Penentuan Komposisi Optimum Biokomposit LPP/DVB/AA/SK Terhadap

A. Penentuan Komposisi Optimum Biokomposit LPP/DVB/AA/SK Terhadap

Sifat Mekanik

Optimasi komposisi biokomposit LPP/DVB/AA/SK dilakukan dengan pembuatan biokomposit Formula I secara reaktif dengan berbagai rasio LPP/SK 10/0, 9/1, 8/2, 7/3, dan 6/4 (w/w) sesuai formula pada Tabel I dengan mengikuti metode proses larutan. Biokomposit Formula I dikarakterisasi untuk menentukan perubahan gugus fungsi dengan menggunakan spektrofotometer infra merah, profil degradasi panas dengan menggunakan Differential Thermal Analyzer (DTA), dan sifat mekaniknya berdasarkan pada indeks alir leleh dan kekuatan tarik untuk menentukan komposisi optimumnya.

1. Karakterisasi Gugus Fungsi dan Sifat Termal Karakterisasi gugus fungsi dilakukan dengan menggunakan FT-IR terhadap LPP, asam akrilat (AA), divinil bensena (DVB), dan serat kenaf (SK) sebagai bahan awal. Analisis gugus fungsi juga dilakukan pada biokomposit LPP/DVB/AA/SK untuk mengetahui perubahan gugus fungsi yang terjadi dalam pembentukan biokomposit. Spektrum FT-IR dari LPP, AA, DVB, SK, dan biokomposit LPP/DVB/AA/SK ditunjukkan pada Gambar 15.

Spektrum FT-IR yang terdapat pada Gambar 15a menunjukkan serapan pada LPP, diantaranya serapan C-H -1

str pada 2723 cm yang merupakan tipikal dari

PP (Suharty et. al., 2007 -1 ), gugus metilen (-CH

2 -) ditunjukkan pada 1458 cm dan gugus metil (CH -1

3 -) pada 1373 cm (Dudley and Fleming, 1973). Gambar 15d menunjukkan serapan pada SK yang terdapat puncak lebar -OH ikatan hidrogen

pada 3410 cm -1 , serapan –CH

-1

2 - pada 2900 cm , serta gugus fungsi milik C-O-C

pada serapan 1048 cm -1 dan 1033 cm .

-1

Formula I (e)

Gambar 15. Spektrum FT-IR: (a) LPP (film), (b) DVB (neat liquid), (c) AA (neat liquid ), (d) SK (pelet KBr), dan (e) Biokomposit LPP/DVB/AA/SK (Formula I) (film)

Spektrum FT-IR pada Gambar 15b menunjukkan adanya gugus vinil yang

ditunjukkan pada 1627 cm -1 dan pada daerah sidik jari yaitu 1404 cm . Senyawa penggandeng multifungsional AA (Gambar 15c) menunjukkan adanya serapan

milik gugus hidroksil (OH broad) pada bilangan gelombang 3448 cm -1 , gugus

vinil (C=C) pada 1635 cm -1 dan 1411 cm , serta gugus karbonil (C=O) asam pada 1728 cm -1 . Spektrum FT-IR biokomposit LPP/DVB/AA/SK (Formula I) pada Gambar 15e menunjukkan serapan LPP yaitu serapan CH -1

str pada 2723 cm ,

2 -) pada 1458 cm dan gugus metil (CH 3 -) pada 1373 cm . Pergeseran bilangan gelombang >C=O (karbonil asam) pada AA yaitu 1728 cm -1

gugus metilen (-CH -1

(Gambar 15c) menjadi 1732 cm -1 yang merupakan karbonil ester (Gambar 15e) menunjukkan terjadinya ikatan antara SK dengan AA secara esterifikasi. Reaksi

yang terjadi antara SK dengan AA tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suharty et. al. (2008 b ) yang melaporkan bahwa selulosa dari serat

alam dapat berikatan dengan AA secara esterifikasi. Spektrum FT-IR biokomposit LPP/DVB/AA/SK (Gambar 15e) tidak menunjukkan adanya serapan bending

vinil dari AA yaitu pada 1635 cm -1 (Gambar 15c) maupun dari DVB pada 1627 cm -1 (Gambar 15b) yang menunjukkan gugus vinil AA berinteraksi dengan metin pada LPP maupun dengan vinil DVB melalui reaksi reaktif. Analisis terhadap gugus fungsi pada biokomposit tersebut menunjukkan terjadinya

pergeseran dan perubahan dari gugus fungsi bahan awal. Suharty et. al. (2007 b ) melaporkan bahwa pergeseran dan perubahan gugus fungsi pada sintesis

biokomposit menunjukkan terjadinya perubahan ikatan kimia yang sekaligus menunjukan perubahan struktur jaringan matrik polimer baru dalam sintesis biokomposit. Sintesis biokomposit juga dapat dikarakterisasi secara kuantitatif melalui sifat termalnya.

