Situasi Batik Lasem Pasca Penetapan UNESCO Tentang Batik Tahun 2009.
A. Situasi Batik Lasem Pasca Penetapan UNESCO Tentang Batik Tahun 2009.
Menurut sejarah industri batik Nusantara, kehadiran batik tulis Lasem sudah
ada sejak berabad silam dan sempat menjadi komoditi ekspor di Asia, dengan prestasi tersebut juga turut mengharumkan nama kota Rembang di kancah Internasional. Pada
awal permunculannya batik tulis Lasem disebut sebagai batik Encim, dalam
pengertiannya adalah batik yang dipakai oleh wanita berusia lanjut keturunan Tionghoa. Dalam perjalanannya pengaruh Keraton juga ikut mewarnai corak, motif dan ragam batik tulis Lasem. Hal ini Terbukti dengan adanya motif Kawung dan sejarah batik Lasem Parang.
Pengaruh budaya Cina terasa kental di dalam goresan motifnya. Sedangkan pengaruh masyarakat Pesisir Utara terlihat pada kombinasi warna cerah merah, biru, kuning dan hijau. Dalam proses pembuatan desain motif batik tulis Lasem, para pengusaha batik Lasem memasukkan pengaruh unsur budaya leluhur mereka seperti kepercayaan dan legendanya. Misalnya terdapat corak ragam hias burung Hong dan binatang legendaris Kilin atau Singa. Bahkan cerita klasik Tiongkok seperti Sam Pek Eng Tey pernah menjadi motif batik tulis Lasem. Oleh karena itu, batik tulis Lasem kemudian dikenal sebagai batik Encim. Dengan keunikan goresan motif dan pernah menjadi komoditi ekspor ke Manca Negara, batik tulis Lasem bisa bersaing dengan Pengaruh budaya Cina terasa kental di dalam goresan motifnya. Sedangkan pengaruh masyarakat Pesisir Utara terlihat pada kombinasi warna cerah merah, biru, kuning dan hijau. Dalam proses pembuatan desain motif batik tulis Lasem, para pengusaha batik Lasem memasukkan pengaruh unsur budaya leluhur mereka seperti kepercayaan dan legendanya. Misalnya terdapat corak ragam hias burung Hong dan binatang legendaris Kilin atau Singa. Bahkan cerita klasik Tiongkok seperti Sam Pek Eng Tey pernah menjadi motif batik tulis Lasem. Oleh karena itu, batik tulis Lasem kemudian dikenal sebagai batik Encim. Dengan keunikan goresan motif dan pernah menjadi komoditi ekspor ke Manca Negara, batik tulis Lasem bisa bersaing dengan
Sentra industri batik Lasem agak lesu mengingat pengusaha batik yang masih bertahan tinggal 12 orang saja. Pada masa kejayaan batik tulis Lasem, setiap masyarakat Lasem keturunan Tionghoa mengusahakan pembatikan dengan merekrut tenaga pembatik dari daerah desa sekitar Lasem, seperti Sarang dan Pamotan. Tenaga kerja tersebut melakukan pekerjaannya hanya sebagai sambilan saja, untuk mengisi waktu luang sembari menunggu musim panen dan musim tanam padi di sawah. Karena tenaga kerja yang direkut adalah petani desa sekitar Lasem, pada saat musim tanam dan panen padi mereka kembali pulang ke desa. Akibatnya tenaga pembatik berkurang dan dengan sendirinya proses produksi batik menjadi terganggu. Fakta yang lebih mengejutkan lagi, ternyata rata-rata anak pengusaha batik tulis Lasem lebih memilih bekerja sebagai pegawai kantor dan merantau keluar kota Lasem.
Menurut Sigit Wicaksono yang juga pengusaha dan pemerhati batik tulis Lasem, saat diwawancarai salah satu surat kabar mengatakan, ”Teknologi sablon ikut andil mematikan batik tulis Lasem. Batik sablon harganya sekitar Rp. 25.000,- per lembar jauh lebih murah dari batik tulis yang harganya ratusan ribu rupiah per lembar,” demikian penuturan beliau sambil terus bertahan menjadi pengusaha batik demi menghidupi karyawannya yang hanya tinggal beberapa orang. “Kasihan kalau saya tutup pabrik ini, mereka akan bekerja di mana?” jelas beliau (Wawancara, 7/03/2012). Dari hasil wawancara tersebut bisa di lihat kekhawatiran beliau terhadap masa depan batik tulis Lasem, harapan akan kejayaan batik tulis Lasem akan tetap Menurut Sigit Wicaksono yang juga pengusaha dan pemerhati batik tulis Lasem, saat diwawancarai salah satu surat kabar mengatakan, ”Teknologi sablon ikut andil mematikan batik tulis Lasem. Batik sablon harganya sekitar Rp. 25.000,- per lembar jauh lebih murah dari batik tulis yang harganya ratusan ribu rupiah per lembar,” demikian penuturan beliau sambil terus bertahan menjadi pengusaha batik demi menghidupi karyawannya yang hanya tinggal beberapa orang. “Kasihan kalau saya tutup pabrik ini, mereka akan bekerja di mana?” jelas beliau (Wawancara, 7/03/2012). Dari hasil wawancara tersebut bisa di lihat kekhawatiran beliau terhadap masa depan batik tulis Lasem, harapan akan kejayaan batik tulis Lasem akan tetap
Batik tulis Lasem mempunyai ciri khas multikultural Jawa-Tionghoa yang kental. Tampak pada pesona warna-warni yang cerah serta motifnya yang khas, tradisi tersebut saat ini diwarisi oleh pengrajin batik di Rembang khususnya Lasem, Pancur, dan Pamotan. Motif khas Tionghoa itu bisa terlihat dalam gambar burung Hong , Kilin, Liong, Ikan mas, dan Ayam Hutan. Ada juga Motif bunga seperti Seruni, Delima, Magnolia, Peoni atau Sakura. Ciri khas motif Tionghoa lainnya bisa di lihat dalam motif geometris seperti Swastika, Banji, Bulan, Awan, Gunung, Mata Uang dan Gulungan Surat. Motif Tionghoa yang berpadu dengan motif Jawa pada umumnya terdapat di dalam batik khas Jogjakarta dan Solo, seperti Parang, Lereng, Kawung, dan Udan Riris. Warna dominan batik Lasem adalah merah, biru, sogan, hijau, ungu, hitam, krem, dan putih. Warna-warna ini adalah pengaruh dari silang budaya. Warna merah dalam batik Lasem adalah pengaruh dari budaya Tionghoa. Warna biru berasal dari pengaruh budaya Eropa (Belanda).
Warna Sogan berasal dari pengaruh budaya Jawa, diambil dari warna batik Solo. Sedangkan hijau akibat pengaruh komunitas muslim. Contoh jelas kombinasi warna ini bisa dilihat dari “Batik Tiga Negeri” khas Lasem. Batik yang dikembangkan pada zaman Hindia Belanda ini mempunyai tiga warna khas yang di buat pada tiga wilayah produksi. Merah diproduksi di Lasem, Biru diproduksi di Pekalongan dan Sogan diproduksi di Solo. Warna biru bisa diganti dengan hijau atau Warna Sogan berasal dari pengaruh budaya Jawa, diambil dari warna batik Solo. Sedangkan hijau akibat pengaruh komunitas muslim. Contoh jelas kombinasi warna ini bisa dilihat dari “Batik Tiga Negeri” khas Lasem. Batik yang dikembangkan pada zaman Hindia Belanda ini mempunyai tiga warna khas yang di buat pada tiga wilayah produksi. Merah diproduksi di Lasem, Biru diproduksi di Pekalongan dan Sogan diproduksi di Solo. Warna biru bisa diganti dengan hijau atau
Sejak abad ke-19, pemasaran batik tulis Lasem sudah menembus seluruh pulau Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaka (termasuk Singapura dan Malaysia), Bali, Sulawesi, wilayah Asia Timur (Jepang), Suriname dan Eropa. Pengaruh penyebaran batik Lasem di zaman itu masih bisa dilihat di daerah Bali, Lombok, Sumbawa dan Sumatera Barat. Daerah Bali, kain batik tulis Lasem bermotif Lok Can dipakai sebagai selendang atau ikat pinggang pada berbagai upacara Agama. Daerah Lombok dan Sumbawa, batik tulis Lasem digunakan sebagai syal para pria. Sedangkan wanita di Sumatera barat menggunakan batik Lasem sebagai selendang. Budaya-budaya lokal tersebut pada gilirannya juga memberi pengaruh pada batik tulis Lasem, yang menginspirasi dimensi ukuran, motif, warna dan jenis kain menjadi lebih beragam.
