Qaradhawi Dan Perayaan-Perayaan Bid’ah

11. Qaradhawi Dan Perayaan-Perayaan Bid’ah

Telah diketahui bahwasanya tidak ada dalam agama kita hari raya yang lebih banyak dari hari-hari raya yang telah disyariatkan Allah dan Rasul-Nya, yaitu Idul Adhha, Idul Fithri, dan hari Jum’at. Adapun perayaan-perayaan yang bersumber dari musuh-musuh Islam adalah hari raya yang kita tidak mengakuinya dan tidak mengimaninya dengan dua catatan :

1. Bila merayakan hari-hari raya mereka dalam rangka beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah maka ini adalah bid’ah dalam din Allah selain hal itu juga berarti

tasyabbuh (menyerupai) mereka.

2. Bila merayakan tidak dengan maksud beribadah akan tetapi hanya meniru dan mencontoh mereka dalam hari raya mereka maka di sini terdapat perbuatan

tasyabbuh dengan mereka dan itu diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya.

Adapun Qaradhawi telah ditanya seputar masalah hari-hari raya ini maka ia memberi fatwa yang bertentangan dengan Al Kitab dan As Sunnah serta para ulama ummat. Inilah pernyataannya ketika salah seorang wartawan bertanya :

“Apakah Anda merayakan hari kelahiran istri Anda?” Dia menjawab : Aku menyukai setiap hal-hal yang bersangkutan dengan istriku, aku merayakan hari

perkawinanku setiap tahun akan tetapi aku mempunyai pendapat dalam masalah perayaan hari kelahiran (ulang tahun). Aku tidak mengatakan itu adalah haram akan tetapi aku melihat bahwa itu adalah semacam taklid buta terhadap orang-orang Barat dalam adat dan kebiasaan mereka. Kita tidak diharuskan merayakan hari lahir setiap tahun. Akan tetapi aku berpendapat wajib bagi setiap insan untuk merenung pada hari ulang tahunnya unruk mengintrospeksi diri apa yang telah aku kerjakan untuk kehidupanku. Kebaikan apakah yang telah aku sia-siakan. Seperti yang di dalam ilmu ekonomi dinamakan sebagai perhitungan akhir.

Akan tetapi berkaitan dengan anak-anak maka terdapat perayaan-perayaan yang syar’i. Apabila anak tersebut dilahirkan, kita merayakannya setelah satu minggu. Kita menyembelih seekor atau dua ekor kambing sebagai akikah. Dan aku berpendapat bahwa anak setelah berusia tujuh tahun kita merayakan si anak dan mengatakan kepadanya ini adalah saat untuk shalat. Kita berikan padanya mainan dan manisan (kembang gula) dan hadiah yang sesuai. Pada saat usia sepuluh tahun, kita rayakan perayaan yang lain seraya berkata padanya ini perayaan masa dipukulnya engkau, engkau telah dan tidak hanya diperintahkan untuk shalat. Akan tetapi engkau akan kena pukul apabila engkau melalaikannya. Ini adalah sebagai pengamalan terhadap hadits :

“Perintahkan anak-anakmu untuk melakukan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka tatkala berumur sepuluh tahun (jika tidak mengerjakannya).”

Yang dimaksud perayaan di sini adalah tertanamnya kesadaran dalam benak anak tersebut bahwa shalat tersebut adalah hal yang penting. Maka kita adakan perayaan baginya. Dan pada saat umur kelima belas, kita mengadakannya kembali dan berkata ini adalah usia dimana engkau telah terkena taklif (kewajiban). Engkau bertanggung jawab di hadapan Allah atas segala tindak-tandukmu dan akan dituliskan bagimu kebaikan dan keburukan. Dan apabila ia berhasil atau telah menunaikan pekerjaan yang bagus atau memenangkan perlombaan, kita adakan perayaan. Akan tetapi ini bukanlah halangan apabila seorang suami merayakan hari ulang tahun istrinya dengan mengucapkan selamat ulang tahun dan semoga Anda tetap sehat. Ataupun memberikan hadiah Yang dimaksud perayaan di sini adalah tertanamnya kesadaran dalam benak anak tersebut bahwa shalat tersebut adalah hal yang penting. Maka kita adakan perayaan baginya. Dan pada saat umur kelima belas, kita mengadakannya kembali dan berkata ini adalah usia dimana engkau telah terkena taklif (kewajiban). Engkau bertanggung jawab di hadapan Allah atas segala tindak-tandukmu dan akan dituliskan bagimu kebaikan dan keburukan. Dan apabila ia berhasil atau telah menunaikan pekerjaan yang bagus atau memenangkan perlombaan, kita adakan perayaan. Akan tetapi ini bukanlah halangan apabila seorang suami merayakan hari ulang tahun istrinya dengan mengucapkan selamat ulang tahun dan semoga Anda tetap sehat. Ataupun memberikan hadiah

Pembaca, ini adalah perkataan Qaradhawi sesuai dengan teksnya. Demi menjelaskan penyelisihannya terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dan yang terkandung di dalamnya maka aku katakan :

Pertama, tentang kebiasaan Qaradhawi merayakan hari perkawinannya bersama istrinya setiap tahun maka tidaklah ada hari raya yang dinamakan hari raya pernikahan di dalam Islam. Dan merayakan hari pernikahan setiap tahun belumlah pernah terjadi di zaman Salaf, baik dari para shabahat ataupun para pengikutnya dari kalangan ulama ataupun para imam. Tidak lain perayaan tersebut berasal dari perbuatan Yahudi dan Nashara.

