Bifurkasi Hopf Pada Model Mangsa Pemangsa Tipe Leslie Dengan Fungsi Respons Holling Tipe Iii

BIFURKASI HOPF PADA MODEL MANGSA-PEMANGSA
TIPE LESLIE DENGAN FUNGSI RESPONS
HOLLING TIPE III

VIVIE SUNDARI

DEPARTEMEN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Bifurkasi Hopf pada
Model Mangsa-pemangsa Tipe Leslie dengan Fungsi Respons Holling Tipe III
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2016
Vivie Sundari
NIM G54120025

ABSTRAK
VIVIE SUNDARI. Bifurkasi Hopf pada Model Mangsa-Pemangsa Tipe Leslie
dengan Fungsi Respons Holling Tipe III. Dibimbing oleh ALI KUSNANTO dan
JAHARUDDIN.
Mangsa-pemangsa merupakan salah satu fenomena alam yang dipelajari
untuk studi dampak keseimbangan alam yang diakibatkan oleh dua spesies yang
berinteraksi. Terdapat beberapa model matematis untuk memodelkan peristiwa
mangsa-pemangsa. Dalam karya ilmiah ini direkonstruksi model mangsa-pemangsa
Tipe Leslie dengan fungsi respons Holling tipe III. Simulasi dilakukan untuk
melihat pengaruh parameter terhadap kestabilan sistem. Dengan memilih nilai
parameter yang tepat, diperoleh satu sampai dengan empat titik tetap. Dinamika
populasi mangsa-pemangsa pada model ini dibagi menjadi empat kasus. Pada kasus
kedua, terjadi perubahan kestabilan titik tetap dari spiral stabil menjadi spiral
takstabil, disertai adanya kemunculan limit cycle. Kemunculan limit cycle tersebut

menandakan terjadi bifurkasi Hopf.
Kata kunci: bifurkasi Hopf , Holling tipe III, limit cycle, mangsa-pemangsa.

ABSTRACT
VIVIE SUNDARI. Hopf Bifurcations in Predator-Prey System of Leslie Type with
Holling Type III of Response Functional. Supervised by ALI KUSNANTO and
JAHARUDDIN.
The occurance of predator-prey is a natural phenomenon which is intended to
study the impact of the natural balance caused by two interacting species. There are
several mathematical models to describe prey predator events. In this paper we
analyzed predator-prey model of Leslie type with Holling type III of response
functional. The simulations are conducted to reveal the parameters influence on the
stability of the system. By choosing appropriate parameter values, we may obtaine
one to four equilibrium points. The prey predator population dynamics was
simulated based on four cases. In the second case, the stable spiral changed into an
unstable spiral with existence of a limit cycle. The presence of limit cycle shows
the occurence of the Hopf bifurcation.
Keywords: Holling type III, Hopf bifurcations, limit cycle, prey-predator.

BIFURKASI HOPF PADA MODEL MANGSA-PEMANGSA

TIPE LESLIE DENGAN FUNGSI RESPONS
HOLLING TIPE III

VIVIE SUNDARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Matematika

DEPARTEMEN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil

diselesaikan. Judul karya ilmiah ini adalah Bifurkasi Hopf pada Model Mangsapemangsa Tipe Leslie dengan Fungsi Respons Holling Tipe III. Penyusunan karya
ilmiah ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1 Keluarga tercinta: Ayah Aden Djalaludin dan Ibu Erlin Herlina serta adik
Ramadihasan Fadillah yang selalu memberikan doa, motivasi dan kasih sayang
tiada henti,
2 Bapak Drs Ali Kusnanto, MSi dan Bapak Dr Jaharuddin, MS selaku dosen
pembimbing atas segala kesabaran, ilmu, saran dan motivasinya, serta Bapak
Dr. Paian Sianturi selaku dosen penguji.
3 Staf tata usaha Departemen Matematika IPB.
4 Nurlita Fikadhilla selaku sahabat yang telah memberikan motivasi,
mengingatkan, dan menyemangati selama ini,
5 Teman-teman “Ameroet” (Aca, Nenden, Fika, Laras, Aisyah, Syifa,
Novitadayanti, dan Yuli) yang senantiasa memberikan warna yang lebih indah
selama di Departemen Matematika IPB,
6 Teman-teman mahasiswa Matematika 49 yang senantiasa berjuang bersamasama dan saling memotivasi,
7 Kakak- kakak mahasiswa Matematika 48, teman-teman mahasiswa Matematika
50 dan 51 terima kasih atas doa dan semangatnya selama ini,
8 Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Mei 2016
Vivie Sundari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

DAFTAR TABEL

x


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

LANDASAN TEORI

2

HASIL DAN PEMBAHASAN

8


Pemodelan

8

Pembahasan

9

Analisis Kestabilan Titik Tetap � =

Analisis Kestabilan Titik Tetap � ∗ =

Bifurkasi Hopf

,



11

,



SIMULASI NUMERIK

11
18
21

Dinamika Populasi Mangsa-Pemangsa Kasus (a)

22

Dinamika Populasi Mangsa-Pemangsa Subkasus (b1)

23

Dinamika Populasi Mangsa-Pemangsa kasus (c)


25

Dinamika Populasi Mangsa-Pemangsa Subkasus (b2)

26

SIMPULAN DAN SARAN

31

Simpulan

31

Saran

31

DAFTAR PUSTAKA


32

LAMPIRAN

33

RIWAYAT HIDUP

60

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9


Pemilihan nilai parameter model
Titik tetap, nilai eigen dan kestabilan pada kasus (a)
Titik tetap, nilai eigen dan kestabilan pada subkasus (b1)
Titik tetap, nilai eigen dan kestabilan pada kasus (c)
Nilai parameter subkasus (b2)
Titik tetap, nilai eigen dan kestabilan pada subkasus (b2)
Titik tetap, nilai eigen dan kestabilan pada subkasus (b2), β=0.9
Titik tetap, nilai eigen dan kestabilan pada subkasus (b2), β=0.27
Titik tetap, nilai eigen dan kestabilan pada subkasus (b2), β=0.5

22
22
23
25
26
26
27
28
29

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Bidang fase kasus (a)
Bidang solusi mangsa
Bidang solusi pemangsa
Bidang fase kasus (b1) limit cycle
Bidang fase kasus (b1)
Bidang fase kasus (b1)
Bidang solusi mangsa subkasus (b1)
Bidang solusi pemangsa subkasus (b1)
Bidang fase kasus (c)
Bidang solusi mangsa
Bidang solusi pemangsa kasus (c)
Bidang fase pada subkasus (b2) dengan β=0.9
Bidang solusi mangsa subkasus (b2) dengan β=0.9
Bidang solusi pemangsa subkasus (b2) dengan β=0.9
Bidang fase pada subkasus (b2) dengan β=0.27
Bidang solusi mangsa subkasus (b2) dengan β=0.27
Bidang solusi pemangsa subkasus (b2) dengan β=0.27
Bidang fase pada subkasus (b2) dengan β=0.5
Bidang solusi mangsa subkasus (b2) dengan β=0.5
Bidang solusi pemangsa subkasus (b2) dengan β=0.5

22
23
23
24
24
24
24
24
25
26
26
27
27
27
28
29
29
30
30
30

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Penondimensionalan model
Penentuan titik tetap
Penentuan matriks Jacobi
Titik tetap pada kasus (a)
Titik tetap pada kasus (c)
Program plot bidang fase kasus (a) (Gambar 1)

