Meningioma

(1)

MENINGIOMA

FASIHAH IRFANI FITRI

NIP : 198307212008012007

DEPARTEMEN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN


(2)

DAFTAR ISI

Daftar Isi i

Daftar Singkatan iii

Daftar Tabel iv

Daftar Gambar v

Daftar Lampiran vi

Abstrak vii

Abstract viii

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 I.2. Tujuan 2 I.3. Manfaat 2 II. LAPORAN KASUS II.1. Identitas Pribadi 3 II.2. Riwayat Perjalanan Penyakit 3 II.3. Pemeriksaan Fisik 3

II.4. Pemeriksaan Neurologis 4

II.5. Diagnosis Awal 5 II.6. Penatalaksanaan 5 II.7. Pemeriksaan Penunjang 6 II.8. Kesimpulan Pemeriksaan 7

II.9. Diagnosis Akhir 7 II.10. Prognosis 7

III. TINJAUAN PUSTAKA III.1. Definisi 8

III.2. Epidemiologi 8 III.3. Etiologi 9

III.4. Patologi 17 III.5. Gambaran Klinis 20


(3)

III.6. Prosedur Diagnostik 22 III.7. Diagnosis Banding 27 III.8. Penatalaksanaan 31

III.9. Prognosis 39

IV. DISKUSI KASUS 40

V. PERMASALAHAN 41

VI. KESIMPULAN 42

VII. SARAN 42

VIII.DAFTAR PUSTAKA 41


(4)

DAFTAR SINGKATAN

AA : Asam Arakidonat AL : Asam Linolenat

COX : Cyclooxygenase

CT : Computed Tomography

EBRT : External Beam Radiotherapy

GTR : Gross Total Resection

HPCs : Hemangiopericytomas

IMT : Indeks Massa Tubuh LED : Laju Endap Darah

LO : Lipoxigenase

MRI : Magneting Resonance Imaging

PGE

PUFA : Polyunsaturated Fatty Acid

: Prostaglandin E2

SFTs : Solitary Fibrous Tumors

SRS : Stereotactic Radiosurgery

SRT : Stereotactic Radiotherapy

SSP : Susunan Saraf Pusat

STR : SubTotal Resection

T1W : T1- Weighted

T2W : T2- Weighted

WHO : World Health Organization


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Abnormalitas kromosom pada meningioma beserta gen,protein dan fungsi protein terkait.

12

Tabel 2. Klasifikasi Meningioma Menurut WHO 18 Tabel 3. Gejala dan Tanda Pada Pasien Meningioma 21 Tabel 4. Gejala dan Tanda Sesuai Lokasi Meningioma 22 Tabel 5. Lesi Dura yang Menyerupai Meningioma 27 Tabel 6. Simpson Grade 32 Tabel 7. Penelitian penggunaan hydroxyurea pada meningioma 36


(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Fotomikrograf dari arachnoid villi 8 Gambar 2. Skema Perkembangan Meningioma 10 Gambar 3. Abnormalitas Gen Pada Meningioma 10 Gambar 4. Ideogram dari kromosom 22 11 Gambar 5 Mekanisme Tumorigenesis Meningioma Setelah Cedera

Kepala

13

Gambar 6 Kaskade Eicosanoid 14 Gambar 7. Meningioma Grade I 19 Gambar 8 Fibroblastic Meningioma 19 Gambar 9 Meningioma WHO Grade II 20 Gambar 10 Meningioma Anaplastik 20 Gambar 11 Gambaran CT Scan dari Meningioma 24 Gambar 12

Gambar 13

Gambaran MRI Pada Meningioma Efek sunburst pada Angiografi

25 26 Gambar 14 Solitary Fibrous Tumors 29 Gambar 15 Hemangiopericytoma pada T1W 29 Gambar 16 Gliosarcoma pada T1W 30 Gambar 17 Leiomyoma pada T1W 30 Gambar 18 Plasmacytoma 31 Gambar 19 Target Molekuler pada Meningioma 37 Gambar 20 Algoritma Penatalaksanaan Meningioma 39


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil CT Scan Penderita Lampiran 2. Foto Penderita


(8)

ABSTRAK

Pendahuluan : Meningioma adalah tumor primer pada susunan saraf pusat yang berasal dari sel-sel meningothelial (arachnoidal cap) dan merupakan tumor jinak intrakranial yang paling sering dijumpai. Dengan angka insidensi 2.3-6 per 100.000 penduduk, meningioma merupakan 13 hingga 26% dari tumor otak primer pada orang dewasa.

Laporan Kasus : Seorang laki-laki berusia 45 tahun datang dengan penurunan kesadaran sejak 3 hari sebelum masuk RS. Nyeri kepala dirasakan sejak 1 tahun yang lalu dan memberat sejak 3 bulan terakhir disertai kelemahan tubuh sebelah kanan. Pemeriksaan neurologis menunjukkan papil edema, hemiparese dextra, peningkatan refleks tendon pada ekstremitas kanan dengan tanda Babinski positif. Hasil laboratorium tidak signifikan. CT Scan kepala menunjukkan intracranial SOL di daerah convexity frontal kiri. Meningioma ?. Pasien dikonsulkan ke bagian bedah saraf dan direncanakan untuk operasi, namun tidak dilakukan karena tidak mendapat persetujuan keluarga. Os meninggal setelah 3 minggu dirawat.

Diskusi dan Kesimpulan : Diagnosis meningioma ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gambaran klinis dan gambaran radiologis. Penatalaksanaan terdiri dari tindakan operasi, diikuti dengan radiasi atau kemoterapi bergantung derajat meningioma.


(9)

ABSTRACT

Introduction : Meningiomas are primary central nervous system tumors composed of neoplastic meningothelial (arachnoidal cap) cells. They represent the most common type of benign intracranial tumor. With an annual incidence of approximately 2.3 to 6 per 100.000 persons, meningiomas account for approximately 13 to 26% of primary brain tumors in adult.

Case Report : A 45-year-old man was admitted to the hospital with a decreased level of consciousness since 3 days prior to admission. He had 1-year history of headache which had got worse since 3 months before admission. He also noticed right-sided weakness. Neurological examination revealed papil oedema,right hemipareses, increased deep tendon reflexes of right arm and leg, with positive Babinski signs. Laboratory results were not significant. Head CT Scan revealed intracranial SOL on the left frontal convexity. Meningioma ?. The patient was consulted to the neurosurgery department, and was planned to undergo a surgery, but it was not done because of the family did not consent. Patient died after 3 weeks of hospitalisation.

Discussion and Conclusion : Meningioma was diagnosed based on history of disease, clinical presentations and radiological features. The treatment consists of surgical resection, followed by radiation or chemoteraphy based on the grading. Keywords : meningioma, intracranial, etiology, diagnosis, treatment


(10)

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Meningioma adalah tumor primer pada susunan saraf pusat yang berasal dari sel-sel meningothelial (arachnoidal cap) dan merupakan tumor jinak intrakranial yang paling sering dijumpai. Dengan angka insidensi 2.3-6 per 100.000 penduduk, meningioma merupakan 13 hingga 26% dari tumor otak primer pada orang dewasa. Meningioma lebih sering dijumpai pada wanita dibanding pria, dan usia rerata pasien saat didiagnosis adalah sekitar 58 tahun. Sembilan puluh persen meningioma berlokasi di intrakranial dan 90% diantaranya terletak di supratentorial.

World Health Organization (WHO) mengklasifikasi meningioma menjadi

benigna (WHO Grade I), atipikal (WHO Grade II) dan malignan (WHO Grade III), berdasarkan derajat anaplasia, jumlah mitosis dan adanya nekrosis.

1

1 Selain

pertambahan usia, faktor yang paling konsisten yang berhubungan dengan risiko meningioma adalah paparan terhadap radiasi; sedangkan berbagai faktor risiko lingkungan, gaya hidup dan genetik yang telah diteliti masih menunjukkan hasil yang beragam. Beberapa faktor tersebut adalah penggunaan hormon, telepon seluler, varian genetik atau polimorfisme, paparan logam, merokok, trauma kepala dan alergi.

Gambaran klinis meningioma, seperti halnya lesi massa intrakranial lainnya, bergantung pada lokasi tumor. Meningioma seringkali tumbuh lambat, dan gejala sering muncul secara perlahan-lahan.

2

3

Meningioma juga dapat menimbulkan gejala dengan mengiritasi korteks, menekan jaringan otak atau saraf kranial, menyebabkan hiperostosis, dan/atau menginvasi jaringan lunak sekitarnya atau memicu cedera vaskular pada otak.4 Diagnosis meningioma terutama ditegakkan dengan pemeriksaan imejing. Modalitas imejing yang digunakan untuk mengevaluasi meningioma meliputi foto polos, computed tomography scan (CT scan), magnetic resonance imaging (MRI),dan angiografi serebral.

Gross-total resection adalah terapi pilihan untuk meningioma benigna yang dapat direseksi. Terapi radiasi digunakan untuk meningioma yang tidak direseksi komplit dan sebagai pilihan terapi utama pada tumor-tumor yang tidak dapat dioperasi. Stereotactic radiosurgery (SRS) merupakan alternatif untuk tindakan


(11)

bedah pada meningioma yang berlokasi di daerah seperti dasar tengkorak atau daerah parasagital, dimana upaya reseksi dapat membahayakan struktur neurovaskular. Stereotactic radiotherapy (SRT) menggunakan penempatan

stereotactic dan gradien dosis yang sama dengan SRS namun memiliki keuntungan berupa fraksinasi sehingga memungkinkan tidak terkenanya jaringan normal. Metode ini bermanfaat untuk tumor dengan ukuran yang lebih besar.

Peranan kemoterapi ajuvan pada pasien dengan meningioma masih tidak jelas dan terus berkembang. Kemoterapi diberikan pada lesi-lesi yang tidak dapat dioperasi, terutama pada saat terjadinya progresi tumor atau rekurensi setelah radioterapi. Berbagai pendekatan telah dilakukan, mencakup penggunaan obat sitotoksik, agen molekuler, immunomodulator, dan obat yang memanipulasi hormon.

6

7 Faktor prognostik yang paling penting pada meningioma adalah luasnya

reseksi awal dan grade histologis tumor. 8

I.2. Tujuan Penulisan

Laporan kasus ini dibuat untuk membahas aspek epidemiologi, etiologi, gambaran klinis, penegakan diagnosis, penatalaksanaan serta prognosis dari penderita meningioma.