Kedua, perkataannya : Aku tidak mengatakan bahwa merayakan ulang tahun adalah haram akan tetapi aku

berpendapat bahwa itu adalah semacam taklid buta terhadap orang-orang Barat dalam adat serta kebiasaan mereka.

Pembaca, saya kira pertentangan yang ada dalam perkataan Qaradhawi jelas sekali. Hal itu karena ia tidak berpendapat haramnya perayaan-perayaan tersebut. Tetapi di sisi lain ia berpendapat bahwa itu adalah semacam taklid kepada Barat. Berdasarkan hal ini maka mungkin saja ia (Qaradhawi) berpendapat bahwa taklid buta kepada Barat tidak haram dan ini tidaklah mengherankan karena ia telah mengajak untuk mencintai mereka dan ini menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah serta ijma’ umat Islam sebagaimana akan dijelaskan secara rinci. Atau ia berpendapat bahwa tidak boleh mengikuti (taklid) kepada orang kafir dalam perbuatan-perbuatan mereka dan perayaan-perayaan mereka maka terjadilah pertentangan dalam perkataannya.

Ketiga, perkataannya : Akan tetapi berkaitan dengan anak-anak maka kita mempunyai perayaan-perayaan

yang syar’i. Maka kami menjawabnya, dari manakah Anda dapatkan dalil tentang disyariatkannya

perayaan-perayaan yang tidak ada sedikitpun perintah Allah ini?! Apakah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah merayakannya untuk Al Hasan dan Al Husain, tuannya para pemuda penduduk surga dengan perayaan-perayaan yang kau sebutkan ini?!!!

Lagipula, adakah salah seorang shahabat merayakannya, baik para khalifahnya (dari Khulafa’ur Rasyidin, peny.) ataupun yang lainnya? Adakah salah seorang imam dari imam-imam kaum Muslimin merayakannya? Jawabnya adalah tidak! Maka seandainya hal ini belum pernah terjadi di masa mereka maka dari manakah letak disyariatkannya? Kecuali apabila ia menginginkan bahwa perayaan tersebut disyariatkan dalam ajaran Ahli Kitab. Karena ia tidak menyukai untuk menyesakkan hati-hati mereka dan menjadikan mereka marah maka ia mengajak untuk melakukan perayaan dengan tujuan mencari keridhaan Ahli Kitab.

Maka kami katakan padanya, benar, sesungguhnya hal tersebut memang termasuk dari bualan mereka, maka itu adalah urusanmu dan Ahlul Kitab. Adapun Muslimin mereka berpendapat tentang haramnya tasyabbuh dengan mereka setelah mereka mengetahui dalil-dalil yang mengharamkan hal tersebut. Diantaranya firman Allah Subhanahu wa

Ta'ala : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) raa’ina

tetapi katakanlah unzhurna dan dengarlah. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al Baqarah : 104)

Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini : “Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari perbuatan menyerupai orang-

orang kafir dalam perkataan dan perbuatan mereka. Hal ini karena Yahudi mementingkan perkataan yang mengandung tauriyah (dalamnya buruk, zahirnya baik) dengan maksud merendahkan Muslimin, bagi merekalah laknat Allah.”

Allah berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah)

menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al An’am :

Dan firman Allah : “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih

sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Bagi mereka azab yang pedih.”

(QS. Ali Imran : 105)

Yang dimaksud dengan kalimat, dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai adalah Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani.

Dan firman Allah : “Dan tidaklah berpecah-belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka)

melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS. Al Bayyinah : 4) Syaikhul Islanm rahimahullah berkata : “Sungguh Allah telah berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : Tidaklah engkau bertanggung jawab kepada mereka sedikitpun. Ini menunjukkan berlepas dirinya Nabi dari mereka dalam segala hal. Dan barangsiapa

yang mengikuti selain Nabi dalam perkara-perkara yang beliau ajarkan maka ia termasuk golongan orang tersebut dalam masalah itu.” (Iqtidha As Shirath Al

Mustaqiim, halaman 46)

Diantaranya, sebagaimana tersebut dalam Shahih Bukhari dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahwa beliau bersabda :

“Berbedalah dengan orang-orang musyrik.” Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu ia berkata, Nabi Shallallahu

'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Berbedalah dengan orang Majusi.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Lafaz mukhalafat al musyrikin (berbeda dengan orang musyrik) adalah dalil bahwa

semua jenis dari sikap berbeda adalah dimaksudkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.”

(Iqtidha As Shirath Al Mustaqiim : 59)

Dan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan untuk menyelisihi mereka dalam masalah ibadah dalam hadits dari Syaddad bin Aus radliyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Berbedalah dengan Yahudi, maka sesungguhnya mereka tidak shalat dengan menggunakan sandal ataupun sepatu mereka.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh