Strategi Lembaga Keuangan Mikro Syariah dalam Mengembangkan Usaha Mikro (Kasus LKMS BMT KUBE SEJAHTERA Unit 20, Sleman-Yogyakarta)

(1)

(Kasus LKMS BMT KUBE SEJAHTERA Unit 20, Sleman-Yogyakarta)

Oleh

DIAN PRATOMO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Usaha Mikro. Di bawah bimbingan : H. Musa Hubeis, sebagai ketua dan Hj. Illah Sailah, sebagai anggota

Krisis ekonomi dan moneter telah membuat angka pengangguran meningkat sedangkan pendapatan masyarakat menurun. Pemerintah sesuai amanat konstitusi yakni mengemban tugas untuk menyejahterakan rakyat, maka Departemen Sosial (Depsos) selaku departemen teknis yang menangani masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat menciptakan sebuah program penanganan fakir miskin dengan nama “Program Pemberdayaan Fakir Miskin Melalui Pola Terpadu KUBE (Kelompok Usaha Bersama) dengan LKM-BMT (Lembaga Keuangan Mikro – Baitul Maal wat Tamwil) di Daerah ADEM (Adopsi Desa Miskin) dan Sub Urban (Pinggiran Kota)”. Kegiatan ini dilaksanakan pada tahun 2004 di Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu, Banten, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Bentuk riil dari program ini adalah penumbuhan 5 LKM BMT KUBE dengan nama “BMT KUBE Sejahtera” di masing-masing Propinsi tersebut, sehingga pada tahun 2004 tumbuh 45 BMT KUBE Sejahtera binaan Depsos. Penelitian ini dilakukan pada LKMS BMT KUBE Sejahtera unit 20 di Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi kebutuhan dasar yang bersifat kritis bagi usaha mikro (2) mengidentifikasi dan menganalisis seberapa besar pengaruh LKMS BMT terhadap perkembangan usaha mikro, dan menentukan strateginya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tingkat usia responden mayoritas berada pada usia matang, yakni 36-44 tahun (48%), meskipun demikian ada juga yang termasuk usia dewasa awal (17-24 tahun). Bidang usaha yang dipilih responden meliputi bidang usaha yang mempunyai potensi di Kabupaten Sleman, terutama pertanian (48%) dan perdagangan (36%). Omset perusahaan sebelum menjadi nasabah BMT didapatkan antara Rp. 1.000.000 - Rp. 4.999.999 sebesar 80%. Omset setelah menjadi nasabah BMT didapatkan tidak meningkat, tetapi justru terjadi penurunan omset pada kelompok omset antara Rp. 1.000.000 - Rp. 4.999.999 menjadi kurang dari Rp. 1.000.000 sebanyak 4% responden.

Perhitungan analisis khi kuadrat menunjukkan nilai khi kuadrat 168,63 dengan db 14. Nilai khi kuadrat tabel untuk db=14 dengan taraf nyata 5% adalah 23,68. Maka disimpulkan bahwa sistem pembiayaan syariah dengan pola


(3)

adalah nyata. Nilai khi kuadrat 371,46 dengan db 14, nilai khi kuadrat tabel untuk db=14 dan taraf nyata 5% 23,68, maka disimpulkan bahwa kendala menerapkan pola bagi hasil BMT sesuai dengan UKM adalah nyata.

Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa posisi perusahaan berada dalam kondisi grow, sehingga dapat disarankan implementasi strategi antara lain: Memperbanyak kredit usaha untuk industri/usaha mikro, menawarkan paket pembiayaan dan angsuran yang berbeda antara usaha pengusaha dari berbagai sektor usaha, biaya pada simpanan nasabah seperti biaya administrasi maupun biaya bunga sebaiknya dihilangkan saja sehingga nasabah merasa tidak terbebani dengan biaya yang tidak diinginkan, dapat diminimalkan biaya pada proses pengurusan pembiayaan seperti biaya administrasi maupun biaya Notaris, dibuat penawaran paket-paket pembiayaan yang unik dan tidak dipunyai oleh paket pembiayaan pada lembaga keuangan lain dengan bagi hasil yang menarik, memilih lokasi yang dekat dengan nasabah yang memiliki karakteristik usaha yang digeluti, misalnya dekat dengan pasar, jika perlu ada karyawan BMT yang mengambil setoran debitur ke lokasi tempat usaha tiap debitur, advertorial dapat dijalankan dengan memasang halaman advertorial di surat kabar lokal, testimoni dapat dilakukan melalui pertemuan-pertemuan dengan mengundang para nasabah dari kelompok industri mikro, sales force diperlukan karena tidak semua nasabah mempunyai waktu untuk datang, bertanya dan bertransaksi dengan BMT di kantor.


(4)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam laporan akhir saya yang berjudul :

”Strategi Lembaga Keuangan Mikro Syariah Dalam Mengembangkan Usaha Mikro (Kasus LKMS BMT KUBE SEJAHTERA Unit 20, Sleman-Yogyakarta)”

merupakan gagasan atau hasil penelitian laporan akhir saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Laporan akhir ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Maret 2007

Dian Pratomo F052044085


(5)

(Kasus LKMS BMT KUBE SEJAHTERA Unit 20, Sleman-Yogyakarta)

DIAN PRATOMO

Laporan Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Profesional pada Program Studi Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

Nama Mahasiswa : Dian Pratomo Nomor Pokok : F052044085

Program Studi : Industri Kecil Menengah

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl. Ing, DEA Dr. Ir. Hj. Illah Sailah, MS

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Industri Kecil Menengah

Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl. Ing, DEA Prof.Dr.Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS


(7)

Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 3 Oktober 1978 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari ayah Daim Srimukti dan ibu Siswodarsini. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2005 diterima di Program Studi Industri Kecil Menengah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Berbekal ijasah S1, penulis diterima bekerja di Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), sebuah Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang pemberdayaan usaha mikro kecil dan ekonomi kerakyatan. Pada tahun 2004 penulis diberi amanah sebagai Project Manager, dan dipercaya mengelola semua proyek PINBUK yang berhubungan dengan pemerintahan.

Menikah pada Oktober 2003 dengan Atit Tunjung Sari dan telah dikaruniai seorang putri yang cantik bernama Annisa Syahrin Faiza.


(8)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga laporan akhir yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Industri Kecil Menengah (PS MPI), Sekolah Pasca Sarjana (SPS), Institut Pertanian Bogor (IPB) dapat diselesaikan.

Penulis sadar bahwa laporan akhir ini tidak akan dapat tersusun tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl. Ing, DEA, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ketua Program Studi MPI SPS IPB atas pengarahan, bimbingan dan dorongan dalam penyusunan dan penyelesaian laporan akhir.

2. Ibu Dr. Ir. Hj. Illah Sailah, MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah mengorbankan waktu dan pikirannya dalam melaksanakan bimbingan dan memberikan perhatian penuh dalam penyusunan laporan akhir ini.

3. Seluruh Staf Administrasi dan Dosen pengajar PS MPI IPB yang telah membantu membuka wawasan dan cakrawala dalam rangka penulis menggali informasi lebih mendalam dalam proses penyampaian materi studi.

4. Istri dan Anakku tercinta yang selalu memberikan dorongan moril dan menemani melekan, sampai laporan akhir ini selesai.

5. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah melahirkan, merawat, menjaga, memberikan do`a, dukungan dan semangat.

6. Sahabat-sahabat di PINBUK yang telah memberikan kesempatan dan keleluasaan penulis dalam penyelesaian laporan akhir ini.

7. Sahabat-sahabat di BMT Kube Sejahtera Unit 20 yang telah dengan terbuka menerima penulis selama masa penelitian dan memberikan informasi yang sangat berharga demi terselesaikannya laporan akhir ini.

8. Sahabat-sahabat MPI Angkatan V yang telah dengan kritis memberikan masukan dan saran yang sangat diperlukan dalam proses pembuatan laporan akhir.


(9)

Halaman

DAFTAR TABEL ……… xii

DAFTAR GAMBAR ………... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……… xiv

I. PENDAHULUAN ……….. 1

A. Sejarah ……….. 1

B. Produk ……… 3

C. Perumusan Masalah ……… 5

II. ANALISIS MASALAH ………. 6

A. Prinsip Analisis ………. 6

1. Tujuan ……… 6

2. Implementasi Praktis ……… 6

B. Metode Analisis ……… 11

1. Metode ………... 11

2. Kelebihan-Kekurangan Metode ………. 13

III. HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 15

A. Kondisi Umum ……….. 15

1. Usaha Mikro ... 15

2. Kajian Teori Syariah ... 17

3. Perbandingan Sistem Syariah dan Sistem Konvensional ... 20

B. Hal yang Dikaji ... 25

1. Karakteristik Usaha Mikro... 25

2. Sistem Pembiayaan Usaha Mikro... 27

3. Hasil Analisis Khi Kuadrat ... 31

4. Hasil Analisis SWOT ... 33


(10)

KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

1. Kesimpulan ... 45

2. Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47


(11)

(Kasus LKMS BMT KUBE SEJAHTERA Unit 20, Sleman-Yogyakarta)

Oleh

DIAN PRATOMO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Usaha Mikro. Di bawah bimbingan : H. Musa Hubeis, sebagai ketua dan Hj. Illah Sailah, sebagai anggota

Krisis ekonomi dan moneter telah membuat angka pengangguran meningkat sedangkan pendapatan masyarakat menurun. Pemerintah sesuai amanat konstitusi yakni mengemban tugas untuk menyejahterakan rakyat, maka Departemen Sosial (Depsos) selaku departemen teknis yang menangani masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat menciptakan sebuah program penanganan fakir miskin dengan nama “Program Pemberdayaan Fakir Miskin Melalui Pola Terpadu KUBE (Kelompok Usaha Bersama) dengan LKM-BMT (Lembaga Keuangan Mikro – Baitul Maal wat Tamwil) di Daerah ADEM (Adopsi Desa Miskin) dan Sub Urban (Pinggiran Kota)”. Kegiatan ini dilaksanakan pada tahun 2004 di Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu, Banten, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Bentuk riil dari program ini adalah penumbuhan 5 LKM BMT KUBE dengan nama “BMT KUBE Sejahtera” di masing-masing Propinsi tersebut, sehingga pada tahun 2004 tumbuh 45 BMT KUBE Sejahtera binaan Depsos. Penelitian ini dilakukan pada LKMS BMT KUBE Sejahtera unit 20 di Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi kebutuhan dasar yang bersifat kritis bagi usaha mikro (2) mengidentifikasi dan menganalisis seberapa besar pengaruh LKMS BMT terhadap perkembangan usaha mikro, dan menentukan strateginya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tingkat usia responden mayoritas berada pada usia matang, yakni 36-44 tahun (48%), meskipun demikian ada juga yang termasuk usia dewasa awal (17-24 tahun). Bidang usaha yang dipilih responden meliputi bidang usaha yang mempunyai potensi di Kabupaten Sleman, terutama pertanian (48%) dan perdagangan (36%). Omset perusahaan sebelum menjadi nasabah BMT didapatkan antara Rp. 1.000.000 - Rp. 4.999.999 sebesar 80%. Omset setelah menjadi nasabah BMT didapatkan tidak meningkat, tetapi justru terjadi penurunan omset pada kelompok omset antara Rp. 1.000.000 - Rp. 4.999.999 menjadi kurang dari Rp. 1.000.000 sebanyak 4% responden.