I.3. Manfaat Penulisan

Dengan adanya laporan kasus ini diharapkan dapat diperoleh penjelasan mengenai epidemiologi, etiologi, gambaran klinis, penegakan diagnosis, penatalaksanaan serta prognosis dari penderita meningioma.

.

II. LAPORAN KASUS II.1. Identitas Pribadi

Seorang Laki-laki (S), 45 tahun, suku Jawa, agama Islam, alamat Aceh, datang ke RS Tembakau Deli Medan pada tanggal 13 April 2010.


(12)

II.2. Riwayat Perjalanan Penyakit

Keluhan Utama : Penurunan kesadaran

Telaah : Hal ini dialami OS sejak ± 3 hari sebelum masuk RS terjadi secara perlahan – lahan yang semakin lama semakin memberat. Sebelumnya os sering mengeluh nyeri kepala, sejak 1 tahun sebelumnya. Nyeri kepala dirasakan berdenyut di seluruh kepala, memberat jika os batuk, bersin,atau mengedan dan tidak berkurang dengan obat penghilang rasa nyeri. Nyeri kepala bertambah berat dalam 3 bulan sebelum masuk RS dan diikuti dengan kelemahan badan sebelah kanan yang semakin lama semakin memberat. Riwayat muntah menyembur (+) 2 kali dalam 1 bulan terakhir sebelum masuk RS. Riwayat kejang (-), trauma kepala (-), demam (-).

Riwayat Penyakit Terdahulu : tidak jelas Riwayat Pemakaian Obat : Parasetamol

II.3. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum :

Sensorium : Somnolen Tekanan Darah : 110/70 mmHg Nadi : 96 x/menit

Pernafasan : 20 x/menit Temperatur : 37,3°C

Kepala : Normosefalik

Thoraks : Simetris fusiform

Jantung : Bunyi jantung normal,desah (-)

Paru – paru : Pernafasan vesikuler, ronkhi (-)

Abdomen : Soepel, peristaltik normal

II.4. Pemeriksaan Neurologis

Sensorium : Somnolen Tanda perangsangan meningeal :

Kaku kuduk ( - ), Kernig sign (-),Brudzinski I/II ( - ) Tanda peninggian TIK :

Nyeri kepala ( + ), kejang ( - ), muntah ( - ) Nervus Kranialis :


(13)

N I : Sulit dinilai

N II, III : Pupil isokor Ø 3 mm, RC ( +/+) Funduskopi

Optic disc kanan kiri

- Warna merah gelap merah gelap - Batas tidak jelas tidak jelas - Ekskavasio cembung cembung - Pembuluh darah

- A/V 2/4 2/4 Perdarahan retina (-) (-) Kesan : Papil Edema

N III, IV, VI : Fenomena doll’s eye (+) N V : Refleks kornea (+) N VII : Sudut mulut jatuh kanan N IX, X : Refleks muntah (+) N XI : Sulit dinilai

N XII : Lidah istirahat medial Sistim Motorik :

Trofi : normotrofi Tonus : normotonus

Kekuatan otot : sulit dinilai, kesan lateralisasi kanan Refleks Fisiologis : kanan kiri

Biceps/Triceps : +↑/+↑ +/+ KPR / APR : +↑/+↑ +/+ Refleks Patologis : (+) (-) Sistim sensibilitas : sulit dinilai

Vegetatif : dalam batas normal Vertebra : dalam batas normal Gejala Serebellar : tidak dijumpai Gejala ekstrapiramidal : tidak dijumpai Fungsi luhur : sulit dinilai


(14)

II.5. Diagnosa Awal

Diagnosa fungsional : Somnolens + Hemiparese dextra + Parese N VII dextra tipe UMN

Diagnosa Anatomis : Hemisfer Kiri Diagnosa Etiologis : SOL Intrakranial

Diagnosa Banding : 1. SOL Intrakranial ec. Tumor Serebri 2. SOL Intrakranial ec. Abses Serebri 3. Stroke Hemoragik

Diagnosa Kerja : Somnolens + Hemiparese dextra + Parese N VII dextra tipe UMN ec Tumor Serebri

II.6. Penatalaksanaan

- IVFD Ringer Solution 20 gtt/menit

- Injeksi Dexamethasone 2 ampulselanjutnya 1 amp/6 jam - Injeksi Ranitidin 1 amp/12 jam

- Vitamin B Kompleks 2 X 1

II.7. Pemeriksaan Penunjang

Hasil Laboratorium Tanggal 13 April 2010

Hb : 14.6 g% Leukosit : 10.100 / mm3 Ht : 44.2 % Trombosit : 192.000/mm3 LED : 21 mm/jam Eritrosit : 5.24 M /mm3 KGD ad random : 110 mg /dl Ureum : 38 mg /dl Kreatinin : 1.3 mg /dl Na : 148 meq/L K : 4,0 meq/L Cl : 106 meq/L Kolesterol : 181 mg/dl


(15)

Trigliserida : 121 mg/dl Kolesterol HDL : 56 mg/dl Kolesterol LDL : 101 mg/dl

Hasil Head CT Scan RS Materna tanggal 14 April 2010 NCCT :

Infratentorial cerebellum dan ventricle-4 normal. Supratentorial tampak isodense lesion dengan perifocal edema di daerah convexity frontal kiri. Tampak midline shift ke kanan. Cortical sulci obliterated. Lateral ventricular kiri tertekan.

CECT :

Disuntikkan contrast Omnipaque iv tampak marked enhancement dari lesion di daerah frontal kiri ± 5,3 X 7,2 cm.

Kesan : Intracranial SOL di daerah convexity frontal kiri. Meningioma ?

Hasil Konsul ke Bagian Bedah Saraf tanggal 15 April 2010

Dari pemeriksaan didapatkan riwayat hemiparesis dextra 3 bulan, nyeri kepala. Hasil CT Scan : SOL temporoparietal kiri ukuran 10 X 8x 6 cm

DD : 1. Meningioma 2. GBM

Direncanakan tumor removal/biopsi. Bila keluarga setuju dapat dikonsultasi ulang. Usulan terapi : inj. Dexametason 4X2 amp

Inj. Phenytoin 3 X 1 amp

II.8. Kesimpulan Pemeriksaan

Telah diperiksa seorang laki-laki (S), 45 tahun, suku Jawa, agama Islam, alamat Aceh, datang berobat ke RS Tembakau Deli Medan pada tanggal 13 April 2010 dengan keluhan utama penurunan kesadaran.

Penurunan kesadaran dialami OS sejak ± 3 hari sebelum masuk RS terjadi secara perlahan – lahan yang semakin lama semakin memberat. Sebelumnya os sering mengeluh nyeri kepala, sejak 1 tahun sebelumnya. Nyeri kepala dirasakan berdenyut di seluruh kepala, memberat jika os batuk, bersin,atau mengedan dan tidak berkurang dengan obat penghilang rasa nyeri. Nyeri kepala bertambah berat


(16)

dalam 3 bulan sebelum masuk RS dan diikuti dengan kelemahan badan sebelah kanan yang semakin lama semakin memberat. Riwayat muntah menyembur (+) 2 kali dalam 1 bulan terakhir sebelum masuk RS. Riwayat kejang (-), trauma kepala (-), demam (-).

Dari pemeriksaan neurologis dijumpai papil edema, parese nervus VII dextra tipe UMN, hemiparese dextra, peningkatan refleks fisiologis lengan dan tungkai kanan, refleks patologis di kanan. Dari pemeriksaan Head CT Scan kontras terlihat intracranial SOL di daerah convexity frontal kiri. Meningioma ?. Pasien ini dikonsulkan ke bagian bedah saraf dan direncanakan operasi, namun keluarga tidak setuju untuk dilakukan operasi.

II.9. Diagnosis Akhir

Somnolens + Hemiparese dextra + Parese nervus VII dextra tipe UMN ec Meningioma

II.10. Prognosa

• Ad vitam : dubia ad malam

• Ad functionam : dubia ad malam

• Ad sanationam : dubia ad malam

III. TINJAUAN PUSTAKA III.1. Definisi

Meningioma adalah tumor primer pada susunan saraf pusat (SSP) yang berasal dari sel-sel meningothelial (arachnoidal cap). 1


(17)

Gambar 1. Fotomikrograf dari arachnoid villi

Dikutip dari : Ragei BT, JensenRL. Molecular Genetics of Meningiomas. Neurosurg Focus. 2005 : 19 (5): E9.

III.2. Epidemiologi

Meningioma merupakan 20% hingga 26% dari seluruh neoplasma intrakranial dan 25% dari seluruh tumor intraspinal. Insidensi meningioma pada populasi umum bervariasi antara 2 dan 15 per 100.000 penduduk, dan meningkat seiring dengan pertambahan usia; prevalensi meningioma diperkirakan sekitar 97.5 dari 100.000 penduduk di Amerika Serikat. Lebih kurang 94% meningioma merupakan meningioma yang benigna, 4% atipikal dan 1% malignan. Meningioma benigna lebih sering dijumpai pada wanita, namun bentuk yang atipikal dan anaplastik tampaknya lebih sering dijumpai pada laki-laki. Hingga 2% meningioma benigna akan berubah menjadi bentuk yang malignan dan sekitar 28.5% dari seluruh meningioma benigna yang rekuren akan menjadi atipikal atau anaplastik. 5

III.3. Etiologi

III.3.1. Genetik

Abnormalitas pada lokus kromosom 22q telah diidentifikasi sebagai kelainan kromosom yang paling sering dijumpai pada meningioma.9 Gen NF2 adalah target utama, dimana mutasi atau delesi pada gen ini dijumpai sebagai kejadian awal pada sebagian besar kasus meningioma. Gen NF2 mengkode suatu protein, yang disebut merlin atau schwannomin, yang mengatur pertumbuhan sel dan motilitas dengan cara menghubungkan sitoskeleton dengan protein membran sel.1 Merlin berfungsi sebagai moleculer switch yang mengatur sel dengan berikatan dengan faktor transkripsi. Perubahan bentuknya menentukan aktivitas merlin. Dalam keadaan tertutup, merlin bersifat aktif dan berfungsi sebagai penekan pertumbuhan, sedangkan dalam keadaan terbuka merlin bersifat inaktif dan memungkinkan pertumbuhan.

