptakan kualitas hasil program kerja yang baik.

B. Saran

1. Transparansi

a) Sebagai garda terdepan dalam birokrasi, street level bureaucracy hendaknya dapat meningkatkan aktualisasi dan kesadarannya sebagai seorang pelayan publik (public service) dalam hal kedisiplinan dari segi waktu kerja, dedikasi dan komitmennya sebagai abdi masyarakat serta memperbaiki kondisi kerja yang dapat mendukung pelaksanaan tugas-tugas sehari-hari.

b) Melakukan upaya-upaya lain untuk menunjang pelaksanaan transparansi agar tidak terlaksana secara manual saja yaitu dengan melakukan kerjasama dengan pihak media massa dan radio setempat serta pemanfaatan media informasi dan komunikasi lainnya untuk melakukan publikasi program kerja sehingga informasi dapat dijangkau secara luas oleh masyarakat.

c) Pemerintah Pekon memaksimalkan kembali Badan Usaha Milik Desa yang dikelola oleh Pemerintah Pekon dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap Alokasi Dana Pekon.


(5)

2. Partisipasi

Sebagai aparat yang berhubungan langsung dengan masyarakat, street level bureaucracy perlu membuat strategi-strategi peningkatan partisipasi masyarakat, seperti:

a) Pemberian pendidikan nonformal kepada masyarakat sebagai upaya penguatan modal sosial dengan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan, secara perlahan mengurangi peran fasilitator dalam pengambilan keputusan, serta meningkatkan intensitas kegiatan kepada masyarakat.

b) Merubah penentuan skala prioritas pembangunan. Pembangunan yang akan dilakukan hendaknya merupakan aspirasi masyarakat secara mayoritas, sehingga dapat meningkatkan minat masyarakat untuk berpartisipasi.

c) Memperkuat jaringan sosial. Pemerintah Pekon diharapkan dapat meningkatkan keberadaan jaringan-jaringan sosial yang berupa organisasi-organisasi kemasyarakatan.

d) Mengoptimalkan peran Kadus dan RT untuk meningkatkan motivasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa

3. Akuntabilitas

a) Perekrutan pegawai dikalangan street level bureaucracy sebaiknya berpedoman pada merit sistem dan objektifitas berdasarkan kualifikasi standar yang telah ditetapkan dalam perekrutan pegawai sehingga perekrutan pegawai dikalangan street level bureaucracy tidak hanya


(6)

mengedepankan perwakilan komposisi sosial masyarakat disekitar birokrasi.

b) Meningkatkan kualitas street level bureaucracy pekon Sukoharjo III melalui kegiatan-kegiatan pelatihan dibidang administrasi desa dan melibatkan secara aktif sebagian besar dari street level bureaucracy dalam kegiatan agar street level bureaucracy syarat akan pengalaman penyelenggaraan pemerintahan desa.