larut dalam pelarut organik seperti kloroform, aseton, dan mudah dikristalkan kembali. Aflatoksin dapat tereduksi oleh CO
2
sehingga dapat menurunkan kadar aflatoksin dari 5 menjadi 1. Tabel 2 memaparkan sifat fisik dan kimia berbagai jenis aflatoksin.
Tabel 2 . Sifat fisikokimia aflatoksin
a
Aflatoksin Rumus Molekul
Bobot Molekul Titik Cair ÂșC
B1 C
17
H
12
O
6
312 268-269
B2 C
17
H
14
O
6
314 286-289
G1 C
17
H
12
O
7
328 244-246
G2 C
17
H
14
O
7
330 237-240
M1 C
17
H
12
O
7
328 299
M2 C
17
H
14
O
7
330 293
B2A C
17
H
14
O
7
330 240
G2A C
17
H
14
O
7
346 190
a
Sumber Reddy dan Wiliyar 2000
2. Toksisitas Aflatoksin
Aflatoksin dapat bersifat toksigenik menimbulkan keracunan, mutagenik menimbulkan mutasi, teratogenik menimbulkan penghambatan dalam pertumbuhan
janin dan karsinogenik menimbulkan kanker pada jaringan Makfoeld 1993. Karsinogenitas aflatoksin disebabkan oleh pembentukan metabolit 2,2-epoksida yang
mampu merusak reseptor sel hati Heathcote dan Hibbert 1969. Aflatoksin akan sangat berpengaruh pada perkembangan mikrobial, kultur
jaringan, tumbuhan, dan hewan. Pengaruh tersebut dapat berakibat akut atau kronis, tergantung pada dosis dan frekuensi pemberian aflatoksin. Pengaruh biologis dari
toksisitas aflatoksin secara akut ditandai dengan gejala klinis tertentu pada manusia, unggas, sapi, anjing, ikan, dan hewan percobaan, sedangkan secara kronis berpengaruh
pada kesehatan dan produktivitas, serta pada respon imun dan daya tahan, misalnya mudah terkena hepatitis B. Pada sejumlah spesies hewan, senyawa ini menyebabkan
nekrosis, sirosis, dan karsinoma organ hati. Telah dilaporkan bahwa tidak ada hewan yang resisten terhadap efek toksik akut dari aflatoksin sehingga dapat diasumsikan
bahwa manusia pun dapat terkena dampak yang sama SNI 2009. Adapun tingkat toksisitas aflatoksin sangat bervariasi, tergantung pada jenis dan
umur ternak, serta jenis aflatoksin yang dikonsumsi. Hal tersebut berhubungan dengan struktur kimia aflatoksin. Di antara keenam jenis aflatoksin, AFB1 memiliki tingkat
toksisitas yang paling tinggi dan paling banyak dihasilkan, diikuti dengan AFG1, AFB2, AFG2, AFM1, dan AFM2. Efek aflatoksin pada manusia dan hewan ternak dipengaruhi
oleh beberapa faktor, seperti jenis spesies yang terpapar aflatoksin, umur dan jenis kelamin yang juga berhubungan dengan kandungan hormon spesies, dosis yang
termakan, kondisi kesehatan, status gizi, lamanya aflatoksin terpapar, rute pemaparan dan jenis makanan Krausz 2001; SNI 2009.
Aflatoksin akan masuk ke dalam tubuh penderita bersama makanan dan melalui sistem peredaran aflatoksin akan tersebar ke bagian-bagian tertentu dalam tubuh.
Adapun pengaruh yang ditimbulkan oleh aflatoksin disebut aflatoksikosis. Aflatoksin yang terkandung dalam tubuh akan mengakibatkan terjadinya perubahan patologis pada
hati, paru-paru, ginjal, dan sebagainya. AFB1 dikenal sebagai mikotoksin hepatoksik karena target organ aflatoksin B1 adalah hati. Hati merupakan pusat organ metabolisme
kimiawi dan akan menerima mikotoksin khususnya aflatoksin B1 yang terkonsentrasi setelah zat tersebut masuk. Akumulasi aflatoksin dalam hati dapat menyebabkan
berbagai gangguan, antara lain nekrosis hepatoseluler, pendarahan, radang hati, kelesuan, dan infiltrasi lemak hingga kematian.
Aflatoksin pada tubuh manusia dapat merangsang proses hidroksilasi oksidatif O-dimetilasi dan epoksida dengan membentuk AFM, Q1, P1, dan 8,9-oxide B1. 8,9-
oxide B1 merupakan bentuk aktif elektrofilik yang menyerang nitrogen nukleofilik, oksigen, sulfur dan atom hydrogen pada sel. 8,9-oxide B1 akan bereaksi dengan N7 basa
guanine DNA melalui kompleks interkalasi prekovalen antaulir ganda DNA dan elektrofilik dari AFB1 yang tidak stabil. Jika terjadi mutasi pada gen p53 sebagai
supresor tumor dapat terjadi mutagenic, terotogenik, dan karsinogenik. International Agency for Research on Cancer IARC telah mengklasifikasikan aflatoksin sebagai
karnogen pada manusia Stoloff 1982; Park 2002.
3. Regulasi Aflatoksin