Abnormalitas kromosom 22 (yaitu delesi parsial dari 22q) adalah kelainan yang paling sering dijumpai pada meningioma benigna, atipikal dan anaplastik. Abnormalitas kromosom 1 terlibat dalam perkembangan tumor dan meningioma


(18)

dengan grade yang lebih tinggi. (gambar 2) Secara umum, abnormalitas kariotipik lebih luas ditemukan pada meningioma atipikal dan anaplastik. (gambar 3). Selain hilangnya 1q, kelainan kromosom yang berkaitan dengan higher grade

meningioma mencakup kelainan pada 6q, 10p, 10q,14q dan 18q. 9

Gambar 2. Skema Perkembangan Meningioma

Dikutip dari : Ragei BT, JensenRL. Molecular Genetics of Meningiomas. Neurosurg Focus. 2005 : 19 (5): E9.


(19)

Gambar 3. Abnormalitas Gen Pada Meningioma

Dikutip dari : Ragei BT, JensenRL. Molecular Genetics of Meningiomas. Neurosurg Focus. 2005 : 19 (5): E9.

Analisis pada gen NF2 pada meningioma sporadik menunjukkan bahwa sekitar sepertiga hingga setengah tumor ini menunjukkan mutasi inaktivasi, yang sering disertai dengan hilangnya alel yang lain. Oleh sebab itu, frekuensi delesi parsial pada kromosom 22 melebihi abnormalitas gen NF2, dengan pemetaan yang menunjukkan delesi interstisial yang tidak melibatkan lokus gen NF2 pada beberapa meningioma. Perbedaan antara insiden delesi parsial pada kromosom 22 dengan frekuensi mutasi gen NF2 yang lebih rendah memunculkan penelitian untuk mencari gen supressor tumor lainnya pada 22q, yang terletak dekat dengan gen NF2 namun berbeda. Berbagai penelitian ini menunjukkan beberapa kandidat yang menungkinkan seperti gen BAM22, LARGE,MN1 dan INI1. (gambar 4 dan tabel 1).9


(20)

Gambar 4. Ideogram dari kromosom 22

Dikutip dari : Ragei BT, JensenRL. Molecular Genetics of Meningiomas. Neurosurg Focus. 2005 : 19 (5): E9.

Tabel 1. Abnormalitas kromosom pada meningioma beserta gen,protein dan fungsi protein terkait

Dikutip dari : Ragei BT, JensenRL. Molecular Genetics of Meningiomas. Neurosurg Focus. 2005 : 19 (5): E9.

Delesi pada lengan pendek kromosom 1 adalah kelainan kedua tersering pada meningioma. Monosomi 1p dijumpai pada 70% meningioma atipikal dan hampir 100% meningioma anaplastik. Hal ini menunjukkan korelasi antara hilangnya kromosom 1p dan perkembangan meningioma. Hilangnya kromosom 1p juga berhubungan dengan rekurensi tumor; tingkat rekurensi adalah 30% dengan hilangnya kromosom 1p namun hanya 4.3% jika tidak.9

III.3.2. Trauma

Beberapa studi menunjukkan peningkatan insidensi meningioma pada pasien dengan riwayat cedera kepala. Hubungan antara cedera kepala dengan


(21)

meningioma dapat dijelaskan dengan adanya perubahan neoplastik pada jaringan meningeal yang disebabkan oleh keadaan inflamasi pada proses penyembuhan dan pelepasan prostaglandin dan faktor pertumbuhan lainnya. (gambar 5). 10

Gambar 5. Mekanisme Tumorigenesis Meningioma Setelah Cedera Kepala

Dikutip dari : Ragel BT, Jensen RL, Couldwell WT. Inflammatory Response And Meningioma Tumorigenesis and The Effect of Cyclooxygenase-2 Inhibitors. Neurosurg Focus. 2007 : 23 (4) E7.

III.3.3. Kaskade Eicosanoid

Asam arakidonat (AA) adalah ω-6 polyunsaturated fatty acid (PUFA) yang diubah mejadi komponen lipid yang aktif secara biologis, disebut eicosanoid.

Eicosanoid terdiri dari sekelompok mediator lipid yang diproduksi oleh dua kelas enzim yaitu cyclooxygenase (COX-1 dan COX-2) dan lipoxygenase (5-LO, 12-LO dan 15-LO). Komponen lipid ini memodulasi berbagai proses fisiologis dan


(22)

patologis termasuk karsinogenesis. Beberapa eicosanoid terbukti dapat mempengaruhi survival sel, menstimulasi proliferasi sel, memodulasi perlekatan dan motilitas sel, angiogenesis, meningkatkan permeabilitas vaskular, dan inflamasi, sehingga memegang peranan penting pada pertumbuhan tumor.11,12 (gambar 6)

Gambar 6. Kaskade Eicosanoid

Dikutip dari: Piester C, Ritz R, Pfrommer H,et al. Are There Attacking points in The Eicosanod Cascade For Chemotherapeutic Options in Benign Meningiomas?. Neurosurg Focus. 2007 : 23(4) : E8.

Pentingnya metabolisme AA pada meningioma ditekankan oleh laporan yang menunjukkan peningkatan konsentrasi ω-6 PUFAs, dan prekursornya, asam linoleat (AL) pada tumor ini jika dibandingkan dengan substansia alba atau substansia grisea normal.11 Pada SSP, COX-2 diekspresikan pada komponen seperti neuron, glia dan elemen serebrovaskular, atau dapat dipicu oleh berbagai stimulus fisiologis atau patologis.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa metabolit yang berasal dari COX-2 terlibat pada berbagai tahapan karsinogenesis, mencakup hiperproliferasi premalignan, transformasi, pemeliharaan viabilitas tumor, pertumbuhan, invasi dan penyebaran metastatik. Bukti terkini menunjukkan bahwa COX-2 berperan dalam angiogenesis, menghambat apoptosis, dan memicu faktor proangiogenik seperti


(23)

vascular endothelial growth factor, inducible nitrogen oxide synthetase promoter

dan interleukin-6.

Bukti terkini menunjukkan bahwa glioma dan meningioma juga mengekspresikan enzim COX dan LO dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jaringan otak normal. Intensitas pewarnaan pada astrositoma grade II dan III serta meningioma menunjukkan hasil yang positif kuat untuk COX-2. Terdapat juga ekspresi 5-LO yang lebih banyak pada sel-sel meningioma primer dan spesimen bedah meningioma dengan analisis immunoblotting.

12

11

Analisis

immunoblotting menggunakan antibodi tertentu untuk megidentifikasi target

protein melalui reaksi antigen-antibodi spesifik. Protein dipisahkan dengan elektroforesis dan ditransfer ke membran, biasanya nitroselulosa. Membran ini biasanya dilapisi dengan antibodi dengan target spesifik dan dengan antibodi sekunder, misalnya, dengan enzim atau dengan radioisotop. 13

Sel-sel meningioma dan glioma yang dikultur memproduksi jumlah prostaglandin,tromboksan dan leukotrien dalam jumlah besar jika dibandingkan dengan jaringan otak normal. Pada suatu studi ditemukan bahwa pasien dengan meningioma maligna menunjukkan konsentrasi prostaglandin E2 (PGE

2) di plasma

yang secara signifikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan pasien dengan tumor jinak maupun dengan kontrol. Hal yang juga penting adalah pengamatan bahwa

eicosanoid yang diproduksi oleh sel-sel tumor otak, kemungkinan menyebabkan

edema otak yang dipicu oleh tumor. Temuan ini menunjukkan bahwa penggunaan inhibitor COX-2 dan 5-LO mungkin dapat digunakan sebagai alternatif dari glukokortikoid untuk penanganan edema otak peritumoral yang dipicu oleh eicosanoid. 11

III.3.4. Radiasi Ion

Bukti terkuat adanya hubungan antara radiasi dosis tinggi dengan perkembangan meningioma berasal dari individu yang menjalani terapi radiasi pada kepala dan leher untuk kondisi neoplastik, sedangkan bukti adanya hubungan antara paparan radiasi dosis rendah berasal dari studi tentang tinea capitis.

Diagnosis radiation-induced neoplasm harus memenuhi kriteria sebagai berikut bahwa neolpasma harus (1) terjadi di daerah yang diradiasi; (2) muncul


(24)

setelah periode latensi tertentu setelah radiasi; dan (3) berbeda dengan neoplasma yang sudah lebih dulu ada. 14

Sejumlah laporan menunjukkan kejadian meningioma setelah radiasi untuk

tinea capitis (1000 cGy), setelah radias dosis tinggi pada malignansi primer daerah kepala dan leher (5500-7500 cGy). Analisis pada korban bom atom Nagasaki menunjukkan korelasi antara insidensi meningioma dengan jarak dari lokasi ledakan, dimana insiden meningioma pada orang yang terpapar dalam jarak 1 kilometer enam kali lebih tinggi dibanding yang tidak terpapar.

14

Periode laten untuk meningioma setelah radiasi menunjukkan kecenderungan penurunan periode laten seiring peningkatan dosis radiasi; 35.2 tahun untuk dosis rendah (10 Gy), 26.1 untuk dosis menengah (10-20 Gy), dan 19.5 tahun untuk dosis tinggi (>20 Gy). Sebagai tambahan,usia saat diagnosis menurun dengan peningkatan dosis radiasi dan terdapat kecenderungan yang lebih kuat untuk terjadinya tumor multipel dan bersifat atipikal atau malignan.

2

III.3.5. Hormon

Terdapatnya fakta bahwa meningioma lebih sering dijumpai pada wanita, adanya reseptor beberapa hormon pada meningioma, kemungkinan hubungannya dengan kanker payudara, dan perubahan ukuran tumor selama kehamilan, siklus menstruasi dan menopause, memicu sejumlah penelitian untuk mengetahui hubungan antara hormon dengan risiko meningioma.2 Suatu penelitian

population-based oleh Custer,dkk (2006) pada 143 kasus meningioma menemukan hubungan

antara meningioma dengan paparan hormon eksogen, berupa kontrasepsi oral dan terapi sulih hormon.15 Pada suatu studi, 30% meningioma menunjukkan reseptor estrogen dan 70% reseptor progesteron.

