13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pangan
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia sehingga menjadikan pangan menjadi komoditas strategis. Pangan tidak saja berarti strategis secara
ekonomi, tetapi juga sangat berarti dari segi pertahanan dan keamanan, sosial dan politik . Pangan pokok ialah pangan yang muncul dalam menu sehari-hari,
mengambil porsi terbesar dalam hidangan dan merupakan sumber energi yang terbesar. Menurut Hasan 1998 pangan pokok utama ialah pangan pokok
yang dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk serta dalam situasi normal tidak dapat diganti oleh jenis komoditi lain.
Pangan pokok bagi masyarakat Indonesia adalah beras. Selain sebagai makanan yang di konsumsi setiap hari, beras sebagai pangan pokok
merupakan program pemerintah yang mulai diterapkan pada masa pemerintahan presiden Soeharto Hasan, 1998.
Jumlah penduduk Sumatera Utara yang mengkonsumsi beras sudah mencapai 98 dari jumlah penduduknya Badan Pusat Statistik Sumatera
Utara, 2013. Maka dari itu peran pangan beras bagi penduduk Sumatera Utara sangat vital.
2.2 Kebijakan Pemerintah Terhadap Pangan
Menurut Keynes dalam Deliarnov 2010 bahwa campur tangan pemerintah dalam perekonomian merupakan keharusan, apalagi jika terjadi
ketidakseimbangan. Intervensi Pemerintah dalam perekonomian meliputi seluruh aspek termasuk dalam ekonomi perberasan. Menurut Sanim dalam
Situmorang 2005 kebijakan adalah campur tangan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mempengaruhi secara sektoral magnitude dari suatu
aktivitas yang dilakukan masyarakat. Secara umum kebijakan ekonomi dapat dibedakan kedalam dua kategori yaitu kebijakan pada tingkat makro dan
tingkat mikro. Kebijakan pada tingkat makro meliputi kebijakan fiskal dan moneter
yang diarahkan
untuk menciptakan
kondisi kondusif
untuk menumbuhkembangkan produksi pangan, kelancaran distribusi dan
meningkatkan akses dan kemampuan masyarakat untuk memperoleh pangan yang cukup sesuai kebutuhannya. Pada tingkat mikro, diarahkan untuk
mewujudkan produktivitas usaha, efisiensi, pemerataan pendapatan, dan peningkatan daya saing Sudaryanto et al, 2000.
Campur tangan pemerintah dalam sektor perberas di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang, karena Pemerintah sudah menyadari
pentingnya ketahanan pangan demi keberlangsungan suatu negara. Berdasarkan sejarah, kebijakan pangan dan gizi di Indonesia telah ada sejak
masa Pemerintahan Sunan Amangkurat I 1645-1677, yang pada tahun 1655 melarang ekspor beras ke luar Pulau Jawa dikarenakan terjadinya kekeringan.
Walaupun kemudian harga beras berfluktuasi secara tajam dan cenderung naik, impor beras pertama ke Pulau Jawa baru terjadi pada tahun 1847. Maka
sejak saat itu, arus perdagangan beras bervariasi dari tahun ke tahun tergantung pada kondisi produksi beras domestik Wahab dan Gonarsyah,
1989. Dimulai dari tahun 1960-an, pemerintah Indonesia melakukan
berbagai kebijakan dalam sektor perberasan untuk mencapai ketahanan pangan sampai akhirnya berhasil melakukan swasembada beras pada tahun
1984. Tetapi swasembada beras ini hanya bertahan sampai tahun 1993. Indonesia perlu mengimpor beras untuk mencukupi kebutuhan konsumsi
penduduk terhadap beras. Kebijakan terus dilakukan pemerintah mulai dari subsidi input, kebijakan harga sampai kebijakan impor untuk mengatasi
permasalahan perberasan di Indonesia. Kebijakan Perberasan diatur dalam Instruksi Presiden INPRES No.
13 Tahun 2005, di dalam instruksi pemerintah ini dikatakan bahwa kebijakan perberasan nasional merupakan suatu paket kebijakan yang terdiri dari lima
elemen kebijakan. Elemen kebijakan tersebut adalah elemen peningkatan produksi, elemen diversifikasi, elemen kebijakan harga, elemen kebijakan
impor dan elemen distribusi beras untuk keluarga miskin RASKIN. Tujuan diciptakan kebijakan itu untuk melindungi petani dan konsumen dari dampak
negatif perdagangan internasional. Pada hakekatnya terdapat tiga aspek yang saling berkaitan dalam kebijakan pangan dan gizi yaitu aspek produksi,
distribusi dan konsumsi Wahab dan Gonarsyah, 1989. Kebijakan
pemerintah dalam bidang pertanian dapat klasifikasikan menjadi kebijakan harga, kebijakan diversifikasi, kebijakan peningkatan produksi, dan kebijakan
impor.
2.2.1 Kebijakan Harga
Amang dan Chrisman 1995 mengatakan bahwa harga merupakan salah satu variabel yang merupakan cerminan dari interaksi penawaran dan
permintaan yang bersumber dari sektor rumah tangga maupun industri. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak bisa menyerahkan mekanisme
pembentukan harga barang dan jasa kepada kekuatan pasar sepenuhnya. Campur tangan pemerintah terhadap komoditas strategis masih sangat
dibutuhkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Beras dianggap sebagai komoditas pangan strategis, karena komposisinya dalam
pengeluaran rumah tangga sangat besar bobotnya. Namun demikian, campur tangan pemerintah harus dilakukan secara hati-hati agar tidak sampai
berakibat ketidakstabilan atau kerugian bagi para pelaku pasar Amang dan Chrisman, 1995.
Ketidakstabilan harga antar musim terkait erat dengan pola panen dapat mempengaruhi kestabilan harga beras. Bila harga padi dilepas
sepenuhnya kepada mekanisme pasar, maka harga padi akan jatuh pada musim panen raya dan meningkat pesat pada musim paceklik.
Ketidakstabilan harga tersebut dapat merugikan petani sebagai produsen pada musim panen raya dan merugikan konsumen pada musim paceklik.
Maka berbagai kebijakan digunakan untuk mengamankan harga beras
Suryana, 2003. Kebijakan harga merupakan salah satu wujud campur tangan pemerintah dalam sektor perberasan. Menurut Sadli 2005,
kebijakan harga dasar merupakan harga terendah yang harus dijamin oleh pemerintah dalam rangka stabilitasi harga di tingkat produsen dan
konsumen. Kebijakan harga beras di Indonesia diajukan oleh Mears dan Afiff
pada tahun 1969. Falsafah dasar kebijakan tersebut berisikan beberapa komponen sebagai berikut : 1 menjaga harga dasar yang cukup tinggi
untuk merangsang produksi, 2 perlindungan harga maksimum yang menjamin harga yang layak bagi konsumen, 3 perbedaan yang layak antara
harga dasar dan harga maksimum untuk memberikan keuntungan yang wajar bagi swasta untuk penyimpanan beras, dan 4 hubungan harga yang wajar
antara daerah maupun terhadap harga internasional Amang, 1989. Dalam sektor perberasan, kebijakan harga merupakan kebijakan yang
paling menonjol yang bertujuan untuk menstabilisasi harga beras domestik dan perdagangan. Harga beras pada batas bawah dikendalikan oleh harga
dasar floor price dan pada batas atas dengan harga batas tertinggi ceiling price. Upaya Pemerintah dalam mempertahankan harga pada tingkat harga
dasar dengan membeli gabah dan beras pada saat penawaran berlimpah pada masa panen dan dilakukan injeksi beras ke pasar pada masa paceklik
untuk mempertahankan harga agar tidak terlalu tinggi untuk konsumen Sapuan, 1989. Penetapan harga dasar floor price sebagai instrument
kebijakan yang bertujuan meningkatkan produksi beras dan pendapatan
petani melalui pemberian jaminan harga guaranteed price yang wajar dan penetapan batasan harga eceran tertinggi ceiling price dengan tujuan
memberikan perlindungan kepada konsumen. Pada masa orde baru, kebijakan harga dasar sudah mulai dilakukan
pada musim tanam awal Repelita I yaitu pada tahun 19691970 dan berlangsung sampai saat ini. Harga dasar ini berubah berdasarkan Instruksi
Presiden Republik Indonesia Inpres tentang penetapan harga dasar gabah. Dalam penetapan Inpres ada beberapa macam harga dasar yang ditetapkan,
yaitu harga dasar gabah, harga pembelian gabah terendah dan harga pembelian beras oleh Badan Urusan Logistik BULOG.