Perhitungan analisis khi kuadrat menunjukkan nilai khi kuadrat 168,63 dengan db 14. Nilai khi kuadrat tabel untuk db=14 dengan taraf nyata 5% adalah 23,68. Maka disimpulkan bahwa sistem pembiayaan syariah dengan pola


(13)

adalah nyata. Nilai khi kuadrat 371,46 dengan db 14, nilai khi kuadrat tabel untuk db=14 dan taraf nyata 5% 23,68, maka disimpulkan bahwa kendala menerapkan pola bagi hasil BMT sesuai dengan UKM adalah nyata.

Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa posisi perusahaan berada dalam kondisi grow, sehingga dapat disarankan implementasi strategi antara lain: Memperbanyak kredit usaha untuk industri/usaha mikro, menawarkan paket pembiayaan dan angsuran yang berbeda antara usaha pengusaha dari berbagai sektor usaha, biaya pada simpanan nasabah seperti biaya administrasi maupun biaya bunga sebaiknya dihilangkan saja sehingga nasabah merasa tidak terbebani dengan biaya yang tidak diinginkan, dapat diminimalkan biaya pada proses pengurusan pembiayaan seperti biaya administrasi maupun biaya Notaris, dibuat penawaran paket-paket pembiayaan yang unik dan tidak dipunyai oleh paket pembiayaan pada lembaga keuangan lain dengan bagi hasil yang menarik, memilih lokasi yang dekat dengan nasabah yang memiliki karakteristik usaha yang digeluti, misalnya dekat dengan pasar, jika perlu ada karyawan BMT yang mengambil setoran debitur ke lokasi tempat usaha tiap debitur, advertorial dapat dijalankan dengan memasang halaman advertorial di surat kabar lokal, testimoni dapat dilakukan melalui pertemuan-pertemuan dengan mengundang para nasabah dari kelompok industri mikro, sales force diperlukan karena tidak semua nasabah mempunyai waktu untuk datang, bertanya dan bertransaksi dengan BMT di kantor.


(14)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam laporan akhir saya yang berjudul :

”Strategi Lembaga Keuangan Mikro Syariah Dalam Mengembangkan Usaha Mikro (Kasus LKMS BMT KUBE SEJAHTERA Unit 20, Sleman-Yogyakarta)”

merupakan gagasan atau hasil penelitian laporan akhir saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Laporan akhir ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Maret 2007

Dian Pratomo F052044085


(15)

(Kasus LKMS BMT KUBE SEJAHTERA Unit 20, Sleman-Yogyakarta)

DIAN PRATOMO

Laporan Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Profesional pada Program Studi Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(16)

Nama Mahasiswa : Dian Pratomo Nomor Pokok : F052044085

Program Studi : Industri Kecil Menengah

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl. Ing, DEA Dr. Ir. Hj. Illah Sailah, MS

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Industri Kecil Menengah

Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl. Ing, DEA Prof.Dr.Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS


(17)

Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 3 Oktober 1978 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari ayah Daim Srimukti dan ibu Siswodarsini. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2005 diterima di Program Studi Industri Kecil Menengah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Berbekal ijasah S1, penulis diterima bekerja di Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), sebuah Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang pemberdayaan usaha mikro kecil dan ekonomi kerakyatan. Pada tahun 2004 penulis diberi amanah sebagai Project Manager, dan dipercaya mengelola semua proyek PINBUK yang berhubungan dengan pemerintahan.

Menikah pada Oktober 2003 dengan Atit Tunjung Sari dan telah dikaruniai seorang putri yang cantik bernama Annisa Syahrin Faiza.


(18)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga laporan akhir yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Industri Kecil Menengah (PS MPI), Sekolah Pasca Sarjana (SPS), Institut Pertanian Bogor (IPB) dapat diselesaikan.

Penulis sadar bahwa laporan akhir ini tidak akan dapat tersusun tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl. Ing, DEA, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ketua Program Studi MPI SPS IPB atas pengarahan, bimbingan dan dorongan dalam penyusunan dan penyelesaian laporan akhir.

2. Ibu Dr. Ir. Hj. Illah Sailah, MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah mengorbankan waktu dan pikirannya dalam melaksanakan bimbingan dan memberikan perhatian penuh dalam penyusunan laporan akhir ini.

3. Seluruh Staf Administrasi dan Dosen pengajar PS MPI IPB yang telah membantu membuka wawasan dan cakrawala dalam rangka penulis menggali informasi lebih mendalam dalam proses penyampaian materi studi.

4. Istri dan Anakku tercinta yang selalu memberikan dorongan moril dan menemani melekan, sampai laporan akhir ini selesai.

5. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah melahirkan, merawat, menjaga, memberikan do`a, dukungan dan semangat.

6. Sahabat-sahabat di PINBUK yang telah memberikan kesempatan dan keleluasaan penulis dalam penyelesaian laporan akhir ini.

7. Sahabat-sahabat di BMT Kube Sejahtera Unit 20 yang telah dengan terbuka menerima penulis selama masa penelitian dan memberikan informasi yang sangat berharga demi terselesaikannya laporan akhir ini.

8. Sahabat-sahabat MPI Angkatan V yang telah dengan kritis memberikan masukan dan saran yang sangat diperlukan dalam proses pembuatan laporan akhir.


(19)

Halaman

DAFTAR TABEL ……… xii

DAFTAR GAMBAR ………... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……… xiv

I. PENDAHULUAN ……….. 1

A. Sejarah ……….. 1

B. Produk ……… 3

C. Perumusan Masalah ……… 5

II. ANALISIS MASALAH ………. 6

A. Prinsip Analisis ………. 6

1. Tujuan ……… 6

2. Implementasi Praktis ……… 6

B. Metode Analisis ……… 11

1. Metode ………... 11

2. Kelebihan-Kekurangan Metode ………. 13

III. HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 15

A. Kondisi Umum ……….. 15

1. Usaha Mikro ... 15

2. Kajian Teori Syariah ... 17

3. Perbandingan Sistem Syariah dan Sistem Konvensional ... 20

B. Hal yang Dikaji ... 25

1. Karakteristik Usaha Mikro... 25

2. Sistem Pembiayaan Usaha Mikro... 27

3. Hasil Analisis Khi Kuadrat ... 31

4. Hasil Analisis SWOT ... 33


(20)

KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

1. Kesimpulan ... 45

2. Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47


(21)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Sebaran LKMS BMT di Indonesia... 9 2. Perbandingan lembaga keuangan syariah dan lembaga

keuangan konvensional...

24

3. Persepsi responden tentang pembiayaan pola murabahah 28 4. Persepsi responden tentang penentuan penyaluran

pembiayaan...

29

5. Persepsi responden tentang kendala penerapan pola bagi hasil...

30

6. Perhitungan khi kuadrat pada sistem pembiayaan syariah dengan pola murabahah sesuai dengan Usaha Mikro...

31

7. Perhitungan khi kuadrat pada sistem pembiayaan syariah dengan pola murabahah sesuai dengan UKM...

32

8. Perhitungan khi kuadrat pada kendala menerapkan pola bagi hasil BMT sesuai dengan UKM...

33

9. Faktor strategis internal... 35 10. Faktor strategis eksternal... 36 11. Analisis SWOT... 38


(22)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Hubungan antar pelaku ekonomi dalam Islam ... 19 2. Grafik faktor strategi eksternal dan internal ... 36

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman


(23)

A. Sejarah

Daerah pinggiran kota (sub urban) merupakan wilayah penyangga daerah kota, dengan kondisi penduduknya yang heterogen, baik dilihat dari kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, adat istiadat maupun karakteristik perilakunya yang bervariasi. Kaum urbanisan dengan permasalahannya dari desa di mana berasal, kemudian permasalahan tersebut masih melekat dibawa ke kota, sehingga menambah jumlah dan jenis permasalahan sosial, di samping penduduk setempat memang sebagian berada di bawah garis kemiskinan karena ancaman kekurangan pangan sebagai akibat rendahnya pasokan bahan pangan dari desa-desa.

Kehidupan warga masyarakat pada umumnya labil, antara lain sering melambungnya harga-harga diperkotaan, masalah pemutusan hubungan kerja (PHK), tingkat konsumerisme yang tinggi serta ketergantungannya kepada hasil kerja pada saat itu, dengan kata lain kalau pada hari ini tidak bekerja berarti tidak mempunyai penghasilan dan tidak dapat makan.

Tingkat kecemburuan sosial tinggi, karena banyak penduduk kota yang hidupnya glamour, menggunakan fasilitas yang dianggapnya mewah, tetapi dilain pihak terdapat kaum fakir miskin yang merasakan tidak adanya keadilan menimpa pada dirinya, sehingga dihinggapi keresahan sosial. Dalam hal ini yang kurang beruntung bertempat tinggal di lingkungan kumuh, mengontrak di rumah-rumah yang kurang layak huni, serta di lingkungan yang sangat rawan bencana.

Pada umumnya mengadu nasib di sektor informal, yang masih beruntung, sedangkan yang kurang beruntung menjadi gelandangan, pengemis, pemulung, tuna susila, bahkan ada yang mengerjakan sesuatu dalam bentuk tindak kekerasan, semuanya menambah daftar penyandang masalah sosial serta kualitas masalahnya yang sangat bervariasi.

Para keluarga fakir miskin pada umumnya belum mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang sangat dirasakan, bahkan ada yang tidak memahami sampai sejauhmana kualitas permasalahan yang dihadapi, walaupun sesungguhnya di antara mereka masih memiliki semangat dan motivasi, potensi atau kemampuan yang dapat diperdayakan.


(24)

Untuk menanggulangi persoalan kemiskinan struktural maupun yang diakibatkan oleh krisis ekonomi, pemerintah memandang perlu untuk memberikan bantuan kepada masyarakat miskin. Kegiatan ini tidak hanya bersifat reaktif terhadap keadaan darurat yang sedang dialami, namun juga bersifat strategis karena dalam kegiatan ini disiapkan landasan berupa institusi masyarakat yang semakin kuat bagi perkembangan masyarakat di masa yang akan datang (Kusuma, 2002)

Penanganan fakir miskin di daerah sub urban mengandung spesifikasi tersendiri dan sering terjadi perubahan setiap saat seiring dengan cepatnya perubahan sistem nilai dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini patut disikapi dalam rencana penanganannya dan segera dilakukan secara intergratif dan sinergik, baik melalui program pengembangan KUBE maupun melalui networking dari berbagai pihak yang terkait, baik dari unsur pemerintah, lembaga swasta, perorangan maupun dunia usaha yang peduli secara langsung dalam memberikan kontribusinya (Depsos, 2004)

Dalam memberikan pelayanan sosial bagi fakir miskin, banyak bentuk-bentuk kegiatan yang dapat dilakukan, antara lain berupa bantuan sosial, pengguliran dana, pendampingan sosial, usaha kesejahteraan sosial, usaha ekonomi produktif, kemitraan usaha, sistem perbankan melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM), dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk kepentingan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan, khususnya pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir miskin diperlukan indikator yang lebih merefleksikan tingkat kemiskinan yang sesungguhnya di masyarakat.