33
35
36
37
38
40

7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Program plot bidang solusi mangsa kasus (a) (Gambar 2)
Program plot bidang solusi pemangsa kasus (a) (Gambar 3)
Program plot bidang fase subkasus (b1) limit cycle (Gambar 4)
Program plot bidang fase subkasus (b1) (Gambar 5)
Program plot bidang fase subkasus (b1) (Gambar 6)
Program plot bidang solusi mangsa subkasus (b1) (Gambar 7)
Program plot bidang solusi pemangsa subkasus (b1) (Gambar 8)
Program plot bidang fase kasus (c) (Gambar 9)
Program plot bidang solusi mangsa kasus (c) (Gambar 10)
Program plot bidang solusi pemangsa kasus (c) (Gambar 11)
Program plot bidang fase subkasus (b2) dengan β=0.9 (Gambar 12)
Program plot bidang solusi mangsa subkasus (b2) dengan β=0.9
Program plot bidang solusi pemangsa subkasus (b2) dengan β=0.9
Program plot bidang fase subkasus (b2) dengan β=0.27
Program plot bidang solusi mangsa subkasus (b2) dengan β=0.27
Program plot bidang solusi pemangsa subkasus (b2) dengan β=0.27
Program plot bidang fase subkasus (b2) dengan β=0.5
Program plot bidang solusi mangsa subkasus (b2) dengan β=0.5
Program plot bidang solusi pemangsa subkasus (b2) dengan β=0.5

41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam ekosistem, terjadi hubungan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya yang cukup kompleks dan saling memengaruhi. Dalam pola
interaksi hubungan tersebut ikut dilibatkan terjadinya siklus biogekimia, yaitu
sejumlah aliran energi dan juga rantai makanan. Aliran energi merupakan
hubungan saling ketergantungan antar spesies, aliran energi tersebut dapat
berdampak positif bagi keduanya (simbiosis mutualisme), berdampak negatif bagi
keduanya (persaingan), maupun dapat berdampak positif bagi salah satu spesies
dan berdampak negatif bagi spesies yang lain (mangsa-pemangsa). Rantai
makanan merupakan lintasan konsumsi makanan yang melibatkan beberapa
spesies. Bagian paling sederhana dari rantai makanan berupa interaksi antara
spesies mangsa (prey) dan spesies pemangsa (predator).
Populasi mangsa memunyai persediaan cukup di dalam lingkungannya,
sedangkan populasi pemangsa memiliki makanan yang bergantung pada jumlah
mangsa. Apabila populasi mangsa terbatas, maka populasi pemangsa akan
mengalami penurunan sesuai dengan jumlah proporsi mangsanya. Oleh karena itu,
hubungan antara mangsa-pemangsa sangat erat. Tanpa adanya mangsa, pemangsa
kemungkinan besar tidak dapat hidup. Dalam hal ini pemangsa berfungsi sebagai
pengendali populasi mangsa. Berdasarkan fungsi predator itulah terbentuk
keseimbangan jumlah populasi dari mangsa-pemangsa.
Interaksi antara mangsa-pemangsa dapat diilustrasikan dalam suatu model
matematika yang terdiri atas satu atau lebih persamaan maupun pertaksamaan.
Persamaan ini dapat melibatkan variabel dengan turunan-turunannya yang
selanjutnya disebut persamaan diferensial.
(1959) memperkenalkan fungsi respons. Fungsi respons dalam ekologi
adalah jumlah makanan yang dimakan oleh pemangsa sebagai fungsi kepadatan
makanan. Secara umum fungsi respons bergantung pada banyak faktor, misalnya
kepadatan mangsa, efisiensi pemangsa dalam mencari dan membunuh mangsanya,
waktu penanganan, dan lain-lain. Dalam hal ini fungsi respons dibagi atas tiga
macam, yaitu fungsi respons tipe I, tipe II, dan tipe III (Garrot et al. 2009).
Fungsi respons tipe I terjadi pada pemangsa yang memiliki karakteristik
pasif, artinya pemangsa tersebut lebih suka menunggu mangsanya. Fungsi respons
tipe II terjadi pada pemangsa yang memiliki karakteristik aktif dalam mencari
mangsanya. Fungsi respons tipe III terjadi pada pemangsa yang akan mencari
populasi mangsa lain ketika populasi mangsa yang dimakannya mulai berkurang.
Bifurkasi adalah perubahan kestabilan yang terjadi pada penyelesaian
persamaan diferensial ketika melewati sebuah titik kritis. Pada penelitian ini
dibahas tentang analisis kestabilan dan bifurkasi Hopf pada model mangsapemangsa tipe Leslie dengan fungsi respons Holling Tipe III.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
Merekonstruksi model mangsa-pemangsa tipe Leslie dengan perumuman
fungsi respons Holling tipe III yang dituliskan oleh Huang et al. (2013),
2 Menganalisis kestabilan model mangsa-pemangsa tipe Leslie dengan
perumuman fungsi respons Holling tipe III yang sudah
dinondimensionalkan,
3 Menunjukkan adanya bifurkasi Hopf pada model tersebut.
1

LANDASAN TEORI
Sistem Persamaan Diferensial
Sistem persamaan diferensial ordo satu dengan persamaan dan
fungsi yang tak diketahui , , … , dapat ditulis sebagai berikut:
dengan

̇

=

= ( ⋮ ),

buah

, ,
(

=

(



).

Jika linear, maka sistem persamaan diferensial di atas disebut linear, sebaliknya
jika tidak linear maka sistem persamaan diferensial di atas disebut taklinear.
Jika tidak bergantung secara eksplisit pada t, yaitu
, =
, maka
disebut sistem persamaan diferensial mandiri (Braun 1983).
Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial sebagai berikut:
̇=

Titik ∗ disebut titik tetap jika memenuhi
kritis atau titik kesetimbangan (Tu 1994).

,

ℝ .


= . Titik tetap disebut juga titik

Misalkan titik ∗ adalah titik tetap sebuah sistem persamaan diferensial
mandiri dan
adalah solusi yang memenuhi kondisi awal
=
dengan


≠ . Titik
dikatakan titik tetap stabil jika ∀ > , ∃ > dengan | −
∗|
< , maka |
− ∗ | < , ∀ > . Titik ∗ dikatakan titik tetap takstabil
jika ∃ > , ∀ > dengan | − ∗ | < , maka |
− ∗|
, ∀ >
(Verhulst 1990).
Untuk suatu sistem persamaan diferensial tak linear, analisis kestabilannya
dilakukan melalui pelinearan. Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial
dengan dua persamaan dan dua peubah seperti berikut:

3
̇=

,

̇=

,

,

(1)

.

∗ ∗
Misalkan ∗ , ∗ adalah titik tetap dari persamaan (1), maka
,
=
∗ ∗


,
= . Misalkan = − dan = − , maka didapatkan:


̇ = ̇=
̇= ̇=



+ ,
+ ,





+
+

dan

,
.

Dengan melakukan pendekatan ekspansi Taylor dua peubah, maka didapatkan
sistem sebagai berikut:
̇ =



,



+

+

+�

,

,

̇=



,



+

+

+�

,

,

=

=

+

+�

+

,

+�

,

,

,

,

(2)

.

Persamaan (2) dapat dituliskan dalam bentuk matriks sebagai berikut:

̇
[ ]=
̇

[

]

[ ]+�

,

,

.