BULOG Badan Urusan Logistik adalah lembaga yang dibentuk pemerintah untuk melaksanakan kebijakan stabilisasi harga, membeli beras
pada tingkat tertentu yang telah ditetapkan pemerintah, serta penyaluran beras untuk masyarakat rawan pangan dan dalam keadaan darurat Amang
dan Sawit, 2001. Ketentuan-ketentuan tentang harga pembelian gabah oleh BULOG dari petani di tingkat BULOG adalah: 1 Apabila harga gabah
sama atau di bawah harga dasar, maka untuk pengamanan harga dasar itu BULOG harus membeli gabah dari petani atau kelompok tani pada berbagai
tingkat kualitas sesuai dengan pedoman harga pembelian; 2 Apabila pembelian gabah oleh BULOG dilakukan di tempat petani, maka harga
pembelian adalah harga dasar dikurangi ongkos angkut ke gudang BULOG; dan 3 Apabila di suatu kecamatan tidak ada BULOG atau apabila BULOG
yang ada tidak mampu mengamankan harga dasar, maka BULOG dapat
menurunkan Satuan Tugas Satgas operasional pengadaan dalam negeri untuk melakukan pembelian langsung dari petani Amang dan Sawit, 1989.
Kebijakan harga dasar yang ditetapkan pemerintah dalam memperbaiki tingkat harga yang diterima petani, setelah tahun 1999 relatif
kurang efektif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini disebabkan harga dasar yang ditetapkan pemerintah jauh diatas harga paritas
impor, sehingga membanjirnya beras impor yang masuk Indonesia Kariyasa, 2003 Ketidakefektifan harga dasar gabah HDG membuat
pemerintah mulai menggagas harga dasar pembelian pemerintah HDPP yang tidak lain merupakan transisi menuju pelepasan harga gabah ke pasar
Cahyono, 2001. Kebijakan harga dasar gabah berubah menjadi kebijakan dasar pembelian pemerintah mulai tahun 2002 Krisnamurthi, 2002.
Perbedaan gambar tersebut dapat dilihat Gambar 2.1 a dan 2.1 b.
Gambar 2.1 Kurva Pembentukan Harga Dasar Gabah dan Harga Dasar
Pembelian Pemerintah
Gambar a Harga dasar gabah Gambar b Harga dasar pembelian pemerintah
Sumber :
Mears, L. A. dan S. Afiff, 1969 “An Operational rice Price Policy For Indonesia
”.
Gambar 2.1 a menunjukkan bahwa pada saat panen raya, petani
atau produsen akan mengalami peningkatan produksi padi yang akan menggeser kurva penawaran ke kanan S
→ S’. Akibat peningkatan produksi, maka harga akan turun sebesar P2. Untuk melindungi petani dari
kerugian, maka pemerintah membuat kebijakan harga dasar gabah sebesar P3. Kondisi ini akan membuat pemerintah harus membeli surplus
penawaran sebesar M-N dari petani. Hal tersebut membutuhkan dana yang cukup besar, karena kapan pun, dimana pun pemerintah harus membeli padi
atau beras sebesar surplus penawaran yang ada. Pada Gambar 2.1 b dapat dilihat ketika harga berada pada P1,
jumlah barang yang diminta berada pada Q1. Kemudian jumlah barang bertambah menjadi Q2 menurunkan harga menjadi P2. Kemudian
S S
S’ S’
D konsumen D
M N
Q2 Q1 Q3
P2 P3
P1
Q1 Q2
Q3 HD
G D konsumen +
pemerintah
P2 P3
P1
pemerintah menambah jumlah barang menjadi Q3, namun menaikkan harganya dari P2 menjadi P3. Hal ini dilakukan agar produsen atau petani
tidak dirugikan dengan harga padi yang murah pada saat musim panen. Pembelian gabah oleh pemerintah dilakukan untuk mengatasi permasalahan
harga padi yang murah pada saat panen raya Sukirno, 1994. Pembelian pemerintah terhadap penawaran petani sebanyak proporsi yang tertentu.