Dalam rangka memecahkan permasalahan yang terjadi di daerah pinggiran kota, maka Departemen Sosial (Depsos) selaku departemen teknis yang menangani masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat menciptakan sebuah program penanganan fakir miskin dengan nama “Program Pemberdayaan Fakir Miskin Melalui Pola Terpadu KUBE (Kelompok Usaha Bersama) dengan LKM-BMT (Lembaga Keuangan Mikro – Baitul Maal wat Tamwil) di Daerah ADEM (Adopsi Desa Miskin) dan Sub Urban (Pinggiran Kota)”. Kegiatan ini dilaksanakan pada tahun 2004 di Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu, Banten, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Bentuk riil dari program ini adalah penumbuhan 5 LKM BMT KUBE dengan nama “BMT KUBE Sejahtera” di masing-masing Propinsi


(25)

tersebut, maka pada tahun 2004 tumbuh 45 BMT KUBE Sejahtera binaan Departemen Sosial.

Sebagai unit usaha yang bergerak di bidang Lembaga Keuangan Mikro Syariah dengan pola usaha yang berbeda dengan Lembaga Keuangan Konvensional yang sudah berjalan saat ini, LKMS BMT unit 20 memiliki visi, yaitu menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat akan kepemilikan harta yang bebas dari riba. Adapun misinya adalah mengentaskan dan memberdayakan masyarakat miskin untuk lebih berdayaguna dan mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh dukungan untuk mengembangkan usahanya.

Salah satu hal terpenting dari program ini adalah adanya pendampingan, dimana di setiap LKMS BMT didampingi oleh satu orang yang telah berpengalaman dalam bidang pengembangan masyarakat dan pengembangan LKMS BMT itu sendiri.

Pendampingan itu sendiri adalah suatu proses menjalin relasi sosial antara pendamping dengan anggota masyarakat dalam rangka memecahkan masalah, memperkuat dukungan, mendayagunakan berbagai sumber dan potensi dalam pemenuhan kebutuhan hidup, serta meningkatkan akses anggota terhadap pelayanan sosial dasar, lapangan kerja, dan fasilitas pelayanan publik lainnya (Setiabudi, 2002)

B. Produk

Pada dasarnya tidak terdapat banyak perbedaan produk antara lembaga keuangan konvensional dan lembaga keuangan syariah. Perbedaan yang paling mendasar antara keduanya adalah dasar perhitungan bunga yang disebut dalam sistem lembaga keuangan syariah adalah marjin dan nisbah atau bagi hasil. Di dalam lembaga keuangan konvensional besarnya suku bunga telah ditetapkan dan hal ini merupakan alat utama lembaga keuangan konvensional dalam menjaring nasabahnya, serta pendapatan bunga dari kredit. Di lembaga keuangan syariah, besarnya marjin dan nisbah atau bagi hasil disepakati antara nasabah dengan lembaga keuangan.

Produk – produk yang telah dikembangkan dan dipasarkan oleh LKMS BMT KUBE Sejahtera unit 20 adalah :

1. Produk Tabungan


(26)

b. Tabungan Pendidikan Anak (TADIKA) c. Tabungan Mandiri Sejahtera (TAMARA) d. Tabungan Haji Terwujud (TAHAJUD) e. Tabungan Idul Fitri (TADURI)

2. Produk Pembiayaan

a. Pembiayaan total bagi hasil (Mudharabah)

Akad kerjasama usaha antara shahibul maal (pemilik dana) dan

mudharib (pengelola dana) dengan nisbah bagi hasil menurut kesepakatan di muka. Atau dengan kata lain, pembiayaan yang dilakukan melalui kerjasama usaha antara dua pihak dimana pemilik modal/BMT (shohibul maal) menyediakan modal 100%, sedangkan pihak lainnya/nasabah menjadi pengelolanya (mudharib) dengan mensyaratkan jenis atau bentuk usaha yang dilakukan. Pembiayaan ini dapat disalurkan untuk berbagai jenis usaha, yaitu perdagangan, perindustrian, pertanian dan jasa.

b. Pembiayaan bersama bagi hasil (Musyarakah)

Akad kerjasama di antara para pemilik modal yang mencampurkan modalnya untuk tujuan mencari keuntungan dengan prinsip bagi hasil, yang porsinya disesuaikan dengan penyertaannya. Jenis pembiayaan ini cocok untuk nasabah yang telah memiliki usaha dan bermaksud mengembangkan usahanya, tetapi masih kekurangan dana untuk mengembangkan usaha tersebut.

c. Pembiayaan pembelian barang bayar jatuh tempo (Murabahah)

Akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (marjin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Dengan kata lain, pembiayaan murabahah ialah pembiayaan dengan prinsip jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati, dengan pihak lain selaku penjual dan nasabah selaku pembeli. Pembayaran dapat dilakukan pada saat jatuh tempo pembiayaan sesuai dengan kesepakatan bersama. Pembiayaan ini diperhitungkan dan dicatat sebagai piutang bank kepada nasabah. Pembiayaan ini sangat cocok bagi nasabah yang membutuhkan aset, namun kekurangan dana untuk melunasinya. d. Pembiayaan pembelian barang bayar angsuran (Bai` Bitsaman `Ajil)


(27)

Akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (marjin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Atau dengan kata lain, pembiayaan murabahah ialah pembiayaan dengan prinsip jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati, dengan pihak lain selaku penjual dan nasabah selaku pembeli. Pembayaran dapat dilakukan secara angsuran sesuai dengan kesepakatan bersama. Pembiayaan ini diperhitungkan dan dicatat sebagai piutang bank kepada nasabah. Pembiayaan ini sangat cocok bagi nasabah yang membutuhkan aset, namun kekurangan dana untuk melunasinya.

C. Perumusan Masalah

1. Apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi UMKM.

2. Seberapa besar pengaruh LKMS BMT terhadap perkembangan UMKM dan bagaimana strategi pengembangannya.


(28)

II. ANALISIS MASALAH

A. Prinsip Analisis

1. Tujuan

Tujuan analisis adalah :

1. Mengidentifikasi kebutuhan dasar bagi usaha mikro

2. Mengidentifikasi dan menganalisis seberapa besar pengaruh LKMS BMT terhadap perkembangan usaha mikro

3. Menentukan strategi yang diperlukan dalam rangka

mengembangkan kapasitas LKMS BMT maupun usaha mikro 2. Implementasi Praktis

Ekonomi rakyat atau sering disebut juga dengan istilah ekonomi mikro, umumnya berbasis pada sumber daya ekonomi lokal dan tidak bergantung pada impor, serta hasilnya mampu diekspor karena keunikannya, maka pembangunan ekonomi rakyat diyakini akan memperkuat fondasi perekonomian nasional (Mennegkop dan UKM, 2005)

Perekonomian Indonesia akan memiliki fundamental yang kuat, jika ekonomi rakyat telah menjadi pelaku utama yang produktif dan berdaya saing dalam perekonomian nasional. Untuk itu, pembangunan ekonomi rakyat melalui pemberdayaan Usaha Mikro menjadi prioritas utama pembangunan ekonomi nasional dalam jangka panjang (Deperindag, 2002).

Upaya pemberdayaan Usaha Mikro secara otomatis juga melakukan upaya pemberdayaan masyarakat telah dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya memberikan bantuan kesehatan, beasiswa pendidikan, hingga bantuan teknis dan hibah peralatan, serta modal. Pendekatan ini memang mampu menurunkan angka kemiskinan, tetapi menimbulkan permasalahan baru, yaitu munculnya sikap ketergantungan dan melemahnya sikap sosial dan kemandirian. Beberapa pengamat ekonomi berpendapat, cara tersebut tidak menyelesaikan akar masalah penyebab kemiskinan, yaitu adanya ketimpangan distribusi dan akses terhadap sumber daya ekonomi.

Saat ini, tak kurang ada 40-an juta unit usaha dan 90% di antaranya adalah Usaha Mikro yang merupakan unit usaha yang


(29)

sangat strategis sebagai pintu masuk skenario pengentasan kemiskinan (Ismawan, 2004), alasannya sederhana, jika semua unit usaha ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, maka usaha-usaha ini mampu menyediakan lapangan pekerjaan, dan memberikan penghasilan bagi para pelakunya. Mengembangkan kelompok usaha ini menjadi lebih produktif, dan secara riil dapat menekan angka kemiskinan, serta akan mengembangkan ekonomi rakyat secara luas.

Dalam upaya peningkatan kesejahteraan para pelaku Usaha Mikro, dibutuhkan sebuah kerjasama berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta, yang berkompeten dan memiliki perhatian besar terhadap perkembangan perekonomian bangsa pada umumnya dan perkembangan Usaha Mikro pada khususnya. Salah satu lembaga yang mempunyai perhatian besar terhadap perkembangan Usaha Mikro adalah Lembaga Keuangan Mikro Syariah Baitul Maal wat Tamwil (LKMS BMT) (Ridwan, 2004). LKMS BMT berdiri di garda terdepan dalam mendukung penyediaan jasa keuangan para pengusaha mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah yang belum layak menurut standar penilaian perbankan (bankable).

LKMS BMT adalah lembaga keuangan dan pembiayaan berlandaskan syariah yang didirikan dan dimiliki bersama oleh warga masyarakat untuk memecahkan masalah/kendala permodalan dan kebutuhan dana yang dihadapi para pelaku Usaha Mikro yang pada umumnya adalah masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah (Aziz, 2004). LKMS BMT memiliki dua bidang kerja, yaitu sebagai Lembaga Maal (Baitul Maal) dan sebagai Lembaga Tamwil (Baitul Tamwil). Baitul Maal dimaksudkan untuk menghimpun zakat, infaq maupun shadaqah dan menyalurkannya kepada pihak-pihak yang berhak mendapatkannya dalam bentuk pemberian tunai langsung maupun pinjaman modal tanpa bagi hasil. Baitul Maal ini bersifat nirlaba (sosial) dan Lembaga Tamwil dimaksudkan untuk menghimpun dana masyarakat mampu (aghniya) dalam bentuk saham, simpanan ataupun deposito dan menyalurkannya sebagai modal usaha dengan ketentuan bagi hasil antara pemodal, peminjam dan LKMS BMT. Kegiatan Lembaga Tamwil ini bersifat profit motive. Dalam perkembangan kegiatan LKMS BMT, Lembaga Tamwil menjadi


(30)

kegiatan utama sementara Lembaga Maal menjadi kegiatan sampingan, bahkan sebagian besar LKMS BMT tidak melakukan kegiatan Lembaga Maal. Bagi hasil adalah jumlah keuntungan yang didapat oleh peminjam sehubungan dengan penggunaan modal (pinjaman) untuk kegiatan usaha dimana dari jumlah keuntungan tersebut dibagi antara peminjam dan pemodal. Bagi hasil ditentukan pada akhir periode peminjaman. Hal Ini merupakan perbedaan prinsip dengan bank konvensional, dimana keuntungan berupa bunga sudah ditentukan pada awal periode peminjaman.