Corak (gambar) dan proses pewarnaan dibuat dengan detail dan cukup rumit. Sementara itu bahan-bahan yang digunakan tidak sembarangan karena dipilih dari barang yang berkualitas tinggi. Karena itu, batik tulis Lasem mempunyai beberapa kelebihan, salah satunya adalah menyangkut daya tahan warna yang tidak mudah luntur. Satu ciri khas batik tulis Lasem yang belum bisa ditiru daerah lain adalah corak yang menonjolkan warna merah khas Pesisiran. Bahkan menurut penuturan beberapa pengusaha batik di Lasem, rahasia proses pewarnaan itu pernah ditawar hingga puluhan juta rupiah oleh pengusaha batik asal Surakarta dan Pekalongan, tetapi penawaran itu ditolaknya, karena hal tersebut batik tulis Lasem dikenal banyak Corak (gambar) dan proses pewarnaan dibuat dengan detail dan cukup rumit. Sementara itu bahan-bahan yang digunakan tidak sembarangan karena dipilih dari barang yang berkualitas tinggi. Karena itu, batik tulis Lasem mempunyai beberapa kelebihan, salah satunya adalah menyangkut daya tahan warna yang tidak mudah luntur. Satu ciri khas batik tulis Lasem yang belum bisa ditiru daerah lain adalah corak yang menonjolkan warna merah khas Pesisiran. Bahkan menurut penuturan beberapa pengusaha batik di Lasem, rahasia proses pewarnaan itu pernah ditawar hingga puluhan juta rupiah oleh pengusaha batik asal Surakarta dan Pekalongan, tetapi penawaran itu ditolaknya, karena hal tersebut batik tulis Lasem dikenal banyak
Siti Romlah, seorang pengrajin batik tulis Lasem mengatakan, ”mungkin, tidak banyak orang yang tahu mengenai proses pembuatan batik tulis Lasem. Karena itu harga batik tulis Lasem cukup mahal, sebab proses pengerjaannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Membuat satu potong batik saja bisa menghabiskan waktu enam bulan sehingga wajar bila harga batik tulis Lasem ada yang mencapai tiga juta rupiah per potong. Harga umum Rp 75.00- per potong. Percaya atau tidak, ternyata pasar batik tulis Lasem mengalami pasang surut” (Wawancara, 7/03/2012).
Sigit Witjaksono, pengusaha batik tulis Lasem mengatakan, “Dulu, pada masa penjajahan Belanda, batik tulis Lasem mengalami kejayaan. Namun ketika tentara Jepang masuk ke Indonesia, batik tulis Lasem menjadi terpuruk. Setelah tentara Jepang meninggalkan negara kita, batik Lasem mulai bangkit lagi. Sekarang, pemasaran batik tulis Lasem terasa seret lagi. Akibatnya, banyak pengusaha batik yang ambruk. Sekarang ini yang bisa bertahan cuma beberapa orang” (Wawancara, 7/03/2012). Menyikapi masalah tersebut, Pemkab melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindakop) bekerja sama dengan Kantor Pariwisata, pada bulan april tahun 2012, mengadakan seminar tentang batik tulis di Aula Klenteng Utara, Lasem.
Narasumber yang hadir dalam acara itu cukup berbobot, yaitu pemerhati dan peneliti budaya etnis Cina dari Institut Pluralisme Indonesia (IPI) Wiliam Cant, Musa dari Asosiasi Perancang Mode Pengusaha Indonesia (APMPI), dan Tamtana dari Asosiasi Mebel dan Perajin Indonesia (AMPI).
