Analisis Prestise dalam Upacara Kematian pada Etnis Batak Toba di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suliarsimi. 2006. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta. Kencana

Endraswara, Suwardi. 2006. Penelitian Kebudayaan. Sleman: Pustaka Widyatama Jenk, Chris. 2013. Culture. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Harahap, B. H.,& Siahaan, H. M. (1987). Orientasi nilai-nilai budaya Batak Toba: suatu pendekatan terhadap perilaku Batak Toba dan Angkola-Mandailing. Jakarta: Sanggar Willem Iskandar

Herusatoto, Budiono. 2008. Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.

Koentjaranigrat, Prof. Dr. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Pardede, R.A. Lumongga. 2010. Masiseaan Di Ulaon Adat Batak Toba. Medan Poloma, Margaret M. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers

Sihombing, T. M. 1989. Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat. Pematang siantar: CV. Tulus Jaya

Scott, John. 2012. Teori Sosial Masalah-Masalah pokok dalam sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Siahaan, N. 1964. Sejarah Kebudayaan Batak. Medan: CV. Napitupulu & Sons Sianipar, SHW.1991. Tuho Parngoluan Dalihan Na Tolu Sistem Bermasyarakat

Bangso Batak. Medan: CV. Pustaka Gama

Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi (Edisi Kedua). Jakarta : Lembaga

Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penertbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Taneko, Soleman B. 1986. Konsepsi Sistem Sosial dan Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Fajar Agung

Usman, Husaini dan Akbar, Pournomo Setiady. 2009. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.


(2)

Jurnal:

Ahmadi, Dadi. 2008. Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar. MediaTor. vol 8. No 2. Desember 2008

Flora, Hotmaida. Makna Simbol Andung (Ratapan) dalam Upacara Pemakaman Adat Batak Toba di Pekanbaru. Jom FISIP Volume 1 No 2 -Oktober 2014. Jurusan Ilmu Komunikasi - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Riau

Gunawan. 2013. Kerbau Untuk Leluhur: Dimensi Horizontal dalam Ritus Kematian Pada Agama Merapu. Komunitas 5 (1) (2013) : 93-100. Jurusan Sosiologi Dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Mustafa, Hasan. 2012. Perilaku Manusia Dalam Perspektif Psikologi Sosial. Jurnal Administrasi Bisnis (2011), Vol.7, No.2: hal. 143–156. Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Katolik Parahyangan

Pinem, Kamarlin. 2013. Upacara Adat Kematian Cawir Metua Pada Etnis Karo di Desa Kutagugung Kecamatan Juhar. Jupiis Volume 5 Nomor I Juni 2013. Jurusan Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, UNIMED

Simatupang, Defri Elias. 2008. Upacara Saur Matua : Konsep ”Kematian Ideal” Pada Masyarakat Batak (Studi Etnoarkeologi). Balai Arkelogi Medan.

Simbolon, Christina Juliana dan Rodiatul Hasanah Siregar . 2014. Nilai Hagabeon Dan Upaya Memperoleh Keturunan Pada Pasangan Suku Batak Toba Yang Infertil. Psikologia, 2014, Vol. 9, No. 1, hal. 25-31. Universitas Sumatera Utara.

Singgh, Doddy sumbono. 2010. Prosedur Analisis Stratifikasi Sosial dalam Perspektif Sosiologi, Volume 20. Nomor 1:11-22. Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Airlangga

Susanto, Angga Sakti. 2013 . Membuat Segmentasi Berdasarkan Life Style (Gaya Hidup). Jurnal JIBEKA, Volume 7, No. 2, Agustus 2013 : 1 - 6

Trisanti, Novi. 2013. Upacara Raba’akia Pada Masyarakat Di Kelurahan Bukit Air Manis Kecamatan Padang Selatan Kota Padang. Jurnal sosiologi, Vol. I No.01. Program Pendidikan Sosiologi-Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang.

Widiastuti. 2013. Analisis Swot Keragaman Budaya Indonesia. Jurnal Ilmiah Widya. Volume 1 Nomor 1 Mei-Juni 2013. Universitas Darma Persada.


(3)

Sumber lain:

Buletin Sitompul Sibangebange Edisi September 2014

Katalog Badan Pusat statistik Kabupaten Tapanuli Utara : Tarutung dalam Angka .2014


(4)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti itu sendiri. (Husaini Usman dan Purnomo Setiady, 2009)

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tarutung, Tapanuli Utara. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi tersebut adalah:

1. Tarutung atau yang lebih dikenal dengan Silindung merupakan salah satu tempat yang menjadi daerah asal marga-marga yang ada dalam Suku Batak Toba yaitu Si Opat Pusoran.

2. Tarutung merupakan salah satu wilayah dimana mayoritas masyarakatnya adalah suku Batak Toba yang masih mempertahankan adat istiadat khususnya upacara kematian.

3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1. Unit Analisis

Unit analisis yang dimaksudkan dalam suatu penelitian adalah satuan tertentu yangg diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Ari Kunto,


(5)

2006). Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah tokoh adat dan masyarakat suku Batak Toba yang pernah terlibat dalam upacara kematian Suku Batak Toba.

3.3.2. Informan

Informan adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi dalam penelitian. Informan yang dianggap sebagai orang yang menguasai dan memahami data, informasi ataupun fakta dari suatu objek penelitian. Penentuan informan kunci ini dilakukan dengan teknik snow ball, yaitu informan berikutnya ditentukan berdasarkan keterangan yang diperoleh dari informan sebelumnya yang dapat lebih menunjang tujuan penelitian yang bersangkutan.

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah:

c. Tokoh adat (Parhata) yang menguasai adat dalam suku Batak Toba. Alasan peneliti memilih Parhata sebagai informan karena merupakan orang yang mengatur tata cara berlangsungnya upacara adat pada masyarakat Batak Toba. Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai informan adalalah Parhata yang merupakan anggota dari Lembaga Dalihan Na Tolu Kabupaten Tapanuli Utara dan Parhata dari Parsadaan-parsadaan marga yang ada di Tarutung.

d. Masyarakat yang berpengalaman dan memiliki pengetahuan mengenai tradisi upacara kematian suku Batak Toba. Masyarakat dalam hal ini adalah masyarakat yang pernah mengalami ataupun menerapkan penaikan status keluarganya yang meninggal dari Mate Sari Matua ke


(6)

Mate Saur Matua, serta masyarakat yang pernah terlibat dalam upacara kematian orang yang di naikan statusnya di Sari Matua ke Saur Matua.

3.4. Data dan Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data atau informasi dalam penelitian dilapangan, maka diperlukan adanya alat pengumpulan data. Dalam proses pengumpulan data dan informasi, peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data agar seseuai dengan apa yang dibutuhkan oleh peneliti dalam mengolah data dan informasi yang diperoleh dilapangan. Data dalam sebuah penelitian dapat digolongkan menjadi dua, yakni data primer dan data sekunder.

3.4.1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah: a. Observasi

Observasi adalah pengamatan yang dilakukan langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada saat penelitian. Hal ini dilakukan untuk mengetahui lebih jelas kondisi ataupun situasi suatu objek penelitian. Adapun yang yang menjadi bahan observasi dalam penelitian ini adalah pengamatan langsung kepada masyarakat suku Batak Toba yang menerapkan tradisi upacara kematian di Kecamatan Tarutung.

b. Wawancara Mendalam

Wawancara adalah proses tanya jawab secara langsung dengan informan, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara.


(7)

Melalui wawancara, peneliti akan memiliki pengetahuan yang lebih mendalam fenomena yang terjadi, dimana hal itu tidak bisa ditemukan hanya dengan teknik observasi. Dalam hal ini peneliti akan mewawancarai tokoh-tohoh adat (parhata) dan masyarakat Suku Batak Toba yang ada di Kecamatan Tarutung.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Data ini sebagai salah satu aspek pendukung keabsahan suatu penelitian. Data sekunder dapat berupa sumber ataupun referensi tertulis yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam poenelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku, referensi, majalah, jurnal, maupun bahan dari situs-situs internet dan hasil penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.

3.5. Interpretasi Data

Menginterpretasikan data merupakan kegiatan mengorganisasikan data dalam susunan-susunan tertentu yang menuju pada kegiatan analisis data. Analisis data ditandai dengan pengolahan dan penafsiran data yang diperoleh dari setiap informasi baik melalui pengamatan, wawancara atau catatan lapangan lainnya yang telah ada melalui penelitian terdahulu yang kemudian dipelajari dan ditelaah. Pada tahap selanjutnya adalah penyusunan data dalam satuan-satuan yang kemudian dikategorikan. Kategori tersebut berkaitan satu sama lain dan


(8)

diinterpretasikan secara kualitatif. Interpretasi data merupakan proses pengolahan data dimulai dari tahap mengedit data sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti kemudian diolah secara deskriptif berdasarkan apa yang terjadi dilapangan. 3.6. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini mencakup kemampuan dan pengalaman peneliti untuk melakukan penelitian ilmiah. Terkait dengan keterbatasan waktu dan kendala dalam melakukan observasi. Terlepas dari kendala diatas peneliti mneyadari keterbatasan dalam proses penelitian yang dilakukan. Meskipun demikian peneliti berusaha untuk melaksanakan peneletian semaksimal mungkin agar mendapatkan hasil yang akurat.


(9)

BAB IV

DESKRIPSI DAN HASIL ANALISIS DATA

4.1. Deskripsi Lokasi

4.1.1. Sejarah Silindung

Silindung pada awalnya adalah daerah yang dihuni oleh Guru Mangaloksa Hasibuan yang datang merantau dan akhirnya menikah dengan yang boru Pasaribu. Mereka memiliki keturunan yang kemudian memakai nama anak-anaknya tersebut menjadi marga-marga baru yang sampai saat ini menjadi marga asli dari daerah Silindung. Marga-marga tersebut antara lain adalah Hutagalung, Hutabarat, Hutatoruan, Lumbantobing, dan Panggabean. Mereka dikenal dengan sebutan “ Si Opat Pusoran”. Saat ini masyarakat yang bermukim dalam kawasan Silindung sudah lebih bervariasi karena banyaknya perantau yang datang untuk bekerja ke daerah tersebut.

Masyarakat Silindung sampai saat ini masih mempertahankan adat istiadat yang berlaku dalam kebudayaan Batak, terlihat dengan banyaknya kumpulan-kumpulan marga Batak. Masyarakat beranggapan bahwa mengikuti kegiatan-kegiatan adat adalah sebuah kewajiban.

Pelaksanaan upacara-upacara adat seperti upacara kematian di daerah Silindung dan daerah Batak lainnya memang memiliki perbedaan, seperti dalam buku Jambar Hata yang ditulis oleh T.M Sihombing yang meyebutkan tata cara pelaksanaan upacara tersebut yang tersebut berlaku


(10)

di daerah Silindung, belum tentu di daerah lain menjalankan hal yang sama.