Karakterisasi sifat termal secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan DTA. Karakterisasi dengan DTA dilakukan dengan memanaskan sampel serta pembanding berupa alumina sehingga dihasilkan suatu termogram yang menunjukkan profil suhu dari sampel. Umumnya analisis sifat termal dilakukan dengan menggunakan termogram DTA dan DSC, namun dalam penelitian ini alat yang digunakan hanya dapat menghasilkan termogram DTA yang menunjukkan Karakterisasi sifat termal secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan DTA. Karakterisasi dengan DTA dilakukan dengan memanaskan sampel serta pembanding berupa alumina sehingga dihasilkan suatu termogram yang menunjukkan profil suhu dari sampel. Umumnya analisis sifat termal dilakukan dengan menggunakan termogram DTA dan DSC, namun dalam penelitian ini alat yang digunakan hanya dapat menghasilkan termogram DTA yang menunjukkan

Gambar 16. Termogram DTA : (a) LPP, (b) SK, (c) Biokomposit LPP/DVB/AA/SK (Formula I)

Termogram DTA dari LPP yang ditampilkan pada Gambar 17a menunjukkan adanya rekasi endoterm pada suhu 170 °C, reaksi eksoterm pada

suhu 220 °C, reaksi eksoterm 320 °C dan 370 °C. Suharty et. al. (2007 a ) melaporkan bahwa termogram DTA dari LPP menunjukkan terjadinya pelelehan

pada suhu 170 °C (endoterm), degradasi pada suhu 220 °C (eksoterm), serta dekomposisi pada suhu 320 °C dan 370 °C (eksoterm). Termogram DTA dari SK pada Gambar 17b menunjukkan adanya reaksi endoterm yang merupakan pelepasan H 2 O pada suhu 90 °C, reaksi eksoterm yang merupakan degradasi SK pada suhu 290 °C dan 300 °C, serta reaksi eksoterm yang merupakan dekomposisi SK pada suhu 400 °C. Analisis tersebut didasarkan pada penelitian Suharty et. al.

(2007 a ) yang melakukan karakterisasi serbuk bambu (SB) dengan menggunakan DTA, dimana SB dan SK memiliki kesamaan yaitu merupakan serat alam dan

memiliki selulosa. Selanjutnya profil suhu dari masing-masing bahan penyusun memiliki selulosa. Selanjutnya profil suhu dari masing-masing bahan penyusun

Termogram DTA biokomposit LPP/DVB/AA/SK (Formula I) menunjukkan profil yang merupakan gabungan dari profil LPP dan profil SK. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya puncak endoterm pada suhu 160 °C dengan puncak berbentuk seperti puncak endoterm pada suhu 170 °C yang merupakan karakter sifat termal pelelehan LPP. Termogram DTA biokomposit juga menunjukkan puncak eksoterm pada suhu 210 °C dan 370 °C yang merupakan karakter profil suhu milik LPP, yaitu degradasi dan dekomposisi LPP. Karakter profil suhu milik SK sebagai bahan penyusun biokomposit ditunjukkan dengan munculnya reaksi eksoterm pada suhu 280 °C yang menunjukkan degradasi selulosa. Termogram DTA biokomposit terdapat sedikit perbedaan seperti perbedaan bentuk puncak serta perbedaan suhu puncak dibanding termogram LPP atau SK. Perbedaan tersebut terjadi karena keberadaan LPP dan SK dalam biokomposit yang saling mempengaruhi, namun karena keterbatasan alat yang dipergunakan maka DTA tidak dapat menunjukkan perubahan massa yang terjadi..

Analisis terhadap termogram DTA yang dilakukan adalah analisis secara kualitatif. Suharty dan Wirjosentono (2005) yang melakukan pembuatan biokomposit dari polimer buatan (polistirena) dengan bahan pengisi serat alam (serbuk kayu kelapa). Penelitian tersebut memperoleh suatu fakta bahwa termogram suatu biokomposit menunjukkan karakter degradasi termal dari masing-masing bahan penyusunnya. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tersebut, maka dilakukan analisis karakter termal LPP,SK, dan biokomposit. Analisis termogram biokomposit dalam penelitian ini menunjukkan karakter termal yang meyerupai LPP dan SK. Hal tersebut menandakan bahwa telah terbentuk biokomposit LPP/DVB/AA/SK.

Berdasarkan karakterisasi gugus fungsi dan sifat termal yang dilakukan terhadap biokomposit LPP/DVB/AA/SK (Formula I) menunjukkan bahwa telah terbentuk suatu biokomposit dengan bahan awal LPP dan SK. Pembentukan biokomposit LPP/DVB/AA/SK menunjukkan adanya ikatan kimia antara LPP dan

SK dengan senyawa penggandeng multifungsional AA serta agen penyambung silang DVB. Ikatan kimia yang terbentuk akan mempengaruhi sifat fisik maupun sifat mekanik biokomposit dibanding bahan awalnya, sehingga perlu dilakukan karakterisasi sifat fisik dan sifat mekanik biokomposit maupun bahan awalnya.

