Khasiat Antioksidan Ekstrak Pare: Kajian In Vivo Pada Tikus Hiperglikemia
PENDAHULUAN
Lipid peroksida merupakan suatu
molekul yang terbentuk dari peroksidasi
lipid, yaitu reaksi penyerangan oleh radikal
bebas terhadap asam lemak tak jenuh
majemuk atau poly unsaturated fatty acid
(PUFA) yang mengandung sedikitnya tiga
ikatan rangkap. Reaksi ini dapat terjadi
secara alami di dalam tubuh yang diakibatkan
oleh pembentukan radikal bebas secara
endogen dari proses metabolisme tubuh.
Radikal bebas endogen antara lain bisa
ditimbulkan oleh proses reduksi oksigen
menjadi H2O pada rantai transpor elektron di
mitokondria.
Untuk mengontrol peroksidasi lipid dapat
digunakan senyawa antioksidan yang
berperan sebagai penangkap (scavenger)
radikal bebas. Ada dua jenis antioksidan
berdasarkan cara kerjanya, yaitu antioksidan
pencegah yang mengurangi inisiasi rantai dan
antioksidan
pemutus
rantai
yang
mempengaruhi propagasi rantai.
Diabetes melitus adalah salah satu
penyakit atau kelainan metabolik yang paling
sering dijumpai dalam masyarakat. Diabetes
melitus ini merupakan penyakit degeneratif,
yaitu penyakit akibat fungsi atau struktur dari
jaringan atau organ tubuh yang secara
progresif menurun karena usia atau pengaruh
gaya hidup.
Penderita diabetes pada
umumnya
mengalami
hiperglikemia.
Hiperglikemia
ini
disebabkan
tubuh
kekurangan insulin atau insulin yang ada
tidak bekerja secara efektif, sehingga glukosa
dalam darah tidak dapat dimanfaatkan oleh
sel, yang kemudian memicu proses
glukoneogenesis dan mobilisasi asam lemak
dari jaringan adiposa untuk memenuhi
kebutuhan energi sel. Mobilisasi asam lemak
tersebut kemungkinan meningkatkan resiko
terjadinya serangan terhadap PUFA. Oleh
sebab itu, sangat mungkin ada hubungan
antara hiperglikemia dengan kadar lipid
peroksida pada darah dan hati seseorang.
Ada beberapa perlakuan atau kondisi
dapat digunakan untuk menstimulasi
terjadinya lipid peroksida seperti: defisiensi
vitamin E, hiperkolesterolemia, dan kondisi
hiperglikemia. Stimulasi lipid peroksida
melalui
kondisi
hiperkolesterolemia
dilakukan dengan memberikan diet lemak
tinggi (Alviani 2007). Pada penelitian ini,
kondisi yang dipilih untuk menstimulasi lipid
peroksida adalah hiperglikemia yang
diinduksi dengan cara memberikan STZ
secara intraperitoneal.
Dewasa ini penggunaan herbal dalam
pengobatan komplementer dan alternatif di
Indonesia
kian
meningkat.
WHO
memperkirakan 80% dari penduduk dunia
saat ini menggunakan obat-obatan yang
berasal dari bahan tanaman untuk berbagai
aspek kesehatan masyarakat (Suganda 2002).
Selain makin populernya perilaku back to
nature, pengobatan alternatif tersebut
sekaligus juga merupakan salah satu sumber
pelayanan kesehatan yang mudah diperoleh,
terjangkau oleh masyarakat luas, dan
memiliki efek samping yang relatif kecil
(aman). Convention on Biological Diversity
(CBD)
menyebutkan bahwa nilai pasar
sediaan herbal yang meliputi produk jadi dan
bahan baku mencapai US$ 43 milyar
(Sampurno 2002). Berdasarkan data ini bila
potensi tumbuhan obat di Indonesia dapat
dikelola dengan benar maka bukan saja
kebutuhan dalam negeri dapat terpenuhi,
tetapi juga berpeluang menjadi sumber devisa
negara.
Hal ini didukung pula dengan
tersedianya sumber daya alam dan
keanekaragaman hayati yang berlimpah di
Indonesia.
Salah satu herbal tradisional yang telah
umum beredar dan dikonsumsi oleh
masyarakat adalah buah pare, namun pada
umumnya masyarakat hanya menggunakan
pare sebagai salah satu bahan pangan dalam
masakan. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa pare mengandung senyawa seperti
flavonoid yang merupakan antioksidan.
Sebagai antioksidan, senyawa flavonoid akan
bereaksi dengan radikal bebas sehingga
menghasilkan produk yang stabil sehingga
kerusakan sel dapat dikurangi (Cadenas dan
Packer 2002). Oleh sebab itu, pare diduga
memiliki potensi antioksidan, namun
pembuktian ilmiah mengenai pengaruh
pemberian ekstrak pare terhadap kadar lipid
peroksida hati tikus yang diinduksi dengan
streptozotosin (STZ) belum ada.
Penelitian ini bertujuan menentukan
kadar lipid peroksida hati tikus hiperglikemia
yang diberi ekstrak buah pare. Hipotesis
penelitian adalah bahwa pemberian ekstrak
pare dapat menurunkan kadar lipid peroksida
hati tikus hiperglikemia. Hasil penelitian
diharapkan dapat memberikan informasi
kepada masyarakat mengenai potensi pare
sebagai antioksidan terutama pengaruhnya
terhadap kadar lipid peroksida hati.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Pare (Momordica charantia)
Pare atau bitter gourd adalah tanaman
yang tumbuh di daerah tropis, yaitu daerah
Amazon (Amerika Selatan), Afrika Timur,
Asia, dan Karibia (Taylor 2002).
Di
Indonesia tanaman pare hampir terdapat di
seluruh daerah, sehingga dikenal dengan
banyak nama lokal. Tanaman pare memiliki
dua varietas yang terkenal, yaitu charantia
dan muricata. Varietas charantia disebut
juga pare putih yang mempunyai ciri-ciri
buah lonjong besar, berwarna hijau muda dan
tidak begitu pahit. Varietas muricata lebih
kecil atau pendek dan pahit.
Menurut Rukmana (1997) tanaman ini
diklasifikasikan sebagai berikut: kerajaan
Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi
Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo
Curcubitales, famili Curcubitaceae, genus
Momordica,
dan
spesies
Momordica
charantia L.
Rasa pahit pada daun dan buah
disebabkan oleh sejenis glikosida yang
disebut momordicin atau charantin. Buah
pare mempunyai kegunaan yang luas, di
antaranya untuk mengobati berbagai penyakit
seperti diabetes, wasir, kerusakan hati, diare,
sakit kuning, menambah produksi air susu
ibu, sariawan, batuk, dan obat luka sehingga
membuat pare digolongkan ke dalam obatobatan tradisional.
Selain sebagai sayuran, sebagian
masyarakat memanfaatkan pare untuk
pengobatan berbagai jenis penyakit.
Di
Amerika, jus dari buah pare segar banyak
dimanfaatkan untuk terapi penderita human
immunodeficiency virus (HIV).
Dari
beberapa penelitian telah berhasil diisolasi
suatu protein aktif dari biji pare yang
berfungsi sebagai inhibitor sintesis protein
yang dinamakan MAP 30.
Gambar 1 Buah pare
Kelompok protein ini disebut ribosom
inactivating protein atau RIP (Minami et al.
1992). Kondoe di dalam Budianto (2003)
juga mengatakan bahwa RIP juga terdapat
pada anggota famili Cucurbitaceae lainnya
yaitu Luffa cylindrica dan Trichosantes
kirilowii. Kelompok RIP ini merupakan
protein yang dapat dimanfaatkan baik dalam
bidang pertanian maupun kesehatan. Lin
Huang et al. (1999) melaporkan bahwa MAP
30 yang diisolasi dari biji pare adalah suatu
protein bioaktif yang dapat melawan sel
tumor. Jackson dan Jones di dalam Budianto
et al. (2003) menyebutkan bahwa bahan aktif
yang terkandung dalam buah pare, yaitu
momordikosida K dan L dapat berperan
dalam menghambat spermatogenesis dan
bersifat reversibel, sehingga dapat digunakan
sebagai kontrasepsi pada pria. Hal serupa
juga dilaporkan oleh Girini et al. (2005),
yakni kandungan glikosida triterpen dalam
buah pare dapat menghambat motilitas dan
viabilitas spermatozoa.
Tanaman pare diduga mengandung
senyawa bioaktif yang bersifat hipoglikemik
yaitu charantin (Taylor 2002). Senyawa ini
tergolong fitosterol atau glikosida kompleks.
Diduga
ekstrak
buah
pare
dapat
meningkatkan laju metabolisme sel melalui
peningkatan dan penggunaan glukosa oleh sel
target yang efeknya bersifat antidiabetik.
Selain
charantin,
buah
pare
juga
mengandung hydroxytryptamine, vitamin A,
B, dan C. Sedangkan bijinya mengandung
momordisin. Buah pare juga dikatakan
mengandung saponin, flavonoid, polifenol
serta glikosida cucurbitacin.
Buah pare yang dianggap baik sebagai
sayuran maupun buah secara tradisional telah
digunakan sebagai herbal anti-diabetes dan
jus buahnya atau buah mentahnya secara
ilmiah telah terbukti dapat menurunkan kadar
glukosa darah pada uji dengan hewan
percobaan maupun uji klinis pada manusia.
Misalnya, uji ekstrak air,methanol, dan
kloroform buah mentah pare pada tikus
percobaan dengan dosis 20 mg/kg berat
badan dapat menurunkan kadar glukosa darah
puasa sebesar 48%, sebanding dengan
penggunaan obat antidiabetika oral sintetik
glibenklamida. Uji toksisitas yang dilakukan
juga membuktikan bahwa ekstrak buah pare
tersebut aman untuk dikonsumsi (Subroto
2006).
Buah pare yang mengandung senyawa
aktif charantin, vicine, dan polipeptida-p
(protein mirip insulin) memiliki mekanisme
3
meningkatkan sekresi insulin, asupan glukosa
jaringan, sintesis glikogen otot hati, oksidasi
glukosa, dan menurunkan glukoneogenesis
hati. Dalam percobaan dengan hewan pare
terbukti memiliki mekanisme mirip dengan
insulin dalam menurunkan kadar gula darah.
Penelitian menunjukkan bahwa buah muda
pare mengandung peptida aktif yang
dinamakan MC6 yang berukuran 10 kD.
Peptida tersebut terdiri dari 3 peptida aktif
(MC6.1, MC6.2, dan MC6.3) yang terbukti
memiliki aktivitas hipoglikemik (Subroto
2006).
Dosis yang direkomendasikan untuk
buah pare tergantung pada sediaannya. Dosis
untuk tingtur berkisar antara 5 mL hingga 50
mL tiga kali sehari. Namun demikian, karena
rasanya pahit maka sediaan pare dapat juga
berbentuk tablet atau kapsul. Dosis untuk
kapsul yang berisi bubuk kering berkisar
antara 3-15 g/hari atau bila dalam bentuk
ekstrak kering setara dengan 100-200 mg, 3
kali sehari.
Paten terbaru tentang pare di Kantor
Paten Amerika Serikat yang diberikan kepada
Pushpa Khanna dari India dengan no.
US6,831,162 B2 lebih mengungkap khasiat
biji buah pare sebagai antidiabetes. Paten
tersebut mengungkap tentang isolasi senyawa
yang dinamakan polipeptida-K dari biji buah
pare. Senyawa dalam bentuk bubuk amorf
tersebut diformulasikan dalam berbagai
bentuk seperti tablet dan produk-produk
edible seperti biskuit dan permen karet yang
tidak ditelan dengan segera.
Uji klinis yang dilakukan terhadap lebih
dari 500 pasien diabetes menunjukkan bahwa
sediaan yang mengandung 12 mg hingga 70
mg polipeptida-K tersebut cukup efektif
dalam mengaktifkan insulin yang sudah nonaktif dan dapat meremajakan pankreas
tergantung dari kekronisan kondisi patologi
dari masing-masing individu pasien. Selain
dapat menurunkan kadar gula darah,
polipeptida-K juga mengendalikan hipertensi
dengan cara mengendalikan total kolesterol,
HDL, LDL, VLDL, dan trigliserida.
Radikal bebas, Antioksidan, dan Lipid
Peroksida
Radikal bebas adalah suatu atom atau
molekul yang memiliki satu atau lebih
elektron tidak berpasangan dan sangat reaktif
(Muhilal 1991). Radikal bebas, disimbolkan
dengan tanda (•), dapat terbentuk secara
endogen sebagai hasil proses metabolisme
tubuh, atau secara eksogen misalnya melalui
proses adsorpsi radiasi (UV, sinar tampak,
panas) dan melalui reaksi redoks (Gitawati
1995). Salah satu peluang terbentuknya
radikal bebas secara endogen yaitu pada
peristiwa reduksi oksigen di dalam rantai
transpor elektron. Proses reduksi oksigen ini
menghasilkan radikal superoksida (O2-•),
hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal
hidroksil (OH•) sebagai zat perantara.
Radikal bebas dalam upaya menstabilkan
dirinya akan mencari pasangan elektron dari
molekul lain. Di dalam tubuh, radikal bebas
ini akan menarik elektron dari makromolekul
di sekitarnya seperti protein, karbohidrat,
lipid, maupun DNA yang merupakan bagian
dari sel. Jika terjadi kerusakan pada unsurunsur tersebut, pada akhirnya akan mengarah
pada kerusakan sel (Halliwel&Gutteridge
1985).
Lipid peroksida adalah suatu molekul
yang terbentuk dari peroksidasi lipid.
Peroksidasi lipid adalah reaksi yang terjadi
antara radikal bebas dengan PUFA yang
mengandung sedikitnya tiga ikatan rangkap
(Halliwell & Gutteridge 1985).
Reaksi
peroksidasi lipid diawali oleh pengambilan
sebuah atom hidrogen dari gugus metilena (CH2) pada PUFA oleh radikal bebas. Pada
tahap ini terjadi pembentukan radikal bebas
karbon (-CH-•) yang disebabkan adanya
ikatan rangkap pada asam lemak yang dapat
melemahkan ikatan antara atom C dan H
yang berdekatan dengan ikatan rangkap,
sehingga atom H mudah diambil oleh radikal
bebas. Tahap selanjutnya yaitu penstabilan
radikal bebas karbon melalui penataan ulang
ikatan rangkap, sehingga terbentuk diena
terkonjugasi. Apabila diena terkonjugasi
bereaksi dengan O2, maka akan terbentuk
radikal lipid peroksida (ROO•). Hadirnya
radikal peroksida ini dapat memudahkan
pengambilan atom hidrogen dari molekul
lipid lain, sehingga tahap ini disebut sebagai
tahap propagasi.
Radikal peroksida
selanjutnya dapat bergabung dengan atom H
yang lain membentuk lipid hidroperoksida
dan radikal bebas yang baru. Jalur lain yang
ditempuh oleh radikal peroksida yaitu dengan
membentuk peroksida siklik yang disebut
dengan enderoperoksida. Tahap terminasi
terjadi bila radikal lipid peroksida bereaksi
dengan antioksidan atau senyawa biologi
seperti protein (Tabel 1).
Lipid peroksida atau lipid hidroperoksida
merupakan suatu molekul yang stabil pada
suhu fisiologis atau suhu tubuh. Namun ionion logam transisi yang terdapat di dalam
4
Tabel 1 Tahapan reaksi pembentukan radikal
bebas
Tahapan
1. Inisiasi
2.