Pada studi-studi tentang paparan hormon eksogen, beberapa peneliti meneliti tentang risiko meningioma sehubungan dengan penggunaan kontrasepsi oral dan terapi sulih hormon pada wanita pre dan pasca menopause. Secara umum, data yang ada tidak menunjukkan hubungan antara penggunaan kontrasepsi oral dengan risiko meningioma namun menunjukkan kemungkinan hubungan dengan penggunaan terapi sulih hormon. Pada studi tentang paparan hormon endogen, para peneliti melakukan penelitian tentang risiko meningioma sehubungan dengan status


(25)

menopause, paritas, riwayat kehamilan, dan usia saat menarche. Secara umum, berbagai penelitian ini tidak mendukung hubungan antar apaparan hormon endogen dengan risiko meningioma. 2

III.3.6. Faktor Risiko Lain

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui faktor risiko meningioma. Penelitian dari Benson, dkk (2008) pada 1563 wanita penderita tumor SSP menemukan bahwa peningkatan tinggi badan dan indeks massa tubuh (IMT) berhubungan dengan risiko terjadinya meningioma.17 Penelitian dari Lahkola,dkk (2008) tentang hubungan antara meningioma dengan penggunaan telepon seluler menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan telepon seluler dengan risiko meningioma.18

III.4. Patologi

Secara makroskopis,meningioma tampak berbatas halus dan lobulated

dengan pola vaskular yang jelas pada permukaannya. Secara mikroskopis, meningioma memiliki gambaran histopatologi yang khas dan bervariasi, keragaman ini menjadi dasar klasifikasi patologi meningioma.14 (tabel 2)


(26)

Dikutip dari : Rockhill J, Mrugaka M,Chamberlain MC. Intracranial Meningioma An Overview of Diagnosis and Treatment. Neurosurg Focus. 2007 : 23(4):E1

III.4.1. Meningothelial (Syncytial) Meningioma

Sel-sel pada meningothelial meningioma berbatas tidak tegas, berbentuk poligonal dengan inti berukuran besar, spheroidal dan terletak di tengah. Hal yang sering dijumpai pada tumor jenis ini adalah nuclear vacuolization, yang disebabkan invaginasi sitoplasma. Sitoplasma dapat tampak granular atau fibrillary. Dengan sel-sel meningothelial lain, serat kolagen, pembuluh darah dan struktur lainnya sebagai elemen sentralnya, sel-sel meningothelial membentuk susunan konsenstrik yang berbentuk kumparan. (gambar 7).14,19

Gambar 7. Meningioma Grade I

Dikutip dari : Commins DL, Atkinson RD, Burnett M. Review of Meningioma Histopathology. Neurosurg Focus. 2007 : 23 (4) : E3

III.4.2. Fibrous (Fibroblastic Meningioma)

Pada tipe ini, sel-sel meningothelial lebih panjang, tersusun dalam lembaran, memiliki bentuk spindle dan densitas kromatik yang tinggi yang memberikan kualitas fibroblastik, walaupun inti nya tetap memiliki gambaran meningothelial. (gambar 8).Pembentukan kumparan dan badan psammoma bisa tidak dijumpai, namun lebih sering muncul secara fokal. (gambar 8).14,19

Gambar 8. Fibroblastic Meningioma.

Dikutip dari : Commins DL, Atkinson RD, Burnett M. Review of Meningioma Histopathology. Neurosurg Focus. 2007 : 23 (4) : E3


(27)

III.4.3. Meningioma Atipikal

Disamping invasi otak dan penyebaran metastatik, yang menunjukkan malignansi, beberapa gambaran tertentu dapat meramalkan peningkatan agresivitas tumor dan kecenderungan rekurensi yaitu hilangnya pola arsitektural, selularitas yang tinggi, peningkatan mitotic figures, nekrosis, nucleoli yang menonjol dan nuclear pleomorphism. Hipervaskularitas dan deposisi hemosiderin juga telah diidentifikasi sebagai parameter histologis yang mempengaruhi prognosis. (gambar 9).14

Gambar 9. Meningioma WHO Grade II

Dikutip dari : Newton HB, Jolesz FA, editors. Handbook of Neurooncology and Neuroimaging. 2007.

III.4.4. Meningioma Maligna (Anaplastik)

Meningioma anaplastik menunjukkan gambaran yang sesuai dengan malignansi,mencakup tingkat mitotik yang tinggi, advanced cytological atypia,

nuclear pleomorphism dan nekrosis. Invasi terhadap jaringan otak di bawahnya

juga sering dijumpai pada meningioma grade III. (gambar 10).

20

Gambar 10. Meningioma Anaplastik

Dikutip dari : Newton HB, Jolesz FA, editors. Handbook of Neurooncology and Neuroimaging. 2007.


(28)

III.5. Gambaran Klinis

Gambaran klinis meningioma, seperti halnya lesi massa intrakranial lainnya, bergantung pada lokasi tumor. Beberapa gejala klinis yang umum dijumpai pada penderita meningioma terlihat pada tabel 3. Meningioma seringkali tumbuh lambat, dan gejala sering muncul secara perlahan-lahan. Nyeri kepala dengan onset baru dan berkembang lambat sering dijumpai dan biasanya tidak berkaitan dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial lainnya, menggambarkan pertumbuhan lambat dari tumor ini. 3

Tabel 3. Gejala dan Tanda Pada Pasien Meningioma

Dikutip dari : Rockhill J, Mrugaka M,Chamberlain MC. Intracranial Meningioma An Overview of Diagnosis and Treatment. Neurosurg Focus. 2007 : 23(4):E1


(29)

Sebagian besar meningioma tidak menginvasi otak namun menimbulkan gejala dengan : (1) menekan struktur susunan saraf pusat, (2) pergeseran struktur SSP dengan atau tanpa peningkatan tekanan intrakranial, (3) hidrosefalus, (4) edema otak.

Meningioma juga dapat menimbulkan gejala dengan mengiritasi korteks, menekan jaringan otak atau saraf kranial, menyebabkan hiperostosis, dan/atau menginvasi jaringan lunak sekitarnya atau memicu cedera vaskular pada otak.

22

Dengan mengiritasi korteks, meningioma dapat menyebabkan seizure. Nyeri kepala lokal maupun yang non spesifik dapat dijumpai. Kompresi terhadap struktur di bawahnya dapat menyebabkan disfungsi serebral fokal atau umum, seperti kelemahan fokal, disfasia, apati dan/atau somnolens. Meningioma pada lokasi spesifik dapat menyebabkan gejala tertentu seperti yang tertera pada tabel 4.

4

4

Location Symptoms

Parasagittal Monoparesis of the contralateral leg

Subfrontal Change in mentation, apathy or disinhibited behavior, urinary

incontinence

Olfactory groove Anosmia with possible ipsilateral optic atrophy and contralateral papilledema (this triad termed Kennedy-Foster syndrome)

Cavernous sinus Multiple cranial nerve deficits (II, III, IV, V, VI), leading to decreased vision and diplopia with associated facial numbness

Occipital lobe Contralateral hemianopsia

Cerebellopontine angle

Decreased hearing with possible facial weakness and facial numbness

Spinal cord Localized spinal pain, Brown-Sequard (hemispinal cord) syndrome

Optic nerve Exophthalmos, monocular loss of vision or blindness, ipsilateral dilated

pupil that does not react to direct light stimulation but might contract on consensual light stimulation; often, monocular optic nerve swelling with optociliary shunt vessels

Sphenoid wing Seizures; multiple cranial nerve palsies if the superior orbital fissure

involved

Tentorial May protrude within supratentorial and infratentorial compartments,

producing symptoms by compressing specific structures within these 2 compartments

Foramen magnum

[ 3 ]

Paraparesis, sphincteric troubles, tongue atrophy associated with fasciculation

Tabel 4. Gejala dan Tanda Sesuai Lokasi Meningioma


(30)

III.6. Prosedur Diagnostik III.6.1. Foto Polos

Walaupun foto polos jarang digunakan untuk mendiagnosis meningioma pada era modern, namun terdapat temuan karakteristik yang dapat terlihat sekunder akibat perubahan pada arsitektur tulang yang disebabkan oleh meningioma. Perubahan osteoblastik, seperti hiperostosis atau sklerosis, adalah manifestasi yang sering dari keterlibatan meningioma pada tulang tengkorak. Hiperostosis menunjukkan peningkatan pada densitas tulang dan ketebalan tabula interna tengkorak, sedangkan sklerosis berarti peningkatan densitas tulang tanpa peningkatan ketebalan tulang. Sklerosis dari tabula eksterna dan lesi litik pada tulang tampaknya menunjukkan keterlibatan tulang yang lebih nyata.3,5 Suatu studi dari Moon dkk (2010) menunukkan bahwa osteolisis dan invasi ke bagian ekstrakranial tampaknya berkaitan dengan ekspresi matrix metalloproteinase

(MMP) pada pasien dengan meningioma. 22

III.6.2. CT Scan Kepala

CT Scan bermanfaat dalam mendiagnosis meningioma karena dapat

menyediakan informasi mengenai ukuran, konsistensi, keterlibatan tulang, dan adanya efek massa pada jaringan otak di dekatnya. Pada nonenhanced scans, meningioma hampir selalu terlihat hiperdense atau isodense terhadap jaringan otak di sekitarnya. Dengan pemberian kontras, tumor ini sering menunjukkan intense

enhancement. Meningioma tampak well encapsulated dengan batas yang jelas

antara tumor dan otak.

Suatu studi menemukan bahwa meningioma tanpa kalsifikasi pada CT Scan

cenderung berkembang secara eksponensial, sedangkan yang dengan kalsifikasi cenderung berkembang linear atau tidak berkembang. Oleh sebab itu, temuan pada

CT scan dapat bersifat prediktif terhadap sifat tumor. Sebagai tambahan,

hiperostosis, invasi tulang dan erosi tulang paling baik dilihat dengan CT scan dan penting dalam perencanaan tindakan bedah pada dasar tengkorak.

5

5

CT Scan paling baik dalam menunjukkan efek kronik dari lesi massa yang

tumbuh lambat pada bone remodelling. Kalsifikasi pada tumor (yang terlihat pada


(31)

25%) dan hiperostosis pada tulang tengkorak sekitarnya adalah gambaran meningioma intrakranial yang dapat dengan mudah diidentifikasi pada CT Scan

tanpa kontras.3

Gambar 11. Gambaran CT Scan dari Meningioma

Nonenhanced CT scan shows a malignant meningioma in the frontal convexity. The hyperattenuating and inhomogeneous enhancing mass and a ring-shaped enhancement is shown. Dikutip dari : Castillo GC. Meningioma,Brain. 2010. Available from : www.emedicine.com

III.6.3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI adalah modalitas yang paling sensitif untuk mendeteksi meningioma dan paling penting untuk menentukan ukuran dan lokasi tumor ini. Sebagai tambahan, MRI menyediakan informasi tentang anatomi tentang jaringan otak sekitarnya, saraf kranialis, dan struktur vaskular.