Wiliam Cant berpendapat, untuk bisa menggairahkan pasar batik tulis Lasem ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kita harus bisa melestarikan budaya, tujuannya adalah untuk menghasilkan produk batik tulis khas Lasem yang sudah memiliki nama. Untuk bisa memenuhi order, seorang pengusaha harus mempunyai cukup modal. Selain itu, pengusaha batik dituntut menguasai pemasaran dan mampu mencari peluang pasar. Dengan demikian, pengembangan ekonomi bisa lancar. Akan tetapi Musa yang berprofesi sebagai perancang mode berpendapat, sekarang sudah saatnya para pengusaha batik tulis Lasem melakukan kerja sama dengan para perancang mode (Wawancara, 17/03/2012).
Batik Pesisiran dipengaruhi oleh budaya asing, hal ini disebabkan karena banyaknya orang asing yang singgah dipelabuhan. Golongan yang ke dua adalah batik dari Kerajaan, contohnya adalah batik Solo, Jogja, dan Banyumas. Batik Keraton tidak mendapat pengaruh dari asing, demikian menurut Sigit Witjaksono salah seorang pengusaha dan pengamat batik Lasem. Menurutnya, kebudayaan Cina paling banyak berpengaruh pada batik Lasem. Sebagai contoh motif yang dipengaruhi oleh kebudayaan Cina adalah Motif yang menggunakan gambar burung Hong dan pokok – pokok Pohon Bambu.
Menurut kepercayaan Cina Pohon Bambu melambangkan kerukunan keluarga yang kuat. Selain itu beliau menjelaskan batik Lasem mempunyai dua corak khas yaitu : Latohan dan Watu Pecah. Motif Latohan terinspirasi dari tanaman Latoh (sejenis rumput laut) yang menjadi makanan khas masyarakat Lasem sedangkan motif Watu Pecah menggambarkan kejengkelan masyarakat Lasem sewaktu pembuatan jalan Daendeles yang memakan banyak korban. Hal senada juga diungkapkan oleh ibu H. Umy Jazilah Salim selaku ketua Dekranasda Rembang. Beliau mengatakan motif batik tulis Lasem banyak dipengaruhi oleh motif
kebudayaan cina dengan motif burung Hong, dan Naga. Salah satu contohnya,
mitologi Cina mengenal beberapa hewan legenda di kehidupan zaman dahulu, seperti burung Hong atau disebut juga burung Fenghuang. Feng sebutan untuk spesies jantan, sedangkan Huang sebutan untuk betina. Burung Hong menjadi hewan legendaris kedua setelah Naga. Biasanya, burung Hong disandingkan bersama Naga melambangkan keindahan dan keabadian. Legenda burung Hong juga dikenal di beberapa negara lain. Negara Mesir misalnya, dikenal dengan nama burung Phoenix. Dalam mitologi Mesir, burung Phoenix memiliki arti keabadian, lambang siklus kehidupan setelah mati dan simbol dari kebangkitan tubuh setelah mati (Wawancara, 15/04/2012).
Burung Hong mempunyai bentuk seperti burung merak. Bulu burung Hong memiliki beberapa warna dan terlihat sangat indah. Dari kebanyakan lukisan atau Motif yang menggambarkan burung Hong, burung ini mempunyai bentuk yang bercampur antara beberapa jenis hewan unggas, namun satu yang pasti adalah, Burung Hong mempunyai bentuk seperti burung merak. Bulu burung Hong memiliki beberapa warna dan terlihat sangat indah. Dari kebanyakan lukisan atau Motif yang menggambarkan burung Hong, burung ini mempunyai bentuk yang bercampur antara beberapa jenis hewan unggas, namun satu yang pasti adalah,
Mitos burung Hong sangat lekat dengan kehidupan warga Tionghoa. Burung Hong sering dijadikan sebagai hiasan pada dekorasi pernikahan, yang biasanya disandingkan bersama hewan Naga. Mereka percaya bahwa dalam mitologi Cina, jika burung Hong dipasangkan dengan Naga, dapat menjadi simbol hubungan mesra antara suami dan istri. Permaisuri Kaisar Cina dan putri-putri Istana pun turut menggunakan burung Hong sebagai Motif utama di pakaian untuk perayaan hari besar Cina. Batik motif Cina mempunyai daya tarik tersendiri. Goresan yang terlahir dari tangan pengrajin Tionghoa yang mengikuti budaya Jawa ini, hingga sekarang masih turun temurun diproduksi oleh warga keturunan Cina dan juga masyarakat pribumi Jawa. Kehadiran batik yang bermotif budaya Cina, banyak digandrungi pecinta batik Indonesia.