Propagasi
3.
Terminasi
Reaksi
RH + OH
R• + O2
ROO• + RH → ROOH + R•
ROO• + ROO•→ ROOR + O2
ROO• + R• → ROOR
R• + R•
tubuh seperti besi (Fe) dan tembaga (Cu)
dapat mengkatalisis penguraian lipid
hidroperoksida hingga membentuk produk
yang berbahaya seperti epoksida, keton,
asam, dan aldehida.
Beberapa contoh
aldehida yang dihasilkan dari peruraian
peroksida adalah malondialdehida (MDA)
dan 4-hidroksinonenal.
Kedua produk
aldehida tersebut dapat menyerang protein
terutama pada gugus thiol (-SH) dan gugus
amino (-NH2), sehingga enzim-enzim yang
membutuhkan senyawa-senyawa tersebut
untuk aktivitasnya akan terhambat bila
peroksidasi lipid sedang berlangsung
(Sulistyo 1998).
Konsentrasi lipid peroksida yang
berlebih pada darah maupun organ dapat
mengakibatkan
berbagai
penyakit
degeneratif. Menurut Yagi (1994) bila kadar
lipid peroksida di hati meningkat, maka lipid
peroksida ini dapat keluar dan akan merusak
organ atau jaringan lain. Pada manusia, lipid
peroksida dalam darah akan meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, tetapi
jumlahnya tidak boleh melebihi konsentrasi
normalnya, yaitu 4 nmol/mL.
Konsentrasi lipid peroksida dapat diukur
dengan metode asam tiobarbiturat (TBA)
yang akan mengukur adanya MDA
(malondialdehida) sebagai produk reaksi
peroksidasi lipid. Asam tiobarbiturat akan
bereaksi dengan gugus karbonil dari MDA,
yaitu satu molekul MDA akan berikatan
dengan dua molekul TBA. Reaksi ini akan
menghasilkan senyawa kompleks berwarna
merah yang serapannya dapat diukur secara
spektrofotometri (Gambar 2).
Gambar 2 Reaksi antara TBA dengan MDA
Sumber: Halliwel&Gutteridge (1985)
Untuk mengontrol radikal bebas, dapat
digunakan senyawa-senyawa yang berperan
sebagai penangkap radikal bebas atau dikenal
sebagai
antioksidan.
Antioksidan
didefinisikan sebagai senyawa yang dapat
memberikan elektron kepada radikal bebas.
Proses antioksidasi dapat terjadi pada enzim
yang berperan mengubah senyawa radikal
bebas menjadi senyawa yang lebih stabil.
Misalnya enzim superoksida dismutase
(SOD) yang mengubah radikal O2- menjadi
H2O2 dan O2.
O2- + O2- + H+ + H+
SOD
H2O2 + O2
Mekanisme kerja antioksidan pada
senyawa radikal bebas ada tiga macam, yaitu
(1) antioksidan primer yang berperan untuk
mengurangi pembentukan radikal bebas baru
dengan cara memutus reaksi berantai dan
mengubahnya menjadi produk yang lebih
stabil. Antioksidan primer ini terdiri atas
superoksida dismutase (SOD), katalase, dan
glutation peroksidase. Ketiga
contoh
antioksidan tersebut dapat mengubah radikal
superoksida menjadi air. (2) antioksidan
sekunder yang berperan untuk mengikat
radikal bebas dan mencegah amplifikasi
senyawa radikal. Antioksidan sekunder
terdapat pada vitamin C, vitamin B, vitamin
E, betakaroten, dan senyawa-senyawa
fitokimia. (3) antioksidan tersier yang
berperan dalam mekanisme biomolekuler.
Antioksidan tersier terdiri atas enzim
perbaikan DNA dan metionin sulfoksida
reduktase (Kartikawati 1999)
Ada dua jenis antioksidan berdasarkan
asalnya, yakni antioksidan yang berasal dari
dalam tubuh (endogen) dan antioksidan yang
dikonsumsi dari luar tubuh (eksogen)
(Gitawati 1995). Antioksidan endogen
merupakan jenis antioksidan yang diproduksi
oleh tubuh atau secara alami terdapat dalam
tubuh. Beberapa contoh antioksidan endogen
adalah enzim-enzim seperti superoksida
dismutase, glutation peroksidase, glutation
reduktase, katalase, tioredoksin reduktase,
heme oksigenase, dan biliverdin reduktase.
Selain itu ada juga glutation dan koenzim-Q
yang merupakan antioksidan endogen bukan
dari golongan enzim. Antioksidan eksogen
merupakan jenis antioksidan yang diperoleh
dari diet atau asupan makanan. Antioksidan
ini diperoleh dengan cara mengkonsumsi
jenis-jenis
makanan
tertentu
yang
mengandung komponen antioksidan seperti
vitamin C, vitamin E atau berbagai jenis
5
fitokimia. Fitokimia merupakan antioksidan
alami yang terdapat pada tanaman. Beberapa
contoh fitokimia, yaitu golongan karotenoid,
flavonoid,
fitostrerol,
dan
polifenol.
Senyawa turunan fenol tersebar luas dalam
tumbuhan dan beberapa diantaranya lebih
efektif dibandingkan dengan senyawa
antioksidan
sintetik
(Muhilal
1991).
Fitokimia yang umum terdapat pada
tumbuhan tingkat tinggi antara lain asam
askorbat (vitamin C), karoten, flavonoid,
saponin, tanin, dan tokoferol. Zat antioksidan
alami lain
adalah isoflavon. Isoflavon
termasuk golongan isoflavonoid yang
merupakan isomer flavon. Senyawa ini
banyak terkandung pada tanaman kacangkacangan, terutama kacang kedelai.
Streptozotosin
Streptozotosin
(2-deoksi-2-(3-metil-3(nitrosoureido)-D-glukopiranosa) merupakan
senyawa hasil sintesis Streptomycetes
achromogenes
dan
digunakan
untuk
menginduksi diabetes pada hewan coba,baik
diabetes melitus tergantung insulin (IDDM)
atau tidak tergantung insulin (NIDDM).
Struktur STZ dicirikan dengan adanya
metilnitrourea yang berikatan pada atom C
ke-2 glukosa (Gambar 3).
Menurut Ganda dalam tulisan Szkudelski
(2001) penggunaan dosis yang digunakan
pada tikus untuk menginduksi IDDM secara
intravena di antara 40 dan 60 mg/kg BB,
berhasil juga secara intraperitoneal dengan
dosis yang sama atau lebih tinggi, dan kurang
efektif di bawah 40 mg/kg BB, meskipun
juga tergantung spesiesnya. Dengan suntikan
STZ sebanyak 50 mg/kg BB secara intravena
pada tikus, kadar glukosa darah dapat
meningkat sampai sekitar 15mM (270
mg/dL) setelah 2 minggu).
Senyawa STZ masuk ke dalam sel-β
pankreas melalui glucose transporter 2
(GLUT 2). Ekspresi GLUT 2 yang tereduksi
akibat kerja STZ sebagai zat diabetogenik
ditemukan oleh Schenedl dan Thulesen.
Metabolisme STZ dalam sel akan membentuk
komponen karbamoilasi seluler, karbamoilasi
intermolekular dan komponen seluler alkilasi.
Pada tahap awal, STZ akan diubah menjadi
senyawa
isosianat
dan
melepaskan
metilnitrourea. Isosianat dapat membentuk
berbagai macam senyawa karbamoilasi
intramolekuler.
Metilnitrourea
yang
dilepaskan membentuk metildiazohidroksida
yang dapat menyisipkan gugus alkil pada
berbagai macam komponen seluler seperti
DNA, protein, atau bereaksi dengan H2O
membentuk metanol.
Sifat diabetogenik STZ diduga terjadi
karena kerusakan DNA dalam sel-sel B
pancreas. Elsner et al. (2000) melaporkan
bahwa penyebab kematian sel-sel B pankreas
hasil induksi STZ adalah alkilasi DNA. Di
samping itu kerusakan DNA pada sel B
diduga juga akibat aktivitas senyawa oksigen
reaktif dari nitrit oksida (NO). Senyawa
STZ adalah
donor
NO yang
telah
ditemukan sebagai penyebab kerusakan sel
pulau pankreas, dengan cara meningkatkan
aktivitas
guanilil
siklase.
Dalam
mitokondria, NO juga akan meningkatkan
aktivitas xanthin oksidase dan menurunkan
oksigen yang berdampak pada penghambatan
siklus Krebs, sehingga terjadi pembatasan
produksi ATP dalam mitokondria yang
kemudian menyebabkan deplesi nukleotida
dalam sel
β
dan pada
akhirnya
mengakibatkan kerusakan DNA (Szkudelski
2001).
Dalam jumlah terbatas NO
memainkan peranan penting dalam tubuh
manusia, misalnya sebagai molekul sinyal,
membantu regulasi aliran darah, melawan
infeksi, dan mematikan sel tumor.
Sebaliknya, dalam jumlah berlebih NO
dapatmenjadi berbahaya misalnya memicu
inflamasi kronik, menggangu fungsi otak, dan
merestriksi aliran darah. Selain itu, apabila
NO bertemu dengan radikal superoksida, NO
akan menjadi radikal bebas yang lebih aktif
dan dapat merusak sistem antioksidan serta
protein dalam tubuh (Packer dan Colman
1999).
BAHAN DAN METODE
Gambar 3 Struktur STZ
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: sampel hati tikus
Sprague Dawley yang diperoleh dari Pusat
Studi Satwa Primata (PSSP). Bahan-bahan
untuk uji TBA antara lain: asam tiobarbiturat
5
fitokimia. Fitokimia merupakan antioksidan
alami yang terdapat pada tanaman. Beberapa
contoh fitokimia, yaitu golongan karotenoid,
flavonoid,
fitostrerol,
dan
polifenol.
Senyawa turunan fenol tersebar luas dalam
tumbuhan dan beberapa diantaranya lebih
efektif dibandingkan dengan senyawa
antioksidan
sintetik
(Muhilal
1991).
Fitokimia yang umum terdapat pada
tumbuhan tingkat tinggi antara lain asam
askorbat (vitamin C), karoten, flavonoid,
saponin, tanin, dan tokoferol. Zat antioksidan
alami lain
adalah isoflavon. Isoflavon
termasuk golongan isoflavonoid yang
merupakan isomer flavon. Senyawa ini
banyak terkandung pada tanaman kacangkacangan, terutama kacang kedelai.
Streptozotosin
Streptozotosin
(2-deoksi-2-(3-metil-3(nitrosoureido)-D-glukopiranosa) merupakan
senyawa hasil sintesis Streptomycetes
achromogenes
dan
digunakan
untuk
menginduksi diabetes pada hewan coba,baik
diabetes melitus tergantung insulin (IDDM)
atau tidak tergantung insulin (NIDDM).
Struktur STZ dicirikan dengan adanya
metilnitrourea yang berikatan pada atom C
ke-2 glukosa (Gambar 3).
Menurut Ganda dalam tulisan Szkudelski
(2001) penggunaan dosis yang digunakan
pada tikus untuk menginduksi IDDM secara
intravena di antara 40 dan 60 mg/kg BB,
berhasil juga secara intraperitoneal dengan
dosis yang sama atau lebih tinggi, dan kurang
efektif di bawah 40 mg/kg BB, meskipun
juga tergantung spesiesnya. Dengan suntikan
STZ sebanyak 50 mg/kg BB secara intravena
pada tikus, kadar glukosa darah dapat
meningkat sampai sekitar 15mM (270
mg/dL) setelah 2 minggu).
Senyawa STZ masuk ke dalam sel-β
pankreas melalui glucose transporter 2
(GLUT 2). Ekspresi GLUT 2 yang tereduksi
akibat kerja STZ sebagai zat diabetogenik
ditemukan oleh Schenedl dan Thulesen.
Metabolisme STZ dalam sel akan membentuk
komponen karbamoilasi seluler, karbamoilasi
intermolekular dan komponen seluler alkilasi.
Pada tahap awal, STZ akan diubah menjadi
senyawa
isosianat
dan
melepaskan
metilnitrourea. Isosianat dapat membentuk
berbagai macam senyawa karbamoilasi
intramolekuler.
Metilnitrourea
yang
dilepaskan membentuk metildiazohidroksida
yang dapat menyisipkan gugus alkil pada
berbagai macam komponen seluler seperti
DNA, protein, atau bereaksi dengan H2O
membentuk metanol.
Sifat diabetogenik STZ diduga terjadi
karena kerusakan DNA dalam sel-sel B
pancreas. Elsner et al. (2000) melaporkan
bahwa penyebab kematian sel-sel B pankreas
hasil induksi STZ adalah alkilasi DNA. Di
samping itu kerusakan DNA pada sel B
diduga juga akibat aktivitas senyawa oksigen
reaktif dari nitrit oksida (NO). Senyawa
STZ adalah
donor
NO yang
telah
ditemukan sebagai penyebab kerusakan sel
pulau pankreas, dengan cara meningkatkan
aktivitas
guanilil
siklase.
Dalam
mitokondria, NO juga akan meningkatkan
aktivitas xanthin oksidase dan menurunkan
oksigen yang berdampak pada penghambatan
siklus Krebs, sehingga terjadi pembatasan
produksi ATP dalam mitokondria yang
kemudian menyebabkan deplesi nukleotida
dalam sel
β
dan pada
akhirnya
mengakibatkan kerusakan DNA (Szkudelski
2001).
Dalam jumlah terbatas NO
memainkan peranan penting dalam tubuh
manusia, misalnya sebagai molekul sinyal,
membantu regulasi aliran darah, melawan
infeksi, dan mematikan sel tumor.
Sebaliknya, dalam jumlah berlebih NO
dapatmenjadi berbahaya misalnya memicu
inflamasi kronik, menggangu fungsi otak, dan
merestriksi aliran darah. Selain itu, apabila
NO bertemu dengan radikal superoksida, NO
akan menjadi radikal bebas yang lebih aktif
dan dapat merusak sistem antioksidan serta
protein dalam tubuh (Packer dan Colman
1999).
BAHAN DAN METODE
Gambar 3 Struktur STZ
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: sampel hati tikus
Sprague Dawley yang diperoleh dari Pusat
Studi Satwa Primata (PSSP). Bahan-bahan
untuk uji TBA antara lain: asam tiobarbiturat
6
(TBA) 1.0% dalam pelarut asam asetat 50%,
akuades, n-butanol:piridin (15:1 v/v), dan
1,1,3,3-tetrametoksi propana (TMP) 6 M
sebagai stok larutan standar. Sedangkan
bahan untuk preparasi homogenat dan
analisis hati tikus antara lain: KCl dingin
1.15%, sodium dodesil sulfat (SDS) 8.1%,
NaOH 1 M, asam asetat 20%, akuades, dan
kertas saring.
Alat-alat
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
mikropipet,
homogenizer, penangas air, vortek, neraca
analitik, sentrifus Hettich Universal d7200,
pH meter, spektrofotometer, dan alat-alat
gelas.
Metode Penelitian
Ekstraksi Buah Pare (Markham 1988)
Buah pare (Momordica charantia)
diiris tipis-tipis dan dimasukkan ke dalam
oven dengan temperatur 60 °C sampai
menjadi bahan kering. Selanjutnya bahan
kering ditumbuk sampai halus sehingga
memperoleh serbuk halus yang homogen.
Ekstraksi buah pare dilakukan dengan
maserasi di dalam alkohol absolut (98%)
dengan perbandingan 1:3 selama 10 jam.