Dengan adanya proporsi yang dilakukan akan memudahkan pemerintah untuk melakukan penganggaran, perencanaan dan kalkulisasi anggarannya.
Dalam dinamika perberasan nasional, Indrawati 1997 menganalisis bahwa pada masa Orde Baru kebijakan perberasan bertujuan untuk
menciptakan stabilisasi harga dan intensifikasi produksi agar tercapai peningkatan penawaran beras. Kebijakan stabilisasi harga ditempuh dengan
menggunakan instrumen stok cadangan buffer stock maupun pengaturan harga administered price. Pemerintah setiap tahun menentukan harga
dasar floor price bagi produsen dan harga tertinggi ceiling price bagi konsumen. Bulog bertanggung jawab untuk menjamin harga beras berada
diantara harga tertinggi dan terendah tersebut dengan melakukan operasi pasar dan pendistribusian Amrullah, 2005.
2.2.2 Kebijakan Diversifikasi
Diversifikasi pangan merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang dijadikan sebagai salah satu pilar utama dalam pembangunan
ketahanan pangan. Dilihat dari segi fisiologis, manusia untuk dapat hidup,
sehat dan aktif memerlukan 40 jenis zat gizi yang dihasilkan oleh bebeapa bahan pangan. Tidak ada satupun jenis pangan yang lengkap gizinya kecuali
ASI Martianto, 2005. Upaya untuk membangun diversifikasi makanan telah dilakukan
sejak tahun 1960-an, yang mana merencanakan bahan pangan lain selain beras. Secara eksplisit pemerintah mencanangkan kebijakan diversifikasi
pangan melalui Inpres No. 14 tahun 1974 tentang perbaikan menu makanan rakyat UPMMR, kemudian dilakukan penyempurnaan melalui Inpres No.
20 Tahun 1979. Instruksi ini menekankan keanekaragaman jenis pangan dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat baik dalam segi kuantitas dan
kualitas. Tujuan dari instruksi presiden ini adalah untuk menurunkan tingkat
konsumsi terhadap beras, karena diversifikasi konsumsi hanya diartikan pada penganekaragaman pangan pokok. Diversifikasi tidak bertujuan
sebagai usaha pemerintah untuk mengganti bahan pangan beras menjadi bahan pangan lain sebagai makanan pokok.
Dalam usaha perwujudan ketahanan pangan pada umumnya dan diversifikasi konsumsi pangan pada khususnya dituangkan dalam Program
Pembangunan Nasional PROPENAS, yang bertujuan untuk meningkatkan konsumsi dan konsumsi yang lebih beragam Krisnamurthi, 2006.
2.2.3 Kebijakan Peningkatan Produksi Beras
Kebijakan Pemerintah dalam peningkatan produksi adalah dengan menekan angka impor dan meningkatkan jumlah produksi dan produktivitas
padi. Kebijakan ini sejalan dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, maka diperlukan perbaikan dan penyempurnaan
diberbagai aspek, baik tehnik budidaya maupun kelembagaan pendukung. Program intensifikasi bertujuan untuk meningkatkan produktivitas
dengan menggunakan daya dan dana dengan optimal. Intensifikasi meliputi: 1 Penyediaan air yang cukup pada waktu yang ditentukan, 2
Penggunakan benih unggul, 3 penyediaan pupuk yang cukup, dan 4 cara bercocok tanam yang baik DEPTAN, 2008.
2.2.4 Kebijakan Impor
Impor merupakan suatu kegiatan memasukkan barang-barang dari luar negeri sesuai dengan ketentuan pemerintah ke dalam peredaran dalam
masyarakat yang dibayar dengan mempergunakan valuta asing Amir, 1999.
Teori perdagangan internasional Hecksher – Ohlin dalam Salvatore
2006 mengatakan bahwa negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau murah dalam memproduksikannya akan melakukan
spesialisasi produksi untuk kemudian mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut
memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal untuk melakukan
produksi. Teori ini sering disebut dengan teori kepemilikan faktor Factor Endowment Theory.
Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor suatu negara Syamsurizal, 1990 yaitu:
1. Harga impor relatif terhadap harga domestik, importir akan mengimpor suatu produk pada saat harga relatif impor lebih murah dibandingkan
dengan harga produk domestik. 2. Produk Domestik Bruto PDB negara pengimpor, dalam teori dasar
perdagangan internasional dinyatakan bahwa impor merupakan fungsi dari pendapatan. Semakin besar pendapatan menyebabkan impor
semakin meningkat. Mekanisme seperti ini dapat dijelaskan dengan dua lajur yaitu :
a Kenaikan PDB menyebabkan meningkatnya tabungan domestik yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan barang-
barang modal atau bahan mentah sebagai input dalam proses produksi. Biasanya pada negara sedang berkembang terdapat kelangkaan baik
berupa barang modal maupun bahan mentah, sehingga harus melakukan impor.
b Pada umumnya di negara sedang berkembang, kenaikan PDB yang menyebabkan meningkatnya kesejahteraan tetapi diikuti pula oleh
perubahan selera yang semakin menggemari produk impor. Menggunakan produk impor memberikan simbol tersendiri bagi
seorang konsumen, sehingga secara tidak langsung impor meningkat sejalan dengan peningkatan PDB.
3. Barang substitusi, semakin maju perkembangan negara-negara di dunia ditandai dengan perkembangan teknologi.
Pemerintah melakukan impor beras dengan tujuan : 1 sebagai keperluan stabilisasi harga, penanggulangan keadaan darurat masyarakat
miskin dan kerawanan pangan adalah pengadaan beras dari luar negeri sebagai cadangan yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan pemerintah, 2
untuk memenuhi
kebutuhan tertentu
terkait dengan
faktor kesehatandietary, dimana jenis beras ini belum dapat diproduksi dalam
negeri, 3 untuk pemenuhan kebutuhan beras hibah atau yang disebut dengan RASKIN, dimana pemerintah memberikan kepada masyarakat
tidak untuk diperdagangkan Kementerian Perdagangan, 2010
2.3 Teori Penawaran
Penawaran adalah banyaknya komoditas pertanian yang ditawarkan petani. Hukum penawaran pada dasarnya menyatakan semakin tinggi harga terhadap
barang tersebut akan meningkatkan penawaran dengan asumsi harga barang lain tetap. Penawaran total suatu barang adalah jumlah seluruh produksi dalam satu
periode ditambah sisa penawaran yang lalu. Kurva Penawaran menggambarkan jumlah maksimum barang-barang yang diproduksi untuk dijual suatu saat pada
berbagai taraf harga barang Bishop dan Toussaint, 1986.
P S
C B
A
Q
Sumber : Sodono Sukirno, “ Pengantar Ekonomi Mikro” Hubungan harga dan jumlah barang tercermin langsung pada penawaran,
dimana hukum penawaran menyatakan jika terjadi kenaikan harga akan meningkatkan jumlah penawaran oleh produsen, dengan anggapan bahwa harga
barang lain tetap Kadariah, 1994. Kurva Penawaran dapat dijelaskan pada Gambar 2.2
Gambar 2.2 Kurva Penawaran Produsen
Gambar 2.2 dapat dilihat titik keseimbangan akan berubah jika terjadi perubahan harga. Pada Gambar ini menjelaskan bahwa tingkat harga akan
mempengaruhi jumlah penawaran suatu barang, dengan asumsi bahwa faktor lain tetap. Pada awalnya keseimbangan berada pada titik A, kemudian bergerak naik
menjadi ke titik B dikarenakan tingkat harga naik dan meningkatkan penawaran. Begitu juga dengan titik B berubah menjadi titik C yang dikarenakan tingkat
harga naik dan mengakibatkan jumlah barang yang ditawarkan naik.
Konsep penawaran menunjukan perilaku produsen di suatu pasar. Jumlah penawaran berhubungan terhadap faktor
–faktor yang yang ditawarkan seperti harga, harga input yang digunakan untuk memproduksi suatu barang dan harapan
produsen di masa yang akan datang. Penawaran individu adalah penawaran yang dilakukan individu produsen. Menurut Soekartawi 1993 jumlah permintaan akan
sama dengan jumlah produksi yang ditawarkan, sedangkan penawaran agregat merupakan penjumlahan dari penawaran individu.
Faktor yang mempengaruhi jumlah penawaran oleh produsen adalah sebagai berikut :
a. Harga Produk