Pada T1-weighted images (T1W), 60-90% meningioma tampak isointense, sedangkan 10-30% sedikit hipointense jika dibandingkan dengan substansia grisea.

5

14

Pada T2-weighted images (T2W), 50% tampak isointense, 40%

hiperintense dan 10% hipointense terhadap otak. Sebagian besar meningioma

menunjukkan enhancement yang kuat dengan pemberian kontras pada T1W. Salah satu temuan khas pada MRI dengan contrast pada 50% hingga 60% meningioma adalah hiperintensitas dari dura di sekitar meningioma, disebut ”dural tail”. Degenerasi maligna meningioma tidak dapat ditentukan dengan pasti dengan melihat karakteristik pada CT Scan atau MRI. Namun begitu, beberapa studi menunjukkan bahwa tumor meningeal yang lebih agresif memiliki enhancement yang heterogen, batas tidak jelas dan edema yang lebih luas.5


(32)

Contrast-enhanced T1-weighted axial MRI demonstrates a typical parasagittal meningioma demonstrated. A homogeneous, enhancing, globose mass is depicted

Gambaran MRI meliputi tumor berasal dari dura dan isointense dengan substansia grisea, menunjukkan enhancement yang menonjol dan homogen (>95%), dan enhancing dural tail. Walaupun begitu, sekitar 10 hingga 15 % meningioma menunjukkan gambaran yang atipikal pada MRI, menyerupai metastase atau glioma maligna.3

Gambar 12. MRI Pada Meningioma

Dikutip dari : Castillo GC. Meningioma,Brain. 2010. Available from : www.emedicine.com

III.6.4. Angiografi

Angiografi serebral kadang dilakukan, seringkali untuk perencanaan operasi,karena meningioma adalah tumor yang sangat vaskuler dan rentan terhadap perdarahan intrakranial. Temuan pada angiografi yang konsisten dengan meningioma mencakup dual vascular supply dengan arteri dural mensuplai daerah tengah tumor dan arteri pial yan mensuplai bagian perifer. Efek sunburst dapat terlihat akibat arteri dural yang membesar dan multipel, dan suatu prolonged vascular stain atau yang disebut blushing dapat terlihat, yang disebabkan oleh stasis venosus intratumoral dan volume darah intratumoral yang meluas.

Gambaran sunburts disebabkan oleh distribusi radial dari cabang cabang arteri kecil yang tampaknya keluar dari titik tengah yang tampaknya

3,5

Nonenhanced axial MRI demnistrates a typical parasagittal meningioma. T1W shows a homogenous, round mass with thin capsule. The tumor is attached to the left side of the falx.


(33)

menggambarkan lokasi asal dimana suplai darah berasal pada permulaan pertumbuhan tumor. 23

Gambar 13. Efek sunburst pada Angiografi

Dikutip dari : Metwally Y. Angiography of Meningiomas. 2009.

III.6.5. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)

Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) juga dapat digunakan untuk

membantu diagnosis meningioma. Kandungan creatinin puncak pada meningioma adalah 20% dari level pada otak normal. Suatu peningkatan dari puncak kandungan

choline dan alanin juga telah dilaporkan. Puncak inositol yang rendah dapat

membantu membedakan meningioma dari schwannoma. 3 Penggunaan MRS memiliki potensial diagnostik spesifik karena dapat digunakan untuk mengukur konsentrasi metabolit-metabolit utama pada tumor otak secara in vivo, memungkinkan pengukuran kuantitatif dari parameter metabolit yang dapat berkorelasi terhadap parameter klinis. Creatine, glycine,alanine, lactat, choline, glutamine, glutamate dan kompleks glutamine/glutamate merupakan metabolit yang paling sering dianggap bermanfaat dalam membedakan meningioma dengan tumor lainnya dan dari jaringan otak normal.

Suatu studi dari Pfisterer dkk (2010) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar glycine pada meningioma dibandingkan jaringan otak normal, rerata konsentrasi creatine dan alanine dijumpai lebih rendah pada tumor yang cepat mengalami rekurensi dibanding yang tidak. Penggunaan MRS dapat memberikan penilaian biokimia untuk deteksi awal tumor yang agresif.

24


(34)

III.6.5. Perfusion MR Imaging

Walaupun meningioma menunjukkan beberapa gambaran imejing pada MRI, tidak terdapat gambaran khusus yang dapat memprediksi grade tumor.

Perfusion MR imaging menggambarkan karakteristik suplai darah regional, suatu marker biologis penting untuk menentukan grade tumor dan prognosis. Suatu studi dilakukan pada 33 pasien meningioma dengan menggunakan dynamic

susceptibility contrast (DSC) perfusion MR imaging untuk menentukan grade

meningioma. Studi ini menunjukkan bahwa pengukuran cerebral blood volume

relatif (rCBV) (relatif terhadap substansia alba normal kontralateral) dan relative

mean time to enhance (rMTE) pada parenkim tumor dan pada edema peritumoral

dapat digunakan untuk membedakan meningioma maligna dan benigna.24

III.7. Diagnosis Banding

Beberapa lesi intrakranial dapat menyerupai meningioma secara klinis dan radiologis, sehingga harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding. (tabel 5) 25


(35)

Tabel 5.Lesi Dura yang Menyerupai Meningioma

Dikutip dari : Johnson M, Powell SZ, Boyer PJ, et al. Dural Lesions Mimicking Meningiomas.Human Pathology.2002. 33 : 12

III.7.1. Solitary Fibrous Tumors (SFT)

Cukup jarang, namun SFT dapat terjadi di leptomeniges, sehingga dapat menyerupai meningioma. Setidaknya 13 kasus pernah dilaporkan. Secara tipikal, SFT teradi pada kelompok usia yang sama dengan meningioma (usia rata-rata 57 tahun) dan menunukkan predileksi untuk wanita. Tumor ini dapat dijumpai di falks, dura oksipital dan spinal, tentorium dan cerebellopontin angle. Beberapa karaketristik menyerupai meningioma tampak pada CT scan dan MRI, dimana dijumpai dural-based tumor yang kadang-kadang disertai dengan hiperostosis. Lesi ini menunjukkan enhancement yang homogen seteleh pemberian gadolinium.(gambar 14) 26

Gambar 14. Solitary Fibrous Tumor

Dikutip dari : Johnson M, Powell SZ, Boyer PJ, et al. Dural Lesions Mimicking Meningiomas.Human Pathology.2002. 33 : 12

III.7.2. Hemangiopericytomas (HPCs)

Seperti halnya meningioma, mayoritas HPCs terletak supratentorial. Tumor ini tampak lobular pada MRI; pada 2/3 kasus, tumor ini menunjukkan perlekatan ke dura. Pada T1W, HPCs tampak isointense dengan substansia grisea dan


(36)

menujukkan enhancement yang heterogen setelah pemberian gadolinium. Tumor ini juga dapat menunjukkan erosi tulang namun tidak menunjukkan hiperostosis atau kalsifikasi intratumoral yang biasanya dijumpai pada meningioma. (gambar 15). 26

Gambar 15. Hemangiopericytoma pada T1W

Dikutip dari : Johnson M, Powell SZ, Boyer PJ, et al. Dural Lesions Mimicking Meningiomas.Human Pathology.2002. 33 : 12

III.7.3. Gliosarcoma

Kadang-kadang gliosarcoma dapat muncul secara superfisial pada lobus temporal dan meluas ke leptomeniges, memunculkan gambaran lesi padat, berkapsul pada gambaran radiologis dan makroskopis sehingga menyerupai meningioma. Lebih kurang 12% dari tumor ini muncul sebagai dural-based tumor. (gambar 16). 26

Gambar 16. Gliosarcoma pada T1W

Dikutip dari : Johnson M, Powell SZ, Boyer PJ, et al. Dural Lesions Mimicking Meningiomas.Human Pathology.2002. 33 : 12


(37)

Cukup jarang, leiomyosarcoma dapat muncul sebagai tumor intrakranial primer. Tumor ini dijumpai terutama pada lelaki dan berhubungan dengan infeksi virus human immunodeficiency virus-1 dan kondisi immunosupresi. Tumor ini muncul sebagai massa soliter yang melibatkan dura dari sphenoid wing, sinus kavernosus atau transversus, lobus oksipital atau temporal. (gambar 17) 26

Gambar 17. Leiomyoma pada T1W

Dikutip dari : Johnson M, Powell SZ, Boyer PJ, et al. Dural Lesions Mimicking Meningiomas.Human Pathology.2002. 33 : 12

III.7.5. Karsinoma Metastatik

Lesi metastatik dapat menimbulkan lesi dura tunggal yang menyerupai meningioma. Ini terutama dijumpai pada kanker payudara, adenocarcinoma,

squamous cell carcinoma paru, dan renal cell carcinomas. Pada pemeriksaan MRI, tumor ini menunjukkan gambaran hiperintense pada T2W dan seringkali dengan

enhancing dural tail menyerupai meningioma. 26

III.7.6. Plasmacytoma

Neoplasma sel plasma jarang melibatkan SSP sebagai dural-based lesions. Pada T1W, tumor ini menunjukkan sinyal intermediat dibandingkan dibandingkan jaringan otak, dengan enhancement yang nyata setelah pemberian kontras.Pada T2W, plasmacytoma isointense dengan substansia grisea. 26-28


(38)

Gambar 18. Plasmacytoma

Dikutip dari : Manabe M, Kanashima H, Yoshii Y,et al. Extramedullary Plasmacytoma of The Dura Mimicking Meningioma. Int J Hematol. 2010 : 91 : 731-732.