Karena � , ,
→ artinya nilai dari � , ,
mendekati nol, maka
nilainya dapat diabaikan. Oleh karena itu, didapatkan persamaan linear:

dengan matriks A yaitu:

̇
[ ] = � [ ],
̇
�=

[

(3)

]

.

Matriks � merupakan matriks Jacobi yang dievaluasi di titik tetap
Bentuk (3) disebut model linear dari model taklinear (1) (Strogatz 1994).



,



.

4
Misal A adalah sebuah matriks berukuran n x n, maka sebuah vektor tak nol
di ℝ dinamakan vektor eigen dari A, jika � adalah kelipatan skalar dari ,
yaitu:
� =� ,

untuk suatu skalar �. Skalar � ini dinamakan nilai eigen dari A, sedangkan
dinamakan vektor eigen yang bersesuaian dengan �.

Untuk mencari nilai eigen dari matriks A yang berukuran n x n, maka
dituliskan kembali � = � sebagai:
atau
�−�

� =� ,
= ,

(4)

dengan
merupakan matriks identitas. Persamaan (4) akan memunyai
penyelesaian tak nol jika dan hanya jika:
det � − �

= .

(5)

Persamaan (5) dinamakan persamaan karakteristik � (Anton 1987).

Analisis Kestabilan
Misalkan diberikan system persamaan diferensial yang memiliki bentuk
seperti berikut:
̇=
̇=

+
+

,
,

(6)

Matriks koefisien dari system persamaan diferensial (6) ialah:
�=[

].

Berdasarkan persamaan (5), maka persamaan karakteristiknya menjadi:
det

−�

sehingga diperoleh persamaan:

dengan

−�

= ,

� − trace � � + det � = ,
trace � =

+

dan det � =



.

5
Dengan demikian diperoleh nilai eigen dari A adalah:


,

=

trace � ± √trace �

− det �

.

Berdasarkan nilai determinan dan trace matriks A, nilai eigen � dan � akan
memenuhi tiga kasus berikut:
I. Kasus I
Jika det � < , maka nilai eigen adalah bilangan real dan berbeda tanda
sehingga titik tetap merupakan titik sadel.
II. Kasus II
Jika det � > , maka nilai eigen dapat berupa bilangan real dengan tanda
yang sama (titik tetap berupa simpul) atau bilangan kompleks conjugate
(titik tetap berupa spiral atau center).
a. trace � − det � > .
 Jika trace � > dan kedua nilai eigen real bernilai positif,
maka titik tetap bersifat simpul takstabil.
 Jika trace � < dan kedua nilai eigen real bernilai negatif,
maka titik tetap bersifat simpul stabil.
b. trace � − det � < .
 Jika trace � > dan kedua nilai eigen imajiner
±� ,
maka titik tetap bersifat spiral takstabil.
 Jika trace � < dan kedua nilai eigen imajiner
±� ,
maka titik tetap bersifat spiral stabil.
 Jika trace � = dan kedua nilai eigen imajiner
±� ,
maka titik tetap bersifat center.
c. trace � − det � = .
Parabola trace � − det � = adalah garis batas antara
simpul dan spiral. Star nodes atau degenerate terletak pada
parabola ini. Jika kedua nilai eigen bernilai sama maka titik tetap
bersifat simpul sejati.
III. Kasus III
Jika det � = , setidaknya ada satu nilai eigen yang sama dengan nol.
Maka titik tetap merupakan titik tak terisolasi.
(Strogatz 1994).
Akar persamaan orde tiga
Misalkan persamaan orde tiga memiliki bentuk umum sebagai berikut :
+

+

+

= .

Berdasarkan Spiegel dan Liu (2002), akar-akar dari persamaan (7) adalah:
=

+

= −

= −



+

+

,





+ �√

− �√





, dan
,

(7)

6
dengan

dan

=



,



=

= √ +√

+



,

= √ −√

,

+

,

Jika
, , ∈ ℝ dan ∆=
+
merupakan nilai diskriminannya,
maka akar-akar dari persamaan (7) dapat ditentukan berdasarkan nilai
diskriminannya.
(i) Jika ∆ > , maka persamaan orde tiga tersebut memiliki satu akar real dan
dua akar kompleks.
(ii) Jika ∆= , maka semua akar dari persamaan orde tiga tersebut merupakan
akar real dengan setidaknya ada dua akar kembar.
(iii) Jika ∆ < , maka persamaan orde tiga tersebut akan memiliki akar real
berbeda, yaitu:
=

√− cos ( �) −

=

√− cos ( � +

=

√− cos

�+

°

°

dengan cos θ = /√−

,



, dan

)−

,

(Spiegel dan Liu 2002).

Penondimensionalan
Penondimensionalan adalah suatu metode untuk menjadikan peubah dan
parameter model yang sebelumnya memiliki dimensi (populasi/orang/binatang,
waktu, populasi/waktu) menjadi peubah yang tanpa dimensi. Dengan menjadikan
semua peubah dan parameter tanpa dimensi maka perbandingan antar parameter
dapat dilakukan. Dengan penondimensionalan ini akan mengakibatkan suatu
persamaan dengan banyak parameter akan menjadi persamaan dengan lebih
sedikit parameter. Biasanya penondimensionalan mengelompokkan beberapa
parameter dengan sebuah parameter tunggal (Strogatz 1994). Sebagai contoh,
diberikan model mangsa-pemangsa berikut:
= ̇ =

= ̇ =−


+

,

(8)
.

Persamaan (8) memiliki empat parameter yaitu
memisalkan:
=

,

=

,

dan

, , , dan

= ,

. Dengan

7
maka diperoleh model dengan satu parameter
̇= − ,
̇ =− +

yaitu:

.

Fungsi Respons
Misalkan
dan
menyatakan banyaknya mangsa dan pemangsa
pada waktu . Menurut Freedman (1980) sistem mangsa-pemangsa tipe Gauss
dinyatakan sebagai persamaan diferensial berikut:
̇=

̇=

,

− +



,

(9)

dengan
,
merupakan fungsi kontinu dan terturunkan yang menyatakan
spesifikasi laju pertumbuhan mangsa tanpa adanya kehadiran pemangsa dan
,
< , dan
,
< ,
memenuhi
,
= > ,
,
= ,
> untuk setiap > . Pertumbuhan logistik
,
=
− ⁄
� ,
dianggap sebagai prototipe dan memenuhi semua asumsi.
Pada persamaan (9),
merupakan fungsi respons yang
menggambarkan jumlah mangsa yang akan dimakan pemangsa. Jumlah mangsa
yang akan dimakan pemangsa tersebut akan meningkat seiring dengan
meningkatnya kerapatan pemangsa. Fungsi yang menjelaskan bagaimana
pemangsa mengkonversi mangsa dalam pertumbuhan pemangsa adalah
dan
parameter menunjukkan efisiensi pemangsa dalam mengkonversi mangsa ke
dalam pertumbuhan mereka, sedangkan parameter adalah angka kematian
pemangsa.
Bifurkasi
Strogatz (1994) menjelaskan bahwa struktur kualitatif dari suatu sistem
dinamika dapat berubah karena adanya perubahan dari parameter sistem tersebut.
Hal inilah yang disebut bifurkasi. Bifurkasi adalah perubahan jumlah titik tetap
atau kestabilan titik tetap dalam suatu sistem dinamik. Nilai parameter ketika
terjadinya bifurkasi dinamakan titik bifurkasi. Salah satu jenis bifurkasi yaitu
Bifurkasi Hopf.
Bifurkasi Hopf adalah kemunculan siklus batas (limit cycle) dari
kesetimbangan dalam sistem dinamis pada saat kestabilan mengalami perubahan
kestabilan dari spiral stabil menjadi spiral takstabil atau sebaliknya. Bifurkasi
dapat bersifat superkritis atau subkritis yang mengakibatkan limit cycle menjadi
stabil atau tidak stabil.

