Zuhra 2008 menjelaskan bahwa air limbah pabrik minyak kelapa sawit memiliki nilai pH berkisar 3,5-5 bersifat asam karena mengandung ion hidrogen yang tinggi. Bila dilihat dari hasil pengamatan yang
dilakukan terhadap limbah emulsi minyak jelantah pada gambar 8 terlihat bahwa emulsi minyak jelantah setelah ditambahkan jenis asam dan surfaktan menunjukkan nilai pH 3, sedangkan jenis demulsifier
komersial menunjukkan nilai 3,5. Hanya jenis garam NaCl, KCl, CaCl
2
yang menunjukkan nilai pH yang mendekati netral, yaitu 5. Penambahan demulsifier ke dalam emulsi minyak jelantah ini tidak terlalu
berpengaruh terhadap nilai pH.
4.2.3. Kekeruhan Turbiditas
Turbidity atau kekeruhan adalah adanya partikel koloid dan supensi dari suatu bahan pencemar, seperti beberapa bahan organik dan bahan anorganik dari buangan industri, maupun rumah tangga yang
terkandung dalam air. Ada berbagai macam cara mengukur kekeruhan dengan menggunakan efek cahaya sebagai dasar untuk mengukur keadaan air baku, yaitu dengan skala NTU Nephelo Metrix Turbidity Unit,
JTU Jackson Turbidity Unit, ataupun FTU Formazin Turbidity Unit. Alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kekeruhan sampel emulsi oli bekas dan minyak jelantah adalah spektrofotometer
DR2000 menggunakan satuan FTU untuk menggambarkan tingkat kekeruhan. Alat ini mengukur seberapa banyak cahaya yang dipancarkan oleh partikel tersuspensi yang terdapat di dalam fase air. Semakin banyak
cahaya yang terpancarkan, maka semakin tinggi nilai kekeruhannya. Dengan kata lain, nilai FTU yang rendah mengindikasikan tingginya tingkat kejernihan air, sebaliknya nilai FTU yang tinggi
mengindikasikan bahwa nilai kejernihannya rendah Julisti, 2010. Grafik tingkat kekeruhan dari sampel
emulsi oli bekas dan minyak jelantah pada menit ke-5 dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Nilai Kekeruhan Turbiditas Fase Air Emulsi Oli Bekas dan Minyak Jelantah Pada Gambar 9 dan Lampiran 3 diketahui bahwa masing-masing jenis demulsifier yang diujikan
menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Nilai turbiditas yang paling tinggi ada pada sampel emulsi oli bekas yang ditambahkan demulsifier komersial kode 5012, diikuti oleh demulsifier jenis surfaktan dengan
kode 8013. Nilai turbiditas yang tinggi mengindikasikan bahwa fase air yang dihasilkan sangatlah keruh
karena banyaknya partikel-partikel koloid yang masih terkandung dan tidak larut di dalam air tersebut yang menyebabkan sampel air yang diujikan berwarna keruh disertai dengan busa yang banyak.
Berbeda halnya dengan nilai turbiditas pada emulsi oli bekas yang ditambahkan asam dan garam yang memberikan hasil nilai turbiditas terendah, terutama NaCl. Hal ini terlihat dari air emulsi minyak
yang diujikan menjadi lebih jernih dibandingkan jenis demulsifier lainnya. Hasil analisis ragam pada Lampiran 5 juga menunjukkan bahwa penambahan demulsifier mempengaruhi nilai turbiditas secara nyata.
Pada uji lanjut Duncan, diketahui untuk sampel emulsi oli bekas yang ditambahkan NaCl menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan yang lainnya dengan nilai turbiditas terkecil adalah 125,5 FTU.
Untuk hasil pengujian turbiditas emulsi minyak jelantah yang disajikan pada Gambar 9 dan Lampiran 3 terllihat bahwa masing-masing jenis demulsifier yang diujikan menunjukkan hasil yang
berbeda. Nilai turbiditas tertinggi dihasilkan kode 8013 surfaktan dan 5013 demulsifier komersial. Nilai yang tinggi ini mengindikasikan bahwa air emulsi minyak jelantah yang diujikan sangatlah keruh. Ini
terlihat dari warna sampel dan busa yang diamati secara kualitatif juga menunjukkan hasil yang sama, yaitu keruh dan banyak menghasilkan busa karena banyaknya partikel-partikel koloid yang terkandung dan tidak
larut di dalamnya. Dilihat dari hasil analisis ragam pada Lampiran 5, adanya penambahan demulsifier berpengaruh
terhadap nilai turbiditas secara nyata. Uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa untuk sampel emulsi minyak jelantah yang ditambahkan CaCl
2
menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan jenis demulsifier lainnya dengan nilai turbiditas terkecil adalah 87 FTU.
Bila dibandingkan antara hasil pengujian awal tanpa penambahan demulsifier dengan hasil pengujian yang ditambahkan demulsifier didapatkan hasil yang signifikan. Blanko awal hasil pengujian emulsi
minyak tanpa penambahan demulsifier mengalami pemisahan pada menit ke-40 untuk oli bekas dan menit ke-55 untuk minyak jelantah, sedangkan setelah ditambahkan demulsifier pada menit ke-5 telah
menunjukkan terjadinya pemisahan antara fase minyak dengan fase air. Dari semua hasil pengujian yang telah dilakukan, meliputi warna, busa, rasio volume pemisahan
minyak dan emulsi, pH, dan turbiditas terhadap sampel emulsi oli bekas dan minyak jelantah dapat disimpulkan bahwa jenis demulsifier yang cocok untuk proses demulsifikasi sampel oli bekas adalah garam
NaCl, sedangkan untuk sampel emulsi minyak jelantah adalah garam CaCl
2
. Ini sesuai dengan pernyataan Blair 2007 bahwa garam merupakan demulsifier terbaik untuk memecahkan lapisan emulsi antara minyak
dan air. NaCl selain harganya yang relatif murah juga memiliki sifat afinitas, yakni kecenderungan suatu unsur atau senyawa untuk membentuk ikatan kimia dengan unsur atau senyawa lain, dalam hal ini lebih
larut dalam air dibandingkan dalam minyak. Setyopratiwi et al 2005, menjelaskan bahwa garam kalsium juga bisa digunakan untuk
memecahkan kestabilan emulsi, seperti CaSO
4
, CaCO
3
, dan CaCl
2
dengan kadar 1000 ppm. Penambahan garam tersebut membuat protein kelapa mengendap, sehingga mudah dipisahkan dari minyak dan air.
Faktor pendukung lainnya dalam mempercepat proses pemecahan emulsi dengan suhu 90
o
C karena pada suhu tersebut garam akan bekerja secara optimal dalam mempercepat proses pemecahan emulsi. Perlu
diingat bahwa tiap batch dalam sebuah industri pengolahan tidaklah sama ukuran dan jumlah garam yang diperlukan. Oleh karena itu, terlebih dulu harus dilakukan pengujian skala kecil trial and error guna
mencari konsentrasi yang terbaik dari garam untuk proses demulsifikasi dengan membandingkan antara konsentrasi yang satu dan lainnya.