III.8. Penatalaksanaan III.8.1. Observasi

Karena sebagian besar meningioma bersifat jinak dan tumbuh lambat, observasi harus selalu dipertimbangkan sebagai pilihan terapi meningioma. Banyak tumor ditemukan secara insidental, dan follow up klinis dan radiografik pada pasien dengan meningioma menunjukkan bahwa sebagian tumor ini bersifat tumbuh lambat atau sama sekali tidak tumbuh. Oleh sebab itu, sangat masuk akal untuk melakukan follow up pada pasien asimptomatis dengan evaluasi serial klinis dan imejing. Namun begitu, perhatian khusus harus diberikan pada pasien yang lebih muda karena pada pasien-pasien tersebut, tumor ini cenderung bertambah besar dan menjadi simptomatis. Kasus-kasus dimana dipertimbangkan observasi, direkomendasikan suatu follow up MRI tiga bulan setelah diagnostik pertama untuk mengeksklusikan tumor dural-based lainnya yang lebih agresif dan kemudian pada enam bulan berikutnya untuk menilai tingkat pertumbuhan tumor.5

III.8.2. Tindakan Bedah

Pada pasien-pasien dengan meningioma yang lebih besar dan simptomatis, direkomendasikan reseksi bedah. Luasnya reseksi bedah adalah faktor yang paling penting dalam rekurensi tumor dan dideskripsikan berdasarkan sistem grading Simpson (tabel 6). Walaupun tindakan bedah adalah pilihan terapi utama, tujuan pembedahan dapat berbeda bergantung pada lokasi tumor dan kondisi pasien. Jika reseksi komplit memungkinkan tanpa membahayakan struktur vital, gross total resection harus dilakukan. 5


(39)

Tabel 6. Simpson Grade

Ware ML, lal A, McDermott MW. Meningiomas. In : Baehring JM, Piepmeier JM, ed. Brain Tumors Practical Guide to Diagnosis. New York. 2007. p 307-321.

Kapan tumor ditinggalkan adalah kunci pada pembedahan meningioma. Oleh sebab itu, pengangkatan total tumor pada konveksitas,olfactory groove, dan meningioma yang melibatkan sepertiga anterior dari sinus sagital tampaknya memungkinkan dan menguntungkan pasien, sedangkan tumor pada sphenoid wing, klivus dan sinus kavernosus, pengangkatan subtotal tampaknya lebih sesuai. Terapi ajuvan harus dipertimbangkan untuk meningioma atipikal atau malignan atau pada kasus-kasus dimana pengangkatan total tumor tidak memungkinkan dan progresivitas penyakit akan menyebabkan disabilitas.5

III.8.3. Terapi Radiasi

Peranan terapi radiasi masih kontroversial pada pasien-pasien dimana tumor atipikal telah direseksi dengan komplit. Terdapat sedikit data yang mendukung penggunaan terapi radiasi segera setelah reseksi Simpson Grade I dari meningioma atipikal. Karena tingkat rekurensi yang tinggi, sejumlah peneliti menganjurkan penggunaan terapi radiasi setelah reseksi meningioma malignan terlepas dari luasnya reseksi.

Terapi radiasi harus dipertimbangkan setelah reseksi parsial meningioma dan setelah reseksi meningioma atipikal atau meningioma maligna. Keputusan untuk melakukan radioterapi harus mempertimbangkan kemungkinan akan terjadinya kekambuhan yang simpomatis (mengingat tingkat pertumbuhan yang lambat pada sebagian besar meningioma) pada masa hidup pasien, dengan efek samping yang mungkin timbul akibat radiasi (misalnya, leukoensefalopati dan gejala kognitif, nekrosis dan cedera neurologis fokal).

5

Terapi radiasi tidak diindikasikan pada meningioma benigna yang telah direseksi total, namun dapat bermanfaat pada tumor yang direseksi subtotal atau tumor dengan gambaran atipikal atau malignan. Radioterapi dapat bermanfaat


(40)

untuk tumor pada saat rekuren atau progresi. Dosis efektif adalah 4500-6000 cGy untuk tumor jinak dan 6000-6500 cGy untuk tumor malignan. Dosis ini harus diberikan dalam fraksi harian dengan dosis 180-220 cGy selama 5 hingga 6 minggu.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa external beam radiotherapy

(EBRT) memungkinkan kontrol tumor pada meningioma benigna yang tidak direseksi komplit.

7

6

Stereotactic radiosurgery (SRS) bermanfaat untuk penanganan meningioma

pada lokasi-lokasi dimana intervensi bedah dapat membahayakan integritas neurovaskular, seperti sinus kavernosus atau regio parasagital posterior. Selama lebih dari dua dekade, SRS telah dilakukan sebagai alternatif terhadap pembedahan dan EBRT pada pasien-pasien dengan meningioma.

Untuk menurunkan kemungkinan progresi dan rekurensi meningioma , EBRT sering digunakan sebagai terapi ajuvan pasca operasi pada pasien-pasien dengan tumor yang direseksi subtotal atau pada tumor-tumor yang menunjukkan gambaran meningioma atipikal atau anaplastik. Namun begitu, EBRT telah dihubungkan dengan komplikasi jangka panjang seperti penurunan kognitif, radiation-induced neoplasm dan insufisiensi pituitari.

29

III.8.3.1. Stereotactic Radiosurgery (SRS)

Stereotactic radiosurgery adalah suatu teknik radiasi eksternal yang secara klasik menggunakan multiple convergent beams untuk menghantarkan radiasi dosis tinggi ke suatu volume yang kecil. Keunggulannya adalah gradien dosis yang curam pada batas target,yang memungkinkan tidak terkenanya jaringan normal di sekitarnya. Stereotactic radiosurgery kini dilakukan dengan LINAC, Gamma Knife

dan proton.

Tumor yang sesuai untuk dilakukan SRS adalah yang berukuran lebih kecil dari 3 hingga 3,5 cm, dengan edema sedikit atau tanpa edema, dan berlokasi di tempat dimana batasan dosis untuk struktur penting di sekitarnya (seperti apparatus optik dan batang otak) dapat dijaga. Meningioma benigna adalah target yang ideal untuk SRS,karena tumor ini berbatas tegas, tidak invasif dan dapat dilihat dengan mudah pada neuroimejing karena enhancement kontras yang homogen dan adanya dural tail. Jenis meningioma yang sering menjadi target untuk SRS adalah yang


(41)

berlokasi di rongga tengkorak dan parasagital, karena microsurgery di daerah ini berisiko tinggi untuk kerusakan vaskular, batang otak dan saraf kranial.6 Dosis yang dianjurkan pada batas tumor untuk meningioma adalah 18 Gy (<1 cm), 16 Gy (1-3 cm) dan 12 hingga 14Gy (>3cm).28 Suatu studi terhadap 330 pasien meningioma yang menjalani SRS menunjukkan bahwa terapi SRS cukup aman dan dapat menjadi terapi utama pada pasien-pasien dengan tumor di dasar tengkorak yang berukuran kecil.29

III.8.3.2. Stereotactic Radiotherapy (SRT)

Stereotactic radiotherapy telah digunakan sebagai terapi utama pada tumor-tumor yang tidak dapat diakses dengan pembedahan (misalnya meningioma pada dasar tengkorak) atau pada pasien yang dianggap sebagai kandidat operasi yang buruk, seperti pada pasien usia tua.3 Stereotactic radiotherapy bermanfaat pada kasus-kasus dimana SRS memiliki keterbatasan, seperti pada tumor-tumor yang lebih besar atau pada tumor yang berasal dekat dengan struktur penting, seperti kiasma optikum atau batang otak.6 Keuntungan SRT adalah teknik ini tidak mengenai jaringan normal dengan memberi waktu untuk perbaikan akibat kerusakan sublethal di antara fraksi radiasi. Pada dasarnya, perbedaan antara SRT dan SRS berdasarkan jumlah fraksi.6

III.8.4. Kemoterapi

Peranan kemoterapi ajuvan pada pasien dengan meningioma masih tidak jelas dan terus bekembang.7 Kemoterapi ajuvan masih ditelusuri dalam sejumlah penelitian dengan hasil yang beragam. 5 Kemoterapi diberikan pada lesi-lesi yang tidak dapat dioperasi, terutama pada saat terjadinya progresi tumor atau rekurensi setelah radioterapi. Berbagai pendekatan telah dilakukan, mencakup penggunaan obat sitotoksik, agen molekuler, immunomodulator, dan obat yang memanipulasi hormon.

Regimen kemoterapi yang menunjukkan aktivitas menengah, terdiri dari

cyclophosphamide intravena (500 mg/m2/hari selama 3 hari), adriamycin (15 mg/m

7

2/hari selama 3 hari) dan

vincristine (1.4 mg/m2 untuk 1 hari). Terdapat tiga pasien dengan respon parsial terhadap terapi dan 11 dengan perjalanan yang stabil.7


(42)

Keberhasilan tingkat menengah juga telah dilaporkan dengan interferon α -2B (4mU/m2/hari, 5 hari/minggu) pada suatu studi kecil pada pasien dengan meningioma malignan dan tidak direseksi. Dari 6 pasien yang diterapi, satu menunjukkan respon minor terhadap terapi dan 4 menunjukkan perjalanan yang stabil, dengan waktu rata-rata progresi 8.3 bulan.

Penatalaksanaan dengan antiestrogen, menggunakan tamoxifen (40 mg/m

5,7

2

dua kali sehari) secara umum tidak efektif. Pada suatu studi dengan menggunakan agen anti progesteron RU-486 (200 mg/hari) didapatkan lima pasien menunjukkan respon minor terhadap terapi, dan beberapa lainnya memiliki perjalanan yang stabil dan/atau perbaikan klinis.

Pada pasien dengan unresectable meningioma, hydroxyurea menunjukkan pengurangan ukuran meningioma sebesar 15% hingga 74% pada imejing serial. Namun penelitian ini sangat kecil dan hanya terdapat satu pasien dengan meningioma maligna.

3,7

5

Beberapa penelitian tentang penggunaan hydroxyurea pada meningioma terlihat pada tabel 7.

Tabel 7. Penelitian penggunaan hydroxyurean pada meningioma

Dikutip dari : Newton HB. Hydroxyurea Chemotherapy in the Treatment of Meningiomas. Neurosurg Focus 2007 : 23 (4) : E11.

Dari berbagai agen kemoterapi yang telah diteliti pada berbagai studi, hydroxyurea menjadi salah satu agen yang menjanjikan, karena telah menunjukkan aktivitas klinis yang menengah pada meningioma yang rekuren dan tidak dioperasi.

Berbagai target molekuler yang penting pada pertumbuhan dan kemoterapi meningioma antara lain platelet-derived growth factor (PDGF), EGF, VEGF, IGF, TGF-β beserta reseptor dan signaling pathway-nya. (gambar 19).

7


(43)

Gambar 19. Target Molekuler pada Meningioma

Dikutip dari : Norden AD, Drappatz J, Wen PY. Targeted Drug Therapy For Meningiomas. Neurosurg Focus 2007 : 23 (4) : E12

III.8.5. Algoritma Penanganan Meningioma

Semua lesi yang diduga sebagai meningioma dievaluasi dengan MRI serial. Sebelum dilakukan terapi yang lain, pasien menjalani reseksi bedah. (gambar 20). Harus diupayakan untuk melakukan reseksi total, dan sampel dikirim untuk pemeriksaan patologi. Pada kasus pasien dengan meningioma benigna reseksi Simpson Grade 1 dan Grade 2 dianggap kuratif, dan dilakukan MRI pasca operasi untuk memastikan reseksi komplit dan kemudian menjalani follow up. Pada pasien dengan meningioma benigna setelah reseksi Grade 3 hingga 5, rekurensi lebih cenderung terjadi, namun biasanya memerlukan waktu bertahun-tahun. Pada pasien-pasien ini dilakukan MRI pada bulan ke-6 dan ke-12 setelah reseksi dan kemudian tiap tahun. Jika terjadi progresi tumor, pasien diterapi dengan reseksi ulangan pada kasus dengan rekurensi yang besar (jika reseksi bedah memungkinkan, mempertinbangkan usia dan keadaan umum pasien). Pada


(44)

kasus-kasus dengan rekurensi kecil (<8cc) pasien dapat diterapi dengan radiaoterapi. Pada kasus dengan rekurensi yang lebih besar (>8cc), pasien dapat diterapi dengan radiasi dan kemudian diikuti dengan MRI serial tipa enam bulan. Pada pasien dengan meningioma atipikal atau anaplastik, direkomendasikan reseksi maksimum diikuti dengan radiasi. Pasien di follow up dengan MRI pada bulan pertama, ketiga dan setiap enam bulan setelahnya. Jika terjadi rekuren, pasien diterapi dengan radiosurgery untuk tumor kecil (<8cc) dan reseksi diikuti dengan brakiterapi untuk tumor yang lebih besar (>8cc).

Beberapa keuntungan teknik brakiterapi adalah :

5

1. Meningioma adalah tumor yang tumbuh lambat dan berbatas tegas. Secara

biologis tumor dengan waktu paruh yang panjang paling baik diterapi dengan radiasi dosis rendah. Hal ini karena kemungkinan untuk menghancurkan sel-sel yang tumbuh lambat seiring siklus sel nya jauh lebih baik dengan radiasi dosis rendah yang terus-menerus dibanding dengan radiasi dosis tinggi tunggal yang konvensional.

32

2. Tumor pada SSP, terutama yang terletak pada basis kranii, terletak dekat

dengan saraf kranial, pembuluh darah otak dan batang otak. Dosis yang ketat merupakan hal yang penting untuk tumor pada area ini. Brakiterapi menggunakan energi gamma yang rendah, memungkinkan pemberian dosis yang tinggi pada tumor dan dosis rendah pada jaringan sekitarnya.

3. Dengan brakiterapi, distribusi dosis dapat disesuaikan dengan bentuk tumor.

4. Prosedur ini dilakukan dengan anestesi lokal dan biasanya memakan waktu 1

jam, sehingga teknik ini relatif sederhana dan cost-effective.

5. Toleransi jaringan normal terhadap radiasi dosis rendah lebih baik dibanding


(45)

Gambar 20. Algotritma Penatalaksanaan Meningioma

Dikutip dari : Ware ML, lal A, McDermott MW. Meningiomas. In : Baehring JM, Piepmeier JM, ed. Brain Tumors Practical Guide to Diagnosis. New York. 2007. p 307-321.

III.9. Prognosis

Faktor prognostik yang paling penting pada meningioma adalah luasnya reseksi awal dan grade histologis tumor. Setelah gross total resection dari meningioma benigna, recurrence-free survival rate mendekati 90% pada 5 tahun, menurun hingga 75% pada 10 tahun dan 65% pada 15 tahun. Setelah reseksi subtotal saja, tingkat rekuren tumor setidaknya dua kali lebih tinggi dibanding pasien yang menjalani gross total resection. Outcome menjadi lebih baik pada pasien yang menjalani radioterapi pasca operasi. Pasien dengan meningioma atipikal dan maligna jelas memiliki tingkat rekurensi tumor dan survival yang lebih pendek daripada tumor benigna. Waktu median survival adalah sekitar 2 tahun untuk meningioma anaplastik dan bervariasi antara 2 hingga 10 tahun untuk meningioma atipikal, bahkan setelah pembedahan dan radioterapi.

Gambaran MRI setelah reseksi dan temuan histopatologis pada saat reseksi menjadi dasar untuk sistem grading Simpson, sistem untuk memprediksi kekambuhan meningioma. Pasien dengan meningioma Simpson grade 1 memiliki

9% 10-year recurrence rate jika dibandingkan dengan pasien dengan Simpson

grade 3 dimana dijumpai 29% 10-year recurrence rate. Variabel prognostik yang memprediksi survival pada pasien dengan meningioma mencakup luasnya reseksi, grade histologis, usia pasien dan lokasi tumor.

8

Suatu penelitian dari Ildan dkk (2007) pada 137 pasien meningioma yang diterapi dengan tindakan bedah dan tidak menunjukkan residu tumor pada MRI pasca operasi, menunjukkan bahwa variabel yang paling penting yang berkaitan dengan rekurensi adalah bentuk mushroom, adanya osteolisis, dural tail dan kedekatan dengan struktur sinus. Terapi bedah agresif dengan pengangkatan dural tail yang lebih luas harus dipertimbangkan jika dijumpai prediktor rekurensi preoperatif ini. Observasi radiologis ketat dengan interval yang lebih pendek atau


(46)

radioterapi harus dipertimbangkan sebagai terapi ajuvan pada pasien dengan risiko tinggi untuk rekuren.29 Penelitian dari Gabeau-Lacet dkk (2009) pada 47 pasien meningioma menunjukkan bahwa keterlibatan tulang berhubungan dengan outcome yang lebih buruk pada meningioma atipikal dan menekankan pentingnya

bone assesment pada meningioma.30

IV. DISKUSI KASUS

Pada kasus ini dilaporkan seorang laki-laki berusia 45 tahun dengan keluhan penurunan kesadaran yang didiagnosa dengan meningioma berdasarkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan penunjang.

Dari anamnesa diperoleh keluhan utama berupa penurunan kesadaran. Hal ini dialami OS sejak ± 3 hari sebelum masuk RS terjadi secara perlahan – lahan yang semakin lama semakin memberat. Sebelumnya os sering mengeluh nyeri kepala, sejak 1 tahun sebelumnya. Nyeri kepala dirasakan berdenyut di seluruh kepala, memberat jika os batuk, bersin,atau mengedan dan tidak berkurang dengan obat penghilang rasa nyeri. Nyeri kepala bertambah berat dalam 3 bulan sebelum masuk RS dan diikuti dengan kelemahan badan sebelah kanan yang semakin lama semakin memberat. Riwayat muntah menyembur (+) 2 kali dalam 1 bulan terakhir sebelum masuk RS. Riwayat kejang (-), trauma kepala (-), demam (-).

Dari pemeriksaan neurologis dijumpai papil edema, parese nervus VII dextra tipe UMN, hemiparese dextra, peningkatan refleks fisiologis lengan dan tungkai kanan, refleks patologis di kanan.

Saat masuk Os didiagnosa banding dengan abses serebri dan stroke berdasarkan tanda-tanda suatu proses desak ruang. Abses serebri dapat disingkirkan karena pada proses perjalanan penyakit tidakdijumpai tanda-tanda infeksi dan pada

CT Scan tidak dijumpai gambaran hipodens dikelilingi oleh cincin dengan densitas meningkat. Diagnosis banding stroke hemoragik dapat disingkirkan karena perjalanan penyakit yang lambat dan tidak dijumpai gambaran perdarahan pada CT Scan.

Dari pemeriksaan Head CT Scan kontras terlihat intracranial SOL di daerah


(47)

dan direncanakan operasi, namun keluarga tidak setuju untuk dilakukan operasi. Pasien kemudian exitus setelah dirawat selama ±3 minggu.

V. PERMASALAHAN

1. Apakah diagnosa pasien ini sudah benar?

2. Bagaimana penatalaksanaan terbaik untuk pasien ini?

3. Bagaimana kemungkinan rekurensi pada pasien ini jika dilakukan operasi.

VI. KESIMPULAN

1. Diagnosis meningioma ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan neurologis serta pemeriksaan penunjang berupa Head CT Scan.

2. Penatalaksanaan terutama dilakukan dengan tindakan operasi, namun tidak dilakukan pada pasien ini karena tidak mendapat persetujuan dari keluarga.

VII. SARAN

Perlunya penjelasan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit dan prognosis penyakit serta pengobatan dan tindakan operatif yang akan dilakukan.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

1. Norden AD, Drappatz J, Wen PY. Targeted Drug Therapy For Meningiomas. Neurosurg Focus 2007 : 23 (4) : E12

2. Barnholtz JS, kruchko C. Meningiomas Causes and Risk Factors. Neurosurg Focus 2007 : 23(4) : E2

3. Rockhill J, Mrugaka M,Chamberlain MC. Intracranial Meningioma An Overview of Diagnosis and Treatment. Neurosurg Focus. 2007 : 23(4):E1 4. Haddad G.Meningioma.2009. Available from : 5. Ware ML, lal A, McDermott MW. Meningiomas. In : Baehring JM, Piepmeier

JM, ed. Brain Tumors Practical Guide to Diagnosis. New York. 2007. p 307-321.

6. Elia AEH, Shih HA, Loeffler JS. Stereotactic Radiation Trearment for Benign Meningioma. Neurosurg Focus. 2007 : 23 (4) : E5

7. Newton HB. Hydroxyurea Chemotherapy in the Treatment of Meningiomas. Neurosurg Focus 2007 : 23 (4) : E11.

8. Dropcho EJ. Primary Central Nervous System. In : Biller J, ed. Practical Neurology. Philadelphia. 2009. p 719-720.

9. Ragei BT, JensenRL. Molecular Genetics of Meningiomas. Neurosurg Focus. 2005 : 19 (5): E9.

10. Ragel BT, Jensen RL, Couldwell WT. Inflammatory Response And Meningioma Tumorigenesis and The Effect of Cyclooxygenase-2 Inhibitors. Neurosurg Focus. 2007 : 23 (4) E7.