Bangunan ekonomi Islam ditegakkan di atas lima nilai dasar, yaitu

Tauhid (ketuhanan), `adl (keadilan), Nubuwwah (kenabian), Khilafah

(pemerintahan) dan Ma`ad (hasil). Kelimanya menjadi dasar pijakan dalam operasional. Ekonomi islam tidak sekedar ilmu, melainkan juga sistem yang aplikatif (Antonio, 2001)

LKMS BMT tidak menerapkan sistem bunga sebagaimana layaknya lembaga keuangan konvensional, akan tetapi menerapkan prinsip bagi hasil yang sesuai dengan kaidah syariah ekonomi Islam. Kata ”syariah” menurut bahasa memiliki makna ”jalan yang menuju air”. Dalam konteks agama, syariah berarti jalan menuju kehidupan yang baik atau sempurna (Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, 2003), maka dapat diartikan bahwa LKMS BMT adalah sebuah lembaga keuangan yang bertujuan untuk mengajak anggotanya dalam kegiatan ekonomi menuju jalan yang baik dan benar sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Ciri utama dari LKMS BMT adalah (Depsos, 2005) Pertama,

berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan ekonomi paling bawah untuk anggota dan lingkungannya. Kedua, bukan lembaga sosial tetapi dimanfaatkan untuk mengaktifkan penggunaan dana sumbagan sosial, zakat, infaq dan shadaqah bagi kesejahteraan orang banyak secara berkelanjutan. Ketiga, tumbuh dari bawah berdasarkan peran partisipasi dari masyarakat sekitar. Keempat, milik bersama masyarakat setempat dari lingkungan LKMS BMT itu sendiri, bukan milik orang lain dari luar masyarakat itu. Kelima, LKMS BMT


(31)

mengadakan kajian rutin pendampingan usaha anggota secara berkala yang waktu dan tempatnya ditentukan (biasanya di balai RW/RT/desa, kantor LKMS BMT, rumah anggota, masjid dan sebagainya), biasanya diisi dengan perbincangan bisnis para nasabah LKMS BMT, di samping pendampingan mental spiritualnya terutama motif berusaha. Keenam, manajemen LKMS BMT adalah orang profesional.

Ada beberapa alasan mengapa harus mendirikan dan mengembangkan LKMS BMT (PINBUK, 2004), yaitu pertama,

pembangunan nasional harus dipercepat. Kedua, lebih dari 98% dari struktur pengusaha nasional adalah Usaha Mikro (kecil bawah) yang salah satu faktor kesulitannya adalah masalah permodalan, sementara kurang mengenal Bank atau Lembaga Keuangan dan atau sulit mengaksesnya. Ketiga, Bank segan ”menyentuh” Usaha Mikro, karena biaya Bank (over head cost) ”terlalu mahal” untuk pembiayaan kecil-kecil dan banyak jumlahnya. Keempat, sebagian besar penduduk golongan ekonomi lemah dan tertinggal, terjerat rentenir dengan prosedur yang gampang dan sederhana, namun memberatkan akibat pembebanan bunga pinjaman yang besar. Untuk itu LKMS BMT didirikan sebagai counter terhadap praktek para rentenir tersebut.

Dengan kekuatan yang tumbuh dari bawah, dewasa ini, LKMS BMT sudah menunjukan kiprahnya dalam kancah perekonomian Indonesia. Ini terbukti dengan banyaknya BMT tersebar di seluruh Indonesia (Tabel 1).

Ada beberapa catatan perkembangan LKMS BMT yang dapat membuat sadar akan besarnya peran LKMS BMT di masa sekarang maupun mendatang. LKMS BMT Tumang, berdiri tanggal 1 Oktober 1998 di desa Cepogo, Kab. Boyolali, Jawa Tengah, dengan modal awal Rp. 7.050.000,- yang terkumpul dari 60 orang anggota pendirinya. Tahun 2005 telah membukukan aset sebesar Rp. 4.000.000.000,- dengan melayani lebih dari 1.800 anggota/nasabah. LKMS BMT Mardhatillah, Sumedang, Jawa Barat, berdiri tahun 1996, dengan modal awal Rp. 5.000.000,- yang terkumpul dari 20 orang anggota pendirinya. Tahun 2005, asetnya mencapai Rp.


(32)

2.000.000.000,- dengan melayani tidak kurang dari 5.000 anggota/nasabah. LKMS BMT Bina Umat Sejahtera (BUS), berdiri di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, yang berdiri tahun 1995, dengan modal awal Rp. 10.000.000,- yang terkumpul dari 20 orang anggota pendirinya. Tahun 2005, asetnya mencapai Rp. 28.000.000.000,- dengan melayani kurang lebih 11.000 anggota/nasabah.

Tabel 1. Sebaran LKMS BMT di Indonesia

No Propinsi

Jumlah aset > Rp 1 M

Jumlah aset Rp 500 Jt - 1 M

Jumlah aset Rp 250 jt -500 Jt

Jumlah aset Rp 50 jt - 250 Jt

Jumlah aset < Rp 50 Jt

Total (unit)

1 Aceh 2 7 23 37 7 76

2 Sumatera Utara 1 8 53 87 7 156

3 Sumatera Barat 1 5 17 28 9 60

4 Riau 2 5 20 23 15 65

5 Jambi 1 1 2 5 3 12

6 Bengkulu - 1 10 5 4 20

7 Sumatera Selatan 1 3 14 38 9 65

8 Lampung 1 1 14 19 7 42

9 Jakarta 5 36 53 55 16 165

10 Jawa Barat 7 23 290 293 24 637

11 Jawa Tengah 150 9 215 225 49 648

12 Yogyakarta 15 10 29 14 9 77

13 Jawa Timur 16 32 271 230 62 600

14 Bali 1 6 4 3 1 15

15 Kalimantan Barat 2 5 13 17 2 43

16 Kalimantan Tengah - 5 4 3 2 10

17 Kalimantan Timur 2 9 7 4 2 24

18 Kalimantan Selatan 3 4 5 4 1 17

19 Sulawesi Utara dan Gorontalo

- 1 21 31 9 62

20 Sulawesi Tengah 1 2 4 2 2 11

21 Sulawesi Tenggara - 1 11 7 4 23

22 Sulawesi Selatan 10 51 71 83 29 244

23 Nusa Tenggara Barat

1 4 41 39 8 93

24 Nusa Tenggara Timur

- 1 2 4 1 8

25 Maluku dan Maluku Utara

2 5 10 7 4 21

26 Papua dan Irjabar 3 2 6 7 3 18

J u m l a h 237 223 1.202 1.260 289 3.037


(33)

LKMS BMT Baiturrahman, berdiri pada tahun 1998 di lingkungan pabrik pupuk Kaltim, Bontang, Kalimantan Timur, dengan modal awal Rp. 28.900.000,- yang terkumpul dari 30 orang anggota pendirinya. Tahun 2005, asetnya mencapai Rp. 6.000.000.000,- dengan melayani lebih dari 3.700 anggota/nasabah (PINBUK, 2005). Masih banyak lagi contoh-contoh LKMS BMT yang lain. Hal ini membuktikan bahwa eksistensi LKMS BMT tidak bisa dipandang dengan sebelah mata.

Sampai saat ini, belum ada regulasi yang mengatur tentang badan hukum LKMS BMT, akan tetapi dapat diatasi dengan payung hukum koperasi. LKMS BMT dianjurkan untuk mengurus kendala legalitas ini. Untuk itu diharapkan, dengan memiliki badan hukum, maka LKMS BMT bisa lebih berkembang, karena mampu mengakses sumber dana. Dengan begitu dapat membantu pengembangan Usaha Mikro di Indonesia, karena Usaha Mikro di Indonesia identik dengan akar kemiskinan (Rudjito, 2004). Angka BPS untuk tahun 2003 menunjukkan ada 36,1 juta penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan (BPS, 2004)

Dalam praktiknya, pola operasional LKMS BMT tidak sepenuhnya mengadaptasi pola koperasi, melainkan mengadaptasi dan mengadopsi pola-pola pengembangan lembaga keuangan dan pengembangan masyarakat berbasis kelompok (Depsos, 2005).

Kajian ini menjadi penting adanya, apabila memang terbukti bahwa LKMS BMT memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan perekonomian bangsa pada umumnya dan pekembangan Usaha Mikro pada khususnya, maka sudah seharusnya pemerintah memberikan perhatian yang besar terhadap perkembangan LKMS BMT dan Usaha Mikro yang merupakan bagian dari ekonomi rakyat yang merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia.

B. Metode Analisis

1. Metode

Untuk menunjang keperluan analisis dalam membahas peran LKMS dalam pengembangan usaha mikro ini, telah dilakukan pengumpulan dan pencarian data, serta studi kepustakaan yang


(34)

menyangkut teori-teori tentang LKMS dan perkembangan kondisi usaha mikro. Data yang telah dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.

Data primer merupakan data yang digunakan dalam kajian ini berupa data hasil kuesioner (Lampiran 1) yang disebarkan kepada para nasabah LKMS BMT KUBE Sejahtera unit 20 di Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Nasabah dari LKMS BMT KUBE Sejahtera unit 20 sekarang ini sudah mencapai kurang lebih 300 nasabah, dan yang dijadikan responden sebanyak 100 nasabah.

Data sekunder digunakan sebagai data tambahan dalam menunjang analisis. Data sekunder mencakup data kuantitatif, yaitu data portofolio pembiayaan LKMS BMT KUBE Sejahtera unit 20 berdasarkan jenis pembiayaan yang sudah disalurkan, data mengenai perkembangan LKMS BMT dan proyeksi perkembangan ke depan. Data lain secara kualitatif dapat diperoleh dari literatur – literatur yang berkaitan dengan ekonomi syariah atau lembaga keuangan syariah, serta ulasan-ulasan para pakar yang dipublikasikan dalam buletin, jurnal, internet, dan media-media lain.

Data yang terkumpul telah dianalisa dengan menggunakan metode analisa sebagai berikut :

a. Deskriptif kualitatif

Statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiyono, 2002). Metode analisis deskriptif kualitatif ini dimaksudkan untuk memaparkan atau deskripsi statistik peubah-peubah ukuran analisis yang meliputi karakteristik, perilaku, dan sistem pembiayaan. Dalam hal ini digunakan analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT).

b. Tabulasi silang

Metode analisis lainnya yang digunakan adalah metode analisis tabulasi silang yang merupakan analisis hubungan antara


(35)

[

]

=

=

k i h h

f

f

f

1 2 0 2

χ

karakteristik, dan perilaku dengan jumlah penyaluran pembiayaan syariah.

c. Analisis Khi Kuadrat

Analisis khi kuadrat adalah teknik statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis deskriptif bila dalam populasi terdiri atas dua atau lebih kelas, dimana data berbentuk nominal dan contohnya besar (Sugiyono, 2002). Analisis khi kuadrat dapat digunakan untuk menguji perbedaan nyata antara banyak yang diamati dari obyek atau jawab yang masuk dalam masing-masing kategori dengan banyak yang diharapkan menurut pengujian hipotesis nol. Analisis khi kuadrat ini dipilih karena yang diuji berkaitan dengan suatu perbandingan mengenai frekuensi yang diamati dengan frekuensi yang diharapkan (Siegel, 1997). Rumus khi kuadrat adalah :

Data kajian ini mengikuti distribusi khi kuadrat dengan derajat bebas db=k-1, yaitu pada distribusi khi kuadrat dengan db=14. Frekuensi yang diharapkan (fh) untuk masing-masing kelas ditetapkan berbeda berdasarkan kategori ”banyak yang diharapkan”. Pengambilan kesimpulan didapatkan jika nilai khi kuadrat hitung > khi kuadrat tabel dengan db=14 dan taraf nyata 0,05.