Untuk sejarah nama “Tarutung”, berasal dari Bahasa Batak Toba yang artinya durian. Sampai pada awal abad ke-19 kota Tarutung dulunya sudah ramai dikunjungi oleh orang yang datang dari daerah Silindung, Humbang, Samosir, Toba , Dairi, termasuk dari arah selatan seperti Pahae, Sipirok, maupun sekitar Sibolga dan Barus untuk melakukan transaksi dagang. Pada awalnya transaksi perdagangan tradisional ini dilakukan disebuah lokasi perkampungan yang berpusat di bawah pohon beringin rindang yang disebut dengan Onan Sitahuru di Desa Sait Ni Huta. Konon beringin tersebut masih tumbuh dan berusia sekitar 200 tahun. Perdagangan pada masa itu masih dominan menggunakan sistem barter. Komoditi barang kebutuhan sehari-hari seperti bahan pangan, ternak, ikan asin, garam, beras, tembakau, umbi-umbian, termasuk juga komoditi ekspor saat itu, seperti kemenyan yang berasal dari daerah Humbang, Pahae, dan Silindung. Semasa bergejolaknya Perang Paderi (1816 - 1833) maka kegiatan perdagangan di pasar tradisional ini terhenti karena pasukan Bonjol yang dikomandoi oleh orang-orang Batak dari selatan meluluhlantakkan kehidupan masyarakat Batak Utara yang dimulai dari kawasan Silindung dan menyebar sampai ke kawasan Batak lainnya di Toba. Perang yang membawa bencana peradaban Bangsa Batak ini meruntuhkan keangkuhan orang yang berada di kawasan pusat Tanah Batak yang merasa dirinya sebagai titisan para dewa. Perampasan harta benda, pemerkosaan, pengajaran ajaran-ajaran Islam menggantikan


(11)

kepercayaan atas satu Tuhan yang disebut dengan Mula Jadi Nabolon, dan pembumihangusan perkampungan yang khas dengan rumah-rumah Bataknya, termasuk produk-produk ilmu pengetahuan seperti karya tulis. Oleh karena itu, di kawasan Silindung sangat jarang terlihat bangunan rumah khas Batak. Pasukan Paderi meninggalkan Silindung karena banyak dari mereka yang mati tanpa diketahui sebnya. Mereka beranggapan itu merupakan kutukan, sehingga mereka pergi menyelamatkan diri dari kematian misterius tersebut. Kepergian pasukan Paderi membuat daerah Silindung seperti daerah tak berpenghuni . Lambat laun penduduk turun dari gunung dan kembali membuka perkampungannya. Seiring berjalannya waktu, penduduk semakin ramai dan hal itu membuat bangkitnya semangat hidup masyarakat untuk melakukan kegiatannya. Namun, pada saat yang sama tanah Batak mulai dikuasai oleh Tentara Belanda. Mereka mendirikan markasnya dipusat Kota Tarutung yang sekarang disebut Tangsi. Setelah itu datanglah Nommensen dengan ajaran Kristen pada tahun 1864. Nommensen merasa aman melakukan tugasnya karena di Daerah Silindung hampir tidak ada yang melakukan perlawanan. Namun ada satu kejadian dimana Nommensen diikat dipohon beringin Onan Sitahuru dan nyaris dibunuh oleh orang-orang Batak yang merasa peradabannya sudah tercemar akibat keatangan bangsa berkulit putih. Perdagangan yang yang dulunya berkembang di Onan Sitahuru mulai menampakkan kesibukannya, namun tempatnya sudah berganti menjadi di bawah kawasan Tangsi yang dikuasai Belanda dan disekitar itu berdiri perkampungan yang bernama Hutatoruan. Para pedangang


(12)

melakukan aktivitasnya di dekat tangsi yang tentu saja menguntungkan para militer Belanda dan keluarganya yang tinggal di kawasan tangsi tersebut. Kawasan itu resmi menjadi pusat perdagangan, dan Belanda menanam sebuah pohon durian (Tarutung) pada tahun 1877. Setelah sekitar 60 tahun lamanya maka dibukalah kembali kegiatan pasar tradisional dibawah pohon durian tersebut yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota yang disebut dengan Kota Tarutung.

4.1.2. Keadaan Geografis

Secara geografis Kecamatan Tarutung, sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sipoholon, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pahae Julu, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Adiankoting, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Siatas Barita dan Kecamatan Sipahutar. Secara astronomis, Kecamatan Tarutung sendiri berada pada posisi 010 54” – 020 07” Lintang Utara dan 980 52” – 990 04” Bujur Timur.

4.1.3. Luas Wilayah

Kecamatan Tarutung sendiri berada pada ketinggian 900 s/d 1.200 meter di atas permukaan laut serta memiliki luas 107,68 Km2. Kecamatan ini meliputi 24 Desa dan 7 Kelurahan.

4.1.4. Jumlah Penduduk

Komposisi penduduk Kecamatan Tarutung berdasarkan jenis kelamin terlihat pada Tabel 4.1 di bawah ini:


(13)

Tabel 4.1. Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin

No Desa/ Kelurahan Lk % Pr % Total

1 Siandor-andor 296 50,16% 294 49,83% 590 2 Hutapea Banuarea 464 46,03% 544 53,96% 1008

3 Parbubu Pea 236 49,06% 245 50,93% 481

4 Parbubu II 309 45,77% 366 54,22% 675

5 Parbubu Dolok 613 53,39% 535 46,60% 1148 6 Hutatoruan VIII 225 46,39% 260 53,60% 485

7 Parbubu I 546 49,81% 550 50,18% 1096

8 Hutatoruan I 880 47,64% 967 52,35% 1847

9 Sosunggulon 442 44,33% 555 55,66% 997

10 Parbaju Toruan 628 50,56% 614 49,43% 1242

11 Hapoltahan 413 47,96% 448 52,03% 861

12 Hutatoruan IV 437 48,82% 458 51,17% 895 13 Aek Siansimun 519 48,01% 562 51,98% 1081 14 Hutatoruan V 323 46,87% 366 53,12% 689 15 Hutatoruan VI 330 50,38% 325 49,61% 655 16 Hutatoruan XI 736 48,07% 795 51,92% 1531 17 Hutatoruan IX 594 48,37% 634 51,62% 1228 18 Hutatoruan X 2234 48,71% 2352 51,28% 4586 19 Hutatoruan VII 2682 48,48% 2850 51,51% 5532 20 Partali toruan 1389 48,04% 1502 51,95% 2891 21 Parbaju Tonga 538 48,33% 575 51,66% 1113 22 Simamora 1193 48,85% 1249 51,14% 2442 23 Hutagalung Siwalu Ompu 623 49,76% 629 50,23% 1252 24 Siraja Oloan 653 49,17% 675 50,82% 1328

25 Hutauruk 305 53,04% 270 46,95% 575

26 Parbaju Julu 495 48,81% 519 51,18% 1014 27 Partali Julu 582 48,90% 608 51,09% 1190 28 Sitampurung 418 50,30% 413 49,69% 831 29 Jambur Nauli 557 50,54% 545 49,455 1102

30 Sihujur 243 52,71% 218 52,71% 461

31 Hutatoruan III 162 50,94% 156 49,05% 318 Total 20065 48,80% 21079 51,26% 41114 Sumber: BPS Tapanuli Utara Tahun 2015

Data terakhir yang di ambil pada tahun 2015 oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Utara, menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Tarutung sebanyak 41. 144 jiwa yang terdiri dari


(14)

20.065 berjenis kelamin laki-laki dan 21.079 yang berjenis kelamin perempuan.

4.1.5. Mata Pencaharian penduduk

Kecamatan Tarutung memiliki penduduk yang mayoritas penduduknya bekerja pada sektor pertanian. Selanjutnya adapula masyarakat yang bekerja padasektor lainnya, seperti PNS, Guru, dan Wiraswasta. Selengkapnya dapat dilihat pda tabel berikut:

Tabel 4.2.Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah

1 Petani 11846

2 PNS 163

3 Guru 888

5 Wiraswasta 1042

Sumber: BPS Tapanuli Utara Tahun 2014

Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di Kecamatan tarutung bermata pencaraharian sebagai petani yakni 11848 orang, 163 berprofesi sebagai PNS, 888 sebagai guru, dan sebanyak 1042 orang adalah Wiraswasta.

4.1.6. Sarana dan Prasara

Sarana dan Prasarana yang ada dalam sebuah wilayah adalah suatu pelengkap yang berfungsi sebagai fasilitas bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitas dan fungsinya. Adapun yang menjadi sarana dan prasarana yang terdapat di Kecamatan Tarutung dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(15)

Tabel 4.3.Jumlah Sarana Pendidikan Kecamatan Tarutung

No Sekolah Negeri Swasta Jumlah

1 TK 2 8 10

2 SD 34 6 40

3 SMP 6 1 7

4 SMA 3 4 7

5 SMK 0 2 2

6 Universitas 1 0 1

Sumber: BPS Kabupaten Tapanuli Utara

Tabel diatas menunjukkan bahwa TK yang ada di Kecamatan Tarutung berjumlah 10 sekolah yakni, 2 Negeri dan 8 Swasta. Ada sebanyak 40 Sekolah SD yang terdiri dari 34 SD Negeri dan 6 SD Swasta. Pada tingkat SMP ada 7 sekolah yang terdiri dari 6 Negeri dan 1 Swasta.Selanjutnya SMA berjumlah 7 sekolah yakni, 3 SMA Negeri dan 1 SMA SWASTA. Sekolah SMK diri dari 2 SMK Swasta. Pada tingkat Perguruan tinggi ada sebuah Universitas.

Selanjutnya, sarana peribadatan yang ada di Kecamatan Tarutung terdiri dari 3 Masjid, 2 Langgar/ Musollah, 2 Gereja Katolik, dan 85 Gereja Protestan. Banyaknya Gereja Protestan di Tarutung secara tidak langsung menunjukkan bahwa mayoritas penduduk yang bermukim di daerah tersebut beragama Protestan. Gereja sebagai rumah ibadah terbanyak yang terdapat di Kecamatan Tarutung dapat di lihat pada tabel berikut:


(16)

Tabel 4.4. Jumlah Sarana Peribadatan Kecamatan Tarutung

No Rumah Ibadah Jumlah

1 Masjid 3

2 Langgar/ Musollah 2

3 Gereja Katolik 2

4 Gareja Protestan 85

Total 92

Sumber: BPS Tapanuli Utara 2014

4.1.7. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Tarutung

Tarutung yang dikenal sebagai salah satu daerah asal marga yang ada pada masyarakat BatakToba, yakni Si Opat pusoran yang terdiri dari marga Hutabarat, Panggabean, Hutagalung, Hutapea, dan Lumban Tobing. Kegiatan adat merupakan bagian penting dalam keseharian masyarakat Tarutung. Hal ini terlihat dari antusiasme masyarakat menghadiri setiap kegiatan adat yang melibatkan dirinya. Padaawalnya, upacara adat yang berlaku pada seluruh masyarakat Batak Toba adalah sama, namun seiring perkembangan zaman, muncul perbedaan pelaksanaan adat pada masih masing daerah Batak, karena disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya.

Adapun tahapan-tapan tahapan adat istiadat yang berlaku dalam kehidupan etnis Batak Toba, yaitu:

1. Pasahat Ulos Tondi

Acara ini dilakukan pada saat usia kandungan memasuki tujuh bulan, ditandai dengan pemberian ulos oleh pihak parboru.


(17)

2. Manaruhon Aek Ni Utte

Kegiatan ini dilakukan setelah si anak lahir, hal ini berutujuan agar si ibu dan anak selalu sehat, asinya lancar, dan darahnya u bersih.

3. Pemberian nama (Mangalap Goar)

Bagi masyarakat yang beragama Kristen acara ini disebut dengan Tardidi, dan untuk masyarakan yang beragama Islam, disebut dengan Aqiqah atau mengayun anak.

4. Malua

5. Marunjuk (Pernikahan) 6. Upacara Kematian

Di wilayah Tapanuli Utara, dibentuk sebuah lembaga yang musyawarah yang mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. Lembaga ini disebut dengan LADN (Lembaga Adat Dalihan Na Tolu). Lembaga tersebut beranggotakan parhata-parhata dari berbagai marga. Lembaga ini bertugas melaksanakan kegiatan dalam rangka melestarikan dan mengembangkan kebuadayaan daerah, yakni adat istiadat. Beberapa tradisi dalam masyarakat Batak yang masih dipertahankan hingga pada saat ini, antara lain:

1. Bagi sebagian masyarakat pertanian di Tarutung masih menganut sistem marsiadapari, yaitu saling gotong royong mengerjakan lahan pertanian dengan menggunakan tenaga tanpa digaji dan sistemnya bergantian ketempat lahan yang lain.


(18)

2. Apabila ada ternak mati, maka akan disembelih oleh masyarakat setempat. Daging akan dibagi rata kepada seluruh warga yang turut berpartisiapasi dalam kegiatan tersebut. Setiap masyarakat yang mendapatkan daging akan dikenakan biaya.

3. Marsihiol-sihol, apabila seseorang yang kembali dari tanah perantauan, haruslah membawa makanan (mamboan sipanganon), dan mengajak tetannga di sekitar rumah untuk makan bersama.

4.2. Profil Informan

Jumlah informan dalam penelitian ini sebanyak sepuluh orang, dimana informan tersebut dianggap memahami bagaimana pelaksanaan upacara kematian pada adat Batak.

1. P. Lumban Gaol (Lk, 57 tahun)

P. Lumban Gaol merupakan salah seorang parhata dari Punguan PATOMBOR (Parsadaan Toga Marbun Boru Bere/ Ibebere) dan PORLUGABE (Pomparan Lumban Gaol Boru, Bere) kota Tarutung. Ayah dari seorang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki ini juga merupakan seorang Sintua di HKBP Huta Gur-Gur. Informan mengaku sering terlibat dalam ulaon-ulaon adat Saur Matua baik sebagai Hasuhuton, Parhata, maupun hanya sebagai hadirin yang ada di wilayah Tarutung dan Sipoholon. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan informan, kebanyakan perubahan yang terjadi pada pelaksanaan dikarenakan oleh pengaruh agama yang sedikit banyaknya telah mengubah


(19)

pola pikir masyarakat Batak yang sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan Batak.

2. Manganar Togatorop (Lk, 71 tahun)

Pria yang sekarang menjabat sebaga Ketua Umum PATOGAB (Punguan Togatorop Boru, Bere) Rura Siliindung ini merupakan ayah dari lima orang anak dan 6 orang cucu. Informan bukan merupakan penduduk asli Silindung melaikan perantau dari luar daerah. Mereka tinggal di Tarutung karena ditugaskan untuk bekerja di Bank BRI Cabang Tarutung. Komplek tempat mereka tinggal sebagian besar penduduknya adalah pendatang, mereka membentuk STM yang sampai saat ini mempertahankan pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat Batak Toba yang berlaku didaerah Silindung. Mereka tidak mempunyai Parrajaon/Raja Huta atau yang sering disebut dengan Raja Bius karena mereka adalah pendatang. Saat ini informan hanya tinggal berdua dengan istrinya Boru Sitompul yang merupakan seorang pensiunan guru. Setelah pesiun informan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan-kegiatan adat dan aktif di Gereja. Orang tua dari informan dulu dinyatakan meninggal pada posisi Saur Matua, meskipun masih ada anaknya yang belum menikah. Pihak keluarga tahu bahwa sebenarnya orangtuanya masih berada pada posisi Sari Matua. Dalam pelaksanaan Tonggo Raja informan dan pihak keluarga yang lain mengajukan permohonan agar Raja-Raja Bius dan peserta Tonggo Raja yang lain bersedia menaikkannya menjadi Saur Matua. Dalam wawancara yang dilakukan dengan informan


(20)

menyebutkan bahwa selain kerap kali mengahadiri upacara Saur Matua, keluarganya pun melakukan upacara tersebut.

3. Parulian Lumban Tobing (Lk, 57 tahun)

Informan ini merupakan seorang salah satu penduduk asli dari Desa Aek siansimun, Tarutung yang lazim disebut dengan Raja Huta. Untuk daerah tempat tinggalnya ini mengaku sudah banyak perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Kalau untuk sekarang ini sudah jarang ditemui orang yang benar-benar mati dalam posisi Saur Matua ataupun Mauli Bulung. Perubahan ini terjadi karena adanya anggapan syarat-syarat yang dibuat sebagai acuan agar seseorang dikatakan Saur Matua untuk sekarang sudah sangat sulit untuk dipenuhi. Segala kekurangan tersebut sudah dapat ditutupi dengan ukuran Hasangapon seseorang.

4. Drs. Ebsan Sinaga (Lk, 77 tahun)

Pria yang khas dengan rambut putihnya ini merupakan seseorang tokoh yang cukup dikenal di Kota Tarutung karena keaktifannya dalam berbagai organisasi. Informan sangat sulit dijumpai kerena kesibukannya dalam kegiatan-kegiatan adat yang berada dalam wilayah Tapanuli Utara. Informan merupakan Sekretaris Lembaga Adat Dalihan Na Tolu Tapanuli Utara (LADN Taput) yang berpusat di Tarutung. Informan juga pernah menjabat sebagai Kadis Pendidikan Kabupaten Dairi. Sampai saat ini informan juga masih aktif sebagai parhata di dalam Punguan Marga Sinaga. Informan berpendapat bahwa sangatlah penting menjaga Dalihan Na Tolu, membina hubungan baik dengan seluruh masyarakat yang berada


(21)

disekitarnya. Apabila hubungan telah terjalin dengan baik akan terbuka kemungkinan permohonan penaikan status kematian dapat dinaikkan menjadi Saur Matua. Pada intinya dalam kehidupan bermasyarakat yang paling penting adalah kebersamaan dan saling menghormati, maka masing-masing individu harus menjaga etikanya.

5. Hulman P. Sinambela (Lk, 54 tahun)

Informan berikut bertempat tinggal di Desa Parbubu Pea Tarutung. Menurut pengakuannya, informan merupakan salah seorang tokoh adat yang sering di jadikan sebagai narasumber oleh peneliti maupun mahasiswa yang melakukan penelitian tentang budaya Batak, karena dianggap memberikan jawaban yang sesuai untuk memecahkan masalah-masalah yang ditanyakan oleh sipeneliti. Untuk sekarang ini selain sebagai Guru informan juga merangkap sebagai Parhata dari Punguan marga Sinambela dan juga Sintua di Gerejanya. Dalam Ulaon Saur Matua sendiri, informan pernah menjadi Boru dalam upacara kematian mertuanya. Mereka selaku keluarga menginginkan status kematian mertuanya tersebut adalah Saur Matua. Karena dianggap sebagai seseorang yang yang dituakan dalam lingkungannya, maka permohonan tersebut dikabulkan oleh Bius.

6. Belman Panjaitan (Lk, 44 tahun)

Informan adalah seorang suami dari Boru Aritonang yan juga merupakan seorang guru di SMP N 1 Tarutung. Pria yang setahun belakangan menjabat sebagai Kepala Sekolah di SMA N.2 Tarutung ini memiliki tiga orang anak, yakni dua putera dan satu puteri. Informan


(22)

membenarkan adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan upacara Saur matua, misalnya waktu waktu pelaksanaan yang sekarang lebih dipersingkat. Agama-agama yang dianut oleh masyarakat Batak juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan tersebut

7. Saut Hutabarat (Lk, 67 tahun)

Informan ini merupakan seorang Parhata dari Punguan Marga Hutabarat ini beralamat di Desa Parbaju Julu, Tarutung. Informan adalah suami dari Boru Nainggolan. Sebelum pensiun, informan bekerja di Dinas Perhubungan, Kabupaten Tapanuli Utara. Untuk saat ini informan bekerja dengan meneruskan usaha pertanian. Informan adalah penduduk asli dari Silindung mengingat bahwa marga Hutabarat merupakan salah satu marga Si Opat Pusoran yang memang berasal dari Silindung. Pelaksanaan kegiatan adat khususnya di daerah Silindung memang mengalami perubahan jika dibandingkan dengan yang dulu, salah satunya mengenai tingkatan kematian yang ada dalam masyarakat Batak. Menurut informan yang merupakan penggemar batu akik ini penaikan status kematian seseorang menjadi Saur Matua bukan sebuah hal yang aneh lagi. Dapat dikatakan hampir semua orang yang meninggal dalam usia 50 tahun keatas melakukan hal tersebut. Hal ini terjadi pada hampir semua upacara kematian yang dihadirinya termasuk pada keluarganya sendiri. Apabila dalam Tonggo Raja menyetujui penaikan status tersebut maka itu dianggap sah.


(23)

8. R D Sianturi (Lk, 58 tahun)

Pria yang pada tahun ini genap berusia 58 tahun ini sehari-harinya berprofesi sebagai wiraswasta bersama isterinya Boru Nainggolan. Semenjak pensiun sebagai PNS di Kantor Bupati Tapanuli Utara informan memang lebih memilih untuk berusaha/ wiraswasta bersama isterinya yang telah terlebih dahulu menggeluti kegiatan tersebut. Kegiatan yang tidak sepadat ketika informan masih aktif bekerja membuat informan lebih leluasa mengikuti kegiatan-kegiatan adat yang sedang berlangsung di sekitarnya. Kegiatan-kegiatan adat yang diikuti oleh informan bukan hanya di seputaran daerah Silindung saja. Informan melihat bahwa memang benar adanya banyak perbedaan-perbedaan pelaksanaan upacara adat pada daerah-daerah Batak.

Untuk Ulaon Saur Matua sendiri informan mengatakan bahwa dalam kasus penaikan status kematian seseorang menjadi Saur Matua sudah menjadi hal yang biasa di daerah Silindung. Hal seperti ini bisa terjadi apabila sudah ada kesepakatan dari penatua-penatua pada hari pelaksanaan Tonggo raja dengan aturan-aturan tertentu yang dapat diterima oleh masyarakat sekitar.

9. Rusmina Lumban Gaol (Pr, 49 tahun)

Informan yang merupakan ibu dari seorang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki. Pada tahun 1986 informan ditempatkan sebagai PNS di Tarutung dan selang beberapa tahun kemudian menikah. Sejak menikah informan beserta suami sudah ikut serta dalam kegiatan adat yang dilaksanakan di lingkungan tempat tinggal mereka di Pardangguran.


(24)

Informan yang sejak awal banggapan bahawa kegiatan-kegiatan adat sangat penting untuk diikuti, karena merupakan kewajiban sebagai seorang yang bersuku Batak Toba dan tinggal didaerah adat.

Informan melihat adanya beberapa perbedaan pelaksanaan adat yang terjadi didaerah tempat tinggal orang tuanya yang berada di daerah Toba dengan yang terjadi di Silindung. Hal ini yang membuat informan rajin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan adat. Informan aktif dalam kegiatan-kegiatan adat baik sebagai pelaksana, maupun hanya sebagai peserta. Pada tahun 2011 yang lalu Ibu dari informan meninggal pada usia 82 tahun di Tarutung. Secara adat kematian tersebut adalah Sori Matua karena sudah ada dua orang puteranya yang meninggal. Namun, yang terjadi pada saat pelaksaan upacaranya adalah Adat Na Gok, yakni adat yang diperuntukkan bagi orang-orang yang mati dalam posisi Saur Matua dan Mauli Bulung. Posisi tersebut akhirnya disetujui menjadi Saur Matua karena dalam Tonggo Raja disebutkan bahwa umurnya sudah panjang, semasa hidup dikenal memiliki pergaulan yang baik dan sudah memiliki banyak keturunan.

10.Marnaek Hutasoit (Lk, 72 tahun)

Pria yang dulunya berprofesi sebagai wartawan di salah satu media cetak ini kemudian beralih profesi menjadi penjual batu akik. Terlihat dari banyaknya pengunjung yang memadati kios yang dibukanya di Simpang Empat Tarutung. Informan membuka usaha ini karena melihat tingginya minat masyarakat Indonesia sekarang ini terhadap berbagai jenis batu alam ini. Meskipun hari-harinya disibukkan dengan urusan batu-batu ini,


(25)

informan mengaku tidak pernah meninggalkan kegiatan-kegiatan adat. Memgingat bahwa pria ini juga merupakan salah satu parhata dari Punguan Marga Huta Soit.

Marnaek juga salah satu informan yang sepakat bahwa ulaon Saur Matua merupakan sebuah adat yang wajib dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Batak, karena ini merupakan agar hutang-hutang adat selama dia hidup dapat dibayarkan.

Matriks 4.1. Informan berdasarkan Nama, Jenis Kelamin, Suku, Usia, Pekerjaan dan Agama

No Nama Jenis

Kelamin

Suku Usia/ Tahun

Pekerjaan Agama Alamat

1 P. Lumban

Gaol

Lk Batak

Toba

57 Guru Protestan Jl.Mayjen

Yunus Samosir

2 Manganar

Togatorop

Lk Batak

Toba

71 Pensiunan Prorestan Komp. Aek

Ristop

3 Parulian Lumban Tobing

Lk Batak

Toba

57 Wiraswasta Protestan Aek

Siansimun

4 Drs. Ebsan

Sinaga

Lk Batak

Toba

77 Sekretaris LADN Taput

Protestan Komp. Stadion

5 Hulman P.

Sinambela

Lk Batak

Toba

54 Guru Protestan Parbubu Pea

6 Belman

Panjaitan

Lk Batak

Toba

44 Guru Protestan Jl. SM Raja

7 Saut Hutabarat

Lk Batak

Toba

67 Pensiunan

PNS

Protestan Partali Julu

8 R.D. Sianturi

Lk Batak

Toba

58 Pensiunan

PNS

Protestan Siwaluompu

9 Rusmina

Lumban Gaol

Pr Batak

Toba

49 Guru Katolik Jl. Balige

10 Marnaek Hutasoit

Lk Batak

Toba


(26)

4.4. Interpretasi Data

4.4.1. Tingkatan Kematian Bagi Masyarakat Batak Toba

Masyarakat menglaklasifikasikan kematian ke dalam beberapa tingkatan, berdasarkan umur dan status orang yang bersangkutan. Hal ini dilakukan karena setiap kematian memiliki upacara kematian tersendiri. 4.4.1.1. Kematian pada Orang-orang yang Belum Menikah

Pada tahapan ini, ada beberapa jenis kematian, yakni Mate Poso-poso (meninggal pada saat masih bayi), Mate Dakdanak (meninggal pada usia anak-anak), Mate Bulung (meninggal pada usia remaja), dan Mate Ponggol ( meninggal pada usia dewasa namun belum menikah). Jenis-jenis kematian seperti ini dianggap belum terlalu mendapatkan perlakuan adat lengkap seperti halnya pada kematian Sari Matua, Saur Matua, dan Mauli Bulung. hanya akan diberikan ulos saput (kain pembalut jenazah). Seperti yang dikatakan oleh Informan yang bernama Parulian (57):

...”ianggo tu na mate poso-poso sahat tu na mate Ponggol, manang angka na so marhasohotan dope, ndang bianaen dope adat ni on, holan ulos saput na dilehon. Molo baua ibana, tulangna mamambahen, molo boru-boru do natoras manang ibotona ma na mambahen. Baru angka hata songon ucapan turut berduka cita ma sian angka na ro. On biasana dibahen dalam bentuk partangianan do.” (untuk jenis kematian Mate Poso-poso sampai Mate Ponggol, ataupun bagi orang-orang yang belum berumah tangga, belum dibuat adat, hanaya akan diberikan ulos saput. Kalau dia laki-laki, tulangnya yang akan memberikan, kalau dia perempuan orang tua atau saudara laki-lakinya yang memberikan. Lalu dilanjutkan dengan ucapan-ucapan turut berduka cita oleh orang-orang yang datang. Hal ini biasanya dilaksanakan dalam bentuk partangiangan).

Wawancara di atas menunjukkan bahwa kematian yang dialami oleh seorang Batak yang belum berumah tangga hanya disimbolkan


(27)

dengan pemberian ulos saput yang diberikan oleh pihak-pihak yang dianggap berhak menurut ketentuan adat. Apabila yang mati adalah laki-laki yang akan menyampaikan ulos saput tersebut adalah pihak tulang ataupun saudara laki-laki dari ibunya, ataupun orang-orang yang semarga dengan ibunya. Selanjutnya, ketika yang mati adalah perempuan yang ulos tersebut akan diberikan oleh orangtua atau saudara laki-lakinya.

4.4.1.2. Kematian pada Orang-orang yang Sudah Menikah

Jenis-jenis kematian seperti ini sering disebut dengan Mate Mangkar, yang terdiri dari Matompas Tataring (perempuan atau isteri yang mati dengan meningalkan anak laki-laki dan perempuan),Matipul Ulu (laki-laki atau suami yang mati dengan eninggalkan anak laki-laki dan perempuan), Punu (orang yang mati dengan memiliki anak perempuan saja), hingga Mate Pupur(orang yang mati tapi belum memiliki anak) sudah mendapat perlakuan adat sebagaimana yang diatur oleh masing-masing daerah. Untuk jenis kematian seperti ini yang sembelih adalah Simarmiak-miak (babi) dan memberi makan orang-orang yang datang pada upacara tersebut. Berikut tahapan upacara kematian yang berlaku di daerah Silindung berdasarkan hasil wawancara dengan informan Manganar (71), yang mengatakan bahwa:

...”acara di jabu, ima Tonggo Raja, Pamasuk tu jabu-jabu, baru pasahat ulos saput. Molo baoa na monding tulangna ma pasahathon, molo boru-boru, hula-hula na ma na pasahathon ulos i. Pasahat tujung ni na mabalu. Molo amanta do na monding hula-hula ni na mabalu ma mangalehon. Molo inanta do na monding, tulang ni na mabalu ma na mangalehon. Ulaon di alaman, hata huhuasi sian Hasuhuton, mandok hata ma Panambol dohot Pamultak, mandok hata sian ale-ale. Dungi manok hata sian Hula-hula. Na masuk di son ima Bona Ni Ari,


(28)

Bona Tulang, Tulang, Hula-hula na marhamaranggi, dohot Hula-hula Pangalapan Boru. Dung sae sude mandok hata di lanjuthon ma tu acara penguburan. Sidung sian udean lanjut ma muse Mangungkap Tujung ni na mabalu.” (acara di rumah adalah Tonggo Raja, memasukkan jenazah ke peti, pemberian ulos saput. Kalau yang meninggal laki-laki yang memberikan ulos adalah tulangnya, kalau perempuan, hula-hulanya lah yang memberikan ulos tersebut. Memberika ulos tujun kepada isteri atau suami orang yang meninggal. Kalau yang meninggal adalah suami hula-hula isteri yang memberikan. Kalau isteri yang meninggal, tulang dari suamilah yang akan menyampaikan ulos tersebut. Acara di halaman, Hata huhuasi dari pihak Hasuhuton, mandok hata dari Panambol dan Pamultak, mandok hata dari Ale-ale. Lalu mandok hata dari Hula-hula. Yang termasuk kedalam pihak hula-hula adalah Bona Ni Ari, Bona Tulang, Tulang, Hula-hula Na Marhamaranggi. Setelah semua selesai dilakukan acara penguburan. Setelah pulang dari kuburan dilanjutkan dengan Mangungkap Tujung dari isteri ataupun suami dari orang yang meninggal).

Acara di dalam Rumah

a. Tonggo Raja atau sering disebut dengan Pangarapotan. Kegiatan ini dilakukan dengan mengundang Raja-raja Bius, Hula-hula, Dongan Tubu, Boru, Raja Huta, dan Dongan Sahuta, guna membicarakan bagaimana pelaksanaan upacara yang akan dilakukan nantinya. Tidak ada ketentuan yang mengatur kapan ataupun pada hari keberapa kegiatan ini diakukan. Selama semua pihak yang diundang bersedia memiliki waktu untuk menghadiri, pada saat itulah Tonggo Raja dilakukan.

b. Pamasuk tu Jabu-jabu, sering disebut dengan mompo yaitu memasukkan jenazah ke dalam peti mati, yang dilakukan oleh pihak boru, dongan sahuta, dan keluarga yang bersangkutan.


(29)

c. Pasahat Ulos Saput, sama seperti yang dilakukan pada upacara kematian sebelumnya, Ulos Saput akan disampaikan oleh Tulang apabila yang mati adalah laki-laki, dan akan diberikan oleh Hula-hula ketika yang mati adalah perempuan.

d. Pasahat Tujung, yakni pemberian ulos kepada suami atau isteri yang orang yang mati dan dipakaikan seperti kerudung, sebagai tanda bahwa orang tersebut dalam keadaan berduka. Ulos ini akan diberikan oleh pihak parboru ataupun keluarga dari perempuan apabila yang mati adalah laki-laki. Apabila yang mati adalah perempuan, maka yang memberikan ulos tersebut adalah pihak Tulang.

Acara di Halaman

a. Hata Huhuasi (sebagai kata pembukaan yang disampaikan oleh pihak hasuhuton ataupun penyelenggara upaca tersebut).

b. Mandok hata sian Panambol dan Pamultak, yakni ucapan-ucapan duka cita dari pihak dongan tubu (orang-orang yang semarga) dan saudara-saudara terdekat.

c. Mandok Hata sian Ale-ale, yang meliputi kata-kata penghibuaran ataupun ucapan turut berduka cita yang disampaikan oleh teman-teman dan dongan sahuta.

d. Mandok Hata sian Hula-hula, yang terdiri dari Bona Ni ari (pihak ompung dari ayah orang yang meninggal), Bona Tulang (pihak Tulang dari ayah orang yang meninggal, Tulang, Hula-hula Namarhamaranggi (pihak perempuan dari semua marga isteri dari


(30)

saudara-saudara orang yang meninggal) dan Hula-hula Pangalapan Boru (pihak mertua dari orang yang meninggal).

e. Acara Penguburan, dilakaukan berdasarkan tatacara Agama.

f. Mangungkap Tujung, yaitu acara pembukaan ulos Tujung yang dilakukan oleh puhak hula-hula (ayah atau saudara laki-lakinya).

4.4.1.3. Kematian pada Orang Tua

Pada masyarakat Batak kematian oang tua dibagi menjadi beberapa tingkatan kematian, yaitu Sari Matua (orang tua yang meninggal dan belum menikahkan semua anaknya ,tetapi sudah mempunyai cucu), Saur Matua (orang tua yang meninggal dan telah menikahkan semua anaknya, dan sudah memiliki cucu), dan Mauli Bulung (orang tua yang meninggal,l sudah menikahkan semua anaknya, memiliki cucu dan cicit). Pada pelaksanaan ulaon adat Sari Matua, Saur Matua, dan Mauli Bulung adalah sama (Sianipar, 1991). Hal ini dibenarkan oleh informan Manganar Togatorop (71):

...” dung monding natua-tua i, dibahen ma Tonggo Raja, baru saborngin andorang tu tano manang pagi na i, Mompo ma goarna, pamasukhon tu jabu-jabu. Na adong di si i ma Hula-hula, Tulang, Dongan tubu, Natua-tua Ni Huta, Dongan Sahuta, Boru, dohot Hasuhuton. Dungi dipasahat ma ulos saput dohot ulos sampe tua. Dungi ulaon di alaman ma. Parjolo hata huhuasi sian Hasuhuton, baru muse mandok hata ma sian Panambol dohot Pamultak dohot Ale-ale. Sae i mandok hata ma muse sian hua ima Bona ni Ari, Bona Tulang, Hula-hula namarhamaranggi, Hula-Hula-hula Pangalapan Boru. Molo na saur Matua dohot na Mauli Bulung adong do muse tamba ni Hula-hula ima hula-hula ni anak dohot hula-hula ni Pahompu. Biasana leanon do jambar mangihut, maksudnya jambar diberikan pada masing-masing orang yang mandok hata. Baru acara penguburan. Dung mulak sian udean mandabu jambar ma, dungi panangkok Hula-hula ma laos pasahat


(31)

piso-piso na.” (setelah orangtua tersebut meninggal, dilaksanakanlah Tonggo Raja, lalu malam sebelum acara penguburan ataupun paginya, dilakukan mompo, yakni memansukkan jenazah kedalam peti mati. Yang hadir pada saat itu adalah Hula-hula, Tulang, Dongan Tubu, Natua-tua ni huta, Dongan Sahuta, Boru dan Hasuhuton. Lalu diberikanlah Ulos Saput dan Ulos Sampe tua. Selanjutnya adalah acara dihalaman yang diawali dengan hata huhuasi dari pihak Hasuhuton, lalu mandok hata dari Panambol dan Pamultak dan Ale-ale. Selanjutnya mandok hata dari pihak Hula-hula, yakni Bona ni Ari, Bona Tulang, Hula-hula na marhamaranggi, Hula-hula Pangalapan Boru. Kalau untuk yang Saur Matua dan Mauli Bulung ada tambahan Hula-hula yaitu Hula-hula ni anak dan Hula-hula ni Pahompu.)

Berdasarkan kutipan wawancara diatas, bahwa susunan acara pada saat pelaksanaan Upacara Kematian Sari Matua, Sari Matua, dan Mauli Bulung adalah sebagai berikut:

Acara di Rumah

a. Tonggo Raja /Pangarapotan. Kegiatan ini dilakukan dengan mengundang Raja-raja Bius, Hula-hula, Dongan Tubu, Boru, Raja Huta, dan Dongan Sahuta, guna membicarakan bagaimana pelaksanaan upacara yang akan dilakukan nantinya. Disini akan disepakati dalam posisi manakah orang tersebut apakah Sari Matua, Sori Matua, Saur Matua, atau Mauli Bulung. Akan di bicarakan pula apakah keluarga menyediakan sigagat duhut (kerbau) sebagai tanda dilaksanakan adat na gok dan kapan acara makan bersama akan dilakukan. Untuk daerah Silindung sendiri adat Na Gok hanya akan dilaksanakan apabila seseorang mati pada tahapan Saur Matua dan Mauli Bulung.


(32)

b. Pamasuk tu Jabu-jabu / mompo, yang dihadiri oleh pihak Hula-hula, Tulang, Dongan tubu, Natua-tua Ni Huta, Dongan Sahuta, Boru, dan Hasuhuton

c. Pasahat Ulos Saput

d. Pasahat ulos Sampe Tua dan Ulos Gabe , yakni ulos yang diberikan oleh Hula-hula kepada suami atau isteri dari orang yang meninggal. Acara di Halaman

a. Hata Huhuasi (sebagai kata pembukaan yang disampaikan oleh pihak hasuhuton ataupun penyelenggara upaca tersebut).

b. Mandok hata sian Panambol dan Pamultak, yakni ucapan-ucapan duka cita dari pihak dongan tubu (orang-orang yang semarga) dan saudara-saudara terdekat.

c. Mandok Hata sian Ale-ale, yang meliputi kata-kata penghibuaran ataupun ucapan turut berduka cita yang disampaikan oleh teman-teman dan dongan sahuta.

d. Mandok Hata sian Hula-hula, yang terdiri dari (1) Bona Ni ari, yakni pihak ompung dari ayah orang yang meninggal), (2) Bona Tulang, yakni pihak Tulang dari ayah orang yang meninggal,(3) Tulang, (4) Hula-hula Namarhamaranggi, yakni pihak perempuan dari semua marga isteri dari saudara-saudara orang yang meninggal, (5) Hula-hula Pangalapan Boru, yakni pihak mertua dari orang yang meninggal. Untuk orang yang mati pada posisi Saur Matua dan Mauli Bulung, ada beberapa tambahan Hula-hula yakni, (1) Hula-hula Ni anak, pihak marga isteri dari anak orang yang meninggal. (2)


(33)

Hula-hula Ni Pahompu, yakni pihak marga isteri dari cucu orang yang meninggal. Acara ini disertai dengan pembagian Jambar Mangihut, yaitu jambar yang akan diberikan kepada masing-masing Hula-hula yang telah selesai mandok hata.

e. Acara Penguburan, dilakaukan berdasarkan tatacara Agama.

f. Mandabu Jambar, yaitu pembagian jambar yang akan diberikan kepada pihak-pihak yang telah disepakati pada saat Tonggo Raja, antara lain kepada Boru, Dongan Tubu,Hula-hula dan Tulang, serta untuk pihak Hasuhuton sendiri.

g. Panangkok Hula-hula, yaitu membawa pihak Hula-hula masuk ke dalam rumah untuk diberikan Piso-piso, yakni berupa sejumlah uang ataupun kerbau yang diberikan kepada pihak Hula-hula sebagai tanda penghormatan.

Dari kedua tata cara pelaksanaan upacara kematian yang berlaku pada masyarakat di daerah Silindung tersebut, menunjukkan bahwa prestise seseorang yang meninggal memang benar adanya akan terlihat pada saat dia mati dalam posisi Saur Matua. Apabila pada tahapan kematian Mate Matompas Tataring, Matipul Ulu, Na so marpahompu, Punu, Pupur dan Sari Matua pada umumnya yang disembelih adalah seekor babi, maka pada pada upacara Saur Matua dan Mauli Bulung yang disembelih adalah kerbau. Lain hal seseorang yang mati dalam posisi Sari Matua ataupun Sori Matua, namun keluarga dirasa sanggup menyediakan kerbau tidak menjadi masalah. Seperti yang dikatakan oleh informan yang bernama Saut (67):


(34)

...”boi do tong horbo di bahen na mate Sari Matua,dang sai totop simarmiak-miak, molo sanggup do ianakhon manang keluargana patupahon i. Alai Na Sari Matua do tong goarana ndang gabe Saur Matua”(bisa saja kerbau digunakan pada upacara Sari Matua, tidak selalu menggunakan babi, selagi anak ataupun keluarganya sanggup menyediakannya. Tetapi ia akan tetap dikatakan Sari Matua bukan Saur Matua).

Wawancara diatas menunjukkan bahwa meskipun pada saat upacara kematian seseorang yang berada pada posisi Sari Matua ataupun Sori Matua disembelih seekor kerbau, tidak akan merubah statusnya menjadi Saur Matua karena bukan merupakan Adat Na Gok. Dalam kegiatan adat seperti ini biasanya akan dilakukan makan bersama yang dilanjutkan dengan penyerahan tumpak (sejumlah uang sebagai tanda duka cita) oleh orang-orang yang hadir dalam acara tersebut. Waktu pelaksanaanya disepakati pada saat Tonggo Raja. Berikut petikan wawancara dengan Ebsan (77):

...”molo manjalang di na Mate Makkar, Sari matua, manang Saur Matua, hepeng do nilehon tumpak niba dangi. Asing do tu na Mauli Bulung, jalang horas ma i di dok. Adong do annon pengumuman sian hasuhuton na paboahon ndang silehonon be tumpak hepeng tu nasida, holan jalang horas nama. Alana ulaon silas ni roha nama on. Molo Mauli Bulung do inna na monding i, ba na tau rade ma akka hasuhuton i mananggung sude biaya tu ulaon i, ndang boi be nasida mangharaphon hepeng sian angka jolma na ro i. Hea ama attong adong ma na monding di huta nami, nga matua nian. Ikhon Mauli Bulung ma nian pangidoan ni gellengna baheon natua-tua i. Jei hu sungkun ma nanget, siap do hamu dang manjalo tumpak? Ai molo na Mauli Bulung holan jalang horas nama. Hatop do di alusi bah , Saur Matua ma Raja nami inna.” (kalau manjalang pada orang yang Mate Mangkar, Sari Matua, ataupun Saur Matua, yang kita berikan adalah uang. Lain halnya dengan yang Mauli Bulung, hanya salam saja. Akan ada pemberitahuan dari pihak keluarga yang menyatakan agar orang-orang yang hadir tidak perlu


(35)

memberikan mereka uang. Karena acara tersebut dianggap sebagai acara suka cita. Dikatakan Mauli Bulung apabila pihak keluarga dinyatakan sanggup untuk membiayai semua hal yang berkaitan dengan acara tersebut, mereka tidak boleh mengharapkan uang dari orang-orang yang hadir. Pernah ada yang meninggal di kampung kami, sudah tua sekali. Anaknya menginginkan agar orangtua tersebut harus berada pada posisi Mauli Bulung. Saya bertanya, apakah mereka siap tidak menerima tumpak? Karena kalau Mauli Bulung hanya ada jalang horas. Dia menjawab dengan cepat, Saur Matua sajalah).”

Hal senada juga diucapkan oleh Informan Manganar (71):

...” dung sae marsipanganon, pasahat tumpak ma angka na ro. Anggo na Mauli Bulung, ndang adong be istilah tumpak i, jalang horas ma panggantina. Dang hepeng be ni lean. Karena ulaon itu bukan acara kesedihan lagi. Sudah suka cita ala na monding i nga sonang be, dang adong be sitanggungonna jala gabe. Ndang adong be hurangna.” (setelah selesai makan bersama, orang-orang yang datang akan memberikan tumpak beruapa uang. Kalau yang Mauli Bulung, tidak ada istilah tumpak, hanya ‘ada jalang horas. Karena acara itu bukan acara kesedihan lagi. Sudah suka cita karena yang meninggal sudah senang, tidak ada tanggungan, dan keturunannya lengkap.Tidak ada yang kurang).

Petikan wawancara dengan kedua informan diatas menunjukkan bahwa setiap orang yang menghadiri upacara kematian akan memberikan ataupun mengungkapkan rasa turut berduka yang disimbolkan dengan pemberian sejumlah uang kepada pihak keluarga yang disebut dengan tumpak. Namun, pada tingkatan upacara kematian tertinggi yaitu Mauli Bulung, tumpak ini tidak berlaku lagi. Orang-orang yang hadir pada saat itu hanya akan bersalaman dengan pihak keluarga dari orang yang meninggal. Keluarga yang ditinggalkan dianggap mampu menutupi semua biaya yang telah dikeluarkan dalam pelaksanaan upacara tersebut.


(36)

4.4.2. Makna Saur Matua Bagi Masyarakat Batak Toba

Pada dasarnya segala bentuk upacara-upacara peringatan apa pun yang digunakan masyarakat adalah simbolisme. Makna dan maksud upacara menjadi tujuan manusia untuk memperingatinya. Dalam tradisi atau adat istiadat simbolisme sangat terlihat dalam upacara-upacara adat yang merupakan warisan turun temurun dari generasi ke generasi (Budiono Herusatoto, 2008: 48).

1. Sebagai Tradisi

Dalam teori interaksionisme simbolik dikatakan bahwa masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan-kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial. Demikian pula dengan Batak, interaksi dari masyarakat diatur oleh apa yang disebut dengan Dalihan Na Tolu, yang dibuat dalam bentuk norma-norma sehingga terdapat hubungan sosial yang harmonis dan saling menghargai dan menghormati. Berjalan atau tidaknya norma-norma tersebut terwujud dalam kegiatan ataupun upacara-upacara adat.

Sepanjang hidup seseorang yang bersuku Batak Toba diikuti dengan kegiatan adat, mulai dari dalam kandungan, kelahiran, pernikahan, bahkan sampai kematian. Kegiatan adat tersebut wajib diikuti oleh seluruh anggota masyarakat baik itu dari pihak penyeleggara kegiatan adat tersebut maupun dari sanak saudara dan kerabat-kerabatnya. Sama halnya yang terjadi di Tarutung, hingga saat ini masyarakatnya masih berpedoman pada


(37)

pandangan hidup ideal Batak Toba, serta tetap menjalankan kegiatan-kegiatan adat tersebut. Berikut petikan wawancara dengan informan P.Lumban Gaol (57):

...”Biasa kita liat, kalo kita bilang sama orang, na so maradat doho, itu penghinaan yang luar biasa, tapi coba bilang na so mar agama do haroa ho, ah biasa do i.” (Bisa dilihat, apabila kita berkata pada seorang Batak “kamu tidak beradat” akan dianggap sebagai penghinaan yang luar biasa, tapi apabila kita mengatakan,”mungkin kamu tidak beragama” akan dianggap biasa saja).

Petikan wawancara diatas menunjukkan kedudukan adat sangatlah tinggi di mata masyarakat Batak, sehingga mengikuti kegiatan adat dianggap sebagi sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap masyarakatnya.

Hulman(54) berpendapat bahwa:

...”Di tingki angka ulaon i do hita boi mangido tangiang tu hula-hula asa sai di pasu-pasu. Ai Debata nomor dua do Hula-Hula di halak Batak. Dilehon ma tangiang i marhite-hite ulos.Di angka ulaon do tong boi marpungu, marsipaberengan akka na markeluarga manag mardongan. Andigan be boi sahundulan iba dohot akkang niba, anggi niba, iboto niba, sude ma i tahe. Songon ho ma jo nuaeng, kan tu ulaon do ho ro manjumpangi au kan.”. (Pada pelaksanaan adat lah kita dapat memminta doa kepada Hula-Hula agar tetap diberkati. Karena orang Batak meyakini bahwa Hula-hula itu adalah Tuhan nomor dua. Berkat itu disimbolkan dengan pemberian ulos.Kegiatan -kegiatan adat seperti ini juga merupakan waktu yang tepat untuk kembali berkumpul dengan keluarga maupun teman. Kapan lagi ada kesempatan untuk duduk bersama dengan saudara-saudara.)

Tetap melaksanakan upacara-upacara adat seperti ini bagi masyarakat merupakan sebuah kesempatan untuk meminta doa dari pihak Hula-Hula. Masyarakat Batak bahkan meyakini bahwa Hula-Hula


(38)

merupakan Tuhan nomor dua, sehingga dipercaya bahwa dengan doa dari Hula-hula keluarga tersebut akan senantiasa diberkati oleh Tuhan. Adat gjuga dijadikan sebagai ajang pertemuan dengan sanak saudara maupun teman-teman.

2. Sebagai Sebuah Kewajiban

Dalam kehidupan masyarakat Batak harus memiliki rasa kebersamaan. Kebersamaan tersebut tampak pada setiap kegiatan yang dilakukannya, baik itu dalam pekerjaan, kegiatan adat, maupun ketika adanya musibah dalam kelompok masyarakat tersebut. Dalam kebersamaan tersebut tidak ada bantuan yang diberikan secara cuma-cuma, karena semua yang kita terima harus dibayar.

Berikut petikan wawancara dengan Hulman (54):

...”Masalah holi-holi binondut holi-hi utahon ma i, ala dung mansai sering natua-tua on manjalo jambar, manjalo soit sian akka donganna jadi wajib ikkon di bayar.” (itu masalah holi-holi binondut, holi-holi di utahon, karena semasa hidupnya dia sudah sering menerima jambar dan soit dari temannya, maka itu wajib dibayar”

Hal senada juga diungkapkan oleh Saut (64):

...”Jadi songonon doi anggia, ibanna adong hata ni natua-tua mandok holi-holi binondut holi-holi ni utahon, tu parjambaran mai. Ai dang mungkin sai nijaloan sian halak hape iba dang hea mangalehon tu halak i. Jadi utang na ikkon bayaron do i.” (jadi dek, ada umpaya orangtua yang mengatakan holi-holi binondut, holi-holi ni utahon, itu dalam hal parjambaron. Tidak mungkin kita selalu menerima jambar dari orang lain sementara kita tidak memberikan jambar kepada orang itu. Jadi itu merupakan hutang yang harus dibayar.”


(39)

Dalam Batak ada istilah “holi-holi binondut, holi-holi ni utahon” yang dalam bahasa Indonesia, apa yang dimakan maka itu pula yang dimuntahkan. Istilah ini memiliki makna bahwa ketika seseorang selalu menghadiri upacara Saur Matua dan dia selalu mendapatkan soit dan jambar, maka itu dianggap hutang. Untuk membayar hutang ini pada saat dia mati, keluarga wajib membagi soit dan jambar (Adat Na Gok) tersebut kepada hadirin. Upacara ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mati dalam posisi Saur Matua. Hal ini yang membuat banyaknya pihak keluarga yang meminta agar status dari orang yang mati tersebut menjadi Saur Matua, agar tidak menimbulkan hutang dikemudian hari. Dalam adat Batak kedatangan para tamu yang sudah meluangkan waktunya untuk hadir pada upacara tersebut juga dianggap sebagai hutang. Maka apabila sewaktu-waktu ada salah satu dari hadirin tersebut melakukan upacara adat, adalah sebuah kewajiban untuk ikut serta dalam acara tersebut.

Penaikan status ini bisanya di setujui karena berbagai pertimbangan, dan yang paling utama adalah seseorang itu harus Sangap. Selama hidupnya dia haruslah memiliki kelakuan yang baik di mata masyarakat.

3. Sebagai Tanda Kehormatan / Prestise

Dalam suku Batak Toba terdapat tingkatan kematian yang dapat menunjukkan prestise ataupun kehormatan seseorang. Prestise sendiri merupakan pengakuan sosial terhadap kedudukan tertentu pada posisi-posisi yang dihormati. Prestise akan diperoleh pada saat seseorang berhasil


(40)

memperoleh kedudukan dengan perjuangan dan usaha-usaha yang disengaja dilakukannya. Hal ini sama seperti apa yang ada dalam pandangan hidup ideal dalam masyarakat Batak Toba, seseorang akan berusaha memiliki hagabeon, hamoraon, serta hasangapon, dan hal tersebut akan terlihat pada saat dia mati. Jenis kematian yang menunjukkan prestise seseorang, yakni, Mate sari Matua, Mate Sori Matua, Mate saur Matua, dan Mauli Bulung yang identik dengan pesta besar.

Seorang yang bersuku Batak setidaknya menginginkan kematian dalam Posisi Saur Matua karena dianggap sudah berada pada tingkat kehidupan yang sempurna. Dalam hal ini yang dimaksud dengan sempurna yaitu hagabeon, hamoraon, dan hasangapon. Hal ini dibenarkan oleh para informan informan Hulman(54), yang mengatakan bahwa:

...”Saur Matua na sejelsna ndang adong be na hurang di keluargana, dang adong na tilahaon, dang adong na pogos. I ma na ni dok na Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon. Boasa halak Batak sai marsitta sitta naeng ma nian ikkon Saur Matua di tingki monding.” (Saur Matua berarti tidak ada lagi yang kurang di dalam keluarganya, anaknya tidak ada yang meninggal dan tidak ada yang miskin. Hal ini lah yang dinamakan dengan Hagabeon, Hamoraon, dan Hasangapon. Mengapa orang Batak selalu bercita-cita dapat menduduki posisi Saur Matua. Karena pada Upaca itulah kita bisa meminta doa dan berkat kepada Hula-hula. Menurut kepercayaan orang Batak adalah Tuhan nomor dua. Doa dan berkat yang diberikan disimbolkan dengan ulos.)

Hal senada juga di sampaikan oleh informan Ebsan(77):

...”Sahalak didokkon Saur Matua ikkon Gabe do, umurna nga ganjang, pangalahona boi sitiruon, boi marsaor, adong sinadonganna, baru ikkon Sangap..” (Seseorang dapat dikatakan Saur Matua harus Gabe, umurnya sudah


(41)

panjang, kelakuannua dapat ditiru, pergaulannya baik, ada harta, dan harus Sangap).

Kedua pernyataan diatas juga didukung oleh jawaban yang diberikan informan bernama Manganar(71):

...”Molo saur matua attong, udah marhasohotan semua anakanya, nga marpahompu, adong arta na, nga ganjjang umurnya jadi ulaon silas ni roha nama goarna. Ni dok i ala nga sikkop sude ningon ma tahe.”(kalau Saur Matua, anak-anaknya sudah berumah tangga, sudah memiliki cucu, ada harta kekayaan, umurnya sudah panjang, jadi dapat dikatakan acara seperti ini adalah acara suka cita. Dikatakan demikian karena kehidupannya dianggap sudah lengkap.)

Ketiga peryataan diatas dapat disimpulkan bahwa Saur Matua dianggap sebagai seseorang yang mati dengan telah mencapai apa yang dikatakan dengan hagabeon, hamoraon, dan hasangapon. Saur Matua adalah memiliki anak perempuan dan anak laki-laki, memiliki cucu, tidak ada diantara anaknya yang mati, memiliki kekayaan, dan memiliki perangai yang baik di keluarga ataupun di masyarakat. Kekayaan diperlukan karena untuk melaksanakan upacara Saur Matua, keluarga harus melaksanakan adat na gok, menyediakan kerbau untuk disembelih, di iringi oleh gondang (musik khas Batak). Upacara Saur Matua dilakukan sebagai ucapan syukur karena semasa hidupnya telah memperoleh kelengkapan hidup.

4. Sebagai Motivasi

Adanya makna kesempurnaan yang akan diperoleh ketika seseorang mati dalam posisi Saur Matua, masyarakat Batak akan senantiasa berusaha melakukan tindakan-tindakan yang dianggap akan


(42)

membawanya menuju kesempurnaan tersebut. Saur Matua sebagai jenis kematian sempurna, membuat masyarakat berusaha mencapainya. Dengan melihat bagaimana penghormatan yang dilakukan pada seseorang yang Saur Matua, timbul dorongan bagi masyarakat untuk merasakan hal yang sama pada saat dia mati. Hal ini sama dengan apa yang dikatakan oleh informan Ebsan (77):

...” dalam hal ekonomi, kalaulah dia ingin mati dalam posisi Saur Matua, tapi dia melihat dia belum sanggup mengadakan adat na gok karena ketidaktersediaan biaya, pasti timbul keinginan untuk berusaha lebih keras lagi. Jadi Saur Matua ini bisamemberika motivasi kepada masyarakat untuk berusaha mencari kehidupan yang lebih layak dari sebelumnya. Lalu dalam segi etika, seseorang tidak berhak berada pada posisi Saur Matua kalau kelakuannya sendiri tidak baik. Jadi untuk menghidari itu, mulai lah dia melakukan kebaikan-kebaikan dan berusaha menjadi contoh dihadapan orang lain. Baru jadi terdorong dia mempelajari adat Batak itu, kenapa harus ini, kenapa harus itu. Secara tidak sengaja dia jadi berusaha dia mempelajari budayanya sebagai orang Batak.”

Jelas melalui kutipan wawancara diatas, adanya tingkatan kematian Saur Matua seperti ini membawa dampak positif bagi masyarakat Batak itu sendiri, yaitu sebagai motivasi., untuk mewujudkan keinginan berada pada posisi Saur matua juga membuat seseorang selalu berperilaku baik dalam keluarga, kelompok, dan masyarakatnya. Dalam hal ekonomi, adanya tutuntan untuk melaksanakan pesta orang-orang akan bekerja lebih keras agar pada saat dia mati bisa melaksanakan adat na gok.


(43)

Makna Kematian Saur Matua bagi Masyarakat Batak Toba Informan

P. Lumban Gaol (57)

Melaksanakan kegiatan-kegiatan adat adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap masyarakat Batak.

Informan Hulman (54)

1. Sebagai ajang pertemuan dengan seluruh sanak saudara.

2. Sebagai kewajiban untuk membayar jambar dan soit yang pernah di terima semasa hidup.

3. Sebagai tanda kehormatan, karena dianggap sudah mencapai ketiga pandangan hidup ideal yang ada pada masyarakat Batak.

Informan Ebsan(77)

1. Menjadikan masyarakat Batak selalu berperilaku baik dalam kehidupannya sehari-hari

2. Sebagai motivasi agar masyarakat selalu bekerja keras mencari uang, karena untuk melaksanakan upacara Saur Matua memerlukan biasya yang besar.

Informan Manganar (71)

Sebagai acara sukacita, karena semasa hidupnya dia sedah memperoleh kelengkapan hidup

Informan Saut (64)

Kewajiban membayar adat yang sudah pernah diterima semasa hidupnya.

4.4.3. Makna Prestise / Nilai Hasangapon Bagi Masyarakat Toba Sianipar (1991) mengatakan bahwa Budaya Batak menentukan kedudukan seseorang bukan dari kekayaan, harta, pekerjaan, jabatan, dan keahliannya. Oleh sebab itu, tingkatan kematian dibuat agar orang-orang tidak seenaknya pesta ataupun adat karena dia mampu malakukannya dengan uang yang dimilikinya. Hasangapon merupakan pengakuan dan penghormatan atas wibawa dan martabat seseorang. Hasangapon sendiri adalah syarat utama yang harus dipenuhi oleh seseorang agar pada saat dia


(44)

mati berhak berada pada posisi Saur Matua. Jika pada umumnya prestise selalu identik dengan kekayaan maka lain halnya dengan status terhormat dalam padangan masyarakat Batak Toba, seperti yang dikemukakan oleh informan Belman(44):

...”Nasangap, i ma halak na burju di angka ulaon adat manang diparsaorannaa, bisuk di tingki mambahen sada keputusan, laos jujur.” (orang yang terhormat adalah orang yang baik di acara-acara adat maupun di dalam pergaulan, bijak dalam mengambil keputusan, dan jujur.)

Hal senada juga diungkapkan oleh informan Marnaek (72):

...”Menurut ahu hasangapon i molo burju do ibana, olo mangurupi manang padamehon angka jolma na marpersoalan, jot-jot ro di akka ulaon adat, dang hea marurusan dohot hukum manang ndang parjahat.” (Menurut saya hasangapon ada pada orang yang baik, mau membantu menengahi orang-orang yang sedang menghadapi masalah, sering menghadiri kegiatan-kegiatan adat,dan tidak pernah berurusan dengan hukum.)

Pernyataan diatas juga didukung oleh Rusmina (49), yang mengatakan bahwa:

...”Tolok ukur agar seseorang dikatakan terhormat yang dalam bahasa Batak yaitu Sangap, yang pertama kelakuan yang baik, ditengah-tengah keluarga maupun dimasyarakat sehari-hari, yang kedua dia tidak sungkan memberikan perhatian, bantuan moril maupun spiritual dimasyarakat. Yang terakhir dia harus seseorang yang bijak dalam mengambil keputusan, selalu bersikap jujur dan adil dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu masalah dalam keluarga, kelompok marga. Ataupun masyarakat luas.”


(45)

...”Dalam perbuatan dia tidak melanggar adat, kalau ngomong ada etikanya nampak itu ya, di punguannya nampak dia seorang pengayom, kalo bahasa pendidikannya di depan dia sebagai pengayom, di tengah sebagai pendorong, di belakang dia sebagai poenggugah.”

Terakhir, nilai Hasangapon menurut Hulman (54) adalah:

...”Suhat suhat ni hasangapon ni sasahalak ima boi tau tiruaon di masyarakat. Contoh, ketua ni sada punguan , boi ibana padomu na marbadai, boi di pudun, di paudut muse. Jei unang paremosi, parlambok pusu, ndang holit mangging, ndang panghorus. Jadi molo dang adong sinadonganna tong do i na Sangap, goaron ma i Raja Si Pudun Jambulan, Raja Paulaean (dilean rohana laho paturehon na rundut. Baru tongam ma ibana, dang si godang hata on.” (Syarat agar dapat dikatakan terhormat adalah seseorang yang dapat menadi panutan dimasyarakat. Contohnya, ketua di dalam sebuah kelompok, bisa sebagai penengah ketika ada perselisihan, baik hati, tidak pelit, tidak serakah. Jadi meskipun dia bukan seorang yang kaya akan harta tetap dikatakan sebagai orang yang terhormat, orang seperti ini disebut dengandengan Raja Si Pudun Jambulan, Raja Paulaen, yakni mampu menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kelompoknya).

Data yang diperoleh dari semua informan memberikan jawaban yang sama. Status terhormat pada orang Batak tidak selalu dikaitkan dengan kekayaan ataupun status ekonominya. Dalam Masyarakat Batak dikatakan terhormat apabila seseorang itu memiliki perilaku yang baik dan dapat dijadikan sebagai panutan bagi masyarakat disekitarnya. Sekali pun dia tidak memiliki harta kekayaan, tetapi dia bijak dalam menghadapi masalah yang terjadi di dalam kelompoknya, maka dia layak di sebut sebagai orang yang sangap. Kejujuran juga merupakan salah satu syarat agar dapat dikatakan sangap.


(46)

Makna Hasangapon Informan

Belman(54)

Orang yang sangap adalah orang yang mengikuti kegiatan adat dengan baik, berperilaku baik dalam kehidupannya sehari-hari, dan dalam semua tindakan selalu berlaku jujur

Informan Marnaek (72)

1. Orang yang sangap adalah orang yang bisa menjadi penengah ketika ada perselisihan.

2. Sering mengahadiri kegiatan-kegiatan adat 3. Tidak pernah berurusan dengan hukum Informan

Rusmina (49)

1. Berkelakuan baik didalam keluarga dan di masyarakat.

2. Bijak dalam mengambil keputusan.

3. Jujur dan adil dalam menyelesaikan sebuah permasalahan.

Informan Ebsan (77)

1. Tidak pernah melanggar adat.

2. Seorang pengayom di tengah-tengah masyarakat Informan

Hulman (54)

1. Sebagai panutan di dalam masyarakat. 2. Menjadi penengah ketika ada perselisihan. 3. Baik hati

4. Tidak pelit

3.3.4. Makna Simbol Status pada Upacara Saur Matua

Menurut beberapa data dari informan, terdapat simbol-simbol dalam upacara Saur Matua yang dapat menunjukkan status keluarga yang meninggal, yaitu:


(47)

1. Tambak

Tugu atau tambak adalah tempat penguburan bagi orang-orang yang dianggap berhasil mencapai pandangan hidup yang dianggap ideal dalam suku Batak Toba. Informan Parulian(57) mengatakan bahwa:

...” Pada dasarnya ‘inang, harus Saur Matua dulunya orang baru dimasukkan ke tambak, berarti harus udah lengkap hidupnya kan.”

Dari kutipan wawancara diatas nampak bahwa yang berhak dimasukkan kedalam Tugu hanyalah orng-orang yang pada saat kematiaanya berada pada posisi Saur Matua.

2. Kerbau

Dalam masyarakat Batak kerbau, babi, ikan mas, dan ayam lah yang dianggap sebagai hewan yang layak dipakai pada saat melakukan upacara-upacara adat. Dalam upacara Saur Matua di daerah Silindung hewan yang dipakai biasanya kerbau, karena dianggap sebagi hewan yang bermanfaat dalam kehidupan manusia. Berikut petikan wawancara dengan Saut (67):

... “Di Silindung on tarida do ibana na Saur Matua molo sigagat duhut dibahen, menurut masyarakat manang Bius dohonon adat na gok molo sigagat duhut do dibahen.” (Di Silindung , akan kelihatan bahwa seseorang itu Saur Matua apabila menyediakan kerbau sebagai tanda acara itu merupakan Adat Na Gok).

Pada awalnya dalam upacara seperti ini harusnya menyembelih seekor kerbau, namun yang terjadi sekarag ini sudah ada beberapa daerah


(48)

yang mengijinkan pengunaan babi. Jika pada jaman dulu yang berhak dimasukkan kedalam Tugu ataupun Tambak adalah orang yang memiliki anak laki-laki dan perempuan, sekarang dibeberapa daerah bahkan ada orang yang dimasukkan ke dalam Tambak tersebut meskipun dia tidak memiliki anak laki-laki.

4.3.5. Pergeseran Tradisi Upacara Kematian di Daerah Silindung Upacara kematian Saur Matua pada awalnya dapat dilakukan dengan memenuhi beberapa syarat, antara lain:

a. Gabe dalam arti sudah memiliki anak laki-laki dan perempuan dan memiliki cucu.

b. Tidak Tilahaon

c. Memiliki usia 70 tahun keatas

d. Disemayamkan di rumah duka selama lima hari lima malam

e. Sangap, yang berarti seseorang itu memiliki jasa ataupun kelakuan yang baik baik didalam punguan ataupun masyarakat luas.

f. Mora, mampu melaksanakan adat na gok, yakni membagi jambar yang berupa seekor kerbau kepada Unsur Dalihan Na Tolu

g. Disetujui oleh para Bius

Apabila salah satu persyaratan yang telah disebutkan diatas belum dapat dipenuhi maka seseorang belum dapat dikatakan Saur Matua. Sekarang ini mulai terjadi pergeseran, seseorang yang yang tidak memenuhi semua syarat-syarat tersebut sudah bisa dikatakan Saur Matua karena berbagai pertimbangan yang di sepakati dalam Tonggo Raja, yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:


(49)

1. Agama

Budaya batak sekarang ini banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan, yang timbul akibat adanya proses interaksi antara masyarakat yang menganut agama tersebut dengan ajaran-ajarannya yang diyakini memiliki kebenaran yang berasal dari Tuhannya. Salah satu pengaruh agama yang mendasari pergeseran pelaksanaan upacara kematian Saur Matua pada masyarakat Batak Toba diungkapkan oleh informan P.Lumban Gaol(57):

...”kan dulu adat batak ini seperti adanya magic-magicnya, jadi sejak masuknya keKristenan sedikit banyaknya dibumbui lah adat itu dengan ajaran Agama. Anggo najolo ikkon lengkap do gelleng dohot angka pahompu na, ndang boi tilahaon inna sa boi ni dok i Saur Matua . Ale anggo Agama mandok kan ndang boi jolma mangatur ngolu dohot hamatean ni sasahalak. Jadi saunari dang pola dibereng be na tilahaon do manang daong natua-tuai. Asalma nga sahata sude akka Bius di tingki Tonggo Raja ikkon na jadi do natua-tuan on saur Matua.” (Dulu adat batak identik dengan mistis, jadi setelah Kekristenan masuk adat itu mulai dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Agama. Kalau dulu Seseorang dikatakan saur matua apabila anak dan cucunya sudah lengkap, dan tidak boleh ada diantara anaknya yang sudah meninggal. Tetapi ajaran Agama mengatakan bahwa yangmngatur kehidupan dan kematian seseorang. Jadi sekkarang apabila ada anaknya yang meninggal bukan menjadi suatu masalah agar dia dikatakan saur Matua. Dengan syarat semua Bius telah menyetujuinya).

Petikan wawancara diatas mebenarkan kuatnya pengaruh agama dalam pelaksanaan upacara Saur Matua yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba. Masuknya agama Kristen ke daerah Batak yakni Silindung menyebabkan terjadinya beberapa perubahan pada tata cara pelaksanaan upacara adat. Perubahan dalam hal ini bukan berarti menghilangkan tradisi melainkan memperbaiki upacara-upacara tersebut agar tidak berbau mistis.


(50)

Selain itu karena dalam agama dikatakan bahwa hidup dan matinya seseorang berada ditangan Tuhan membuat masyarakat Batak kembali mempertimbangkan seseorang yang akan ditempatkan pada posisi Saur Matua, tidak harus memenuhi semua syarat agar dapat dikatakan Saur Matua, seperti masalah tilahaon dan belum adanya cucu dari orang mati tersebut.

2. Perubahan Zaman

Seiring berkembangnya zaman, perubahan dari pelaksanaan upacara-upacara adat, khususnya dari segi waktu pelaksanaanya, seperti yang dikatakan oleh informan Manganar (71):

...” Najolo sahalak natua-tua, songon ompung hu hia ma nga tibu dipauli ruma rumahna songon solu, dibahen doi sian hau abal-abal. Jadi batang on diukir do dang papan di bahen, ndang mar pakku-pakku. Ba saunari nei akka papan nama di bahen, jalan pas parmonding na i do di pature jabu-jabuna. Baru tingki na mambagi jambar ma muse, molo najolo jambar botul-botul di dabuhon do sian tiang na timbo, ibanna di dok mandabu jambar ale leleng ma nian molo pinaente. Asa humatop saunari langsung nama di bagi jambar i sian tangan tu tangan” (Dulu, orang-orang tua, seperti ompung saya langsung membuat peti matinya sendiri, yang terbuat dari sebatang pohon. Jadi peti ini di ukir langsung menyerupai perahu, tanpa menggunakan paku. Apabila kita lihat sekarang, peti mati sudah dibuat dari papan dan itu pun ditempah pada saat orang tersebut meninggal. Selanjutnya dalam hal pembagian jambar, kalau dulu cara pembagian jambar itu dilakukan dengan menjatuhkan jambar tersebut dari sebuah tiang, sehingga di namakan dengan mandabu jambar, tapi memang memakan waktu yang lama. Untuk menghemat waktu sekarang ini jambar tersebut dibagikan langsung dari tangan ke tangan.)

Perubahan lain ditunjukkan pula oleh P. Lumban Gal(57)

...”Kalo dulu kan orang Batak itu hanya melulu maradat, kesitu aja waktunya, kalau sekarang kan orang udah


(51)

banyak kerjaannya makanya jadi dipangkas lah itu sekarang waktu pelaksanaannya jadi ulaon sadari katanya, supaya kerjaan-kerjaan orang pun jadi nggak terganggu.”

Pendapat selanjutnya juga dikemukakan oleh informan Rusmina (49):

...” yang ku ingat dulu yah, Tonggo Raja itu dilaksanakan pada sore hari sekitar jam lima sore dihalaman, lalu dilanjutkan dengan makan bersama.Coba lihat sekarang, Tonggo Raja dilakukan pada malam hari, semakin sempit waktunya. Tapi keadaan sekarang juga yang membuat itu, mana ada lagi waktu orang sebanyak dulu, orang-orang pulang kerja udah sore, pastinya pulang dulu lah dia banyak yang harus dikerjakan.”

Mengingat bahwa dulunya masyarakat Batak hanya bekerja pada sektor pertanian, bebas menentukan dan mengatur waktunya sendiri jadi tidak ada masalah apabila untuk melaksanakan sebuah upacara adat memakan waktu berhari-hari. Pada zaman dahulu juga penggunaan harta kekayaan hanya untuk menghidupi keluarga dan kegiatan adat. Jika dibandingkan dengan sekarang banyak masyarakat yang beralih profesi dan tidak lagi bekerja pada sektor pertanian. Bahkan banyak yang menghabiskan waktu sampai seharian hanya untuk bekerja. Banyaknya tuntutan kehidupan yang harus dipenuhi, seperti biaya hidup yang semakin mahal dan biaya untuk pendidikan anak, membuat masyarakat tidak lagi memiliki waktu yang banyak untuk mengahadiri kegiatan-kegiatan adat. Maka saat ini dibuatlah istilah ulaon sadari, yaitu memadatkan acara adat tersebut menjadi satu hari.


(52)

3. Pertimbangan Nilai Hasangapon

Hasangapon ataupun kehormatan dinilai sebagai syarat utama yang harus dipenuhi seseorang ketika ingin dinaikkan menjadi Saur Matua. apabila semua syarat-syarat yang telah disebutkan di atas sudah dipenuhi, kecuali hasangapon, penaikan status tersebut tidak dapat dilakukan. Informan Saut (67) berpendapat bahwa:

...”Ai adong do jolma ndang di antusi adat alai manjalo jambar sai ibana, hape on contoh na hal ni si songon on monding ma ibana naeng Saur Matua ma inna bahenon. Di Tonggo Raja ittor adong ma sahalak na so setuju, dang jadi no ni baenon Saur Matua. Na Saur matua manadingkon hadengganon do di pudina. Jadi boi ma dohonon molo naeng Saur Matua do nang pe Sari Matua hinan dope nian ibana, ndang dope di gokhi suhat-suhat ni na Saur Matua pangalahona do sipertimbanghononta. (jadi begini dek, makanya ada orang tua bilang, tulang-tulang kita telan, tulang-tulang-tulang-tulang juga yang kita muntahkan, dalam parjambaran lah itu. Tapi misalnya adalah orang yang tidak mengerti adat, tapi selalu menerima jambar. kemudian dia mati dan keluarga meminta agar dia Saur Matua. Di Tonggo Raja tiba-tiba ada seseorang yang menolak, itu tidak bisa di katakan Saur Matua. dikatakan Saur Matua, apabila dia meninggalkan kebaikan. Jadi bisa dikatakan penaikan status kematian seseorang dari Sari Matua menjadi Saur Matua, dan dia belum memenuhi syarat agar dapat dikatakan Saur Matua, perilakunya lah yang menjadi pertimbangan utama.

Hal senada juga diungkapkan oleh Parulian (57)

...”Molo na botul-botul ma ibana nasangap, adong do harisma ni berengon, na gabe boi on pangalualuan ni margana. On ma na gabe pertimbangan ni angka Bius tingki Tonggo Raja. Nang pe godang sipatupaonna, alai menurut akka na ro di Tonggo Raja i ndang na sangap, ndang jadi i bahenon.” (Kalau dia memang betul-betul seorang yang sangap, pasti ada kharismanya, bisa menjadi figur seorang pemimpin di marganya. Inilah yang menjadi pertimbangan para Bius pada saat Tonggo Raja. Meskipun dia memiliki banyak harta, tapi apabila orang-orang yang hadir pada saat Tonggo Raja tersebut berpendapat dia


(53)

bukanlah seorang yang sangap, penaikan tersebut tidak dapat dilakukan.)

4. Pelonggaran Makna Hagabeon

Hagabeon berarti bahagia dan sejahtera, dalam masyarakat Batak Toba yang di maksud dengan kebahagiaan adalah memiliki anak. Menurut Christina dan Rodiatul (2014), keturunan dalam budaya Batak Toba dianggap sebagai harta yang paling berharga. Adapun keberhargaan anak ini didasari oleh hal-hal berikut:

1. Pencapai tujuan hidup ideal

2. Pelengkap adat Dalihan Na Tolu

3. Penambah Sahala (wibawa) orangtua

4. Pewaris harta kekayaan. Dalam budaya Batak Toba, yang menjadi pewaris seutuhnya adalah anak laki-laki, sementara anak perempuan bisa memiliki sebagian harta warisan apabila saudara laki-lakinya mau berbagi sebagian dari harta yang diwarisi.

5. Penerus garis keturunan (marga). Dalam budaya Batak toba anak laki-laki menjadi penerus garis keturunan dalam keluarga (marga). Oleh karena itu jika dalam sebuah keluarga tidak memiliki anak laki-laki maka garis keturunan akan punah. Adpun posisi anak perempuan dalam budaya Batak Toba adalah sebagai pencipta hubungan besan, karena perempuan harus menikah dengan laki-laki dari pihak marga lain.


(1)

Dalam penulisan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si selaku dosen wali penulis sejak tahun 2011 hingga 2015 dan sebagai dosen pembimbing skripsi penulis yang telah bersedia membimbing penulis sejak awal hingga akhir perkuliahan.

3. Bapak Drs. Henry Sitorus, M.Si, selaku dosen penguji yang telah bersedia menjadi penguji skripsi ini dan telah memberi masukan-masukan dalam perbaikan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

5. Drs. Muba Simanihuruk, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

6. Para dosen di Departeman Sosiologi yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu-persatu yang telah membekali, memberikan ilmu, mengarahkan dan membimbing saya selama mengikuti perkuliahan di Departemen Sosiologi sehingga selesainya skripsi ini.

7. Ernita dan Bang Abel di jurusan sosiologi serta seluruh staf yang berada di FISIP USU yang telah memberikan kemudahan dalam mengurus segala administrasi dalam skripsi ini.

8. Saudara-saudara saya yang selalu memberikan doa dan semangat kepada saya, terkhusus adik kak Nina tercinta, Adrian Van Gouda Togatorop dan


(2)

Ridho Febrian Hendrikus Togatorop, serta adik sepupu saya Marnaek Alfred Siagian.

9. Ompung Raja Doli Lumbangaol/br.Hutagalung, Ompung Ompung Ami Togatorop/br. Simanjuntak, dan Ompung Ian Simanjuntak/br Harianja, yang sudah menjadi kakek dan nenek yang selalu mendoakan serta menjadi penyemangat mulai dari saya kecil hingga saat ini.

10.Sahabat-sahabat saya terkasih, yang mulai dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan ini selalu menemani saya dalam suka maupun duka, Carlina Abrianingsih Panjaitan, S.Sos, Devi Sihotang, S.Sos, Fransisca Sinaga, S. Sos, Elsa Elonika Tarigan dan Vera Novelina Sirait, atas semua dukungan dan bantuan kalian selama ini, serta kebersamaan kita yang tidak terlupakan.

11.Kiki, Marta, dan Andre yang sudah menjadi teman berbagi dalam suka maupun duka, dan selalu memberikan semangat bagi saya dalam perkuliahan selama ini.

12.Teman-teman Sosiologi seperjuangan lainnya, Erawati Siagian, Repita Simamora, Emilia Simangunsong, Hendrikson Siahaan, Yusni Malau, Wawan, Defasari, Angela, Silvia dan teman-teman sosiologi lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang telah banyak membantu penulis dalam berdiskusi hingga penulis dapat menyelesaikan penelitian.. 13.Para Informan yang telah banyak membantu memberikan informasi yang

sangat dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini, serta atas waktu dan kesediaan para informan.


(3)

Penulis merasa bahwa dalam penulisan skripsi masih terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi perbaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, harapan saya agar tulisan ini dapat berguna bagi pembacanya, dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.

Medan, Desember 2015 (Penulis)

Kathy Sabrina NIM : 1110901036


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi...iv

Abstrak ...vii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...1

1.2. Perumusan Masalah...7

1.3. Tujuan Penelitian...8

1.4. Manfaat Penelitian...8

BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat dan Nilai Budaya...9

2.1.1. Masyarakat Batak Toba dan Adat...9

2.1.2. Tradisi Upacara Kematian dalam Masyarakat Batak Toba...11

2.2. Nilai Prestise di dalam Masyaraka...13

2.3. Interaksionisme Simbolik...14

2.4. Defnisi Konsep...16

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian...20

3.2. Lokasi Penelitian...20 3.3. Unit Analisis dan Informan


(5)

3.3.1. Unit Analisis...20

3.3.2. Informan... ...21

3.4. Data dan Teknik Pengumpulan Data...22

3.5. Data Sekunder...23

3.6. Interpretasi Data...23

3.7. Keterbatasan Penelitian...24

BAB.IV. DESKRIPSI DAN HASIL ANALISIS DATA 4.1. Deskripsi Lokasi 4.1.1. Sejarah Kecamatan Tarutung...25

4.1.2. Keadaan Geografis... ...28

4.1.3. Luas Wilayah...28

4.1.4. Jumlah Penduduk... ...28

4.1.5. Mata Pencaharian... ...30

4.1.6. Sarana dan Prasarana... ...30

4.1.7. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Tarutung...32

4.2. Profil Informan... ...34

4.3. Interpretasi Data 4.3.1. Tingkatan Kematian Bagi Masyarakat Batak Toba...42

4.3.1.1. Kematian pada Orang-orang yang Belum Menikah...42

4.3.1.2.Kematian pada Orang-orang yang Sudah Menikah...43

4.3.1.3.Kematian pada Orang Tua...46 4.3.2. Makna Saur Matua bagi Masyarakat


(6)

Batak Toba...52 4.3.3. Makna Prestise / Nilai Hasangapon Bagi Masyarakat

Batak Toba...59 4.3.4. Makna Simbol Status pada Upacara Saur Matua ...62 4.3.5. Pergeseran Tradisi Upacara Kematian

di Daerah Silindung...64 4.3.6. Adat Saur Matua dalam Agama Islam

dan Kharismatik...75 BAB V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan... ...78 5.2. Saran...78