Setelah 10 jam larutan alkohol disaring
sehingga diperoleh larutan alkohol yang
mengandung ekstrak buah pare. Kemudian
ekstrak cair tersebut diuapkan dengan
pemanas listrik (sokhlet) untuk memisahkan
alkohol dengan ekstrak pare. Suspensi
ekstrak
pare
dilakukan
dengan
mencampurkan ekstrak bebas alkohol dengan
1% carboxyl methyl cellulose (CMC).
Rancangan Percobaan
Hewan uji yang digunakan adalah tikus
jantan Sprague Dawley dewasa dengan usia
16 minggu. Tikus diadaptasikan selama dua
minggu untuk menyeragamkan cara hidup
dan makannya.
Tikus kemudian dibagi
menjadi 3 kelompok utama. Kelompok yang
pertama adalah kelompok normal yang hanya
diberi pakan standar dan akuades (10 ekor).
Kelompok kedua adalah kelompok tikus yang
diinduksi STZ secara bertahap (3 kali
penyuntikan intraperitoneal dengan selang
waktu 1 hari) dosis total 55 mg/kg BB
dengan pembagian 20; 20; dan 15 mg/kg BB
(30 ekor), kelompok ketiga adalah kelompok
tikus yang diinduksi STZ dengan dosis
tunggal 35 mg/kg BB (30 ekor).
Setelah mengalami hiperglikemia, tikustikus pada kelompok 2 dan 3 dibagi lagi
menjadi 3 subkelompok, yaitu kelompok
kontrol negatif (diberi akuades), kelompok
yang diberi ekstrak pare dosis rendah (125
mg/kg BB), dan kelompok yang diberi
ekstrak pare dosis rendah (575 mg/kg BB).
Pemberian ekstrak pare dilakukan setiap hari
selama 2 bulan. Setelah 2 bulan semua tikus
lalu dinekropsi untuk diambil hatinya dan
dianalisis lipid peroksidanya. Tidak semua
hati yang dinekropsi dianalisis, namun
minimal hanya empat ulangan untuk tiap
kelompok. Jumlah ulangan ini ditentukan
berdasarkan persamaan berikut (Hanafiah
2005):
(t-1)(r-1) ≥15
Keterangan:
r =jumlah ulangan
t = jumlah perlakuan
Pengukuran Konsentrasi Lipid Peroksida
(Yagi 1994)
Pembuatan kurva standar. Kurva
standar dibuat dengan menggunakan larutan
stok pereaksi 1,1,3,3-TMP 6 M. Stok TMP 6
M tersebut diambil 1 L dan diencerkan
menjadi 100 mL stok dengan konsentrasi 60
M.
Stok 60 M tersebut kemudian
diencerkan menjadi 0.3, 0.75, 0.9, 1.5, 1.8,
3.0, dan 6.0 M. Larutan dari tiap-tiap
konsentrasi tersebut dipipet sebanyak 4 mL
ke dalam tabung reaksi. Lalu msing-masing
tabung ditambah 1 mL TBA 1.0% dalam
pelarut asam asetat 50%, dipanaskan di
penangas air mendidih pada suhu 95°C
selama 60 menit, kemudian didinginkan pada
suhu kamar. Setelah inkubasi tersebut, warna
larutan yang diperoleh adalah merah muda.
Semakin tinggi konsentrasi TMP, intensitas
warna tersebut semakin tinggi Selanjutnya
pada masing-masing tabung ditambahkan 1.0
mL akuades dan 5 mL n-butanol:piridin (15:1
v/v), dicampur dengan vorteks, lalu
disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm
selama 15 menit. Setelah disentrifus akan
terbentuk dua fase larutan. Lapisan atas
berwarna merah muda yang terbentuk (fase
organik) pada larutan diambil, lalu
serapannya diukur pada =532 nm dengan
spektrofotometer.
Analisis
lipid
peroksida
hati.
Pengukuran konsentrasi lipid peroksida hati
dilakukan pada akhir perlakuan. Sebanyak 12 g hati dibilas lebih dahulu dengan KCl
dingin 1.15 %, lalu dikeringkan dengan
kertas saring. Hati tersebut kemudian dibuat
10 % b/v homogenat hati dalam KCl dingin
1.15%. Lalu diambil sebanyak 0.1 mL
7
Analisis Statistik
Data konsentrasi lipid peroksida hati
dianalisis secara statistik, yaitu analisis ragam
(ANOVA) untuk percobaan dua faktor dalam
rancangan acak lengkap (faktorial RAL),
dilanjutkan dengan uji Duncan menggunakan
program Statistical Analysis System (SAS).
Model rancangan percobaan tersebut adalah
sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya
2002):
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan:
= nilai pengamatan pada faktor A
Yijk
(dosis STZ) taraf ke-i, faktor B
(dosis pare) taraf ke-j, dan
ulangan ke-k
µ
=
komponen aditif dari rataan
=
pengaruh utama faktor A,
αi
i=1,2
βj
= pengaruh utama faktor B, j=1,2,3
= komponen interaksi dari faktor A
(αβ)ij
dan faktor B
εijk
= pengaruh acak yang menyebar
normal
i1
= kelompok induksi STZ dosis
bertahap
i2
= kelompok induksi STZ dosis
tunggal
j1
= kelompok ekstrak pare dosis 0
mg/kg BB (kontrol negatif)
j2
= kelompok ekstrak pare dosis 125
mg/kg BB
j3
= kelompok ekstrak pare dosis 575
mg/kg BB
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh STZ terhadap Bobot Badan
Tikus
Data
sekunder
(Lampiran
5)
memperlihatkan hasil pengukuran bobot
badan (BB) tikus. Pada tikus kelompok
normal, diperoleh rataan BB pada awal
percobaan sebesar 318.4±25.77 g, dan pada
akhir percobaan (minggu ke-12) sebesar
386.28±26.94 g, atau meningkat sebesar
21.32%. Kelompok kontrol positif yang
diinduksi STZ secara bertahap pada awal dan
akhir percobaan berturut-turut sebesar
294.44±25.60 g dan 262.12±51.73 g atau
turun sebesar 10.98 %. Sedangkan kelompok
kontrol positif STZ dosis tunggal pada awal
dan akhir percobaan berturut-turut sebesar
306.07±20.33 g dan 246.0±60.93 g atau turun
sebesar 19.62% (Gambar 4). Penurunan BB
kelompok kontrol positif tikus yang diinduksi
STZ secara bertahap mau pun STZ dosis
tunggal secara statistika bermakna (p < 0.05)
dibandingkan dengan peningkatan BB
kelompok normal. Hasil ini menunjukkan
bahwa tikus yang diinduksi STZ sangat
mungkin sudah menjadi diabetes.
Pada kondisi diabetes, tubuh
mengalami defisiensi insulin atau insulin
yang ada tidak dapat bekerja secara efektif,
sehingga glukosa dalam darah tidak dapat
dimanfaatkan oleh sel untuk memenuhi
kebutuhan energi.
Insulin merupakan
hormon protein yang berinteraksi dengan
reseptor sel targetnya untuk meningkatkan
permeabilitas sel terhadap glukosa sehingga
glukosa dapat masuk ke dalam sel. Defisiensi
insulin
ini
lalu
memicu
proses
glukoneogenesis, yaitu pembentukan glukosa
dari sumber selain karbohidrat misalnya
piruvat, laktat, senyawa antara siklus asam
sitrat, dan asam amino tertentu hasil
katabolisme protein. Katabolis450
Bobot badan (g)
homogenat ke dalam tabung reaksi tertutup
secara duplo. Selanjutnya ke dalam tiap
tabung ditambahkan 0.2 mL SDS 8.1% dan
1.5 mL asam asetat 20%, serta diatur menjadi
pH 3.5 oleh NaOH 1 M dengan pH meter.
Kisaran pH awal sebelum ditambahkan
NaOH adalah 2.5, dan volume NaOH yang
ditambahkan sekitar 0.7 ml. Selanjutnya
ditambahkan 0.7 mL akuades dan 1.5 mL
TBA 1.0 % dalam pelarut dalam pelarut asam
asetat 50%, dipanaskan di penangas air
mendidih pada suhu 95°C selama 60 menit,
kemudian didinginkan pada suhu kamar.
Setelah inkubasi tersebut, warna larutan yang
diperoleh adalah merah muda. Selanjutnya
pada tiap tabung ditambahkan 1.0 mL
akuades dan 5 mL n-butanol:piridin (15:1
v/v), dicampur dengan vorteks, lalu
disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm
selama 10 menit. Lapisan atas berwarna
merah muda yang terbentuk (fase organik)
pada larutan diambil, lalu serapannya diukur
pada 532 nm dengan spektrofotometer.
400
350
I
II
300
250
200
150
100
50
0
kelompok
III
7
Analisis Statistik
Data konsentrasi lipid peroksida hati
dianalisis secara statistik, yaitu analisis ragam
(ANOVA) untuk percobaan dua faktor dalam
rancangan acak lengkap (faktorial RAL),
dilanjutkan dengan uji Duncan menggunakan
program Statistical Analysis System (SAS).
Model rancangan percobaan tersebut adalah
sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya
2002):
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan:
= nilai pengamatan pada faktor A
Yijk
(dosis STZ) taraf ke-i, faktor B
(dosis pare) taraf ke-j, dan
ulangan ke-k
µ
=
komponen aditif dari rataan
=
pengaruh utama faktor A,
αi
i=1,2
βj
= pengaruh utama faktor B, j=1,2,3
= komponen interaksi dari faktor A
(αβ)ij
dan faktor B
εijk
= pengaruh acak yang menyebar
normal
i1
= kelompok induksi STZ dosis
bertahap
i2
= kelompok induksi STZ dosis
tunggal
j1
= kelompok ekstrak pare dosis 0
mg/kg BB (kontrol negatif)
j2
= kelompok ekstrak pare dosis 125
mg/kg BB
j3
= kelompok ekstrak pare dosis 575
mg/kg BB
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh STZ terhadap Bobot Badan
Tikus
Data
sekunder
(Lampiran
5)
memperlihatkan hasil pengukuran bobot
badan (BB) tikus. Pada tikus kelompok
normal, diperoleh rataan BB pada awal
percobaan sebesar 318.4±25.77 g, dan pada
akhir percobaan (minggu ke-12) sebesar
386.28±26.94 g, atau meningkat sebesar
21.32%. Kelompok kontrol positif yang
diinduksi STZ secara bertahap pada awal dan
akhir percobaan berturut-turut sebesar
294.44±25.60 g dan 262.12±51.73 g atau
turun sebesar 10.98 %. Sedangkan kelompok
kontrol positif STZ dosis tunggal pada awal
dan akhir percobaan berturut-turut sebesar
306.07±20.33 g dan 246.0±60.93 g atau turun
sebesar 19.62% (Gambar 4). Penurunan BB
kelompok kontrol positif tikus yang diinduksi
STZ secara bertahap mau pun STZ dosis
tunggal secara statistika bermakna (p < 0.05)
dibandingkan dengan peningkatan BB
kelompok normal. Hasil ini menunjukkan
bahwa tikus yang diinduksi STZ sangat
mungkin sudah menjadi diabetes.
Pada kondisi diabetes, tubuh
mengalami defisiensi insulin atau insulin
yang ada tidak dapat bekerja secara efektif,
sehingga glukosa dalam darah tidak dapat
dimanfaatkan oleh sel untuk memenuhi
kebutuhan energi.
Insulin merupakan
hormon protein yang berinteraksi dengan
reseptor sel targetnya untuk meningkatkan
permeabilitas sel terhadap glukosa sehingga
glukosa dapat masuk ke dalam sel. Defisiensi
insulin
ini
lalu
memicu
proses
glukoneogenesis, yaitu pembentukan glukosa
dari sumber selain karbohidrat misalnya
piruvat, laktat, senyawa antara siklus asam
sitrat, dan asam amino tertentu hasil
katabolisme protein. Katabolis450
Bobot badan (g)
homogenat ke dalam tabung reaksi tertutup
secara duplo. Selanjutnya ke dalam tiap
tabung ditambahkan 0.2 mL SDS 8.1% dan
1.5 mL asam asetat 20%, serta diatur menjadi
pH 3.5 oleh NaOH 1 M dengan pH meter.
Kisaran pH awal sebelum ditambahkan
NaOH adalah 2.5, dan volume NaOH yang
ditambahkan sekitar 0.7 ml. Selanjutnya
ditambahkan 0.7 mL akuades dan 1.5 mL
TBA 1.0 % dalam pelarut dalam pelarut asam
asetat 50%, dipanaskan di penangas air
mendidih pada suhu 95°C selama 60 menit,
kemudian didinginkan pada suhu kamar.
Setelah inkubasi tersebut, warna larutan yang
diperoleh adalah merah muda. Selanjutnya
pada tiap tabung ditambahkan 1.0 mL
akuades dan 5 mL n-butanol:piridin (15:1
v/v), dicampur dengan vorteks, lalu
disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm
selama 10 menit. Lapisan atas berwarna
merah muda yang terbentuk (fase organik)
pada larutan diambil, lalu serapannya diukur
pada 532 nm dengan spektrofotometer.
400
350
I
II
300
250
200
150
100
50
0
kelompok
III
8
Pengaruh STZ terhadap Lipid Peroksida
Hati Tikus
Hasil analisis lipid peroksida hati tikus
dari semua kelompok pada akhir percobaan
(minggu ke-12) dirangkum dalam Tabel 2.
Tabel 2 Lipid peroksida hati tikus pada akhir
percobaan
Kelompok
Rata-rata konsentrasi lipid
peroksida (nmol/g)
I
75.421±31.24
II
60.144±10.34
III
58.984±5.75
IV
57.488±11.69
V
62.400±6.90
VI
77.641±22.62
VII
79.359±13.84
Keterangan: tikus kelompok normal (I),
kontrol positif STZ bertahap (II), STZ
bertahap dan pare dosis rendah (III), STZ
bertahap dan pare dosis (IV), kontrol positif
STZ tunggal (V), STZ tunggal dan pare dosis
rendah (VI), STZ tunggal dan pare dosis
tinggi (VII)
konsentrasi lipid peroksida (nm ol/g)
Gambar 4 Bobot badan tikus (g) kelompok
normal (I), kontrol positif STZ bertahap (II),
dan kontrol positif STZ tunggal (III)
me protein akibat defisiensi insulin terjadi
melalui perombakan protein otot atau
cadangan protein tubuh yang berakibat pada
penurunan bobot badan (Lehninger 1994).
Selain karena katabolisme protein,
penurunan bobot badan juga terjadi karena
defisiensi insulin akan memicu mobilisasi
triasilgliserol dari jaringan adiposa (lipolisis).
Triasilgliserol ini kemudian diubah menjadi
asam lemak bebas untuk dioksidasi dan
menghasilkan
energi.
Mobilisasi
triasilgliserol menyebabkan cadangan lemak
yang tersimpan dalam adiposa berkurang
sehingga bobot badan akan berkurang.
Mobilisasi asam lemak juga meningkatkan
resiko terjadinya serangan radikal bebas
terhadap PUFA atau peroksidasi lipid, karena
semakin banyak molekul asam lemak yang
dapat diserang.