2. Kelebihan dan Kekurangan Metode a. Kelebihan metode

Kelebihan metode pengumpulan data adalah:

1) Mudah dan cepat, karena data teknis yang berkaitan dengan masalah pembiayaan tersedia di kantor LKMS BMT KUBE Sejahtera unit 20.

2) Hemat biaya, karena sasaran yang dijadikan responden adalah nasabah dari LKMS BMT KUBE Sejahtera unit 20, dengan wilayah sebaran yang berbasis wilayah desa sehingga hasil kuesioner secara lengkap dan cepat dapat diterima kembali dan telah terisi.


(36)

3) Dengan analisis deskriptif kualitatif tidak ada uji nyata, tidak ada taraf kesalahan, karena tidak dimaksudkan untuk generalisasi.

b. Kekurangan metode

Kekurangan metode pengumpulan data :

Mengingat yang melakukan pengisian adalah masyarakat desa, maka dapat dipertanyakan tingkat pemahaman responden terhadap suatu pertanyaan, sehingga hal ini berdampak pada tingkat akurasi jawabannya.


(37)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum 1. Usaha Mikro

Upaya-upaya penanggulangan kemiskinan salah satunya adalah memperkuat peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Selama ini UMKM diakui keberadaannya sebagai penopang perekonomian masyarakat. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 memberikan pelajaran bahwa UMKM sanggup memberi kontribusi terhadap perekonomian nasional, khususnya dalam menyediakan kesempatan kerja.

Keberadaan pengusaha mikro, kecil, dan menengah, khususnya yang berskala usaha mikro merupakan wujud kehidupan ekonomi sebagian besar rakyat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Posisi seperti ini menempatkan usaha mikro sebagai jalur utama dalam pengembangan sistem ekonomi kerakyatan cukup memprihatinkan. Tidak terlalu mengejutkan jika jumlah pengusaha mikro relatif banyak, tetapi hanya penguasa sebagian aset produksi dan menyumbang sebagian kecil produksi nasional (Wiyono, 2003)

Proses pengembangan usaha mikro sebagai manifestasi perkembangan ekonomi lokal dan penanggulangan kemiskinan menjadi sangat penting sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Proses ini tidak akan berjalan dengan baik kalau penguatan peran usaha mikro dari tingkat lokal tidak diikutsertakan sebagai pihak berkepentingan yang utama. Di samping penguatan peran pengusaha mikro tersebut mempunyai arti strategis bagi kesejahteraan masyarakat setempat, sekaligus sebagai penggerak perekonomian daerah dan transformasi sosial ekonomi dalam komunitas lokal. Upaya pengembangan dan penguatan potensi pengusaha mikro di tingkat lokal sebagai kelompok ekonomi strategis di daerah harus berorientasi pada pemberdayaan, sehingga terbentuk pelaku ekonomi lokal yang mandiri dan kuat melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM) pada umumnya dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) pada khususnya.


(38)

Dikaitkan dengan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan, usaha mikro memiliki makna yang strategis. Dilihat dari perspektif ini, penguatan usaha mikro dengan wadahnya LKM berperan dalam dua saluran. Pertama, usaha mikro dapat menciptakan kesempatan kerja, hal ini disebabkan LKM relatif bersifat padat karya dengan modal yang kecil. Kedua, melalui pengembangan usaha mikro yang secara langsung terkait dengan penduduk miskin yang memiliki usaha produktif. Dengan demikian sekurang-kurangnya terdapat dua alternatif dalam penanggulangan kemiskinan, yaitu memperkuat LKM dan memperkuat usaha mikro yang pada umumnya dijalankan oleh penduduk miskin.

Strategi untuk memperkuat usaha mikro didasarkan pada pemahaman terhadap karakteristik dan kelemahan-kelemahan yang melekat di dalam usaha mikro. Salah satu alternatif untuk memperkuat posisi usaha mikro adalah dengan mendorong terjadinya kemitraan dan keterkaitan antar pelaku-pelaku ekonomi, baik antar pelaku usaha mikro maupun usaha mikro dengan usaha besar. Diharapkan kemitraan dan keterkaitan akan menghasilkan nilai tambah (ekonomi dan sosial) yang akan memperkuat struktur ekonomi nasional.

Dengan adanya kemitraan dan keterkaitan diharapkan beberapa masalah yang melekat dalam usaha mikro dapat diatasi. Dalam rangka menciptakan kemitraan dan keterkaitan ini, lembaga keuangan dapat ikut aktif dalam memperkuat posisi usaha mikro. Dalam konteks ini, pihak lembaga keuangan selain memberikan kemudahan dalam mengakses pembiayaan, dapat juga memfasilitasi informasi pasar, mendorong aliansi strategis, dan memberikan dukungan bantuan manajemen pengelolaan usaha.

Menurut Bintoro (2003), peran pemerintah, pusat maupun daerah, dalam menumbuhkan kemitraan dan keterkaitan dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung, pemerintah dapat melakukan inisiasi awal dalam bentuk program intervensi. Dalam program ini pemerintah hanya sebagai fasilitator untuk menggerakkan kemitraan dan keterkaitan, seperti yang ada dalam program Pengembangan Ekonomi Lokal. Kemitraan dan keterkaitan


(39)

dapat beragam sesuai dengan potensi yang ada pada tiap-tiap daerah.

Secara tidak langsung, peran pemerintah adalah menciptakan iklim yang kondusif untuk tumbuh dan berkembangnya kemitraan dan keterkaitan. Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal dan moneter, kemudahan perizinan dan informasi yang cepat. Bagi pemerintah daerah dituntut untuk mendorong melalui berbagai kebijakan dan peraturan daerah yang mendukung.

2. Kajian Teori Syariah

Ekonomi Islam ada bukan karena alasan apologetik, melainkan karena alasan keharusan, bukan karena Islam dulu pernah jaya dan menjadi obor dunia, ataupun adanya kelemahan pada sistem kapitalisme maupun sosialisme. Ekonomi Islam ada karena tuntutan dari kesempurnaan Islam, artinya Islam harus dipeluk secara kaffah

dan komprehensif (Rosyidi, 2006)

Lembaga keuangan syariah menurut Antonio (2001) adalah lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Kegiatan lembaga keuangan syariah merupakan implementasi dari prinsip ekonomi Islam dengan ciri-ciri yang menonjol, yaitu pelarangan riba dalam berbagai bentuknya, tidak mengenal konsep time-value of money, serta konsep uang sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditi yang diperdagangkan. Fungsi dan peran bank syariah di antaranya tercantum dalam pembukaan standar akuntansi yang dikeluarkan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution atau AAOIFI (Susilo, 2005) sebagai berikut :

1. Manajer investasi yang dapat mengelola investasi atas dana nasabah, misalnya menggunakan akad mudharabah atau sebagai agen investasi.

2. Investor yang dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya dengan menggunakan alat investasi yang sesuai dengan syariah Islam dan membagi keuntungan atau kerugian yang diperoleh secara


(40)

proporsional sesuai nisbah yang disepakati antara bank dan pemilik dana.

3. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah dapat melakukan kegiatan-kegiatan jasa layanan perbankan seperti bank konvensional sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

4. Pelaksanaan kegiatan sosial, sebagai ciri yang melekat pada entitas keuangan syariah yang dapat memberikan pelayanan sosial dalam bentuk pengelolaan dana zakat, infaq, shadaqah dan penyaluran dana sosial (qardhul hasan).

Paradigma ekonomi islam pada hakekatnya mengatur hubungan antara pelaku ekonomi, agar dapat terlibat dalam kegiatan usaha ekonomi dan dapat memperoleh keuntungan secara wajar sesuai dengan perjanjian yang disepakati berdasarkan ketentuan Al-Qur`an dan Hadist. Selain mengatur tentang masalah aqidah dan akhlak, Islam juga mengatur masalah hubungan antar manusia (Muamalah).

Pada Gambar 1 dijelaskan bahwa kerangka kegiatan muamalah, secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga, yaitu bidang sosial, politik, dan ekonomi. Muamalah di bidang ekonomi mengatur tentang kegiatan konsumsi, simpanan dan investasi. Berbeda dengan sistem lainnya, Islam mengajarkan pola konsumsi moderat yang memungkinkan adanya simpanan yang dapat disalurkan untuk pembiayaan investasi, baik untuk investasi di sektor perdagangan (trade), produksi (manufacture), maupun jasa-jasa (services). Oleh karena itu, diperlukan lembaga keuangan yang dapat bertindak sebagai intermediator antara pihak yang berlebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana. Maka dapat dikatakan bahwa antara pola konsumsi, simpanan, investasi dan keberadaan lembaga keuangan pada hakekatnya akan membentuk suatu siklus kegiatan ekonomi yang saling terkait satu sama lain.

Lembaga keuangan yang dapat menjadi intermediator

berdasarkan prinsip-prinsip muamalah adalah bank syariah. Sebagaimana halnya bank konvensional, kegiatan usaha bank syariah pada intinya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penghimpunan dana dan penyaluran dana. Namun dalam sistem


(41)

operasional bank syariah terdapat ciri khusus, dimana pemilik dana menyimpan uangnya di bank tidak dengan motif untuk mendapatkan bunga, tetapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil dari nasabah yang menggunakan dana tersebut untuk kegiatan ekonomi produktif.

Gambar 1. Hubungan antar pelaku ekonomi dalam Islam (Chrishandoyo, 1999)

Potensi pasar untuk pengembangan lembaga keuangan syariah masih luas, hal ini bisa dilihat dari jumlah penduduk muslim di Indonesia yang sangat tinggi. Di samping itu respon dan minat

ISLAM

Akhlaq Muamalah Aqidah

Ekonomi Politik Sosial

Perdagangan

Produksi

Jasa Konsumsi Simpanan Investasi

Intermediasi : Bank Syariah/Lembaga


(42)

masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi dengan mengunakan prinsip-prinsip Syariah menunjukkan antusiasme yang cukup tinggi (Fadjrijah, 2006)

3. Perbandingan Sistem Syariah dan Sistem Konvensional

Dalam beberapa hal, menurut Antonio (2001), kedua sistem ini memiliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan, dan sebagainya. Akan tetapi, terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan itu menyangkut hal-hal berikut :

a. Akad dan aspek legalitas

Dalam sistem syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi, karena akad dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan / perjanjian yang telah dilakukan, bila hukum hanya berdasarkan hukum positif belaka, tetapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti. Setiap akad dalam sistem syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut

1) Rukun, seperti :

• Penjual

• Pembeli

• Barang

• Harga

• Akad/Ijab qabul

2) Syarat, seperti :

• Barang dan jasa harus halal, sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah

• Harga barang dan jasa harus jelas

• Tempat penyerahan harus jelas, karena akan berdampak pada biaya transportasi


(43)

• Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi

short sale dalam pasar modal b. Lembaga penyelesai sengketa

Berbeda dengan sistem konvensional, jika dalam sistem syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, tapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum materi syariah.

Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung RI dan Majelis Ulama Indonesia.

c. Struktur organisasi

Kedua sistem ini bisa memiliki struktur organisasi yang sama, tetapi unsur yang amat membedakan antara keduanya adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah pada sistem syariah yang bertugas mengawasi operasional dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.

Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris. Hal ini untuk menjamin efektifitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu, biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.

1) Dewan Pengawas Syariah (DPS)

Peran utama para ulama dalam DPS adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam sistem syariah sangat khusus jika dibanding sistem konvensional. Maka diperlukan garis panduan (guidelines) yang mengaturnya. Garis panduan ini disusun dan ditentukan oleh Dewan Syariah Nasional.


(44)

DPS harus membuat pernyataan secara berkala bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Pernyataan ini dimuat dalam laporan tahunan (Annual Report) bank yang bersangkutan.

Tugas lain DPS adalah meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya. Dengan demikian, DPS bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu produk diteliti kembali dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.

2) Dewan Syariah Nasional (DSN)

Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di tanah air, berkembang pula jumlah DPS yang berada dan mengawasi masing-masing lembaga tersebut. Banyaknya dan beragamnya DPS di masing-masing lembaga keuangan adalah suatu hal yang harus disyukuri, tetapi juga diwaspadai. Kewaspadaan itu berkaitan dengan adanya kemungkinan timbulnya fatwa yang berbeda dari masing-masing DPS, serta hal itu bukan mustahil akan membingungkan umat dan nasabah. Oleh karena itu, MUI sebagai payung dari organisasi keislaman di tanah air, menganggap perlu dibentuknya satu dewan syariah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya perbankan syariah. Lembaga ini kelak dikenal dengan Dewan Syariah Nasional. DSN dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom di bawah MUI, dipimpin oleh Ketua Umum MUI dan Sekretaris (ex-officio). Kegiatan sehari-hari DSN dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan Ketua dan sekretaris serta beberapa anggota.

Fungsi utama DSN adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi bank syariah, tapi juga lembaga-lembaga lain seperti asuransi, reksadana, modal ventura, dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan


(45)

tersebut, DSN membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi DPS pada lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan produk-produknya.

Fungsi lain dari DSN adalah meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Produk-produk baru tersebut harus diajukan oleh manajemen setelah di rekomendasikan oleh DPS pada lembaga yang bersangkutan.

Selain itu, DSN bertugas memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai DSN pada suatu lembaga keuangan syariah.

DSN dapat memberikan teguran kepada lembaga keuangan syariah jiak lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan jika DSN telah menerima laporan dari DPS pada lembaga yang bersangkutan mengenai hal tersebut.

Jika lembaga keuangan syariah tersebut tidak mengindahkan teguran yang diberikan, maka DSN dapat mengusulkan kepada otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, untuk memberikan sanksi agar perusahaan tersebut tidak mengembangkan lebih jauh tindakan-tindakannya yang tidak sesuai dengan syariah.

d. Bisnis dan usaha yang dibiayai

Dalam sistem syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu, lembaga keuangan syariah tidak mungkin membiayai usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan. (Tabel 2)

Dalam sistem syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, di antaranya sebagai berikut :

1) Apakah obyek pembiayaan halal atau haram ?

2) Apakah menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat ? 3) Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila ?


(46)

4) Apakah proyek berkaitan dengan perjudian ?

5) Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata ilegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal ? 6) Apakah proyek dapat merugikan syiar islam, baik secara

langsung maupun tidak langsung ?

Tabel 2. Perbandingan lembaga keuangan syariah dan lembaga keuangan konvensional

LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH LEMBAGA KEUANGAN KONVENSIONAL

1. Melakukan investasi-investasi yang halal

2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa

3. Mencari kemakmuran dunia dan kebahagiaan akhirat 4. Hubungan dengan nasabah

dalam bentuk hubungan kemitraan

5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa DPS

1. Investasi yang halal dan haram

2. Memakai perangkat bunga

3. Orientasi keuntungan saja

4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitor-debitor

5. Tidak terdapat dewan sejenis

Sumber : Antonio, 2001.

e. Lingkungan kerja dan corporate culture

Sebuah lembaga keuangan syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Di samping itu, karyawan lembaga keuangan syariah harus

skillful dan profesional (fathonah), serta mampu melaksanakan tugas secara team work dimana informasi merata di seluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian dalam hal reward dan

punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.


(47)

Selain itu, cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan bahwasanya bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak harus senantiasa terjaga. Nabi SAW mengatakan bahwa senyum adalah sedekah.

B. Hal Yang Dikaji

Di dalam kajian ini ada dua kompenen yang ingin diteliti, berkaitan dengan kebutuhan dasar yang bersifat kritis bagi usaha mikro dan pengaruh LKMS BMT terhadap perkembangan usaha mikro. Dari hasil penyebaran kuesioner yang diisi oleh 100 responden didapatkan data berikut :

1. Karakteristik Usaha Mikro

Berdasarkan pengumpulan data dari 100 responden yang dikumpulkan dari nasabah BMT KUBE Sejahtera unit 20 dapat digambarkan karakteristik Usaha Mikro yang digeluti responden. Uraiannya:

a. Identitas pemilik usaha

Nasabah BMT KUBE Sejahtera unit 20 mempunyai berbagai latar belakang sosial ekonomi. Jenis kelamin responden menunjukkan bahwa 60% nasabah adalah pria dan 40% nasabah adalah wanita. Alamat nasabah berada pada lingkup Kabupaten Sleman Propinsi DIY, terutama Kecamatan Mlati. Agama yang dianut semua responden adalah Islam. Meskipun semua responden beragama Islam, tetapi alasan memilih menjadi nasabah BMT bukan hanya karena nasabah beragama Islam, karena ada 8% responden yang bukan beragama Islam.

Umur usaha yang digeluti responden rata-rata cukup muda, yakni kurang dari satu tahun (36%) dan di atas lima tahun (32%). Hal ini menunjukkan bahwa mereka tertarik untuk memulai usaha baru seiring dengan hadirnya BMT KUBE Sejahtera unit 20 yang menawarkan konsep bagi hasil. Dari aspek pendapatan total sebelum bergabung didapatkan bahwa mayoritas berpendapatan kurang dari Rp. 200.000 (40%). Setelah bergabung dengan BMT


(48)

mayoritas pendapatan responden naik menjadi antara Rp. 200.000 - Rp. 2.999.999 (96%).

Lama menjadi nasabah produk tabungan mayoritas selama 6 bulan - 2 tahun (24%). Lama menjadi nasabah produk pembiayaan mayoritas selama 6 bulan - 2 tahun (60%). Jenis simpanan nasabah mayoritas adalah tabungan dengan besar saldo kurang dari Rp. 1.000.000 (56%), meskipun ada responden yang menyimpan dalam bentuk Tabungan Berjangka (TAJAKA) dengan besar kurang dari Rp. 1.000.000 (4%).

Dengan besarnya dana yang disimpan oleh nasabah sebesar tersebut, maka agak sulit bagi BMT untuk melakukan penghimpunan dana masyarakat untuk disebarkan kembali dalam bentuk pembiayaan, sehingga BMT perlu mencari sumber permodalan lain yang dapat digunakan untuk mengadakan penyebaran dana pada masyarakat.

b. Permodalan

Omzet perusahaan sebelum menjadi nasabah BMT sebesar Rp. 1.000.000 - Rp. 4.999.999 (80%). Omzet setelah menjadi nasabah BMT didapatkan tidak meningkat, tetapi justru terjadi penurunan omset pada kelompok omzet antara Rp. 1.000.000 - Rp. 4.999.999 menjadi kurang dari Rp. 1.000.000 sebanyak 4% responden. Jumlah karyawan terbesar antara satu sampai tiga orang (60%).

c. Hubungan dengan bank

Jenis pembiayaan yang digeluti responden mayoritas kurang dari Rp. 50 juta, baik untuk pembiayaan mudharabah (36%) maupun murabahah (36%). Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha mikro yang mempunyai usaha dan modal kecil.

d. Jenis usaha

Dilihat dari tingkat pendidikan responden pemilik usaha didapatkan 48% mempunyai pendidikan setingkat SMP dan SMA, sedangkan sisanya berpendidikan SD. Tingkat usia responden mayoritas berada pada usia matang, yakni 36-44 tahun (48%), meskipun demikian ada juga yang termasuk usia dewasa awal 17-24 tahun. Bidang usaha yang dipilih responden meliputi bidang


(49)

usaha yang mempunyai potensi di Kabupaten Sleman, yakni pertanian (48%) dan perdagangan (36%).

Dilihat dari usia nasabah yang termasuk golongan dewasa, akan tetapi usia usaha/awal memulai usaha mayoritas sekitar satu tahun. Hal ini membuktikan bahwa para nasabah adalah orang-orang yang baru memulai usaha dan sebelumnya bekerja untuk orang lain.

Dilihat dari lamanya menjadi nasabah juga dapat diketahui bahwa BMT memberikan pembiayaan pada para nasabah pada awal-awal nasabah membuka usaha (kurang dari satu tahun). Hal ini menunjukkan bahwa BMT merupakan solusi bagi para pengusaha pemula untuk mendapatkan pinjaman pembiayaan.

2. Sistem Pembiayaan Usaha Mikro

Persepsi responden tentang pembiayaan yang diberikan oleh BMT dapat dilihat pada uraian berikut :

a. Pola Murabahah

Berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui bahwa jawaban responden tentang karakteristik Usaha Mikro yang lebih sesuai dengan pola murabahah mempunyai rentang jawaban 12% - 100%, atau jika dirata-rata 56%. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik pola murabahah cocok dengan karakteristik UKM tetapi tidak sepenuhnya karena sekitar 56%.

b. Penentuan penyaluran pembiayaan

Penentuan penyaluran pembiayaan UKM (Tabel 4) dijawab oleh responden antara 4% - 100%, hal ini menunjukkan rentang ekstrim terhadap penilaian responden, dengan rataan 52%. Jawaban yang ekstrim, di antaranya pola pembagian bagi hasil sama dengan pemberian bunga bank dijawab tidak oleh 96% responden. Alasan pemilihan BMT yang dianggap mempunyai syarat yang lebih mudah dijawab ya oleh 100% responden. Pelayanan yang tidak berbelit-belit, kenyamanan dengan sistem bagi hasil sistem syariah dan pelayanan sistem BMT lebih baik dibandingkan dengan sistem bunga juga dibenarkan seluruhnya oleh responden.


(50)

Tabel 3. Persepsi responden tentang pembiayaan pola murabahah

Jawab (%) No Jenis Pertanyaan

Ya Tidak 1. Apakah Anda memilih BMT karena beragama islam ? 92 8 2. Apakah Anda lebih menyukai sistem bunga dalam

berhubungan dengan lembaga keuangan ?

16 84

3. Apakah ada perbedaan antara sistem bunga dengan sistem syariah ?

96 4

4. Apakah hanya BMT yang menjalankan sistem syariah ? 36 64 5. Apakah BMT sudah menjalankan pola kerja sesuai

dengan syariah ?

100 0

6. Apakah Anda mengetahui dengan jelas sistem syariah pada BMT ?

76 24

7. Jika ada lembaga keuangan lain yang menerapkan sistem syariah, apakah Anda akan menjadi nasabah lembaga keuangan tersebut ?

84 16

8. Menurut Anda, apakah sistem syariah lebih memberi keuntungan pada Usaha Mikro ?

68 32

9. Menurut Anda, apakah sistem syariah lebih menjamin kelangsungan Usaha Mikro ?

60 40

10. Apakah sistem syariah lebih membantu dalam pengembangan Usaha Mikro ?

96 4

11. Apakah sistem administrasi syariah lebih mudah dibandingkan sistem bunga ?

60 40

12. Apakah sistem syariah menjamin permodalan Usaha Mikro lebih baik dibandingkan dengan sistem bunga ?

88 12

13. Apakah pelayanan BMT sudah memuaskan Anda ? 100 0 14. Apakah dalam mengajukan permohonan pembiayaan

ke BMT memerlukan waktu yang cukup lama ?

12 88

15. Menurut Anda, apakah waktu kurang dari satu minggu merupakan waktu yang ideal dalam proses permohonan pembiayaan?


(51)

Tabel 4. Persepsi responden tentang penentuan penyaluran pembiayaan Jawab (%) No Jenis Pertanyaan

Ya Tidak 16. Apakah alasan Anda memilih dan menggunakan

pembiayaan dari BMT karena sesuai dengan syariah ?

96 4

17. Apakah alasan Anda memilih dan menggunakan pembiayaan dari BMT karena syaratnya mudah ?

100 0

18. Apakah alasan Anda memilih dan menggunakan pembiayaan dari BMT karena prosesnya cepat dan tidak berbelit-belit ?

100 0

19. Apakah alasan Anda memilih dan menggunakan pembiayaan dari BMT karena resiko dibagi sama rata ?

96 4

20. Apakah Anda lebih menyukai pola bagi hasil (Mudharabah) dalam mengajukan permohonan pembiayaan ?

84 16

21. Apakah Anda lebih menyukai pola bagi hasil (Musyarakah) dalam mengajukan permohonan pembiayaan ?

72 28

22. Apakah Anda lebih menyukai pola Murabahah dalam mengajukan permohonan pembiayaan ?

88 12

23. Apakah Anda lebih menyukai pola sewa (Ijarah) dalam mengajukan permohonan pembiayaan ?

60 40

24. Apakah dalam praktiknya pembiayaan syariah sama dengan sistem bunga ?

8 92

25. Apakah Anda mengetahui kelemahan dan kelebihan dari setiap pola pembiayaan dalam sistem syariah ?

76 24

26. Apakah Anda lebih merasa nyaman dengan pola pembiayaan syariah ?

100 0

27. Apakah sistem syariah memberi keuntungan sama dengan sistem bunga dalam pola pembiayaan ?

4 96

28. Apakah pelayanan dalam sistem BMT lebih baik dibandingkan dengan sistem bunga ?

100 0

29. Apakah jarak (jauh-dekat) BMT dari tempat tinggal saudara merupakan suatu kendala ?

64 36

30. Apakah penyerarahan agunan pada BMT merupakan kendala ?


(52)

c. Kendala penerapan pola bagi hasil

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa jawaban responden tentang kendala pola penerapan bagi hasil mempunyai rentang jawaban antara 12% - 100%, atau jika dirata-rata 56%. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik pola murabahah cocok dengan karakteristik UKM, tetapi tidak sepenuhnya mempunyai kecocokan karena sekitar 56%.

Tabel 5. Persepsi responden tentang kendala penerapan pola bagi hasil Jawab (%) No. Jenis Pertanyaan

Ya Tidak 31. Apakah lama pemrosesan dalam permohonan

pembiayaan merupakan kendala ?

96 4 32. Apakah legalitas usaha Anda merupakan kendala

dalam permohonan pembiayaan di BMT ?

8 92

33. Apakah Anda mengalami kesulitan dalam mendapatkan fasilitas pembiayaan dari BMT ?

4 96 34. Apakah pola administrasi usaha Anda merupakan

kendala dalam mengajukan permohonan pembiayaan di BMT ?

48 52

35. Apakah besar kecilnya pembiayaan yang diberikan BMT merupakan hambatan dalam pengembangan usaha Anda ?

60 40

36. Apakah jangkauan pasar BMT merupakan hambatan dalam penyaluran pembiayaan kepada Usaha Mikro ?

24 76 37. Apakah tempat tinggal (desa atau kota)

mempengaruhi jumlah pembiayaan yang diterima dari BMT ?

12 88

38. Apakah sistem BMT saat ini menunjang program peningkatan kinerja Usaha Mikro Anda secara keseluruhan ?

84 16

39. Apakah pola administrasi yang diterapkan BMT menghambat dalam permohonan pembiayaan untuk Anda ?

4 96

40. Menurut Anda, apakah sistem di BMT lebih baik dibandingkan dengan sistem bunga dalam meningkatkan usaha Anda ?

100 0

41. Apakah modal merupakan kendala utama dalam pengembangan usaha Anda ?

96 4 42. Apakah penilaian negatif terhadap sejumlah Usaha

Mikro merupakan kerugian bagi Anda dalam mendapatkan pembiayaana dari BMT ?

56 44

43. Menurut Anda, apakah keberadaan BMT harus terus digalakkan ?

100 0 44. Menurut Anda, apakah disetiap wilayah pedesaan

perlu didirikan BMT ?

96 4

45. Apakah diperlukan dukungan dari pemerintah untuk pengembangan BMT ?


(53)

3. Hasil Analisis Khi Kuadrat

Adapun hasil perhitungan khi kuadrat sebagai berikut :

Tabel 6. Perhitungan khi kuadrat pada sistem pembiayaan syariah dengan pola murabahah sesuai dengan Usaha Mikro

Pertanyaan fo fh fo-fh (fo-fh)2 (fo-fh)2/fh

1 92 71.2 20.8 432.64 6.0764045 2 16 71.2 -55.2 3047.04 42.795506 3 96 71.2 24.8 615.04 8.6382022 4 36 71.2 -35.2 1239.04 17.402247 5 100 71.2 28.8 829.44 11.649438 6 76 71.2 4.8 23.04 0.3235955 7 84 71.2 12.8 163.84 2.3011236 8 68 71.2 -3.2 10.24 0.1438202 9 60 71.2 -11.2 125.44 1.7617978 10 96 71.2 24.8 615.04 8.6382022 11 60 71.2 -11.2 125.44 1.7617978 12 88 71.2 16.8 282.24 3.9640449 13 100 71.2 28.8 829.44 11.649438 14 12 71.2 -59.2 3504.64 49.222472 15 84 71.2 12.8 163.84 2.3011236

total 1068 1068 -4.3E-14 12006.4 168.62921

Keterangan :

fo : frekuensi yang diobservasi fh : frekuensi yang diharapkan

Hasil perhitungan menunjukkan nilai khi kuadrat 168,63 pada db=14. Nilai khi kuadrat tabel untuk db=14 dan pada taraf nyata 0,05 sebesar 23,68. Nilai khi kuadrat hitung > khi kuadrat tabel, maka dapat dinyatakan sistem pembiayaan syariah dengan pola murabahah

sesuai dengan Usaha Mikro adalah nyata. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik Usaha Mikro yang meliputi pendidikan nasabah, usia, jenis usaha nasabah, umur perusahaan, omzet perusahaan sebagai nasabah, ukuran perusahaan jenis usaha, permodalan, maupun jenis layanan yang diberikan oleh BMT sudah seperti karakterisrik yang dipunyai nasabah.


(54)

Tabel 7. Perhitungan khi kuadrat pada sistem pembiayaan syariah dengan pola murabahah sesuai dengan Usaha Mikro

Pertanyaan fo fh fo-fh (fo-fh)2 (fo-fh)2/fh

16 96 70.66667 25.33333 641.7778 9.081761 17 100 70.66667 29.33333 860.4444 12.176101 18 100 70.66667 29.33333 860.4444 12.176101 19 96 70.66667 25.33333 641.7778 9.081761 20 84 70.66667 13.33333 177.7778 2.5157233 21 72 70.66667 1.333333 1.777778 0.0251572 22 88 70.66667 17.33333 300.4444 4.2515723 23 60 70.66667 -10.6667 113.7778 1.6100629 24 8 70.66667 -62.6667 3927.111 55.572327 25 76 70.66667 5.333333 28.44444 0.4025157 26 100 70.66667 29.33333 860.4444 12.176101 27 4 70.66667 -66.6667 4444.444 62.893082 28 100 70.66667 29.33333 860.4444 12.176101 29 64 70.66667 -6.66667 44.44444 0.6289308 30 12 70.66667 -58.6667 3441.778 48.704403

Total 1060 1060 -7.1E-14 17205.33 243.4717

Keterangan :

fo : frekuensi yang diobservasi fh : frekuensi yang diharapkan

Hasil perhitungan menunjukkan nilai khi kuadrat 243,47 dengan db=14. Nilai khi kuadrat tabel untuk db=14 pada taraf nyata 0,05 sebesar 23,68. Nilai khi kuadrat hitung > khi kuadrat tabel, maka dapat dinyatakan bahwa penyaluran pembiayaan dengan pola murabahah sesuai dengan UKM adalah nyata.

Pada Tabel 8, hasil perhitungan menunjukkan nilai khi kuadrat 371,46 pada db=14. Nilai khi kuadrat tabel untuk db=14 pada taraf nyata 0,05 sebesar 23,68. Nilai khi kuadrat hitung > khi kuadrat tabel, maka dapat dinyatakan bahwa kendala menerapkan pola bagi hasil BMT sesuai dengan UKM adalah nyata.

Kesesuaian ini menunjukkan bahwa BMT KUBE telah menawarkan jenis layanan yang sesuai dengan karakteristik industri/usaha mikro yang dilayaninya. Hal ini berarti bahwa


(55)

kebutuhan usaha mikro dalam bidang pembiayaan telah dapat dipenuhi oleh layanan/karakteristik yang diberikan oleh BMT KUBE selaku lembaga keuangan.

Tabel 8. Perhitungan khi kuadrat pada kendala menerapkan pola bagi hasil BMT sesuai dengan Usaha Mikro

Pertanyaan fo fh fo-fh (fo-fh)2 (fo-fh)2/fh

31 96 59.2 36.8 1354.24 22.875676 32 8 59.2 -51.2 2621.44 44.281081 33 4 59.2 -55.2 3047.04 51.47027 34 48 59.2 -11.2 125.44 2.1189189 35 60 59.2 0.8 0.64 0.0108108 36 24 59.2 -35.2 1239.04 20.92973 37 12 59.2 -47.2 2227.84 37.632432 38 84 59.2 24.8 615.04 10.389189 39 4 59.2 -55.2 3047.04 51.47027 40 100 59.2 40.8 1664.64 28.118919 41 96 59.2 36.8 1354.24 22.875676 42 56 59.2 -3.2 10.24 0.172973 43 100 59.2 40.8 1664.64 28.118919 44 96 59.2 36.8 1354.24 22.875676 45 100 59.2 40.8 1664.64 28.118919

Total 888 888 0 21990.4 371.45946

Keterangan :

fo : frekuensi yang diobservasi fh : frekuensi yang diharapkan

4. Hasil Analisis SWOT

Untuk menyusun strategi dalam melakukan analisis internal dan eksternal dengan analisis SWOT. Faktor internal dan eksternal tersebut diuraikan sebagai berikut :

a. Strenghts (kekuatan)

1. Prosedur pengurusan yang tidak berbelit

Untuk mengajukan permohonan pembiayaan para nasabah terkesan tidak dipersulit dengan berbagai berkas yang harus diisi.


(56)

2. Syarat pengajuan mudah

Syarat pengajuan juga mudah, yakni tinggal mengisi aplikasi yang dikehendaki dan petugas BMT yang selanjutnya akan menyelesaikan.

3. Didukung masyarakat

Pendirian lembaga keuangan ini merupakan bentuk kegiatan yang dilakukan, pendampingan sosial, usaha kesejahteraan sosial, usaha ekonomi produktif, kemitraan usaha, dan sistem perbankan melalui Lembaga Keuangan Mikro yang bertujuan pengentasan kemiskinan sesuai dengan program pemerintah. 4. Petugas pendampingan yang intensif

Selain memberi dana, petugas BMT juga mendampingi nasabah dalam pengelolaan usahanya, sehingga dapat diminimalkan nasabah yang pailit.

5. Pelayanan yang lebih personalize

Pelayanan yang terjadi pada BMT bersifat kekeluargaan dengan sapaan baik antar petugas dengan nasabah maupun antar nasabah dengan nasabah. Hal ini masih sesuai dengan tradisi masyarakat sub-urban yang bersifat kekeluargaan.

b. Weakness (kelemahan)

1) Belum populer di masyarakat

Lembaga Keuangan dengan prinsip syariah pertama berkembang sekitar tahun 1990-an, sehingga masyarakat belum memahami prinsip operasinya, terutama Lembaga Keuangan Mikro Syariah.

2) Modal masih terbatas

LKM BMT masih mengalami kekurangan modal cukup besar, sehingga perlu dicarikan solusi optimal.

c. Opportunities (peluang) 1) Potensi pasar yang besar

Potensi industri/usaha mikro masih cukup besar untuk dijadikan lahan pemberian kredit, yakni 40 juta unit usaha. 2) Didukung program pemerintah

Program ini didukung oleh pemerintah dalam rangka program pengentasan kemiskinan.


(57)

3) Masih banyak masyarakat terjerat rentenir

Bagi hasil untuk pihak bank masih lebih sedikit daripada masyarakat mencari sumber dana pembiayaan dari rentenir, sehingga masyarakat punya potensi untuk beralih pada pembiayaan ini.

d. Threats (ancaman)

1) Lembaga Keuangan yang mempunyai jaringan dan modal lebih besar

Lembaga Keuangan dengan modal dan jaringan besar dapat mengancam kelangsungan BMT karena lebih berpengalaman dan agresif dalam melakukan pemasaran produknya.

2) BMT pesaing

Meskipun BMT merupakan ”barang” baru, tetapi pertumbuhan usahanya cukup signifikan sehingga terjadi persaingan antar sesama BMT untuk mencari nasabah sebanyak-banyaknya.

Berdasarkan hasil tersebut dapat dirangkum faktor strategik internal dalam Tabel 9.

Tabel 9. Faktor strategik internal

1. Faktor strategik internal Bobot (a) Rating (b) Nilai c=(axb) Strenghts

1. Prosedur pengurusan yang tidak berbelit

2. Syarat pengajuan mudah

3. Didukung oleh pemerintah dan masyarakat

4. Petugas pendampingan yang intensif

5. Pelayanan yang lebih personalize Weaknesess

1. Belum populer di masyarakat 2. Modal masih terbatas

0,2 0,2 0,2 0,1 0,05 0,1 0,15 3 3 4 2 2 2 3 0,6 0,6 0,8 0,2 0,1 0,2 0,45 Jumlah (1) 1 2,95


(58)

Sedangkan faktor strategik eksternal disajikan dalam Tabel 10. Tabel 10. Faktor strategik eksternal

2. Faktor strategik eksternal Bobot (a) Rating (b) Nilai c=(axb) Opportunities

1. Potensi pasar yang besar

2. Didukung oleh pemerintah dan masyarakat

3. Masih banyak masyarakat terjerat rentenir

Threats

1. Bank yang mempunyai jaringan dan modal lebih besar

2. BMT pesaing

0,3 0,2 0,1 0,2 0,2 4 4 2 2 3 1,2 0,8 0,2 0,4 0,6

Jumlah (2) 1 3,2

Total (1+2) 2 6,15

Gambar 2. Grafik faktor strategi eksternal dan internal

Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa faktor strategi eksternal didapatkan 3,2 dan strategi internal 2,9. Strategi eksternal termasuk dalam kategori tinggi dan strategi internal masuk dalam kategori rata-rata. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perusahaan sedang berada

Total skor faktor strategik internal= 2,9

1 2 3 4

1 2 3 4

T o ta l s k o r fa k to r s tr a te g ik e k s te rn a l= 3 ,2 Tinggi Rendah Grow

Kuat Rata-rata Lemah

Menen -gah


(1)

24. Apakah dalam praktiknya pembiayaan syariah sama dengan sistem bunga ? O Ya

O Tidak

25. Apakah Anda mengetahui kelemahan dan kelebihan dari setiap pola pembiayaan dalam sistem syariah ?

O Ya O Tidak

26. Apakah Anda lebih merasa nyaman dengan pola pembiayaan syariah ? O Ya

O Tidak

Alasannya ... ... ... 27. Apakah sistem syariah memberi keuntungan sama dengan sistem bunga dalam

pola pembiayaan ? O Ya

O Tidak

28. Apakah pelayanan dalam sistem BMT lebih baik dibandingkan dengan sistem bunga ?

O Ya O Tidak

29. Apakah jarak (jauh-dekat) BMT dari tempat tinggal saudara merupakan suatu kendala ?

O Ya O Tidak

30. Apakah penyerarahan agunan pada BMT merupakan kendala ? O Ya

O Tidak

Alasannya ... ... ...


(2)

Lanjutan Lampiran 1.

31. Apakah lama pemrosesan dalam permohonan pembiayaan merupakan kendala ? O Ya

O Tidak

Alasannya ... ... ... 32. Apakah legalitas usaha Anda merupakan kendala dalam permohonan

pembiayaan di BMT ? O Ya

O Tidak

Jelaskan ... ... ... 33. Apakah Anda mengalami kesulitan dalam mendapatkan fasilitas pembiayaan

dari BMT ? O Ya O Tidak

Jelaskan ... ... ... 34. Apakah pola administrasi usaha Anda merupakan kendala dalam mengajukan

permohonan pembiayaan di BMT ? O Ya

O Tidak

35. Apakah besar kecilnya pembiayaan yang diberikan BMT merupakan hambatan dalam pengembangan usaha Anda ?

O Ya O Tidak

36. Apakah jangkauan pasar BMT merupakan hambatan dalam penyaluran pembiayaan kepada Usaha Mikro ?

O Ya O Tidak


(3)

37. Apakah tempat tinggal (desa atau kota) mempengaruhi jumlah pembiayaan yang diterima dari BMT ?

O Ya O Tidak

38. Apakah sistem BMT saat ini menunjang program peningkatan kinerja Usaha Mikro Anda secara keseluruhan ?

O Ya O Tidak

39. Apakah pola administrasi yang diterapkan BMT menghambat dalam permohonan pembiayaan untuk Anda ?

O Ya O Tidak

40. Menurut Anda, apakah sistem di BMT lebih baik dibandingkan dengan sistem bunga dalam meningkatkan usaha Anda ?

O Ya O Tidak

41. Apakah modal merupakan kendala utama dalam pengembangan usaha Anda ? O Ya

O Tidak

42. Apakah penilaian negatif terhadap sejumlah Usaha Mikro merupakan kerugian bagi Anda dalam mendapatkan pembiayaana dari BMT ?

O Ya O Tidak

43. Menurut Anda, apakah keberadaan BMT harus terus digalakkan ? O Ya

O Tidak

Alasannya ... ... ...


(4)

Lanjutan Lampiran 1.

44. Menurut Anda, apakah disetiap wilayah pedesaan perlu didirikan BMT ? O Ya

O Tidak

Alasannya ... ... ... 45. Apakah diperlukan dukungan dari pemerintah untuk pengembangan BMT ?

O Ya O Tidak

Alasannya ... ... ...


(5)

1. Kesimpulan

a. Dari hasil kajian ini, dapat diketahui bahwasanya BMT memberikan peluang dengan memberikan pembiayaan kepada para nasabahnya untuk bisa membuka usaha baru dengan konsep bagi hasil yang adil dan menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari umur usaha yang digeluti nasabah rata-rata cukup muda, yakni kurang dari 1 tahun (36%), 1 – 5 tahun (32%), di atas 5 tahun (32%).

b. Dari aspek pendapatan total sebelum bergabung dengan BMT didapatkan bahwa mayoritas berpendapatan kurang dari Rp. 200.000 (40%). Setelah bergabung dengan BMT mayoritas pendapatan naik menjadi antara Rp. 200.000 – Rp. 2.999.999 (96%). Peningkatan yang cukup nyata ini menunjukkan bahwa modal kerja yang diberikan oleh BMT benar-benar dimanfaatkan oleh nasabah, dan ternyata modal mampu dikelola dengan baik, sehingga memberikan keuntungan yang bagus. Hal ini dikarenakan BMT memberikan bimbingan dan arahan, baik teknis usaha maupun manajemen usaha.

c. Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa posisi perusahaan berada dalam kondisi grow. Maka implementasi strategi yang diperlukan yaitu (1) memperbanyak kredit usaha untuk industri/usaha mikro, (2) biaya pada simpanan nasabah seperti biaya administrasi sebaiknya dihilangkan, agar nasabah merasa tidak terbebani dengan biaya yang tidak diinginkan, (3) dapat diminimalkan biaya pada proses pengurusan pembiayaan seperti biaya administrasi maupun biaya Notaris, (4) dibuat penawaran paket-paket pembiayaan yang unik dan tidak dipunyai oleh paket-paket pembiayaan pada lembaga keuangan yang lain dengan bagi hasil yang menarik, (5) memilih lokasi yang dekat dengan nasabah yang memiliki karakteristik usaha yang digeluti, misalnya dekat dengan pasar, jika perlu ada karyawan BMT yang mengambil setoran debitur ke lokasi tempat usaha tiap debitur, (6) advertorial dapat dijalankan dengan memasang halaman advertorial di surat kabar lokal, (7) testimoni dapat dilakukan melalui pertemuan-pertemuan dengan mengundang para nasabah dari kelompok industri mikro, (8) Sales force diperlukan karena tidak semua nasabah


(6)

mempunyai waktu untuk datang, bertanya dan bertransaksi dengan BMT di kantor.

2. Saran

a. Dunia perbankan hendaknya memberikan peluang lebih besar kepada BMT untuk dapat memperoleh kesempatan yang sama dalam mengakses modal usaha, sehingga diharapkan BMT akan semakin banyak menjangkau usaha mikro yang tidak tersentuh oleh perbankan.

b. Pemerintah hendaknya memberikan dukungannya dalam pengembangan usaha mikro maupun Lembaga Keuangan Mikro Syariah melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada usaha mikro dan LKMS, karena harus diakui bahwasanya merekalah yang masih mendominasi perekonomian Indonesia, sehingga harus menjadi perhatian utama.

c. Diharapkan seluruh lapisan masyarakat yang sudah paham tentang sistem ekonomi syariah, baik secara mikro maupun makro, ikut serta dalam upaya sosialisasi sistem syariah.

d. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang manajemen keuangan dan operasional LKMS BMT, karena hal ini juga berpengaruh terhadap perkembangan LKMS BMT itu sendiri dalam upayanya mengangkat kesejahteraan usaha mikro.