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemodelan
Model mangsa-pemangsa tipe Leslie merupakan salah satu modifikasi dari
model mangsa-pemangsa Lotka Volterra. Dalam model Lotka Volterra, laju
pertumbuhan pemangsa dipengaruhi oleh keberadaan mangsa secara langsung dan
akan terjadi kepunahan pemangsa jika tidak ada populasi mangsa. Pada model
mangsa-pemangsa tipe Leslie laju pertumbuhan pemangsa tidak hanya
dipengaruhi oleh ketersediaan populasi mangsa tetapi juga sistem pertahanan
hidup populasi pemangsa. Selanjutnya, Huang et al. (2013) mengembangkan
model mangsa-pemangsa tipe Leslie dengan penambahan fungsi respons Holling
tipe III. Fungsi respons Holling tipe III menggambarkan tingkat pertumbuhan
populasi pemangsa yang cenderung mencari populasi mangsa lain ketika populasi
mangsa yang dimakannya mulai berkurang. Model mangsa-pemangsa tipe Leslie
dengan fungsi respons Holling tipe III yang dituliskan oleh Huang et al.(2013)
dinyatakan sebagai berikut:
̇=



̇=







+

,

+

,

(10)

di mana , > dan konstanta , �, , , , ℎ > dengan:
: banyaknya populasi mangsa pada waktu (populasi)
: banyaknya populasi pemangsa pada waktu (populasi)
: daya dukung lingkungan (populasi)
: laju pertumbuhan intrinsik mangsa tanpa adanya pemangsa (1/waktu)
: laju pertumbuhan intrinsik pemangsa (1/waktu)

: jumlah mangsa yang diperlukan untuk mendukung populasi pemangsa

pada kesetimbangan ketika =
: tingkat kejenuhan pemangsa
Persamaan (10) dengan banyak parameter ditransformasikan ke bentuk
yang lebih sederhana dengan cara penondimensionalan model. Skala parameter
yang digunakan, yaitu:

̂ →

̂ →
,

,

̂ →

̂ →
,

,

→ ,

Sistem persamaan (10) dapat dituliskan menjadi:

� →



,



.

9

di mana ,

̇=





̇=

( −

),

+

+

,

(11)

> 0, setelah tanda topi dibuang.
(Bukti lampiran 1)
Pembahasan





Titik tetap persamaan (11) diperoleh dengan menyelesaikan persamaan:

= dan = , yaitu:






+

+

( −

= ,

(12)

)= .

(13)

Dengan menyederhanakan persamaan (12) diperoleh persamaan sebagai berikut:
+



+



+



= .

(14)
(Bukti lampiran 2)

Penyelesaian persamaan (13) adalah
=

atau

,

=

(15)
.

(16)

Substitusi = ke persamaan (12), diperoleh = atau = . Karena
nilai = tidak memenuhi persamaan (14), diperoleh titik tetap � = , .
Substitusi persamaan (16) ke persamaan (14) akan diperoleh:
+( +

− )

+





= .

(17)

Titik tetap � ∗ ∗ , ∗ merupakan titik tetap dengan nilai ∗ adalah akar dari
persamaan (17). Persamaan (17) merupakan sistem persamaan berorde tiga yang
dapat diselesaikan dengan rumusan akar persamaan orde tiga yang telah dituliskan
oleh Spiegel dan Liu (2002). Persamaan (17) dapat dituliskan ke dalam bentuk
umum sebagai berikut:

10

+

,

Misalkan





+

dan





+

=




+


=


+




=
=

dan

=

(

(

(
(



+







,

=



,

+


+






pada persamaan (18) sebagai berikut:

,





+




+





+






+




+





+






+




+





+






+




+




+
)

(


+


∆= (





) +(


+ −






+



+



) +

,
)

+
)

(


+






) −

.
)

Nilai diskriminan dari persamaan (18), yaitu ∆ adalah
+

=− .

dan

,


+



+ −


(18)

= .

pada persamaan (18) berikut:

Kemudian ditentukan pula , , dan

+






+




+ −


) .

(19)

11
Analisis Kestabilan Titik Tetap � =

,

Dengan melakukan pelinearan pada persamaan (11) diperoleh matriks
Jacobi sebagai berikut :

� =



+

(

+



+

+

+



)

.

(20)

Selanjutnya titik tetap � , disubstitusikan ke matriks Jacobi (20) ,
sehingga dihasilkan matriks Jacobi sebagai berikut:


= (−

,



+

Dengan menyelesaikan persamaan karakteristik det
nilai eigen untuk matriks � , , yaitu:
� =−

dan

+ ).


� =

−�

,

=

diperoleh

.

Parameter diasumsikan bilangan real yang bernilai positif sehingga � < dan
� > . Akibatnya, titik tetap � , memiliki kestabilan yang bersifat sadel.
Analisis Titik Tetap �∗





,

Menurut Strogatz (1994), analisis kestabilan pada titik tetap � ∗ ∗ , ∗
dapat dilakukan dengan memerhatikan nilai-nilai eigen untuk matriks � , .
Dari matriks Jacobi (20) diperoleh det ( �∗ dan trace ( �∗ sebagai
berikut:
det ( �∗

trace ( �∗

=

=







(

(


+

+

+

+

+

+

+





.

+

Dengan menyelesaikan persamaan karakteristik det
nilai eigen untuk matriks �∗ ∗, ∗ , yaitu:


,

=

trace(

�∗

∗, ∗

± √ trace(

�∗

∗, ∗





+

+

,

(21)

(Bukti lampiran 3)
� ∗, ∗

−�

− det(

�∗

=
∗, ∗

diperoleh

.

(22)

12
Untuk menyederhanakan persamaan (19), dapat dimisalkan:
=





+



+



(23)

,

sehingga, persamaan (19) dapat dituliskan sebagai berikut:

∆=



+(



+



+











+



)

(24)

Teorema 1
Misalkan ∆ diberikan seperti dalam persamaan (24) dan seperti dalam
persamaan (23).
(a) Jika ∆> , maka sistem memiliki titik tetap positif � ∗ ∗ , ∗ .
(b) Jika ∆= , dan
(b1)
> , maka sistem memiliki dua titik tetap positif yang berbeda
yaitu:
�∗

(b2)
(c)

�∗



,



,





=

=

��

��+ −�



− ,



, ��+




−�

dan

.

= , maka sistem memiliki titik tetap positif yaitu :

,
.
� ∗, ∗ =







Jika ∆< , maka sistem memiliki tiga titik tetap positif yang berbeda, yaitu:
� ∗ ∗ , ∗ , � ∗ ∗ , ∗ , dan � ∗ ∗ , ∗ .

Bukti Teorema 1
(a) Bukti kasus (a)
Pada kasus (a) Teorema 1, berdasarkan sifat akar persamaaan pangkat tiga,
jika ∆> maka persamaan (15) memiliki 1 akar real dan 2 akar kompleks.
Berdasarkan sifat fisis dari sistem, ∈ ℝ dan > maka sistem hanya memiliki
1 akar real positif yaitu ∗ . Dengan demikian sistem hanya memiliki titik tetap
positif yang tunggal yaitu � ∗ = ∗ , ∗ .
(Bukti lampiran 4)

Kestabilan titik tetap � ∗ =
numerik.



,



pada kasus (a) ditunjukkan melalui simulasi

(b)

Bukti kasus (b)
Pada kasus (b) Teorema 1, jika ∆= , maka persamaan (24) dapat dituliskan
sebagai berikut:
∆=



+(

+





+











+



)

= . (25)

13
Karena ∆= , maka persamaan (25) memberikan:
=
=

( +

+

(



+



+

− )





− ( +






+

− )


)

Karena
+

maka

( +

− )



>

jika hanya jika

− ( +

− )

(subkasus (b1)) atau

,
.

,

=

(subkasus (b2)).

Bukti subkasus (b1)
Pada subkasus (b1) Teorema 1 perhatikan kondisi ketika ∆=
persamaan (19) dapat dituliskan sebagai berikut:
(


+






+




+


) +(





+


+






(26)

dan

> ,

) = .

(27)

.

(28)

Dengan menyelesaikan persamaan (27) diperoleh:


=



+

dan

=






Oleh karena itu, sistem persamaan (11) dapat dituliskan sebagai berikut:
̇=

Jika det ( �

dan



̇=





+�





−�


+

= 0 dan trace ( �



� +�+
−�

+

,

(29)

.
= 0, maka diperoleh:

+

+

+

= ,

(30)

14






+

+

+

+

+

= .

+

(31)

Substitusikan persamaan (30) ke persamaan (31) maka diperoleh:


atau

+

+



= ,

+





= .

(32)

Kemudian, substitusikan persamaan (31) ke persamaan (32), diperoleh:






+










= .

(33)

Dengan menyelesaikan persamaan kuadratik (33), diperoleh dua akar real berbeda
yaitu:
��

.
= − dan ∗ =
Jika

yaitu:

Jika
yaitu:





=

=

− , maka diperoleh

��

��+ −�



�∗

,

,





=





maka diperoleh


�∗

,



= �∗





= �∗

��+ −



=

��

��+ −�

, sehingga diperoleh titik tetap

,









.

��+ −�

, ��+



. , diperoleh titik tetap

−�

.

Kestabilan titik tetap � ∗ ∗ , ∗ pada subkasus (b1) Teorema 1 akan ditunjukkan
melalui simulasi numerik. Sedangkan, kestabilan titik tetap � ∗ ∗ , ∗ yang akan
ditunjukkan pada pembahasan mengenai bifurkasi Hopf.
Bukti subkasus (b2)
Pada subkasus (b2) Teorema 1, perhatikan kondisi ∆=
sehingga:
=( +

atau




+



− ) +
= −




dan

=

= ,
/

.

(34)

,

15
Persamaan ∆=
∆= −

atau

dapat dituliskan sebagai berikut:

+(

+

+







+



( +







+



− )− ( +



− )

) =

= .

,

(35)

Selanjutnya, substitusikan persamaan (34) ke persamaan (35), sehingga diperoleh
persamaan berikut:
+





/





Penyelesaian persamaan (36) adalah



=

Substitusikan
berikut:

+



=





=



+

+



(36)

ke persamaan (34) sehingga diperoleh persamaan





=





+

= −

,



(37)

.

, maka diperoleh persamaan sebagai berikut:


+

+

Kemudian, jika parameter
=
persamaan (38), maka diperoleh:


= .

.

Penyelesaian persamaan (37) adalah:

Jika det( �



(−









+

+



= −

dan

− (

+

+

+

+









+
+

+



= .

(38)

disubstitusikan ke



= .

(39)

16


Penyelesaian persamaan (39) adalah
�∗



,



=

,





� −

melalui simulasi numerik.

=



. Sehingga diperoleh titik tetap

. Kestabilan titik tetap � ∗



,



akan ditunjukkan

(c)

Bukti kasus (c)
Pada kasus (c) Teorema 2.1, yaitu kondisi ketika ∆< , menurut Spiegel dan
Liu (2002) akan diperoleh tiga akar real yaitu ∗ , ∗ , dan ∗ .
(Bukti lampiran 4)
Kestabilan dari ketiga titik tetap tersebut akan ditunjukkan melalui simulasi
numerik.
Teorema 2
Dengan memerhatikan subkasus (b1) pada Teorema 1, jika parameter
, ,

=

+�

,−

−�

� +�+
−�

−�

,�

<

dan

+�

memiliki dua titik tetap positif yaitu:
(i)

(ii)

�∗

�∗

−�

+�

,

− ,



+�

< , maka sistem (11)

−�
+�
+�

−�

Bukti Teorema 2
Jika trace( � = , diperoleh:



=



+

dan





=

,

(40)

.

(41)

Berdasarkan bukti subkasus (b1) Teorema 1, diperoleh:


Jika trace( �

diperoleh:

= ,


=


�−

��

+

=

+��

−�

,


+

+

=



.

�−

− ��

+

+

��

−�

Penyelesaian persamaan (42) diperoleh parameter

,



=

= .

��

��+ −�

sebagai berikut:

, maka

(42)

17


=

.

+

(43)

Jika persamaan (43) disubstitusikan ke persamaan (40) dan persamaan (41), maka
parameter dan parameter dapat dituliskan menjadi:

dan



,

berikut:



dan �

=−

+�

=

Ketika


+


=

−�
∗ ∗



,

�∗

=−

,

,

(44)

+ +


� +�+

(45)

.

, dan

−�

=�

−�



+�

+�

maka titik tetap

pada subkasus (b1) dapat dituliskan menjadi sebagai

− ,



+�

dan � ∗

−�

�∗

Kestabilan pada titik tetap

−�

+�

−�

,

+�

,



−�

−�

+�

+�

.
dijelaskan pada

+�

pembahasan mengenai bifurkasi Hopf, sedangkan kestabilan titik tetap
�∗

−�

+�

+�



,

−�

+�

ditunjukkan melalui simulasi numerik.

Teorema 3
Dengan memerhatikan subkasus (b2) pada Teorema 1, diperoleh dua
kondisi sebagai berikut:
(i)

Jika

(ii)

Jika

,

, ,

=

Bukti Teorema 3

=





,−



,

+

+



dan
,



+





.

.

+

Berdasarkan bukti subkasus (b2) Teorema 1, diperoleh parameter
= −



+

Jika trace( �

serta titik tetap � ∗
= , maka:






,

+



+

=
+

Kemudian substitusikan parameter
persamaan (46) sehingga diperoleh:





dan

,



� −

= .

.

=

serta titik tetap � ∗



dan

(46)


,



ke

18
+

+




+

= ,

(47)
=

dengan menyelesaikan persamaan (47) diperoleh nilai
trace( �

≠ , maka

maupun lebih kecil dari







+

+

. Parameter



. Ketika

+

dapat bernilai lebih besar

. Kestabilan titik tetap � ∗



,

subkasus (b2) Teorema 2 akibat adanya perubahan nilai parameter
ditunjukkan melalui simulasi numerik.



pada
akan

Bifurkasi Hopf
Diketahui bahwa nilai eigen titik tetap � ∗
Teorema 1 dapat diperoleh sebagai:


,

=

± √ trace( �

trace( �



,





pada subkasus (b1)

det( �

.

Bifurkasi Hopf terjadi ketika kesetimbangan mengalami perubahan
kestabilan dan adanya limit cycle (Strogatz 1994). Perubahan kestabilan tersebut
yakni perubahan titik tetap yang mulanya memiliki kestabilan spiral stabil menjadi
spiral takstabil ataupun sebaliknya.
Syarat perlu agar bifurkasi Hopf tercapai adalah jika kondisi berikut
terpenuhi:
trace( � =
dan
Ketika trace( �

=

=

trace( �



det( �

< .

diperoleh persamaan (38) sebagai berikut :





+

dan

=






.

(48)

Selain itu, diperoleh titik tetap � ∗ ∗ , ∗ di mana ∗ = − . Berdasarkan
asumsi, ∗ > sehingga − > . Akibatnya, bifurkasi Hopf akan dipenuhi
jika

Kemudian, substitusikan
diperoleh parameter



<

=

< .
��

��+ −�

sebagai berikut :

(49)
pada trace( �

= . Sehingga

19


=

+

.

(50)

Parameter yang diperoleh pada persamaan (48), (49), dan (50) merupakan
parameter batas yang harus terpenuhi agar bifurkasi Hopf dapat tercapai.
Kemudian, substitusikan persamaan (48) dan (50) ke sistem persamaan (11),
sehingga persamaan (11) dapat dituliskan sebagai berikut:
̇=





̇=



+�



� +�+



−�

−�

.

+

Untuk mengetahui kestabilan dari titik tetap � ∗
=

Teorema 1, dimisalkan

−�



� +

+

+

dan

=



,

+





,

+�



(51)

dari subkasus (b1)

+�

. Selanjutnya,

−�

dengan menggunakan ekspansi deret Taylor, sistem persamaan (51) dapat
dituliskan menjadi:
̇ =

̇=



+



+

+

+


+



+









+




+

+

+

+

+ −
− +
+


+

+

+



+



+



+

+

+
+

+



+

+� | , | ,

+

+

+� | , | .

(52)

Berdasarkan persamaan (52) variabel-variabel dapat di transformasi
menjadi matriks sebagai berikut:

=



+



+



+

)

Selanjutnya, sistem persamaan (51) dapat dituliskan menjadi:

.

20
̇ = −√

,

dengan fungsi

=

+

+

+

+





,







+








+

+
+



√ −
− − +



dan

=−



,


+

+



+

+


+

+

(53)

,







+





+

+

+
+
+



+

+

+

+

,

,




+
+ −

− +

+



+

− −

+

,

sebagai berikut:

+
+


+


+



+

+

− −
+
− − + +
+



+

,

dan

+

+

+� | , |
,

̇ =√

+





+




+

+� | , | .

+



+

+

+

Bilangan Liapunov (Perko 1996) dapat dinyatakan sebagai berikut:
=|

Karena

<

=

{

− +

+

+

+

[

(

]}|

− +

+

+

+

= =



+



(

+

+



+


>

.

< , maka titik tetap � ∗ memiliki kestabilan spiral takstabil.

+

21

SIMULASI NUMERIK
Dinamika populasi mangsa-pemangsa dapat digambarkan melalui kurva
dalam bidang fase dan bidang solusi untuk menentukan kestabilan populasi
mangsa dan pemangsa pada kurun waktu tertentu. Simulasi numerik dilakukan
dengan cara mensubstitusikan nilai-nilai parameter yang ditentukan berdasarkan
analisis kondisi persamaan pada model populasi mangsa-pemangsa. Proses
komputasi pada simulasi ini menggunakan software Wolfram Mathematica 10.0.
Diasumsikan bahwa laju pertumbuhan intrinsik dari mangsa tanpa adanya
pemangsa
lebih besar dibandingkan laju pertumbuhan intrinsik pemangsa
adalah tetap dengan daya lingkungan adalah
. Saat melakukan
penondimensionalan model, diperoleh bahwa =
yang mereprentasikan

tingkat interaksi antara mangsa dan pemangsa dan =
yang sebanding
ℎ �
dengan tingkat kesetimbangan pemangsa tanpa adanya mangsa .
Dalam simulasi ini, terdapat empat parameter, yaitu : , , , dan . Nilainilai parameter yang digunakan tersebut harus terlebih dahulu memenuhi
parameter batas keberadaan titik tetap pada sistem mangsa-pemangsa tipe Leslie
dengan fungsi respons Holling tipe III, yaitu : < < yang menyatakan bahwa
tingkat interaksi antara mangsa dan pemangsa, < < yang menyatakan
tingkat kesetimbangan pemangsa tanpa adanya mangsa, dan > yang
menyatakan bahwa semakin besar nilai dari maka menunjukkan bahwa fungsi
respon dari Holling tipe III tersebut memberikan pengaruh yang semakin kecil
bagi interaksi antar mangsa.
Parameter
diasumsikan bernilai . yang menunjukkan bahwa laju
pertumbuhan intrinsik dari mangsa tanpa adanya pemangsa
dua kali lipat
lebih besar dibandingkan laju pertumbuhan intrinsik pemangsa
. Parameter
diasumsikan bernilai .
dan parameter diasumsikan bernilai . Pemilihan
parameter-parameter ini bertujuan untuk memperlihatkan perubahan dari struktur
titik tetap pada kasus (a), subkasus (b1), dan kasus (c) pada Teorema 1 serta
kestabilan dari titik tetapnya sekaligus menunjukkan keberadaan bifurkasi Hopf
pada subkasus (b1) Teorema 1.
Pada subkasus (b2) Teorema 1, parameter diasumsikan bernilai − ,
sedangkan parameter
diasumsikan bernilai . saat
>
,
diasumsikan bernilai .
saat

=



+

saat

<



+

, dan



+

diasumsikan bernilai .

. Pemilihan parameter-parameter tersebut bertujuan untuk

memperlihatkan perubahan struktur titik tetap dan kestabilanya pada kasus (b2)
Teorema 3. Pemilihan nilai parameter diberikan dalam Tabel 1.

22
Tabel 1 Pemilihan nilai parameter model
Parameter

Kasus
a
b1
b

b2

.
.

(i)
(ii)
(iii)

c

.
.
.
.

.
.
.

.
.


− .





.

Dinamika Populasi Mangsa-Pemangsa Kasus (a)
Pada kasus (a), nilai parameter yang digunakan yaitu: = . ,
=
.
, = , dan = − . Titik tetap yang diperoleh pada kasus ini yaitu
�∗ .
, .
. Nilai eigen yang diperoleh adalah � = − .
+
.
� dan � = − .
− .
� . Titik tetap, nilai eigen, dan
kestabilan pada kasus (a) diberikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Titik tetap, nilai eigen dan kestabilan pada kasus (a)
Luaran



Jenis
kestabilan

Titik Tetap


�∗

,

.

Sadel

− .
− .

.

.



,



+ .
− .

Spiral stabil

Gambar 1 Bidang fase kasus (a)




23
x

y
1.1

0.75
1.0

0.70
0.9

0.65

0.8

0.60

0.7

0.55

0.6

10

Gambar 2

20

30

40

50

t

10

Gambar 3

Bidang solusi mangsa
kasus (a)

20

30

40

50

t

Bidang solusi pemangsa
kasus (a)

Pada Gambar 1 ditunjukkan ilustrasi bidang fase dari beberapa nilai awal
di sekitar titik tetap. Terdapat dua buah titik tetap, di mana kedua populasi menuju
titik tetap � ∗ .
, .
serta memperlihatkan bahwa jenis kestabilan
titik tetapnya adalah spiral stabil. Selain itu, pada Gambar 1 ditunjukkan adanya
titik tetap � , dengan kestabilannya yang bersifat sadel. Pada Gambar 2
ditunjukkan bahwa dengan nilai awal tertentu, di awal periode populasi mangsa
mengalami kenaikan yang drastis kemudian populasi mangsa mengalami
penurunan hingga menyebabkan kestabilan mangsa menuju pada = .
.
Pada Gambar 3 diperlihatkan bahwa dengan nilai awal tertentu, terjadi
peningkatan populasi pemangsa secara terus menerus, kemudian populasi
pemangsa mengalami penurunan hingga menyebabkan kestabilan pemangsa
menuju pada = .
.
Dinamika Populasi Mangsa-Pemangsa Subkasus (b1)

Pada subkasus (b1), diambil beberapa parameter yang memenuhi kondisi
persamaan model mangsa-pemangsa yaitu: = . , = .
, = , dan
=− .
, dengan menggunakan parameter-parameter yang diberikan,
diperoleh dua titik tetap, nilai eigen dan kestabilan pada subkasus (b1) dan
diberikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Titik tetap, nilai eigen dan kestabilan pada subkasus (b1)
Titik Tetap
Luaran



Jenis
kestabilan



,

.

Sadel

�∗
.
− .

.



,

.
0075

Sadel

�∗



.
.



,



.
. 00024
× − + .
× − − .

Spiral takstabil




24

Gambar 4

Bidang fase kasus (b1) limit cycle

Pada Gambar 4 ditunjukkan kemunculan limit cycle. Limit cycle yang
terjadi pada subkasus (b1) dan tanda ⨁ menunjukkan starting point atau nilai
awal yang bergerak spiral menjauhi titik tetap � ∗ . , . . Semakin lama limit
cycle tersebut akan semakin membesar seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.
0.80
E1
0.75

y

0.70

0.65
E2
0.60

0.55
0.40

0.45

0.50

0.55

x

Gambar 5

Bidang fase kasus (b1)

Gambar 6

x

Bidang fase kasus (b1)

y
0.65
0.64

0.42

0.63
0.41

0.62
0.61

0.40

0.60
0.39

0.59

50

100

Gambar 7

150

200

250

300

t

50

Bidang solusi mangsa Gambar 8
subkasus (b1)

100

150

200

250

300

t

Bidang solusi pemangsa
subkasus (b1)

Pada Gambar 5 ditunjukkan bahwa dengan nilai awal tertentu, kurva
bergerak secara spiral menjauhi titik tetap � ∗ .
, .
dan
menyebabkan munculnya limit cycle, kemudian semakin besar periode waktunya,
limit cycle tersebut bergerak membesar hingga titik tetap � ∗ . , .

25
berada di dalam limit cycle yang lebih besar . Pada Gambar 6 ditunjukkan bahwa
limit cycle yang terus membesar dan semakin lama limit cycle tersebut akan hilang
pada waktu tertentu. Selain itu, pada Gambar 6 ditunjukkan adanya titik tetap
� , yang bersifat sadel. Pada Gambar 7 dan Gambar 8 ditunjukkan bahwa
dengan nilai awal yang diberikan, di awal periode populasi mangsa dan pemangsa
pada kasus (b1) mengalami kenaikan setelah itu mengalami penurunan yang
drastis. Kemudian, pertumbuhan kedua populasi mengalami osilasi secara terus
menerus, sehingga kedua populasi tersebut tidak stabil menuju ke suatu nilai.
Dinamika Populasi Mangsa-Pemangsa kasus (c)
Pada kasus (c) diambil beberapa parameter sebarang yang memenuhi
kondisi persamaan model mangsa-pemangsa yaitu: = . , = .
, dan
= . Kemudian dipilih nilai parameter = − . Titik tetap, nilai eigen, dan
kestabilan pada kasus (c) diberikan dalam Tabel 4.
Tabel 4 Titik tetap, nilai eigen dan kestabilan pada kasus (c)
Titik tetap
Luaran



Jenis
kestabilan



,

.

Sadel

�∗
.
.
.
− .

Gambar 9



,

Sadel



�∗ ∗, ∗
.
.
.
.
Simpul
takstabil

Bidang fase kasus (c)

�∗ ∗,
.
.
− .
− .



Simpul stabil

26
y

x

1.8

1.2

1.6
1.0

1.4
1.2

0.8

1.0
0.6

0.8
50

100

Gambar 10

150

200

250

300

t

50

Bidang solusi mangsa
kasus (c)

100

150

Gambar 11

200

250

t

300

Bidang solusi pemangsa
kasus (c)

Bidang fase pada kasus (c) ditunjukkan oleh Gambar 9. Terdapat empat titik
tetap berbeda, yaitu � , , � ∗ ∗ , ∗ , � ∗ ∗ , ∗ , dan � ∗ ∗ , ∗ . Dengan
� ∗ ∗ , ∗ merupakan titik tetap takstabil dan titik tetap � ∗ ∗ , ∗ merupakan
titik tetap stabil. Sedangkan titik tetap � , dan titik tetap � ∗ ∗ , ∗
merupakan titik tetap yang bersifat sadel. Pada Gambar 10 ditunjukkan bahwa
dengan nilai awal yang diberikan, populasi mangsa bergerak stabil menuju =
.
sedangkan pada Gambar 11 ditunjukkan bahwa dengan nilai awal yang
diberikan, populasi pemangsa bergerak stabil menuju = .
.
Dinamika Populasi Mangsa-Pemangsa Subkasus (b2)

Pada subkasus (b2), diasumsikan nilai parameter , yaitu: = − . Dengan
menetapkan nilai parameter , dapat diperoleh nilai parameter-parameter lain dan
diberikan dalam Tabel 5. Selain itu dapat diperoleh titik tetap tunggal dari masing
masing kondisi , nilai eigen dan kestabilan pada subkasus (b2) dan diberikan
dalam Tabel 6.
Tabel 5 Nilai parameter subkasus (b2)
Nilai
Parameter (i)

>

.
.



+

Kondisi
<

(ii)

.
.



(iii)

+

=



.
.

+

Tabel 6 Titik tetap, nilai eigen dan kestabilan pada subkasus (b2)
Luaran



Jenis
kestabilan

(i)

>



.
.

− .

+

Simpul stabil

(ii)

Kondisi
<
.

.
.



+

Simpul takstabil

(iii)

=

.
.
-



+

27
Pada subkasus (b2) kondisi pertama, diambil beberapa parameter sebarang
yang memenuhi kondisi persamaan model mangsa-pemangsa yaitu: = − , =
. , = . , dan = . Titik tetap, nilai eigen, dan kestabilan pada kasus (b2)
kondisi pertama diberikan dalam Tabel 7.
Tabel 7 Titik tetap, nilai eigen dan kestabilan pada subkasus (b2), β=0.9
Titik tetap
Luaran





Jenis kestabilan

,


.
Sadel

�∗



.
.

,



− .