Hati merupakan salah satu organ yang
vital bagi tubuh. Seluruh proses metabolisme
sebagian besar terjadi di hati. Hati mengolah
dan mensintesis berbagai zat yang diangkut
ke bagian tubuh lainnya. Peroksidasi lipid
hati mengakibatkan gangguan pada membran
sel mikrosom hati, yaitu gelembung
bermembran
yang
dibentuk
melalui
pemecahan retikulum endoplasma sel
eukariot. Segala fungsi yang terjadi pada
membran sel mikrosom ini akan turut
dirusak, termasuk di antaranya fungsi
enzimatik. Menurut Gibson & Skett (1991),
aktivitas enzimatik yang diamati dalam
retikulum endoplasma hati di antaranya
adalah enzim untuk biosintesis trigliserida,
katabolisme asam lemak, katabolisme dan
biosintesis kolesterol, serta glukosa 6fosfatase. Selain itu tingginya kadar lipid
peroksida akan menyebabkan akumulasi
trigliserida pada sel hati, dan kemudian
menyebabkan nekrosis hati. Nekrosis adalah
kematian sel akibat kerusakan berat yang
ditandai dengan kerusakan struktur seluler
secra menyeluruh diikuti lisisnya sel dan
inflamasi jaringan (Vegad 1996). Perubahan
awal pada sel yang mengalami nekrosis
adalah kariopiknosis (inti mengecil dan
warnanya menjadi lebih jelas sampai hitam).
Jadi kondisi diabetes yang parah dan
berkepanjangan
akan
menyebabkan
peroksidasi lipid terutama di hati
80
70
I
II
III
60
50
40
30
20
10
0
kelompok
Gambar 5 Konsentrasi lipid peroksida
(nmol/g) kelompok normal (I), kontrol positif
STZ bertahap (II), dan kontrol positif STZ
tunggal (III)
Konsentrasi lipid peroksida hati tikus
kelompok normal setelah 12 minggu adalah
75.421±31.24 nmol/g pada usia tujuh bulan.
Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan
hasil Alviani (2007) yaitu nilai lipid
peroksida hati kelompok normal pada usia
lima bulan sebesar 87.10 nmol/g. Sedangkan
menurut Sayogya (2002), kadar lipid
peroksida hati tikus galur Sprague-Dawley
kelompok normal dengan usia 8.5 bulan
adalah sebesar 100.46 nmol/g. Perbedaan ini
bisa dikarenakan ketidaksamaan umur dan
faktor lingkungan yang berbeda seperti
pakan, stress, dan lingkungan yang berbeda.
Usia hidup tikus yang lebih lama
memungkinkan tikus lebih banyak terpapar
oleh radikal bebas baik endogen mau pun
eksogen, selain juga disebabkan makin
lemahnya fungsi hati (Ruswandi 2005). Lata
et al. (2004) melaporkan bahwa terjadi
9
Konsentrasi Lipid Peroksida Hati Tikus
yang Diberi Ekstrak Pare
Konsentrasi lipid peroksida hati tikus
yang disuntik STZ secara bertahap dan diberi
dosis pare 125 mg/kg BB adalah 58.98±5.75
nmol/g
atau
turun
sebesar
1.93%
dibandingkan
kelompok
kontrolnya,
sedangkan kelompok yang diberi pare dengan
dosis lebih tinggi yaitu 575 mg/kg BB
k o n s e n tr a s i l i p i d p e r o k s i d a (n m o l / g )
sebesar 57.49±11.69 nmol/g atau turun
4.43% dibandingkan kelompok kontrol
(Gambar 6). Perbedaan konsentrasi lipid
peroksida antar kelompok tersebut tidak
nyata (p > 0.05).
Pada kelompok tikus yang disuntik STZ
dengan dosis tunggal, konsentrasi lipid
peroksida hati kelompok yang diberi dosis
pare 125 mg/kg BB adalah 77.64±22.62
nmol/g
atau
naik
sebesar
24.42%
dibandingkan kelompok kontrol, sedangkan
kelompok yang diberi pare dengan dosis
lebih tinggi yaitu 575 mg/kg BB sebesar
79.36±13.84 nmol/g atau naik 27.18%
dibandingkan kelompok kontrol (Gambar 7).
Kenaikan konsentrasi tersebut mungkin
dikarenakan respon tubuh tikus terhadap pare
bervariasi, atau pun juga faktor stress.
Perbedaan konsentrasi lipid peroksida antar
kelompok tersebut juga tidak nyata (p >
0.05), sehingga dapat dikatakan bahwa pada
penelitian ini pemberian ekstrak pare baik
dosis rendah maupun tinggi belum
mempengaruhi konsentrasi lipid peroksida
hati tikus.
80
70
I
60
II
III
50
40
30
20
10
0
KELOMPOK
Gambar 6 Konsentrasi lipid peroksida hati
(nmol/g) tikus kontrol positif STZ bertahap
(I), STZ bertahap dan pare dosis rendah (II),
STZ bertahap dan pare dosis tinggi (III)
k o n s e n tr a s i l i p i d p e r o k s i d a (n m o l / g )
peningkatan lipid peroksida darah kelinci
yang sengaja dibuat stress dengan
amobilisasi. Stress juga dikatakan sebagai
faktor yang dapat memicu radikal bebas
secara berlebih. Lipid peroksida dapat pula
bertambah sebagai hasil dari meningkatnya
pelepasan trigliserida dari jaringan adiposa
untuk membentuk kortikosteroid sebagai
respon terhadap stress (Singhal et al. 1997).
Konsentrasi
lipid
peroksida
hati
kelompok yang disuntik STZ dosis bertahap
sebesar 60.14±10.34 nmol/g atau turun
sebesar 20.25% dibanding kelompok normal,
sedangkan konsentrasi lipid peroksida hati
kelompok yang disuntik STZ dengan dosis
tunggal sebesar 62.40±5.75 nmol/g atau turun
17.26% dibandingkan dengan kelompok
normal (Gambar 5). Perbedaan konsentrasi
lipid peroksida antar kelompok tersebut tidak
nyata (p > 0.05), sehingga dikatakan STZ
yang diberikan baik secara bertahap maupun
dosis tunggal tidak memberikan efek naiknya
lipid peroksida. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Sayogya (2002) yang melaporkan
bahwa kadar lipid peroksida hati tikus
Sprague-Dawley jantan usia 8.5 bulan yang
diinduksi dengan STZ dosis 37 mg/kg BB
tidak mengalami perubahan yang bermakna
dibandingkan kelompok kontrol yang diberi
akuades dan pakan standar.
Pada kelompok kontrol positif STZ, baik
yang diinduksi secara bertahap maupun dosis
tunggal, tidak didapati efek STZ terhadap
kadar lipid peroksida hati tikus. Tidak
didapatinya efek STZ dapat dikarenakan sel
β-pankreas tikus belum rusak sepenuhnya
oleh STZ, sehingga sekalipun sudah
mengalami hiperglikemia, namun tidak
sampai menyebabkan disfungsi endotel
sebagaimana yang dilaporkan Widyastuti
(2000) pada monyet ekor panjang, yaitu
bahwa
kondisi
hiperglikemia
dapat
mendorong
disfungsi
endotel
yang
menyebabkan peningkatan radikal bebas su
peroksida. Radikal bebas superoksida ini
akan memicu radikal-radikal lainnya yang
dapat meningkatkan peroksidasi lipid.
II
80
70
III
I
60
50
40
30
20
10
0
KELOMPOK
Gambar 7 Konsentrasi lipid peroksida hati
(nmol/g) tikus kontrol positif STZ tunggal (I),
10
STZ tunggal dan pare dosis rendah (II), STZ
tunggal dan pare dosis tinggi (III)
Hasil
penelitian
ini
belum
memperlihatkan pengaruh ekstrak pare untuk
mengurangi kadar lipid peroksida hati.
Selama ini pare memang lebih diterima dan
digunakan oleh masyarakat tradisonal sebagai
alternatif untuk menurunkan kadar gula darah
bagi penderita diabetes, belum dikatakan
secara
pasti
bahwa
pare
memiliki
kemampuan antioksidan yang baik. Perlu
diperhatikan bahwa pada penelitian ini
rancangan yang digunakan lebih bertujuan
untuk mendapatkan hewan model diabetes
dengan
kadar
gula
darah
tinggi
(hiperglikemia) yang stabil. Hal ini berarti
kenaikan lipid peroksida hati tikus
hiperglikemia pada rancangan yang dipakai
ini belum cukup signifikan untuk dapat
melihat pengaruh dari pare itu sendiri, terlihat
dari nilai konsentrasi lipid peroksida hati
yang tidak berbeda nyata antara kelompok
normal dengan kelompok kontrol positif STZ
baik yang disuntikkan secara bertahap
maupun dengan dosis tunggal. Oleh karena
itu belum tertutup kemungkinan untuk
membuktikan bahwa pare memang mampu
mengurangi kadar lipid peroksida hati, sebab
dilihat dari kandungannya, pare memang
mengandung
senyawa yang bersifat
antioksidan seperti vitamin C, vitamin A,
flavonoid, dan polifenol (Taylor 2002).
Ada beberapa perlakuan yang dapat
diberikan apabila ingin meningkatkan
konsentrasi lipid peroksida hati secara
signifikan.
Salah satunya yang telah
diketahui adalah dengan memberikan tiikus
percobaan perlakuan pakan kolesterol dan
induksi propil tiourasil (PTU).
Alviani
(2007) melaporkan lipid peroksida hati
kelompok tikus yang dibuat hiperlipidemia
dengan perlakuan pakan kolesterol 1.5% serta
dicekok PTU (0.01%) dengan dosis 0.5
mg/kg BB selama delapan minggu percobaan
sebesar 523.55 nmol/g, lebih besar lima kali
lipat dibandingkan kelompok normal yaitu
87.10 nmol/g.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Konsentrasi lipid peroksida hati tikus
yang diinduksi STZ secara bertahap atau pun
dengan dosis tunggal tidak mengalami
perubahan secara nyata dibandingkan dengan
kelompok normal.
Konsentrasi lipid
peroksida hati tikus yang diberi ekstrak pare
dosis rendah (125 mg/kg BB) dan dosis
tinggi (575 mg/kg BB) juga tidak mengalami
perubahan secara nyata dibandingkan dengan
kelompok kontrol positif masing-masing.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut terhadap konsentrasi lipid peroksida
hati dengan penambahan perlakuan untuk
menginduksi peningkatan lipid peroksida
yang lebih nyata misalnya dengan induksi
PTU ataupun pemberian pakan kolesterol.
Untuk ekstrak pare juga dibuat variasi dosis
yang lebih besar sehingga terlihat pengaruh
yang
jelas terhadap konsentrasi lipid
peroksida hati tikus.
DAFTAR PUSTAKA
Alviani. 2007. Khasiat ramuan ekstrak daun
jati Belanda terhadap peroksidasi lipid
hati tikus hiperlipidemia.
[Skripsi].
Bogor: Program Studi Biokimia FMIPA
IPB.
Budianto R, Qomariah N, dan Suhartono E.
Potensi infus daun pare
2003.
(Momordica
charantia)
sebagai
penghambat kerusakan protein akibat
reaksi glikosilasi secara in vitro. J Obat
Tradisional 8:1-5.
Cadenas E, dan Packer L. 2002. Handbook
of Antioxidant.
2nd Ed. St Louis,
Missouri: Mosby-Year Book Inc.
Elsner M, Guldbakke B, Tiedge M, Munday
R, Lenzen S. 2000. Relative importance
of transport and alkylation for pancreatic
beta-cell toxicity of STZ. Diabetologia
43:1528-1533.
Gibson GG, Skett P. 1991. Pengantar
Metabolisme
Obat.
Aisyah
I,
penerjemah.
Jakarta: UI Press.
Girini MM, Ahamed RN, Aladakatti RH.
2005. Effect of graded doses of
Momordica charantia seed extract on rat
sperm: scanning electron microscope
study, J Basic Clin Physiol Pharmacol
16(1):53-66.
Gitawati R. 1995. Radikal bebas, sifat dan
peran dalam menimbulkan kerusakan
atau kematian sel.
Cermin Dunia
Kedokteran 102:33-36.
KHASIAT ANTIOKSIDAN EKSTRAK PARE: KAJIAN IN
VIVO PADA TIKUS HIPERGLIKEMIA
CHRISTIAN
PROGRAM STUDI BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
KHASIAT ANTIOKSIDAN EKSTRAK PARE: KAJIAN IN
VIVO PADA TIKUS HIPERGLIKEMIA
CHRISTIAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Program Studi Biokimia
PROGRAM STUDI BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
ABSTRAK
CHRISTIAN. Khasiat Antioksidan Ekstrak Pare: Kajian In Vivo pada Tikus
Hiperglikemia. Dibimbing oleh SULISTIYANI dan ERNI SULISTIAWATI.
Dewasa ini diabetes merupakan gangguan metabolik dengan prevalensi
yang tinggi. Kondisi diabetes dapat memicu timbulnya radikal bebas yang dapat
membahayakan sel, antara lain melalui reaksi peroksidasi lipid. Salah satu herbal
tradisional yang banyak dikonsumsi masyarakat untuk mengatasi diabetes adalah
buah pare. Penelitian ini bertujuan menguji potensi antioksidasi ekstrak buah pare
(Momordica charantia) terhadap konsentrasi lipid peroksida hati tikus
hiperglikemia.
Tikus jantan Sprague Dawley dewasa dibagi menjadi 3 kelompok utama.
Kelompok pertama adalah kelompok normal yang hanya diberi pakan standar dan
akuades. Kelompok kedua diinduksi STZ secara bertahap (3 kali penyuntikan
intraperitoneal dengan selang waktu 1 hari) dengan dosis total 55 mg/kg BB, dan
kelompok ketiga diinduksi STZ dengan dosis tunggal 35 mg/kg BB.
Setelah
mengalami hiperglikemia, tikus pada kelompok 2 dan 3 dibagi lagi menjadi 3
subkelompok, yaitu kelompok kontrol positif (diberi akuades), kelompok yang
diberi ekstrak pare dosis rendah (125 mg/kg BB), dan kelompok yang diberi
ekstrak pare dosis rendah (575 mg/kg BB). Pemberian ekstrak pare dilakukan
selama 2 bulan. Analisis lipid peroksida hati dilakukan dengan metode TBA.
Hasil penelitian ini belum memperlihatkan pengaruh ekstrak pare untuk
mengurangi kadar lipid peroksida hati. Induksi STZ menyebabkan tikus
mengalami diabetes, namun tidak menyebabkan kenaikan lipid peroksida hati.
Pemberian ekstrak buah pare baik dosis rendah maupun tinggi tidak
mempengaruhi konsentrasi lipid peroksida hati tikus.
ABSTRACT
CHRISTIAN. Antioxidant Effect of Bitter Gourd Extract: In Vivo Study on
Hiperglycemic Rats.
Under the direction of SULISTIYANI and ERNI
SULISTIAWATI.
Diabetes is a metabolic syndrome with high prevalention. Diabetic
condition may lead to production of free radical, which can be harmful to human
body by promoting a reaction known as lipid peroxidation. Bitter gourd have
been used widely as traditional medicine for diabetes treatment. In this research,
the antioxidation potential of bitter gourd (Momordica charantia) fruit extract and
it’s effect to lliver lipid peroxide was tested in vivo in hyperglycemic rat.
Sprague Dawley male rats were divided into three groups. First group was
normal group. Second group was injected with multiple dose STZ (3 times
intraperitoneal injection with one day interval) 55 mg/kg body weight (BW), and
the third group was injected with single dose STZ 35 mg/kg BW. Hiperglycemic
rats in group 2 and 3 was divided into 3 subgroups: control group (only given
aquades), low dose group (125 mg/kg BW bitter gour
Lipid peroksida merupakan suatu
molekul yang terbentuk dari peroksidasi
lipid, yaitu reaksi penyerangan oleh radikal
bebas terhadap asam lemak tak jenuh
majemuk atau poly unsaturated fatty acid
(PUFA) yang mengandung sedikitnya tiga
ikatan rangkap. Reaksi ini dapat terjadi
secara alami di dalam tubuh yang diakibatkan
oleh pembentukan radikal bebas secara
endogen dari proses metabolisme tubuh.
Radikal bebas endogen antara lain bisa
ditimbulkan oleh proses reduksi oksigen
menjadi H2O pada rantai transpor elektron di
mitokondria.
Untuk mengontrol peroksidasi lipid dapat
digunakan senyawa antioksidan yang
berperan sebagai penangkap (scavenger)
radikal bebas. Ada dua jenis antioksidan
berdasarkan cara kerjanya, yaitu antioksidan
pencegah yang mengurangi inisiasi rantai dan
antioksidan
pemutus
rantai
yang
mempengaruhi propagasi rantai.
Diabetes melitus adalah salah satu
penyakit atau kelainan metabolik yang paling
sering dijumpai dalam masyarakat. Diabetes
melitus ini merupakan penyakit degeneratif,
yaitu penyakit akibat fungsi atau struktur dari
jaringan atau organ tubuh yang secara
progresif menurun karena usia atau pengaruh
gaya hidup.
Penderita diabetes pada
umumnya
mengalami
hiperglikemia.
Hiperglikemia
ini
disebabkan
tubuh
kekurangan insulin atau insulin yang ada
tidak bekerja secara efektif, sehingga glukosa
dalam darah tidak dapat dimanfaatkan oleh
sel, yang kemudian memicu proses
glukoneogenesis dan mobilisasi asam lemak
dari jaringan adiposa untuk memenuhi
kebutuhan energi sel. Mobilisasi asam lemak
tersebut kemungkinan meningkatkan resiko
terjadinya serangan terhadap PUFA. Oleh
sebab itu, sangat mungkin ada hubungan
antara hiperglikemia dengan kadar lipid
peroksida pada darah dan hati seseorang.
Ada beberapa perlakuan atau kondisi
dapat digunakan untuk menstimulasi
terjadinya lipid peroksida seperti: defisiensi
vitamin E, hiperkolesterolemia, dan kondisi
hiperglikemia. Stimulasi lipid peroksida
melalui
kondisi
hiperkolesterolemia
dilakukan dengan memberikan diet lemak
tinggi (Alviani 2007). Pada penelitian ini,
kondisi yang dipilih untuk menstimulasi lipid
peroksida adalah hiperglikemia yang
diinduksi dengan cara memberikan STZ
secara intraperitoneal.
Dewasa ini penggunaan herbal dalam
pengobatan komplementer dan alternatif di
Indonesia
kian
meningkat.
WHO
memperkirakan 80% dari penduduk dunia
saat ini menggunakan obat-obatan yang
berasal dari bahan tanaman untuk berbagai
aspek kesehatan masyarakat (Suganda 2002).
Selain makin populernya perilaku back to
nature, pengobatan alternatif tersebut
sekaligus juga merupakan salah satu sumber
pelayanan kesehatan yang mudah diperoleh,
terjangkau oleh masyarakat luas, dan
memiliki efek samping yang relatif kecil
(aman). Convention on Biological Diversity
(CBD)
menyebutkan bahwa nilai pasar
sediaan herbal yang meliputi produk jadi dan
bahan baku mencapai US$ 43 milyar
(Sampurno 2002). Berdasarkan data ini bila
potensi tumbuhan obat di Indonesia dapat
dikelola dengan benar maka bukan saja
kebutuhan dalam negeri dapat terpenuhi,
tetapi juga berpeluang menjadi sumber devisa
negara.
Hal ini didukung pula dengan
tersedianya sumber daya alam dan
keanekaragaman hayati yang berlimpah di
Indonesia.
Salah satu herbal tradisional yang telah
umum beredar dan dikonsumsi oleh
masyarakat adalah buah pare, namun pada
umumnya masyarakat hanya menggunakan
pare sebagai salah satu bahan pangan dalam
masakan. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa pare mengandung senyawa seperti
flavonoid yang merupakan antioksidan.
Sebagai antioksidan, senyawa flavonoid akan
bereaksi dengan radikal bebas sehingga
menghasilkan produk yang stabil sehingga
kerusakan sel dapat dikurangi (Cadenas dan
Packer 2002). Oleh sebab itu, pare diduga
memiliki potensi antioksidan, namun
pembuktian ilmiah mengenai pengaruh
pemberian ekstrak pare terhadap kadar lipid
peroksida hati tikus yang diinduksi dengan
streptozotosin (STZ) belum ada.
Penelitian ini bertujuan menentukan
kadar lipid peroksida hati tikus hiperglikemia
yang diberi ekstrak buah pare. Hipotesis
penelitian adalah bahwa pemberian ekstrak
pare dapat menurunkan kadar lipid peroksida
hati tikus hiperglikemia. Hasil penelitian
diharapkan dapat memberikan informasi
kepada masyarakat mengenai potensi pare
sebagai antioksidan terutama pengaruhnya
terhadap kadar lipid peroksida hati.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Pare (Momordica charantia)
Pare atau bitter gourd adalah tanaman
yang tumbuh di daerah tropis, yaitu daerah
Amazon (Amerika Selatan), Afrika Timur,
Asia, dan Karibia (Taylor 2002).
Di
Indonesia tanaman pare hampir terdapat di
seluruh daerah, sehingga dikenal dengan
banyak nama lokal. Tanaman pare memiliki
dua varietas yang terkenal, yaitu charantia
dan muricata. Varietas charantia disebut
juga pare putih yang mempunyai ciri-ciri
buah lonjong besar, berwarna hijau muda dan
tidak begitu pahit. Varietas muricata lebih
kecil atau pendek dan pahit.
Menurut Rukmana (1997) tanaman ini
diklasifikasikan sebagai berikut: kerajaan
Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi
Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo
Curcubitales, famili Curcubitaceae, genus
Momordica,
dan
spesies
Momordica
charantia L.
Rasa pahit pada daun dan buah
disebabkan oleh sejenis glikosida yang
disebut momordicin atau charantin. Buah
pare mempunyai kegunaan yang luas, di
antaranya untuk mengobati berbagai penyakit
seperti diabetes, wasir, kerusakan hati, diare,
sakit kuning, menambah produksi air susu
ibu, sariawan, batuk, dan obat luka sehingga
membuat pare digolongkan ke dalam obatobatan tradisional.
Selain sebagai sayuran, sebagian
masyarakat memanfaatkan pare untuk
pengobatan berbagai jenis penyakit.
Di
Amerika, jus dari buah pare segar banyak
dimanfaatkan untuk terapi penderita human
immunodeficiency virus (HIV).
Dari
beberapa penelitian telah berhasil diisolasi
suatu protein aktif dari biji pare yang
berfungsi sebagai inhibitor sintesis protein
yang dinamakan MAP 30.
Gambar 1 Buah pare
Kelompok protein ini disebut ribosom
inactivating protein atau RIP (Minami et al.
1992). Kondoe di dalam Budianto (2003)
juga mengatakan bahwa RIP juga terdapat
pada anggota famili Cucurbitaceae lainnya
yaitu Luffa cylindrica dan Trichosantes
kirilowii. Kelompok RIP ini merupakan
protein yang dapat dimanfaatkan baik dalam
bidang pertanian maupun kesehatan. Lin
Huang et al. (1999) melaporkan bahwa MAP
30 yang diisolasi dari biji pare adalah suatu
protein bioaktif yang dapat melawan sel
tumor. Jackson dan Jones di dalam Budianto
et al. (2003) menyebutkan bahwa bahan aktif
yang terkandung dalam buah pare, yaitu
momordikosida K dan L dapat berperan
dalam menghambat spermatogenesis dan
bersifat reversibel, sehingga dapat digunakan
sebagai kontrasepsi pada pria. Hal serupa
juga dilaporkan oleh Girini et al. (2005),
yakni kandungan glikosida triterpen dalam
buah pare dapat menghambat motilitas dan
viabilitas spermatozoa.
Tanaman pare diduga mengandung
senyawa bioaktif yang bersifat hipoglikemik
yaitu charantin (Taylor 2002). Senyawa ini
tergolong fitosterol atau glikosida kompleks.
Diduga
ekstrak
buah
pare
dapat
meningkatkan laju metabolisme sel melalui
peningkatan dan penggunaan glukosa oleh sel
target yang efeknya bersifat antidiabetik.
Selain
charantin,
buah
pare
juga
mengandung hydroxytryptamine, vitamin A,
B, dan C. Sedangkan bijinya mengandung
momordisin. Buah pare juga dikatakan
mengandung saponin, flavonoid, polifenol
serta glikosida cucurbitacin.
Buah pare yang dianggap baik sebagai
sayuran maupun buah secara tradisional telah
digunakan sebagai herbal anti-diabetes dan
jus buahnya atau buah mentahnya secara
ilmiah telah terbukti dapat menurunkan kadar
glukosa darah pada uji dengan hewan
percobaan maupun uji klinis pada manusia.
Misalnya, uji ekstrak air,methanol, dan
kloroform buah mentah pare pada tikus
percobaan dengan dosis 20 mg/kg berat
badan dapat menurunkan kadar glukosa darah
puasa sebesar 48%, sebanding dengan
penggunaan obat antidiabetika oral sintetik
glibenklamida. Uji toksisitas yang dilakukan
juga membuktikan bahwa ekstrak buah pare
tersebut aman untuk dikonsumsi (Subroto
2006).
Buah pare yang mengandung senyawa
aktif charantin, vicine, dan polipeptida-p
(protein mirip insulin) memiliki mekanisme
3
meningkatkan sekresi insulin, asupan glukosa
jaringan, sintesis glikogen otot hati, oksidasi
glukosa, dan menurunkan glukoneogenesis
hati. Dalam percobaan dengan hewan pare
terbukti memiliki mekanisme mirip dengan
insulin dalam menurunkan kadar gula darah.
Penelitian menunjukkan bahwa buah muda
pare mengandung peptida aktif yang
dinamakan MC6 yang berukuran 10 kD.
Peptida tersebut terdiri dari 3 peptida aktif
(MC6.1, MC6.2, dan MC6.3) yang terbukti
memiliki aktivitas hipoglikemik (Subroto
2006).
Dosis yang direkomendasikan untuk
buah pare tergantung pada sediaannya. Dosis
untuk tingtur berkisar antara 5 mL hingga 50
mL tiga kali sehari. Namun demikian, karena
rasanya pahit maka sediaan pare dapat juga
berbentuk tablet atau kapsul. Dosis untuk
kapsul yang berisi bubuk kering berkisar
antara 3-15 g/hari atau bila dalam bentuk
ekstrak kering setara dengan 100-200 mg, 3
kali sehari.
Paten terbaru tentang pare di Kantor
Paten Amerika Serikat yang diberikan kepada
Pushpa Khanna dari India dengan no.
US6,831,162 B2 lebih mengungkap khasiat
biji buah pare sebagai antidiabetes. Paten
tersebut mengungkap tentang isolasi senyawa
yang dinamakan polipeptida-K dari biji buah
pare. Senyawa dalam bentuk bubuk amorf
tersebut diformulasikan dalam berbagai
bentuk seperti tablet dan produk-produk
edible seperti biskuit dan permen karet yang
tidak ditelan dengan segera.
Uji klinis yang dilakukan terhadap lebih
dari 500 pasien diabetes menunjukkan bahwa
sediaan yang mengandung 12 mg hingga 70
mg polipeptida-K tersebut cukup efektif
dalam mengaktifkan insulin yang sudah nonaktif dan dapat meremajakan pankreas
tergantung dari kekronisan kondisi patologi
dari masing-masing individu pasien. Selain
dapat menurunkan kadar gula darah,
polipeptida-K juga mengendalikan hipertensi
dengan cara mengendalikan total kolesterol,
HDL, LDL, VLDL, dan trigliserida.
Radikal bebas, Antioksidan, dan Lipid
Peroksida
Radikal bebas adalah suatu atom atau
molekul yang memiliki satu atau lebih
elektron tidak berpasangan dan sangat reaktif
(Muhilal 1991). Radikal bebas, disimbolkan
dengan tanda (•), dapat terbentuk secara
endogen sebagai hasil proses metabolisme
tubuh, atau secara eksogen misalnya melalui
proses adsorpsi radiasi (UV, sinar tampak,
panas) dan melalui reaksi redoks (Gitawati
1995). Salah satu peluang terbentuknya
radikal bebas secara endogen yaitu pada
peristiwa reduksi oksigen di dalam rantai
transpor elektron. Proses reduksi oksigen ini
menghasilkan radikal superoksida (O2-•),
hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal
hidroksil (OH•) sebagai zat perantara.
Radikal bebas dalam upaya menstabilkan
dirinya akan mencari pasangan elektron dari
molekul lain. Di dalam tubuh, radikal bebas
ini akan menarik elektron dari makromolekul
di sekitarnya seperti protein, karbohidrat,
lipid, maupun DNA yang merupakan bagian
dari sel. Jika terjadi kerusakan pada unsurunsur tersebut, pada akhirnya akan mengarah
pada kerusakan sel (Halliwel&Gutteridge
1985).
Lipid peroksida adalah suatu molekul
yang terbentuk dari peroksidasi lipid.
Peroksidasi lipid adalah reaksi yang terjadi
antara radikal bebas dengan PUFA yang
mengandung sedikitnya tiga ikatan rangkap
(Halliwell & Gutteridge 1985).
Reaksi
peroksidasi lipid diawali oleh pengambilan
sebuah atom hidrogen dari gugus metilena (CH2) pada PUFA oleh radikal bebas. Pada
tahap ini terjadi pembentukan radikal bebas
karbon (-CH-•) yang disebabkan adanya
ikatan rangkap pada asam lemak yang dapat
melemahkan ikatan antara atom C dan H
yang berdekatan dengan ikatan rangkap,
sehingga atom H mudah diambil oleh radikal
bebas. Tahap selanjutnya yaitu penstabilan
radikal bebas karbon melalui penataan ulang
ikatan rangkap, sehingga terbentuk diena
terkonjugasi. Apabila diena terkonjugasi
bereaksi dengan O2, maka akan terbentuk
radikal lipid peroksida (ROO•). Hadirnya
radikal peroksida ini dapat memudahkan
pengambilan atom hidrogen dari molekul
lipid lain, sehingga tahap ini disebut sebagai
tahap propagasi.
Radikal peroksida
selanjutnya dapat bergabung dengan atom H
yang lain membentuk lipid hidroperoksida
dan radikal bebas yang baru. Jalur lain yang
ditempuh oleh radikal peroksida yaitu dengan
membentuk peroksida siklik yang disebut
dengan enderoperoksida. Tahap terminasi
terjadi bila radikal lipid peroksida bereaksi
dengan antioksidan atau senyawa biologi
seperti protein (Tabel 1).
Lipid peroksida atau lipid hidroperoksida
merupakan suatu molekul yang stabil pada
suhu fisiologis atau suhu tubuh. Namun ionion logam transisi yang terdapat di dalam
4
Tabel 1 Tahapan reaksi pembentukan radikal
bebas
Tahapan
1. Inisiasi
2.
Propagasi
3.
Terminasi
Reaksi
RH + OH
R• + O2
ROO• + RH → ROOH + R•
ROO• + ROO•→ ROOR + O2
ROO• + R• → ROOR
R• + R•
tubuh seperti besi (Fe) dan tembaga (Cu)
dapat mengkatalisis penguraian lipid
hidroperoksida hingga membentuk produk
yang berbahaya seperti epoksida, keton,
asam, dan aldehida.
Beberapa contoh
aldehida yang dihasilkan dari peruraian
peroksida adalah malondialdehida (MDA)
dan 4-hidroksinonenal.
Kedua produk
aldehida tersebut dapat menyerang protein
terutama pada gugus thiol (-SH) dan gugus
amino (-NH2), sehingga enzim-enzim yang
membutuhkan senyawa-senyawa tersebut
untuk aktivitasnya akan terhambat bila
peroksidasi lipid sedang berlangsung
(Sulistyo 1998).
Konsentrasi lipid peroksida yang
berlebih pada darah maupun organ dapat
mengakibatkan
berbagai
penyakit
degeneratif. Menurut Yagi (1994) bila kadar
lipid peroksida di hati meningkat, maka lipid
peroksida ini dapat keluar dan akan merusak
organ atau jaringan lain. Pada manusia, lipid
peroksida dalam darah akan meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, tetapi
jumlahnya tidak boleh melebihi konsentrasi
normalnya, yaitu 4 nmol/mL.
Konsentrasi lipid peroksida dapat diukur
dengan metode asam tiobarbiturat (TBA)
yang akan mengukur adanya MDA
(malondialdehida) sebagai produk reaksi
peroksidasi lipid. Asam tiobarbiturat akan
bereaksi dengan gugus karbonil dari MDA,
yaitu satu molekul MDA akan berikatan
dengan dua molekul TBA. Reaksi ini akan
menghasilkan senyawa kompleks berwarna
merah yang serapannya dapat diukur secara
spektrofotometri (Gambar 2).
Gambar 2 Reaksi antara TBA dengan MDA
Sumber: Halliwel&Gutteridge (1985)
Untuk mengontrol radikal bebas, dapat
digunakan senyawa-senyawa yang berperan
sebagai penangkap radikal bebas atau dikenal
sebagai
antioksidan.
Antioksidan
didefinisikan sebagai senyawa yang dapat
memberikan elektron kepada radikal bebas.
Proses antioksidasi dapat terjadi pada enzim
yang berperan mengubah senyawa radikal
bebas menjadi senyawa yang lebih stabil.
Misalnya enzim superoksida dismutase
(SOD) yang mengubah radikal O2- menjadi
H2O2 dan O2.
O2- + O2- + H+ + H+
SOD
H2O2 + O2
Mekanisme kerja antioksidan pada
senyawa radikal bebas ada tiga macam, yaitu
(1) antioksidan primer yang berperan untuk
mengurangi pembentukan radikal bebas baru
dengan cara memutus reaksi berantai dan
mengubahnya menjadi produk yang lebih
stabil. Antioksidan primer ini terdiri atas
superoksida dismutase (SOD), katalase, dan
glutation peroksidase. Ketiga
contoh
antioksidan tersebut dapat mengubah radikal
superoksida menjadi air. (2) antioksidan
sekunder yang berperan untuk mengikat
radikal bebas dan mencegah amplifikasi
senyawa radikal. Antioksidan sekunder
terdapat pada vitamin C, vitamin B, vitamin
E, betakaroten, dan senyawa-senyawa
fitokimia. (3) antioksidan tersier yang
berperan dalam mekanisme biomolekuler.
Antioksidan tersier terdiri atas enzim
perbaikan DNA dan metionin sulfoksida
reduktase (Kartikawati 1999)
Ada dua jenis antioksidan berdasarkan
asalnya, yakni antioksidan yang berasal dari
dalam tubuh (endogen) dan antioksidan yang
dikonsumsi dari luar tubuh (eksogen)
(Gitawati 1995). Antioksidan endogen
merupakan jenis antioksidan yang diproduksi
oleh tubuh atau secara alami terdapat dalam
tubuh. Beberapa contoh antioksidan endogen
adalah enzim-enzim seperti superoksida
dismutase, glutation peroksidase, glutation
reduktase, katalase, tioredoksin reduktase,
heme oksigenase, dan biliverdin reduktase.
Selain itu ada juga glutation dan koenzim-Q
yang merupakan antioksidan endogen bukan
dari golongan enzim. Antioksidan eksogen
merupakan jenis antioksidan yang diperoleh
dari diet atau asupan makanan. Antioksidan
ini diperoleh dengan cara mengkonsumsi
jenis-jenis
makanan
tertentu
yang
mengandung komponen antioksidan seperti
vitamin C, vitamin E atau berbagai jenis
5
fitokimia. Fitokimia merupakan antioksidan
alami yang terdapat pada tanaman. Beberapa
contoh fitokimia, yaitu golongan karotenoid,
flavonoid,
fitostrerol,
dan
polifenol.
Senyawa turunan fenol tersebar luas dalam
tumbuhan dan beberapa diantaranya lebih
efektif dibandingkan dengan senyawa
antioksidan
sintetik
(Muhilal
1991).
Fitokimia yang umum terdapat pada
tumbuhan tingkat tinggi antara lain asam
askorbat (vitamin C), karoten, flavonoid,
saponin, tanin, dan tokoferol. Zat antioksidan
alami lain
adalah isoflavon. Isoflavon
termasuk golongan isoflavonoid yang
merupakan isomer flavon. Senyawa ini
banyak terkandung pada tanaman kacangkacangan, terutama kacang kedelai.
Streptozotosin
Streptozotosin
(2-deoksi-2-(3-metil-3(nitrosoureido)-D-glukopiranosa) merupakan
senyawa hasil sintesis Streptomycetes
achromogenes
dan
digunakan
untuk
menginduksi diabetes pada hewan coba,baik
diabetes melitus tergantung insulin (IDDM)
atau tidak tergantung insulin (NIDDM).
Struktur STZ dicirikan dengan adanya
metilnitrourea yang berikatan pada atom C
ke-2 glukosa (Gambar 3).
Menurut Ganda dalam tulisan Szkudelski
(2001) penggunaan dosis yang digunakan
pada tikus untuk menginduksi IDDM secara
intravena di antara 40 dan 60 mg/kg BB,
berhasil juga secara intraperitoneal dengan
dosis yang sama atau lebih tinggi, dan kurang
efektif di bawah 40 mg/kg BB, meskipun
juga tergantung spesiesnya. Dengan suntikan
STZ sebanyak 50 mg/kg BB secara intravena
pada tikus, kadar glukosa darah dapat
meningkat sampai sekitar 15mM (270
mg/dL) setelah 2 minggu).
Senyawa STZ masuk ke dalam sel-β
pankreas melalui glucose transporter 2
(GLUT 2). Ekspresi GLUT 2 yang tereduksi
akibat kerja STZ sebagai zat diabetogenik
ditemukan oleh Schenedl dan Thulesen.
Metabolisme STZ dalam sel akan membentuk
komponen karbamoilasi seluler, karbamoilasi
intermolekular dan komponen seluler alkilasi.
Pada tahap awal, STZ akan diubah menjadi
senyawa
isosianat
dan
melepaskan
metilnitrourea. Isosianat dapat membentuk
berbagai macam senyawa karbamoilasi
intramolekuler.
Metilnitrourea
yang
dilepaskan membentuk metildiazohidroksida
yang dapat menyisipkan gugus alkil pada
berbagai macam komponen seluler seperti
DNA, protein, atau bereaksi dengan H2O
membentuk metanol.
Sifat diabetogenik STZ diduga terjadi
karena kerusakan DNA dalam sel-sel B
pancreas. Elsner et al. (2000) melaporkan
bahwa penyebab kematian sel-sel B pankreas
hasil induksi STZ adalah alkilasi DNA. Di
samping itu kerusakan DNA pada sel B
diduga juga akibat aktivitas senyawa oksigen
reaktif dari nitrit oksida (NO). Senyawa
STZ adalah
donor
NO yang
telah
ditemukan sebagai penyebab kerusakan sel
pulau pankreas, dengan cara meningkatkan
aktivitas
guanilil
siklase.
Dalam
mitokondria, NO juga akan meningkatkan
aktivitas xanthin oksidase dan menurunkan
oksigen yang berdampak pada penghambatan
siklus Krebs, sehingga terjadi pembatasan
produksi ATP dalam mitokondria yang
kemudian menyebabkan deplesi nukleotida
dalam sel
β
dan pada
akhirnya
mengakibatkan kerusakan DNA (Szkudelski
2001).
Dalam jumlah terbatas NO
memainkan peranan penting dalam tubuh
manusia, misalnya sebagai molekul sinyal,
membantu regulasi aliran darah, melawan
infeksi, dan mematikan sel tumor.
Sebaliknya, dalam jumlah berlebih NO
dapatmenjadi berbahaya misalnya memicu
inflamasi kronik, menggangu fungsi otak, dan
merestriksi aliran darah. Selain itu, apabila
NO bertemu dengan radikal superoksida, NO
akan menjadi radikal bebas yang lebih aktif
dan dapat merusak sistem antioksidan serta
protein dalam tubuh (Packer dan Colman
1999).
BAHAN DAN METODE
Gambar 3 Struktur STZ
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: sampel hati tikus
Sprague Dawley yang diperoleh dari Pusat
Studi Satwa Primata (PSSP). Bahan-bahan
untuk uji TBA antara lain: asam tiobarbiturat
5
fitokimia. Fitokimia merupakan antioksidan
alami yang terdapat pada tanaman. Beberapa
contoh fitokimia, yaitu golongan karotenoid,
flavonoid,
fitostrerol,
dan
polifenol.
Senyawa turunan fenol tersebar luas dalam
tumbuhan dan beberapa diantaranya lebih
efektif dibandingkan dengan senyawa
antioksidan
sintetik
(Muhilal
1991).
Fitokimia yang umum terdapat pada
tumbuhan tingkat tinggi antara lain asam
askorbat (vitamin C), karoten, flavonoid,
saponin, tanin, dan tokoferol. Zat antioksidan
alami lain
adalah isoflavon. Isoflavon
termasuk golongan isoflavonoid yang
merupakan isomer flavon. Senyawa ini
banyak terkandung pada tanaman kacangkacangan, terutama kacang kedelai.
Streptozotosin
Streptozotosin
(2-deoksi-2-(3-metil-3(nitrosoureido)-D-glukopiranosa) merupakan
senyawa hasil sintesis Streptomycetes
achromogenes
dan
digunakan
untuk
menginduksi diabetes pada hewan coba,baik
diabetes melitus tergantung insulin (IDDM)
atau tidak tergantung insulin (NIDDM).
Struktur STZ dicirikan dengan adanya
metilnitrourea yang berikatan pada atom C
ke-2 glukosa (Gambar 3).
Menurut Ganda dalam tulisan Szkudelski
(2001) penggunaan dosis yang digunakan
pada tikus untuk menginduksi IDDM secara
intravena di antara 40 dan 60 mg/kg BB,
berhasil juga secara intraperitoneal dengan
dosis yang sama atau lebih tinggi, dan kurang
efektif di bawah 40 mg/kg BB, meskipun
juga tergantung spesiesnya. Dengan suntikan
STZ sebanyak 50 mg/kg BB secara intravena
pada tikus, kadar glukosa darah dapat
meningkat sampai sekitar 15mM (270
mg/dL) setelah 2 minggu).
Senyawa STZ masuk ke dalam sel-β
pankreas melalui glucose transporter 2
(GLUT 2). Ekspresi GLUT 2 yang tereduksi
akibat kerja STZ sebagai zat diabetogenik
ditemukan oleh Schenedl dan Thulesen.
Metabolisme STZ dalam sel akan membentuk
komponen karbamoilasi seluler, karbamoilasi
intermolekular dan komponen seluler alkilasi.
Pada tahap awal, STZ akan diubah menjadi
senyawa
isosianat
dan
melepaskan
metilnitrourea. Isosianat dapat membentuk
berbagai macam senyawa karbamoilasi
intramolekuler.
Metilnitrourea
yang
dilepaskan membentuk metildiazohidroksida
yang dapat menyisipkan gugus alkil pada
berbagai macam komponen seluler seperti
DNA, protein, atau bereaksi dengan H2O
membentuk metanol.
Sifat diabetogenik STZ diduga terjadi
karena kerusakan DNA dalam sel-sel B
pancreas. Elsner et al. (2000) melaporkan
bahwa penyebab kematian sel-sel B pankreas
hasil induksi STZ adalah alkilasi DNA. Di
samping itu kerusakan DNA pada sel B
diduga juga akibat aktivitas senyawa oksigen
reaktif dari nitrit oksida (NO). Senyawa
STZ adalah
donor
NO yang
telah
ditemukan sebagai penyebab kerusakan sel
pulau pankreas, dengan cara meningkatkan
aktivitas
guanilil
siklase.
Dalam
mitokondria, NO juga akan meningkatkan
aktivitas xanthin oksidase dan menurunkan
oksigen yang berdampak pada penghambatan
siklus Krebs, sehingga terjadi pembatasan
produksi ATP dalam mitokondria yang
kemudian menyebabkan deplesi nukleotida
dalam sel
β
dan pada
akhirnya
mengakibatkan kerusakan DNA (Szkudelski
2001).
Dalam jumlah terbatas NO
memainkan peranan penting dalam tubuh
manusia, misalnya sebagai molekul sinyal,
membantu regulasi aliran darah, melawan
infeksi, dan mematikan sel tumor.
Sebaliknya, dalam jumlah berlebih NO
dapatmenjadi berbahaya misalnya memicu
inflamasi kronik, menggangu fungsi otak, dan
merestriksi aliran darah. Selain itu, apabila
NO bertemu dengan radikal superoksida, NO
akan menjadi radikal bebas yang lebih aktif
dan dapat merusak sistem antioksidan serta
protein dalam tubuh (Packer dan Colman
1999).
BAHAN DAN METODE
Gambar 3 Struktur STZ
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: sampel hati tikus
Sprague Dawley yang diperoleh dari Pusat
Studi Satwa Primata (PSSP). Bahan-bahan
untuk uji TBA antara lain: asam tiobarbiturat
6
(TBA) 1.0% dalam pelarut asam asetat 50%,
akuades, n-butanol:piridin (15:1 v/v), dan
1,1,3,3-tetrametoksi propana (TMP) 6 M
sebagai stok larutan standar. Sedangkan
bahan untuk preparasi homogenat dan
analisis hati tikus antara lain: KCl dingin
1.15%, sodium dodesil sulfat (SDS) 8.1%,
NaOH 1 M, asam asetat 20%, akuades, dan
kertas saring.
Alat-alat
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
mikropipet,
homogenizer, penangas air, vortek, neraca
analitik, sentrifus Hettich Universal d7200,
pH meter, spektrofotometer, dan alat-alat
gelas.
Metode Penelitian
Ekstraksi Buah Pare (Markham 1988)
Buah pare (Momordica charantia)
diiris tipis-tipis dan dimasukkan ke dalam
oven dengan temperatur 60 °C sampai
menjadi bahan kering. Selanjutnya bahan
kering ditumbuk sampai halus sehingga
memperoleh serbuk halus yang homogen.
Ekstraksi buah pare dilakukan dengan
maserasi di dalam alkohol absolut (98%)
dengan perbandingan 1:3 selama 10 jam.