September 2010, salah satu bank swasta ternama di Indonesia bersama Santoso mulai mempersiapkan program Batik Village Areas di Desa Sumber Girang dan Ngropoh. Dengan program tersebut, diharapkan kesejahteraan pengrajin batik di Lasem akan terangkat. “Saya dapat untung sedikit tidak apa, yang penting mereka bekerja. Sebagai pengusaha saya tahu kalau upah mereka layak, pekerjaan batik mereka juga memiliki kualitas baik. Kalau upah mereka kecil, mereka akan bekerja tidak rela dan batiknya bisa dikatakan rusak,” jelas Santoso (Wawancara, 17/04/2012). Batik Village Areas menawarkan empat kegiatan, yaitu pelatihan, perbaikan sarana umum, pameran, dan kemitraan. Pelatihan meliputi tingkat dasar September 2010, salah satu bank swasta ternama di Indonesia bersama Santoso mulai mempersiapkan program Batik Village Areas di Desa Sumber Girang dan Ngropoh. Dengan program tersebut, diharapkan kesejahteraan pengrajin batik di Lasem akan terangkat. “Saya dapat untung sedikit tidak apa, yang penting mereka bekerja. Sebagai pengusaha saya tahu kalau upah mereka layak, pekerjaan batik mereka juga memiliki kualitas baik. Kalau upah mereka kecil, mereka akan bekerja tidak rela dan batiknya bisa dikatakan rusak,” jelas Santoso (Wawancara, 17/04/2012). Batik Village Areas menawarkan empat kegiatan, yaitu pelatihan, perbaikan sarana umum, pameran, dan kemitraan. Pelatihan meliputi tingkat dasar
Peresmian Pelatihan Batik Tulis Lasem telah dilaksanakan pada Februari 2011. Bank swasta tersebut kemudian akan mengikutsertakan produk batik Lasem di pameran kerajinan khas Indonesia dalam skala Nasional maupun Internasional. Hal itu untuk mempermudah pemasaran batik Lasem. melihat kesulitan terbesar para pengrajin batik adalah tidak memiliki modal kerja yang mencukupi untuk membeli bahan baku batik. Akibatnya mereka hanya mengharapkan imbalan jasa dari pengusaha batik.
Untuk itu pihak Bank khususnya Kantor Cabang Rembang akan menyediakan pinjaman kemitraan maksimal lima juta rupiah untuk setiap keluarga pengrajin. Djarot menyebutkan pinjaman kemitraan juga bisa digunakan bagi perajin untuk melakukan usaha lainnya seperti memelihara sapi. Dalam kemitraan tersebut, Bank swasta yang memiliki Cabang di Rembang menggandeng Koperasi Karyawan Batik Tulis Lasem untuk mengumpulkan angsuran setiap harinya dan menyetorkannya kepada Bank tersebut setiap bulannya. Pada kesempatan peresmian Pelatihan Batik Tulis Lasem, Bupati Rembang Mochamad Salim menyampaikan apresiasi dan penghargaan kepada Bank tersebut atas prakarsa dan upaya dalam pelaksanaan program Batik Village Areas. "Dengan program tersebut produksi batik Lasem akan meningkat 10%-20% setiap tahunnya seiring peningkatan permintaan," demikian penjelasan Djarot (Wawancara, 17/04/2012).
Sedangkan menurut Kepala Dinas Indakop dan UMKM bapak Drs. H. Waluyo M. M, pihaknya akan terus mengupayakan untuk melestarikan batik Lasem. Deprindakop dan UMKM bekerjasama dengan Dekranasda memfasilitasi para pengrajin untuk mengikuti event batik nasional, seperti event yang diselenggarakan oleh Yayasan Batik Indonesia (YBI) belum lama ini dan pameran yang diselenggarakan oleh UNESCO awal bulan Oktober. Waluyo juga menjelaskan pihaknya akan mengadakan pameran Batik Tulis Lasem setiap beberapa tahun sekali di kota–kota besar Indonesia (Wawancara, 20/04/2012).