2. Karakterisasi Sifat Fisik dan Sifat Mekanik Biokomposit maupun LPP sebagai pembanding diuji dengan melt flow indexer (ATLAS) untuk mendapatkan indeks alir leleh (dalam gram/10 menit). Biokomposit yang memiliki indeks alir leleh menandakan bahwa biokomposit tersebut bersifat termoplastik (dapat dibentuk ulang dengan cara dipanaskan). Spesimen biokomposit yang dihasilkan dan masih bersifat termoplastis tersebut diuji kuat tariknya menggunakan tensometer untuk menentukan kekuatan biokomposit.

Data indeks alir leleh LPP sebagai pembanding dan biokomposit LPP/DVB/AA/SK (Formula I) ditunjukkan pada Gambar 17.

/10m am (gr

Gambar 17. Diagram indeks alir leleh (MFI) dari LPP sebagi pembanding dan biokomposit LPP/DVB/AA/SK (Formula I) pada rasio LPP/SK 9/1 (L2), 8/2 (L3), 7/3 (L4), dan 6/4 (L5)

Gambar 17 menunjukkan bahwa setiap biokomposit yang terbentuk memiliki indeks alir leleh yang menandakan biokomposit yang terbentuk masih berada dalam koridor termoplastis (dapat dibentuk ulang dengan pemanasan). Data indeks alir leleh pada LPP/SK 10/0 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan Gambar 17 menunjukkan bahwa setiap biokomposit yang terbentuk memiliki indeks alir leleh yang menandakan biokomposit yang terbentuk masih berada dalam koridor termoplastis (dapat dibentuk ulang dengan pemanasan). Data indeks alir leleh pada LPP/SK 10/0 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

(2008 a ) bahwa LPP yang diproses secara radikal menggunakan inisiator akan meningkatkan nilai indeks alir leleh terhadap LPP non proses. Keberadaan SK

dalam biokomposit akan menurunkan nilai indeks alir leleh yang berarti terbentuk suatu material baru dengan berat molekul yang lebih besar. Pembentukan material baru dengan berat molekul yang lebih besar pada sintesis biokomposit sesuai dengan penelitian Suharty et. al.(2007 a ) melaporkan bahwa peningkatan berat

molekul dapat ditunjukkan dengan penurunan indeks alir leleh biokomposit. Peningkatan konsentrasi SK juga berpengaruh terhadap nilai kuat tarik dari biokomposit yang dihasilkan, dimana besarnya kekuatan tarik biokompsit menentukan komposisi optimumnya. Data nilai kuat tarik biokomposit terhadap Gambar 18.

Gambar 18. Diagram nilai kuat tarik (TS) LPP sebagai pembanding dan biokomposit LPP/DVB/AA/SK (Formula I) pada rasio LPP/SK 9/1 (L2), 8/2 (L3), 7/3 (L4), dan 6/4 (L5)

Nilai kuat tarik pada rasio 10/0 (L1) menunjukkan penurunan dibandingkan LPP. Penurunan tersebut disebabkan karena inisiator yang ditambahkan hanya menginisiasi PP saja sehingga terjadi degaradasi yang lebih cepat pada rantai PP dan menyebabkan kuat tarik menurun dibandingkan LPP.

Gambar 18 menunjukkan bahwa penambahan serat alam dapat berfungsi sebagai penguat (Kim et. al., 2005), sehingga terjadi peningkatan nilai kuat tarik pada rasio LPP/SK = 9/1 dibanding dengan rasio 10/0. Nilai kuat tarik terus meningkat sebesar 12% pada rasio LPP/SK = 8/2 (L3), namun menurun pada rasio LPP/SK = 7/3 (L4) dan LPP/SK = 6/4 (L5). Peningkatan nilai kuat tarik menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah serat alam yang ditambahkan akan meningkatkan nilai kuat tarik sampai pada rasio optimum LPP/SK, namun jika sudah melewati rasio optimum tersebut akan terjadi penurunan nilai kuat tarik biokomposit. Suharty et.

al. ( 2007 a ) melaporkan bahwa penggunaan serat alam yang terlalu besar pada biokomposit dan sudah melewati kondisi optimumnya akan mengakibatkan

biokomposit menjadi rapuh. Komposisi optimum biokomposit LPP/DVB/AA/SK adalah pada rasio LPP/SK = 8/2 (L3) yang memiliki nilai kuat tarik tertinggi (12% lebih baik dibanding LPP) dan masih berada dalam koridor termoplastis yang ditunjukkan dengan indeks alir leleh 4,5 gram/10 menit (71% lebih rendah dibanding LPP). Komposisi biokomposit L3 tersebut selanjutnya digunakan sebagai standar dalam pembuatan biokomposit selanjutnya dengan penambahan senyawa penghambat nyala. Komposisi biokomposit standar tersebut menempati 80% berat total dalam pembuatan biokomposit dengan senyawa penghambat nyala.