Setelah 10 jam larutan alkohol disaring
sehingga diperoleh larutan alkohol yang
mengandung ekstrak buah pare. Kemudian
ekstrak cair tersebut diuapkan dengan
pemanas listrik (sokhlet) untuk memisahkan
alkohol dengan ekstrak pare. Suspensi
ekstrak
pare
dilakukan
dengan
mencampurkan ekstrak bebas alkohol dengan
1% carboxyl methyl cellulose (CMC).
Rancangan Percobaan
Hewan uji yang digunakan adalah tikus
jantan Sprague Dawley dewasa dengan usia
16 minggu. Tikus diadaptasikan selama dua
minggu untuk menyeragamkan cara hidup
dan makannya.
Tikus kemudian dibagi
menjadi 3 kelompok utama. Kelompok yang
pertama adalah kelompok normal yang hanya
diberi pakan standar dan akuades (10 ekor).
Kelompok kedua adalah kelompok tikus yang
diinduksi STZ secara bertahap (3 kali
penyuntikan intraperitoneal dengan selang
waktu 1 hari) dosis total 55 mg/kg BB
dengan pembagian 20; 20; dan 15 mg/kg BB
(30 ekor), kelompok ketiga adalah kelompok
tikus yang diinduksi STZ dengan dosis
tunggal 35 mg/kg BB (30 ekor).
Setelah mengalami hiperglikemia, tikustikus pada kelompok 2 dan 3 dibagi lagi
menjadi 3 subkelompok, yaitu kelompok
kontrol negatif (diberi akuades), kelompok
yang diberi ekstrak pare dosis rendah (125
mg/kg BB), dan kelompok yang diberi
ekstrak pare dosis rendah (575 mg/kg BB).
Pemberian ekstrak pare dilakukan setiap hari
selama 2 bulan. Setelah 2 bulan semua tikus
lalu dinekropsi untuk diambil hatinya dan
dianalisis lipid peroksidanya. Tidak semua
hati yang dinekropsi dianalisis, namun
minimal hanya empat ulangan untuk tiap
kelompok. Jumlah ulangan ini ditentukan
berdasarkan persamaan berikut (Hanafiah
2005):
(t-1)(r-1) ≥15
Keterangan:
r =jumlah ulangan
t = jumlah perlakuan
Pengukuran Konsentrasi Lipid Peroksida
(Yagi 1994)
Pembuatan kurva standar. Kurva
standar dibuat dengan menggunakan larutan
stok pereaksi 1,1,3,3-TMP 6 M. Stok TMP 6
M tersebut diambil 1 L dan diencerkan
menjadi 100 mL stok dengan konsentrasi 60
M.
Stok 60 M tersebut kemudian
diencerkan menjadi 0.3, 0.75, 0.9, 1.5, 1.8,
3.0, dan 6.0 M. Larutan dari tiap-tiap
konsentrasi tersebut dipipet sebanyak 4 mL
ke dalam tabung reaksi. Lalu msing-masing
tabung ditambah 1 mL TBA 1.0% dalam
pelarut asam asetat 50%, dipanaskan di
penangas air mendidih pada suhu 95°C
selama 60 menit, kemudian didinginkan pada
suhu kamar. Setelah inkubasi tersebut, warna
larutan yang diperoleh adalah merah muda.
Semakin tinggi konsentrasi TMP, intensitas
warna tersebut semakin tinggi Selanjutnya
pada masing-masing tabung ditambahkan 1.0
mL akuades dan 5 mL n-butanol:piridin (15:1
v/v), dicampur dengan vorteks, lalu
disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm
selama 15 menit. Setelah disentrifus akan
terbentuk dua fase larutan. Lapisan atas
berwarna merah muda yang terbentuk (fase
organik) pada larutan diambil, lalu
serapannya diukur pada =532 nm dengan
spektrofotometer.
Analisis
lipid
peroksida
hati.
Pengukuran konsentrasi lipid peroksida hati
dilakukan pada akhir perlakuan. Sebanyak 12 g hati dibilas lebih dahulu dengan KCl
dingin 1.15 %, lalu dikeringkan dengan
kertas saring. Hati tersebut kemudian dibuat
10 % b/v homogenat hati dalam KCl dingin
1.15%. Lalu diambil sebanyak 0.1 mL
7
Analisis Statistik
Data konsentrasi lipid peroksida hati
dianalisis secara statistik, yaitu analisis ragam
(ANOVA) untuk percobaan dua faktor dalam
rancangan acak lengkap (faktorial RAL),
dilanjutkan dengan uji Duncan menggunakan
program Statistical Analysis System (SAS).
Model rancangan percobaan tersebut adalah
sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya
2002):
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan:
= nilai pengamatan pada faktor A
Yijk
(dosis STZ) taraf ke-i, faktor B
(dosis pare) taraf ke-j, dan
ulangan ke-k
µ
=
komponen aditif dari rataan
=
pengaruh utama faktor A,
αi
i=1,2
βj
= pengaruh utama faktor B, j=1,2,3
= komponen interaksi dari faktor A
(αβ)ij
dan faktor B
εijk
= pengaruh acak yang menyebar
normal
i1
= kelompok induksi STZ dosis
bertahap
i2
= kelompok induksi STZ dosis
tunggal
j1
= kelompok ekstrak pare dosis 0
mg/kg BB (kontrol negatif)
j2
= kelompok ekstrak pare dosis 125
mg/kg BB
j3
= kelompok ekstrak pare dosis 575
mg/kg BB
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh STZ terhadap Bobot Badan
Tikus
Data
sekunder
(Lampiran
5)
memperlihatkan hasil pengukuran bobot
badan (BB) tikus. Pada tikus kelompok
normal, diperoleh rataan BB pada awal
percobaan sebesar 318.4±25.77 g, dan pada
akhir percobaan (minggu ke-12) sebesar
386.28±26.94 g, atau meningkat sebesar
21.32%. Kelompok kontrol positif yang
diinduksi STZ secara bertahap pada awal dan
akhir percobaan berturut-turut sebesar
294.44±25.60 g dan 262.12±51.73 g atau
turun sebesar 10.98 %. Sedangkan kelompok
kontrol positif STZ dosis tunggal pada awal
dan akhir percobaan berturut-turut sebesar
306.07±20.33 g dan 246.0±60.93 g atau turun
sebesar 19.62% (Gambar 4). Penurunan BB
kelompok kontrol positif tikus yang diinduksi
STZ secara bertahap mau pun STZ dosis
tunggal secara statistika bermakna (p < 0.05)
dibandingkan dengan peningkatan BB
kelompok normal. Hasil ini menunjukkan
bahwa tikus yang diinduksi STZ sangat
mungkin sudah menjadi diabetes.
Pada kondisi diabetes, tubuh
mengalami defisiensi insulin atau insulin
yang ada tidak dapat bekerja secara efektif,
sehingga glukosa dalam darah tidak dapat
dimanfaatkan oleh sel untuk memenuhi
kebutuhan energi.
Insulin merupakan
hormon protein yang berinteraksi dengan
reseptor sel targetnya untuk meningkatkan
permeabilitas sel terhadap glukosa sehingga
glukosa dapat masuk ke dalam sel. Defisiensi
insulin
ini
lalu
memicu
proses
glukoneogenesis, yaitu pembentukan glukosa
dari sumber selain karbohidrat misalnya
piruvat, laktat, senyawa antara siklus asam
sitrat, dan asam amino tertentu hasil
katabolisme protein. Katabolis450
Bobot badan (g)
homogenat ke dalam tabung reaksi tertutup
secara duplo. Selanjutnya ke dalam tiap
tabung ditambahkan 0.2 mL SDS 8.1% dan
1.5 mL asam asetat 20%, serta diatur menjadi
pH 3.5 oleh NaOH 1 M dengan pH meter.
Kisaran pH awal sebelum ditambahkan
NaOH adalah 2.5, dan volume NaOH yang
ditambahkan sekitar 0.7 ml. Selanjutnya
ditambahkan 0.7 mL akuades dan 1.5 mL
TBA 1.0 % dalam pelarut dalam pelarut asam
asetat 50%, dipanaskan di penangas air
mendidih pada suhu 95°C selama 60 menit,
kemudian didinginkan pada suhu kamar.
Setelah inkubasi tersebut, warna larutan yang
diperoleh adalah merah muda. Selanjutnya
pada tiap tabung ditambahkan 1.0 mL
akuades dan 5 mL n-butanol:piridin (15:1
v/v), dicampur dengan vorteks, lalu
disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm
selama 10 menit. Lapisan atas berwarna
merah muda yang terbentuk (fase organik)
pada larutan diambil, lalu serapannya diukur
pada 532 nm dengan spektrofotometer.
400
350
I
II
300
250
200
150
100
50
0
kelompok
III
7
Analisis Statistik
Data konsentrasi lipid peroksida hati
dianalisis secara statistik, yaitu analisis ragam
(ANOVA) untuk percobaan dua faktor dalam
rancangan acak lengkap (faktorial RAL),
dilanjutkan dengan uji Duncan menggunakan
program Statistical Analysis System (SAS).
Model rancangan percobaan tersebut adalah
sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya
2002):
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan:
= nilai pengamatan pada faktor A
Yijk
(dosis STZ) taraf ke-i, faktor B
(dosis pare) taraf ke-j, dan
ulangan ke-k
µ
=
komponen aditif dari rataan
=
pengaruh utama faktor A,
αi
i=1,2
βj
= pengaruh utama faktor B, j=1,2,3
= komponen interaksi dari faktor A
(αβ)ij
dan faktor B
εijk
= pengaruh acak yang menyebar
normal
i1
= kelompok induksi STZ dosis
bertahap
i2
= kelompok induksi STZ dosis
tunggal
j1
= kelompok ekstrak pare dosis 0
mg/kg BB (kontrol negatif)
j2
= kelompok ekstrak pare dosis 125
mg/kg BB
j3
= kelompok ekstrak pare dosis 575
mg/kg BB
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh STZ terhadap Bobot Badan
Tikus
Data
sekunder
(Lampiran
5)
memperlihatkan hasil pengukuran bobot
badan (BB) tikus. Pada tikus kelompok
normal, diperoleh rataan BB pada awal
percobaan sebesar 318.4±25.77 g, dan pada
akhir percobaan (minggu ke-12) sebesar
386.28±26.94 g, atau meningkat sebesar
21.32%. Kelompok kontrol positif yang
diinduksi STZ secara bertahap pada awal dan
akhir percobaan berturut-turut sebesar
294.44±25.60 g dan 262.12±51.73 g atau
turun sebesar 10.98 %. Sedangkan kelompok
kontrol positif STZ dosis tunggal pada awal
dan akhir percobaan berturut-turut sebesar
306.07±20.33 g dan 246.0±60.93 g atau turun
sebesar 19.62% (Gambar 4). Penurunan BB
kelompok kontrol positif tikus yang diinduksi
STZ secara bertahap mau pun STZ dosis
tunggal secara statistika bermakna (p < 0.05)
dibandingkan dengan peningkatan BB
kelompok normal. Hasil ini menunjukkan
bahwa tikus yang diinduksi STZ sangat
mungkin sudah menjadi diabetes.
Pada kondisi diabetes, tubuh
mengalami defisiensi insulin atau insulin
yang ada tidak dapat bekerja secara efektif,
sehingga glukosa dalam darah tidak dapat
dimanfaatkan oleh sel untuk memenuhi
kebutuhan energi.
Insulin merupakan
hormon protein yang berinteraksi dengan
reseptor sel targetnya untuk meningkatkan
permeabilitas sel terhadap glukosa sehingga
glukosa dapat masuk ke dalam sel. Defisiensi
insulin
ini
lalu
memicu
proses
glukoneogenesis, yaitu pembentukan glukosa
dari sumber selain karbohidrat misalnya
piruvat, laktat, senyawa antara siklus asam
sitrat, dan asam amino tertentu hasil
katabolisme protein. Katabolis450
Bobot badan (g)
homogenat ke dalam tabung reaksi tertutup
secara duplo. Selanjutnya ke dalam tiap
tabung ditambahkan 0.2 mL SDS 8.1% dan
1.5 mL asam asetat 20%, serta diatur menjadi
pH 3.5 oleh NaOH 1 M dengan pH meter.
Kisaran pH awal sebelum ditambahkan
NaOH adalah 2.5, dan volume NaOH yang
ditambahkan sekitar 0.7 ml. Selanjutnya
ditambahkan 0.7 mL akuades dan 1.5 mL
TBA 1.0 % dalam pelarut dalam pelarut asam
asetat 50%, dipanaskan di penangas air
mendidih pada suhu 95°C selama 60 menit,
kemudian didinginkan pada suhu kamar.
Setelah inkubasi tersebut, warna larutan yang
diperoleh adalah merah muda. Selanjutnya
pada tiap tabung ditambahkan 1.0 mL
akuades dan 5 mL n-butanol:piridin (15:1
v/v), dicampur dengan vorteks, lalu
disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm
selama 10 menit. Lapisan atas berwarna
merah muda yang terbentuk (fase organik)
pada larutan diambil, lalu serapannya diukur
pada 532 nm dengan spektrofotometer.
400
350
I
II
300
250
200
150
100
50
0
kelompok
III
8
Pengaruh STZ terhadap Lipid Peroksida
Hati Tikus
Hasil analisis lipid peroksida hati tikus
dari semua kelompok pada akhir percobaan
(minggu ke-12) dirangkum dalam Tabel 2.
Tabel 2 Lipid peroksida hati tikus pada akhir
percobaan
Kelompok
Rata-rata konsentrasi lipid
peroksida (nmol/g)
I
75.421±31.24
II
60.144±10.34
III
58.984±5.75
IV
57.488±11.69
V
62.400±6.90
VI
77.641±22.62
VII
79.359±13.84
Keterangan: tikus kelompok normal (I),
kontrol positif STZ bertahap (II), STZ
bertahap dan pare dosis rendah (III), STZ
bertahap dan pare dosis (IV), kontrol positif
STZ tunggal (V), STZ tunggal dan pare dosis
rendah (VI), STZ tunggal dan pare dosis
tinggi (VII)
konsentrasi lipid peroksida (nm ol/g)
Gambar 4 Bobot badan tikus (g) kelompok
normal (I), kontrol positif STZ bertahap (II),
dan kontrol positif STZ tunggal (III)
me protein akibat defisiensi insulin terjadi
melalui perombakan protein otot atau
cadangan protein tubuh yang berakibat pada
penurunan bobot badan (Lehninger 1994).
Selain karena katabolisme protein,
penurunan bobot badan juga terjadi karena
defisiensi insulin akan memicu mobilisasi
triasilgliserol dari jaringan adiposa (lipolisis).
Triasilgliserol ini kemudian diubah menjadi
asam lemak bebas untuk dioksidasi dan
menghasilkan
energi.
Mobilisasi
triasilgliserol menyebabkan cadangan lemak
yang tersimpan dalam adiposa berkurang
sehingga bobot badan akan berkurang.
Mobilisasi asam lemak juga meningkatkan
resiko terjadinya serangan radikal bebas
terhadap PUFA atau peroksidasi lipid, karena
semakin banyak molekul asam lemak yang
dapat diserang.
Hati merupakan salah satu organ yang
vital bagi tubuh. Seluruh proses metabolisme
sebagian besar terjadi di hati. Hati mengolah
dan mensintesis berbagai zat yang diangkut
ke bagian tubuh lainnya. Peroksidasi lipid
hati mengakibatkan gangguan pada membran
sel mikrosom hati, yaitu gelembung
bermembran
yang
dibentuk
melalui
pemecahan retikulum endoplasma sel
eukariot. Segala fungsi yang terjadi pada
membran sel mikrosom ini akan turut
dirusak, termasuk di antaranya fungsi
enzimatik. Menurut Gibson & Skett (1991),
aktivitas enzimatik yang diamati dalam
retikulum endoplasma hati di antaranya
adalah enzim untuk biosintesis trigliserida,
katabolisme asam lemak, katabolisme dan
biosintesis kolesterol, serta glukosa 6fosfatase. Selain itu tingginya kadar lipid
peroksida akan menyebabkan akumulasi
trigliserida pada sel hati, dan kemudian
menyebabkan nekrosis hati. Nekrosis adalah
kematian sel akibat kerusakan berat yang
ditandai dengan kerusakan struktur seluler
secra menyeluruh diikuti lisisnya sel dan
inflamasi jaringan (Vegad 1996). Perubahan
awal pada sel yang mengalami nekrosis
adalah kariopiknosis (inti mengecil dan
warnanya menjadi lebih jelas sampai hitam).
Jadi kondisi diabetes yang parah dan
berkepanjangan
akan
menyebabkan
peroksidasi lipid terutama di hati
80
70
I
II
III
60
50
40
30
20
10
0
kelompok
Gambar 5 Konsentrasi lipid peroksida
(nmol/g) kelompok normal (I), kontrol positif
STZ bertahap (II), dan kontrol positif STZ
tunggal (III)
Konsentrasi lipid peroksida hati tikus
kelompok normal setelah 12 minggu adalah
75.421±31.24 nmol/g pada usia tujuh bulan.
Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan
hasil Alviani (2007) yaitu nilai lipid
peroksida hati kelompok normal pada usia
lima bulan sebesar 87.10 nmol/g. Sedangkan
menurut Sayogya (2002), kadar lipid
peroksida hati tikus galur Sprague-Dawley
kelompok normal dengan usia 8.5 bulan
adalah sebesar 100.46 nmol/g. Perbedaan ini
bisa dikarenakan ketidaksamaan umur dan
faktor lingkungan yang berbeda seperti
pakan, stress, dan lingkungan yang berbeda.
Usia hidup tikus yang lebih lama
memungkinkan tikus lebih banyak terpapar
oleh radikal bebas baik endogen mau pun
eksogen, selain juga disebabkan makin
lemahnya fungsi hati (Ruswandi 2005). Lata
et al. (2004) melaporkan bahwa terjadi
9
Konsentrasi Lipid Peroksida Hati Tikus
yang Diberi Ekstrak Pare
Konsentrasi lipid peroksida hati tikus
yang disuntik STZ secara bertahap dan diberi
dosis pare 125 mg/kg BB adalah 58.98±5.75
nmol/g
atau
turun
sebesar
1.93%
dibandingkan
kelompok
kontrolnya,
sedangkan kelompok yang diberi pare dengan
dosis lebih tinggi yaitu 575 mg/kg BB
k o n s e n tr a s i l i p i d p e r o k s i d a (n m o l / g )
sebesar 57.49±11.69 nmol/g atau turun
4.43% dibandingkan kelompok kontrol
(Gambar 6). Perbedaan konsentrasi lipid
peroksida antar kelompok tersebut tidak
nyata (p > 0.05).
Pada kelompok tikus yang disuntik STZ
dengan dosis tunggal, konsentrasi lipid
peroksida hati kelompok yang diberi dosis
pare 125 mg/kg BB adalah 77.64±22.62
nmol/g
atau
naik
sebesar
24.42%
dibandingkan kelompok kontrol, sedangkan
kelompok yang diberi pare dengan dosis
lebih tinggi yaitu 575 mg/kg BB sebesar
79.36±13.84 nmol/g atau naik 27.18%
dibandingkan kelompok kontrol (Gambar 7).
Kenaikan konsentrasi tersebut mungkin
dikarenakan respon tubuh tikus terhadap pare
bervariasi, atau pun juga faktor stress.
Perbedaan konsentrasi lipid peroksida antar
kelompok tersebut juga tidak nyata (p >
0.05), sehingga dapat dikatakan bahwa pada
penelitian ini pemberian ekstrak pare baik
dosis rendah maupun tinggi belum
mempengaruhi konsentrasi lipid peroksida
hati tikus.
80
70
I
60
II
III
50
40
30
20
10
0
KELOMPOK
Gambar 6 Konsentrasi lipid peroksida hati
(nmol/g) tikus kontrol positif STZ bertahap
(I), STZ bertahap dan pare dosis rendah (II),
STZ bertahap dan pare dosis tinggi (III)
k o n s e n tr a s i l i p i d p e r o k s i d a (n m o l / g )
peningkatan lipid peroksida darah kelinci
yang sengaja dibuat stress dengan
amobilisasi. Stress juga dikatakan sebagai
faktor yang dapat memicu radikal bebas
secara berlebih. Lipid peroksida dapat pula
bertambah sebagai hasil dari meningkatnya
pelepasan trigliserida dari jaringan adiposa
untuk membentuk kortikosteroid sebagai
respon terhadap stress (Singhal et al. 1997).
Konsentrasi
lipid
peroksida
hati
kelompok yang disuntik STZ dosis bertahap
sebesar 60.14±10.34 nmol/g atau turun
sebesar 20.25% dibanding kelompok normal,
sedangkan konsentrasi lipid peroksida hati
kelompok yang disuntik STZ dengan dosis
tunggal sebesar 62.40±5.75 nmol/g atau turun
17.26% dibandingkan dengan kelompok
normal (Gambar 5). Perbedaan konsentrasi
lipid peroksida antar kelompok tersebut tidak
nyata (p > 0.05), sehingga dikatakan STZ
yang diberikan baik secara bertahap maupun
dosis tunggal tidak memberikan efek naiknya
lipid peroksida. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Sayogya (2002) yang melaporkan
bahwa kadar lipid peroksida hati tikus
Sprague-Dawley jantan usia 8.5 bulan yang
diinduksi dengan STZ dosis 37 mg/kg BB
tidak mengalami perubahan yang bermakna
dibandingkan kelompok kontrol yang diberi
akuades dan pakan standar.
Pada kelompok kontrol positif STZ, baik
yang diinduksi secara bertahap maupun dosis
tunggal, tidak didapati efek STZ terhadap
kadar lipid peroksida hati tikus. Tidak
didapatinya efek STZ dapat dikarenakan sel
β-pankreas tikus belum rusak sepenuhnya
oleh STZ, sehingga sekalipun sudah
mengalami hiperglikemia, namun tidak
sampai menyebabkan disfungsi endotel
sebagaimana yang dilaporkan Widyastuti
(2000) pada monyet ekor panjang, yaitu
bahwa
kondisi
hiperglikemia
dapat
mendorong
disfungsi
endotel
yang
menyebabkan peningkatan radikal bebas su
peroksida. Radikal bebas superoksida ini
akan memicu radikal-radikal lainnya yang
dapat meningkatkan peroksidasi lipid.
II
80
70
III
I
60
50
40
30
20
10
0
KELOMPOK
Gambar 7 Konsentrasi lipid peroksida hati
(nmol/g) tikus kontrol positif STZ tunggal (I),
10
STZ tunggal dan pare dosis rendah (II), STZ
tunggal dan pare dosis tinggi (III)
Hasil
penelitian
ini
belum
memperlihatkan pengaruh ekstrak pare untuk
mengurangi kadar lipid peroksida hati.
Selama ini pare memang lebih diterima dan
digunakan oleh masyarakat tradisonal sebagai
alternatif untuk menurunkan kadar gula darah
bagi penderita diabetes, belum dikatakan
secara
pasti
bahwa
pare
memiliki
kemampuan antioksidan yang baik. Perlu
diperhatikan bahwa pada penelitian ini
rancangan yang digunakan lebih bertujuan
untuk mendapatkan hewan model diabetes
dengan
kadar
gula
darah
tinggi
(hiperglikemia) yang stabil. Hal ini berarti
kenaikan lipid peroksida hati tikus
hiperglikemia pada rancangan yang dipakai
ini belum cukup signifikan untuk dapat
melihat pengaruh dari pare itu sendiri, terlihat
dari nilai konsentrasi lipid peroksida hati
yang tidak berbeda nyata antara kelompok
normal dengan kelompok kontrol positif STZ
baik yang disuntikkan secara bertahap
maupun dengan dosis tunggal. Oleh karena
itu belum tertutup kemungkinan untuk
membuktikan bahwa pare memang mampu
mengurangi kadar lipid peroksida hati, sebab
dilihat dari kandungannya, pare memang
mengandung
senyawa yang bersifat
antioksidan seperti vitamin C, vitamin A,
flavonoid, dan polifenol (Taylor 2002).
Ada beberapa perlakuan yang dapat
diberikan apabila ingin meningkatkan
konsentrasi lipid peroksida hati secara
signifikan.
Salah satunya yang telah
diketahui adalah dengan memberikan tiikus
percobaan perlakuan pakan kolesterol dan
induksi propil tiourasil (PTU).
Alviani
(2007) melaporkan lipid peroksida hati
kelompok tikus yang dibuat hiperlipidemia
dengan perlakuan pakan kolesterol 1.5% serta
dicekok PTU (0.01%) dengan dosis 0.5
mg/kg BB selama delapan minggu percobaan
sebesar 523.55 nmol/g, lebih besar lima kali
lipat dibandingkan kelompok normal yaitu
87.10 nmol/g.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Konsentrasi lipid peroksida hati tikus
yang diinduksi STZ secara bertahap atau pun
dengan dosis tunggal tidak mengalami
perubahan secara nyata dibandingkan dengan
kelompok normal.
Konsentrasi lipid
peroksida hati tikus yang diberi ekstrak pare
dosis rendah (125 mg/kg BB) dan dosis
tinggi (575 mg/kg BB) juga tidak mengalami
perubahan secara nyata dibandingkan dengan
kelompok kontrol positif masing-masing.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut terhadap konsentrasi lipid peroksida
hati dengan penambahan perlakuan untuk
menginduksi peningkatan lipid peroksida
yang lebih nyata misalnya dengan induksi
PTU ataupun pemberian pakan kolesterol.
Untuk ekstrak pare juga dibuat variasi dosis
yang lebih besar sehingga terlihat pengaruh
yang
jelas terhadap konsentrasi lipid
peroksida hati tikus.
DAFTAR PUSTAKA
Alviani. 2007. Khasiat ramuan ekstrak daun
jati Belanda terhadap peroksidasi lipid
hati tikus hiperlipidemia.
[Skripsi].
Bogor: Program Studi Biokimia FMIPA
IPB.
Budianto R, Qomariah N, dan Suhartono E.
Potensi infus daun pare
2003.
(Momordica
charantia)
sebagai
penghambat kerusakan protein akibat
reaksi glikosilasi secara in vitro. J Obat
Tradisional 8:1-5.
Cadenas E, dan Packer L. 2002. Handbook
of Antioxidant.
2nd Ed. St Louis,
Missouri: Mosby-Year Book Inc.
Elsner M, Guldbakke B, Tiedge M, Munday
R, Lenzen S. 2000. Relative importance
of transport and alkylation for pancreatic
beta-cell toxicity of STZ. Diabetologia
43:1528-1533.
Gibson GG, Skett P. 1991. Pengantar
Metabolisme
Obat.
Aisyah
I,
penerjemah.
Jakarta: UI Press.
Girini MM, Ahamed RN, Aladakatti RH.
2005. Effect of graded doses of
Momordica charantia seed extract on rat
sperm: scanning electron microscope
study, J Basic Clin Physiol Pharmacol
16(1):53-66.
Gitawati R. 1995. Radikal bebas, sifat dan
peran dalam menimbulkan kerusakan
atau kematian sel.
Cermin Dunia
Kedokteran 102:33-36.
KHASIAT ANTIOKSIDAN EKSTRAK PARE: KAJIAN IN
VIVO PADA TIKUS HIPERGLIKEMIA
CHRISTIAN
PROGRAM STUDI BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
KHASIAT ANTIOKSIDAN EKSTRAK PARE: KAJIAN IN
VIVO PADA TIKUS HIPERGLIKEMIA
CHRISTIAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Program Studi Biokimia
PROGRAM STUDI BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
ABSTRAK
CHRISTIAN. Khasiat Antioksidan Ekstrak Pare: Kajian In Vivo pada Tikus
Hiperglikemia. Dibimbing oleh SULISTIYANI dan ERNI SULISTIAWATI.
Dewasa ini diabetes merupakan gangguan metabolik dengan prevalensi
yang tinggi. Kondisi diabetes dapat memicu timbulnya radikal bebas yang dapat
membahayakan sel, antara lain melalui reaksi peroksidasi lipid. Salah satu herbal
tradisional yang banyak dikonsumsi masyarakat untuk mengatasi diabetes adalah
buah pare. Penelitian ini bertujuan menguji potensi antioksidasi ekstrak buah pare
(Momordica charantia) terhadap konsentrasi lipid peroksida hati tikus
hiperglikemia.
Tikus jantan Sprague Dawley dewasa dibagi menjadi 3 kelompok utama.
Kelompok pertama adalah kelompok normal yang hanya diberi pakan standar dan
akuades. Kelompok kedua diinduksi STZ secara bertahap (3 kali penyuntikan
intraperitoneal dengan selang waktu 1 hari) dengan dosis total 55 mg/kg BB, dan
kelompok ketiga diinduksi STZ dengan dosis tunggal 35 mg/kg BB.
Setelah
mengalami hiperglikemia, tikus pada kelompok 2 dan 3 dibagi lagi menjadi 3
subkelompok, yaitu kelompok kontrol positif (diberi akuades), kelompok yang
diberi ekstrak pare dosis rendah (125 mg/kg BB), dan kelompok yang diberi
ekstrak pare dosis rendah (575 mg/kg BB). Pemberian ekstrak pare dilakukan
selama 2 bulan. Analisis lipid peroksida hati dilakukan dengan metode TBA.
Hasil penelitian ini belum memperlihatkan pengaruh ekstrak pare untuk
mengurangi kadar lipid peroksida hati. Induksi STZ menyebabkan tikus
mengalami diabetes, namun tidak menyebabkan kenaikan lipid peroksida hati.
Pemberian ekstrak buah pare baik dosis rendah maupun tinggi tidak
mempengaruhi konsentrasi lipid peroksida hati tikus.
ABSTRACT
CHRISTIAN. Antioxidant Effect of Bitter Gourd Extract: In Vivo Study on
Hiperglycemic Rats.
Under the direction of SULISTIYANI and ERNI
SULISTIAWATI.
Diabetes is a metabolic syndrome with high prevalention. Diabetic
condition may lead to production of free radical, which can be harmful to human
body by promoting a reaction known as lipid peroxidation. Bitter gourd have
been used widely as traditional medicine for diabetes treatment. In this research,
the antioxidation potential of bitter gourd (Momordica charantia) fruit extract and
it’s effect to lliver lipid peroxide was tested in vivo in hyperglycemic rat.
Sprague Dawley male rats were divided into three groups. First group was
normal group. Second group was injected with multiple dose STZ (3 times
intraperitoneal injection with one day interval) 55 mg/kg body weight (BW), and
the third group was injected with single dose STZ 35 mg/kg BW. Hiperglycemic
rats in group 2 and 3 was divided into 3 subgroups: control group (only given
aquades), low dose group (125 mg/kg BW bitter gour