Simpul stabil

Gambar 12 Bidang fase pada subkasus (b2) dengan β=0.9

Gambar 13

Bidang solusi mangsa Gambar 14
subkasus (b2) dengan
β=0.9

Bidang solusi pemangsa
subkasus (b2) dengan
β=0.9

28
Pada Gambar 12 ditunjukkan bidang fase dari kasus (b2) dengan β=0.9.
Pada Gambar 12 ditunjukkan bahwa terdapat dua titik tetap dengan beberapa nilai
awal yang bergerak mendekati titik tetap � ∗ . , . , sehingga pada subkasus
(b2) dengan β=0.9 kestabilannya bersifat simpul stabil. Selain itu, pada Gambar
12 ditunjukkan adanya titik tetap � , yang bersifat sadel. Pada Gambar 13 dan
Gambar 14 ditunjukkan bahwa dengan nilai awal yang diberikan, populasi mangsa
dan pemangsa pada kasus (b2) dengan β=0.9 di awal periode mengalami kenaikan
yang drastis, kemudian populasi mangsa dan pemangsa tersebut akan stabil
menuju ke suatu nilai, yaitu = . dan = . .

Pada subkasus (b2) kondisi kedua, diambil nilai parameter sembarang yang
memenuhi kondisi persamaan model mangsa-pemangsa yaitu: = − , = . ,
= . , dan = . Titik tetap, nilai eigen, dan kestabilan pada kasus (b2)
kondisi pertama diberikan dalam Tabel 8.
Tabel 8 Titik tetap, nilai eigen dan kestabilan pada subkasus (b2), β=0.27
Titik tetap
Luaran



Jenis kestabilan



,


.
Sadel

�∗



.

.
.

,



Simpul takstabil

Gambar 15 Bidang fase pada subkasus (b2) dengan β=0.27

29
y

x

0.7

0.6

0.6

0.5
0.5

0.4
0.4

100

200

Gambar 16

300

400

t

500

100

Bidang solusi mangsa Gambar 17
subkasus (b2) dengan
β=0.27

200

300

400

500

t

Bidang solusi pemangsa
subkasus (b2) dengan
β=0.27

Pada Gambar 15 ditunjukkan bahwa pada subkasus (b2) dengan β=0.27
kurva bergerak di sekitar titik tetap � ∗ . , . dan cenderung bergerak
menjauhi titik tetap tersebut, sehingga kestabilannya bersifat tak terisolasi yang
takstabil. Selain itu, pada Gambar 15 ditunjukkan adanya titik tetap � , yang
bersifat sadel. Pada Gambar 16 ditunjukkan bahwa dengan nilai awal yang
diberikan, populasi mangsa berosilasi secara terus menerus dengan simpangan
yang sama di sekitar titik = . . Selanjutnya, pada Gambar 17 menunjukkan
bahwa populasi pemangsa juga berosilasi secara terus menerus dengan simpangan
yang sama di sekitar titik = . .

Pada subkasus (b2) kondisi ketiga, diambil beberapa parameter sebarang
yang memenuhi kondisi persamaan model mangsa-pemangsa yaitu: = − , =
. , = . , dan = . Titik tetap, nilai eigen, dan kestabilan pada kasus (b2)
kondisi pertama diberikan dalam Tabel 9.
Tabel 9 Titik tetap, nilai eigen dan kestabilan pada subkasus (b2), β=0.5
Titik tetap
Luaran



Jenis kestabilan



,


.
Sadel

�∗



.
.

-

,



30

Gambar 18 Bidang fase pada subkasus (b2) dengan β=0.5

y

x
0.65
0.60

0.6
0.55
0.50

0.5

0.45
0.40

0.4

0.35

100

Gambar 19

200

300

400

500

t

100

Bidang solusi mangsa Gambar 20
subkasus (b2) dengan
β=0.5

200

300

400

500

t

Bidang solusi pemangsa
subkasus (b2) dengan
β=0.5

Berdasarkan Tabel 9, titik tetap � ∗ ∗ , ∗ memiliki dua nilai eigen nol
sehingga tidak dapat ditarik kesimpulan dari perilaku sistem di sekitar titik tetap
tersebut. Pada Gambar 18 ditunjukkan bahwa kurva bergerak di sekitar titik tetap
� ∗ . , . . Kedua nilai eigen bernilai nol Pada Gambar 19 dan Gambar 20
ditunjukkan bahwa populasi mangsa dan pemangsa mengalami osilasi secara terus
menerus dengan simpangan yang tak beraturan.

31

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari analisis model mangsa-pemangsa tipe Leslie dengan fungsi respons
Holling tipe III diperoleh satu, dua, tiga, atau empat titik tetap dari setiap kasus
yang berbeda. Kestabilan titik tetap � bersifat sadel. Sedangkan titik tetap yang
lain bergantung pada nilai parameter-parameter lainnya. Dalam analisis ini,
konstanta dari fungsi respons Holling tipe III merupakan parameter yang paling
berpengaruh terhadap perubahan jumlah titik tetap serta kestabilannya. Dalam
mengamati dinamika populasi mangsa-pemangsa pada model ini, terlebih dahulu
dibagi menjadi empat kasus yang berbeda.
Pada kasus pertama, diperoleh dua titik tetap. Titik tetap yang pertama
bersifat sadel, sedangkan titik tetap yang lain bersifat spiral stabil. Kemudian
ketika nilai konstanta dari fungsi respons Holling tipe III tersebut diperkecil (yaitu
pada kasus kedua), terjadi perubahan pada banyaknya titik tetap dan kestabilan
dari masing masing titik tetap. Pada titik tetap pertama dan kedua, kestabilannya
bersifat sadel. Sedangkan, pada titik tetap yang lain kestabilannya bersifat spiral
takstabil. Adanya perubahan kestabilan dari spiral stabil menjadi spiral takstabil
inilah yang mengindikasikan terjadinya fenomena bifurkasi Hopf yang disertai
dengan kemunculan limit cycle.
Pada kasus ketiga, terdapat dua buah titik tetap. Titik tetap pertama bersifat
sadel titik tetap kedua bersifat tak terisolasi. Ketika nilai parameter yang
merepresentasikan tingkat kesetimbangan pemangsa tanpa adanya mangsa
diperbesar, titik tetap kedua mengalami perubahan kestabilan menjadi simpul
stabil. Sedangkan ketika nilai dari parameter yang merepresentasikan tingkat
kesetimbangan pemangsa tanpa adanya mangsa diperkecil, maka titik tetap
tersebut bersifat simpul takstabil.
Pada kasus keempat diperoleh empat titik tetap. Titik tetap pertama dan
kedua bersifat sadel, titik tetap ketiga bersifat simpul stabil, dan titik tetap keempat
bersifat simpul takstabil.
Saran
Pada karya ilmiah ini, ditunjukkan mengenai adanya bifurkasi Hopf pada
model mangsa-pemangsa tipe Leslie dengan fungsi respons Holling tipe III. Untuk
penelitian selanjutnya, dapat ditunjukkan adanya jenis bifurkasi lain pada model
mangsa-pemangsa tipe Leslie dengan fungsi respons Holling tipe III.

32

DAFTAR PUSTAKA
Anton H. 1987. Aljabar Linear Elementer. Jakarta (ID): Erlangga.
Braun M. 1983. Differential Equations and Their Applications. New York:
Springer-Verlag.
Freedman HI.1980. Deterministic Mathematical Models in Population Ecology.
New York: Marcel Dekker.
Garrott RA, White PJ, Watson FGR. 2009. The Ecology of Large Mammals in
Central Yellowstone Sixteen Years of Integrated Field Studies. San Diego (US):
Elsevier.
Huang J, Song J, Ruan S. 2013. Bifurcations in a predator-prey system of Leslie
type with generalized Holling tipe III functi