11. Nathoo N, Barnett GH, Golubic M. The Eicosanoid Cascade : Possible Role in Gliomas and Meningiomas. J Clin Pathol : Mol Pathol. 2004 : 57:6-13.


(49)

12. Piester C, Ritz R, Pfrommer H,et al. Are There Attacking points in The Eicosanod Cascade For Chemotherapeutic Options in Benign Meningiomas?. Neurosurg Focus. 2007 : 23(4) : E8.

13. Magi B, Liberatori S. Immunoblotting Techniques. Methods Mol Biol. 2005;295:227-54.

14. DeMonte F,Marmor E, Al-Mefty O. Meningiomas. In : Kaye AH, Law Jr ER, editors. Brain Tumors an Encyclopedia Approach. 2nd

15. Custer B, Longstreth WT, Philips LE,et al. Hormonal Exposure and The Risk of Intracranial Meningioma in Women : A Population-Based Case Control Study. BiomedCentral. 2006.

ed. New York : Churchill Livingstone; 2001. p 719-47.

16. Black PM, Loeffler JS. Cancer of The Nervous System. Second ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins;2005.

17. Benson VS, Green J, Casabonne D, et al. Lifestyle Factors and Primary Glioma and Meningioma Tumours in the Millon Women Study Cohort. British Journal of Cancer. 2008 : 99 : 185-190.

18. Lahkola A, Salminen T, Raitanen J, et al. Meningioma and Mobile Phone Use—a Collaborative Case-Control Study in Five North European Countries. International Journal of Epidemiology. 2008 : 37 : 1304-1313.

19. Commins DL, AtkinsonRD, Burnett M. Review of Meningioma Histopathology. Neurosurg Focus. 2007 : 23 (4) : E3

20. Newton HB, Jolesz FA, editors. Handbook of Neurooncology and Neuroimaging. 2007

21. De Angelis LM, Leibel SA, Gutin PH, Posner JB. Intracranial Tumors Diagnosis and Treatment. London : Martin Dunitz ; 2002.

22. Moon HM, Jung TY, Moon KS. Possible Role of Matrix Metalloproteinase in Osteolytic Intracranial Meningiomas. J Korean Neurosurg Soc. 2010 : 47 : 11-16

23. Metwally Y. Angiography of Meningiomas. 2009.

24. Pfisterer Wk, Nieman RA,ScheckA, et al. Using Ex Vivo Proton Magnetic Resonance Spectroscopy To Reveal Associations Between Biochemical and Biological Features of Meningioma. Neurosurg Focus. 2010 :28 (1) : E12.


(50)

25. Zhang H, Rodgler LA, Shen T, et al. Perfusion MR Imaging For Differentiation of Benign and Malignant Meningiomas. Neuroradiology. 2008 : 50 : 525-530.

26. Johnson M, Powell SZ, Boyer PJ, et al. Dural Lesions Mimicking Meningiomas.Human Pathology.2002. 33 : 12

27. RahmarNN, Brotoarianto HK, Andar E,et al. Dural Plasmacytoma Mimicking Meningioma in a ypung Adult Patient With Multiple Myeloma. Biomedical Imaging and Intervention Journal. 2009. 5 (2) e5

28. Manabe M, Kanashima H, Yoshii Y,et al. Extramedullary Plasmacytoma of The Dura Mimicking Meningioma. Int J Hematol. 2010 : 91 : 731-732.

29. Pollock BE. Stereotactic Radiosurgery for Intracranial Meningiomas. Indications and Results. Neurosurg Focus 2003 : 14 (5) : 5

30. Chin LS, szerlip NJ, Regine WF. Sterotactic Radiosurgery for Meningioma. Neurosurg Focus 2003 : 14 (5) : 6.

31. Ildan F, Erman T, Gocer I, et al. Predicting the Probability of Meningioma Recurrence in the pReoperative and Early Postoperative Period: A Multivariate Analysis in the Midterm Follow-Up. Skull Base. 2007 : 17 (3) : 157-171.

32. Kumar PP, Patil AA, Syh H, et al. Role of Brachytherapy in the Management of the Skull Base Meningioma. Treatment of Skull Base Meningiomas. 1992; 3726-3731.

33. Gabeau-Lacet D, Aghi M, Betensky R, et al. Bone involvemnt Predicts Poor Outcome in Atypical Meningioma. J Neurosurg. 2009 : 111 (3) : 464-471

Lampiran 1


(51)

(52)

Lampiran 2


(53)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

1. Norden AD, Drappatz J, Wen PY. Targeted Drug Therapy For Meningiomas. Neurosurg Focus 2007 : 23 (4) : E12

2. Barnholtz JS, kruchko C. Meningiomas Causes and Risk Factors. Neurosurg Focus 2007 : 23(4) : E2

3. Rockhill J, Mrugaka M,Chamberlain MC. Intracranial Meningioma An Overview of Diagnosis and Treatment. Neurosurg Focus. 2007 : 23(4):E1

4. Haddad G.Meningioma.2009. Available from :

5. Ware ML, lal A, McDermott MW. Meningiomas. In : Baehring JM, Piepmeier JM, ed. Brain Tumors Practical Guide to Diagnosis. New York. 2007. p 307-321.

6. Elia AEH, Shih HA, Loeffler JS. Stereotactic Radiation Trearment for Benign Meningioma. Neurosurg Focus. 2007 : 23 (4) : E5

7. Newton HB. Hydroxyurea Chemotherapy in the Treatment of Meningiomas. Neurosurg Focus 2007 : 23 (4) : E11.

8. Dropcho EJ. Primary Central Nervous System. In : Biller J, ed. Practical Neurology. Philadelphia. 2009. p 719-720.

9. Ragei BT, JensenRL. Molecular Genetics of Meningiomas. Neurosurg Focus. 2005 : 19 (5): E9.

10. Ragel BT, Jensen RL, Couldwell WT. Inflammatory Response And Meningioma Tumorigenesis and The Effect of Cyclooxygenase-2 Inhibitors. Neurosurg Focus. 2007 : 23 (4) E7.

11. Nathoo N, Barnett GH, Golubic M. The Eicosanoid Cascade : Possible Role in Gliomas and Meningiomas. J Clin Pathol : Mol Pathol. 2004 : 57:6-13.


(2)

12. Piester C, Ritz R, Pfrommer H,et al. Are There Attacking points in The Eicosanod Cascade For Chemotherapeutic Options in Benign Meningiomas?. Neurosurg Focus. 2007 : 23(4) : E8.

13. Magi B, Liberatori S. Immunoblotting Techniques. Methods Mol Biol. 2005;295:227-54.

14. DeMonte F,Marmor E, Al-Mefty O. Meningiomas. In : Kaye AH, Law Jr ER, editors. Brain Tumors an Encyclopedia Approach. 2nd

15. Custer B, Longstreth WT, Philips LE,et al. Hormonal Exposure and The Risk of Intracranial Meningioma in Women : A Population-Based Case Control Study. BiomedCentral. 2006.

ed. New York : Churchill Livingstone; 2001. p 719-47.

16. Black PM, Loeffler JS. Cancer of The Nervous System. Second ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins;2005.

17. Benson VS, Green J, Casabonne D, et al. Lifestyle Factors and Primary Glioma and Meningioma Tumours in the Millon Women Study Cohort. British Journal of Cancer. 2008 : 99 : 185-190.

18. Lahkola A, Salminen T, Raitanen J, et al. Meningioma and Mobile Phone Use—a Collaborative Case-Control Study in Five North European Countries. International Journal of Epidemiology. 2008 : 37 : 1304-1313.

19. Commins DL, AtkinsonRD, Burnett M. Review of Meningioma Histopathology. Neurosurg Focus. 2007 : 23 (4) : E3

20. Newton HB, Jolesz FA, editors. Handbook of Neurooncology and Neuroimaging. 2007

21. De Angelis LM, Leibel SA, Gutin PH, Posner JB. Intracranial Tumors Diagnosis and Treatment. London : Martin Dunitz ; 2002.

22. Moon HM, Jung TY, Moon KS. Possible Role of Matrix Metalloproteinase in Osteolytic Intracranial Meningiomas. J Korean Neurosurg Soc. 2010 : 47 : 11-16

23. Metwally Y. Angiography of Meningiomas. 2009.

24. Pfisterer Wk, Nieman RA,ScheckA, et al. Using Ex Vivo Proton Magnetic Resonance Spectroscopy To Reveal Associations Between Biochemical and


(3)

25. Zhang H, Rodgler LA, Shen T, et al. Perfusion MR Imaging For Differentiation of Benign and Malignant Meningiomas. Neuroradiology. 2008 : 50 : 525-530.

26. Johnson M, Powell SZ, Boyer PJ, et al. Dural Lesions Mimicking Meningiomas.Human Pathology.2002. 33 : 12

27. RahmarNN, Brotoarianto HK, Andar E,et al. Dural Plasmacytoma Mimicking Meningioma in a ypung Adult Patient With Multiple Myeloma. Biomedical Imaging and Intervention Journal. 2009. 5 (2) e5

28. Manabe M, Kanashima H, Yoshii Y,et al. Extramedullary Plasmacytoma of The Dura Mimicking Meningioma. Int J Hematol. 2010 : 91 : 731-732.

29. Pollock BE. Stereotactic Radiosurgery for Intracranial Meningiomas. Indications and Results. Neurosurg Focus 2003 : 14 (5) : 5

30. Chin LS, szerlip NJ, Regine WF. Sterotactic Radiosurgery for Meningioma. Neurosurg Focus 2003 : 14 (5) : 6.

31. Ildan F, Erman T, Gocer I, et al. Predicting the Probability of Meningioma Recurrence in the pReoperative and Early Postoperative Period: A Multivariate Analysis in the Midterm Follow-Up. Skull Base. 2007 : 17 (3) : 157-171.

32. Kumar PP, Patil AA, Syh H, et al. Role of Brachytherapy in the Management of the Skull Base Meningioma. Treatment of Skull Base Meningiomas. 1992; 3726-3731.

33. Gabeau-Lacet D, Aghi M, Betensky R, et al. Bone involvemnt Predicts Poor Outcome in Atypical Meningioma. J Neurosurg. 2009 : 111 (3) : 464-471

Lampiran 1


(4)

(5)

Lampiran 2


(6)